Landasan Teori TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pajak

2.2.1.1. Pengertian Pajak

Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan Negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas Negara, maka dengan sendirinya Negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan itu maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela berubah menjadi dapat dipaksakan Suandy. 2005 : 1 Banyak ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang berbeda mengenai pajak. Seperti menurut Rochmat Soemitro dalam Resmi, 2005 : 1 “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan UU yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” Definisi tersebut kemudian disempurnakan, sehingga berbunyi “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.” Definisi lain dikutip oleh Tjahjono dan Husein 2005 : 2 yang dikemukakan oleh S. I. Djajadiningrat Munawir 1995 : 3 adalah “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas Negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kepentingan umum” Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut peraturan perundang-undangan, tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk.

2.2.1.2. Tinjauan Teori dan Undang-Undang Perpajakan

Pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kausalitas dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak yang dipungut secara langsung ataupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam bentuk infrastruktur dan pelayanan. Beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak Tjahjono dan Husein, 2005: 18 adalah: 1. Teori Asuransi Pajak dibayarkan oleh masyarakat kepada Negara dianalogkan seperti pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi asuransi ini dilakukan karena Negara bertugas melindungi rakyat dan harta bendanya. Perbedaan yang utama adalah dalam asuransi jika terjadi musibah akan menerima ganti, rugi, tetapi dalam pajak, Negara tidak akan memberikan ganti rugi bilamana rakyat mengalami musibah. 2. Teori Kepentingan Teori ini dalam ajaran yang semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan kepada mereka itu. 3. Teori Gaya Pikul Dasar teori yang digunakan adalah keadilan yaitu bahwa setiap orang harus dikenakan pajak yang sama beratnya. Namun demikian besarnya pemungutan pajak didasarkan berdasarkan gaya pikul kekuatan masing-masing WP. Ukuran utama gaya pikul adalah besarnya penerimaan yang diterima dan pengeluaran yang dilakukan. 4. Teori Kewajiban Mutlak Teori Bakti Teori ini mendasarkan pada pemahaman Organische Staatsleer. Paham ini mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai suatu perkumpulan dari individu-individu maka timbul hak mutlak Negara untuk memungut pajak. Dari sudut pandang rakyat, membayar pajak kepada Negara merupakan bukti rasa baktinya rakyat atau warga kepada Negara. 5. Teori Asas Daya Beli Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud untuk untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu. Asas pemungutan pajak menurut Adam Smith, seperti dikemukakan dalam buku An Inquiry Into Nature and Causes of The Wealth of Nations Anonim, 2007 : 1.4 adalah sebagai berikut : 1. Equality Pungutan pajak harus bersifat final, adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap WP menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaatnya. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran. 3. Convenience Kapan WP itu harus mambayar pajak sebaiknya disesuaikan dengan saat-saat yang tidak menyulitkan WP, misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem ini disebut Pay us you eam 4. Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi WP diharapkan seminimal mungkin, demikian pula beban yang dipikul WP. 5. Asas Keadilan Asas ini dalam prinsip perpajakan maupun dalam pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif. a. Benefit Principle Ability Principle Keadilan pemungutan pajak, menurut Richard A. Musgrave dan Peggy Musgrave dalam buku Public Finance in Theory and Practice , terdiri dari dua macam asas keadilan, yaitu : 1 Benefit principle. Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap WP harus membayar sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendekatan ini disebut Revenue and Expenditure Approach . 2 Ability Principle. Pajak sebaiknya dibebankan kepada WP berdasarkan kemampuan membayar. b. Keadilan Horisontal dan Keadilan Vertikal Pendekatan lainnya masalah keadilan dalam pemungutan pajak: 1 Keadilan Horisontal, yaitu bila beban pajaknya sama untuk semua wajib pajak WP yang memperoleh penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan. 2 Keadilan Vertikal, yaitu bila orang dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama.

2.2.1.3. Fungsi Pajak

Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya pembangunan suatu Negara Anonim, 2007 : 1.2 dan memiliki fungsi : 1. Fungsi Penerimaan Budgetair Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Dalam APBN pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur Regulator Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. 3. Fungsi Redistribusi Fungsi ini lebih ditekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak dengan adanya tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat penghasilan yang lebih tinggi. 4. Fungsi Demokrasi Merupakan wujud dari sistem gotong royang. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat WP.

2.2.1.4. Jenis Pajak

Dengan diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000, maka terjadi perubahan mendasar dalam jenis pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu 1 Jenis pajak Provinsi terdiri dari: a Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air b Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diAtas Air c Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d Pajak Pengambilan Bahan Galian dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2 Jenis Pajak KabupatenKota terdiri dari: a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol C g. Pajak Parkir.

2.2.1.5. Sistem Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu Resmi, 2005 : 10: 1 Official Assessment System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. 2 Self Assessment System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. 3 With Holding System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

2.2.1.6. Penetapan Tarif Pajak

Untuk dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak, hendaknya pemerintah lebih menyederhanakan lagi mengenai peraturan pajak dalam perhitungan jumlah pembayaran pajaknya dengan baik dan benar, sehingga mudah dimengerti oleh wajib pajak Menurut Mardiasmo 2002 : 9 ada 4 macam tarif pajak, yaitu sebagai berikut 1 Tarif sebanding atau proporsional Tarif berupa persentase yang tepat, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10. 2 Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap sama terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 1.000,00. 3 Tarif progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: pasal 17 UU PPh 2000 4 Tarif degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

2.2.2. Pajak Restoran

Restoran adalah tempat menyantap makanan dan minuman yang disediakan dengan di pungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau catering.Andi, 2004 : 25. Untuk jenis pajak restoran objek pajaknya adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dengan pembayaran dalam arti bahwa setiap orang yang mengkonsumsi makanan di dalam suatu restoran akan di ikuti pembayaran, termasuk dalam objek restoran atau rumah makan terhadap penjualan makanan dan minuman. Sedangkan Subjek Pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran, dan wajib pajaknya adalah pengusaha atau penjual makanan dan minuman di restoran, rumah makan, depot, warung, dan sejenisnya Riska, 2002: 28. Dasar Hukum Pajak Restoran, adalah 1. UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dan peraturan pelaksanaannya PP No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah. 2. Perda No. 15 Tahun 2001 tentang pajak restoran.

2.2.3. Pemahaman Self Assessment System

Self Assessment System baru di kenal di Indonesia sejak tahun 1967 dalam undang - undang No 8 tahun 1967 membahas tentang cara pemungutan pajak melalui Menghitung Pajak Sendiri MPS dan Menghitung Pajak Orang MPO. Sejak tahun 1967 self assessment system diperkenalkan di Indonesia hanya untuk menghitung pajak pendapatan yang harus di bayar oleh wajib pajak sendiri tiap bulan sebagai pembayaran di muka, kemudian dapat diperhitungkan dengan pajak pendapatan 1994. Tunggal 1995 : 42. Undang - undang perpajakan tahun 1994 tetap menganut self assessment system memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang terutang.

2.2.4. Kesadaran Wajib Pajak Tax Midedness

2.2.4.1. Pengertian Kesadaran Wajib Pajak Tax Midedness

Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu konsumsi bagi masyarakat, tetapi di dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional. Pada dasarnya tidak seorangpun yang menikmati kegiatan membayar pajak seperti kegiatan berbelanja. Disamping itu, potensi bertahan untuk tidak membayar sudah menjadi tax payers behaviour . Devano dan Rahayu, 2006 : 113. Menurut Suhardito dan Sudibyo 1999 : 8 kesadaran perpajakan adalah suatu sikap terhadap fungsi pajak, berupa konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berprilaku terhadap makna dan fungsi pajak. Kesadaran perpajakan berkonsekuensi logis untuk para WP agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara membayar kewajiban perpajakannya secara tepat waktu dan tepat jumlah. Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya tergantung pada masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan, penyidikan penerapan sanksi sebagai perwujudan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelayanan kepada wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi Negara dalam hal membayar pajak. Disamping itu juga tergantung pada kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Devano dan Rahayu, 2006 : 113.

2.2.4.2. Teori Yang Melandasi Kesadaran Wajib Pajak

Kesadaran bernegara merupakan faktor penentu adanya kesadaran wajib perpajakan. Sikap yang demikian merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap makna dan fungsi negara atau siapapun yang menjadi warga negara yaitu kerelaan memenuhi kewajibannya termasuk rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pemerintah dalam memperbaiki perekonomian negara dengan cara membayar kewajiban pajaknya Suparmoko, 1992 : 25. Pengertian kognitif, afektif dan konatif menurut Schiffman dan Kanuk 1991 : 242 dapat dijelaskan sebagai berikut : 1 Cognitif component knowledge and perception that are arquired by a combination of direct experience with the attitude object angrelated information from various source . 2 Affective component : a consumer’s emotion or feeling about a particular product or brand . 3 Conactive component : it is concerned with the like hood or tendency that an individual will undertake a specific action or behare in particular way with regard to the attitude object. Mengacu pada kesadaran bernegara, maka kesadaran perpajakan adalah suatu sikap terhadap fungsi pajak, dan konatif dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap makna dan fungsi pajak. Wajib pajak berkonsekuensi logis agar mereka rela memberikan konstribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pajak dengan cara membayar kewajiban pajak secara tepat waktu dan tepat jumlah yang dikenakan sebelumnya.

2.2.4.3. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak Dengan Penghindaran Pajak

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Gunadi 2003 menyatakan bahwa kesadaran wajib pajak merupakan kunci dari sistem perpajakan yang telah ditetapkan di Indonesia yaitu self assessment system. Dalam system ini wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya yang terutang. Kurang meratanya proses penyaluran pajak dapat menimbulkan avoidance penghindaran pada masyarakat. Hal ini dapat memacu masyarakat untuk malas membayar pajak. Suatu hal yang menyebabkan masyarakat belum secara sukarela membayar pajak adalah image di tengah – tengah masyarakat bahwa membayar pajak untuk orang – orang pajak. Menurut Hay 1982 : 3 beberapa orang merasa segan membayar pajak sebab dengan membayar pajak berarti berkurang kekayaan dan pendapatannya, atau sikap negatif penduduk untuk tidak membayar pajak, menghindari pajak, memberikan perhitungan yang tidak benar, dan menyogok petugas pajak untuk menetapkan pajak yang lebih kecil. Selanjutnya Pamungkas 2003 : 16 – 21 menyatakan bahwa apabila mengacu pengertian sistem perpajakan dengan self assessment system yang berarti pemenuhan kewajiban pajak seseorang di percaya kepada masyarakat wajib pajak, maka secara umum wajib pajak sepenuhnya membayar sendiri pajaknya baik itu secara bulanan atau tahunan, sehingga tidak akan pernah melibatkan pihak lain atau pihak ketiga. Hal tersebut kembali lagi banyak ditentukan beberapa faktor yang ada dan yang dapat mendukung keberhasilannya yaitu: 1 Tingkat kepatuhan wajib pajak yang di miliki dari pengetahuan. 2 Pemahaman dan kesadaran mereka dalam kewajiban pajaknya. 3 Kemampuan administrasi fiskus untuk mengadministrasikan semua perihal perpajakan dari semua masyarakat wajib pajak. Dengan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam memahami makna dan fungsi pajak, maka kecenderungan masyarakat untuk menghindari pajak akan rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kecenderungan penghindaran pajak.

2.2.5. Kejujuran Wajib Pajak

2.2.5.1. Pengertian Kejujuran Wajib Pajak

Jujur adalah keterbukaan dalam sikap dan tingkah laku, adanya keselaran antara ucapan dan perbuatan yang tidak saling bertentangan dan dengan sendirinya jujur dalam hal keuangan dan materi Mar’at, 1982: 148. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia 1990: 367, kejujuran adalah ketulusan hati, kelurusan hati. Selanjutnya Encarta reference library 2004, menyatakan bahwa kejujuran secara moral adalah sifat, kondisi atau karakteristik menjadi jujur, terbuka, sebenarnya. Jadi kejujuran wajib pajak adlah suatu sikap ketulusan hati yang muncul dari wajib pajak untuk jujur, terbuka, dan sebenarnya dalam membayar pajak. Kejujuran wajib pajak dalah salah satu faktor terpenting suksesnya pelaksanaan self assessment system. Sistem ini memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dengan SPT selama satu tahun pajak kepada Direktorat Jendral Pajak. Pengisian SPT sangat dibutuhkan suatu kejujuran dari wajib pajak agar mengisi dengan benar jujur dan lengkap. Kejujuran wajib pajak masih sangat rendah, menurut Tunggal 1995: 62 wajib pajak menyembunyikan kekayaan atau peghasilan dengan jalan memberikan keterangan atau mengajukan pernyataan tidak benar, memberikan data – data yang salah atau keterangan palsu dalam dokumennya, memanipulasi pajak yang seharusnya sehingga pajak yang di bayar lebih kecil daripada seharusnya.

2.2.5.2. Teori Yang Melandasi Kejujuran Wajib Pajak

Dasar dari teori keagenan Agency Theory adalah adanya dua individu, satu individu di sebut agen dan yang lain di sebut principal. Dalam ekonomi, para pemilik disebut principal dan manager sebagai agen. Dengan menggunakan teori agensi, manajemen bersikap tidak membedakan terhadap resiko, maka manejemenlah yang akan menanggung resiko. Ini merupakan keadaan saling mempengaruhi penghindaran resiko relatif antara manajer dan pemilik yang menciptakan sebagian dari masalah – masalah yang paling menarik dalam teori keagenan. Teori keagenan memfokuskan pada masalah – masalah yang ditimbulkan oleh informasi yang tidak lengkap, yaitu ketika tidak semua keadaan tidak diketahui oleh kedua belah pihak sebagai akibatnya, ketika konsekuensi – konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan lagi. Suatu hal yang menyangkut informasi yang tidak lengkap dalam teori ini terjadi bila pemilik tidak dapat mengamati semua aksi manajer. Situasi ini menciptakan masalah kekacauan moral Hendriksen, dkk, 2000: 221 – 222. Sama halnya dalam perpajakan, wajib pajak disebut sebagai agen, sedangkan kantor pelayanan pajak KPP atau petugas pajak disebut sebagai principal. Sikap yang pasif dari petugas pajak terhadap kesalahan – kesalahan dan pemalsuan – pemalsuan, baik di sengaja maupun tidak dapat mengganggu keseluruhan struktur perpajakan, karena wajib pajak tekun dan jujur akhirnya tidak dapat mempertahankan dirinya lagi untuk tidak berbuat hal yang sama. Selain itu hal yang paling merusak moral wajib pajak adalah apabila dia mengetahui dan yakin bahwa wajib pajak lainnya tidak memenuhi dan membayar pajak sesuai dengan beban yang harus dipikulnya Zain, 1990 : 33.

2.2.5.3. Pengaruh Kejujuran Wajib Pajak Dengan Penghindaran Pajak

Kejujuran wajib pajak adalah merupakan salah satu faktor tepenting dalam penerapan self assessment system. Dalam sistem ini wajib pajak harus aktif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri, mengisi SPT dengan jujur, baik, dan benar sampai melunasi pajak terutang tepat waktunya. Self assessment system mewajibkan wajib pajak untuk membuat pembukuan pencatatan, adanya catatan atau pembukuan akan di ketahui kemampuan ability to pay wajib pajak secara tepat dan aktual. Harahap, 2004: 60. Permasalahan yang di hadapi oleh wajib pajak di Indonesia adalah belum siapnya masyarakat untuk diterapkannya self assessment system secara murni, hal ini disebabkan antara lain karena belum cukupnya pengetahuan perpajakan sera tingkat kesadaran dan kejujuran wajib pajak, sehingga dalam melaporkan perhitungan pajak penghasilan belum benar dan lengkap. Kejujuran wajib pajak masih sangat rendah untuk membayar pajak. Pada umumnya untuk menghindari pajak, wajib pajak membuat pembukuan ganda. Menurut Soemitro 1987 : 134 banyak wajib pajak melakukan pembukuan ganda untuk mengelabui Dijen Pajak dalam urusan pajak, pembukuan ini dilakukan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Penyampaian SPT merupakan kewajiban WP yang di atur dalam UU. Sesuai dengan self assessment system yang di pakai di Indonesia, maka fungsi SPT tahunan adalah sebagai sarana bagi WP untuk menetapkan sendiri besarnya pajak yang sebenarnya terutang dan melaporkan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri. Menurut Tunggal 1995 : 62 menyatakan bahwa dengan self assessment system, para wajib pajak dapat leluasa mengabaikan formalitas – formalitas yang harus dilakukan atau memalsukan dokumen – dokumen serta mengisinya kurang lengkap. Jadi dengan wajib pajak menyembunyikan kekayaan atau penghasilannya, memberikan keterangan yang tidak benar, memberikan data – data yang tidak benar, hal ini membuat wajib pajak tidak jujur dalam kewajibannya sebagai wajib pajak. Semakin rendah tingkat kejujuran yang dimiliki oleh wajib pajak menyebabkan semakin besar terjadinya kecenderungan dalam penghindaran pajak. sehingga dapat disimpulkan bahwa kejujuran wajib pajak berpengaruh terhadap kecenderungan penghindaran pajak.

2.2.6. Hasrat Untuk Membayar Pajak

2.2.6.1. Pengertian Hasrat Membayar Pajak

Pajak merupakan tulang punggung keuangan negara dalam menjalankan roda pembangunan dan mensejahterahkan rakyatnya semakin sulit tercapai. Arti dari pajak sendiri dapat dikatakan belum di mengerti secara merata dan mendalam oleh masyarakat luas. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat pandangan yang salah tentang pajak seperti ketidak percayaan masyarakat akan pajak yang di bayar, sehingga dapat menyebabkan keenganan atau perasaan berat untuk membayar pajak. Hasrat membayar pajak dapat muncul dari hati wajib pajak yang telah memiliki kesadaran wajib pajak. Menurut kamus bahasa Indonesia 1990 : 300, hasrat adalah keinginan yang kuat, Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa hasrat untuk membayar pajak adalah suatu keinginan yang kuat untuk melakukan kewajiban perpajakan yaitu membayar pajak. Di Indonesia hasrat wajib pajak untuk membayar pajak masih sangat rendah. Proses atau prosedur pembayaran pajak yang berbelit – belit merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan hasrat membayar pajak, untuk itu dibutuhkan modernisasi administrasi pajak. Salah satu contoh modernisasi administrasi pajak adalah penerapan system administrasi baru yang memungkinkan seseorang atau badan usaha cukup melakukan pembayaran sekali dengan menggunakan single identity number SIN atau nomor identitas tunggal sistem ini merupakan suatu kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kewajibannya membayar pajak. Kemudahan dalam administrasi saat ini diharapkan akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk membayar pajak, agar pemulihan ekonomi lebih berkesinambungan dan stabil.

2.2.6.2. Teori Yang Melandasi Hasrat Membayar Pajak

Perilaku individu dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan sosial. Beberapa teori psikologi menyebutkan tentang social penetration theory, social influence theory and moral theory. Social penetration theory menurut Altman dan Taylor Baack at al, 2000 adalah perkembangan hubungan interpersonal menteorikan bahwa perubahan dalam hubungan interpersonal secara normal berkembang menjadi lebih dalam dan saling percaya karena orang secara gradual saling mengungkapkan satu sama lain sepanjang waktu. Jadi kalau seseorang menerima penguatan yang positif dan interaksinya dengan individu lain perlahan dengan jalannya waktu dia akan membuka dirinya menjadi lebih terbuka khususnya berhubungan dengan hal – hal yang sifatnya intim dan pribadi. Social influence theory , teori ini berhubungan dengan efek interaksi social dalam individu. Menurut Allport dalam Van der Stede 2000 yang menyatakan bahwa individu akan memberi penilaian yang lebih konservatif pada kondisi dimana ada keberadaan orang lain daripada keadaan terisolasi. Sheriff 1936 dalam Van der Stede 2000 menjelaskan adanya pengaruh orang lain atau hal ini, yang disebutnya sebagai norma sosial. Norma social didefinisikan sebagai customs, tradition, standart, ruler, values, fashion and all other individuals. Kesimpulan teori di atas adalah bahwa keinginan seseorang tergantung penggunaan positif yang diterimanya. Apabila interaksi tergantung dengan individu lain dapat berjalan dengan baik, maka keinginan untuk melaksanakan kewajiban akan berjalan dengan baik pula.

2.2.6.3. Pengaruh Hasrat Membayar Pajak Dengan Penghindaran Pajak

Hasrat untuk membayar pajak adalah suatu keinginan yang kuat untuk membayar pajak. Hasrat ini akan muncul disebabkan adanya kesadaran yang tinggi akan kewajiban dalam perpajakan yaitu membayar pajak sesuai dengan penghasilan yaitu diperoleh. Hasrat untuk membayar pajak oleh wajib pajak rendah di sebabkan karena rasa keraguan akan fungsi pajak yang telah disetorkan ke negara. Keraguan yang muncul dari wajib pajak mengakibatkan kecenderungan penghindaran pajak. Keraguan ini juga dipengaruhi oleh sistem administrasi sekaligus kinerja pemerintah. Selama ini citra pajak sangat negatif yaitu terkait dengan korupsi, rendahnya kinerja perpajakan yang bermuara pada rendahnya mutu pelayanan dan penyediaan barang publik. Harahap, 2004: 107. Menurut Soemitro 1983: 8 sependapat dengan Harahap bahwa adinistrasi pajak yang rumit menimbulkan beban berat bagi wajib pajak sehingga menimbulkan keengganan wajib pajak untuk membayar pajak, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasrat untuk membayar pajak berpengaruh terhadap kecenderungan penghindaran pajak.

2.2.7. Kedisiplinan Wajib Pajak

2.2.7.1. Pengertian Kedisiplinan Wajib Pajak

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kedisiplinan dan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Tingkat kedisiplinan wajib pajak sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat pemahaman mereka terhadap ketentuan perpajakan. Menurut Mar’at 1982: 90, disiplin adalah sikap perorangan atau kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah-perintah dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang perlu seandainya tidak ada perintah. Menurut kamus bahasa Indonesia 1990: 208, disiplin adalah tata tertib, ketaatan kepatuhan kepada peraturan tata tertib. Jadi kedisiplinan wajib pajak merupakan sikap kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakkannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang telah ditetapkan. Salah satu kedisiplinan wajib pajak dapat di lihat dari sikap wajib pajak memasukkan SPT dengan tepat waktu.

2.2.7.2. Teori Yang Melandasi Kedisiplinan Wajib Pajak

Teori reinforcement teori penguatan secara natural ada pada lingkungan luar external. Hal yang paling penting untuk membentuk kepribadian seseorang adalah melalui reward dan punishment. Berdasarkan punishment di tandai dengan adanya sanksi yang membentuk kepribadian seseorang untuk menjadi lebih patuh. Perilaku untuk menghindari sanksi merupakan respon dari seseorang, yang nantinya akan mendorong suatu kepatuhan Thoha, 2004: 58. Tingkat kedisiplinan wajib pajak sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat pemahaman mereka terhadap kepatuhan perpajakan. Kedisiplinan wajib pajak terhadap penghindaran pajak dapat dihubungkan dengan teori yang di kemukakan oleh Watt dan Zimmerman Scott, 2000: 273, yaitu Positive Accounting Theory PAT yang berbunyi : “Positive Accounting Theory PAT is concerned with predicting such action as the choice s of accounting policies by firm managers and how manager will respond to proposed new accounting standarts”. Watt dan Zimmerman juga berpendapat bahwa ada tiga hipotesis yang mendukung PAT Scott, 2000: 273, yaitu : 1. The Bonus Pian Hypothesis Hipotesis ini mengemukakan bahwa manajer perusahaan akan berusaha menaikkan laba dalam laporan keuangan untuk memperoleh bonus yang lebih banyak. 2. The Debt Covenant Hyphotesis Hipotesis ini mengemukakan bahwa manajer perusahaan akan berusaha menaikkan laba dalam laporan keuangan untuk memperoleh persetujuan dalam perjanjian hutang. 3. The Political Cost Hyphotesis Hipotesis ini mengemukakan bahwa manajer perusahaan akan menaikkan atau menurunkan laba dalam laporan keuangan untuk menghindari political cost yang lebih besar.

2.2.7.3. Pengaruh Kedisiplinan Wajib Pajak Dengan Penghindaran Pajak

Tax dicipline adalah disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan – peraturan pajak, sehingga pada waktunya wajib pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang – undang seperti memasukkan SPT pada waktunya, tanpa diperingatkan untuk melakukan hal itu. Tunggal, 1995: 44. Pengembalian SPT dengan tepat waktu, membayar pajak sesuai dengan waktu yang di tetapkan merupakan suatu sikap disiplin wajib pajak. Sebagian kecil masyarakat yang mau melakukan hal tersebut sehingga menimbulkan suatu sikap ketidakdisiplinan yang bermuara pada kecenderungan wajib pajak. Menurut D. Novak Kiryanto, 1999: 88 menyatakan bahwa suatu iklim kepatuhan wajib pajak sebagai berikut : 1. Wajib pajak paham dan berusaha memahami undang – undang perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan benar. 3. Menghitung pajak dengan jumlah yang benar dan membayar pajak tepat waktu. Dikatakan pula oleh Nurmantu 2003: 149, sebab utama wajib pajak tidak patuh adalah bahwa bila seseorang bekerja dan kemudian dapat menghasilkan uang, maka mereka secara naluriah uang itu pertama – tama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu hendaknya pemerintah lebih memastikan kepada masyarakat mengenai hukum yang mengaturnya, subjek pajak, objek pajak, dan tata cara pemungutannya. Kepastian ini akan menjamin setiap wajib pajak untuk tidak ragu-ragu membayar kewajiban pajaknya karena segala sesuatunya sudah jelas, dengan begitu kecenderungan penghindaran pajak akan rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan wajib pajak berpengaruh terhadap kecenderungan penghindaran pajak.

2.2.8. Penghindaran Pajak Tax Avoidance

2.2.8.1. Pengertian Penghindaran Pajak Tax Avoidance

Penghindaran pajak yang disebut juga sebagai tax planning, adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Menurut Robert H. Anderson 2005 : 50 penghindaran pajak adalah cara cara mengurangi pajak yang masih ada dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan pajak. Selanjutnya menurut Harahap 2004: 51 – 52 Tindakan penghindaran pajak adalah cara yang paling sering di lakukan wajib pajak, karena modus operasinya yang relatif sederhana, namun efektifitasnya cukup tinggi. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penghindaran pajak adalah sesuatu tindakan yang di lakukan oleh wajib pajak untuk menghindar dari pembayaran pajak yang bertujuan tidak terkena pajak ataupun memanipulasi jumlah pajak yang terutang agar pajak yang akan disetorkan ke Direktorat Jendral Pajak lebih kecil bahkan tidak kena pajak. Dalam hal ini apabila kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakanya secara tepat waktu dan tepat jumlah dapat ditingkatkan maka tidak akan terjadi penghindaran pajak atau hambatan- hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.

2.2.8.2. Teori Yang Melandasi Penghindaran Pajak Tax Avoidance

Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang di lakukan oleh WP untuk menghindar dari pembayaran pajak yang bertujuan tidak terkena pajak atau memanipulasi jumlah pajak yang terutang. Pada dasarnya tidak ada orang yang mau atau rela membayar pajak, setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menghindari pajak Burton, 2005. Penghindaran pajak illegal tax evasion adalah pembuatan melanggar undang - undang, seperti penyampaian di dalam SPT jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada jumlah sebenarnya understatement of income atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya overstatement of the deduction. Dalam tax avoidance wajib pajak memanfaatkan peluang – peluang loopholes yang ada dalam undang – undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah Nurmantu, 2003: 151. Menurut Nurmantu 2003 tax evasion dan tax avoidance mempunyai akibat yang sama yakni berkurangnya penyetoran dana pajak yang masuk ke kas negara atau bahkan tidak ada dana pajak yang masuk ke kas negara, tetapi keduanya mempunyai cara berbeda secara hukum. Tindakan penghindaran pajak adalah cara yang paling sering di lakukan oleh wajib pajak, karena modus operasinya yang relative sederhana, namun efektifitasnya cukup tinggi Harahap, 2004: 51 – 52. Upaya masyarakat untuk menghindari pajak merupakan suatu hal yang sangat alamiah mengingat pajak merupakan suatu pungutan paksaan dan sesuatu yang dipaksakan pastilah akan menimbulkan reaksi negative Guritno, 1995: 231.

2.3. Kerangka Pikir

Dokumen yang terkait

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Sidoarjo Utara).

0 0 101

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Empiris Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Surabaya Rungkut).

0 0 107

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Empiris Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Surabaya Rungkut).

0 0 107

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pada Industri Kecil di Wedoro).

1 3 110

PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pedagang Batu Permata di Surabaya).

0 0 88

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pada KPP Pratama Sidoarjo Barat).

3 16 117

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pada KPP Pratama Sidoarjo Barat)

0 0 24

PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN PERORANGAN (Studi Kasus Pada Restoran Di Sidoarjo Barat)

0 0 18

PENGARUH TINGKAT PEMAHAMAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pedagang Batu Permata di Surabaya)

0 0 21

PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP KECENDERUNGAN PENGHINDARAN PAJAK PENGHASILAN (Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Sidoarjo Utara)

0 0 20