SIKAP ORANGTUA SISWA REGULER TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSIF

SIKAP ORANGTUA SISWA REGULER
TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSIF

SKRIPSI

DISUSUN :
NOVI RIA KUSUMAWARDANI
07810194

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011

SIKAP ORANGTUA SISWA REGULER
TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSIF

SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai salah satu persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi


DISUSUN :
NOVI RIA KUSUMAWARDANI
07810194

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan Inklusif”, sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas
Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Tulus Winarsunu, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang

2. Ibu Hudaniah,

M.Si., Psi dan Ibu Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si selaku

Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
3. Bapak Ari Firmanto, S.Psi selaku dosen wali yang telah mendukung dan
memberikan pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini
4. Kepala SDN Sumbersari I Malang dan orangtua siswa reguler yang telah
memberikan ijin dan bantuan bagi penulis untuk melakukan penelitian
5. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang yang
tidak pernah berhenti sehingga saya memiliki semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini
6. Buat Adik-adikku yang selalu berdoa dan mensupport saya dalam
menyelesaikan skripsi. Buat Dek Mita, cepet dikelarin kuliahnya terus nyusul
wisuda. Buat Dek Wanda, sekolah yang pintar

i


7. Buat Dwi Atma yang selalu mendukung, menyemangati dan berdoa, sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih sudah menemani selama ini
8. Buat Darmayanti, SE rencana buat lulus bareng tidak terlaksana, kamu lulus
duluan. Tapi terimakasih buat supportnya demi terselesaikannya skripsi ini
9. Buat teman-temanku angkatan 2007 khususnya kelas D yang selalu
memberikan semangat sehingga saya termotivasi dalam menyelesaikan
skripsi ini
10. Buat my best friend (Huda, Chita, Agung Cino, Septian, Wiedya, Trinur,
Dhedhe “Ronz”, Nandar “Dudulz”), kalian adalah motivasiku, terimakasih
untuk dukungan kalian terutama buat dhedhe yang nemenin saat bimbingan.
11. Buat Nak Nik Nuk (Rierief, Ana Ndutz, Mbeckz, Phena, Chacha, Endah,
Bang Zein, Afika), yang selalu memberi motivasi dan doanya terutama buat
Rierief yang selalu menemaniku penelitian meskipun sudah lulus duluan, you
are my d’best
12. Buat keluarga besar UPT PMB Universitas Muhammadiyah Malang tahun
2011 terutama Geng Kamis (Ryo, Novi, Debby, Prima, Rizal) dan Korlap
Satriyo,yang selalu memberi dukungan dan membuat hari-hariku penuh
canda
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Sehingga kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski
demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Malang, 17 November 2011
Novi Ria Kusumawardani

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
INTISARI … ……………………………………………………………….
ABSTRACT ………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………….....

B. Rumusan Masalah ……………………………………………………
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………….
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Inklusif …………………………………………………..
B. Sikap ………………………………………………………………….
C. Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan Inklusif ………
D. Kerangka Berfikir ……………………………………………………
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ………………………………………………...
B. Definisi Operasional Variabel ………………………………………..
C. Populasi dan Sampel …………………………………………………
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ………………………….
1. Jenis Data ………………………………………………………….
2. Metode Pengumpulan Data ………………………………………..
3. Validitas dan Reliabilitas ………………………………………….
a. Validitas ………………………………………………………...
b. Reliabilitas ……………………………………………………...
E. Prosedur Penelitian …………………………………………………...
F. Teknik Analisis Data ………………………………………………....

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ………………………………………………………..
B. Analisis Data …………………………………………………………
C. Pembahasan …………………………………………………………..
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………..
B. Saran ………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
LAMPIRAN ………………………………………………………………..

v

i
iii
iv
v
vi
vii
1
6

6
7
8
17
30
32
33
33
34
35
35
35
37
37
40
41
43
44
45
48

53
53
55
58

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel
Tabel 3.1
Jumlah Orangtua SDN Sumbersari I Malang …………….

Halaman
35

Tabel 3.2

Blue Print Skala Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap
Pendidikan Inklusif………………………………………

36


Tabel 3.3

Tabel skor pilihan jawaban………………………………

37

Tabel 3.4

Hasil Uji Validitas Item Skala Sikap Orangtua Siswa
Reguler terhadap Pendidikan Inklusif…………………..

39

Tabel 3.5

Blue Print Skala Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap
Pendidikan Inklusif Pasca Tryout………………………..

40


Tabel 3.6

Hasil Uji Reliabilitas Skala Sikap Orangtua Siswa Reguler
terhadap Pendidikan Inklusif……………………………...

41

Tabel 4.1
Tabel 4.2

Deskripsi subjek Penelitian ………………………………
Tabel Sebaran T-score Sikap Orangtua Siswa Reguler
terhadap Pendidikan Inklusif ……………………………

44
45

Tabel 4.3


Tabel Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan
Inklusif Berdasarkan Usia ………………………………

46

Tabel 4.4

Tabel Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan
Inklusif Berdasarkan tingkat Pendidikan ………………..

47

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran
Halaman
Lampiran 1 Surat Keterangan Penelitian ……………………………...
59
Skala Sikap Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan
Lampiran 2
60
Inklusif …………………………………………………..
67
Lampiran 3 Data Tryout ………………………………………………
70
Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas skala Tryout…………………...
93
Lampiran 5 Data Penelitian …………………………………………..
97
Lampiran 6 Perhitungan tiap indikator ……………………………….
101
Lampiran 7 Frekuensi Tabel ………………………………………….

vii

DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., Mustaph, R. & Jelas, Z. M. (2006). An Empirical Study On Theacers’
Perceptions Towards Inclusive Education in Malaysia. International Journal
of Special education VOL 21. 2006. No 3. Diakses 5 juni 2011.
Anshory, I., Poerwanti, Endang., dan Chamisijatin, L. (2010). Paradigma
“Education For All” Dalam Praktek Pembelajaran Di SD Kota Malang
(Analisis Perilaku Guru Berwawasan Pendidikan Inklusi Dalm Penenganan
Anak Berkebutuhan Khusus). Malang: Fakultas keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Asyhabuddin. (2008). Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya Di
STAIN Purwokerto. Insania Jurnal pemikiran Alternatif Pendidikan Vol. 13
No.3 Sep-Des 2008-Azwar, S. (2009). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi ke-2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
_______. (2006). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Barokah, S. (2008). Moralitas Peserta Didik Pada Pendidikan Inklusif (Studi Kasus
pada Sekolah Inklusi SD Hj. Isriati Semarang) Thesis. Semarang: Program
Magister Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Dayakisni, T & Hudaniah. (2001). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press
____________________. (2006). Psikologi Sosial Edisi Revisi. Malang: UMM Press
Dewi, E. (2008). Analisis Kesiapan Psikologis Guru Dalam Pelaksanaan Pendidikan
Inklusif di SMP Negeri 18 Malang Thesis. Malang: Program Magister
Universitas Muhammadiyah Malang
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar
(PPK-LK Dikdas). Tanpa tahun. Sukarlik dan Anak Berkebutuhan Khusus
(Online). http://www.pkplk-plb.org/index2.php?option=com _content&do
_pdf=1&id=3214. Diakses 9 Mei 2011
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2007). Pedoman Khusus
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif : Pengadaan dan Pembinaan Tenaga
Pendidik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

55

56

Garnida, D. dkk. (2008). Peran dan Fungsi Supporting System Dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (Studi kasus tentang peranan dan
fungsi suppoting system dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di
sekolah inklusi di Jawa Barat). Bandung: Departemen Pendidikan Nasional
Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Luar Biasa
Gerungan Dipl Psych. (1991). Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco
Hidayat. Tanpa tahun. Model dan Strategi Pembelajaran ABK Dalam setting
Pendidikan Inklusif. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia
Hurlock, E. (1978). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ifdlali. (2010). Pendidikan Inklusif (Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus) (Online). http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40artikel/115-pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhankhusus. Diakses 4 Mei 2011.
Latief.

(2009). Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala
http://beritapendidikan.com/. Diakses 16 Maret 2011.

(Online).

Moleong, L. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mudjito. Tanpa tahun. Mudjito AK MSi, Direktur PPKLKPD Kementerian
Pendidikan
Nasional
Perjuangkan
Anak
Berkebutuha(Online).http://www.indopos.co.id. Diakses 4 Mei 2011.
Mueller, D. (1992). Mengukur Sikap Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Poerwanti, E. (2000). Dimensi – Dimensi Riset Ilmiah. Malang: Pusat Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang
Rulianto,A., Nurhayati, N., Akbari, R. (2004). Yang Normal dan Yang Khusus
Dalam
Satu
Kelas(Online).
Tempo
Online.
http://majalah.tempointeraktif.com. Diakses 4 Mei 2011.
Santrock, J. (2002). Life-Span Development. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sarwono, S. (1983). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sears, D., Freedman, J., Peplau, L. (1988). Psikologi Sosial jilid 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There Are Few resources. Versi
Bahasa Indonesia disponsori oleh idpnorway. The Atlas Alliance. Global
Support to Disabled People. Diterjemahkan oleh Rakhmawati, SS.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

57

Sugiyono. (2002). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Sukardi. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.
Jakarta: Bumi Aksara
Sumanto. (1990). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi
Offset
Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inklusif. Jakarta: Universitas Pendidikan
Indonesia
Supriadi. (2009). Implementasi Kebijakan Pendidikan Sekolah Dasar Inklusi di Kota
Malang Thesis. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Surakhmad, W. (1985). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik.
Bandung: Penerbit Tarsito
Surapranata, S.( 2006). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interprestasi Hasil Tes
Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tarsidi, D. (2000). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Mengenai Pendidikan
Kebutuhan Khusus. Versi Bahasa Indonesia disponsori oleh Braillo Norway
dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Diakses 1 Maret 2011.
UNESCO. (2003). Overcoming Exclusion Through Inclusive Approaches in
Education: A Challenge & A Vision Conceptual Paper. Section for Early
Chilhood and Inclusive Education Basic Education Division.
http://unesdoc.unesco.org/. Diakses 21 Juni 2011.
Walgito, B. (1994). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset
Winarsunu, Tulus. (2007). Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan.
Malang : UMM Press.

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Pembangunan pendidikan
merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk
meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun
pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan
nasional. Oleh karena itu pada UUD 1945 pasal 31 (1), negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya
tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan
(difabel) seperti anak-anak berkebutuhan khusus (Ifdlali, 2010).
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada awalnya lebih dikenal dengan
istilah anak cacat, anak berkelainan atau anak luar biasa. Anak kebutuhan khusus
(ABK) adalah anak yangsecara signifikan (bermakna) mengalami kelainan
ataupenyimpangan (phisik, mental-intelektual, sosial, emosional)dalam proses
pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkandengan anak-anak lain seusianya
sehingga mereka memerlukanpelayanan pendidikan khusus.Dengan demikian,
meskipun seorang anak mengalami kelainanatau penyimpangan tertentu, tetapi
kelainan atau penyimpangantersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak
memerlukanpelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anakdengan
kebutuhan khusus (Barokah, 2008)
Hasil sensus pada tahun 2001 menggambarkan baru sekitar 3,7% (33.850
anak) yang terlayani di lembaga persekolahan, baik di sekolah umum maupun
sekolah luar biasa (sekolah khusus). Kenyataan ini menandakan bahwa masih banyak
anak berkebutuhan khusus (96,3%) yang berada di Indonesia belum memperoleh hak
mendapatkan pendidikan. Hal ini di sebabkan oleh (1) kondisi ekonomi orang tua
yang kurang menunjang, (2) jarak antara rumah dan Sekolah Luar Biasa (SLB)
1

2

cukup jauh, dan (3)sekolah umum (SD, SMP) tidak mau menerima anak-anak
berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak-anak normal, oleh karena
itu perlu diupayakan model layanan pendidikan yang memungkinkan anak-anak
berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum
(Direktorat PSLB, 2007). Data resmi Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan
bahwa jumlah ABK yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7%
atau 78.689 anak dari populasi anak cacat di Indonesia, yaitu 318.600 anak. Ini
artinya

masih

terdapat

sebanyak

65,3%

ABK

yang

masih

terseklusi,

termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikan. Bahkan angka tersebut
diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang
digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem
pendataan (Sunaryo, 2009). Data ini menunjukkan betapa masih banyaknya ABK
yang tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan dan tidak terfasilitasi potensinya.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam
lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua,
menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra,
SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB
Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan sehingga
di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa
yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran,
dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun baru menampung anak tunanetra,
dengan perkembangan kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang
keberatan menerima anak berkelainan (Depdiknas 2004 dalam Anshory, Poerwanti
& Chamisijatin,

2010). Menurut Syamsudin (Tarmansyah dalam Dewi, 2008),

sebelum tahun 1900 pendidikan khusus masih belum mendapat perhatian, masih
terasing dari masyarakat dan cenderung mendapat penolakan. Mulai tahun 19011980 perhatian anak kebutuhan khusus melalui pendidikan segresi, ditandai dengan
buka SLB-SLB. Pada dekade 1980-1990 pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
sudah mulai dikelompokkkan sesuai spesialisasinya dengan dibukanya SDLB

3

Negeri. Selanjutnya dilakukan penggabungan antara pendidikan khusus dengan
sekolah normal dalam bentuk sekolah integrasi. Di Indonesia, sistem ini dikenal
dengan pendidikan terpadu, yakni menggabungkan ABK dalam sekolah reguler.
Pada dekade 1990-2000 muncul kesepakatan masyarakat dunia konsep pendidikan
inklusif, dimana sekolah-sekolah reguler secara bertahap menerima anak
berkebutuhan khusus yang berada disekitar sekolah tersebut.
Sebenarnya perubahan paradigma mengakibatkan adanya pergeseran makna
dari Pendidikan Luar Biasa (Special Education) menjadi Pendidikan Kebutuhan
Khusus (Special Needs Education). Perubahan ini dipengaruhi oleh sikap dan
kesadaran masyarakat terhadap anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat
menetap dan pendidikannya, metodologi serta perubahan konsep yang digunakan.
Sebagai tindaklanjutnya, hambatan belajar dan perkembangan anak tidak ditangani
berdasarkan pendekatan medis melainkan humanistik. Disini anak lebih dipandang
sebagai individu yang unik dengan segala potensi yang telah termanifestasi pada
dirinya. Banyak hal-hal penyebab munculnya sekolah-sekolah inklusi di Indonesia.
Seperti halnya SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya. SDN Klampis Ngasem I-246
Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak
normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan
khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis
Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan
anak-anak berkebutuhan khusus (Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pendidikan Dasar (PPK-LK Dikdas), tanpa tahun).
Seiring

dengan

berkembangnya

tuntutan

kelompok

difabel

dalam

menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia. Menurut Anshory,
dkk (2010) menyebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah mengikutsertakan ABK
untuk belajar bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum dan menjadi
bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana yang kondusif.
Dengan program inklusi, ABK menyatu dalam satu kelas besama murid-murid
sekolah reguler. Pendidikan inklusi juga dimaksudkan sebagai sistem layanan
pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama

4

dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Penyelenggaraan

pendidikan

inklusif

menuntut

pihak

sekolah

melakukan

penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Model pendidikan khusus tertua adalah model segresi yang menempatkan
anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah
ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan
guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segresi memang menguntungkan, karena
mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut Pandang peserta
didik, model segresi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (dalam
Anshory, dkk, 2010), antara lain bahwa model segretif tidak menjamin kesempatan
anak berkelainan mengembangkan potensis secara optimal, karena kurikulum
dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis
model segresi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat
berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat
normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segretif relatif
mahal.
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di sekolah inklusif yang
peserta didiknya terdiri atas anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus,
diperlukan guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pendidikan khusus (GPK) yang
bertugas sebagai pendamping guru kelas dan guru mata pelajaran dalam melayani
anak berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang secara optimal
(Direktorat PSLB, 2007). Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif di
samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami
kelainan/penyimpangan (baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris
neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar
guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum
juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan
anak. Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi,
kegiatan media, dan metoda (Direktorat PLB, 2006). Menurut Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa (2007) dijelaskan bahwa manfaat sekolah inklusi tidak hanya

5

untuk anak berkebutuhan khusus tetapi juga bagi anak normal yaitu sekolah inklusi
mengajarkan banyak hal, antara lain terbuka terhadap perbedaan, menanamkan rasa
empati, tidak memandang rendah anak berkebutuhan khusus dan memupuk sikap
saling menolong.
Hasil penelitian mengenai pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Anshory
dkk (2010) menunjukkan bahwa guru sudah cukup paham tentang pengertian,
kebijakan maupun bagaimana melaksanakan sekolah inklusi tetapi guru merasa
bahwa pengetahuan yang mereka miliki belum cukup, karena mempraktekkannya di
pembelajaran ternyata tidak semudah pengetahuan yang didapat dan dimilikinya.
Dalam hal ini, guru juga belum dibekali bagaimana menangani berbagai kekhususan
yang dimiliki anak.Sehingga ada kesan bahwa kebijakan ini terkesan terlalu cepat
digulirkan, sehingga pelaksanaannya relatif ngawur, tergantung kepala sekolah
masing-masing. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2008) menunjukkan bahwa
masih cukup banyak guru yang asing dengan istilah pendidikan inklusif dan banyak
juga yang tidak mengerti konsep dan pelaksanaannya. Bahkan seorang guru pengajar
inklusif mempersepsikan bahwa adanya ABK dalam kelasnya merupakan kebijakan
pemerintah yang tidak jelas dan asumsinya adalah di Indonesia telah terjadi
penggelembungan jumlah ABK, sementara SLB tidak mampu menampungnya lagi
sehingga dititipkan di sekolah regular.Disamping itu, ada ketidakpuasan bahkan
protes orangtua walimurid yang anaknya dijadikan satu kelas dengan ABK.
Menurut sumber lain, seperti yang dijelaskan Mudjito, Direktur Pembinaan
Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan
Nasional (PPKLKPD Kemendiknas, tanpa tahun), tidak sedikit orang tua yang
khawatir anaknya yang normal tertular karena sekolah menerima siswa berkebutuhan
khusus dan ada siswa yang tidak bisa menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus
dengan menebar ejekan atau bahkan sampai pada ancaman fisik. Tetapi biasanya hal
seperti itu hanya terjadi di awal(http://www.indopos.com). Menurut Rulianto,
Nurhayati, dan Akbari, (2004), dalam proses belajar-mengajar, mereka menolak
anak-anaknya di campur dalam satu kelas dengan anak-anak penyandang cacat.
Mereka malah memilih memindahkan anak mereka ke sekolah lain.

6

Bagi orang tua reguler keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus disekolah
juga sering menjadi pertanyaan seperti apakah anak tersebut tidak akan mengganggu
proses belajar mengajar disekolah, apakah dengan keberadaan anak tersebut
perhatian guru akan lebih terfokus pada anak ABK dibandingkan dengan temantemannya yang lain dan lain-lain. Dalam paparan laporan situasi pendidikan inklusi
di Indonesia dan Malaysia dikeluhkan, banyak orangtua yang enggan mengirim anak
yang berkebutuhan khusus ke sekolah biasa karena khawatir akan mendapat
penolakan atau diskriminasi. Menurut Wakil Direktur Kantor UNESCO di Jakarta
Robert Lee memaparkan bahwa orangtua anak normal tidak mau anaknya satu kelas
dengan anak berkebutuhan khusus karena takut proses belajar anak mereka
terganggu (Latief, 2009).Keadaan ini sangat logis karena pada kenyataannya
orangtua siswa reguler sangat tidak mau untuk mengirimkan anak-anaknya ke
sekolah reguler dan mereka tidak mau kalau anak-anak mereka bergabung dengan
anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif tidak akan berhasil optimal apabila
tidak ada dukungan dari orangtua siswa reguler itu sendiri mengenai pelaksanaan
pendidikan inklusif. Program inklusif ini, sangat diharapkan dapat disosialisasikan
secara efektif kepada masyarakat maupun orangtua baik orangtua ABK atau reguler.
Penelitian yang selama ini ada dalam konteks inklusif masih lebih pada
manajemen pelaksanaannya, misalnya sikap guru terhadap pendidikan inklusif.
Dalam penelitian ini akan menjelaskan sikap orangtua siswa reguler dalam
pendidikan inklusif baik sikap positif maupun sikap negatif dari orangtua. Dari
penjelasan diatas, penulis akan mengadakan penelitian yang berjudul “Sikap
Orangtua Siswa Reguler terhadap Pendidikan Inklusif”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka diambil rumusan
masalahnya yaitu bagaimana gambaran sikap orangtua siswa reguler terhadap
pendidikan inklusif ?

7

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan diungkapkan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sikap orangtua siswa reguler terhadap pendidikan inklusif.
D. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritik
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Pendidikan
dan selanjutnya ada usaha yang nyata untuk meningkatkan sikap yang positif.
b. Secara Praktis
Diharapkan informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan oleh
sekolah inklusi sebagai masukan untuk meningkatkan sikap positif orangtua
siswa reguler.