PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus terhadap Putusan Nomor 1003/PID/(A)/2010/PN.TK)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 1003/PID/(A)/2010/PN.TK) (Skripsi)

Oleh Ghea Risalia

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus terhadap Putusan Nomor

1003/PID/(A)/2010/PN.TK) (Skripsi)

oleh Ghea Risalia

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus terhadap Putusan Nomor

1003/PID/(A)/2010/PN.TK)

Oleh Ghea Risalia

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

Judul Skripsi :PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS

PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor

1003/PID/(A)/2010/PN.TK) Nama Mahasiswa :Ghea Risalia

No. Pokok Mahasiswa : 0812011175 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. NIP 19611231 198903 1 023 NIP 19600406 198903 1 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Ghea Risalia dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 22 Februari 1991, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Adri Budiarsyah, S.E. dan Ibu Komalasari Asmarantaka, S.H.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di Trisula I Rawa Laut Bandar Lampung pada tahun 1996, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2002, penulis menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bandar Lampung pada tahun 2008.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Selama mengikuti perkuliahan penulis tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pidana.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan salah satu karya terbesarku kepada :

Papa dan Mama yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Kakak-kakakku tercinta

yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka

Seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi penyempurna separuh agamaku


(8)

MOTTO

“There can be miracles when you believe”

Learn from yesterday Live for today Hope for tomorrow

The important thing is to not stop questioning (Albert Einstein)


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul :

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 1003/PID/(A)/2010/PN.TK).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.


(10)

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., dan Bapak Budi Rizki, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak M. Fahruddin Syuralaga, S.H., M.H. dan Ibu Eka Septiana Sari, S.H. selaku responden dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Bapak Itong Isnaeni Hidayat, S.H., M.H. dan Bapak Judika M. Hutagalung, S.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang, serta Bapak Ahmad Irzal Ferdiansyah, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Ibu Arniah, S.Pd., Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak Dian, Babeh Narto, kyai Basri, dan lain-lain yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan selama penyusunan skripsi ini.

10. Papa dan Mama tercinta yang telah merawat dan membesarkanku sampai sekarang, terimakasih untuk seluruh doa dan dukungan baik moril maupun materiil demi terciptanya kebahagiaan dalam hidupku.


(11)

11. Kedua kakakku tersayang, Kyai Gigih dan Ses Icha, terimakasih atas semangat, dukungan, dan doa yang selalu kalian berikan kepadaku.

12. Seluruh keluarga besar Ali Dahlan dan Asmarantaka yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya. Terimakasih atas seluruh doa, perhatian dan kasih sayang kalian semua sehingga hidupku menjadi lebih berwarna. 13. Teman-teman seperjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini: Chyntia,

Rateh, Icha, Nuel, dan Ferdian serta semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya. Terimakasih atas kebersamaan dan kekompakan kalian selama ini.

14. Almamaterku tercinta yang telah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga kepadaku.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diperlukan dari berbagai pihak dengan harapan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, April 2012 Penulis


(12)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus terhadap Putusan Nomor

1003/PID/(A)/2010/PN.TK)

Oleh GHEA RISALIA

Pertanggungjawaban pidana merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai hubungan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang dijatuhkan sebagaimana seharusnya. Anak adalah aset bangsa dan bagian dari generasi muda yang berperan sangat strategis, yaitu sebagai pewaris (successor)bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa, sekaligus sebagai potensi sumber daya manusia dalam perkembangan nasional. Bagaimanakah jika seorang anak melakukan suatu tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapa saja yang dapat dipandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab. Seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah terjadi, namun langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia memenuhi syarat yang diperlukan untuk sebuah pertanggungjawaban tersebut. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi seorang anak adalah masalah usia atau umur.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu


(13)

kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan atas terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur dari Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang meringankan terdakwa. Dasr pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, kemampuan untuk bertanggungjawab pelaku atas penjatuhan pidana tersebut, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta dengan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non yuridis (filosofis, sosiologis, psikologis, kriminologis) yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana.

Adapun saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga pertanggungjawabannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak yang bersangkutan. Selain itu, sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak postif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 15

B. Pengertian Anak ... 17

C. Sistem Penjatuhan Hukuman (Sanksi) Terhadap Anak ... 21

D. Tindak Pidana Pembunuhan... 23


(15)

III. METODE PENELITAN

A. Pendekatan Masalah ... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 38

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

E. Analisis Data ... 41

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 42

B. Pertanggungjawaban Pidana atas Pembunuhan yang dilakukan oleh anak ... 44

C. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana terhadap Anak dibawah umur yang melakukan Tindak Pidana Pembunuhan... 51

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 59 DAFTAR PUSTAKA


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah aset bangsa danbagian dari generasi muda yang berperan sangat strategis, yaitu sebagai pewaris (successor) bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa, sekaligus sebagai potensi sumber daya manusia dalam perkembangan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental serta perlindungan dari bahaya-bahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan anak sangat diperlukan adanya upaya pembinaan, pengayoman, perlindungan yang serius, berkesinambungan dan terpadu.

Perlindungan hukum bagi seorang anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak di Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara juridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu pendekatan ekonomi, sosial dan budaya (Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1991: 22). Sejalan dengan hal tersebut, perlindungan anak juga merupakan salah satu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajibannya.

Kenakalan anak merupakan salah satu permasalahan yang ada di Indonesia, baik sendiri atau berkelompok, berseragam sekolah ataupun tidak. Pencurian, merampok, bahkan melakukan tindak pidana pembunuhan. Tidak hanya keluarga


(17)

2

yang memiliki hubungan darah dengan anak yang bersangkutan, seluruh pihak masyarakat luas mulai resah dengan perbuatan anak yang belakangan kasusnya mulai sering diberitakan.

Pengertian anak nakal sendiri telah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yaitu:

a. Anak yang melakukan tindak pidana.

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui perbuatan-perbuatan yang diancamkan terhadap anak lebih luas daripada perbuatan-perbuatan yang diancamkan terhadap orang dewasa. Anak dikatakan sebagai anak nakal apabila melakukan tindak pidana sebagaimana pula diancamkan terhadap orang dewasa dan perbuatan-perbuatan yang dianggap terlarang bagi anak. Perbuatan yang dilarang bagi anak dapat berupa apa yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.

Setiap perbuatan pasti akan melahirkan pertanggungjawaban dari pelaku walaupun pelakunya masing tergolong anak di bawah umur. Tanggung jawab itu akan selalu ada meskipun belum tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Pada umumnya seseorang akan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Aturan undang-undanglah yang dapat menetapkan siapa-siapa saja yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu. Walaupun sebelumnya ditegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan


(18)

3

perbuatan pidana yang telah terjadi, namun langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia memenuhi syarat yang diperlukan untuk sebuah pertanggungjawaban tersebut. Dipidana atau tidaknya si pelaku tidak hanya bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana saja, melainkan juga perbuatan pelaku termasuk perbuatan tercela atau tidak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan adalah terlarang dan dapat diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya.

Orang yang tidak mampu bertanggungjawab bukan hanya orang yang terganggu pada jiwanya atau karena adanya gangguan penyakit dalam dirinya, tetapi juga dikarenakan umurnya yang masih sangat muda. Walaupun anak dibawah umur dalam keadaan tertentu dianggap tidak mampu bertanggung jawab, namun bila mereka melakukan kejahatan, hukum pidana telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga di dalam pengaturan pelaksanaannya dituntut kejelian seorang hakim di dalam menentukan hukumannya.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan bahwa penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi seorang anak adalah masalah usia atau umur. Masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Pengadilan Anak, batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman dibedakan dalam beberapa tingkatan yaitu:

1. Batasan Umur Tingkatan Pertama, yaitu anak yang berumur antara 0-8 tahun. 2. Batasan Umur Tingkatan Kedua, yaitu anak yang berumur antara 8-12 tahun.


(19)

4

3. Batasan Umur Tingkatan Ketiga, yaitu anak yang berumur antara 12-18 tahun.

4. Batasan Umur Tingkatan Keempat, yaitu anak yang berumur antara 18-21 tahun.

Pada pembahasan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak di bawah umur dengan kronologis kasus sebagai berikut. Indra Wijaya 17 (tujuh belas) tahun bersama Alika Khaidir Saputra (belum tertangkap) pada hari Sabtu tanggal 14 Agustus 2010, sekira pukul 20.00 WIB melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban bernama Ko Apen alias Efendi di tempat kediaman korban di Jl. Yos Sudarso Gg. Skip no 08 Kelurahan Bumi Waras, Kecamatan Teluk Betuk Selatan, Bandar Lampung. Sebelumnya terdakwa bertemu dengan korban dan melakukan hubungan intim dengan diberikan imbalan uang terhadap terdakwa sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Setelah melakukan hubungan intim selama beberapa kali, kedua terdakwa hanya diberikan imbalan uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Merasa sakit hati, kemudian terdakwa berniat untuk membunuh korban agar dapat menguasai barang-barang milik korban yaitu sebuah sepeda motor dan handphone. Korban dibunuh dengan cara memukul kepala dan badan dengan kayu kasau berulang kali, setelah terjatuh badan koban disayat dengan pisau carter hingga akhirnya meninggal di tempat.

Terdakwa Indra dituntut dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan telah melanggar Pasal 339 Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang menyatakan:


(20)

5

Pasal 339 KUHP:

“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu,paling lama 20 (dua puluh)tahun”.

Pasal 55 ayat (1) KUHP:

“Dipidana sebagai pembuat delik: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukakan perbuatan; 2. Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja memberikan orang lain supaya melakukan perbuatan”.

Unsur-unsur dalam pasal yang didakwaan terhadap Indra telah terpenuhi. Berdasarkan pertimbangan hakim yang didasari atas terpenuhinya seluruh unsur pada pasal yang didakwakan, maka Indra terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan pembunuhan yang diikuti dengan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP Jo 55 Ayat (1) KUHP, sehingga hakim memutus pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun kepada Indra atas perbuatannya.

Sehubungan dengan kasus di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji secara yuridis normatif dan yuridis empiris mengenai putusan pidana yang telah diberikan hakim berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh Indra yang masih dapat dikatagorikan sebagai seorang anak.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan sebagai skripsi dengan judul


(21)

6

“Pertanggungjawaban Pidana Atas Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus terhadap Putusan Nomor 1003/PID/(A)/2010/PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana pembunuhan pada putusan Nomor Perkara 1003/PID/(A)/2010/PN.TK?

2. Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup bidang hukum pidana. Adapun bidang kajian dalam penulisan ini dibatasi pada bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri kelas IA Tanjung Karang dan dalam kurun waktu penelitian pada tahun 2011.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak.


(22)

7

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana pembunuhan pada putusan Nomor Perkara 1003/PID/(A)/2010/PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu:

a. Secara teoritis, penelitian ini berguna sebagai sumbangan daya pikir terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986: 23).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “tanggung jawab” adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (mengenai pembunuhan, perampokan, dan lain-lain).


(23)

8

Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama pada skripsi ini adalah dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat (liability based on fault) yang tidak hanya dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sebagai sekedar unsur mental dalam tindak pidana (Sudarto, 1986: 49).

Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana juga dapat ditemukan dalam common law system, berlaku maksim latin yaitu actus non estreus, nisi mens sit rea. Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana tanpa kehendak. Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana, namun disisi lain ditegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatan seseorang karena melakukan tindak pidana sangat ditentukan adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quality of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrinmens readalamcommon law systempada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system.

Teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan kedua adalah dengan menggunakan teori mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana.


(24)

9

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan suatu perkara pidana adalah dengan memperhatikan faktor-faktor seperti:

1. Faktor Yuridis

Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh selama proses persidangan yang didasarkan pada kesesuaian dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti yang merupakan satu rangkaian.

Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukkan jenis pidana yang telah dilakukan anak nakal.

Faktor yuridis berkaitan pula dengan pertanggungjawaban pidana dari anak pelaku tindak pidana. Di sini, hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak serta dengan melihat adakah unsur kesalahan anak atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain itu, faktor yuridis juga berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, lamanya ancaman pidana dan bentuk dari jenis pidana yang telah dilakukan.

2. Faktor Non Yuridis

Kajian non yuridis sebagai dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan penjatuhan sanksi kepada anak yang terdiri dari bebarapa faktor yaitu: 1. Filosofis


(25)

10

Faktor filosofis dijadikan dasar pertimbangan yang penting dari hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak. Dengan faktor ini hakim tidak akan kehilangan orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan undang-undang yang bersangkutan. Dalam rangka penjatuhan sanksi terhadap anak maka dasar filosofis penjatuhannya tidak lain adalah demi kepentingan terbaik anak sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

2. Sosiologis

Faktor sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap anak diperoleh dari laporan kemasyarakatan yang didapat dari BAPAS. Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal 56 sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk sanksi yang dijatuhkan di masa yang akan datang terhadap anak, sehingga bentuk sanksi yang diambil akan benar-benar dipertimbangkan.

3. Psikologis.

Faktor psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Pertimbangan psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan


(26)

11

sanksi pidana karena pemahaman terhadap aspek psikologis ini memungkinkan adanya penggambaran terhadap persepsi hakim terhadap anak yang bersangkutan dalam rangka penjatuhan sanksi pidana. Hakim memperoleh laporan kemasyarakatan dari BAPAS maupun pendapat dari BAPAS di persidangan serta diketahui dari perilaku anak selama menjalani persidangan anak.

4. Kriminologis

Faktor kriminologis diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta prilaku anak yang melakukan tindak pidana. Berdasarkan pada faktor kriminologis ini, hakim dalam rangka penjatuhan sanksi mempertimbangkan motif dari anak dalam melakukan tindak pidana yang akan berpengaruh terhadap bentuk penjatuhan sanksi kepada anak.

2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkitan dengan istilah (Soerjono Soekanto, 1986: 32).

Agar dapat memberi kejelasan yang mudah untuk dipahami, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan judul penulisan skripsi ini, yaitu:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan wajib seseorang untuk menanggung segala sesuatu atas perbuatannya yang berkenaan dengan pelanggaran tindak pidana (Sudarto, 1986: 47).


(27)

12

b. Pembunuhan adalah perbuatan dengan sengaja merampas nyawa orang lain (Pasal 338 KUHP).

c. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidamg terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala hukum dalam segala hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 1 KUHAP).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai penulisan skripsi ini secara keseluruhan yang dapat dilihat dari hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain serta untuk lebih memudahkan dalam memahami materi yang ada pada skripsi ini. Maka sistematika penulisan yang disajikan adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tersebut dapat ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan mengenai sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan mengenai pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang


(28)

13

nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan yang terdapat dalam praktek. Adapun garis besar penjelasan dalam bab ini adalah menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pidana pada pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penelitian populasi dan sampel metode pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan hasil dari penelitian dan hasil pembahasan di lapangan terhadap permasalahan dalam penelitian yang akan menjelaskan mengenai pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

V.PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian skripsi ini.


(29)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri atau dari pihak yang lain (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 1006).

Pertanggungjawaban pidana merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana tersebut diartikan sebagai hubungan antara keadaan si pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang dijatuhkan sebagaimana seharusnya.

Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan perbuatan itu yang bersangkutan mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea). Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada


(30)

15

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.

Syarat dapat dipidananya si pelaku adalah tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan tergantung pada adanya kesalahan dalam perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat (Moeljatno, 1983: 153).


(31)

16

KUHP mengatur masalah kemampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan

atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan.

Menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan

suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak

pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet) atau karena

“kelalaian” (culpa). Akan tetapi, kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.

B. Pengertian Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang berpotensi untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, berperan secara strategis dan bersifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh.

Pengertian anak saat ini belum terdapat persamaan pendapat sampai umur berapa seorang anak masih dapat disebut sebagai seorang anak-anak, remaja, dan dewasa. Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap, yaitu masa bayi berumur 0-2 tahun,


(32)

17

masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir yaitu umur 5-12 tahun. Pada masa bayi, keadaan fisik seorang anak masih sangat lemah sehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan orang tua terutama dari seorang ibu (Gatot Suparmono, 1998: 12).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 1 ketentuan umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Hal ini dijelaskan bahwa pengertian dari anak nakal itu sendiri adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat.

Anak yang telah melakukan tindak pidana tidak hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja, melainkan juga perbuatan yang telah melanggar peraturan-peraturan diluar KUHP, misalnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Gatot Supramono, 1998: 4).

Perbuatan yang terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dalam masyarakat yang


(33)

18

bersangkutan. Peraturan tersebut ada yang dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis, misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat (Gatot Supramono, 1998: 5).

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut sebagai kedudukan dalam arti khusus sebagian subjek hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Pengertian Anak menurut UUD 1945

Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut UUD 1945 terdapat dalam kebijaksanaan Pasal 34 yang mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena yang menjadi esensi dasar kedudukan anak yaitu subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai suatu kesejahteraan anak.

b. Pengertian Anak menurut Hukum Perdata

Pengelompokkan anak menurut pengertian hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah:

1) Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum; 2) Hak-hak dalam hukum perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum perdata khususnya Pasal 330 ayat (1),

menundukan status anak adalah sebagai berikut “belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih


(34)

19

c. Pengertian Anak menurut Hukum Pidana

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna sebagai penafasiran hukum secara negatif. Menurut undang-undang pengertian tersebut diklasifikasikan menjadi:

1) Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) anak paling lama sampai batas umur 18 (delapan belas) tahun;

2) Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

3) Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

d. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah.

e. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, mendefinisikan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.


(35)

20

C. Sistem Penjatuhan Hukuman (Sanksi) Terhadap Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara khusus telah menentukan bahwa dalam menangani anak yang melakukan tindak pidana harus memperhatikan kesejahteraan bagi anak. Demikian pula dalam menjatuhkan hukuman terhadap anak nakal yang harus diorientasikan pada perlindungan dan kesejahteraan anak.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, maka batas umur anak yang dapat dijatuhi hukuman dibedakan dalam beberapa tingkatan, yaitu:

1. Batasan umur tingkatan pertama, yaitu anak yang berumur antara 0-8 tahun; 2. Batasan umur tingkatan kedua, yaitu anak yang berumur antara 8-12 tahun; 3. Batasan umur tingkatan ketiga, yaitu anak yang berumur antara 12-18 tahun; 4. Batasan umur tingkatan keempat, yaitu anak yang berumur antara 18-21

tahun.

Tingkatan umur tersebut berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak sebelum ada perubahan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang menyatakan batas umur anak 8 (delapan) tahun dinyatakan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat bersyarat, kecuali dimaknai sebagai 12 (dua belas) tahun. Maksudnya adalah bahwa batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah 12 tahun ke atas (Tri Andrisman, 2011: 66) tingkatan umur diatas harus diperbaharui menjadi:

1. Batasan Umur Tingkatan Pertama  umur 0-8 tahun berubah menjadi 0-12 tahun;


(36)

21

Anak yang berumur antara 0-8 tahun, apabila melakukan tindak pidana proses pemeriksaannya hanya sampai tingkat kepolisian saja, jadi tidak dapat diproses lebih lanjut ke tahap berikutnya. Pada tingkat kepolisian sudah harus diambil tindakan terhadap anak, yaitu:

a. Anak diserahkan kepada orangtua, wali, atau orang tua asuh apabila anak masih dapat dibina;

b. Anak diserahkan kepada Departemen Sosial, apabila tidak dapat dibina lagi, setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

2. Batasan Umur Tingkatan Kedua umur 8-12 tahun berubah menjadi 12-14 tahun;

Terhadap anak yang berusia antara 8-12 tahun apabila melakukan tindak pidana, penjatuhan hukumannya disesuaikan dengan kualitas tindak pidana yang dilakukan atau ancaman pidananya. Dengan demikian, penjatuhan hukumannya yaitu:

a. Anak berumur 8-12 tahun yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhi tindakan diserahkan kepada negara.

b. Anak berumur 8-12 tahun yang melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka tindakan yang dijatuhkan berupa :

a) dikembalikan kepada orangtua, wali, atau orang tua asuhnya; b) diserahkan kepada negara;


(37)

22

3. Batasan Umur Tingkatan Ketigaumur 12-18 tahunberubah menjadi 14-18 tahun;

Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berusia antara12-18 tahun yaitu :

a. Anak berumur 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana dijatuhkan hukuman berupa pidana atau tindakan;

b. Anak berumur 12-18 tahun yang melakukan tindakan melanggar peraturan atau undang-undang lain atau peraturan hukum lain yang berlaku dalam masyarakat dijatuhi hukuman berupa suatu tindakan.

4. Batasan Umur Tingkatan Keempatumur 18-21tetap

Seorang anak yang melakukan tindak pidana pada batas umur 8-12 tahun, tetapi pada saat diadili berumur lebih dari batas umur tersebut tetapi dibawah 21 (dua puluh satu) tahun, maka hukumannya dapat berupa pidana atau tindakan.

D. Tindak Pidana Pembunuhan 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan dalam undang-undang pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, tetapi juga dilihat dari pandangan tentang kejahatan, delikuensi, devisi (penyimpangan dari peraturan Undang-Undang Dasar 1945) dan kualitas kejahatan yang berubah-ubah (Arif Gosita, 1983: 42). Unsur-unsur dari suatu tindak pidana atau delik yaitu:

a. Harus ada kelakuan;

b. Kelakuan tersebut harus sesuai dengan undang-undang; c. Kelakuan tersebut adalah kelakuan tanpa hak;


(38)

23

e. Kelakuan tersebut diancam dengan hukuman.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljanto, 1987: 2). Unsur-Unsur dari suatu perbuatan pidana yaitu:

a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi dalam rumusan undang-undang; c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).

2. Pengertian Pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana terhadap nyawa diatur pada Buku II Titel XIX (Pasal 338 sampai dengan Pasal 350). Arti nyawa sendiri hampir sama dengan arti jiwa. Kata jiwa mengandung beberapa arti, antara lain; pemberi hidup, jiwa dan roh (yang membuat manusia hidup). Sementara kata jiwa mengandung arti roh manusia dan seluruh kehidupan manusia. Dengan demikian tindak pidana terhadap nyawa dapat diartikan sebagai tindak pidana yang menyangkut kehidupan seseorang (pembunuhan/murder).

Tindak pidana terhadap nyawa dapat dibedakan dalam beberapa aspek: a. Berdasarkan KUHP, yaitu:

1) Tindak pidana terhadap jiwa manusia;

2) Tindak pidana terhadap jiwa anak yang sedang/baru lahir; 3) Tindak pidana terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan.


(39)

24

b. Berdasarkan unsur kesengajaan(dolus).

Dolus menurut teori kehendak (wilsiheorie) adalah kehendak kesengajaan pada terwujudnya perbuatan. Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur yang diperlukan. Tindak pidana itu meliputi:

a. dilakukan secara sengaja;

b. dilakukan secara sengaja dengan unsur pemberat; c. dilakukan secara terencana;

d. keinginan dari yang dibunuh;

e. membantu atau menganjurkan orang untuk bunuh diri.

Tindak pidana terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu:

a. Atas dasar unsur kesalahannya

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam bab XIX KUHP;

2) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur dalambab XIX KUHP; 3) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam

Pasal 170, 351 ayat 3, dan lain-lain. b. Atas dasar obyeknya (nyawa)

Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka tindak pidana terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu:

1) Tindak pidana terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338, 339, 340, 344, 345.


(40)

25

2) Tindak pidana terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343.

3) Tindak pidana terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349.

Tindak pidana terhadap nyawa ini disebut delik materiil yaitu delik yang hanya menyebut suatu akibat yang timbul tanpa menyebut cara-cara yang menimbulkan akibat tersebut. Perbuatan dalam tindak pidana terhadap nyawa dapat berwujud menembak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memberikan racun dalam makanan, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seseorang wajib bertindak seperti tidak memberikan makan kepada seorang bayi.

Timbulnya tindak pidana materiil sempurna tidak semata-mata digantungkan pada selesainya perbuatan, melainkan apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan akibat yang terlarang atau belum. Apabila karenanya (misalnya membacok) belum mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini dinilai merupakan percobaan pembunuhan (Pasal 338 Jo 53) dan belum atau bukan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 338. Apabila dilihat dari sudut cara merumuskannya, maka tindak pidana materiil ada 2 (dua) macam, yaitu:

a. Tindak pidana materiil yang tidak secara formil merumuskan tentang akibat yang dilarang itu, melainkan sudah tersirat (terdapat) dengan sendirinya dari unsur perbuatan menghilangkan nyawa dalam pembunuhan (Pasal 338 KUHP).


(41)

26

b. Tindak pidana materiil yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan atau tingkah laku. Juga disebutkan pula unsur akibat dari perbuatan (akibat konstitutif), misalnya pada penipuan (Pasal 378 KUHP).

Suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif, artinya mewujudkan perbuatan itu harus dengan gerakan dari sebagian anggota tubuh, tidak boleh diam atau pasif walaupun sekecil apapun, misalnya memasukkan racun pada minuman. Hal ini tidak termasuk dalam bentuk aktif, melainkan bentuk abstrak, karena perbuatan ini tidak menunjuk bentuk konkret. Oleh karena itu, dalam kenyataan yang konkret perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya, seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya. Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesenjangan dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagian tujuan oog merk

untuk mengadakan akibat tertentu, atau sebagai keinsyafan kepastian akan datangnya akibat itu (opzet big zekerheidsbewustzijn), atau sebagai keinsyafan kemungkinan akan datangnya akibat itu (opzet big mogelijn heidwustzujn).

Tindak pidana terhadap nyawa yang dilakukan dengan diberi kualitatif sebagai pembunuhan, terdiri dari:

1. Pembunuhan Biasa

Pembunuhan biasa(doodslag), harus dipenuhi unsur, yaitu:

a. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga (dolus repentinus atau dolus impetus) ditujukan dengan maksud agar orang yang bersangkutan mati.


(42)

27

b. Melenyapkan nyawa orang itu harus merupakan perbuatan yang positif walaupun dengan perbuatan yang kecil sekalipun.

c. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang: a) Seketika itu juga, atau

b) Beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.

Perbuatan yang dilakukan harus ada hubungan dengan seseorang. Istilah “Orang” dalam Pasal 338 KUHP itu, maksudnya adalah “orang lain” terhadap siapa

pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi permasalahan. Meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak atau ibu sendiri, termasuk juga pada pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP yang menegaskan “Barangsiapa dengan

sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)tahun”.

Jika seseorang melenyapkan nyawanya sendiri dan mencoba membunuh diri sendiri tidak termasuk dengan perbuatan yang dapat dihukum, karena seseorang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Pembunuhan Terkualifikasi

Pembunuhan terkualifikasi diatur dalam Pasal 339 KUHP yang menyatakan: "Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh)tahun”.


(43)

28

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 1) Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) dalam Pasal 338;

2) Yang (1) diikat, (2) disertai, atau (3) didahului oleh tindak pidana lain; 3) Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud:

a. untuk mempersiapkan tindak pidana lain;

b. untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain;

c. dalam hal tertangkap tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana, atau untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum dari tindak pidana lain itu.

Pasal 339 tindak pidana pokoknya adalah pembunuhan, suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat pada semua unsur yang disebabkan dalam butir b dan c. Dalam dua butir itulah diletakkan sifat yang memberatkan pidana dalam bentuk pembunuhan khusus ini.

Pembunuhan yang diperberat terjadi 2 (dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dalam bentuk pokok dan tindak pidana lain (selain pembunuhan). Apabila pembunuhannya telah terjadi, akan tetapi tindak pidana lain belum terjadi, misalnya membunuh untuk mempersiapkan pencurian dimana pencuriannya itu belum terjadi, maka tindak pidana tersebut tidak terjadi.

3. Pembunuhan yang Direncanakan

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, hal ini diatur dalam Pasal 340 KUHP yang menyatakan:


(44)

29

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh)tahun”.

Unsur-unsur daritindak pidanaini adalah:

1. Adanya kesengajaan, yaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu perencanaan terlebih dahulu;

2. Yang bersalah di dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu dan kemudian tidak menjadi soal berapa lama waktunya.

Apabila saat timbulnya pikiran untuk membunuh itu dalam keadaan marah atau terharu ingatannya tetapi tetap melakukan pembunuhan itu, maka ia dianggap tetap melakukan perbuatan itu. Tetapi lain halnya apabila pikiran untuk membunuh itu timbul di dalam keadaan marah dan keharuan itu berlangsung terus sampai ia melaksanakan pembunuhan itu, maka dalam hal ini tidak ada perencanaan yang dipikirkan dalam hati yang tenang.

4. Pembunuhan Anak

Pembunuhan anak diatur dalam Pasal 341, yang menyatakan:

“Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat

anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh nyawa anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)tahun”.


(45)

30

Tindak pidana pada pembunuhan ini dinamakan membunuh biasa anak atau maker mati anak (kinderdoodslag). Apabila pembunuhan anak itu dilakukan dengan direncanakan sebelumnya, maka dapat diancam dengan Pasal 342 KUHP, yang dinamakankindermoord. Unsur-unsur pada pembunuhan anak ini adalah: 1. Pembunuhan anak itu harus dilakukan oleh ibunya sendiri, apabila si ibu

mempunyai suami atau tidak, hal itu tidak menjadi soal;

2. Pembunuhan anak itu harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui melahirkan anak itu.

Bila anak yang didapat karena hasil hubungan kelamin yang tidak sah atau berzinah, apabila unsur-unsur ini tidak ada, maka perbuatan itu dikenakan sebagai pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).

5. Pembunuhan atas Permintaan si Korban

Diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang menyatakan:

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)tahun”.

Dengan mengandung unsur:

1) Perbuatan: menghilangkan nyawa; 2) Obyek: nyawa orang lain;

3) Atas permintaan orang itu sendiri;


(46)

31

Pembunuhan atas permintaan sendiri ini sering disebut dengan euthanasia (mercy killing), yang dengan dipidananya si pembunuh, walaupun si pemilik sendiri yang memintanya, membuktikan bahwa sifat publiknya lebih kuat dalam hukum pidana. Walaupun korbannya meminta sendiri agar nyawanya dihilangkan, tetapi perbuatan orang lain yang memenuhi permintaan itu tetap dapat dipidana.

Faktor yang meringankan orang yang bersalah, sehingga oleh karenanya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih dari 12 (dua belas) tahun, meskipun perbuatan itu tidak berbeda dengan pembunuhan biasa atau pembunuhan yang direncanakan. Faktor yang memudahkan hal itu adalah adanya permintaan yang sungguh-sungguh dari orang yang diambil nyawanya. Permintaan itu benar-benar harus terbukti bahwa merupakan suatu desakan dan bersungguh-sungguh.

Pasal 344 KUHP tidak disebutkan bahwa perbuatan itu harus dilakukan dengan sengaja, akan tetapi syarat ini harus dianggap sebagai suatu keharusan, sebab jika tidak perbuatan itu termasuk perbuatan yang disebut dalam Pasal 359 KUHP yang merupakan perbuatan“culpoos”atau“alpa”yang menyatakan:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu)tahun”.

6. Masalah Bunuh Diri

Seseorang yang membunuh diri tidak dapat diancam dengan hukuman. Akan tetapi orang yang sengaja menghasut, menolong orang lain untuk bunuh diri dapat


(47)

32

dikenakan Pasal 345 KUHP apabila orang yang bersangkutan benar-benar bunuh diri dan menyebabkan kematian pada dirinya. Isi dari Pasal 345 KUHP adalah:

“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun kalau

orang itu jadi bunuh diri”.

Untuk berlakunya Pasal 345 ini, membunuh diri itu harus benar-benar terjadi dilakukan, artinya adalah bagi orang yang bersangkutan harus sampai menyebabkan kematian daripadanya. Apabila tidak sampai terjadi kematian tersebut, maka yang melakukan pembujukan atau membantu memberikan ikhtiar bunuh diri dapat dituntut atas dasar mencoba.

7. Menggugurkan Kandungan

Kata pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus provocateur

dalam kamus kedokteran yang diterjemahkan dengan membuat keguguran. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP Pasal 346, 347, 348, dan 349. Dengan mengandung unsur:

1) Janin;

2) Ibu yang mengandung;

3) Orang ketiga yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut. Tujuan adanya pasal-pasal tersebut adalah untuk melindungi janin yang ada dalam kandungan si ibu.


(48)

33

Seorang wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati buah kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan hal demikian, dapat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. Yang

dimaksud dengan “buah kandungan” itu sendiri yaitu yang belum menjadi seorang

bayi. Menurut yurisprudensi, buah kandungan itu harus sudah bernyawa dan sudah mulai bergetar di dalam kandungan seorang wanita. Oleh karena itu, sukar untuk membuktikan bahwa buah kandungan sudah bernyawa, maka diadakan Pasal 299 terhadap orang yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan harapan agar wanita yang bersangkutan tidak akan jadi mengandung. Orang yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, dihukum berdasarkan Pasal 347 KUHP. Sementara bagi seseorang yang melakukan pembunuhan dengan persetujuan wanita yang bersangkutan, maka akan dikenakan dengan Pasal 348 KUHP.

E. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Tugas utama seorang hakim adalah memeriksa dan memutuskan perkiraan pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan merupakan suatu usaha untuk menggambarkan kembali proses peristiwa yang memerlukan bukti-bukti dan berdasarkan atas pemeriksaan serta penilaian oleh hakim yang selanjutnya akan


(49)

34

dapat menentukan benar atau tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana. Selanjutnya hakim memeriksa secara langsung atau dengan meminta keterangan seorang ahli kepada terdakwa.

Seorang hakim diharapkan dapat memberikan pertimbangan tentang salah atau tidaknya seseorang serta benar atau tidaknya bahwa telah terjadi suatu perkara pidana agar kemudian hakim dapat memberikan hukuman yang pantas bagi seorang terdakwa. Hakim harus melakukan tiga tindakan dalam mengadili suatu perkara, yaitu:

1. Apabila diajukan kepada suatu peristiwa dalam suatu perkara, maka pertama-tama haruslah mengkonstansi benar atau tidaknya peristiwa itu. Mengkonstansi berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan tersebut. Untuk mendapatkan konstansi yang objektif maka hakim harus menggunakan sarana-sarana yang dapat menunjang terbuktinya suatu kebenaran dari peristiwa yang ia terima dari kasus yang diadilinya.

2. Setelah hakim berhasil mengkonstansikan peristiwa, tindakan selanjutnya adalah mengkualifikasikan peristiwanya. Mengkualifikasi berarti menilai yang mana dengan perkataan lain menemukan hukum bagi peristiwa yang telah dikonstansi.

3. Kemudian hakim mengkonstitusi atau memberikan konstitusi, ini berarti bahwa hakim menentukan hukumannya, memberikan putusan-putusan atau keadilan.


(50)

35

Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apabila terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindakan pidana dan apakah terdakwa bersalah untuk dapat dipidana;

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana. Secara asumtif peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Dipertegas kembali dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman RI, yang menyatakan:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang


(51)

36

Perlu ditetapkan suatu pedoman dan aturan pemberian pidana bagi seorang hakim dalam memberi keputusan mengenai suatu perkara. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dengan adanya suatu pedoman pemidanaan, diharapkan pidana yang dijatuhkan oleh hakim dapat lebih professional dan dipahami masyarakat maupun terdakwa dalam perkara yang telah ditangani.

Hakim dituntut untuk benar-benar memahami tuntutan dari jaksa penuntut umum yang diajukan dalam persidangan untuk benar-benar menegakkan keadilan sesuai dengan ketetapan hukum. Keputusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan mengutus perkara yang dijatuhkan kepadanya, dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya ditujukan pada hukumnya, dirinya sendiri, ataupun kepada masyarakat luas, melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.


(52)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris adalah dengan mengadakan penelitian langsung ke lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek mengenai pelaksanaannya.

B. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data lapangan dan kepustakaan.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh atau bersumber dari kegiatan penelitian langsung di lapangan yaitu di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Semua akan diperoleh melalui kegiatan wawancara dengan responden yang dalam hal ini


(53)

✂8

adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penulisan skripsi ini.

b. Data sekunder

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka dengan membaca, mengutip dan menelaah literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Data sekunder tersebut terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Bahan hukum sekunder, berupa bahan hukum yang meliputi:

a) Peraturan Pelaksana;

b) Kepres dan Peraturan Pemerintah;

c) Putusan Hakim pada Nomor Perkara: 1003/PID/(A)/2010/PN.TK.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Burjhan Ashosfa, 1996: 44). Penentuan responden pada penulisan ini menggunakan metode pengambilan


(54)

✄ ☎

sampel secara purvosive sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi.

Sampel dalam penelitian ini diambil dari responden sebanyak 5 (lima) orang, yaitu:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 2 orang 2. Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang : 2 orang 3. Dosen pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang

Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditentukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu dengan melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku atau refrensi yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan data primer yang dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan dalam


(55)

✆0

penelitian ini. Pertanyaan diajukan kepada semua pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk mendapatkan data, tanggapan dan jawaban dari responden. 2. Metode Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Seleksi data, yaitu data yang telah diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu dengan mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Penyusunan data, yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari penelitian ini kemudian dianalisis secara kualitatif yang menggambarkan kenyataan serta fakta-fakta yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dalam pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan secara induktif sebagai jawaban dari permasalahan yang telah diteliti, yang merupakan metode penarikan data berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(56)

58

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan atas terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur dari Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang meringankan terdakwa.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, kemampuan untuk bertanggungjawab pelaku atas penjatuhan putusan pidana tersebut, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta dengan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non yuridis (filosofis, sosiologis, psikologis, kriminologis) yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana.


(57)

59

B. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak sebagai berikut:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga pertanggungjawabannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak yang bersangkutan.

2. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak postif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(58)

60

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1984. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga. Jakarta.

Amrullah, Rinaldy. 2008.Litigasi dan Bantuan Hukum.YLBHI. Jakarta.

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Ashofa, Burhan. 2000.Metode Penelitian Hukum. Alumni. Bandung.

Gosita, Arif. 1983.Hukum dan Hak-hak Anak. Rajawali, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2006.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Moeljatno, 1983.Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana.Jakarta.

---. 1987.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukumdan Penelitian Hukum.Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. 1991. Hak-hak asasi manusia di Indonesia.Yayasan LBHI. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sudarsono, 1990.Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta. Sudarto. 1981.Hukum dan Hukum Pidana.Alumni. Bandung. ---. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumni.Bandung.

Sunggono, Bambang. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grasindo. Jakarta.


(59)

61

Suparmono, Gatot. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Universitas Lampung. 2008. FormatPenulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar Lampung.

Waluyo, Bambang. 2004.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2004. Penerbit Rineka Cipta.

Jakarta.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (http://blogmhariyanto.blogspot.com).


(1)

sampel secara purvosive sampling yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi.

Sampel dalam penelitian ini diambil dari responden sebanyak 5 (lima) orang, yaitu:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 2 orang 2. Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang : 2 orang 3. Dosen pada bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditentukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu dengan melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku atau refrensi yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk mendapatkan data primer yang dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara terpimpin untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan dalam


(2)

2. Metode Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Seleksi data, yaitu data yang telah diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu dengan mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Penyusunan data, yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari penelitian ini kemudian dianalisis secara kualitatif yang menggambarkan kenyataan serta fakta-fakta yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dalam pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan secara induktif sebagai jawaban dari permasalahan yang telah diteliti, yang merupakan metode penarikan data berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan yang bersifat umum agar dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan atas terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur dari Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang meringankan terdakwa.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, kemampuan untuk bertanggungjawab pelaku atas penjatuhan putusan pidana tersebut, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, serta dengan mempertimbangkan faktor-faktor yuridis dan non yuridis (filosofis, sosiologis, psikologis, kriminologis) yang ada pada diri anak pada saat melakukan suatu tindak pidana.


(4)

pidana atas pembunuhan yang dilakukan oleh anak sebagai berikut:

1. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga pertanggungjawabannya sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak yang bersangkutan.

2. Sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memperhatikan dampak postif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1984. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga. Jakarta.

Amrullah, Rinaldy. 2008.Litigasi dan Bantuan Hukum.YLBHI. Jakarta.

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Ashofa, Burhan. 2000.Metode Penelitian Hukum. Alumni. Bandung. Gosita, Arif. 1983.Hukum dan Hak-hak Anak. Rajawali, Jakarta.

Hamzah, Andi. 2006.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality

Publisher. Surabaya.

Moeljatno, 1983.Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana.Jakarta.

---. 1987.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004.Hukumdan Penelitian Hukum.Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. 1991. Hak-hak asasi manusia di Indonesia.Yayasan LBHI. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sudarsono, 1990.Kenakalan Remaja. Rineka Cipta, Jakarta.

Sudarto. 1981.Hukum dan Hukum Pidana.Alumni. Bandung. ---. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumni.Bandung.

Sunggono, Bambang. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grasindo. Jakarta.


(6)

Universitas Lampung. 2008. FormatPenulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar Lampung.

Waluyo, Bambang. 2004.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2004. Penerbit Rineka Cipta.

Jakarta.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (http://blogmhariyanto.blogspot.com).


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

9 137 105

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

0 11 52

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PEMBUNUHAN DIIKUTI PENCURIAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Kasus Nomor : 1003/PID.A/2010/PN.TK)

0 14 62

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

0 17 52

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

2 26 62

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK (STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

2 38 55

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Perkara No : 445/Pid/A/2012/PN.TK)

0 12 30

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR:05/PID./2014/PT.TK.)

3 26 61

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NOMOR 133Pid.Sus2014PN.Byl. TENTANG TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

0 5 145