Seleksi in vitro planlet lili Oriental cv. Frutty Pink FP

Gambar 6.1 Bahan tanaman yang digunakan dalam uji kandungan saponin lili. Metode analisis saponin menggunakan TLC Thin Layer Chromatography Scanner pada panjang gelombang 301 nm. Metode TLC terdiri atas dua fase yaitu fase diam menggunakan Al silica dan fase gerak menggunakan etanol. Tahap pengujian meliputi pengeringan sampel akar dan umbi lili hingga ± 0.1 gram berat kering, pengujian pada fase diam dan gerak serta pengukuran kandungan saponin dengan TLC. Hasil dan Pembahasan Pengujian saponin pada planlet lili menggunakan metode TLC scanner dengan menggunakan bagian umbi dan akar lili menunjukkan bahwa lili Oriental cv. Frutty Pink tanpa iradiasi memiliki kandungan saponin lebih rendah dibandingkan lili hasil iradiasi Gambar 6.2. Kandungan saponin meningkat sekitar 0.22. Gambar 6.2. Kandungan saponin lili Oriental cv. FP dengan menggunakan TLC scanner. Demikian juga pada lili Asiatik cv. Purple Maroon tanpa induksi mutagen kimia EMS memiliki kadar saponin lebih rendah daripada lili hasil induksi dengan EMS Gambar 6.3. Kandungan saponin meningkat ± 0.02. Gambar 6.3. Kadar saponin lili Asiatik cv.PM dengan menggunakan TLC scanner. Hasil ini mengindikasikan bahwa iradiasi dan induksi mutasi dengan EMS berpengaruh terhadap gen yang berkaitan dengan produksi saponin pada lili. Peningkatan kandungan saponin lili dengan induksi sinar Gamma lebih banyak dibandingkan dengan induksi EMS. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya 0.89 1.11 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 FP tanpa iradiasi FP iradiasi Ka n d ung a n sa po ni n 0.79 0.81 0.78 0.785 0.79 0.795 0.8 0.805 0.81 0.815 PM tanpa EMS PM dengan EMS Ka n d ung a n sa po ni n bahwa perubahan maupun kerusakan akibat iradiasi sinar Gamma lebih tinggi dibandingkan dengan mutagen kimia IAEA 1977. Penelitian Liu et al. 2011 menyatakan bahwa kandungan saponin pada sisik umbi lili Oriental cv. Cai 74 berkorelasi dengan ketahanan terhadap Fusarium oxysporum. Berdasarkan kandungan saponin yang dimiliki lili Oriental cv. Frutty Pink dan lili Asiatik cv. Purple Maroon Gambar 6.2 dan 6.3 dan apabila dihubungkan dengan ketahanan terhadap Fusarium maka diketahui bahwa lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tahan terhadap Fusarium dibandingkan dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Ketahanan lili terhadap Fusarium diduga berkaitan dengan kandungan saponin yang terdiri atas spirostanol dan furostanol yang bersifat racun Mimaki et al. 1998 dan kemampuan saponin dalam penghambatan siklus AMP phosphodiesterase Mimaki et al. 1993. Simpulan 1. Induksi mutasi berpengaruh terhadap gen yang berkaitan dengan produksi saponin, sehingga terjadi peningkatkan kandungan saponin. Saponin pada lili hasil induksi mutasi lebih tinggi bandingkan dengan lili tanpa induksi mutasi. 2. Kandungan saponin lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tinggi daripada lili Asiatik cv.Purple Maroon. 7 DETEKSI KERAGAMAN IN VITRO PLANLET LILI Lilium, L HASIL MUTASI DENGAN ISOZIM Abstrak Keragaman genetik tanaman hasil mutasi dapat dibedakan menggunakan penanda isozim. Tujuan penelitian ini ialah mendapatkan hasil analisis yang polimorfik planlet hasil induksi mutasi dengan menggunakan isozim. Penelitian menggunakan 4 macam enzim yaitu AAT Aspartate aminotransferase, ACP Acid phosphatase, EST Esterase dan PRX Peroxidase. Bahan yang dianalisis berupa daun planlet lili cv. Sorbon hasil iradiasi sinar Gamma, daun planlet lili cv. Purple MaroonPM dan Frutty PinkFP hasil mutasi induksi mutagen kimia EMS. Hasil analisis isozim menunjukkan bahwa keempat enzim yang digunakan menghasilkan pola pita yang polimorfik. Enzim AAT menghasilkan satu pola pita untuk lili cv.PM dan FP, serta 4 pola pita untuk lili cv.Sorbon. Enzim ACP menghasilkan 2 polapita untuk lili cv.PM, 4 pola pita lili cv. Sorbon serta 3 pola pita lili cv.FP. Hasil dengan enzim EST, diperoleh 3 pola pita dengan pola yang berbeda pada lili cv. PM, Sorbon dan FP. Enzim PRX menghasilkan 4 pola pita yang berbeda pada lili cv.PM, Sorbon dan FP. Kata kunci : Isozim, AAT, ACP, EST , PRX. Abstract Genetic variability were distinguished by isozyme. The objective of this study was to obtain polymorphism of lily planlet which it induced by mutation using isozyme. This study used four enzymes, there were AAT Aspartate aminotransferase, ACP Acid phosphatase, EST Esterase and PRX Peroxidase. Leaves of lily plantlets cv. Sorbon, Frutty Pink FP and Purple Marron PM were used as materials. All of lily cultivars were induced by mutagent. Polymorphism were obtained from four enzymes. AAT enzyme produced 1 polymorphic band for lily cv. PM and FP, 4 polymorphic bands for lily cv. Sorbon. ACP enzyme was produced 2 polymorphic bands for lily cv. PM, 4 polimorphic bands for lily cv. Sorbon and 3 polymorphic bands for lily cv. FP. The different polymorphic bands were achieved by EST enzyme for lily cv. PM, Sorbon and FP, each cultivar had 3 polymorphic bands. PRX enzyme showed 4 polymorphic bands for lily cv. PM, Sorbon and FP. Key words : Isozyme, AAT, ACP, EST, PRX. Pendahuluan Keragaman genetik suatu populasi atau sifat- sifat tertentu tanaman dapat diamati secara morfologi maupu n secara molekuler. Polimorfisme sifat morfologi tanaman antara lain warna bunga, warna biji, bentuk biji, bentuk daun, warna daun dan karakter lain yang secara visual mudah dilihat. Penanda morfologi ini memiliki keterbatasan yaitu dipengaruhi lingkungan. Pada tanaman tahunan, penanda morfologi juga kurang menguntungkan karena sifat morfologi seperti bunga, buah dan biji baru dapat diamati setelah tanaman berbunga dan berbuah yang memerlukan waktu cukup lama. Salah satu penanda lain yang dapat digunakan untuk membedakan adanya keragaman ialah isozim atau isoenzim Hartana 2003. Isozim merupakan enzim- enzim yang mempunyai molekul kimia yang berbeda, namun mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Polimorfisme isozim berupa molekul- molekul protein berbeda, fenotipenya ditunjukkan dalam bentuk pita- pita dan pola pita yang berbeda. Polimorfisme ini diperoleh melalui gel elektroforesis dengan pewarnaan dengan pewarna specifik untuk setiap enzim. Kegunaan isozim antara lain 1 untuk mengetahui keragaman genetik didalam maupun antar populasi tanaman, 2 penanda hasil persilangan atau mutasi, 3 penanda sifat ketahanan atau kerentanan tanaman terhadap penyakit dalam program seleksi Hartana 2003. Analisis isozim ini juga digunakan untuk membedakan keragaman hasil hibridisasi interspecifik antara Lilium nobilissimum dan L.regale dengan menggunakan enzim esterase EST, acid phosphatase ACP, glucose 6-phosphate dehydrogenase G6-PDH, malate dehydrogenase MDH, dan peroxidase PRX Obata et al. 2000. Bahan dan Metode Analisis keragaman planlet lili hasil mutasi induksi dilakukan di laboratorium Biologi Pusat Studi Ilmu Hayati IPB Bogor pada bulan November 2012. Analisis isozim dilakukan dengan 4 macam enzim yaitu AAT Aspartate aminotransferase, ACP Acid phosphatase, EST Esterase dan PRX Peroxidase. Bahan yang digunakan ialah daun planlet lili hasil mutasi induksi yang terdiri atas 3 varietas lili yaitu lili oriental cv. Frutty Pink, Sorbon dan lili asiatik cv. Purple Maroon. Bahan untuk analisis isozim diantaranya buffer elektroda, buffer gel, pewarna serta pati untuk elekroforesis. Alat yang digunakan meliputi cawan petri dan penumbuknya, alat elektroforesis, gel mold tray, pemotong gel dan bak pewarnaan serta kamera. Tahapan analisis isozim terdiri pengambilan sampel tanaman, pembuatan buffer pengestrak, pembuatan buffer gel dan elektrode, pembuatan gel pati, ekstrasi enzim, elektroforesis, pembuatan larutan pewarna, pencucian dan fiksasi serta dokumentasi dan interpretasi pola pita. Metode analisis berdasarkan metode “Soltis dan Soltis” 1989. Hasil dan Pembahasan Planlet lili hasil mutasi induksi dengan EMS Ethylmethanosulfonate dan irradiasi sinar Gamma menunjukkan hasil yang beragam. Keragaman ini ditunjukkan dengan polimorfisme pola pita hasil analisis isozim dengan menggunakan 4 macam enzim yaitu AAT Gambar 7.1, ACP Gambar 7.2, EST Gambar 7.3 dan PRX Gambar 7.4. Gambar 7.1 menunjukkan bahwa planlet lili asiatik cv. Purple Maroon memiliki 1 pola pita. Planlet lili kontrol dengan planlet lili yang diinduksi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.5 mll tidak menunjukkan adanya pola pita yang polimorfik, namun polimorfik pada planlet lili yang diinduksi EMS 0.4 mll. Planlet kontrol dan hasil mutasi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3, 0.5 mll tidak menghasilkan pola pita dengan enzim AAT, namun planlet hasil mutasi EMS dengan 0.4 mll menghasilkan 1 pola pita. Hasil ini menunjukkan bahwa planlet yang diinduksi EMS 0.4 mll berbeda dan terdapat polimosfisme pada analisis isozim menggunakan enzim AAT . Hasil analisis isozim planlet lili oriental cv. Frutty Pink menggunakan enzim AAT menghasilkan 1 pola pita. Planlet lili yang tidak diinduksi dengan EMS menghasilkan 2 pita, sedangkan planlet hasil induksi EMS tidak menghasilkan pita Gambar 7.1. Hasil ini menunjukkan adanya keragaman antara planlet lili yang diinduksi EMS dengan planlet lili yang tidak diinduksi EMS. Perbedaan konsentrasi EMS pada kalus lili Oriental cv. Frutty Pink tidak berpengaruh dalam menginduksi keragaman. Analisis isozim dengan enzim AAT pada planlet lili Oriental cv. Sorbon hasil induksi sinar Gamma menunjukkan adanya keragaman dan menghasilkan 4 pola pita. Pola pita 1 terdiri atas 2 pita, pola pita 2 terdiri 1 pita, pola pita 3 terdapat 4 pita serta pola pita 4 terdiri 1 pita Gambar 7.1. Dosis irradiasi 30 Gray dan 50 Gray menghasilkan pola pita yang sama. Perlakuan dosis tersebut memiliki pola pita yang berbeda dengan perlakuan dosis irradiasi 10 Gray, 20 Gray dan planlet yang tidak diiradiasi. Hasil ini menunjukkan bahwa keragaman dapat ditingkatkan melalui iradiasi sinar Gamma. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi AAT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Gambar 7.1 Profil pola pita planlet lili hasil induksi mutasi dengan analisis isozim menggunakan enzim AAT. Keterangan: 1.PM- Kontrol 8.SB-Kontrol 15.FP-Kontrol 2.PM- EMS 0.1 mll 9.SB-10 Gy 16.FP-EMS 0.1 mll 3.PM-EMS 0.2 mll 10.SB-20 Gy 17.FP-EMS 0.2 mll 4.PM-EMS 0.3 mll 11.SB-30 Gy 18.FP-EMS 0.3 mll 5.PM-EMS 0.4 mll 12.SB-40 Gy 19.FP-EMS 0.4 mll 6.PM-EMS 0.5 mll 13.SB-50 Gy 20.FP-EMS 0.5 mll 7.PM-10 Gy 14.FP-10 Gy Analisis isozim dengan enzim ACP menunjukkan adanya polimorfisme pada lili yang diinduksi mutasi baik dengan EMS maupun iradiasi sinar Gamma Gambar 7.2. Polimorfisme hasil analisis isozim dengan enzim ACP planlet lili asiatik cv. Purple Maroon menghasilkan 2 pola pita, yaitu pola pita 1 dengan 1 pita dan pola pita kedua dengan 3 pita Gambar 7.2. Planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon yang dinduksi mutasi dengan EMS 0.5 mll berbeda dengan planlet yang dinduksi dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.4 mll. Planlet lili dengan induksi EMS 0.5 mll memiliki 3 pita yaitu pola pita kedua, sedangkan planlet dengan EMS 0.1, 0.2, 0.3 dan 0.4 mll menghasilkan 1 pita yaitu pola pita pertama. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi ACP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Gambar 7.2 Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim ACP. Keterangan: 1.PM- Kontrol 8.SB-Kontrol 15.FP-Kontrol 2.PM-EMS 0.1 mll 9.SB-10 Gy 16.FP-EMS 0.1 mll 3.PM-EMS 0.2 mll 10.SB-20 Gy 17.FP-EMS 0.2 mll 4.PM-EMS 0.3 mli 11.SB-30 Gy 18.FP-EMS 0.3 mll 5.PM-EMS 0.4 mll 12.SB-40 Gy 19.FP-EMS 0.4 mll 6.PM-EMS 0.5 mll 13.SB-50 Gy 20.FP-EMS 0.5 mll 7.PM-10 Gy 14.FP-10 Gy Planlet lili oriental cv. Frutty Pink yang diinduksi dengan EMS menghasilkan keragaman. Keragaman ini ditunjukkan dengan adanya polimorfisme pada hasil analisis isozim dengan enzim ACP. Hasil analisis menunjukkan adanya 4 pola pita Gambar 7.2. Pola pita 1 terdapat 1 pita, pola pita 2 terdapat 2 pita, pola pita 3 terdiri 1 pola pita dan pola pita 4 tidak menghasilkan pita. Planlet yang tidak diinduksi mutasi berbeda dengan perlakuan mutasi induksi EMS, dengan menghasilkan 1 pita yaitu pola pita pertama. Planlet yang diinduksi EMS 0.1 mll menghasilkan 2 pita yaitu pola pita kedua, planlet yang diinduksi EMS 0.2, 0.4 dan 0.5 mll tidak menghasilkan pola pita pola pita 4 sedangkan planlet dengan induksi EMS 0.3 mll menghasilkan 1 pita yaitu pola pita ketiga. Planlet lili oriental cv. Sorbon hasil mutasi induksi dengan sinar Gamma menunjukkan keragaman berdasarkan analisis isozim dengan enzim ACP dengan 5 pola pita Gambar 7.2. Pola pita pertama pada planlet yang tidak diiradiasi tidak menghasilkan pita, sedangkan planlet yang diiradiasi dengan 10 Gray menghasilkan 1 pita yaitu pola pita kedua, hasil irradiasi 20 Gray menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga. Planlet hasil mutasi induksi dengan irradiasi sinar Gamma 30 Gray menghasilkan 4 pita yaitu pola pita keempat serta hasil induksi 40 gray sama dengan 50 Gray dengan menghasilkan 3 pita yaitu pola pita kelima. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya Obata et al. 2000 bahwa enzim ACP yang digunakan dalam analisis isozim pada Lilium nobilissimum dan L. regale tidak menghasilkan zymogram yang jelas. Analisis isozim planlet lili hasil induksi mutasi menggunakan enzim EST menghasilkan pola pita yang polimorfik Gambar 7.3. Planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon menghasilkan 3 pola pita yaitu pola 1 terdiri atas 2 pita, pola pita 2 dengan 1 pita, pola pita 3 dengan 2 pita dan planlet yang tidak diinduksi mutasi tidak menghasilkan pita Gambar 7.3. Planlet lili yang berasal dari kalus dengan induksi dengan EMS 0.1 dan 0.3 mll, menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu pola pita pertama. Perlakuan EMS 0.2 dan 0.4 mll menghasilkan jumlah pita 1 yaitu pola pita kedua, sedangkan planlet lili hasil induksi EMS 0.5 mll menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan EMS dapat meningkatkan keragaman, yang dibuktikan dengan adanya perbedaan jumlah pita dan pola pitanya. Hasil analisis isozim pada planlet lili oriental cv. Frutty Pink menunjukkan hasil yang polimorfik dengan menghasilkan 3 pola pita Gambar 7.3. Pola pita 1 terdiri atas 1 pita, pola pita 2 dengan 2 pita dan pola pita 3 dengan 2 pita. Perlakuan mutasi induksi dengan EMS 0.2, 0.3, 0.4 mll dan planlet tanpa induksi EMS menghasilkan pola pita yang sama yaitu pola pita pertama. Perlakuan mutasi induksi dengan EMS 0.1 mll menghasilkan 2 pita yaitu pola pita kedua, serta EMS 0.5 mll menghasilkan 2 pita yaitu pola pita ketiga Gambar 7.3. Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim EST . Keterangan: 1.PM- Kontrol 8.SB-Kontrol 15.FP-Kontrol 2.PM-EMS 0.1 mll 9.SB-10 Gy 16.FP-EMS 0.1 mll 3.PM-EMS 0.2 mll 10.SB-20 Gy 17.FP-EMS 0.2 mll 4.PM-EMS 0.3 mll 11.SB-30 Gy 18.FP-EMS 0.3 mll 5.PM-EMS 0.4 mll 12.SB-40 Gy 19.FP-EMS 0.4 mll 6.PM-EMS 0.5 mll 13.SB-50 Gy 20.FP-EMS 0.5 mll 7.PM-10 Gy 14.FP-10 Gy Polimorfisme juga diperoleh pada planlet lili Oriental cv.”Sorbon” hasil induksi mutasi dengan sinar Gamma Gambar 7.3. Polimorfik ditunjukkan dengan adanya 3 pola pita, yaitu pola pita 1 dengan 1 pita pada planlet yang tidak diiradiasi, planlet hasil iradiasi 40 Gy dan 50 Gy. Planlet hasil iradiasi sinar Gamma 10 Gy menghasilkan 2 pita pada pola pita kedua serta planlet dengan irradiasi 20 Gy dan 30 gy menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 2 pita pada pola pita ketiga. Hasil ini sejalan dengan penelitian Obata et al. 2000 bahwa dengan enzim EST menunjukkan zymogram yang cukup jelas berbeda dan tanaman hibrid mempunyai pita yang dimiliki kedua tetuanya Lilium nobilissimum dan L.regale. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi Induksi EST 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Gambar 7.4. Profil pola pita planlet lili hasil mutasi induksi dengan analisis isozim menggunakan enzim PRX. Keterangan: 1.PM- Kontrol 8.SB-Kontrol 15.FP-Kontrol 2.PM-EMS 0.1 mll 9.SB-10 Gy 16.FP-EMS 0.1 mll 3.PM-EMS 0.2 mll 10.SB-20 Gy 17.FP-EMS 0.2 mll 4.PM-EMS 0.3 mll 11.SB-30 Gy 18.FP-EMS 0.3 mll 5.PM-EMS 0.4 mll 12.SB-40 Gy 19.FP-EMS 0.4 mll 6.PM-EMS 0.5 ml 13.SB-50 Gy 20.FP-EMS 0.5 mll 7.PM-10 Gy 14.FP-10 Gy Analisis isozim dengan enzim PRX pada planlet lili Asiatik cv. Purple Maroon induksi EMS menunjukkan hasil yang polimorfik dengan 3 pola pita Gambar 7.4 . Pola pita pertama terdiri atas 2 pita pada planlet yang tidak diinduksi dengan EMS dan planlet yang diinduksi dengan EMS 0.1mll. Planlet dengan induksi EMS 0.2, 0.3 dan 0.4 mll menunjukkan pola pita yang sama yaitu pola pita kedua dengan 2 pita sedangkan induksi EMS 0.5 mll menghasilkan 1 pita pada pola pita ketiga. Analisis isozim dengan menggunakan enzim PRX pada planlet lili oriental cv Frutty Pink yang diinduksi dengan EMS menunjukkan hasil yang polimorfik Gambar 7.4. Jumlah pola pita yang dihasilkan ada 3 pola yaitu pola pita pertama dengan 2 pita, pada planlet yang tidak diinduksi EMS dan planlet yang diinduksi EMS 0.1, 0.4 dan 0.5 mll. Pola pita kedua dengan 3 pita pada planlet lili dengan induksi EMS 0.2 mll. Pola pita ketiga dengan 4 pita diperoleh pada planlet dengan induksi EMS 0.3 mll. Hasil analisis isozim planlet lili oriental cv. Sorbon dengan enzim PRX menunjukkan pola pita yang polimorfik Gambar 7.4. Enzim PRX menghasilkan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Pola Pita Planlet Lili Hasil Mutasi induksi PRX 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 3 pola pita. Pola pita pertama terdiri atas 2 pita pada planlet yang tidak diiradiasi, irradiasi 20 dan 30 Gy. Pola pita kedua terdiri dari 3 pita pada planlet yang diiradiasi 10 dan 50 Gy. Pola pita ketiga terdiri dari 2 pita yaitu planlet yang diiradiasi sinar Gamma 40 Gy. Penelitian Obata et al. 2000, menunjukkan hasil yang berbeda, enzim PRX yang digunakan dalam analisis keragaman Lilium nobilissimum dan L.regale tidak menghasilkan zymogram yang jelas. Gambar 7.5 . Dendogram planlet lili hasil induksi mutasi. Berdasarkan hasil analisis isozim di lakukan pengelompokan dengan dendrogram. Hasil menunjukkan bahwa planlet lili cv.Sorbon hasil iradiasi 20 Gy dan 40 Gy terdapat pada kelompok yang sama, dengan tingkat kesamaan 75, sedangkan planlet kontrol, 10 Gy, 30 Gy dan 50 Gy berada pada kelompok yang berbeda. Planlet lili Oriental cv. Frutty Pink hasil induksi EMS 0.4 dan 0.5 mll berada pada kelompok yang sama dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon hasil induksi EMS 0.2 mll dan 0.3 mll dengan tingkat kesamaan 95. Simpulan 1. Polimorfisme hasil analisis isozim dapat digunakan sebagai penanda adanya keragaman pada tanaman hasil induksi mutasi. 2. Pada enzim yang berbeda dihasilkan pola pita yang berbeda. Coefficient 0.50 0.62 0.75 0.87 1.00 W PM-K PP-E4 PP-E5 PP-E2 PM-E1 PM-E2 PM-E3 SB-10Gy PP-E3 PM-E4 PM-10Gy SB-K PM-E5 SB-20Gy SB-40Gy PP-E1 PP-K SB-30Gy PP-10Gy SB-50Gy 8 PEMBAHASAN UMUM Perkembangan teknologi perbanyakan lili sangat diperlukan di Indonesia. Pentingnya teknologi ini didasari masih adanya ketergantungan impor lili dari negara lain. Potensi lili dalam industri florikultura yang cukup bagus, ditandai dengan peningkatan kebutuhan lili dari tahun ke tahun, menjadikan lili sebagai peluang usaha florikultura yang menjanjikan. Permasalahan adanya serangan penyakit terutama cendawan Fusarium oxysporum f.sp lilii dalam budidaya lili juga harus menjadi perhatian utama untuk menghasilkan produk bunga yang berkualitas dan berdaya saing. Penggunaan varietas tahan terhadap penyakit merupakan salah satu cara mengatasinya. Varietas tahan penyakit ini dapat diperoleh melalui kegiatan pemuliaan. Perakitan varietas tahan penyakit melalui teknik pemuliaan konvensional telah banyak dilakukan, namun masih terdapat beberapa kelemahan. Dengan demikian perlu dilakukan terobosan metode pemuliaan untuk menghasilkan varietas tahan, salah satunya melalui induksi mutasi. Teknologi perbanyakan lili dengan menggunakan tangkai sari bunga dalam penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan kontribusi dalam industri florikultura lili di Indonesia. Dengan tangkai sari bunga lili sebagai eksplan melalui kultur in vitro diharapkan dapat mengatasi permasalahan perbanyakan, produksi dan penyediaan benih lili baik berupa umbi maupun planlet. Teknik perbanyakan lili ini juga didukung dengan pemanfaatan gula pasir sebagai sumber karbon dalam media perbanyakan lili secara in vitro. Penggunaan gula pasir dalam media perbanyakan akan menghemat biaya produksi serta memudahkan masyarakat umum untuk terlibat dalam pembudidayaan lili. Kemudahan masyarakat dalam mendapatkan gula pasir di pasaran akan memudahkan masyarakat ikut menanam lili. Tangkai sari bunga lili memiliki kemampuan totipotensi yang mampu membentuk individu baru pada media dan lingkungan yang sesuai. Pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh TDZ , Kinetin dan 2,4-D, tangkai sari bunga lili dapat membentuk kalus. Kalus terbentuk selama 14 sampai 31 hari dalam kondisi gelap. Kalus yang terbentuk ini selanjutnya ditanam pada media regenerasi pada media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh NAA dan BA. Kalus yang ditanam pada media MS yang mengandung BA, cenderung membentuk tunas dan beregenerasi langsung menjadi planlet. Pada media MS yang mengandung NAA cenderung membentuk akar. Penggunaan gula pasir sebagai pengganti sukrosa pada media pembentukan umbi lili sangat membantu dalam menekan biaya produksi, mudah diperoleh dan murah. Kondisi kultur lili juga berpengaruh terhadap pembentukan umbi lili. Kondisi kultur tanpa cahaya memberikan hasil yang lebih baik di bandingkan dengan kondisi kultur dengan cahaya. Peningkatan keragaman lili dapat dilakukan dengan induksi mutasi dengan sinar Gamma maupun EMS. Hal penting yang harus dipertimbangkan dalam induksi mutasi dengan sinar Gamma pada lili ialah radiosensitivitas. Sensitivitas lili terhadap mutagen tergantung pada jenis lili, tahapan perkembangan tanaman seperti biji, kalus, planlet maupun stek. Lili Oriental cv. Sorbon lebih tahan terhadap sinar Gamma dibandingkan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Letal dosis LD-50 lili Oriental cv. Sorbon pada dosis 46.68 Gray, sedangkan lili Asiatik cv. Purple Maroon pada dosis 33.49 Gray. Penggunaan mutagen kimia EMS untuk menginduksi keragaman lili pada beberapa konsentrasi yang diujikan belum diperoleh letal konsentrasi. Namun demikian, EMS mampu meningkatkan keragaman dan berpengaruh terhadap pembentukan tunas. Semakin tinggi konsentrasi EMS, persentase tunas terbentuk menurun. Peningkatan konsentrasi mutagen kimia dapat menghasilkan lebih banyak mutan namun konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan, peningkatan sterilitas bahkan kematian tanaman. Oleh karenanya perlu dilakukan penentuan konsentrasi optimal. Faktor- faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan mutagen kimia antara lain konsentrasi dan lamanya perlakuan mutagen, pH, suhu, materi yang akan diberi perlakuan mutagen. Bila dibandingkan dengan iradiasi sinar Gamma 200 Gray dengan EMS 0.4 maka diperoleh tingkat sterilitas yang sama. EMS dan NEU nitrosoethyl urea menghasilkan frekuensi mutasi lebih tinggi yaitu 4 sampai 8 kali dibandingkan sinar Gamma . Perubahan dan terjadinya mutan pada tanaman yang menggunakan mutagen kimia disebabkan perbedaan mekanisme perpasangan selama pembelahan sel, perbedaan komposisi kimia DNA serta perilaku perpasangan yang abnormal van Harten, 1998. Seleksi in vitro pada tanaman lili masih jarang dilakukan, hal ini disebabkan masa juvenil lili yang lama. Pada penelitian ini dilakukan seleksi in vitro pada tahapan planlet hasil induksi mutasi generasi 3. Seleksi in vitro dengan agen seleksi fusaric acid digunakan untuk mendapatkan planlet tahan terhadap cendawan Fusarium oxysporum. Fusaric acid FA merupakan salah satu toksin yang dihasilkan oleh cendawan Fusarium dan digunakan sebagai agen seleksi didasarkan atas kemampuan phytotoksisitas yang dapat menyebabkan penyakit pada lili Curir et al. 2000. Hasil penelitian seleksi in vitro dengan beberapa konsentrasi FA menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi FA menyebabkan peningkatan persentase planlet terinfeksi. Jenis lili juga berpengaruh terhadap sensitivitas terhadap FA. Pada media yang mengandung konsentrasi FA yang sama 0.1 mmoll, presentase planlet terinfeksi lili Oriental lebih sedikit dibandingkan lili Asiatik. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan lili Oriental lebih tahan terhadap FA dibandingkan dengan lili Asiatik. Planlet lili yang tahan ini selanjutnya diuji kembali ketahanannya di lapangan untuk menghasilkan tanaman lili yang tahan. Seleksi in vitro ini dapat mempercepat waktu seleksi dalam menghasilkan klon- klon baru. Mekanisme pertahanan tanaman terhadap penyakit pada beberapa tanaman berbeda-beda. Diantaranya detoksifikasi toksin patogen yaitu substansi yang dikeluarkan tanaman mendegradasi toksin yang dikeluarkan patogen, ketahanannya tereduksi, terhindar dari patogen escape dan toleran Agrios, 2005. Tanaman lili menghasilkan saponin yang merupakan metabolit sekunder. Saponin memiliki kemampuan melindungi tanaman dari mikrobia maupun cendawan. Kemampuan saponin ini menjadi dasar penelitian peranan saponin dalam pertahanan tanaman terhadap cendawan Fusarium. Penelitian Wu et al. 2009 dan Liu et al.2011 menyatakan terdapat hubungan antara kandungan saponin dengan ketahanan terhadap penyakit Fusarium. Pengujian kandungan saponin pada lili Oriental cv. Frutty Pink dan lili Asiatik cv. Purple Maroon dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pada tanaman yang di beri perlakuan induksi mutasi terdapat peningkatan kandungan saponin. Kandungan saponin lili Oriental cv. Frutty Pink lebih tinggi dibanding dengan lili Asiatik cv. Purple Maroon. Hasil ini mengindikasikan bahwa induksi mutasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan gen yang mengendalikan produksi saponin. Kandungan saponin ini dapat dijadikan sebagai indikator ketahanan tanaman lili terhadap cendawan Fusarium Wu et al.2011. 9 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN 1. Perbanyakan lili secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan tangkai sari bunga lili sebagai eksplan. Media MS+ 2,4-D 0.05 mgl -1 + TDZ 0.1 mgl -1 merupakan media yang dapat mempercepat induksi kalus lili dari tangkai sari bunga. Regenerasi kalus lili diperoleh dengan menggunakan media MS dengan kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BA. Pembentukan umbi lili terbaik diperoleh pada media MS+ gula pasir 45 gl -1 pada kondisi gelap. 2. Peningkatan keragaman lili dapat dilakukan dengan induksi mutasi melalui sinar Gamma dan mutagen kimia EMS. Letal dosis LD-50 diperoleh pada dosis 46.68 Gy untuk lili Oriental cv.Sorbon dan 33.49 Gy untuk lili Asiatik cv. Purple Maroon. Dosis disekitar LD-50 menginduksi keragaman planlet lili dan menghasilkan mutan. Penggunaan mutagen kimia EMS belum menghasilkan letal konsentrasi pada beberapa konsentrasi yang diujikan. 3. Perubahan morfologi planlet lili dengan induksi sinar Gamma terjadi dengan frekuensi mutasi 0.03- 0.13. Keragaman morfologi dengan mutagen kimia EMS diperoleh dengan frekuensi mutasi 0.03- 0.26. 4. Planlet lili tahan terhadap FA diperoleh melalui seleksi in vitro dengan media yang mengandung fusaric acid. Konsentrasi FA 0.1 mmol l -1 menyebabkan 50 planlet nekrotik pada lili Asiatik cv. Purple Maroon dan 25 planlet nekrotik pada lili Oriental cv. Frutty Pink.

5. Kandungan saponin lili Oriental cv.Frutty Pink hasil induksi mutasi meningkat

0.22 , sedangkan lili Asiatik cv.Purple Maroon meningkat 0.02 . SARAN

Pemuliaan lili untuk sifat ketahanan terhadap penyakit, utamanya terhadap cendawan fusarium masih jarang dilakukan, terkait dengan masa juvenil lili yang lama dan metode seleksi yang belum optimal. Oleh karenanya penelitian ini masih harus dilanjutkan terutama seleksi ketahanan terhadap cendawan Fusarium di lapangan. Hasil penelitian ini merupakan tahapan awal dari kegiatan pemuliaan lili yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan yang perlu di lanjutkan yaitu aklimatisasi planlet tahan hasil seleksi in vitro dan seleksi ketahanan terhadap Fusarium di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah TL , Endan J, Nazir BM. 2009. Changes in flower development, chlorophyll mutation and alteration in plant morphology of Curcuma alismatifolia by gamma irradiation. Am.J.Appl. Sci. 67: 1436- 1439. Agrios GN. 2004. Plant Pathology. Fifth edition. Elsevier Academic Press. USA. Aisyah SI, Aswindinnoor H, Saefuddin A, Marwoto B, Sastrosumarjo S. 2009. Induksi mutasi pada stek pucuk anyelir Dianthus caryophyllus Linn. melalui iradiasi sinar Gamma. J.Agron. Indonesia 37 1: 62- 70. Arditti J, Ernst R. 1992. Micropropagation of Orchids. Departement of developmental and cell biology. University of California, Irvine. Arteca RN. 1995. Plant Growth Substances. Principles and applications. The Pennsylvania State University. Bacon CW, Porter JK, Norred WP, Leslie JF. 1996. Production of Fusaric acid by Fusarium species. Appl. Environ. Microbiol 6211: 4039- 4043. Bakhshaie M, Babalar M, Mirmasoumi M, Khaligi A. 2010. Somatic embryogenesis and plant regeneration of Lilium ledebourii Baker Boiss an endagered species. Plant Cell Tissue Organ Cult. 102: 229- 235. Barakat MN, Fattah RSA, Badr M, El-Torky MG. 2010. In vitro mutagenesis and identification of new variants via RAPD markers for improving Chrysanthemum morifolium. Afr.J. Agric.Res. 58: 748- 757. Bezakova L, Mucaji P, Eisenreichova, Haladova M, Paulikova I, Oblozinky M. 2004. Effect of different compounds from Lilium candidum on lipoxygenase activity. Acta facultatis pharmaceuticae universitatis comenianae, Bratislava. Challinar VL, De Voss JJ. 2013. Open chain steroidal glycosides, a diverse class of plant saponins. Nat.Prod.Rep. School of chemistry and molecular biosciences, the university of Queensland, Brisbane.4072. Australia. 303 : 429- 54. Chandra R, Kamle M, Bajpai A, Muthukumar M, Kalim S. 2010. In vitro selection : A candidate approach for disease resistance breeding in fruit crops. Asian Journal of Plant sciences. 9: 437-446. Chang C, Chen CT, Ching Tsai Y, Chang WC. 2000. A Tissue culture protocol for propagation of a rare plant Lilium speciosum Thunb.var. gloriosoides Baker. Bot. Bull. Acad. Sin. 41: 139- 142. Chawla HS, Wenzel G. 2006. In vitro selection for Fusaric Acid Resistant Barley Plants. Plant Breeding. Vol.99, Issue 2 : 159- 163. Publishing on line : 28 APR 2006. Chen LM, Cheng JT, Chen EL, Yiu TJ, Liu ZH.2002. Naphthaleneacetic acid suppresses peroxidase activity during the induction of adventitious roots in soybean hypocotyls. Sci. Direct.159: 1349- 1354. Chun-ling N, Sheng-Ju W, Zhuang-zhi S, Chang-chun H. 2009. Optimization for ultrasonic-acid hydrolysis extraction of diosgenin by response surface methodology. Journal of Shaaxi University- Natural Science. Chung MY, Chung JD, van Tuyl JM, Lim KB. 2009. Fertility restoration of F1 OA interspecific hybrid by spontaneous meiotic polyploidization and analysis of their progenies. Korean Jurnal of Breeding Science 413: 213- 219. Datta, SK., Mirsa P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis- a quick method for establishment of solid mutant in chrysanthemum. Curr. Sci. 881: 155- 157. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Direktorat Jenderal Hortikultura 2011.Data Ekspor Impor Tanaman Hias. Esposito D, Munafo JP, Lucibello T, Baldeon M, Komarnytsky S, Gianfagna TJ. 2013. Steroidal glycosides from the bulbs of easter lily Lilium longiflorum Thunb. promote dermal fibroblast migration in vitro. J.Ethnopharmacol.1482: 433- 40. Feng Lian R, Chang gui Q, Yan L. 2005. Extraction process of total saponins from Lilium Brownii. Journal of Central South University of Technology Natural Science.01. Fenwick DE, Oakenfull D. 1983. Saponin content of food plants and some prepared foods. Journal of the science of food and agriculture. Godo T, Kobayashi K, Tagami T, Matsui K, Kida T. 1998. In vitro propagation utilizing suspension cultures of meristematic nodular cell clumps and chromosome stability of Lilium formolongi .Sci. Hort. 72: 193–202 Goel G, Makkar HP, Becker K. 2008. Changes in microbial community structure, methanogenesis and rumen fermentation in response to saponin rich fractions from different plant materials. J.Appl.Microbiol.1053: 770-7. Gonzales RB, Lim KB, Zhou S, Ramanna MS, van Tuyl JM. 2008. Interspecific hybridization in lily: the use of 2n- gametes in interspecific lily hybrids. Floricult. Ornam. Pl. Biotechnol 5: 146- 151. Han BH, H Ju Yu, B Woo Yae and KY Peak. 2004. In vitro micropropagation of Lilium longiflorum’Georgia’ by shoot formation as influenced by addition of liquid medium. Scientia Horticulturae. 103: 39-49. Hartana A, 2003. Elektroforesis sebagai alat pelacak marka molekul biologi. Pelatihan teknik analisis dengan metode dan peralatan mutakhir di bidang hayati dan kimia. Pusat studi ilmu hayati, LP-IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hong X X, Luo JG, Guo C , Yi Kong L. 2012. New steroidal saponins from the bulbs of Lilium brownii var.viridulum. Carbohydrate research.361 : 19- 26. Ishimori T, Niimi Y, Han DS. 2009. In vitro flowering of Lilium rubellum Baker. Sci. Hort. 120: 246- 249. Khan N, Gonzalez RB, Ramanna MS, Arens P, Visser RGF, van Tuyl JM. 2010. Relevance of unilateral and bilateral sexual polyploidization in relation to intergenomic recombination and introgression in Lilium species hybrids. Euphytica 1712: 157- 173. Khan N, Ramanna MS, Arens P, Herrera J, Visser RGF, van Tuyl JM. 2009. Potential for analytic breeding in allopolyploids: an illustration from Longiflorum x Asiatic hybrid lilies lilium. Euphytica 1663: 399- 409. Kumar S, Chaudhary V , Kanwar JT. 2008. Bulblet regeneration from in vitro roots of Oriental lily hybrid. J. Fruit. Ornam. Plant Res.16: 353- 360. Lamseejan S, Jompuk P, Wongpiyasatid A, Deeseepan S, Kwanthammachart P. 2000. Gamma- rays induced morphological changes in Chrysanthemum Chrysanthemum morifolium. J.Nat.Sci. 34: 417- 422. Lan TH, Hong PI, Huang CC, Chang WC, Lin CS. 2009. High frequency direct somatic embryogenesis from leaf tissues of Drimiopsis kirkii Baker giant squill. In vitro Cell Dev.Biol Plant. 45: 44- 47. Lian ML, D Chakrabarty, and KY Paek. 2003. Growth of Lilium oriental hybrid ‘Casablanca’ bulblet using bioreactor culture. Scientia Horticulture 97: 41- 48. Lian ML, HN Murthy and KY Paek. 2002. Effects of light emitting diodes LEDs on the in vitro induction and growth of bulblets of Lilium oriental hybrid ‘Pesaro”. Sci. Hort. 94: 365- 370. Lim JH, Rhee HK, Kim YJ, van Tuyl JM. 2003. Resistance to Fusarium oxysporum f.sp. lilii in Lilium. Proc.XXIV IHC- Asian Plants.Acta Hort. 620, ISHS.311- 318. Lim K, Gonzalez RB, Zhou S, Ramanna MS, van Tuyl JM. 2008. Interspecific hybridization in lily lilium. Taxonomic and commercial aspects of using species hybrids in breeding. Floricult.Ornam.Pl.Biotechnol 5: 146- 151. Lingfei X, FengWang M, Dong L. 2009. Plant regeneration from in vitro culture leaves of Lanzhou lily Lilium davidii var. Unicolor. Sci Hortic. 119: 458- 461. Loffler HJM, Mouris JR. 1992. Fusaric acid: phytotoxicity and in vitro production by Fusarium oxysporum f.sp. lilii, the causal agent of basal rot in lilies. Neth.J.Pl.Path. 98: 107- 115. Matsumoto K, Barbosa ML, Souza LAC, Teixeira JB. 1995. Race 1 fusarium wilt tolerance on banana plants selected by fusaric acid. Euphytica.84 : 67-71. Mimaki Y, Nakamura O, Sashida Y, Satomi Y, Nishino A, Nishino H. 1994. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium longiflorum and their antitumour- promoter activity. Phytochemistry. 371: 227- 32. Mimaki Y, Sashida Y, Nakamura O, Nikaido T, Ohmoto T. 1993. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium regale and L.henryi. Phytochemistry 33 3: 675- 82. Mimaki Y, Satou T, Kuroda M, Sashida Y, Hatakeyama Y. 1998. New steroidal constituents from the bulbs of Lilium candidum. Chem. Pharm Bull. 4611: 1829- 32. Mizuguchi S, Ohkawa M.1994. Effects of naphthaleneacetic acid and benzyladenine on growth of bulblets regenerated from white callus of mother scale of Lilium japonicum Thunb. Journal of the Japanese Society for Horticultural Science 632: 429- 437. Mori S, Adachi Y, Harimoto S, Suzuki S, Nakano M. 2005. Callus formation and plant regeneration in various lilium species and cultivars. In vitro cell.Dev.Bio.Plant. 41: 783- 788. Munafo JP, Gianfagna TJ. 2011. Antifungal activity and fungal metabolism of steroidal glycosides of Easter lily Lilium longiflorum Thunb. by the plant pathogenic fungus, Botrytis cinerea. J.Agric.Food.Chem.5911: 5945- 54. Nadeem Khan, M. 2009. A molecular cytogenic study of intergenomic recombination and introgression of chromosomal segments in lilies Lilium. PhD thesis. Wageningen University.121. Nakamura O, Mimaki Y, Nishino H, Sashida Y. 1994. Steroidal saponins from the bulbs of Lilium speciosum x L. nobilissimum ‘Star Gazer” and their anti tumour promoter activity. Phytochemistry. The International Journal of Plant Biochemistry.362: 463-467. Nazir IA, Riazudin S. 2008. In vitro selection for Fusarium wilt resistance in Gladiolus. J.Integr Plant Biol. 505:601-12. Notz R, Maurhofer M, Dubach H, Haas D, Defago G. 2002. Fusaric acid- Producing strains of Fusarium oxysporum Alter 2,4- Diacetylphloroglucinol Biosynthetic Gene expression in Pseudomonas fluorescens CHA0 in vitro and in the Rhizosphere of Wheat. Applied and Environmental Microbiology. 685: 2229- 2235. Nwachuckwu EC, Mbanaso ENA, Nwosu KI. 2010. The development of new genotype of the White Yam by mutation induction using Yam Mini tubers. Food and agriculture organization of the united nations. Rome.309- 312. Obata Y, Niimi Y, Nakano M, Okazaki K, Miyajima I. 2000. Interspecific hybrids between Lilium nobilissimum and L.regale produced via ovules- with- placental-tissue culture. Sci Hortic. 84: 191- 204. Pekkapelkonen V. 2005. Biotecnological Approaches in Lily Lilium Production. Faculty of Science Departement of Biology University of Oulu- Finland.Phd Thesis. Purnamaningsih R, Mariska I. 2005. Seleksi in vitro tanaman padi untuk sifat ketahanan terhadap aluminium. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 102: 61- 69. Rao AV, Gurfinkel DM.2000.The bioactivity of saponins: triterpenoid and steroidal glycosides. Departement of Nutritional Sciences. University of Toronto Canada. Remotti PC, Loffler HJM. 1997. In vitro selection with fusaric acid : A novel approach to breed for Fusarium resistance in Gladiolus. ISHS Acta Horticulturae 447: III International Symposium on In vitro Culture and Horticultural Breeding. Remotti PC, Loffler HJM, van Vloten Doting L. 1997. Selection of cell-lines and regeneration of plants resistant to fusaric acid from Gladiolus x grandiflorus cv. Peter Pears. Euphytica. 96:237- 245. Remotti PC, van Harmelen MJ, Loffler HJM. 1996. In vitro Selection for Fusarium-Rresistance in Gladiolus. ISHS Acta Horticulturae 430:VII International Symposium on Flowerbulbs. Remotti PC. 1996. The role of fusaric acid in the Fusarium- Gladiolus interaction and its application in in vitro selection for resistance breeding. Phd.thesis. Wageningen- The Netherlands. Rice LJ, Finnie JF, van Staden. 2011. In vitro bulblet Production of Brunsvigia undulata from twin scales. Science Direct. S. Afr. J. Bot. 77: 305- 312. Sala CA, Bulos M, Echarte AM. 2008. Genetic analysis of induced mutation conferring imidazolinone resistance in sunflower. Crop Sci. 48. Shi B, Tang P, Hu X, Liu JO, Yu B. 2005. OSW saponin: facile synthesis to ward a new type of structures with potent antitumor activities. J.Org.Chem.70 25: 10354- 67. Smulders MJ, ETWM van de Ven, AF Croes , Wullems GJ. 1990. Metabolism of 1-naphthhaleneacetic acid in explants of tobacco : Evidence for release of free hormone from conjugates. Journal of Planlt Growth Regulation 91: 27- 34. Soltis DE, Soltis PS. 1989. Isozymes in Plant Biology. Advances in Plant Science vol.4.Washington. Straathof TP. 1994. Studies on the Fusarium lily interaction: a breeding approach.Phd Thesis.Wageningen University- The Netherland. Straathof TP, Loffler HJM. 1994. Screening for Fusarium resistance in seedling populations of Asiatic hybrid lily. Euphytica. 78: 43-51. Tan Nhut D, B Van Le, M Tanaka and KR Thanh Van. 2001. Shoot induction and plant regeneration from receptacle tissue of Lilium longiflorum. Scientia Horticulture 87: 131- 138. Tan Nhut D, NT Minh Hanh, PQ Tuan, LT Minh Nguyet, NTH Tram, NC Chinh, NH Nguyen and DN Vinh. 2006. Liquid culture as a positive condition to induce and enhance quality and quantity of somatic embryogenesis of Lilium longiflorum. Scientia Horticulturae 110: 93-97. Tan Nhut D, Doan Tam NT, Quoc Luan V, Thien NQ, 2010. Standardization of in vitro Lily Lilium, spp Planlets for Propagation and Bulb Formation. Takayama S, Misawa M. 1979. Differentiation in Lilium Bulbscales grown in vitro. Effect of various cultural conditions. Physiologia Plantarum.46: 184- 190. Timmermann A. 2004. 500 Essential Garden Plants. Rebo International b.v.Lisse, The Netherlands. Toyoda H, Matsuda Y, Shimizu K, Ogata H, Hashimoto H, Ouchi S. 1988. In vitro selection of Fusaric acid- resistant regenerants from tomato leaf explant- derived callus tissues. Plant Tissue Culture. 52: 66-71. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding : Theory and Practical Applications. Cambride University. Van Heusden AW, Jongerius MC, van Tuyl JM, Straathof THP, Mes JJ. 2002. Molecular assisted breeding for disease resistance in lily. Acta Hortic. 572: 131- 138. Van Tuyl JM. 2012. Ornamental plant breeding activities worlwide. Acta Hort. 953: 13- 17. _______, Arens P. 2011. Lilium: breeding history of the modern cultivated assortment. Acta Hort. 900: 223- 230. _______. 2009. GISH analysis of subsequent progeny crossed with 2n-gametes of F1 Oriental-Asiatic interspecific hybrid in lily. Korean Journal of Horticultural Science and Technology. 274: 649- 656. _______, Maas I, Lim KB. 2002. Introgression in interspecific hybrids of lily. Acta Hort. 570: 213- 218.