Waktu mencapai kelelahan HASIL DAN PEMBAHASAN

yang berat. Hal ini berarti pula kecepatan resintesis ATP tidak dapat mengimbangi kecepatan penggunaannya. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 W a k tu m e n ca p a i A T m e n it A B C D E F G H I J K L Responden air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang 100 ppm Gambar 8 Waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan sampel Hasil pengukuran waktu mencapai AT pada Gambar 8 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata p0.05 antara perlakuan jangka pendek 50, 80 dan 130 ppm serta jangka panjang 100 ppm dengan perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai ambang anaerobik. Adanya variasi daya aerobik dan aktivitas responden sebelum pengujian dapat mempengaruhi waktu mencapai AT. Aktivitas berat sebelum pengujian dapat mempengaruhi performa olahraga Mc Ardle et al 2006. Tabel 7 Perbandingan waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan Parameter statistik AMDK a 50 ppm a 80 ppm a 130 ppm a 100 ppm b Rata-rata n=12 4.68 4.52 3.93 4.71 4.60 Standar deviasi 1.92 2.83 1.75 2.41 2.31 One way ANOVA p0.05 Keterangan: a jangka pendek dan b jangka panjang

4.3 Waktu mencapai kelelahan

Waktu mencapai kelelahan sangat penting karena mendukung performa untuk mencapai prestasi puncak ketika pertandingan olahraga. Semakin tinggi waktu kelelahan yang dicapai seseorang saat berolahraga maka semakin baik daya tahannya. Hasil pengukuran waktu mencapai kelelahan pada Gambar 9 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata p0.05 antara perlakuan jangka pendek 50, 80 dan 130 ppm serta jangka panjang 100 ppm dengan perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai kelelahan. Pemberian minuman beroksigen baik jangka pendek pada konsentrasi 50, 80 dan 130 ppm maupun jangka panjang dengan konsentrasi 100 ppm meningkatkan waktu rata-rata untuk AMDK mencapai kelelahan dibandingkan meminum AMDK. Asupan oksigen tambahan dari minuman, diharapkan dapat memperpanjang pernafasan aerob selama berolahraga. Pernafasan aerob dapat menghasilkan ATP yang jauh lebih besar 38 ATP dibandingkan pernafasan anaerob 2 ATP, disamping tidak menghasilkan laktat yang memicu kelelahan Mc Ardle, 2006. Produksi ATP yang lebih besar semakin meningkatkan daya tahan saat berolahraga sehingga dapat memperpanjang waktu mencapai kelelahan. Perlakuan jangka panjang 100 ppm menghasilkan rataan paling tinggi, yaitu meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 1,3 menit dibandingkan meminum AMDK. Hal ini dimungkinkan karena penyerapan oksigen di dalam tubuh yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan energi berupa ATP yang lebih besar. 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 W a k tu m e n ca p a i k e le la h a n m e n it A B C D E F G H I J K L Responden air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang 100 ppm Gambar 9 Waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan Penelitian Duncan 1997 pada 20 laki-laki dan 5 perempuan atlet lari marathon juga melaporkan bahwa air minum beroksigen dapat meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 15 detik pada tes lari sejauh 5 Km. Waktu mencapai kelelahan juga meningkat sebesar 23.34 detik, pada penelitian Fuller 2010 terhadap 20 orang atlet sepak bola. Pada kedua studi tersebut, sampel yang diujikan diminum sekitar 15 menit sebelum lari sebagaimana penelitian ini. Tabel 8 Perbandingan waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan AMDK a 50 ppm a 80 ppm a 130 ppm a 100 ppm b Parameter statistik menit Rata-rata n=12 10.34 11.18 11.27 10.93 11.60 Standar deviasi 2,99 3.47 3.27 3.24 4.04 Peningkatan dibanding AMDK - 0,48 0,28 0,25 1,3 One way ANOVA p0.05 Keterangan: a jangka pendek dan b jangka panjang AMDK Saturasi Oksigen SpO 2 Saturasi oksigen SpO 2 adalah persentase hemoglobin yang mengikat oksigen dalam aliran darah. Parameter tersebut penting untuk mengetahui perubahan kadar saturasi oksigen responden karena pengaruh perlakuan minuman beroksigen yang diberikan. Tabel 9 Perbandingan SpO 2 pada berbagai perlakuan Hasil pengukuran SpO 2 pada Gambar 10 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata SpO 2 dari berbagai perlakuan masih dalam batas normal SpO 2 95. Perbedaan konsentrasi sampel 50, 80 dan 130 ppm maupun perlakuan jangka panjang tidak signifikan p0.05 mempengaruhi kadar SpO 2 responden. Kadar SpO 2 pada perlakuan waktu, baik sebelum maupun setelah uji performa dengan treadmill serta setelah pemberian sampel pasca treadmill pada menit ke 0, 5, 10, dan 15 menit tidak memberikan memberikan perbedaan signifikan p0.05. Penelitian Fuller 2010 pada 20 atlet sepakbola juga menghasilkan hasil yang sama. Pemberian sampel 20 menit sebelum dan sesudah lari cepat 100 meter pada penelitian Ellyana et al 2011 juga tidak mempengaruhi kadar SpO 2 baik pada kelompok plasebo maupun kelompok yang diberi perlakuan 23 orang. Adapun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Jenkins et al 2001 yang melakukan penelitian pada 20 orang 10 laki-laki, 10 perempuan dan diberikan sampel 15 menit sebelum uji performa. Responden yang meminum air Parameter statistik Perlakuan sampel AMDK a 50 ppm a Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,6 97,3 97,0 96,8 96,7 96,8 97,3 96,9 96,9 96,9 97,1 97,2 Standar deviasi 0,79 0,65 0,85 0,72 0,65 0,83 1,07 0,90 0,79 1,00 0,79 0,72 Perlakuan Sampel 80 ppm a 130 ppm a Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,9 97,3 96,8 97,0 96,8 96,9 97,8 97,2 97,2 97,3 97,0 97,3 Standar deviasi 0,67 0,78 0,62 0,74 0,72 0,79 0,62 0,72 0,72 0,78 0,95 0,65 Perlakuan sampel 100 ppm b Perlakuan waktu pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 Rata-rata 97,7 96,3 96,4 96,7 96,3 97,0 Standar deviasi 0,98 1,60 1,09 1,15 0,87 0,60 uji statistik pada perlakuan konsentrasi sampel maupun waktu General Linear Model ANOVA p0.05 Keterangan : a jangka pendek dan b jangka panjang s1 = sebelum treadmill s2 = sesudah treadmill m0 = sesaat setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m5 = 5 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m10 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m15 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill beroksigen pada penelitian tersebut memiliki 4 saturasi oksigen lebih tinggi dibandingkan plasebo. 95,5 96,0 96,5 97,0 97,5 98,0 98,5 s1 s2 m0 m5 m10 m15 Waktu pengambilan sampel S a tu ra si o k si g e n AMDK 50 ppm 80 ppm 130 ppm jk panjang 100 ppm Gambar 10 Perbandingan rataan saturasi oksigen SpO 2 pada berbagai perlakuan Nilai rataan kadar SpO 2 masing-masing perlakuan pada menit ke-15 setelah pemberian minuman beroksigen belum sepenuhnya mampu membantu pemulihan kadar SpO 2 . Adapun perlakuan jangka panjang 100 ppm meskipun mengalami penurunan kadar SpO 2 terbesar setelah melakukan uji performa dengan treadmill s2, namun dapat memulihkan kadar SpO2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan jangka pendek pada konsentrasi 80 ppm dan air minum biasa Gambar 10. Tabel 9 dan Gambar 10 menggambarkan bahwa tidak semua perlakuan minuman beroksigen memiliki kadar SpO 2 yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol sebagaimana parameter lainnya. Begitupula dengan beberapa data pemulihan SpO 2 pada menit ke-10 yang justru mengalami penurunan. SpO 2 tidak dipengaruhi oleh perlakuan minuman beroksigen dimungkinkan karena oksigen yang terukur berasal dari pernafasan. Oksigen dari paru-paru masuk ke dalam sel darah merah eritrosit secara difusi pasif kemudian diikat oleh hemoglobin. Difusi dapat terjadi pada paru-paru alveolus, karena perbedaan tekanan parsial antara udara dan darah dalam alveolus Guyton dan Hall 2011. Adapun oksigen dari minuman beroksigen diserap oleh usus secara difusi pasif dan kemudian masuk ke plasma darah pada pembuluh vena. Tekanan oksigen dalam darah vena selalu 15-35 mmHg lebih tinggi daripada di dalam lumen usus Gurskaya dan Ivanov 1961. Berbeda dengan eritrosit, plasma darah tidak mengandung hemoglobin. Profil Lipid Parameter profil lipid yang dikaji pada penelitian ini mencakup plasma kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida.

4.1 Kolesterol