Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

(1)

1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK PANTI ASUHAN TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN PADA ANAK

( Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG )

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

LYDIASARI SITUMORANG NIM : 110200077

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

2

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK PANTI ASUHAN TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN PADA ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No.

1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

LYDIASARI SITUMORANG NIM : 110200077

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disahkan/Diketahui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Nurmalawaty, SH, M.Hum

NIP. 196209071988112001 NIP. 197503072002122002 Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

i

ABSTRAK

Lydiasari Situmorang* Nurmalawaty, SH, M.Hum**

Dr. Marlina, SH, M.Hum***

Anak adalah aset bangsa yang memiliki hak untuk dilindungi. Seorang anak harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan anak. Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan dan pemenuhan hak-hak anak. Kekerasan yang dialami anak-anak di panti asuhan misalnya, salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk selalu menjamin adanya aturan hukum terhadap setiap orang ataupun oknum yang melakukan kekerasan pada anak. Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang dalam hal ini pemilik panti asuhan yang melakukan tindakan kekerasan pada anak merupakan suatu perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Permasalahan yang diambil dari latar belakang tersebut yaitu pengaturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap kekerasan yang dilakukan pada anak, bagaimana pertimbangan hakim mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pemilik yayasan dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617 /Pid.sus /2014 /PN.TNG dan landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap kasus tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Data yang digunakan yaitu data skunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum, kamus hukum dan berbagai sumber yang didapat dari internet yang berhubungan dengan penelitian ini.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa panti asuhan merupakan tempat bagi anak-anak yatim untuk mendapatkan pengasuhan dan perlindungan bagi tumbuh kembangnya fisik dan mental mereka. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua juga berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Sanksi pidana bagi pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak asuhnya dapat diberikan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum dari aparat penegak hukum kepada korban. Penerapan sanksi pidana terhadap pemilik yayasan yang melakukan kekerasan pada anak berdasarkan putusan no. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG yaitu pelaku dikenakan sanksi hukuman 10 tahun penjara, hukuman tersebut masih kurang setimpal dengan penderitaan yang dialami korban. Akan tetapi hukuman tersebut telah sesuai dengan mendekati hukuman sesuai Undang-undang No. 23 Tahun 2002.

• Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Pidana Univerisitas Sumatera Utara


(4)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan rahmat yang tak terhingga yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG)”.

Setelah sekian lama akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sebagai manusia biasa tidak akan pernah luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum USU baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dengan ini izinkanlah penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.


(5)

iii

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Dr. M.Hamdan, SH. M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;

6. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul di awal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

7. Ibu Dr.Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

8. Ibu Liza Erwina SH,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

9. Alwan SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

10.Untuk semua Dosen dan staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana.

11.Untuk Yang terkasih Ayahanda Open Situmorang dan Ibunda yang paling saya cintai, Almarhumah Nurma br. Simbolon.Terima kasih


(6)

iv

buat doa dan dukungannya serta kasih sayang tiada batas yang diberikan sepanjang hidup yang diberikan kepada penulis selama ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan. 12.Terima kasih untuk abang, kakak, adik dan keponakan tercinta

(Tomson Situmorang, S.Pd., M.M., Juniaty Situmorang, Am.Keb., Francisca Situmorang, S.Pd., Nengri Situmorang, Marta dan Roni Aditya ) yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Semua ini ku persembahkan untuk kalian. 13.Kepada Abangda Jhon Ferry Situmeang, SH yang dengan suka rela

membantu dalam melengkapi bahan untuk penyelesaian skripsi ini. 14.Yang teristimewa sahabat-sahabatku seangkatan 2011 (Putri

Arbitheresya Nadapdap,Puput Hardiani, Widya Agnes Hamid, Ditha Afrodita, Evelyn Sinurat, Naomi Tri Yuristisia, Rizky Daud, dan Roland Santosa Tampubolon, Azirah SH., Arif Dharmawan, Tengku Mitha Chairuna, dan Syahdani Rizky Ritonga), terima kasih buat segala bantuan dan dukungan yang selalu diberikan semasa perkuliahan hingga akhir semester ini.

15. Kepada sahabat-sahabatku sewaktu SMA (Febriyantiara Pane, Yuliana Safitri Batubara, Zuniati Sinaga, Astriani Situngkir dan Maya Fathiya Sikumbang), terimakasih buat dukungan yang telah diberikan.

16.Kepada sahabatsekaligus keluarga “Manis Manja Group Terompet 82”(Efanny Dini Simarmata, Citra Dewi Hasibuan, Dina Fachriza, Kak Merry Silalahi., Ditha Rosaline Turnip dan Lely Purba), terima kasih


(7)

v

buat semua bantuan di dalam segala hal dan doa serta dukungannya. Semoga pertemanan kita tetap terjalin terus dengan baik.

17. Kepada rekan-rekan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI), khususnya DPC PERMAHI Medan, yaitu Marzuki Sagala SH., Edyson Tanjung SH., Riswanto SH., Lasman Johansen SH., Andreas Bresman Sinambela, SH., Petrus Laoli,SH., sahabat terbaikku Synta Naftalina Simanjuntak, Ardhy Fakhri, adik ku Cindy Doloksaribu dan Venia Larisa, Natalia, Elridho, Hikler, Beni, Jonathan, dan kakak-kakakku yaitu Agnes Deslina Sinaga SH., Kelkesia SH., Winda Sembiring SH., serta buat rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.. Terima kasih buat bantuan, dukungan, dan doa dari rekan-rekan semua.

18.Kepada GMNI Fakultas Hukum USU terkhusus bagi sarinah Gelora , terima kasih telah memberikan dukungan dalam pembuatan skripsi ini. Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya kepada penulis , tetapi juga kepada masyarakat.

Medan, Maret 2015 Penulis

Lydiasari Situmorang NIM. 110200077


(8)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 10

2. Pengertian Panti Asuhan ... 12

3. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Pada Anak ... 13

4. Pengertian Anak ... 19

F. Metode Penelitian ... 22

G. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN PADA ANAK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Panti Asuhan ... 29

1. Tujuan Panti Asuhan ... 29

2. Fungsi Panti Asuhan ... 30

3. Pedoman Pelaksanaan Panti Asuhan ... 31

B. Pengaturan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak ... 41

1. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 33


(9)

vii

2. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 47

BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEMILIK PANTI ASUHAN YANG MELAKUKAN KEKERASAN PADA ANAK DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANGERANG No. 1617/Pid.Sus/2014/PN. TNG A. Posisi Kasus ... 51

1. Kronologis Kasus ... 51

2. Dakwaan ... 57

3. Tuntutan ... 58

4. Fakta-Fakta Hukum ... 59

5. Putusan Hakim ... 64

B. Analisa Kasus ... 66

BAB IV LANDASAN HAKIM DALAM MEMBERIKAN SANKSI PIDANA KEPADA PEMILIK YAYASAN YANG MELAKUKAN KEKERASAN A. Landasan Yuridis ... 71

B. Landasan Non Yuridis ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84 Daftar Pustaka


(10)

i

ABSTRAK

Lydiasari Situmorang* Nurmalawaty, SH, M.Hum**

Dr. Marlina, SH, M.Hum***

Anak adalah aset bangsa yang memiliki hak untuk dilindungi. Seorang anak harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan anak. Perlindungan hukum bagi anak merupakan upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan dan pemenuhan hak-hak anak. Kekerasan yang dialami anak-anak di panti asuhan misalnya, salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah untuk selalu menjamin adanya aturan hukum terhadap setiap orang ataupun oknum yang melakukan kekerasan pada anak. Pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang dalam hal ini pemilik panti asuhan yang melakukan tindakan kekerasan pada anak merupakan suatu perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Permasalahan yang diambil dari latar belakang tersebut yaitu pengaturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap kekerasan yang dilakukan pada anak, bagaimana pertimbangan hakim mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pemilik yayasan dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617 /Pid.sus /2014 /PN.TNG dan landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap kasus tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Data yang digunakan yaitu data skunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum, kamus hukum dan berbagai sumber yang didapat dari internet yang berhubungan dengan penelitian ini.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa panti asuhan merupakan tempat bagi anak-anak yatim untuk mendapatkan pengasuhan dan perlindungan bagi tumbuh kembangnya fisik dan mental mereka. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua juga berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Sanksi pidana bagi pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak asuhnya dapat diberikan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum dari aparat penegak hukum kepada korban. Penerapan sanksi pidana terhadap pemilik yayasan yang melakukan kekerasan pada anak berdasarkan putusan no. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG yaitu pelaku dikenakan sanksi hukuman 10 tahun penjara, hukuman tersebut masih kurang setimpal dengan penderitaan yang dialami korban. Akan tetapi hukuman tersebut telah sesuai dengan mendekati hukuman sesuai Undang-undang No. 23 Tahun 2002.

• Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Pidana Univerisitas Sumatera Utara


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu mempimpin serta melihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945, tentulah anak tersebut harus diasuh, diayomi, dididik, dihormati sebab posisi anak sangat penting dan strategis sebagai suatu potensi emas tumbuh kembangnya suatu bangsa dimasa depan.1

Anak yang merupakan titipan dari Tuhan berhak mendapatkan nama yang baik dan kasih sayang dari orang tua, masyarakat, dan lingkungannya. Anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan antara laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.2

Pada prinsipnya setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tua lah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apapaun dan/atau siapapun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga dewasa. Jika ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua

1

Ahmad sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia, Jakarta:PT.Soft Media, 2012, hlm. iii

2

Tolib setiady, Pokok - Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2010, hlm. 173


(12)

2

ini menorehkan warna negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh pada masa depan anak secara potensial.3

Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan masa depan bangsa dan negara, oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik mental dan spritualnya secara maksimal.4

Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, menyebutkan : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD 1945 hasil Namun tak jarang anak yang seharusnya dijamin perlindungannnya diayomi, dididik dan dihormati justru memperoleh perlakuan yang tidak sepantasnya diteima oleh mereka yang mana perlakuan itu dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya terganggu.

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapat perlindungan dan kesejahteraan dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

3

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 147

4


(13)

3

perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan:

1 Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2 Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3 Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.5

Pasal 52 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak.6

a. Non-diskriminasi ;

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang yang lebih khusus yaitu Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 2 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang dirubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan: “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

5

UUD 45 Yang Sudah Diamandemen Dengan Penjelasannya, Jakarta: Nidya Pustaka,

2007, Pasal 28B dan Pasal 34.

6

Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan


(14)

4 b. Kepentingan yang terbaik bagi anak ;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera ( Pasal 3 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang telah dirubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014).7 Orang tua yang tidak mampu untuk memberikan perlindungan terhadap anak, maka undang-undang memberikan kemungkinan lain dalam menjamin perlindungan terhadap anak dengan menyediakan lembaga pengasuhan anak. Undang-undang tidak bermaksud untuk dengan sengaja memisahkan anak dari orang tuanya. Hal pengasuhan anak tersebut diatur dalam Bab VIII bagian Kesatu Pasal 37 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014, yaitu sebagai berikut:8

1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya ( Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. Penjelasan ayat ini

7

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta

:UNICEF, 2014, Pasal 3.

8


(15)

5

menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan lembaga yang mempunyai kewenangan adalah lembaga yang sah bergerak dalam pengasuhan anak.” 3) Dalam lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan

agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.

4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.

5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan didalam atau diluar Panti Sosial.

6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4),dan ayat (5).

Berdasarkan perkembangan di masyarakat dapat dilihat masih banyak anak-anak yang belum memperoleh hak-haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal tersebut tampak bahwa banyak kasus tentang kekerasan terhadap anak yang telah terjadi di negara ini. Data terakhir yang dicatat oleh Komisi Nasional Anak (Komnas Anak) adalah sebanyak 21.689.797 kasus kekerasan yang telah menimpa anak-anak Indonesia dalam kurun kurun waktu empat tahun terakhir (2010-2014) dimana kasus tersebut terjadi di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota. Dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak tersebut 42 hingga 58 persen dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual, selebihnya kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual


(16)

6 komersial serta kasus-kasus perebutan anak.9

Panti Asuhan atau Panti Sosial Asuhan Anak juga Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) ialah lembaga sosial

Hal inilah yang menempatkan anak sebagai alasan dan keterbatasan orang-orang dewasa untuk mengorbankan anaknya yaitu salah satunya meletakkan anaknya di panti asuhan.

dan memelihara anak-anak yatim, ya10

Pasal 2 Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak menyebutkan: “Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak merupakan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat dalam menyelenggarakan pengasuhan anak.”

Dalam salah satu tujuan didirikan panti asuhan adalah sebagai tempat untuk merawat serta mendidik anak-anak terlantar dan kurang mampu sehingga dapat menolong dirinya sendiri dan berfungsi dalam masyarakat. Panti asuhan merupakan keluarga pengganti untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak terlantar atau anak binaan.

11

Seperti halnya dalam kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG) merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak. Dalam kasus ini diceritakan pihak yang melakukan kekerasan adalah pemilik dari panti asuhan tersebut dimana ia melakukan kejahatan seksual dan kekerasan fisik terhadap

10

id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan. Diakses Pada Tanggal 10 Februari 2015. Pukul 05.31 WIB.

11

www.kemenpppa.go.id/jdih/peraturan/permensos no 30 tahun 2011 standart-pengasuhan.pdf. Diakses Pada Tanggal 10 Februari 2015. Pukul 05. 35 WIB.


(17)

7

anak asuhnya. Dari adanya pemberitaan kasus tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi di panti asuhan tersebut, mendorong penulis untuk meneliti permasalahan mengenai ketentuan hukum pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku diIndonesia, mengetahui pertimbangan hakim terhadap penerapan sanksi pidana serta landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada si pelaku tindak pidana tersebut.

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah tindak pidana kekerasan khususnya tindak pidana kekerasan yang terjadi pada anak panti asuhan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan yang Terjadi Pada Anak Panti (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG )” . B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap kekerasan yang dilakukan pada anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pertimbangan hakim mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pemilik panti asuhan dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617/Pid.sus/ 2014/PN.TNG ?

3. Bagaimana landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada pemilik yayasan yang melakukan kekerasan ?


(18)

8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

a) Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pemilik panti asuhan yang melakukan kekerasan terhadap anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. b) Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap penerapan sanksi

pidana dalam Putusan Pengadilan Tangerang No. 1617/Pid.sus/ 2014/PN.TNG terhadap kekerasan oleh pihak panti asuhan.

c) Untuk mengetahui landasan hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada pemilik yayasan yang melakukan kekerasan.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dapat menambah wawasan dan ilmu Pengetahuan dalam bidang Hukum pada umumnya dan Hukum pidana pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para orang tua dalam memberikan perlindungan terhadap anak, khususnya dalam memberikan hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Sehingga mengurangi kekerasan yang terjadi pada anak-anak di lembaga sosial yang ada.


(19)

9 D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Terjadi Pada Anak Panti ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617 / Pid . Sus / 2014 / PN . TNG) belum pernah dilakukan dalam topik dan pembahasan yang sama. Penelitian terhadap judul skripsi ini juga telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, serta terbuka sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Azas pertanggungjawaban dalam hukum pidanaialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea). Azas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R 1961 Nederland, hal itu ditiadakan.12

Menurut Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.13

12

Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka, 2002 hlm.153

13


(20)

10

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.14

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai.

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.

Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya, pertanggungjawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.15

Pertanggungjawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggungjawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan Pasal 44 KUHP.

Diakses

Pada Tanggal 09 Februari 2015. Pukul 09.32WIB.

15

Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah,. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000, hal.175


(21)

11

Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwanya yang terganggu karena penyakit. Maka berdasarkan pasal tersebut kemampuan bertanggungjawab harus ada kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan ketentuan hukum karena tindakan tersebut menyangkut aspek moral dan kejiwaan.

2. Pengertian Panti Asuhan

Panti Asuhan atau Panti Sosial Asuhan Anak juga Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) ialah lembaga sosial dan memelihara anak-anak yatim, ya

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan panti asuhan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim piatu dan sebagainya.

Departemen Sosial Republik Indonesia menjelaskan bahwa:

“Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar dengan melakukan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan pelayanan pengganti fisik, mental, dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional.”16

Berdasarkan Kepmensos No.50/HUK/2004, Panti Sosial Asuhan Anak adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang kurang mampu, terlantar agar potensi dan kapasitas belajarnya pulih kembali dan dapat berkembang secara wajar.17

Menurut Musdalifah, definisi dari Panti Asuhan adalah: ”Panti asuhan dapat

16

Departemen Sosial Republik Indonesia. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta. 2007.

tanggal 2 Februari 2015. Pukul 1.04 WIB.


(22)

12

diartikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari. Panti asuhan dapat pula dikatakan atau berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orang tua; sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya”.18

3. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Pada Anak

Berdasarkan dari uraian pengertian di atas bahwa panti asuhan merupakan suatu lembaga kesejahteraan sosial dimana sebagai tempat untuk mendapatkan pengasuhan dan pelayanan pengganti dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan mental pada anak yang kurang mendapat pengasuhan dari kluarganya, sehingga mereka dapat mengembangkan diri dan mampu melaksanakan perannya sebagai individu yang sesuai dengan kepribadian dan harapan bangsa.

Bila ditinjau dari segi bahasa (Etimologi), maka kekerasan berasal dari kata dasar “keras” daan mendapat awalan “ke” dan kemudian mendapat akhiran “an”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata kekerasan mempunyai makna:

“Kekerasan menunjukkan kata sifat (hal dan sebagainya) keras pada suatu kegiatan, suatu kekerasan dapat diartikan sebagai perihal keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau

18

Musdalifah. Perkembangan Sosial Remaja dalam Kemandirian (Studi Kasus Hambatan Psikologis Dependensi Terhadap Orangtua). 2007. http : // www. linkpdf. com/ ebookviewer. php? url= http:// Jurnalinqro. files. wordpress. com/ 2008/ 08/ 05- ifah- 46- 56. pdf. Diakses Pada Tanggal 28 Februari 2015. Pukul 23.00 WIB.


(23)

13

matinya orang lain dan menyebabkan cidera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik orang lain.”19

“Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.”

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan. Hanya dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R.Soesilo dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa:

20

a. Pengrusakan terhadap barang.

Perlu diketahui bahwa melakukan kekerasan bukan hanya dilakukan terhadap orang saja tetapi penjelasan mengenai kekerasan juga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

b. Penganiayaan terhadap hewan atau orang .

c. Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah.

d. Membuang-buang barang hingga berserakan dan lain sebagainya.21 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa objek kekerasan bukan hanya pada orang tetapi juga pada benda atau hewan. Dari uraian dan pengertian diatas kejahatan kekerasan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum yang dapat memberi dampak negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran.22

19

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Sinar Global. 2009. Hal.343

20

Penjelasan Pasal 89 R.Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia. 1988. hal.98

21

Ibid.

22

Ray Pratama Siadari . Tindak Pidana Kekerasan dan Jenis-Jenisnya.

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/tindak-pidana-kekerasan-dan-jenis.html. Diakses Pada Tanggal 08 Februari 2015. Pukul 21.38 WIB.


(24)

14

Barker mendefinisikan kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.23

Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Articlefrom Encarta, mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah kekerasan anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.

Sedangkan, kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

24

4. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Sesuai dengan hal yang tercantum dalam konsideran Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, namun

23

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung: Nuansa, 2006, hal. 36

24


(25)

15

diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan nasional.25

Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No. 12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah dapat bekerja sendiri, cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus kekayaan sendiri.

Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

26

25

Unicef. Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta:PT Enka Parahiyangan. 2003. hal. 3.

26

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung : PT Refika Aditama, 2008, hal 31-32.


(26)

16

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menentukan batas usia dalam hal defenisi anak, maka akan terdapat berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya defenisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya :27

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

mendefenisikan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin .

(Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini telah dirubah menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana mendefenisikan anak telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun dan membedakan anak dalam 3 kategori yaitu:

a) Anak yang menjadi pelaku tindak pidana 28 b) Anak yang menjadi korban tindak pidana

, 29

c) Anak yanag menjadi saksi tindak pidana.

,dan 30

27

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013, hal 9-10

28

Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

29

Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak


(27)

17

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.

6. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan wajib belajar 9 (sembilan) tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

Berbagai macam defenisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut. Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka defenisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang telah di rubah menjadi Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak memberikan defenisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31

F. Metode Penulisan

Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto mempunyai peranan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengatakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.

30

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak

31


(28)

18

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan.32

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulisan skripsi ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.33

2. Data dan Sumber Data

32

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1988, hlm. 15.

33

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rajawali Pers, 2006, hlm. 118


(29)

19

Penulisan skripsi ini, menggunakan data skunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah ada dan berhubungan dengan skripsi ini yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini yaitu berupa Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana dan perundang-undangan lainnya

b. Bahan hukum skunder yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan eksistensi Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan yang diangkat dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder sperti Kamus Hukum dan Ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode Library research (Penelitian Kepustakaan) yakni dengan melakukan penelitian dari berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah-majalah, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini, yang merupakan data skunder. Adapun data skunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik


(30)

20

pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan.34

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisis Data

Tahap-tahap dari analisis data pada penelitian yuridis normatif adalah sebagai berikut:35

a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif.

b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum. c. Pembentukan standar-standar hukum. d. Perumusan kaidah-kaidah hukum.

Data skunder yang telah diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan lalu dianalisis dengan metode dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan

34

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rieneka Cipta, 1996, hlm.59

35

Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 30


(31)

21

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penulis dalam memudahkan penyusunan dan pemahaman skripsi ini, membuat suatu sistematika penulisan ini secara teratur dari berbagai hal dan bagian yang semuanya mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Sistematika penulisan tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-sub bab. Skripsi ini dirancang dengan tujuan agar terhindar dari kesimpangsiuran sehingga tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) antar satu hal dengan yang lain sehingga karenanya disusun secara sistematis dalam bentuk sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan

Merupakan kerangka yang terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Di dalam bab ini pada permasalahan, penulis memaparkan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana , panti asuhan, kekerasan, dan anak. Hal ini perlu karena sebagaimana biasanya pada bab inilah pertama kali kita jumpai gambaran umum tentang apa yang akan dibahas kemudian.

Bab II: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia


(32)

22

Bab ini membahas tentang tujuan dan fungsi panti asuhan, pelaksanaan pengasuhan dalam panti asuhan berupa syarat berdirinya panti asuhan, struktur organisasi dan fasilitas yang seharusnya terdapat dalam panti asuhan. Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan terhadap kekerasan pada anak, bab ini membahas pengaturan hukumnya berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Bab III: Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Pada Anak dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 1617/Pid.Sus/2014/PN.TNG

Dalam bab ini dibahas sehubungan dengan: prinsip-prinsip yang melandasi pertanggungjawaban pidana pemilik panti asuhan menurut Putusan Pengadilan Negeri No. 1617 / Pid.Sus / 2014 / PN .TNG dengan menggambarkan: kronologis kasus, tuntutan, fakta hukum dan putusan serta dilakukan analisis terhadap kasus berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Bab IV: Landasan Hakim dalam Memberikan Sanksi Pidana Kepada Pemilik Yayasan yang melakukan kekerasan


(33)

23

Bab ini membahas tentang landasan hakim dalam panjatuhan sanksi pidana kepada pemilik yayasan yang melakukan kekerasan baik dari segi yuridis dan non yuridis.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan rangkuman seluruh pembahasan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu kesimpulan dan sekaligus memuat saran-saran dari penulis yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan masyarakat maupun pemerintah serta penulis sendiri sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.


(34)

24 BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEKERASAN YANG DILAKUKAN PADA ANAK MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A.Panti Asuhan

1. Tujuan Panti Asuhan

Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia yaitu :36

1) Panti asuhan memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi pekerja sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat.

2) Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti asuhan adalah terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang hidupnya dan hidup keluarganya.

Sistem panti asuhan bertujuan memberikan santunan, bantuan dan pertolongan kepada anak yatim dilakukan dengan melayani kesejahteraan dan kebutuhan fisik, mental dan sosial.37

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa panti asuhan memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan, membimbing dan membina anak asuh

36

Departemen Sosial Republik Indonesia. 2007. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Anak. hlm.6.

37


(35)

25

agar menjadi manusia yang mandiri sehingga dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

2. Fungsi Panti Asuhan

Sistem panti asuhan masih tetap diperlukan dalam masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa organisasi dan yayasan dalam menyantuni, membantu dan menolong anak-anak yang hidup terlantar dimana faktor-faktor yang menyebabkannya adalah:38

1) Panti asuhan dapat menampung anak-anak yatim jauh lebih banyak daripada di rumah-rumah.

2) Kenyataan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang masih lemah, sehingga tidak banyak diantara mereka yang mampu memelihara anak-anak yatim di rumah mereka sendiri.

3) Pendidikan dan pembinaan anak-anak yang lebih mudah dilaksanakan dalam panti asuhan karena setiap hari berkumpul bersama.

4) Para donatur lebih mudah melihat secara langsung anak-anak yatim yang disantuni dan biayanya dalam panti.

5) Daya tampung anak-anak dalam panti asuhan bisa diperluas sehingga dapat menampung anak-anak yang lebih banyak lagi.

Panti asuhan berfungsi sebagai sarana pembinaan dan pengentasan anak terlantar. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, panti asuhan mempunyai fungsi sebagai berikut :39

1) Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak. Panti asuhan berfungsi sebagai pemulihan, perlindungan, pengembangan dan pencegahan.

2) Sebagai pusat data dan informasi serta konsultasi kesejahteraan sosial anak.

3) Panti asuhan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi keluarga dan masyarakat dalam perkembangan dan kepribadian anak-anak remaja, berfungsi sebagai pusat pengembangan keterampilan.

38

Ibid,. hal.33-34.

39


(36)

26

Dapat disimpulkan bahwa fungsi panti asuhan adalah memberikan pelayanan, informasi, konsultasi bagi pengembangan serta keterampilan untuk menciptakan kesejahteraan pada anak yang mana dapat berguna sebagai tempat untuk menampung anak-anak yatim.

3. Pelaksanaan Pengasuhan Panti Asuhan

Negara memikul tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa semua anak tanpa rumah dan kluarga dapat menerima perawatan alternatif seperti halnya mendirikan lembaga-lembaga atau panti-panti untuk mengasuh anak-anak yang kurang mendapat perlindungan dari keluarganya. Untuk itu, dalam lembaga atau panti tersebut seharusnya ada pola pelaksanaan pengasuhan yang menjadi suatu standarisasi pelaksanaan pengasuhan di dalam lembaga atau panti asuhan tersebut.

a. Syarat Berdirinya Panti Asuhan

Pada dasarnya pendirian Panti Asuhan harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan terbaik anak sehingga memberikan perlindungan dan pelayanan bagi anak. Standar Nasional Pengasuhan Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak menyatakan bahwa syarat pendirian panti/lembaga asuhan diantaranya adalah:40

1) Pendirian panti/lembaga asuhan harus secara formal memberitahukan kepada dan meminta kewenangan dari Dinas Sosial untuk memperoleh persetujuan dari komunitas lokal dimana panti akan dibangun.

2) Dinas Sosial Kabupaten/Kota harus mereview usulan pendirian panti/lembaga asuhan berdasarkan asesmen kebutuhan dengan tetap mengedepankan upaya untuk mencegah pemisahan anak dari keluarganya.

3) Review harus mencakup asesmen apakah organisasi sosial/Lembaga Kesejahteraan Sosial yang mengusulkan pendirian panti/lembaga asuhan memiliki kapasitas baik kelengkapan teknis, finansial, maupun sumber daya manusia untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar nasional, sebelum izin pendirian panti diberikan.

40

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 30/HUK/2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. hlm. 92.


(37)

27

4) Keberlanjutan kebutuhan dan ketepatan pelayanan yang disediakan oleh panti/lembaga asuhan harus direview secara reguler oleh Dinas Sosial sebagai bagian dari monitoring dan tanggung jawabnya untuk memberikan dan memperbarui ijin pemberian pelayanan

Mengenai perijinan untuk menyelenggarakan pelayanan sosial melalui panti/ lembaga asuhan juga diatur di dalam Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, diantaranya:41

1) Setiap organisasi sosial/lembaga kesejahteraan sosial yang akan menyelenggarakan pelayanan sosial untuk anak-anak secara langsung atau melalui panti/lembaga asuhan harus:

a) Terdaftar di Dinas Sosial sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial sesuai dengan UU 11 dan Peraturan Menteri Sosial No. 107/Huk/2009tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial serta Surat Edaran Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial, Kementerian Sosial bulan Agustus 2008 terkait sistem penomoran panti asuhan anak.

b) Mendapat izin operasional berdasarkan hasil asesmen oleh Dinas Sosial yang menunjukkan bahwa lembaga tersebut mampu menyelenggarakan pelayanan sosial kepada anak dan memenuhi standar sesuai dengan standar nasional Pengasuhan untuk Panti/Lembaga Asuhan dan Permensos No.107/Huk/2009 tentang Akreditasi lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial.

c) Menyediakan data tentang pelayanan dan penerima manfaat yang diperbarui setiap tahun untuk diinput kedalam database nasional tentang situasi anak dalam pengasuhan alternatif.

d) Terlibat dalam monitoring secara reguler yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Kementerian Sosial untuk menjamin bahwa pelayanan yang disediakan benar-benar merespon kebutuhan yang aktual serta sesuai dengan standar nasional, berbagai hukum, dan aturan yang berlaku.

2) Panti/lembaga asuhan hanya bisa beroperasi jika telah memiliki ijin operasional secara tertulis dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota yang harus diperbarui setiap lima tahun sekali berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Dinas Sosial.

b. Struktur Organisasi Panti Asuhan

Panti Asuhan dalam perannya membina dan membimbing anak-anak penghuni panti, sudah seharusnya memiliki beberapa orang pelaksana yang berkompeten dalam kepengurusan panti asuhan tersebut. Pelaksana dalam suatu

41


(38)

28

panti asuhan diharapkan dapat membawa anak-anak untuk mencapai hak-hak mereka sebagai anak, sehingga terpenuhi kebutuhan si anak. Selain itu pelaksana/pengelola pengasuhan anak juga diharapkan dapat berperan sebagai orang tua bagi anak asuhnya selama anak tinggal di panti asuhan.

Pelaksana panti/lembaga asuhan memiliki kompetensi yang memadai untuk memberikan pelayanan profesional kepada anak. Kompetensi yang harus dimiliki untuk masing-masing staf adalah sebagai berikut :42

1. Pengasuh

Panti asuhan harus menyediakan pengasuh yang bertanggung jawab terhadap setiap anak asuh dan melaksanakan tugas sebagai pengasuh serta tidak merangkap tugas lain untuk mengoptimalkan pengasuhan. Berdasarkan Standar Nasional Pengasuhan Untuk Panti Asuhan dan Lembaga Asuhan, pengasuh perlu memiliki beberapa hal, diantaranya:43

a) Pengetahuan tentang perkembangan anak, mengenali dan memahami tanda-tanda kekerasan dan solusinya, mendukung dan mendorong perilaku positif, berkomunikasi dan bekerja bersama anak baik secara individual maupun kelompok, mempromosikan dan memungkinkan anak untuk melakukan pilihan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupannya, melakukan pengawasan dalam bentuk positif terhadap perilaku anak, menghargai setiap martabat anak serta menyediakan kebutuhan fisik anak.

b) Pengalaman bekerja di bidang pelayanan anak, sehat jasmani (tidak memiliki penyakit menular) dan rohani (mental) serta mampu bekerja mendukung panti/lembaga asuhan.

c) Komitmen dan kemauan untuk mengasuh anak yang dinyatakan secara tertulis.

Peranan panti asuhan dalam menciptakan lingkungan yang menyerupai tempat tinggal bagi anak asuh , seharusnya dapat

42

Ibid,. hlm.104

43


(39)

29

mewujudkan suasana nyaman dan aman bagi anak. Panti asuhan diharapkan mampu menetapkan proporsi pengasuh yang seimbang layaknya orang tua bagi anak-anak asuh tersebut.

Berdasarkan asesmen terhadap kebutuhan anak akan pengasuhan dan perkembangan anak, panti asuhan perlu menyediakan minimal satu orang pengasuh untuk lima anak yang ditempatkan dalam sistem keluarga maupun wisma. Hal pertimbangan ini sebaiknya diperhitungkan melihat jumlah dari anak asuh yang ada dalam suatu panti asuhan.

2. Pekerja sosial

Pekerja Sosial Profesional merupakan lulusan dari sekolah pekerjaan sosial dan memiliki pengalaman bekerja pada setting pelayanan anak.

Permensos No. 108/Huk/2009 menyebutkan bahwa :

Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.44

44

Permensos No. 108/Huk/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Pekerja sosial sebaiknya memiliki kompetensi dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan bahkan pengalaman dalam melaksanakkan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.


(40)

30

Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut:45

a) Berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial;

b) Berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

c) Mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial dan perlindungan terhadap anak; dan

d) Lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial.

Pekerja Sosial memiliki kewajiban diantaranya yaitu:46

a) Bekerja sama dengan kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk mendampingi korban (Pasal 17 UU PKDRT).

b) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan ( Pasal 22 huruf b UU PKDRT). c) Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tingal alternatif

(Pasal 22 Huruf c UU PKDRT).

Yang dimaksud dengan “rumah aman” adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standart yang ditentukan.

Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif” adalah tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan/atau dijatuhkan dari pelaku.

3. Petugas keamanan

Petugas kemanan diharapkan memiliki komitmen dan kemampuan untuk melakukan pengamanan di lingkungan panti dan memahami tentang perlindungan anak. Pemahaman petugas keamanan terhadap

45

Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

46

Prayudi Guse, Berbagai Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pangkajene: Merkid Press.2011. hal. 124


(41)

31

perlindungan anak kiranya dapat menciptakan rasa aman pada setiap anak asuh dalam suatu panti asuhan.

4. Petugas kebersihan

Petugas kebersihan memiliki komitmen untuk membantu panti membersihkan lingkungan panti, sehingga tercipta panti asuhan yang layak untuk dihuni oleh anak-anak asuh yang mendiami panti asuhan tersebut.

5. Petugas masak

Petugas masak sebaiknya ada dalam jumlah yang memadai, yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam hal memasak, juga memahami standar dasar pemenuhan nutrisi dan prinsip higienis dalam menyiapkan makanan.

Terpenuhinya hal-hal yang disebutkan diatas, maka diharapkan dapat menciptakan keadaan yang sehat baik fisik dan mental pada setiap anak yang diasuh.

c. Fasilitas Panti Asuhan

Lembaga panti asuhan merupakan lembaga pengasuhan yang diproyeksikan untuk anak terlantar. Anak terlantar yang dimaksud dalam hal ini adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.47

47

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, hal 7.

Berdasarkan uraian diatas ketika seorang anak mendapatkan tempat pengasuhan untuk memenuhi kebutuhannya maka seharusnya pemerintah dalam hal ini membuat suatu standart pelaksanaan


(42)

32

pelayanan dalam lembaga panti asuhan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pengasuhan pada anak terlantar.

Berdasarkan Standart Nasional Pengasuhan Untuk Panti Asuhan Dan Lembaga Asuhan yang dimuat dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 30 / HUK/ 2011, diwajibkan bagi panti asuhan untuk menyediakan tempat tinggal yang memenuhi kebutuhan dan privasi bagi anak. Dalam hal ini dapat dipraktekkan sebagai berikut:

1) Menyediakan fasilitas yang lengkap, memadai, sehat, dan aman bagi anak untuk mendukung pelaksanaan pengasuhan .

2) Menyediakan ruangan untuk memenuhi kebutuhan dan aktivitas anak yang dapat digunakan bersama oleh anak panti seperti sarana olahraga, sarana untuk ibadah, sarana bermain, ruang makan, ruang kesenian, dsb sesuai dengan standart keselamatan dan keamanan. 3) Dibangun di tengah-tengah masyarakat sehingga anak dapat

mengakses berbagai fasilitas seperti sekolah, pusat pelayanan kesehatan, tempat rekreasi, perpustakaan umum dan tempat penyaluran hobi.

4) Menyediakan tempat tinggal dan ruang tidur yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, yang dilengkapi meja dan kursi belajar. 5) Ruangan yang terkait dengan privasi anak, misalnya kamar tidur,

kamar mandi, dan toilet harus dilengkapi pintu yang dapat dikunci agar keamanan anak terjaga.

6) Menyediakan tempat tinggal untuk pengasuh agar pengasuh bisa memantau aktivitas anak sepanjang hari termasuk di malam hari.


(43)

33

7) Menyediakan kamar tidur dengan ukuran 9 m2 untuk 2 anak, yang dilengkapi lemari untuk menyimpan barang pribadi anak.

8) Setiap anak memiliki tempat tidur sendiri yang dilengkapi dengan seprei, kasur, bantal dan selimut.

9) Kamar tidur memliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup baik di siang maupun malam hari, serta memiliki pintu dan jendela yang terkunci.

10) Di dalam kamar anak tidak terdapat barang yang membahayakan anak, misalnya kompor.

11) Menyediakan perlengkapan kebersihan seperti sapu, pembersih debu (lap, kemoceng) di setiap kamar.

12) Dekorasi kamar anak disesuaikan dengan selera dan perkembangan anak, termasuk ketersediaan cermin.

13) Kamar mandi dalam keadaan bersih, dan dilengkapi sarana kebersihan seperti sikat kamar mandi, sabun pembersih lantai, dan pewangi ruangan, memiliki pencahayaan yang cukup baik pada siang maupun malam hari, memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara, dan lantainya tidak licin.

Rasio penyediaan kamar mandi tidak lebih dari 1 kamar mandi : 5 anak dengan persediaan air bersih yang cukup untuk memenuhi mandi dan cuci.

14) Ruang makan memungkinkan anak untuk berkomunikasi selama makan, baik antar anak maupun dengan pengasuh.


(44)

34

15) Menyediakan ruang makan yang tidak terpisah dengan bangunan tempat tinggal anak, sehingga anak dapat mudah mengakses ruang tersebut dengan aman bahkan di malam hari dan saat hari hujan

Setiap anak dapat menggunakan perlengkapan makan seperti piring, sendok, garpu dan gelas.

16) Menyediakan perlengkapan dapur/masak yang memadai dan bersih serta aman untuk digunakan kepentingan anak.

17) Menyediakan tempat beribadah yang dilengkapi dengan prasarana untuk kegiatan ibadah anak

18) Menyediakan ruang kesehatan yang memberikan pelayanan reguler yang dilengkapi petugas medis, perlengkapan medis dan obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan penyakit anak.

19) Menyediakan ruang belajar dan perpustakaan dengan pencahayaan yang cukup baik siang maupun malam hari serta memiliki ventilasi untuk sirkulasi udara, dilengkapi dengan meja dan kursi yang dapat digunakan (tidak rusak) yang bisa dijangkau oleh anak.

20) Menyediakan buku-buku di perpustakaan yang bisa mendukung pendidikan formal anak dan hobi anak membaca, juga menyediakan buku-buku pengetahuan termasuk bacaan populer (seperti buku ilmiah populer, kisah para tokoh besar, novel remaja religius, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, bahaya narkoba dan HIV/AIDS yang sesuai dengan usia anak, dan menyediakan koran yang setiap hari bisa dibaca anak.


(45)

35

21) Menyediakan ruang bermain, olah raga dan kesenian yang dilengkapi peralatan yang sesuai dengan minat dan bakat anak

22) Menyediakan ruangan yang dapat digunakan oleh anak maupun keluarganya untuk berkonsultasi secara pribadi dengan pekerja sosial atau pengurus panti atau digunakan sebagai ruang pribadi anak ketika anak ingin menyendiri

23) Menyediakan ruang tamu yang bersih, rapi, dan nyaman bagi teman atau keluarga anak yang akan berkunjung dengan mengakomodasikan kegiatan pengisian buku tamu bagi yang datang berkunjung.

B.Pengaturan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak

1. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Pada prinsipnya penyelanggaraan perlindungan anak harus mampu menjamin terwujudnya penyelengaraan hak-hak untuk mendapatkan perlindungannya. Dalam hal ini difokuskan pada kasus anak sebagai korban kekerasan untuk berhak mendapatkan perlindungan, yang mana Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam satu bab yang baru dibentuk yaitu mengenai larangan seperti diatur dalam Bab XI A Pasal 76 A s/d Pasal 76 J,yaitu sebagai berikut:


(46)

36

a) memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;48

b) memperlakukan anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif;49 c) menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak

dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran;50

d) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak;51

e) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;52

f) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul;53

g) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak;54

h) menghalang-halangi anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan budaya;55

48

Pasal 76 A point (1) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

49

Pasal 76 A point (2) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

50

Pasal 76 B Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

51

Pasal 76 CUndang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

52

Pasal 76 D Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

53

Pasal 76 E Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

54

Pasal 76 FUndang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

55


(47)

37

i) merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau yang lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa;56

j) menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak;57

k) dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika58

l) dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.

; dan

59

Selain dari bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti yang dijabarkan diatas, untuk mengefektifkan berlakunya Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pembentuk Undang-undang juga melengkapi dengan ketentuan pidana terhadap seseorang yang melakukan kekerasan pada anak. Ketentuan pidana dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 dapat dikutipkan sebagai berikut:

a) Pasal 77 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). b) Pasal 77 point A Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

56

Pasal 76 H Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

57

Pasal 76 I Undang-ndang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

58

Pasal 76 J point (1) Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

59


(48)

38

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 A dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). c) Pasal 77 point B Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan yangterdapat dalam Pasal 76 B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah).

d) Pasal 80 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.- ( tujuh puluh dua juta rupiah).

Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , ayat 2 dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.


(49)

39

Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

Ketentuan ini berlaku juga bila pelaku menggunakan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukkan persetubuhan dengannya atau orang lain.

Tindak pidana yang dimaksud ayat 1 dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana yang terdapat dalam ayat 1.

f) Pasal 82 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,-(lima miliar rupiah).

Dalam hal yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

g) Pasal 83 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 F dipidana dengan pidana tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45


(50)

40

A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah)

h) Pasal 84 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain,dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah).

i) Pasal 85 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan melakukan pengambilan organ tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak atau penelitian kesehatan dengan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyk Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).

j) Pasal 86 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga anak tersebut belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang


(51)

41

dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). k) Pasal 86 point A Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar Pasal 76 G dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

l) Pasal 87 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar Pasal 76 H dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

m) Pasal 88 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar Pasal 76 I dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

n) Pasal 89 Undang-undang No.35 Tahun 2014 menentukan:

Setiap orang yang melanggar Pasal 76 J ayat (1) dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76J ayat (2) dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah).


(52)

42

o) Tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 77 s/d Pasal 89 apabila dilakukan oleh korporasi penjatuhan pidana dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya. Pidana korporasi hanya pidana denda dengan ditambah 1/3.

Meskipun rumusan diatas tidak memberikan suatu perincian yang konkrit dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan dan pencabulan yang terjadi pada anak, namun pasal-pasal diatas sudah menjelaskan mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut dan tidak dapat memberikan secara pasti dan jelas mengenai hal apa saja yang dikategorikan dalam tindak pidana kekerasan dan pencabulan yang terjadi pada anak.

Oleh karena itu definisi mengenai kekerasan dan pencabulan dapat dirujuk dengan mellihat Penjelasan Pasal 289 KUH Pidana dimana defenisi Perbuatan cabul adalah segala macam wujud perbuatan baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun yang dilakukan pada orang lain mengenai berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu. Misalnya, mengelus-elus, memegang buah dada, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan yang terjadi pada anak adalah perbuatan yang tidak layak, mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, maupun mental pada diri si anak.

Pasal 13 Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:60

a) Diskriminasi

60


(53)

43

Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mental.

b) Ekspliotasi baik ekonomi maupun seksual

Misalnya, tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.

c) Penelantaran

Misalnya, tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

d) Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan

Misalnya tindakan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan misalnya perbuatan melukai tidak secara fisik saja tetapi juga mental.

e) Ketidakadilan

Misalnya tindakan keberpihakan antara anakyang satu terhadap anak yang lainnya.

f) Perlakuan salah lainnya

Misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh pada anak. KUH Pidana Indonesia mengenal istilah “kekerasan” yang merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan kekuatan jasmaninya. Kekerasan yang dimaksud penulis adalah kekerasan yang dilakukan seseorang dengan memaksa seorang anak asuhnya yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengannya. Kejahatan pencabulan dimasukkan dalam klasifikasi


(1)

90

kepada anak-anak di panti asuhanya bukan melakukan tindak kekerasan sperti yang telah ia lakukan.

4. Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

Terdakwa ialah seorang beragama Kristen Protestant dimana dalam ajaran agama Kristen diajarkan untuk hidup dalam kasih.

Dalam 1 Korintus 13:4-5 menyebutkan bahwa:

(4) Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.

(5) ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain

Jika melihat ayat diatas, seharusnya Terdakwa jelas tahu dan sadar bahwa ia telah melakukan hal yang salah apalagi didukung dengan pekerjaan Terdakwa Chemy yaitu sebagai seorang pendeta. Seharusnya Terdakwa dapat memberikan contoh yang baik dan bukan malah menjadi pelaku tindak pidana dalam kasus ini.


(2)

91 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan masyarakat. Pada prinsipnya setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tuanya lah yang paling bertanggungjawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun tak jarang anak yang seharusnya dijamin perlindungannya diayomi, didik dan dihormati justru memperoleh perlakuan yang tidak sepantasnya diterima oleh mereka, dimana perlakuan itu dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya terganggu. Oleh karena itu, ketika anak menerima tindakan kekerasan perlu diberikan perlindungan hukum dimana kepada pelaku kekerasan dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pengaturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dilihat berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


(3)

92

2. Bahwa dalam perkara No. 1617/Pid.Sus//2014/PN.TNG, hakim menjatuhkan pidana berupa hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dipotong masa tahanan yang dijalani terdakwa dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan denda yang tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan 5 (lima) bulan. Dengan pertimbangan bahwa terdakwa telah terbukti menurut hukum melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

3. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan non yuridis. Pertimbangan yuridis berupa dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tuntutan pidana, keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti dan pasal-pasal yang terkait dalam tindak pidana tersebu. Sedangkan, pertimbangan non yuridis berupa latar belakang, akibat yang ditimbulkan, kondisi terdakwa dan agamanya.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang penulis paparkan dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya pengawasan ketat dari pemerintah dalam proses pendirian dan pengelolaan panti asuhan, salah satunya dengan membentuk suatu standarisasi yang sama disetiap panti asuhan di Indonesia, sehingga kecil kemungkinan bagi anak-anak yang kurang mendapat pengasuhan untuk memperoleh hak dan kewajibannya.


(4)

93

2. Perlu adanya kepekaan hakim dalam memperhatikan rasa kepastian, keadilan dan kegunaan bagi masyarakat untuk memperoleh hasil putusan yang dapat diterima dan baik menurut semua kalangan masyarakat.

3. Perlu adanya pertimbangan hakim yang tegas dan relevan dalam membuat suatu putusan dengan tujuan pemidanaan yang memberikan rasa aman bagi masyarakat dan dampak positif bagi pelaku kejahatan agar tidak mengulanginya kembali dengan cara memberikan pengawasan dan peninjauan psikologinya.


(5)

94

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Rajawali Pers. 2006.

__________________________. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. 2004.

Ansori Sabuan, dkk. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa. 1990. hlm. 182

Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rieneka Cipta. 1996. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Jakarta: Sinar Global. 2009.

Departemen Sosial Republik Indonesia. Panduan Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta. 2007.

Djamil, M Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta:Sinar Grafika. 2013. Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung:PT Refika

Aditama. 2008.

Guse, Prayudi. Berbagai Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Merkid Press. 2012.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung:CV. Pustaka Setia. 2000.

Hamzah , Andi Jur. Hukum Acara Pidana Edisi Kedua. Jakarta:Sinar Grafika. 2010.

_______________. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa. 2006.

Kamus Hukum. Bandung: Citra Umbara. 2008,

Makarao, Mohammad Taufik, dkk,. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Rineka Cipta, 2013,

Maramis Frans, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis Di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013,

Moeljatno. Asas – Asas Hukum Pidana. Jakarta:Rineka. 2002. Muhsin. Mari Mencintai Anak Yatim. Jakarta:Gema Insani. 2003.


(6)

95

Nicolas Simanjuntak. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia. 2009.

Prinst., Darwan. Hukum Anak Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti. 2003. Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Soekanto, Soerjono. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:UI Press. 1988.

Sofian, Ahmad. Perlindungan Anak Di Indonesia. Jakarta:PT.Soft Media, 2012.

T.Suhaimi. Pertanggungjawaban Pidana Direksi. Cetakan Pertama. Bandung: Books Terrace & Library

Tolib, Setiady. Pokok - Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung:Alfabeta. 2010.

Unicef. Pengertian Konvensi Hak Anak. Jakarta:PT Enka Parahiyangan. 2003.

Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak. Bandung:Mandar Maju. 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah. Permensos No. 108/Huk/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial

Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 30/HUK/2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak.

UUD 45 Yang Sudah Diamandemen Dengan Penjelasannya, Jakarta: Nidya Pustaka, 2007.

UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

9 137 105

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 114 211

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

0 0 27

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Panti Asuhan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Pada Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klas I.A Khusus Tangerang No. 1617/Pid.Sus/2014/Pn.Tng)

0 0 23

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90