Gambaran Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling

(1)

GAMBARAN SIKAP ORANGTUA

TERHADAP PENDIDIKAN HOMESCHOOLING

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DESTIA DWI ANGGRAENI 041301026

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN JULI 2008


(2)

Gambaran Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling

Destia Dwi Anggraeni dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRAK

Konsep belajar di rumah atau dikenal sebagai homeschooling menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan dikarenakan sekolah formal dianggap kurang memberi perhatian besar kepada diri peserta didik, juga dianggap kurang efektif dan efisien dalam rangka menjawab pemenuhan kebutuhan kecerdasan siswa didik, yakni intelektual, emosional dan spiritual. Di samping itu, di tengah keraguan terhadap mutu pendidikan nasional, model pendidikan homeschooling

dirasa bisa menjadi model sekolah alternatif (Mahfud, 2007). Media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling

sehingga memberi persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orangtua. Menurut Azwar (2000), nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap. Munculnya homeschooling semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu, komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi serta komponen konatif berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000). Tujuan penelitian adalah ingin melihat sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 60 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala sikap terhadap pendidikan homeschooling dibuat oleh peneliti dengan menggunakan aspek sikap yang dikemukan Azwar (2003) dan aspek program kegiatan belajar komunitas homeschooling menurut Satokhid (1986), Sumardiono (2007) dan Mulyadi (2007). Skala sikap terhadap pendidikan homeschooling

memiliki nilai reliabilitas (rix) = 0.96.

Hasil penelitian menunjukkan sikap orangtua terhadap pendidikan

homeschooling yang termasuk ke dalam kategori sikap positif sebesar 17 orang dengan persentase 28,33%. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori sikap negatif sebesar 22 orang dengan persentase 36,67%. Berdasarkan tingkat pendidikan sikap orangtua yang positif terhadap homeschooling berada pada tingkat S1 dengan nilai mean170,22 dan Berdasarkan tingkat penghasilan sikap orangtua yang positif terhadap homeschooling berada pada tingkat Rp. 2.000.001-Rp. 2.500.000,- dengan nilai mean 168,57.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling”. Tiada kata untuk melukiskan perasaan penulis dalam penyelesaian skripsi, selain bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Untuk itu, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hj. Rr. Lita Hadiati wulandari S. Psi, Psi. selaku dosen pembimbing penulis. Hanya ucapan terimakasih yang tiada putus saya ucapkan kepada Ibu yang dengan sabar memaklumi segala kelemahan penulis, selalu memberikan senyum manis disetiap bimbingan yang saya lalui dan Ibu selalu mendukung saya hingga penyelesaian skripsi ini. Segala sesuatu yang Ibu berikan kepada saya memiliki arti dalam hidup saya, terimakasih Ibu Lita.

3. Terimakasih untuk masa kecil yang indah karena penulis memiliki keluarga yang utuh. Orangtua tercinta dan terkasih, kepada Papa Almarhum Mochammad Siddik yang telah meninggalkan penulis ketika usia 13 tahun. Mungkin jiwa tiada dapat berjumpa tapi kenangan indah selalu bersama dalam setiap senyum yang penulis berikan kepada dunia. Untuk seorang Mama sejati


(4)

Sumiaty Ramli, yang telah menjadi pejuang sejati demi anak-anaknya. Kerja keras, hanturan Do’a, kasih sayang Mama menyatu dalam hidup anakmu hingga tiada mampu membalas segala pengorbanan Mama. Do’akan semoga esok hari menjadi masa depan yang cerah bagi penulis. Amin.

4. Buat abang penulis Mario Eko Nugroho yang usianya hanya terpaut 1 tahun dari penulis. Penulis ucapkan banyak terimakasih untuk segala bantuannya selama pengerjaan skripsi. Mari kita berjuang untuk membahagiakan mama. 5. Ibu Rodiatul Hasanah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang banyak

memberi saran dan masukan kepada penulis selama perkuliahan ini.

6. Ibu Filia Dina Anggaraeni terimakasih atas kesediaannya menjadi dosen penguji skripsi penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Etty Rahmawati, M.Si atas saran dan kritik yang membangun selama penulis mengerjakan skripsi ini.

7. Kepada Pihak Universitas Negeri Medan, Bapak Drs. Syawal Gultom sebagai Rektor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Bapak Sudarmadi atas bantuan dan pengarahan selama proses penelitian. Untuk para Kepala Bagian Administrasi Ibu Siti, Bapak Nurdin, Bapak Edi, Ibu Rosvita dan Bapak Zul serta seluruh dosen yang turut berperan dalam penelitian ini.

6. Bapak dan Ibu staf pengajar Psikologi, yang telah mendidik dan memberikan ilmu selama proses perkuliahan yang penulis jalani. Terimakasih juga kepada Pak Is, Pak As, Kak Ari dan Kak Devi atas bantuan yang telah diberikan.


(5)

8. Sahabat-sahabatku mulai dari teman kecil di Jakarta, 7 bidadari yang terkumpul dalam genk DIAMOND, Adhitya dan Agung yang telah memberi semangat kepada penulis. Untuk Andri Yosrizal dan keluarga. Sahabatku yang manis-manis Desti kembaranku, Zuraidah tempatku mengadu masalah, Sonya yang makin kurus, Nofri teman seperjuangan, Putri yang pernah membuatku menangis, Puteri H. yang kuliah di UISU, Suci sertifikat guru, Maeri yang sudah mulai cari kerja, Mutia Kasim gundit. Buat semuanya semangat dan sukses, tetap jaga pertemanan kita.

9. Untuk Conny, sahabatku di masa SMU hingga kini. Terimakasih untuk segala bantuannya ketika penulis melakukan penelitian di UNIMED. Canda tawa dan hatimu yang baik membuat penulis bangga memiliki sahabat sepertimu. Dini ceking terimakasih untuk waktunya dan semua teman-teman baruku di UNIMED untuk senyumnya, perhatiannya, semangatnya yang diberikan kepada penulis pada saat penelitian di UNIMED. Untuk Murdan dan Afrizal yang banyak menemani penulis ketika di UNIMED dan banyak memberi bantuan kepada penulis.

10.Terimakasih untuk semuanya yang menjadi bagian dari hidup seorang penulis.

Medan, Juli 2008

Hormat saya,


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR BAGAN ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Tujuan penelitian ... 12

C. Manfaat penelitian ... 12

D. Sistematika penulisan ... 13

BAB II. LANDASAN TEORI ... 14

A. Homeschooling ... 14

1.Pengertian homeschooling ... 14

2.Jenis-jenis kegiatan homeschooling ... 17

3.Program kegiatan belajar komunitas homeschooling ... 21

4.Faktor-faktor pemicu dan pendukung homeschooling ... 28

5.Manfaat homeschooling ... 30

B. Pendidikan ... 32


(7)

2.Lembaga pendidikan ... 33

C. Sikap ... 35

1.Defenisi sikap ... 35

2.Komponen sikap ... 38

3.Faktor-faktor pembentukan sikap ... 40

4.Perubahan sikap ... 43

D. Orangtua ... 45

1.Pengertian orangtua ... 45

2.Masa dewasa ... 46

3.Peran orangtua dalam pendidikan di lingkungan keluarga .... 47

E. Sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling ... 50

BAB III. METODE PENELITIAN ... 53

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 53

B. Definisi Operasional ... 54

C. Populasi, sample dan metode pengambilan sampel ... 54

1.Populasi dan sampel ... 54

2.Jumlah sampel ... 56

3.Metode pengambilan sampel ... 56

D. Alat ukur yang digunakan ... 57

E. Validitas alat ukur ... 59

F. Daya beda aitem ... 60


(8)

H. Hasil uji coba alat ukur ... 62

I. Prosedur pelaksanaan penelitian ... 63

1.Tahap persiapan ... 63

2.Pelaksanaan Penelitian ... 64

3.Tahap pengolahan data ... 65

J. Metode Analisa Data ... 65

BAB IV. HASIL DAN INTERPRETASI DATA ... 66

A. Gambaran subjek penelitian ... 66

1.Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 66

2.Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ... 67

3.Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan 67 4.Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat penghasilan 68 B. Hasil penelitian ... 68

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Diskusi ... 75

C. Saran ... 78

1.Saran untuk pengembangan penelitian ... 78

2.Saran bagi praktisi pendidikan homeschooling ... 79


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Dosen Universitas Negeri Medan ... 54

Tabel 2. Blue Print Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pendidikan ... 59

Homeschooling yang akan digunakan dalam uji coba Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pendidikan ... 62

Homeschooling yang akan digunakan dalam penelitian Tabel 4. Persentase Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

Tabel 5. Persentase Subjek Berdasarkan Usia ... 67

Tabel 6. Persentaase Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67

Tabel 7. Persentase Subjek Berdasarkan Tingkat Penghasilan ... 68

Tabel 8. Hasil Analisis Deskriptif ... 70

Tabel 9. Kriteria Kategorisasi Sikap Orangtua Tehadap Pendidikan ... 72

Homeschooling Tabel 10. Hasil Analisis Deskriptif Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 72


(10)

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1. Pembagian Pendidikan... 35


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran. A. Data Mentah Uji Coba Skala dan Skala Asli Penelitian

Lampiran. B. Reliabilitas Alat Ukur Lampiran. C. Hasil Pengolahan Data


(12)

Gambaran Sikap Orangtua Terhadap Pendidikan Homeschooling

Destia Dwi Anggraeni dan Lita Hadiati Wulandari

ABSTRAK

Konsep belajar di rumah atau dikenal sebagai homeschooling menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan dikarenakan sekolah formal dianggap kurang memberi perhatian besar kepada diri peserta didik, juga dianggap kurang efektif dan efisien dalam rangka menjawab pemenuhan kebutuhan kecerdasan siswa didik, yakni intelektual, emosional dan spiritual. Di samping itu, di tengah keraguan terhadap mutu pendidikan nasional, model pendidikan homeschooling

dirasa bisa menjadi model sekolah alternatif (Mahfud, 2007). Media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling

sehingga memberi persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orangtua. Menurut Azwar (2000), nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap. Munculnya homeschooling semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu, komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi serta komponen konatif berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000). Tujuan penelitian adalah ingin melihat sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 60 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala sikap terhadap pendidikan homeschooling dibuat oleh peneliti dengan menggunakan aspek sikap yang dikemukan Azwar (2003) dan aspek program kegiatan belajar komunitas homeschooling menurut Satokhid (1986), Sumardiono (2007) dan Mulyadi (2007). Skala sikap terhadap pendidikan homeschooling

memiliki nilai reliabilitas (rix) = 0.96.

Hasil penelitian menunjukkan sikap orangtua terhadap pendidikan

homeschooling yang termasuk ke dalam kategori sikap positif sebesar 17 orang dengan persentase 28,33%. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori sikap negatif sebesar 22 orang dengan persentase 36,67%. Berdasarkan tingkat pendidikan sikap orangtua yang positif terhadap homeschooling berada pada tingkat S1 dengan nilai mean170,22 dan Berdasarkan tingkat penghasilan sikap orangtua yang positif terhadap homeschooling berada pada tingkat Rp. 2.000.001-Rp. 2.500.000,- dengan nilai mean 168,57.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus-menerus (Ahmadi & Uhbiyati, 1991). Berdasarkan ketetapan MPR No. IV/1978 menyatakan : “Pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education) dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah” (Ahmadi & Uhbiyati, 1991). Orangtua, guru, para pimpinan dan orang dewasa lainnya dalam masyarakat, merupakan para pendidik, karena minimal berperan memberi contoh atau teladan kepada anak-anak dan remaja (Sukmadinata, 2005).

Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan pada Lembaga Pendidikan Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Sekolah. Coomba (dalam Abdulhak, 1986) membagi pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu pendidikan formal (yang merupakan bagian dari pendidikan sekolah), pendidikan informal dan pendidikan nonformal (keduanya merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah). Satokhid (1986) menyebutkan bahwa Pendidikan Luar Sekolah merupakan program pendidikan yang turut membentuk manusia seutuhnya dan membina pelaksanaan konsep pendidikan seumur hidup. Berbeda dengan pendidikan formal dimana


(14)

kegiatannya dilaksanakan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk kelompok belajar, kursus, atau program latihan.

Kenyataannya model pendidikan yang paling umum dan dikenal di masyarakat pada saat ini adalah sistem sekolah. Bahkan, sekolah hampir dipandang sebagai satu-satunya model pendidikan yang ada dan valid di masyarakat. Sekolah adalah sistem yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Jadi, sekolah merupakan model pendidikan mayoritas (Sumardiono, 2007).

Disebutkan bahwa kenyataannya metode konvensional memperlakukan siswa secara “seragam”. Hal ini tidak tepat untuk menangani keberagaman yang dimiliki oleh siswa khususnya kekhasan karakter, kecerdasan, latar belakang, perkembangan fisik, mental, minat, bakat, kecenderungan, dan sebagainya. Siswa diharuskan mengikuti aturan yang seragam dengan jadwal belajar yang sudah terpola dan sistematis lengkap dengan limit waktu yang harus ditempuh yang pada gilirannya bermuara pada ujian yang seragam. Sekolah juga memiliki pengaruh lingkungan yang negatif yang mungkin akan dihadapi oleh anak di sekolah-sekolah umum, seperti pergaulan bebas, tawuran, merokok, dan obat-obat terlarang menjadi ketakutan bagi para orangtua ketika mereka tidak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu, terutama ketika mereka berada di sekolah dan di luar rumah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan sekolah (Rachman dalam Verdiansyah, 2007).

Sekolah formal umumnya sering berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai


(15)

iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan (Simbolon, 2007).

Sistem pembelajaran di sekolah tidak bisa memuaskan “kehausan” intelektual bagi anak didik. Rata-rata setiap anak akan lebih bersemangat belajar tentang apa yang ingin dipelajari dan hal-hal yang disukai sehingga dapat menikmati proses belajar. Adanya keinginan untuk menambah referensi pengetahuan atau bahkan mengubah sama sekali konsep transfer pengetahuan dari sekolah ke institusi lain. Hal ini menyebabkan banyaknya bentuk-bentuk alternatif pendidikan yang beragam mengikuti perkembangan zaman. Beberapa diantaranya yang muncul dan berkembang di Indonesia, seperti sekolah pilihan bakat (misalnya, sekolah atlet, sekolah musik dan sekolah pendalaman agama), sekolah layanan (misalnya, sekolah autis dan tempat rehabilitasi Narkoba atau LP anak-anak nakal), pendidikan komunitas (misalnya kelas berjalan dan sekolah alam) serta e-learning. Diantara bermacam pendidikan alternatif yang muncul di Indonesia, homeschooling adalah salah satu yang ramai dibicarakan. Seminar-seminar bertema homeschooling digelar di berbagai kota besar. Semakin banyak publik figur yang memilih homeschooling untuk memenuhi kebutuhan studi sehingga menambah pamor homeschooling (Kembara, 2007).


(16)

Fenomena homeschooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan. Keluarga seperti ini memilih persekolahan di rumah sebagai jawaban atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan tehadap hak tumbuh kembang anak secara wajar. Di samping itu, komunitas seperti ini sangat memahami prinsip multikecerdasan, tanpa terjebak aspek akademik semata. Akan tetapi, bukan berarti semua peserta didik persekolahan dirumah berasal dari keluarga mapan dari sisi ekonomi, ada juga beberapa keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan formal (Kompas dalam Sumardiono, 2007).

Munculnya homeschooling semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan

homeschooling sehingga memberi persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orangtua. Yang menjadi alasan orangtua melakukan homeschooling biasanya dikarenakan orangtua yang sering berpindah-pindah, pergaulan di sekolah yang kurang kondusif, orangtua merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, orangtua menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat, anak-anak memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat diterima di sekolah umum, orangtua berkeyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga dan orangtua merasa terpanggil untuk mendidik anaknya (Sumardiono, 2007).

Alternatif pendidikan seperti homeschooling perlu dimaknai sebagai solusi atas sulitnya membebaskan sekolah formal dari praktik pengekangan terhadap hak


(17)

tumbuh kembang anak secara wajar (Mulyadi dalam Verdiansyah, 2007).

Homeschooling (sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Yulaelawati (dalam Verdiansyah, 2007), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orangtua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana kondusif dan homeschooling

merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya dapat disetarakan. Di Indonesia, jenis kegiatan homeschooling dibedakan atas 3 (tiga) format, yaitu

homeschooling tunggal apabila diselenggarakan oleh satu keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain, homeschooling majemuk apabila dilaksanakan berkelompok oleh beberapa keluarga dan komunitas homeschooling yang merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur sebagaimana pendidikan nonformal (Kembara, 2007).

Komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling terdapat dalam UU 20/2003 pasal 26 ayat (4) yang menyatakan komunitas homeschooling merupakan salah satu bentuk kelompok belajar (Sumardiono, 2007). Komunitas Homeschooling

belakangan memang marak dipilih para orang tua. Seiring dengan meningkatnya minat orang tua terhadap model pendidikan alternatif ini, komunitas

homeschooling turut bermunculan khususnya di Jakarta, antara lain Kak Seto

Homeschooling (KSHS), Komunitas Berkemas, Keluarga Peduli Pendidikan (KerLip), Morning Star Academy, Komunitas Ibnu Amanah, juga Komunitas Kebun Main. Untuk memayungi berbagai komunitas homeschooling ini, Kak Seto


(18)

bersama Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggagas lahirnya Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) pada tanggal 4 Mei 2006 (Andriati, 2007). Menurut data yang dihimpun oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, ada sekitar 600 peserta

homeschooling di Jakarta. Sebanyak 16,7%, atau sekitar 100 orang, mengikuti

homeschooling tunggal, sedangkan 83,3% atau sekitar 500 orang mengikuti

homeschooling majemuk dan komunitas (Republika dalam Sumardiono, 2007). Berdasarkan keterangan Kepala Seksi Pendidikan Dasar Bapak Suryono dan Staf Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ibu Tati di Departemen Pendidikan Nasional Kota Medan bahwa komunitas homeschooling belum ada. Akan tetapi ada sebuah lembaga pendidikan yang mendekati kegiatan komunitas

homeschooling. Lembaga pendidikan tersebut bernamakan I-Homeschooling. Berdasarkan wawancara terhadap salah satu karyawan di I-Homeschooling

ditambah dengan Buletin I-Homeschooling Edisi Februari 2008 mengatakan bahwa I-Homeschooling memiliki program semi homeschooling dimana program ini mengutamakan hubungan antara orangtua dan anak dalam mendidik anaknya dan setiap seminggu sekali diadakan pertemuan orangtua (Parents’ Gathering). Setiap anak juga mendapat perlakuan khusus, artinya guru khusus dan tentunya kurikulum khusus atau bersifat individual. I-Homeschooling merupakan lembaga pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan menyajikan berbagai kelas pelatihan bakat dan keahlian. Tujuan dari pendidikan ini untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk


(19)

mendapatkan pendidikan dan pelatihan agar anak berkebutuhan khusus dapat berkembang dengan baik.

Sumardiono (2007) menyebutkan beberapa kesalahan persepsi masyarakat dalam memahami konsep homeschooling antara lain: kecenderungan masyarakat untuk tetap berada dalam comfort zone yang telah dijalaninya sehingga sesuatu yang baru cenderung dianggap secara negatif, kesibukan masyarakat yang tidak memungkinkan untuk mengkaji atau meneliti lebih dalam mengenai suatu hal, adanya keyakinan pada masyarakat yang menganggap sekolah yang berhak menyelenggarakan pendidikan, meragukan masalah sosialisasi pada anak

homeschooling, anggapan bahwa hanya orang kaya saja yang dapat menjalankan

homeschooling serta prestasi pendidikan pada anak homeschooling yang diragukan.

Menurut hasil wawancara dengan beberapa ibu rumah tangga yang berdomisili di Medan dimana mereka yang tidak mengetahui homeschooling

kemudian setelah diberitahu mengenai homeschooling memberikan tanggapan terhadap homeschooling bahwa alternatif pendidikan ini cukup baik dengan alasan pengawasan terhadap anak-anaknya lebih ketat jika belajar di rumah dan mereka dapat lebih tahu bakat dan minat anaknya namun mereka merasa tidak memiliki keyakinan dapat mendidik anak mereka dengan baik karena rata-rata pendidikan terakhir mereka SMU. Bagi mereka homeschooling sangat merepotkan diaksanakan karena mereka tidak mengetahui cara pengajaran yang tepat bagi anaknya di homeschooling, selain itu untuk pekerjaan di rumah saja sudah menyita waktu. Menurut mereka sudah menyekolahkan anaknya saja sudah cukup


(20)

untuk memberi wawasan kepada anak-anaknya dengan resiko banyaknya pergaulan negatif yang berasal dari sekolah, seperti merokok, berkelahi dan sebagainya.

Menurut Azwar (2000), nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap. Berikut ini hasil wawancara dengan dua ibu yang berdomisili di Medan, bekerja dan mengetahui tentang homeschooling

memberikan tanggapan terhadap pendidikan homeschooling. Wawancara pertama dilakukan kepada ibu muda yang bekerja di perusaaan Asuransi dan telah memiliki satu anak di tingkat SMP.

Homeschooling itu pendidikan alternatif yang lebih mengutamakan tumbuh kembang anak secara individual jadi pendekatannya lebih personal antara guru dengan anak didiknya dibanding sekolah formal. Gurunya bisa orangtua atau memanggil les privat. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk mempelajari apa saja yang dia mau di rumah selain itu

homeschooling lebih mengutamakan hubungan antara orangtua dan anak. Tapi di Medan sepertinya komunitasnya belum ada ya, tidak seperti di Jakarta...Saya rasa pendidikan ini lebih cocok untuk orangtua yang pekerjaannya berpindah-pindah jadi tidak repot gonta-ganti sekolah formal..(N, Komunikasi Personal, 15 Februari 2008).

Wawancara kedua dilakukan kepada ibu yang berdomisili di Medan, bekerja sebagai dosen dan memiliki anak yang kini telah bersekolah di Perguruan Tinggi.

Homeschooling itu salah satu pendidikan yang cukup baru di Indonesia. Dan pendidikan ini lebih membahas bagaimana cara orangtua mendidik anak di rumah dengan baik. Segala urusan pendidikan anak menjadi tanggung jawab orangtua lebih besar dibandingkan menyekolahkan anak di sekolah. Namun, saya mengkhawatirkan masalah sosialisasi anak di

homeschooling dikarenakan anak akan jarang bertemu dengan teman-teman sebayanya karena mereka tidak mempunyai komunitas teman-teman sebaya yang besar seperti di sekolah...Tetapi untuk menghindari pergaulan yang negatif dari sekolah umumnya homeschooling cukup menjadi salah


(21)

satu alternatif pendidikan yang baik dan homeschooling di Medan sepertinya masih terbatas untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus kan..Tapi itu kembali kepada orangtuanya dalam memilih pendidikan yang cocok untuk perkembangan anaknya (W, Komunikasi Personal, 20 Maret 2008).

Dalam pembahasan psikologi sosial, sikap dianggap sebagai sesuatu yang penting. Muhadjir (dalam Sappaile, 2005) mengatakan sikap merupakan kecenderungan afektif suka–tidak suka pada suatu objek sosial. Harvey dan Smith (dalam Sappaile, 2005) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen kognitif yang merupakan persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu, komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi serta komponen konatif berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu (Mann dalam Azwar, 2000). Dengan ketiga komponen ini akan dilihat bagaimana gambaran sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.

Belajar berawal dari rumah. Selayaknya orangtua menjadi guru pertama bagi putra-putrinya dan rumah sebagai tempat belajar paling awal bagi anak-anak. Kemudian potensi rasa ingin tahu yang ada pada anak terus dikembangkan melalui pendekatan kasih sayang serta suasana belajar yang menyenangkan. Hal tersebut perlu dipola sedemikian rupa sehingga membuat anak-anak dapat belajar secara alamiah dan mengasyikkan (Mulyadi, 2007).

Peranan orangtua dalam proses pendidikan anak cukup penting. Hamalik (dalam khumas, 2003) mengatakan bahwa orangtua turut bertanggung jawab atas


(22)

kemajuan belajar anak-anaknya dengan pemenuhan kebutuhan anak yang tidak hanya dari segi materi melainkan orangtua juga diharapkan memenuhi kebutuhan belajar anak secara psikis, seperti memuji, menegur, memberi hadiah, mengawasi, serta turut serta pada program kegiatan belajar anak.

Pada dasarnya sangat banyak keuntungan jika orangtua memainkan peran aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah daripada di sekolah. Orangtua mereka, jelas mengenal mereka dengan baik sekali. Dan saling berinteraksi dengan mereka, serta tanpa pamrih dalam membantu keberhasilan anak-anaknya. Lingkungan di rumah lebih akrab dan tidak kaku seperti ruang kelas di sekolah yang menyediakan saat-saat yang baik untuk dapat mengajar anak (Analisa, Maret 2007).

Pendidikan homeschooling kini sedang banyak diperbincangkan masyarakat Indonesia, baik itu dari orangtua, praktisi pendidikan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dengan keadaan pendidikan di Indonesia. Homeschooling

juga dijadikan sebagai salah satu solusi dalam permasalahan yang ada di dalam lembaga pendidikan formal kita, khususnya sistem sekolah. Populasi dari penelitian ini adalah orangtua yang telah memiliki anak dikarenakan memiliki peranan penting dalam masalah pendidikan anaknya, berdomisili di Medan dan bekerja sebagai dosen. Dosen merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan kinerja universitas sebagai lembaga pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UU RI NO.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama


(23)

mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (“Undang-Undang”, 2005). Alasan peneliti memilih dosen sebagai subjek penelitian adalah untuk memudahkan peneliti mendapatkan subjek penelitian yang mengetahui homeschooling dengan asumsi latar belakang pekerjaannya di bidang pendidikan.

Di kota Medan sendiri belum ada komunitas homeschooling namun hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling. Selain itu, salah satu bentuk sosialisasi

homeschooling melalui media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling yang dapat di akses di berbagai kota di Indonesia, termasuk kota Medan (Sumardiono, 2007).

Konsep belajar di rumah atau dikenal sebagai homeschooling nampaknya menjadi fenomena menarik dalam dunia pendidikan dikarenakan sekolah formal dianggap kurang memberi perhatian besar kepada diri peserta didik, juga dianggap kurang efektif dan efisien dalam rangka menjawab pemenuhan kebutuhan kecerdasan siswa didik, yakni intelektual, emosional dan spiritual. Di samping itu, di tengah keraguan terhadap mutu pendidikan nasional, model pendidikan

homeschooling dirasa bisa menjadi model sekolah alternatif (Mahfud, 2007). Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.


(24)

B. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran Sikap Orangtua terhadap Pendidikan Homeschooling.

D. Manfaat penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang berguna dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang Psikologi Pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana sikap orangtua terhadap pendidikan

homeschooling. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu psikologi sendiri mengenai homeschooling.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan informasi bagi orangtua dan masyarakat mengenai sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling.

b. Memberikan informasi bagi praktisi pendidikan homeschooling untuk mengetahui bagaimana sikap orangtua terhadap pendidikan


(25)

c. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, khususnya penelitian yang berhubungan dengan pendidikan

homeschooling.

D. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari lima sub bab meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah Landasan Teori. Bab ini meliputi pembahasan tentang Pendidikan Homeschooling, sikap, orangtua dan sikap orangtua terhadap Pendidikan Homeschooling.

Bab III adalah Metode Penelitian yang terdiri atas identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data.

Bab IV terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Homeschooling

1. Pengertian homeschooling

Dalam bahasa Indonesia, terjemahan dari homeschooling adalah “sekolah rumah”. Istilah ini dipakai secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk menyebutkan homeschooling. Selain sekolah rumah,

homeschooling terkadang diterjemahkan dengan istilah sekolah mandiri.

Homeschooling merupakan model pendidikan alternatif selain di sekolah. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Orangtua bertanggung jawab secara aktif atas proses pendidikan anaknya. Bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orangtua pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak (Sumardiono, 2007).

Lima syarat yang harus dimiliki orangtua yang ingin menjalankan

homeschooling, yaitu mencintai anak-anak, kreatif, bersahabat dengan anak, memahami anak-anak, dan memiliki kemauan untuk mengetahui standar kompetensi dan standar isi kurikulum nasional. Sesuai namanya, proses


(27)

homeschooling memang berpusat dirumah, tetapi proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orangtua homeschooling biasanya menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling

anaknya. Untuk melakukan pendidikan dan pengayaan (enrichment), keluarga

homeschooling juga memanfaatkan semua infrastruktur dan sarana yang ada di masyarakat (Mulyadi, 2007). Semakin luas kita mengait-ngaitkan berbagai hal, maka semakin banyak kita belajar (Vos dalam Mulyadi, 2007).

Proses pembelajaran keluarga homeschooling dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di dunia nyata, seperti fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan). Selain itu, keluarga homeschooling dapat menggunakan guru privat, tutor, mendaftarkan anak pada kursus atau klub hobi (komik, film, fotografi), dan sebagainya. Internet dan teknologi audio visual yang semakin berkembang juga merupakan sarana belajar yang biasa digunakan oleh keluarga homeschooling (Sumardiono, 2007).

Mulyadi (2007) turut menambahkan bahwa homeschooling akan membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi, dan lingkungan sosial yang terus berkembang. Orangtua seharusnya memusatkan perhatian pada anak, selama mereka terjaga dan beraktivitas, kedekatan orangtua dengan anak-anaknya dapat dijadikan cara belajar yang efektif dan bisa dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang didapatkan dari fasilitas yang ada di dunia nyata.


(28)

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Akan tetapi, homeschooling dan sekolah juga memiliki beberapa perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada

homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga

homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua (Simbolon, 2007).

Dapat disimpulkan bahwa homeschooling merupakan pendidikan alternatif, dimana orangtua berperan secara aktif dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya dan anak dapat belajar dengan berbagai situasi, kondisi, lingkungan sosial yang terus berkembang. Proses pembelajaran homeschooling

bersifat fleksibel baik dari segi waktu dan keinginan anak untuk belajar sesuai dengan minat dan potensinya secara mandiri dan disiplin.


(29)

2. Jenis-jenis kegiatan homeschooling

Dalam sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan homeschooling

adalah sebuah kegiatan yang legal dan dijamin oleh hukum berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No. 20/2003), Pasal 1 Ayat 1:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Direktur Pendidikan kesetaraan, Direktorat jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, Yulaelawati menyebutkan

Homeschooling merupakan jalur pendidikan informal dimana hasil belajarnya dapat disetarakan. Peserta didik jalur informal dapat pindah jalur ke jalur nonformal dengan alih kredit kompetensi. Apabila siswa ingin mengikuti ujian nasional kesetaraan (untuk ijazah SD adalah paket A, SMP paket B, dan SMA paket C), hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio, CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan (Mulyadi, 2007). Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal. Akan tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal jika keluarga menginginkan penilaian kesetaraan. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 dalam UU 20/2003 (dalam Sumardiono, 2007):

“(1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, dan (2) hasil


(30)

pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.

Untuk mendapatkan kesetaraan dengan pendidikan formal, penyelenggara pendidikan informal (homeschooling) harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur pendidikan formal dan nonformal yang telah dibuat. Bagi keluarga

homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan kesetaraan adalah membentuk Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar diakui sebagai salah satu satuan pendidikan nonformal yang berhak menyelenggarakan pendidikan (Sumardiono, 2007).

Di Indonesia, jenis kegiatan homeschooling dibedakan atas (3) tiga format, yaitu:

a. Homeschooling tunggal

Mulyadi (2007) menyebutkan homeschooling tersebut dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan yang lainnya. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan komunitas homeschooling lain. Alasan lain adalah karena lokasi atau tempat tinggal si pelaku homeschooling yang tidak memungkinkan berhubungan dengan komunitas homeschooling

lain. Sumardiono (2007) menyebutkan alasan format ini dipilih oleh keluarga karena ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan homeschooling. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai


(31)

dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Disebutkan bahwa format

homeschooling tunggal memiliki kompleksitas tinggi karena seluruh beban/tanggung jawab berada di tangan keluarga.

b. Homeschooling majemuk

Mulyadi (2007) mengatakan bahwa homeschooling tersebut dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari kegiatan olahraga, seni/musik, sosial, dan keagamaan. Sumardiono (2007) menambahkan bahwa jenis kegiatan ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga. Selain itu, jenis kegiatan ini dapat menambah sosialisasi sebaya dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling. Tantangan terbesar dari format homeschooling majemuk adalah mencari titik temu dan kompromi dan kompromi atas hal-hal yang disepakati antara para anggota homeschooling majemuk karena tidak adanya keterikatan struktural.

c. Komunitas homeschooling

Mulyadi (2007) menyebutkan komunitas homeschooling merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan


(32)

menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan orangtua dan komunitasnya kurang lebih 50:50. Sumardiono (2007) menyebutkan bahwa komunitas homeschooling

membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia, pengembangan inteligensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standar mutu tertentu tanpa menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya. Selain itu, komunitas homeschooling

diharapkan dapat dibangun fasilitas belajar mengajar yang lebih baik yang tidak diperoleh dalam Homeschooling tunggal/majemuk, misalnya bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA/bahasa, auditorium, fasilitas olahraga, dan kesenian.

Komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling

terdapat dalam UU 20/2003 pasal 26 ayat (4) (dalam Sumardiono, 2007):

“Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidkan yang sejenis.”

Sebagai satuan pendidikan nonformal, komunitas homeschooling dapat berfungsi menjalankan pendidikan nonformal, termasuk


(33)

menyelanggarakan ujian kesetaraan. Hal itu sejalan dengan UU 20/2003 pasal 26 ayat (6):

“ Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”

Izin badan hukum yang menaungi kepentingan dan keberadaan komunitas homeschooling antara lain, PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), PT atau Yayasan, dan komunitas homeschooling (Sumardiono, 2007).

3. Program Kegiatan Belajar Komunitas Homeschooling

Berdasarkan landasan penyusunan program kegiatan belajar Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang diksanakan dan dikembangkan oleh warga masyarakat dalam bentuk kelompok belajar (Satokhid, 1986). Program kegiatan belajar komunitas homeschooling diatur berdasarkan 11 (sebelas) aspek, yaitu:

a. Tujuan program belajar

Dalam merumuskan tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus hendaknya dikemukakan secara jelas. Tujuan umum menyatakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar setelah selesai mengikuti keseluruhan program. Tujuan khusus menyatakan kemampuan khusus yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar setelah selesai mengikuti suatu kegiatan belajar/mendapatkan suatu pengalaman belajar. kemampuan yang diharapkan untuk dimiliki oleh


(34)

warga belajar seharusnya mencakup aspek, keterampilan, sikap dan pengetahuan. Tujuan khusus hendaknya disusun dengan menggunakan kalimat dengan kata kerja yang bersifat operasional dan dapat diukur. Yang menjadi tujuan umum komunitas homeschooling adalah mempersiapkan anak untuk terjun ke dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya. Untuk tujuan khusus komunitas homeschooling

memberikan peluang bagi anak untuk belajar secara mandiri dan berkreativitas sesuai dengan potensi masing-masing anak (Sumardiono, 2007).

b. Sumber belajar

Sumber belajar ditentukan sesuai dengan hasil identifikasi dan konsultasi, banyaknya ditentukan menurut kebutuhan.

Komunitas homeschooling membagi aturan dalam menentukan sumber belajar antara orangtua penyelenggara homeschooling dengan komunitasnya sebesar 50:50. Rumah maupun komunitas homeshooling

yang sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan dimana orangtua dan para pengajar bertanggung jawab untuk mengajar sesuai keahlian masing-masing. Homeschooling menggunakan media penunjang yang variatif dan memberikan kebebasan pada anak untuk belajar apa saja sesuai minat dan hal-hal yang disukai. Anak homeschooling dapat berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran,


(35)

seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun binatang, ataupun tempat kerja (Mulyadi, 2007).

c. Warga belajar

Jumlah warga belajar hendaknya dibatasi, menurut kemampuan pelayanan. Jumlah yang efektif tidak lebih dari 20 orang warga belajar. Berbeda dengan siswa sekolah yang terekspos dengan sosialisasi sebaya (horizontal socialization), siswa homeschooling lebih terekspos dengan pergaulan lintas-usia (vertical socialization). Komunitas

homeschooling sendiri memiliki ruang gerak sosialisasi peserta didik yang lebih luas dibandingkan homeschooling tunggal dan

homeschooling majemuk tetapi masih dapat dikendalikan dikarenakan

homeschooling memungkinkan untuk melakukan penyesuaian pendidikan secara individual (Sumardiono, 2007).

d. Waktu belajar

Menentukan waktu belajar hendaknya memperhatikan waktu senggang baik bagi para warga belajar maupun bagi sumber belajar. Lamanya waktu belajar tergantung pada tingkat kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh warga belajar sebagaimana dinyatakan dalam tujuan program belajar.

Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau fleksibilitas. Jadi tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Meski kedisiplinan dan tanggung jawab tetap


(36)

ditekankan dalam homeschooling dengan membuat jadwal-jadwal belajar, namun kekakuan bisa diminimalkan (Mulyadi, 2007).

e. Bahan belajar

Dalam menentukan materi/bahan pelajaran berdasarkan kebutuhan belajar dan juga disertakan bahan pelajaran yang sesuai dengan misi pemerintah, seperti Pancasila, Kewarganegaraan, dan lain-lain.

Untuk komunitas homeschooling bahan belajar untuk pendidikan akademik lebih terstruktur. Komunitas homeschooling tertentu juga menyediakan paket belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak. Untuk belajar, siswa homeschooling dapat menggunakan bahan-bahan yang tersedia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, keluarga homeschooling dapat membeli kurikulum dan materi-materi ajar secara online melalui internet dan juga dapat menggunakan kurikulum Diknas sebagai acuan yang dapat diambil gratis via internet. Untuk materi ajar, keluarga homeschooling dapat menggunakan buku-buku yang ada tanpa tergantung keharusan memilih buku dari penerbit tertentu bahkan tidak harus membeli buku baru karena buku-buku lama masih dapat digunakan sepanjang materinya relevan (Sumardiono, 2007).

f. Metode mengajar/belajar

Merumuskan metode-metode yang tepat untuk dipergunakan dalam kegiatan belajar mengajar tersebut, misalnya: ceramah, diskusi, kerja kelompok, demonstrasi, dan sebagainya.


(37)

Pengajaran di dalam komunitas homeschooling bisa diserahkan kepada orangtua atau menyewa guru-guru berkualitas dalam mendidik anaknya sesuai dengan potensinya. Pengajaran antara teori dengan praktek seimbang. Para orangtua membentuk network untuk membagi pengalamannya kepada orangtua lain yang mendidik anaknya di

homeschooling. Bahkan, jika minat anak-anak sama, beberapa orangtua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak anak belajar bersama dengan anak-anak lain yang memiliki minat sama. Jadi,

homeschooling memberikan kebebasan untuk belajar secara fleksibel, menyenangkan dan sesuai dengan minatnya (Kembara, 2007).

g. Alat-alat belajar

Menentukan alat-alat belajar yang diperlukan dalam setiap satuan kegiatan belajar.

Di komunitas homeschooling tersedia fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel kerja, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian. Keluarga homeschooling juga dapat menggunakan sarana pembelajaran, baik barang cetakan (majalah, ensiklopedia, rosur), alat-alat audio (kaset CD), audio visual (TV, VCD, film), internet (tersedia lembar kerja, ide pengajaran, aktivitas, keterampilan, dan sebagainya) (Mulyadi, 2007).

h. Dana belajar

Menentukan besar anggaran kebutuhan dana untuk melaksanakan kegiatan belajar.


(38)

Kunci dari pengelolaan biaya dalam penyelenggaraan homeschooling

adalah kreativitas orangtua dalam mengatur biaya pendidikan bagi anaknya. Melalui komunitas, para keluarga homeschooling dapat saling bertukar pengalaman dan bahan pengajaran, saling bertukar keahlian; misalnya saling mengajar antara keluarga homeschooling. Biaya yang ditawarkan komunitas homeschooling sifatnya beragam (Sumardiono, 2007).

i. Tempat belajar

Tempat belajar hendaknya diusahakan tidak jauh dari tempat kediaman warga belajar.

Bagi pelaksana homeschooling tempat belajar dapat dilaksanakan di

indoor maupun outdoor (rumah, luar rumah ataupun komunitas

homeschooling tertentu) dengan suasana belajar yang kondusif bagi anak yang melaksanakan kegiatan homeschooling.

j. Evaluasi belajar

Merumuskan cara-cara dan alat evaluasi, baik formatif maupun sumatif, dihubungkan dengan tujuan khusus yang ingin dicapai.

Hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio (dokumentasi proses dan karya-karya selama proses pembelajaran), CV (curiculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan. Evaluasi kegiatan belajar dapat dilaksanakan dengan acara berdiskusi antara orangtua dan anak juga dapat digunakan untuk mengetahui apa yang berhasil dan gagal untuk


(39)

diperbaiki di waktu yang berikutnya (Yulaelawati dalam Sumardiono, 2007).

k. Jadwal pelajaran

Jadwal pelajaran disusun menurut kebutuhan atau persatuan warga belajar dan sumber belajar.

Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling, jadwal belajar fleksibel tergantung kesepakatan antara orangtua dan anak. Di komunitas homeschooling

pembagian jadwal pelajaran antara orangtua dan komunitasnya sebesar 50:50 (Sumardiono, 2007).

Dalam menetukan komponen objek sikap seharusnya mengetahui tujuan pengukuran yang dilakukan dan mempunyai gambaran yang jelas, luas dan relevan mengenai objek sikapnya (Azwar, 2000). Yang menjadi komponen objek sikap adalah program kegiatan belajar komunitas homeschooling. Hal ini dikarenakan pengaturan kegiatan komunitas homeschooling lebih terstruktur dan komunitas homeschooling merupakan satuan pendidikan jalur nonformal yang dapat menyelenggarakan pendidikan nonformal dikarenakan komunitas

homeschooling berbentuk kelompok belajar. Dari 11 (sebelas) aspek tersebut akan dijadikan dasar dalam pembuatan alat ukur yakni skala sikap terhadap pendidikan homeschooling.


(40)

4. Faktor-faktor pemicu dan pendukung homechooling

Beberapa faktor pemicu dan pendukung homeschooling menurut Simbolon (2007),antara lain:

a. Kegagalan sekolah formal

Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.

b. Teori inteligensiganda

Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan

homeschooling adalah teori inteligensi ganda (multiple intelligences) yang digagas oleh Howard Gardner. Pada awalnya, ada 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, ditambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah: inteligensi linguistik; inteligensi matematis-logis; inteligensi ruang-visual; inteligensi kinestetik-badani; inteligensi musikal; inteligensi interpersonal; inteligensi intrapersonal; inteligensi ligkungan; dan inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini memicu para orangtua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.


(41)

c. Sosok homeschooling terkenal

Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya

homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya. Pendidikan homeschooling ini sudah lama berkembang di Indonesia, hal ini ditandai banyaknya para kiai, buya dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya dirumah secara pribadi atau di pesantren-pesantren ketimbang memercayakan pendidikannya kepada orang lain. d. Tersedianya aneka sarana

Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).


(42)

5. Manfaat homeschooling

Mulyadi (2007), menyebutkan beberapa manfaat dalam model pendidikan

homeschooling, antara lain adalah: a. Anak menjadi subyek belajar

Melalui homeschooling, anak-anak diberi peluang untuk menentukan materi-materi yang ingin dipelajarinya. Anak menjadi subjek dalam kegiatan belajar. Selain materi yang dapat dipilih sesuai keinginan anak, gaya belajar si anak dapat dilayani sehingga anak dapat merasa nyaman serta menyenangkan dalam melakukan kegiatan belajar. b. Objek yang dipelajari sangat luas dan nyata

Homeschooling akan membawa anak-anak untuk belajar di dunia nyata, di alam yang sangat terbuka. Di samping itu, objek yang dipelajari anak bisa sangat luas, seluas langit dan bumi.

Homeschooling dapat membebaskan anak untuk belajar apa yang sesuai minat dan hal-hal yang disukainya. Mereka dapat berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti persawahan, taman burung, pemandian air panas, stadion olahraga, dan tempat-tempat lain yang menarik perhatiannya serta dapat dijadikan tempat belajarnya.

c. Ajang menanamkan cinta belajar

Homeschooling berusaha menyadarkan kepada orangtua bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Untuk menanamkan rasa cinta belajar kepada anak sejak dini, hanya orangtualah yang


(43)

mungkin paling layak untuk mewujudkannya. Secara naluriah, anak sejak berada di kandungan ibunya sudah dilengkapi dengan kemauan kuat untuk belajar. Apabila, lingkungan di rumahnya tidak mendukung, ada kemungkinan kemauan kuat itu semakin lama semakin hilang dan akhirnya tidak ada lagi semangat atau rasa cinta belajar dalam diri si anak.

d. Memberikan kemudahan belajar karena fleksibel

Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama penyelenggaraan homeschooling adalah adanya kelenturan atau fleksibilitas. Jadi, tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Kalau terlalu disusun dalam kurikulum yang baku, maka homeschooling justru akan kehilangan makna utamanya.

e. Mendukung belajar secara kontekstual

Kontekstual berasal dari kata kerja latin yang berarti “menjalin bersama”. Kata konteks merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Untuk menyadari seluruh potensinya, semua organisme hidup, termasuk manusia, harus berada di dalam gabungan yang tepat dengan konteks mereka. Homeschooling sangat memungkinkan untuk menampung sekaligus mendukung kegiatan belajar yang kontekstual. Ketika seorang anak dapat mengaitkan isi materi pelajaran yang dipelajarinya dengan pengalaman mereka


(44)

sendiri, mereka menemukan makna, dan memberi alasan kepada mereka untuk belajar (Johnson dalam Mulyadi, 2007).

B. Pendidikan

1. Definisi pendidikan

Definisi pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian pendidikan yang luas dan representatif, pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan (Syah, 1995).

Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Interaksi ini disebut interaksi pendidikan, yaitu saling pengaruh antara pendidik dengan peserta didik. Proses pendidikan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan keluarga menempati kedudukan yang paling sentral, sebab ada suatu kecenderungan yang sangat kuat pada manusia bahwa mereka ingin melestarikan keturunannya, dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Pendidikan di keluarga lebih bersifat informal. Cita-cita orangtua tentang anak dan cucunya direalisasikan


(45)

melalui pendidikan. Pendidikan segi moral, agama, ekonomi, intelektual, estetika, bahkan politis. Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam keluarga. Sedangkan pelanjut dari pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan dalam lingkungan sekolah. Pendidikan di sekolah lebih bersifat formal karena di sekolah ada kurikulum sebagai rencana pendidikan dan pengajaran, ada guru-guru yang lebih profesional, ada sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan. Lingkungan ketiga didalam pendidikan adalah lingkungan masyarakat. Sebagai peserta didik (anak, remaja ataupun orang dewasa) sebenarnya mereka telah berada, hidup dan berkembang dalam lingkungan masyarakat, tetapi setelah selesai masa pendidikan, maka mereka masuk ke masyarakat dengan status yang lain, yang menunjukkan tingkat kedewasaan dan kemandirian yang lebih tinggi, baik itu melalui kegiatan yang lebih formal, bahkan tidak formal (Sukmadinata, 2005).

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa homeschooling merupakan bentuk pendidikan yang mengembangkan metode-metode sedemikian rupa, dilaksanakan orangtua atau orang dewasa lainnya yang memiliki keahlian sebagai pendidik untuk memberikan pengetahuan, pemahaman dan peningkatan keterampilan atau kemampuan kepada anak yang menjadi peserta didik. Dan proses pendidikan homeschooling terjadi di dalam lingkungan keluarga dan mayarakat.

2. Lembaga pendidikan

Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan pada Lembaga Pendidikan Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Sekolah. Pendidikan Sekolah diartikan


(46)

dengan penyelenggaraan pendidikan yang mempunyai persyaratan beserta kurikulum yang ketat, teratur dengan mempunyai struktur yang bertingkat dan berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas dan yang setaraf dengannya, termasuk kegiatan pendidikan yang berorientasi akademis dan umum, bermacam-macam spesialisasi dan latihan-latihan teknik serta profesional yang dilaksanakan secara terus-menerus. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah, seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negara (Abdulhak, 1986).

Coomba (dalam Abdulhak, 1986) memandang pembagian pendidikan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu pendidikan informal, formal dan nonformal. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan organisasi. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Sedangkan pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat.


(47)

Berdasarkan uraian diatas, kesimpulan mengenai pembagian pendidikan dapat diringkaskan ke dalam bentuk bagan dibawah ini:

Bagan 1. Pembagian Pendidikan

C. Sikap

1. Definisi sikap

Sikap atau attitude sudah sejak lama menjadi salah satu konsep yang dianggap paling penting dalam psikologi sosial khususnya dan dalam berbagai ilmu sosial umumnya. Spencer (dalam Azwar, 2000) mengartikan istilah sikap pertama kali sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep untuk mengartikan postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Wrightsman & Deaux dalam Azwar, 2000). Istilah ini kemudian berkembang menjadi kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba (Lange dalam Azwar, 2000). Pada perkembangan selanjutnya istilah sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik.

Telah banyak ahli yang memberikan definisi mengenai sikap. Salah satu kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 2000) menyatakan bahwa sikap adalah suatu

PENDIDIKAN

PENDIDIKAN SEKOLAH PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


(48)

bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologi meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide, dan sebagainya (Hogg dan Vaughan, 2002).

Secord & Backman (dalam Azwar, 2000) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sobur (2003) menarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi, dan mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijakan sosial.

Menurut para ahli, dalam memahami sikap harus diperhatikan tentang ambivalensi sikap. Istilah ini mengacu pada kenyataan bahwa evaluasi manusia terhadap objek, isu, orang, atau peristiwa tidak selalu secara seragam positif atau negatif; sebaliknya, evaluasi itu sering terdiri dari dua reaksi baik positif maupun negatif (Baron & Byrne, 2004).

Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek tertentu. Ada 8 (delapan) teknik


(49)

pengukuran sikap, yaitu: skala Thurstone (skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak social), skala Osgood (skala diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein, pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.

Pernyataan sikap (attitude statements) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap dapat berisi kalimat-kalimat yang bersifat mendukung atau memihak dan juga bersifat yang tidak mendukung atau tidak memihak. Skala sikap berisi kalimat yang bersifat mendukung atau disebut sebagai pernyataan favorable dan untuk kalimat yang bersifat tidak mendukung disebut sebagai penyataan tak

favorable dalam jumlah kurang lebih seimbang. Variasi pernyataan favorable dan

non favorable akan membuat responden untuk memikirkan secara hati-hati isi pernyataannya sebelum memberikan respons sehingga streotipe responden dalam menjawab dapat dihindari (Azwar, 2000).

Dapat disimpulkan bahwa sikap adalah evaluasi terhadap suatu objek. Evaluasinya bisa positif atau negatif, dan juga bisa tercampur antara positif dan negatif. Dalam penelitian ini sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling, yaitu pernyataan positif atau negatif yang ditampilkan orangtua dalam memperlihatkan respon terhadap pendidikan homeschooling.


(50)

2. Komponen sikap

Calhoun & Acocella (dalam Sobur, 2003) mengemukakan bahwa sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, suatu sikap mengandung 3 komponen dasar yaitu kognitif (keyakinan), afektif (emosi/perasaan), dan konatif (tindakan).

Selanjutnya Krech, Cruthchfield, dan Ballachey (dalam Sobur, 2003) merumuskan ketiga komponen tersebut. Komponen kognitif adalah kepercayaan (belief) seseorang terhadap objek sikap. Belief bergantung pada sistem sikap, yang merupakan evaluative belief mencakup ciri-ciri menyenangkan atau tidak menyenangkan, menguntungkan atau tidak menguntungkan, berkualitas baik atau buruk, dan belief tentang cara merespons yang sesuai dan tidak sesuai terhadap objek. Komponen afektif menunjuk pada emosionalitas terhadap objek. Objek dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Dan komponen konatif adalah kecenderungan tindakan seseorang, baik positif maupun negatif, terhadap objek sikap.

Mann (dalam Azwar, 2000), menyatakan sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:

a. Komponen kognitif

Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. Azwar


(51)

(2000) menyatakan kepercayaan terhadap sesuatu datang dari apa yang telah dilihat atau dari yang telah diketahui. Berdasarkan hal ini kemudian terbentuk ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan terbentuk akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu.

b. Komponen afektif

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Azwar (2000) menyatakan bahwa reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud. c. Komponen konatif

Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Menurut Azwar (2000) komponen konatif menunjukkan bagaimana cara berperilaku sesuai dengan objek sikap yang dihadapi. Asumsinya adalah bahwa kepercayaan dan perasaan banyak


(52)

mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual.

Azwar (2000) menyatakan bahwa ketiga komponen diatas adalah selaras dan konsisten. Konsistensi antara kepercayaan (kognitif), perasaan (afektif), dan tendensi perilaku (konatif) menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap. Apabila salah satu diantara ketiga komponen tersebut tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap.

3. Faktor-faktor pembentukan sikap

Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan hasil interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap.

Azwar (2000) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, diantaranya adalah:

a. Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai


(53)

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologi. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataupun sikap negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (dalam Azwar, 2000) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Namun, individu biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya dari pengalaman-pengalaman yang terdahulu, yang relevan.

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, biasanya orang yang dianggap penting bagi individu adalah orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk


(54)

berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan

Skinner (dalam Azwar, 2000) sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Menurutnya, kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita alami. Kita memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement (penguat, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain. kebudayaan juga telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuat yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.

d. Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh


(55)

informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. Walaupun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung, namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap, peranan media massa tidak kecil artinya. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya di sampaikan secara objektif seringkali dimasuki unsur subjektivitas penulis berita, baik secara sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap sikap pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita yang sudah dimasuki unsur subjektif itu, terbentuklah sikap tertentu.

4. Perubahan sikap

Pada hakikatnya sikap itu relatif tetap, tetapi dapat berubah. Perubahan sikap dipengaruhi oleh (a) Sistem sikap (b) kepribadian dan (c) afiliasi individu dalam kelompok (Krech, Couthfield, & ballachey dalam Mujiyati, 2004). Menurut Kelman (dalam Mujiyati, 2004) ada tiga proses sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification) dan internalisasi (internalization). Selanjutnya Newcomb, Turner, & Converse (dalam Mujiyati, 2004) menambahkan bahwa perubahan sikap tidak hanya tergantung dari sifat sikap yang dibawa seseorang tetapi juga dari ciri-ciri lain yaitu berita


(56)

yang persuasif dan ciri-ciri badan yang menyampaikan informasi itu, atau sumber informasi.

Menurut Walgito (dalam Hudaniah, 2003) bahwa perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk mengubah sikap.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam diri individu dan ada faktor di luar diri individu yang keduanya saling berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama perkembangan individu (Hudaniah, 2003).

Sikap dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karenanya sikap dapat mengalami perubahan. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sherif & Sherif (dalam Hudaniah, 2003) bahwa sikap dapat berubah karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Sebagai hasil dari belajar sikap tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa akan berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tertentu.


(57)

D. Orangtua

1. Pengertian orangtua

Orangtua biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau siapa saja yang berperan dan bertanggung jawab dalam suatu keluarga. Keluarga biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau orang-orang yang menggantikan peran mereka. Orangtua adalah orang-orang yang telah dewasa lahir dan batin, yang telah memiliki kematangan secara fisik dan non-fisik, keamatangan/keseimbangan emosi/perasaan dan rasio/pemikiran dan adanya kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial dan mental serta berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai orangtua dalam mengelola dan membina/mengasuh peserta didik/orang-orang yang belum dewasa dalam keluarganya, seperti anaknya. Orangtua yang ideal adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relatif cukup dalam mengelola berbagai aspek dalam kehidupan dan pendidikan keluarganya (Yacub, 2005).

Menurut Verkuyl (dalam ahmadi, 1999) ada 3 (tiga) tugas dan panggilan untuk orangtua, yaitu:

a. Mengurus keperluan materil anak

Merupakan tugas pertama dimana orangtua harus memberi makan, tempat perlindungan dan pakaian kepada anak. Anak sepenuhnya masih tergantung kepada orangtuanya karena anak belum mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.

b. Menciptakan suatu “home” bagi anak

Home” disini berarti bahwa di dalam keluarga itu anak dapat berkembang dengan subur, merasakan kemesraan, kasih sayang,


(58)

keramahtamahan, merasa aman, terlindungi, dan lain-lain. Di rumah anak merasa tentram, tidak pernah kesepian dan selalu gembira.

c. Tugas pendidikan

Tugas mendidik merupakan tugas terpenting dari orangtua terhadap anaknya.

2. Masa dewasa

Istilah adolescene yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Masa dewasa merupakan periode yang paling penting dalam masa kehidupan, umunya dibagi atas tiga periode, yaitu masa dewasa dini, dari umur 18-40 tahun, masa dewasa pertengahan, dari umur 40-60 tahun, dan masa dewasa akhir atau ”usia lanjut”, dari 60 tahun hingga kematian (Hurlock, 1980).

Peran orangtua dimulai dari masa dewasa dini. Diantara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi. Hal ini disebabkan kurangnya dasar-dasar yang harus dibangun dalam menyesuaikan diri dengan peran baru yang terjadi di dewasa dini. Masa sebagai orangtua dipandang sebagai ”masa krisis” dalam kehidupan seseorang karena masa tersebut menuntut perubahan dalam sikap, nilai dan peran (Hurlock, 1980).


(1)

formal dan merupakan pendidikan mayoritas semakin membentuk sikap negatif terhadap pendidikan homeschooling.

Sedangkan sikap positif dapat terbentuk dikarenakan munculnya homeschooling semakin marak dan diminati oleh masyarakat. Media massa, baik media cetak maupun elektronik cukup gempar memberitakan homeschooling sehingga memberi persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orangtua. Yang menjadi alasan orangtua melakukan homeschooling biasanya dikarenakan orangtua yang sering berpindah-pindah, pergaulan di sekolah yang kurang kondusif, orangtua merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, orangtua menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat, anak-anak memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat diterima di sekolah umum, orangtua berkeyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga dan orangtua merasa terpanggil untuk mendidik anaknya (Sumardiono, 2007). Berdasarkan penjelasan ini sikap positif orangtua dapat terbentuk dari salah satu faktor pembentuk sikap yaitu pengaruh media massa yang membawa informasi mengenai pendidikan homeschooling yang dapat mempengaruhi sikap seseorang.

Fenomena homeschooling tumbuh di masyarakat kalangan menengah ke atas yang memahami falsafah pendidikan dalam konteks pencerahan dan pembebasan.. Semakin banyak publik figur yang memilih homeschooling untuk memenuhi kebutuhan studi sehingga menambah pamor homeschooling (Kembara, 2007). Di Indonesia, Homeschooling berkembang karena beberapa hal. Antara lain karena tingkat pendidikan orangtua saat ini sudah semakin baik, sehingga kemampuan ekonomi juga cenderung membaik yang berdampak pada tingginya


(2)

kepercayaan diri untuk mengadaptasi model pendidikan yang dianggap lebih tepat dan menyediakan sarana pendidikan yang lebih memadai dibanding sekolah yang ada pada umumnya (Mahdi, 2007). Berdasarkan penelitian sikap orangtua terhadap pendidikan homeschooling maka yang memiliki sikap positif terhadap homeschooling adalah orangtua yang berlatarbelakang pendidikan S1 dan memiliki tingkat penghasilan Rp. 2.000.001-Rp. 2.500.000,-.

C. Saran

Pada bagian ini peneliti akan mengakhirinya dengan memberikan saran, mengingat penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Berikut ini beberapa saran dari peneliti:

1. Saran untuk pengembangan penelitian

Berdasarkan dari hasil penelitian ini, bagi pihak-pihak yang berminat dengan penelitian sejenis atau untuk mengembangkan penelitian lebih jauh, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :

a. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan dengan membandingkan sikap orangtua di kota Medan dan dengan orangtua di kota Jakarta. Hal ini berkaitan dengan pengadaan komunitas homeschooling yang belum ada di kota Medan.

b. Dalam pemilihan subjek penelitian, tingkat pengetahuan subjek tentang homeschooling seharusnya berada pada taraf yang sama. Misalnya dengan menggunakan brosur mengenai homeschooling kepada subjek penelitian


(3)

sehingga yang menjadi subjek penelitian memiliki informasi yang sama mengenai homeschooling.

c. Penelitian selanjutnya yang ingin mengangkat tema homeschooling, hendaknya dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan alasan akan memungkinkan mendapatkan data yang mendalam melalui wawancara.

2. Saran bagi Praktisi Pendidikan Homeschooling

a. Menjadi informasi bagi praktisi pendidikan homeschooling untuk lebih mensosialisasikan pendidikan homeschooling kepada para orangtua dalam menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi & Uhbiyati. (1991). Ilmu pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. (1999). Psikologi sosial (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Andriati, Rias. (2007). Bisnis baru: homeschooling. http://riasandriati.blogspot.com/2007/07/bisnis-baru-home-schooling.html Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.

Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Azwar, S. (2000). Sikap manusia: teori dan pengukurannya (edisi ke2). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

___(2003). Reliabilitas dan validitas (edisi 3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron & Byrne. (2004). Psikologi sosial (jilid 1, edisi 10). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gunarsa, S. & Gunarsa. (2000). Psikologi praktis: anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Hadi, S. (2000) Metodologi research (jilid 1-4). Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hastono, S.(2006). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Hogg, M. A., & Vaughan, G. M. (2002). Social psychology. Harlow: Prentice Hall.

Hudaniah, T. (2003). Psikologi sosial (Edisi revisi). Malang: UMM Press.

Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Kembara, Maulida D. (2007). Panduan lengkap homeschooling. Bandung: Progressio.

Khumas, Asniar. (2003). Vitalisasi fungsi keluarga pada dunia pendidikan. Jurnal Intelektual Vol. 1, No. 1, Februari 2003, 45-52.


(5)

Mahdi, Ariani Indahwaty. (2007). Homeschooling: model pendidikan alternatif. http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=44209 Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.

Mahfud, Choirul. (2007). Homeschooling sebagai pendidikan alternatif. http://choirulmahfud.blogspot.com/2007/07/home-schooling-sebagai

pendidikan.html Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.

Mujiyati, Elang. (2004). Sikap guru SD lulusan program DII UT terhadap program SI PGSD UT. Jurnal pendidikan Vol. 5, No. 2, September 2004, 73-80.

Mulyadi, Seto. (2007). Homeschooling keluarga Kak-Seto: mudah, murah, meriah dan direstui pemerintah. Bandung: Kaifa.

____________ (2004). Membantu anak balita mengelola amarahnya. Jakarta: Erlangga.

Orangtua perlu terlibat dalam pendidikan anak. (2007, 16 Maret). Medan: Analisa (rubrik wanita & keluarga), hal. 25.

Sappaile, Baso Intang. (2005). Pengaruh metode mengajar dan ragam tes terhadap hasil belajar matematika dengan mengontrol sikap siswa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 056, Tahun Ke-11, September 2005, 668-689.

Satokhid, Iman. (1986). Perencanaan dan pelaksanaan program kerja pendidikan luar sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.

Sears, William. (2004). Anak cerdas: peran orangtua dalam mewujudkannya. Jakarta: Emerald Publishing.

Simbolon, Pormadi. (2007). Homeschooling: sebuah pendidikan alternatif. http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/ Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.

Sobur, Alex. (2003). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia.

Sujanto, Agus. (1986). Psikologi perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.

Sukmadinata, N. S., (2005). Landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumardiono. (2007). Homeschooling: a leap for better learning. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.


(6)

Suyanto & M. S. Abbas. (2004). Wajah dan dinamika pendidikan anak bangsa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Syah, Muhibbin. (1995). Psikologi pendidikan suatu pendekatan baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta : CV Medya Duta Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. http://www.Depdiknas.Go.Id/Go.php?A=1&To=F280 Diakses pada tanggal 25 Maret 2007.

Verdiansyah, Chris. (2007). Homeschooling rumah kelasku dunia sekolahku. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Yacub, Muhammad. (2005). Orangtua bijaksana & generasi penerus yang sukses. Medan: Yayasan Madera.