Saran SIMPULAN DAN SARAN

Variabel Indikator Kategori 3. Pendapat responden terhadap tingkat jumlah pihak dalam menjalin hubunganinteraksi pertemuan kunjungan komunikasi koordinasi transaksikerjasama dengan internal sesama petani dalam kelompok tani. ¾ Sempit : tidak pernah malakukan hubunganinteraksi 1 pihak ¾ Sedang : jarang malakukan hubunganinteraksi 1-3 pihak ¾ Luas : sering malakukan hubunganinteraksi 3 pihak 4. Pendapat responden terhadap tingkat jumlah pihak dalam menjalin hubunganinteraksi pertemuan kunjungan komunikasi koordinasi transaksikerjasama dengan eksternal sesama petani di luar kelompok tani. ¾ Sempit : tidak pernah malakukan hubunganinteraksi 1 pihak ¾ Sedang : jarang malakukan hubunganinteraksi 1-3 pihak ¾ Luas : sering malakukan hubunganinteraksi 3 pihak 5. Pendapat responden terhadap tingkat jumlah pihak dalam menjalin hubunganinteraksi pertemuan kunjungan komunikasi koordinasi transaksikerjasama dengan eksternal sesama petani di luar komunitaskelurahandesa. ¾ Sempit : tidak pernah malakukan hubunganinteraksi 1 pihak ¾ Sedang : jarang malakukan hubunganinteraksi 1-3 pihak ¾ Luas : sering malakukan hubunganinteraksi 3 pihak 6. Pendapat responden terhadap tingkat jumlah pihak dalam menjalin hubunganinteraksi pertemuan kunjungan komunikasi koordinasi transaksikerjasama dengan eksternal pihak lain. ¾ Sempit : tidak pernah malakukan hubunganinteraksi 1 pihak ¾ Sedang : jarang malakukan hubunganinteraksi 1-3 pihak ¾ Luas : sering malakukan hubunganinteraksi 3 pihak 7. Pendapat responden terhadap tingkat jumlah kelompokorganisasi perkumpulan yang diikuti . ¾ Sempit : tidak pernah mengikuti organisasi 1 organisasi ¾ Sedang : jarang mengikuti organisasi 1-3 organisasi ¾ Luas : sering mengikuti organisasi 3 organisasi Kepercayaan X 4 Tingka kepercayaan responden terhadap: 1. Peran dan posisi para pihak yang terlibat 2. Aturan tertulis 3. Aturan tidak tertulis 4. Jaringan 5. Kepatuhan dan kemampuan anggota masyarakat dalam melaksanakan aturan tertulis aturan penebangan pohon 6. Kepatuhan dan kemampuan anggota masyarakat dalam melaksanakan aturan tidak tertulis aturan penanaman dan pengamanan hutan rakyat 7. Manfaat hutan rakyat 8. Kepatuhan dan kemampuan para pihak dalam menjaga kelestarian hutan rakyat 9. Warga masyarakat memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat 10. Warga masyarakat bersedia untuk saling menguatkan hubungan sosial Tingkat kepercayaan: 1. Tidak Percaya 2. Ragu-ragu 3. Percaya Variabel Indikator Kategori Solidaritas X 5 1. Pendapat responden terhadap tingkat keeratan hubungangan saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan internal kelompok sesama petani dalam kelompok tani. ¾ Lemah : tidak pernah terlibat ¾ Sedang : jarang terlibat ¾ Kuat : sering terlibat 2. Pendapat responden terhadap tingkat keeratan hubungangan saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan eksternal kelompok sesama petani di luar kelompok tani ¾ Lemah : tidak pernah terlibat ¾ Sedang : jarang terlibat ¾ Kuat : sering terlibat 3. Pendapat responden terhadap tingkat keeratan hubungangan saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan eksternal kelompok sesama petani di luar komunitaskelurahandesa ¾ Lemah : tidak pernah terlibat ¾ Sedang : jarang terlibat ¾ Kuat : sering terlibat 4. Pendapat responden terhadap tingkat intensitas saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan internal kelompok sesama petani dalam kelompok tani. ¾ Lemah : 1 kali ¾ Sedang : 1- 3 kali ¾ Kuat : kali 5. Pendapat responden terhadap tingkat intensitas hubungangan saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan eksternal kelompok sesama petani di luar kelompok tani? ¾ Lemah : 1 kali ¾ Sedang : 1- 3 kali ¾ Kuat : kali Tingkat solidaritas: 1. Rendah 2. Sedang 3. Jarang 6. Pendapat responden terhadap tingkat intensitas hubungangan saling terlibat dalam membantu kegiatan pengelolaan hutan pengadaan benihbibit, penanaman, pupuk, pemeliharaan, pemanenan, modal, pengamanan, dll dengan eksternal kelompok sesama petani di luar komunitaskelurahandesa? ¾ Lemah : 1 kali ¾ Sedang : 1- 3 kali ¾ Kuat : kali Variabel Indikator Kategori Performansi Hutan Rakyat Y A. Tingkat jumlah pohon pada hutan rakyat ¾ Rendah : Kerapatan pohon 300 pohonha ¾ Sedang : Kerapatan pohon 300-400 pohonha ¾ Tinggi : Kerapatan pohon 400 pohonha Tingkat produktivitas: 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi B. Pendapat responden terhadap tingkat usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan hutan rakyat melalui penanamanperemajaan dan pemeliharaan tanaman jumlah dan jenis tanaman yang di tanam dan dipelihara sama dengan jumlah tanaman yang ditebang ¾ Rendah : tidak pernah dilakukan penanaman kembali ¾ Sedang : jarang dilakukan penanaman kembali ¾ Tinggi : sering dilakukan penanaman kembali Tingkat keberlanjutan: 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi C. Keadilan 1. Pendapat responden terhadap tingkat manfaat aturan tertulis yang mengatur anggota kelompok dalam megelola hutan rakyat. ¾ Rendah : aturan tertulis tidak adil ¾ Sedang : aturan tertulis kurang adil ¾ Tinggi : aturan tertulis sudah adil 2. Pendapat responden terhadap tingkat manfaat aturan tidak tertulis yang mengatur anggota kelompok dalam megelola hutan rakyat. ¾ Rendah : aturan tidak tertulis tidak adil ¾ Sedang : aturan tidak tertulis kurang adil ¾ Tinggi : aturan tidak tertulis sudah adil Tingkat keadilan: 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi D. Efisiensi Pendapat responden terhadap tingkat selisih biaya yang dikeluarkan biaya produksi dalam pengelolaan hutan rakyat pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan panen dengan pendapatan dari penjualan kayu hutan rakyat nilai produksi. ¾ Rendah : biaya produksi 40 dari nilai produksi ¾ Sedang : biaya produksi 20 - 40 dari nilai produksi ¾ Tinggi : biaya produksi 20 dari nilai Produksi Tingkat efisiensi: 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Lampiran 2. Rekapitulasi Data Responden pada Kelurahan Selopuro No. Nama Anonim Jenis Kelamin Umur Agama Status Pekerjaan Alamat LingkunganDusun Pendidikan Formal Suku Luas Lahan Jumlah Luas Lahan Pekarangan+Tegalan Pokok Sampingan RTRW Pekarangan Tegalan 1 A Laki-laki 64 Katolik Menikah Petani 26 Jarak SMEPSMP Jawa 0.25 2.50 2.75 2 B Laki-laki 70 Islam Menikah Petani Ternak, Bakul 34 Selorejo SR Jawa 0.50 1.50 2.00 3 C Laki-laki 52 Islam Menikah Petani serabutan 11 Pendem smp Jawa 0.50 0.50 4 D Laki-laki 60 Katolik Menikah Petani Pensiunan guru 26 Jarak D2 Jawa 0.25 0.25 0.50 5 E Laki-laki 65 Islam Menikah Petani 25 Sudan SR Jawa 0.15 0.15 6 F Laki-laki 45 Islam Menikah PNS di PU Tani 25 Sudan SMA Jawa 0.22 0.22 7 G Laki-laki 38 Islam Menikah honor Tani 17 Pagersengon SMEA Jawa 0.25 0.25 8 H Laki-laki 48 Islam Menikah PNS di PSDM Tani 13 Sidowayah STM Jawa 0.09 0.09 9 I Laki-laki 52 Islam Menikah Petani Buruh, ternak 13 Sidowayah SD Jawa 0.18 1.00 1.18 10 J Laki-laki 53 Islam Menikah Petani Buruh 13 Pendem SD Jawa 0.21 1.46 1.67 11 K Laki-laki 54 Islam Menikah Petani Buruh 25 Sudan SMP Jawa 0.25 0.50 0.75 12 L Laki-laki 32 Islam Menikah Petani Ternak 24 Watugeni SMA Jawa 0.25 0.25 0.50 13 M Laki-laki 46 Islam Menikah Petani Buruh sabit 14 Watugeni SMA Serawai Bengkulu 0.25 0.25 0.50 14 N Laki-laki 38 Islam Menikah Petani serabutan 24 Watugeni SMP Jawa 0.07 0.07 15 O Laki-laki 52 Islam Menikah Petani Pengepul, ternak 21 Pendem SD Jawa 0.45 0.45 123 No. Nama Anonim Jenis Kelamin Umur Agama Status Pekerjaan Alamat LingkunganDusun Pendidikan Formal Suku Luas Lahan Jumlah Luas Lahan Pekarangan+Tegalan Pokok Sampingan RTRW Pekarangan Tegalan 16 P Laki-laki 45 Islam Menikah Petani 11 Pendem SD Jawa 0.50 0.30 0.80 17 Q Laki-laki 53 Islam Menikah Petani ternak 21 Pendem SMP Jawa 0.75 1.00 1.75 18 R Laki-laki 43 Islam Menikah Petani Buruh, ternak 12 Tulakan SMP Jawa 0.08 0.30 0.38 19 S Laki-laki 65 Islam Menikah Petani ternak 12 Tulakan SMP Jawa 0.30 0.45 0.75 20 T Laki-laki 35 Islam Menikah Petani Buruh 22 Tulakan D2-UT Jawa 0.20 0.20 21 U Perempuan 50 Islam Menikah Petani 13 Sidowayah smp Jawa 0.05 0.50 0.55 22 P Perempuan 38 Islam Menikah Swasta Tani 11 Pendem S1- Ekonomi UNSRI Jawa 0.25 0.25 23 W Perempuan 27 Islam Menikah Ibu rumah tangga Tani 12 Tulakan SMA Jawa 0.22 0.22 24 X Perempuan 54 Islam Menikah Petani 11 Pendem SMP Jawa 0.25 0.50 0.75 25 Y Perempuan 45 Islam Menikah Petani Guru PAUD 11 Pendem SD Jawa 0.25 0.10 0.35 26 Z Laki-laki 64 Islam Menikah Petani Pensiunan perangkat kelurahan 26 Jarak SMP Jawa 0.15 2.05 2.20 27 AA Laki-laki 50 Katolik Menikah PNS Guru Petani 16 Jarak SMA Jawa 0.67 0.10 0.77 28 AB Laki-laki 65 Islam Menikah Petani ternak 27 Pagersengon smp Jawa 1.00 0.75 1.75 29 AC Laki-laki 56 Islam Menikah Petani Mebel 17 Pagersengon sd Jawa 1.00 1.00 30 AD Laki-laki 84 Katolik Menikah Petani DagangPengepul 27 Pagersengon smp Jawa 0.45 1.02 1.47 Lampiran 3. Rekapitulasi Data Responden pada Desa Belikurip No. Nama Anonim Nama Jenis Kelamin Umur Agama Status Pekerjaan Alamat RTRW LingkunganDusun Pendidikan Formal Suku Luas Lahan Jumlah Luas Lahan Pekarangan+Tegalan Pokok Sampingan Pekarangan Tegalan 1 A Petrus Sarjo Laki-laki 55 Katolik Menikah Petani Mebel, ternak 12 Melikan SD jawa 0,5 1 1,5 2 B Sugianto Laki-laki 42 Katolik Menikah Kadus Melikan Petani 12 Melikan SMA Jawa 0.32 - 0.32 3 C Giman Laki-laki 63 Islam Menikah Petani Tukang 12 Melikan SMP Jawa 0.25 0.27 0.52 4 D Kantina Laki-laki 65 Katolik Menikah Petani 12 Melikan SD Jawa 0.40 0.70 1.10 5 E Bambang Sriyanto Laki-laki 40 Islam Menikah Petani Kadus Soko 21 Soko SMA Jawa 0.02 1.00 1.02 6 F Tomi Suriah Laki-laki 40 Islam Menikah Petani 21 Soko D3 Jawa - 0.60 0.60 7 G YB. Satimin Laki-laki 60 Katolik Menikah Kadus Jamprit Wetan Petani 23 Jamprit Wetan SMA Jawa 0.06 1.50 1.56 8 H Andreas Laki-laki 47 Katolik Menikah Petani Sopir 23 Jamprit Wetan SMP Jawa 0.11 1.20 1.31 9 I Samini Perempuan 60 Katolik Menikah Petani 23 Jamprit Wetan SD Jawa 0.41 0.48 0.89 10 J Mulwito Laki-laki 41 Katolik Menikah Kadus Jamprit Kulon Petani 24 Jamprit Kulon SMA Jawa 0.62 2.33 2.95 11 K Yasin Laki-laki 52 Islam Menikah Petani Berdagang 24 Jamprit Kulon SMA Jawa 0.75 - 0.75 12 L Antonius Satim Laki-laki 76 Katolik Menikah Petani 24 Jamprit Kulon ST Jawa 0.16 0.50 0.66 13 M Yoto Laki-laki 60 Islam Menikah Petani 11 Soko SD Jawa 0.05 0.80 0.85 14 N Tumino Laki-laki 60 Islam Menikah Petani 11 Soko SD Jawa - 0.75 0.75 15 O Tugimin Laki-laki 50 Islam Menikah Petani 37 Klerong SD Jawa 0.70 1.20 1.90 125 No. Nama Anonim Nama Jenis Kelamin Umur Agama Status Pekerjaan Alamat RTRW LingkunganDusun Pendidikan Formal Suku Luas Lahan Jumlah Luas Lahan Pekarangan+Tegalan Pokok Sampingan Pekarangan Tegalan 16 P Sarjono Laki-laki 54 Islam Menikah Kadus Klerong Petani 37 Klerong SMA Jawa 0.50 - 0.50 17 Q Tardi Laki-laki 50 Katolik Menikah Petani 47 Klerong SMA Jawa 0.50 - 0.50 18 R Tukiman Laki-laki 70 Katolik Menikah Petani 37 Klerong tidak lulus SD Jawa 0.50 0.80 1.30 19 S Sutomo Laki-laki 73 Islam Menikah Petani Pensiunan PDK 47 Klerong SD Jawa 0.10 0.60 0.70 20 T Lilik Yulyanto Laki-laki 33 Islam Menikah Kadus Tanjung Petani, buruh 28 Tanjung SMA Jawa 0.06 0.30 0.36 21 U Suwarno Laki-laki 60 Islam Menikah Pensiun Perhutani Petani 28 Tanjung SMP Jawa 0.25 - 0.25 22 P Saino Laki-laki 57 Islam Menikah Petani Buruh 15 Belik urip tidak lulus SD Jawa 0.50 0.60 1.10 23 W Sarno Laki-laki 52 Islam Menikah Perhutani Buruh 28 Tanjung SMP Jawa 0.60 - 0.60 24 X Misdi Laki-laki 53 Islam Menikah Kadus Belik urip Petani 15 Belik urip SD Jawa 0.05 0.60 0.65 25 Y Kaliman Laki-laki 49 Islam Menikah Petani Buruh 15 Belik urip SD Jawa 0.03 - 0.03 26 Z Widodo Laki-laki 34 Islam Menikah Kadus Banyuripan Petani 19 Banyuripan SD Jawa 0.50 - 0.50 27 AA Sukidi Laki-laki 53 Islam Menikah Petani 29 Banyuripan SD Jawa 0.20 0.08 0.28 28 AB Harsono Laki-laki 40 Islam Menikah Petani Buruh 19 Banyuripan SMP Jawa 0.18 0.78 0.96 29 AC Suardi Laki-laki 52 Islam Menikah Kadus Pagersari Petani 36 Pagersari SD Jawa 0.04 0.03 0.07 30 AD Mulyono Laki-laki 66 Islam Menikah Petani 36 Pagersari SD Jawa 0.08 0.03 0.11 Lampiran 4. Hasil Analisis Linier Berganda, Pengaruh Modal Sosial terhadap Performansi Hutan Rakyat GET DATA EXECUTE. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. REGRESSION MISSING LISTWISE STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA NOORIGIN DEPENDENT PerformansiHutanRakyat METHOD=ENTER Struktural Kognitif. Regression [DataSet1] Variables EnteredRemoved a Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Kognitif, Struktural b . Enter a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .539 a .291 .238 .785 a. Predictors: Constant, Kognitif, Struktural ANOVA a Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 6.827 2 3.413 5.538 .010 b Residual 16.640 27 .616 Total 23.467 29 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat b. Predictors: Constant, Kognitif, Struktural Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 Constant 1.280 .386 3.314 .003 Struktural 1.280 .410 .951 3.119 .004 Kognitif -.640 .316 -.618 -2.025 .053 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat REGRESSION MISSING LISTWISE STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA CRITERIA=PIN.05 POUT.10 NOORIGIN DEPENDENT PerformansiHutanRakyat METHOD=ENTER Peranan Aturan Jaringan. Variables EnteredRemoved a Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Jaringan, Aturan, Peranan b . Enter a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .881 a .775 .749 .450 a. Predictors: Constant, Jaringan, Aturan, Peranan ANOVA a Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 18.194 3 6.065 29.905 .000 b Residual 5.273 26 .203 Total 23.467 29 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat b. Predictors: Constant, Jaringan, Aturan, Peranan Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 Constant -.116 .282 -.412 .684 Peranan .146 .220 .113 .666 .511 Aturan .906 .118 .833 7.701 .000 Jaringan -.033 .168 -.030 -.196 .846 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat REGRESSION MISSING LISTWISE STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA CRITERIA=PIN.05 POUT.10 NOORIGIN DEPENDENT PerformansiHutanRakyat METHOD=ENTER Kepercayaan Solidaritas. Variables EnteredRemoved a Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Solidaritas, Kepercayaan b . Enter a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .443 a .196 .136 .836 a. Predictors: Constant, Solidaritas, Kepercayaan ANOVA a Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 4.598 2 2.299 3.289 .053 b Residual 18.869 27 .699 Total 23.467 29 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat b. Predictors: Constant, Solidaritas, Kepercayaan Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 Constant .940 .491 1.915 .066 Kepercayaan .065 .219 .063 .299 .767 Solidaritas .423 .219 .404 1.932 .064 a. Dependent Variable: Performansi Hutan Rakyat ABSTRACT NENGSIH ANEN. Social Capital in Sustainable Private Forest Management in Wonogiri District, Central Jawa Province. Under direction of DIDIK SUHARJITO and IIN ICHWANDI. Some researchs on the private forest have been done across continents with various themes. This study aimed to measure the level of social capital in the management of private forest, and analyze their effects on the private forest performance. The research was conducted by using survey method. Two villages in two district were purposively selected. Respondents were randomly selected from each villages with total number of 60 respondents. The results showed that the level of social capital in two communities in the management of private forest is high, based on strongly rules and solidarity. High social capital has facilitated the awakening of the good private forest performance, characterized by good levels of high private forest productivity, as well as the on going sustainable management of private forest, benefits in the rules of fair management and efficient cost of private forest management. Strong social capital encouraged better performance. This study concludes that social capital of Wonogiri community is still strong. Considering the high social capital in the community, the authors suggest a need to increase the parties, especially the government to support forest management through the enhancement of the role, facilitating the expansion of social networks, and strengthening to aplicate the rules to the public. Keywords: sosial capital, private forest, private forest performance RINGKASAN NENGSIH ANEN. Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO dan IIN ICHWANDI. Kajian-kajian tentang hutan rakyat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Jawa, luar Jawa, dan wilayah lainnya dengan fokus kajian mencakup berbagai topik. Kajian-kajian tersebut belum memberikan perhatian terhadap modal sosial. Modal sosial social capital sebagai salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat Serageldin and Grootaert 2000, memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integrasi dalam masyarakat dan merupakan faktor penting yang mendorong percepatan pembangunan. Kajian keterkaitan antara modal sosial dan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau hutan rakyat belum banyak diteliti. Sistem pengelolaan hutan rakyat tidak terlepas dari peran modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri dan menjelaskan hubungan modal sosial terhadap performansi hutan rakyat. Konsep modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikembangkan oleh Uphoff 2000. Mengacu Uphoff 2000 modal sosial dirinci menjadi dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Pada kategori struktural, unsur yang dikaji ditekankan pada peranan roles, aturan rules, dan jaringan networks. Sedangkan pada kategori kognitif, unsur yang dikaji ditekankan pada kepercayaan trust dan solidaritas solidarity, kedua unsur tersebut datang dari norma norms, nilai value, sikap attitudes, kepercayaan belief yang menciptakan dan memperkuat kesalingtergantungan positif dan mendorong peningkatan aliran manfaat yang dapat dirasakan oleh komunitas pengelola hutan rakyat lestari. Penelitian ini menggunakan metode survai. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur kepada responden. Responden dipilih secara acak dari masyarakat yang mengelola hutan rakyat di dua lokasi penelitian yaitu anggota Komunitas Petani Sertifikasi di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno dan anggota Komunitas Petani Hutan Rakyat di Desa Belikurip Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Jumlah responden dari masing-masing desakelurahan sebanyak 30 responden. Penetapan dua lokasi tersebut dipilih secara sengaja purposive dengan pertimbangan berdasarkan hasil penelusuran informasi awal, diskusi dengan staf dari Dinas Kehutanan dan Perkebunanan Kabupaten Wonogiri dan LSM PERSEPSI di Wonogiri, bahwa masyarakat di dua lokasi tersebut mengelola hutan rakyat secara lestari. Kelurahan Selopuro adalah kelurahan yang masyarakatnya mengelola hutan rakyat sudah mendapat sertifikasi LEI pada tahun 2004, sedangkan Desa Belikurip adalah desa yang masyarakatnya mengelola hutan rakyat belum mendapat sertifikasi. Penelitian berlangsung selama 3 tiga bulan, dimulai pada Bulan Februari sampai dengan Bulan April 2012. Data dianalisis dengan beberapa cara, yaitu: analisis statistik deskriptif untuk modal sosial dan performansi hutan rakyat dan regresi linier berganda untuk analisis pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat. Penelitian ini menggambarkan contoh-contoh konkrit atau nyata dari modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat. Unsur-unsur dari modal sosial yang dideskripsikan adalah peranan roles, aturan rules, dan jaringan networks, kepercayaan trust dan solidaritas solidarity. Performansi hutan diukur dari produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efisiensi pengelolaan hutan rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat modal sosial komunitas hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri secara umum tergolong tinggi. Apabila kedua lokasi tersebut dibandingkankan, maka tingkat modal sosial Kelurahan Selopuro lebih tinggi dibanding modal sosial di Desa Belikurip. Performansi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri secara umum tergolong tinggi. Apabila kedua lokasi tersebut dibandingkankan, maka tingkat performansi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro lebih tinggi dibanding di Desa Belikurip. Pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat pada Komunitas petani hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Kelurahan Selopuro baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif berpengaruh sangat nyata terhadap performansi hutan rakyat. Dengan demikian, maka hipotesis pertama diterima yaitu, bahwa performansi hutan rakyat secara sangat nyata dipengaruhi oleh modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Namun, modal sosial masyarakat Desa Belikurip baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif tidak berpengaruh terhadap performansi hutan rakyat. Modal sosial yang kuat akan mendorong performansi yang lebih baik. Kata Kunci: modal sosial, hutan rakyat, performansi hutan rakyat

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian-kajian tentang hutan rakyat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Jawa, luar Jawa, dan wilayah lainnya. Fokus kajiannya mencakup berbagai topik, antara lain tentang karakteristik hutan rakyat Bismark et. al 2007; Jariyah dan Wahyuningrum 2008; konsep pengelolaan Awang 2007a, 2007b, peran ekonomi hutan rakyat Suharjito 2000; Darusman dan Harjanto 2006; Muslich dan Krisdianto 2006; Winarno dan Waluyo 2007, pengelolaan tanaman Widiarti dan Prajadinata 2008, kelembagaan Hakim 2010, Nugroho 2010, Prihadi et.al 2010, insentif Diniyati dan Awang 2010, tata usaha kayu Sahadat dan Sabarudi 2007 dan potensi karbon hutan rakyat BKPH-XI MFP-II 2009. Kajian-kajian tersebut belum memberikan perhatian terhadap modal sosial. Modal sosial social capital sebagai salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat Serageldin and Grootaert 2000, memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integrasi serta sebagai perekat sosial social glue dalam masyarakat yang dapat menjaga kesatuan anggota masyarakat, bahkan secara tidak langsung mampu mencegah terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat Hermawanti dan Rinandri 2003; Siregar 2004; Flora 2007; Vemuri 2011; Supriono et al. 2012. Selain itu, modal sosial merupakan faktor penting yang mendorong percepatan pembangunan Fadli 2007. Penelitian keterkaitan antara modal sosial dan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat belum banyak diteliti, terutama pengelolaan sumberdaya hutan pada hutan rakyat. Peran modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat diduga berpengaruh pada pengelolaan hutan terutama dalam menjaga performansi hutannya. Oleh karena itu akan besar manfaatnya jika dilakukan penelitian mengenai modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat lestari, karena Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu Kabupaten yang sudah mendapat sertifikasi LEI bahkan pertama di Indonesia sehingga penting untuk mengetahui berapa besar tingkat modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri dan bagaimana pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat. Berdasarkan uraian di atas, maka fokus penelitian ini adalah menjelaskan hubungan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dan performansi hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Pada kedua desakelurahan tersebut masyarakatnya eksis mengelola hutan rakyat dan sudah mendapatkan sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia LEI pada tanggal 18 Oktober 2004 untuk kategori Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari PHBML.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penelitian ini akan menjelaskan bagaimana peran modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat yang ada di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah hingga berhasil mengelola hutan secara lestari. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Seberapa besar tingkat modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri? 2. Bagaimana hubungan modal sosial dan performansi usaha hutan rakyat? Modal sosial yang dimaksud adalah aturan, peranan, jaringan, kepercayaan dan solidaritas yang ada dan berkembang di masyarakat yang merupakan tradisi dalam mengatur sistem pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri. Performansi hutan rakyat yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efesiensi dalam pengelolaan usaha hutan rakyat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengukur tingkat modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri. 2. Menjelaskan hubungan modal sosial dan performansi usaha hutan rakyat.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain: Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan lestari.

1.5. Hipotesis Penelitian

Atas dasar perumusan masalah tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah ada pengaruh modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat terhadap performansi pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima di kalangan komunitas professional pembangunan. Akan tetapi, masih saja menjadi konsep yang sulit dipahami. Perhatian terhadap konsep ini didorong oleh masalah yang sama, sebab banyak pengalaman di dunia yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti nilai, norma, budaya, motivasi, solidaritas, akan cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi manusia. Sehingga bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu akan berujung pada kegagalan. Saat ini, konsep modal sosial lebih menarik, karena jika berhasil memahaminya, maka dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih besar Uphoff 2000. Konsep modal sosial memiliki pengertian yang beragam di kalangan pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Pengertian modal sosial yang berkembang selama ini banyak didasarkan pada pandangan Coleman dan Putnam, karena yang paling awal dan terkenal merumuskan konsep sosial. Coleman 1988 mendefinisikan modal sosial adalah suatu keragaman entitas yang mempunyai dua kharakter umum, yaitu kesemuanya mengandung aspek-aspek struktur sosial, dan memfasilitasi aksi individu dalam struktur tersebut, …modal sosial dalam hal ini merupakan struktur hubungan antar individu dan diantara individu-individunya. Modal sosial tersebut didefinisikan berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu 1 semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan 2 memfasilitasi tindakan- tindakan antara orang perorang dalam struktur. Dalam hal ini, Coleman 1988 memandang modal sosial dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan bersama. Putnam 1993 mendefinisikan secara garis besar modal sosial menggambarkan suatu organisasi sosial dengan jejaringnya, norma dan kepercayaan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial ini berperan dalam memfasilitasi kerjasama dan koordinasi yang saling menguntungkan untuk manfaat bersama bagi anggota organisasi tersebut. Jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan dan memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Rumusan dua konsep modal sosial tersebut dipandang kurang operasional Uphoff, Serageldin dan Grootaert 2000. Uphoff 2000 menyatakan banyak definisi yang diberikan oleh para ahli masih membutuhkan validasi. Sehingga perlu lebih fokus pada komponen-komponen, hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal seperti apa unsur-unsur yang menyusunnya, apa yang menghubungkan mereka, serta konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan interaksi tersebut. Lebih lanjut Uphoff 2000 menjelaskan bahwa selain definisi, berbagai pembahasan pada literatur tentang modal sosial selama ini belum sampai pada kesimpulan yang benar-benar jelas, sebab mereka lebih banyak hanya mencontohkan apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan secara spesifik apa saja yang dapat menumbuhkannya. Sehingga dibutuhkan analisis yang lebih mendalam, tidak hanya yang bersifat deskriptif agar kita memperoleh kemajuan baik secara teoritis maupun praktis. Uphoff 2000 mendefinisikan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Aset disini diartikan segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas atau disebarkan dengan mudah. Sedangkan perilaku bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain dan tidak hanya diri sendiri. Dalam hal ini, Uphoff 2000 menghubungkan konsep modal sosial dengan proposisi bahwa hasil dari interaksi sosial haruslah dapat mendorong lahirnya “manfaat bersama” Mutually Beneficial Collective ActionMBCA . Uphoff 2000 menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Dengan memahami perbedaan dari keduanya akan memudahkan dalam memahami modal sosial. Secara abstrakteoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir sendiri- sendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk tanpa kehadiran kedua-duanya, karena secara intrinsik saling terkait. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik, aset struktural datang dari hasil proses kognitif. Lebih jauh Uphoff 2000, menegaskan bahwa kedua kategori modal sosial ini memiliki ketergantungan yang sangat kuat, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain dan keduanya mempengaruhi perilaku individu hingga mekanisme terbentuknya harapan ekspektasi. Keduanya terkondisikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh budaya, semangat pada masa tertentu zeitgeist, dan pengaruh-pengaruh lainnya. Konseptualisasi ini konsisten dengan pemikiran tentang modal sosial dari Coleman 1988, Putnam 1993. Coleman maupun Putnam memasukkan elemen struktural dan kognitif itu ke dalam definisi dan analisisnya, namun mereka lebih mendekati modal sosial secara deskriptif, bukan analitis. Dengan mengelompokkan faktor-faktor yang membangun dua kategorielemen tersebut akan membuatnya lebih kongkrit dan dapat dipelajari, termasuk untuk tujuan pengukuran dan evaluasi. Serageldin dan Grootaert 1997 membandingkan antara pandangan Coleman dan Putnam tentang modal sosial, mereka menyarankan bahwa penulis pertama Coleman lebih melihat “struktur sosial dalam arti luas, dimana norma- norma dianggap mempengaruhi individu ”. Namun ini hanyalah soal derajatkecenderungan, artinya keduanya tidaklah terlalu berbeda jauh. Pandangan ketiga tentang modal sosial mengikuti hasil kerjakarya dari North 1990 yang dikarakterisasikan oleh Serageldin dan Grootaert sebagai “modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma untuk membangun dan membentuk struktur sosial ”. Melihat bahwa ketiga pandangan diatas memiliki elemen yang sama yang mengulas penekanan pada aspek struktur sosial dan pengaruh normatif, tetapi mereka tidak meletakkan faktor-faktor ini kedalam teorikerangka kerja secara lebih eksplisitjelas Uphoff 2000. Organisasi formal maupun informal dengan segala peran-peran, aturan, preseden, dan prosedur bersama dengan interaksi jaringan formal maupun informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam populasikomunitasmasyarakat dapat memberikan energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Dimensi struktural dan kognitif yang kondusif bagi terciptanya MBCA inilah hal spesifik yang dapat diidentifikasi, meskipun mereka lebih bersifat mental bukan material, sehingga dapat memberikan contoh nyata bagi konsep modal sosial yang abstrak Uphoff 2000. Merujuk pada konsep Uphoff 2000 di atas, penelitian di Srilanka menunjukkan bagaimana dua bentuk modal sosial tersebut dapat menghasilkan keuntungan material secara substantif. Organisasi petani yang dibentuk dari proyek bantuan pada awal 1980-an ternyata dapat menghasilkan panen padi di luar perkiraan pada saat terjadi kelangkaan air di tahun 1997. Padahal insinyur dari pemerintah telah menggambarkan bahwa tidak akan ada padi yang mungkin bisa tumbuh. Namun, dengan kerjasama yang efektif, khususnya dalam hal berbagi air yang langka itu, petani justru mendapatkan hasil yang lebih baik daripada panen normalbiasanya. Kasus lain yang dilakukan oleh Suharjito dan Saputro 2008 memberikan gambaran bagaimana modal sosial yang dibangun oleh masyarakat Kasepuhan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam pertanian dan hutan telah diterapkan dan ditegakkan. Hasil kajian mampu menunjukkan secara tegas bahwa tatanan masyarakat hukum adat terikat kuat pada identitasnya, yakni Kasepuhan, dan membentuk pola tatanan sosial yang didasarkan pada norma, nilai, kepercayaan dan aturan-aturan yang dipegang kuat. Kedua kajian tersebut, menunjukkan bahwa peranan modal sosial sangat berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya. Peranan tersebut antara lain tercermin dari pelaksanaan nilai-nilai, norma, aturan, sikap, kepercayaan masyarakat dalam mengatur hubungan-hubungan sosial dan prilaku baik secara individu maupun bersama dalam pemanfaatan sumberdaya secara lestari.

2.2. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

Dimensi modal sosial cukup luas, menurut Nan 2004 dan Coleman 2010, fokus teori social capital adalah sumberdaya yang tertambat embedded pada jaringan sosial dari aksi individu-individu untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dan antar kelompok Lawang 2005; Hasbullah 2006; Aribowo 2007. Coleman 2010 mengklasifikasikan modal kedalam dua tipe yaitu modal manusia human capital dan modal sosial social capital. Modal manusia dan modal sosial seringkali saling melengkapi. Dimensi lain dari modal sosial adalah yang berkaitan dengan tipologinya. Bagaimana pola-pola interelasi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang membentuk terikat bounding atau menjembatani bridging. Modal sosial terikat cenderung bersifat eksklusif dan lebih berorientasi ke dalam daripada ke luar. Hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesi yang kuat dan memiliki kekuatan untuk menjalin kerjasama antara anggota tetapi tidak merefleksikan kemampuan masyarakat untuk menciptakanmemiliki modal sosial yang kuat juga. Sedangkan pada modal sosial menjembatani, biasanya keanggotaan kelompok heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Pertukaran ide tidak hanya datang dari luar tetapi dari keanggotaan yang bervariasi dengan mengembangkan prinsip kemanusiaan, persamaan dan kebersamaan Hasbullah 2006. Secara lebih rinci social capital dalam bentuk bounding dan bridging adalah sebagaimana pada Tabel 1. Tabel 1. Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging Tipologi Social Capital Bounding Bridging • Terikatketat, jaringan yang eksklusif • Pembedaan yang kuat antara “orang kami” dan “orang luar” • Hanya ada satu alternatif jawaban • Sulit menerima arus perubahan • Kurang akomodatif terhadap pihak luar • Mengutamakan kepentingan kelompok • Mengutamakan solidaritas kelompok • Terbuka • Memiliki jaringan yang lebih fleksibel • Toleran • Memungkinkan untuk memiliki banyak alternatif jawaban dan penyelesaian masalah • Akomodatif untuk menerima perubahan • Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitarianistik dan universal Sumber: Hasbullah 2006 Woolcock 1998 membedakan tiga tipe modal sosial, yaitu: bounding, bridging dan linking sebagai berikut: 1 Tipe ‘bounding’ dicirikan dengan ikatan yang kuat atau ‘social glue’, seperti antar anggota atau anggota keluarga dalam grup etnik yang sama; 2 Tipe ‘Bridging’ dicirikan dengan ikatan yang lemah social oil, seperti asosiasi lokal, hubungan teman dari grup etnik berbeda; 3 tipe ‘linking’ dicirikan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda level kekuasaanya atau status sosialnya, seperti hubungan antara elit politik dengan masyarakat umum, atau antara individu-individu dari klas sosial yang berbeda. Ketiga pandangan tersebut sebenarnya merupakan prinsip yang menjadi dasar pengelompokan modal sosial. Social bounding perekat sosial, merupakan modal sosial yang lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif nilai, kultur, persepsi, tradisi dan adat istiadat. Sedangkan social bridging jembatan sosial timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya dan lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat. Social linking merupakan hubungan sosial di antara beberapa level dari kekuatan sosial atau status sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut Ramli 2007; LP UNPAD 2008.

2.3. Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial

Secara umum modal sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial social glue yang menjaga kesatuan anggota masyarakatkelompok secara bersama-sama. Menurut Ridell 1997, dalam Suharto 2007 dan Putnam 1993, menyebutkan tiga parameter modal sosial yaitu kepercayaan trust, norma-norma norms dan jaringan-jaringan networks. Dimana modal ini mempunyai komponen penting yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang sudah terinternalisasi, dan kepercayaan sosial. Flassy et al. 2009, menyatakan bahwa unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan trust sebagai syarat keharusan necessary condition terbangunnya modal sosial dari suatu masyarakat. Modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu: 1. Trust kepercayaan Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial Dharmawan, 2002a: 2002b. Kepercayaan terbagi atas tiga klasifikasi aras Dharmawan, 2002a: 2002b, yaitu: a. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji promise keeping sesuai yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya nilai mengemban amanah. b. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat group sosial secara efektif. c. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat. Fedderke et al. 1999 menjelaskan bahwa modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Coleman 1998 juga menyebutkan bahwa kelangsungan setiap transaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat dimungkinkan dan ditentukan oleh terpeliharanya “trust” atau kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut. Fukuyama 2007 menyebutkan bahwa modal sosial dalam membangun ikatan sosialnya dilandasi oleh “trus” kepercayaan. Sehingga modal sosial akan bermakna lebih menjadi asset sosial yang dikuasai dan diperasinalkan oleh sistem sosialnya. Pada akhirnya ikatan-ikatan sosial yang terbentuk dari dibangunnya kepercayaan akan membentuk jaringan ikatan sosial yang merupakan infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja. 2. Networking Jaringan Menurut Coleman 1998 jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa terlepas dari komunikasi yang terjalin antar individu interpersonal communication sebagai unit analisis dan perubahan prilaku yang disebabkannya. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu interpersonal communication yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama Rogers Kincaid 1980. Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: a ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubngan timbale balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan pada keluarga, pertemanan, pertetanggaan; b ikatan yang sifatnya lebih umum; dan c ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya pada ikatan dalam system kelembagaan dan hubungan kekuasaan Stone dan Hughes 2002. Ukuran lain berkaitan dengan jaringan sosial dalam modal sosial adalah karakteristik jaringan sosial network characteristics, kerapatan dan ketertutupan density and closure, dan keragaman diversity. Karakteristik bentuk dan luas misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah tetangga mengetahui pribadi seseorang dalam sebuah system sosial, dan jumlah kontak kerja. Sedangkan kerapatan dan ketertutupan sebuah jaringan sosial dapat dilihat misalnya dengan seberapa besar seasma anggota keluarga saling mengetahui teman-teman dekatnya, diantara teman saling mengetahui satu sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya. Sedangkan untuk keragaman, jaringan sosial dikarakteristikkan misalnya dari keragaman etnik teman, dari perbedaan pendidikan dalam sebuah group atau dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat Stone dan Hughes 2002. Coleman 1998 sebagai salah satu seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan networks dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan didalamnya terdapat hubungan timbale balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat. 3. Norm Norma-normaaturan Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial masyarakat dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Fukuyama 2007 berpendapat bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma- norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbale balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berprilaku dalam interaksinya dengan orang lain. Norma sebagai elemen penting modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke et al . 1999 yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial organisasi sosial di dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai- nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama untuk memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama. Uphoff 2000 menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial. Peranan roles dan aturan rules mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Hubungan- hubungan sosial membangun pertukaran exchange dan kerjasama cooperation yang melibatkan barang material maupun non material. Hubungan-hubungan sosial membentuk jejaring networks. Peranan, aturan, dan jejaring memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan mutually beneficial collective action MBCA. Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasanpemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi. Norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung MBCA. Terdapat dua orientasi, yaitu orientasi ke arah pihakorang lain dan orientasi mewujudkan tindakan. Orientasi pertama, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, bagaimana seseorang harus berfikir dan bertindak ke arah orang lain. Kepercayaan trust dan pembalasan reciprocation merupakan cara membangun hubungan dengan orang lain. Sedangkan tujuan membangun hubungan sosial adalah solidaritas. Kepercayaan trust dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan belief untuk membuat kerjasama dan kedermawanan efektif. Solidaritas juga dibangun berdasarkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk membuat kerjasama dan kedermawanan bergairah. Orientasi Kedua, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan untuk mewujudkan tindakan action, bagaimana seseorang harus berkemauan untuk bertindak. Kerjasama cooperation merupakan cara tindakan bersama dengan yang lain. Sedangkan tujuan dari tindakan adalah kedermawanan generosity. Kerjasama dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan belief untuk memunculkan harapan bahwa pihakorang lain akan bersedia kerjasama dan membuat tindakannya efektif. Kedermawanan juga dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk memunculkan harapan bahwa “moralitas yang tinggi akan mendapat penghargaan virtue will be rewarded”. Unsur-unsur modal sosial berdasarkan kategori struktural dan kognitif disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kategori Modal Sosial Kategori Struktural Kognitif Sumber dan perwujudannyamanifestasi Peran dan aturan Jaringan dan hubungan antar pribadi lainnya Prosedur-prosedur dan preseden-preseden Norma-norma Nilai-nilai Sikap Keyakinan Domainranah Organisasi sosial Budaya sipilkewargaan Faktor-faktor dinamis Hubungan horisontal Hubungan vertikal Kepercayaan, solidaritas, kerjasama, kemurahan hatikedermawanan Elemen umum Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan menghasilkan manfaat bersama Sumber: Uphoff 2000 Dua kategori pembentuk unsur modal sosial tersebut secara intrinsik saling terkait. Walaupun peran, aturan, jaringan preseden dan prosedur dapat diamati di dalamnya, itu semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik Uphoff 2000.

2.4. Pengukuran Modal Sosial

Metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal cukup beragam. Model-model tersebut antara lain adalah: 1. Index of National Civic Health Indeks ini dikembangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk merespon penurunan partisipasi masyarakat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 5 lima indikator, yakni: a keterlibatan politik; b kepercayaan; c keanggotaan dalam asosiasi; d keamanan dan kejahatan; serta e integritas dan stabilitas keluarga. Keterlibatan politik mencakup pemberian suara dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya, seperti petisi dan menulis surat kepada koran. Kepercayaan diukur melalui tingkat kepercayaan pada orang lain dan kepada institusi pemerintah. Keanggotaan dalam asosiasi diukur melalui keanggotaan dalam suatu kelompok, kehadiran di gerejatempat ibadah, kontribusi derma, partisipasi di tingkat komunitas, dan menjadi pengurus di organisasi lokal. Narayan dan Cassidy 2001.