DENSITAS POHON DEWASA DAN PERMUDAAN PULAI (Alstonia scholaris) DAN SUREN (Toona sureni) DALAM BLOK KOLEKSI TUMBUHAN DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN

(1)

DENSITAS POHON DEWASA DAN PERMUDAAN PULAI

(

Alstonia scholaris) DAN SUREN (Toona sureni) DALAM BLOK

KOLEKSI TUMBUHAN DI TAMAN HUTAN RAYA

WAN ABDUL RACHMAN

(Skripsi)

Oleh

ANDI A. J. SIAHAAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

THE DENSITY OF MATURE TREES AND THE REGENERATION OF DEVIL TREE (Alstonia scholaris) AND CEDAR (Toona sureni) IN THE PLANT COLLECTION BLOCK IN GREAT FOREST PARK OF WAN

ABDUL RACHMAN

By

ANDI A. J. SIAHAAN

The plant collection block is a part of the Great Forest Park of Wan Abdul Rachman that contains varie of plant species, either pristine plant or not and rare or not rare which are needed to be protected and preserved. The plant collection block condition has been changed to be cultivation land. This condition is feared can interfere the existence of rare plants species such as devil tree (Alstonia scholaris) and cedar (Toona sureni). This research was done at the plant collection block in Great Forest Park of Wan Abdul Rachman on September--October 2013. This research is aimed to determine the density, distribution, condition, and coordinates position of devil tree and cedar. The data was taken by used checkered lines method with 0.1% sampling intensity. The sampling area was about 8,455.4 m2, then divided into 20 plots. The distance between lines was 200 m and plots was 100 m. The result showed that the devil tree density was higher amount of 15 stems/ha than cedar density of 7 stems/ha in a row. The frequency of devil tree was found in observation plots about 0.25 stems/ha that


(3)

was higher than cedar frequency which only of 0.15 stems/ha. Cedar grown by 5 stems, that amount the criteria of main tree as many as 1 stem in the 20th plot. Devil tree grown by 4 stems, that amount the criteria of main tree as many as 1 stem in the 19th plot.


(4)

ABSTRAK

DENSITAS POHON DEWASA DAN PERMUDAAN PULAI (Alstonia scholaris) DAN SUREN (Toona sureni) DALAM BLOK KOLEKSI TUMBUHAN DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN

Oleh

ANDI A. J. SIAHAAN

Blok koleksi tumbuhan merupakan bagian dari kawasan taman hutan raya berisi-kan berbagai jenis tumbuhan, baik jenis asli maupun tidak asli, langka maupun tidak langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Kondisi blok koleksi tumbuhan yang mengalami perubahan fungsi menjadi areal perladangan dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan jenis-jenis tumbuhan langka seperti pohon pulai (Alstonia scholaris) dan suren (Toona sureni). Penelitian dilakukan di Blok Koleksi Tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman pada bulan September--Oktober 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui densitas, penyebaran, kondisi pohon dewasa, dan posisi koordinat pohon pulai dan suren. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode garis berpetak dengan intensitas sampling 0,1%. Luas sampel 8.455,4 m2, kemudian dibagi menjadi 20 petak. Jarak antargaris rintis 200 m dan jarak antarpetak ukur 100 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan pulai lebih tinggi sebesar 15 batang/ha dibandingkan dengan pohon suren sebesar 7 batang/ha. Frekuensi pulai ditemukan di lokasi penelitian sebesar 0,25, frekuensi ini lebih besar


(5)

dibanding-kan frekuensi pohon suren yang besarnya hanya 0,15. Pohon suren dewasa sebanyak 5 batang, yang memenuhi kriteria pohon induk sebanyak 1 batang dan berada di plot ke-20. Pohon pulai dewasa sebanyak 4 batang, yang memenuhi kriteria pohon induk sebanyak 1 batang dan berada di plot ke-19.


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sitorang Toba Samosir pada tanggal 27 Mei 1990, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayah kandung penulis bernama Arifin Siahaan dan ibu kandung bernama Prihatin Hutajulu. Penulis menyelesai-kan pendidimenyelesai-kan Sekolah Dasar (SD) di SDN No 174556 Sitorang pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Silaen pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Silaen pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian

Universitas Lampung, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Kehutanan (Himasylva) FP Unila. Penulis mengikuti Praktek Umum (PU) tahun 2012 di BKPH Tambakan KPH Purwakarta Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, pada tahun yang sama penulis melanjutkan Praktek Umum (PU) di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung Timur.


(10)

SANWACANA

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Densitas Pohon Dewasa dan Permudaan Pulai (Alstonia scholaris) dan Suren (Toona sureni) dalam Blok Koleksi Tumbuhan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Ucapan terima kasih saya tujukan kepada berbagai pihak sebagai berikut. 1. Bapak Ir. Indriyanto, M.P., selaku dosen pembimbing pertama saya atas

bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku pembimbing ke dua dan selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan hingga saya menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Duryat, S.Hut., M.Si., selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak Ir. Wiyogo Supriyanto, selaku kepala UPTD Tahura Wan Abdul Rachman, Mas Agus dan Mas Di (SHK Lestari) yang telah memberikan banyak bantuan kepada saya selama penelitian.


(11)

iii 5. Teman saya Gesta, dan Ali yang telah yang membantu dalam pengambilan

data.

6. Kedua orangtua dan adik-adik saya yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu saya khususnya dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa akan membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan kepada saya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Terima Kasih.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

D. Kerangka Pemikiran... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Keanekaragaman Hayati ... 6

B. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman ... 10

C. Blok Koleksi Tumbuhan ... 13

D. Pohon Langka ... 14

1. Kategori spesies langka……… 14

2. Kriteria untuk kategori kritis, genting, dan rawan…………... 17

3. Jenis-jenis pohon langka……….. 23

E. Permudaan... 31

F. Gambaran Umum Pulai... 33

G. Gambaran Umum Suren ... 36

III. METODE PENELITIAN ... 39


(13)

v

B. Alat dan Objek Penelitian ... 39

C. Jenis Data ... 39

1. Data Primer ... 39

2. Data Sekunder ... 40

D. Metode Pengumpulan Data ... 40

1. Data Primer ... 40

2. Data Sekunder ... 43

E. Prosedur Penelitian ... 43

F. Analisis Data………. 45

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 47

A. Status ... 47

B. Kondisi Biologi ... 47

C. Aksesibilitas ... 48

D. Tanah dan Batuan Induk ... 48

E. Hidrologi ... 49

F. Tipe Iklim... 49

G. Penutupan Lahan ... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 51

A. Hasil Penelitian………... 51

1. Kerapatan Jenis Pohon ... 51

2. Penyebaran Jenis Pohon ... 53

3. Kondisi pohon dewasa untuk dijadikan pohon Induk/plus………... . 54

B. Pembahasan... 59

1. Kerapatan Jenis Pohon ... 59

2. Penyebaran Jenis Pohon ... 62

3. Kondisi pohon dewasa untuk dijadikan pohon induk/plus……… 65


(14)

vi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Acuan pembuatan skor untuk pohon dewasa yang diidentifikasi

di lokasi penelitian ... 44 2. Jenis tanah di Tahura Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung ... 48 3. Kerapatan pohon pulai dan suren pada setiap fase pertumbuhan

di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman ... 51 4. Frekuensi pohon pulai dan suren pada setiap fase pertumbuhan

di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman ... 53 5. Hasil identifikasi dan skoring pohon plus/induk di blok koleksi

tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman ... 55 6. Data pengamatan pohon pembanding ... 56 7. Keadaan lingkungan di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan

Abdul Rachman………. 56 8. Titik koordinat pohon dewasa di blok koleksi tumbuhan Tahura

Wan Abdul Rachman………. 59

9. Data pengamatan fase tiang pada blok koleksi tumbuhan………….. 76 10. Data pengamatan fase pohon pada blok koleksi tumbuhan………… 77 11. Analisis vegetasi pada fase tiang……… 77 12. Analisis vegetasi pada fase pohon………. 78 13. Kerapatan pada setiap fase pertumbuhan di blok koleksi

tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman………... 78

14. Frekuensi pada setiap fase pertumbuhan di blok koleksi

tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman……….. 78 15. Jenis pohon yang di temukan di blok koleksi tumbuhan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta lokasi penelitian dan tata letak petak ukur……… 41 2. Desain tata letak petak-petak pengamatan dengan metode garis

berpetak……….... 42 3. Desain petak contoh dilapangan dengan metode garis berpetak……... 42 4. Perbandingan kerapatan pulai dan suren batang/ha pada setiap fase

pertumbuhan………. 52

5. Perbandingan frekuensi pulai dan suren pada setiap fase

pertumbuhan………. 54 6. Peta penyebaran pohon dewasa di blok koleksi tumbuhan Tahura

Wan Abdul Rachman……… 58

7. Lokasi pengamatan di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul

Rachman………... 80

8. Pembuatan petak pengamatan di blok koleksi tumbuhan Tahura

Wan Abdul Rachman……… 80 9. Pohon suren yang dijadikan sebagai pohon induk atau pohon plus…. 81 10.Pengukuran diameter pohon suren yang dijadikan sebagai pohon

induk……… 82

11.Pengukuran diameter pohon pulai yang dijadikan sebagai pohon

induk……… 82

12.Pohon pulai yang dijadikan sebagai pohon induk atau pohon plus…. 83 13.Pembuatan titik koordinat pada salah satu pohon yang diamati…….. 84 14.Pencatatan data di lapangan………. 84 15.Pengukuran tinggi pohon dengan menggunakan Christen


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman hutan raya (tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi. Tahura yaitu salah satu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli yang dimanfaat-kan untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendididimanfaat-kan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi alam.

Blok koleksi tumbuhan merupakan suatu wilayah di dalam kawasan taman hutan raya yang berisikan berbagai jenis tumbuhan, baik jenis asli maupun tidak asli, langka maupun tidak langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta dikem-bangkan sesuai dengan fungsi kawasan taman hutan raya. Blok koleksi tumbuhan merupakan salah satu blok yang ada di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada saat ini kondisi blok koleksi tumbuhan seluruhnya merupakan kebun cam-puran yang digarap oleh masyarakat sebagai areal perladangan yang didominansi oleh tanaman budidaya (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

Akibat adanya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di blok koleksi tum-buhan dikhawatirkan jenis-jenis pohon langka atau yang dilindungi di blok ter-sebut terancam mengalami kepunahan. Pohon pulai dan pohon suren merupakan


(18)

2 dua di antara beberapa pohon langka yang ada di Indonesia. Selain karena peru-bahan lahan, kelangkaan kedua pohon ini terjadi karena semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan pohon tersebut untuk digunakan sebagai bahan bangun-an dbangun-an lain-lain.

Pulai sangat prospektif untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena kegunaan kayu pulai cukup banyak dan saat ini permintaannya cukup tinggi. Kegunaan kayu pulai antara lain untuk pembuatan peti, korek api, hak sepatu, kerajinan seperti wayang golek dan topeng, cetakan beton, pensil slate, dan pulp (Martawijaya et al., 1981).

Salah satunya adalah kulit pulai yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan (Effendi dkk., 2011). Blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga keberadaan pohon tersebut di masa yang akan datang agar tidak mengalami kepunahan. Akan tetapi, data mengenai pohon tersebut secara lengkap belum ada khususnya data mengenai kondisi densitas populasi pulai dan suren, baik pohon dewasa maupun permuda-annya belum ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pohon pulai dan pohon suren di blok koleksi tumbuhan untuk mengetahui densitas, po-hon dewasa, dan permudaannya. Data yang diperoleh diharapkan mejadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan pengembangan blok koleksi tumbuhan di masa yang akan datang supaya blok tersebut menjadi lebih baik sesuai dengan fungsinya.


(19)

3 B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Mengetahui densitas atau kerapatan pohon pulai dan permudaannya yang ada di blok koleksi tumbuhan.

2. Mengetahui densitas atau kerapatan pohon suren dan permudaannya yang ada di blok koleksi tumbuhan.

3. Mengetahui penyebaran pohon pulai untuk setiap fase pertumbuhan yang ada di blok koleksi tumbuhan.

4. Mengetahui penyebaran pohon suren untuk setiap fase pertumbuhan yang ada di blok koleksi tumbuhan.

5. Mengetahui kondisi setiap pohon dewasa dan letak atau posisi koordinatnya.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Menyediakan data mengenai jenis pohon langka terutama keberadaan pohon pulai dan suren yang masih ada supaya dijadikan bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Sebagai landasan pengembangan dan upaya pelestarian tumbuhan langka di masa yang akan datang agar blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman dapat berfungsi dengan baik.

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah khususnya Dinas Kehutanan dalam menentukan strategi pengelolaan hutan terutama dalam pengembangan jenis-jenis pohon langka terutama pohon pulai dan pohon suren di kawasan blok koleksi tumbuhan.


(20)

4 D. Kerangka Pemikiran

Blok koleksi tumbuhan yang ada di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan blok berisi berbagai jenis tumbuhan baik jenis asli maupun tidak asli, langka maupun tidak langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta dikem-bangkan sesuai dengan fungsi kawasan tersebut. Keberadaan jenis-jenis pohon langka terutama jenis pohon pulai dan pohon suren yang ada di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan karena kebutuhan manusia akan pohon tersebut selalu meningkat.

Pulai (Alstonia scholaris) dan suren (Toona sureni ) merupakan jenis tanaman kehutanan yang memiliki banyak manfaat. Tanaman ini mampu tumbuh baik pada lahan kritis dan lahan marginal sehingga dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Kayu pulai dan suren banyak dimanfaatkan dalam bahan industri kerajinan tangan dan juga dimanfaatkan dalam bidang farmasi. Pulai dan suren juga memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu jenis tanaman

rehabilitasi lahan terdegradasi.

Salah satu upaya untuk mempertahankan, menjaga, dan melindungi jenis-jenis tumbuhan langka atau dilindungi yang ada di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman adalah dengan membuat kawasan blok koleksi tumbuhan. Menurut Kurniawan (2011), ditemukan 6 jenis tergolong langka, 3 jenis tergolong ende-mik, 8 jenis tergolong langka eksotik, dan 48 jenis tergolong kosmopolik. Pohon pulai dan pohon suren merupakan dua di antara 6 jenis pohon langka yang

ditemukan dengan indeks nilai penting masing-masing adalah 7,32% dan 3,45%. Berdasarkan indeks nilai penting tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan


(21)

5 pohon tersebut semakin sedikit. Menurut Mogea dkk. (2001), pohon pulai

(Alstonia scholaris) dan pohon suren (Toona sureni) merupakan jenis pohon langka yang ada di Indonesia dan termasuk dalam daftar Red List IUCN dan LIPI. Kelangkaan kedua pohon tersebut masuk dalam kategori langka /Low Risk (terkikis) /Least Concern (tidak diperhatikan).

Belum adanya data yang kongkrit mengenai jenis pohon pulai dan pohon suren yang ada dalam kawasan blok koleksi tumbuhan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai densitas, pohon dewasa, dan pemudaannya dengan menggu-nakan metode garis berpetak secara sistematik agar dapat dijadikan dasar pengem-bangan dan upaya pelestariannya di masa yang akan datang.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati merupakan variabilitas antarmahluk hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis ter-masuk juga keanekaragaman dalam spesies di antara spesies dan ekosistemnya. Sepuluh persen dari ekosistem alam berupa suaka alam, suaka marga satwa, ta-man nasional, hutan lindung, dan sebagian lagi untuk kepentingan budidaya plas-ma nutfah yang dialokasikan sebagai kawasan yang dapat memberi perlindungan bagi keanekaragaman hayati (Arief, 2001).

Keanekaragaman hayati menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 adalah keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk di antara-nya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antarspesies, dan ekosistem.

Keanekaragaman hayati perlu dilestarikan karena di dalamnya terdapat sejumlah spesies asli sebagai bahan mentah perakitan varietas-varietas unggul. Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan. Gangguan terhadap komponen-kom-ponen ekosistem tersebut dapat menimbulkan perubahan pada tatanan


(23)

ekosistem-7 nya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat. Contoh adanya gangguan ekosistem, misalnya penebangan pohon di hutan secara liar dan perburuan hewan secara liar yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Adanya gangguan tersebut secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus memengaruhi keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau letusan gunung berapi dapat memusnahkan ekosistem atau memusnahkan keanekaragaman ting-kat ekosistem. Hutan tropis di indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di dunia.

Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi ini apabila dikelola dengan baik tentunya dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masya-rakat Indonesia bahkan masyamasya-rakat di seluruh dunia. Dalam hal kekayaan kea-nekaragaman hayati, Indonesia tidak kalah dengan Brazil, negara yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Brazil memiliki jumlah keaneka-ragaman hayati ikan air tawar dan jumlah organisme darat yang sangat banyak tapi keanekaragaman organisme laut di Indonesia jauh lebih banyak. Seperti Meksiko, posisi geografis Indonesia termasuk negara yang terletak pada dua kawasan dari enam kawasan biogeografi terpenting di dunia, yaitu Australasian dan Indo-Malaya. Hal yang juga menarik, di Indonesia terdapat wilayah perte- muan dua kawasan tersebut, yaitu Wallacea yang di dalamnya terkandung en-demisitas dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi. Kawasan bio-geografi Indonesia dan sebarannya yang meliputi 17.000 pulau, termasuk pulau terbesar kedua dan ketiga di dunia (Kalimantan dan Papua), bisa dikatakan telah berhasil menandingi Brazil dalam hal kekayaan jenis (Supriatna, 2008).


(24)

8 Laju berkurangnya keanekaragaman hayati pada saat ini diperkirakan sama cepatnya dengan masa kepunahan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Diper-kirakan 50% hingga 90% dari 10 juta spesies yang hidup di bumi berada di hutan tropis dan memiliki tingkat kepunahan yang paling parah. Dengan tingginya de-forestasi maka antara 5% sampai 10% spesies di hutan tropis akan punah dalam waktu 30 tahun mendatang. Hal ini berarti kita akan mengalami kehilangan spe-sies tumbuhan tropis yang beragam jenisnya dan memiliki aneka keunikan dan kegunaan bagi manusia (WRI, IUCN, dan UNEP, 1995).

Menurut WRI, IUCN, dan UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanekara-gaman hayati antara lain sebagai berikut.

1. Peningkatan laju populasi manusia dan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali.

2. Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Ekonomi global yang berdasarkan prinsip persaing-an dpersaing-an spesialisasi telah meningkatkpersaing-an keseragampersaing-an dpersaing-an saling ketergpersaing-antung- ketergantung-an.

3. Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumber daya alam. Kurangnya perhatian dan upaya manusia dalam memelihara dan melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. 4. Kurangnya pengetahuan dan penerapan masyarakat dalam mengelolah sumber

daya alam yang ada. Ketidaktahuan ini terjadi akibat erosi kebudayaan tradisi-onal yang mempunyai pemahaman tersendiri mengenai alam.


(25)

9 5. Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi. Eksploitasi hutan

yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya alam yang tidak ternilai.

Menurut Krebs (1978), ada 6 faktor yang menentukan naik turunnya keanekaragaman spesies antara lain sebagai berikut.

1. Waktu. Keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas yang lebih tua, dan yang telah lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad hidup daripada komunitas muda sehingga tingkat keanekaragaman hayatinya juga akan lebih tinggi.

2. Heterogenitas ruang. Semakin heterogen suatu lingkungan fisik maka semakin tinggi keanekaragamannya.

3. Kompetisi. Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme membutuhkan sum-ber yang sama yang ketersediannya terbatas.

4. Pemangsaan. Untuk mempertahankan komunitas dari jenis bersaing yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemung-kinan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis. Keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang lebih ba-nyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang. Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih longgar. Pada kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut.


(26)

10 5. Kestabilan iklim. Makin stabil suhu, kelembapan, salinitas, pH dalam suatu

lingkungan tersebut maka keanekaragaman jenis yang akan lebih tinggi dari-pada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering mengalami gangguan musiman secara periodik. Lingkungan yang sta-bil, lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.

6. Produktivitas. Produktivitas mempengaruhi keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu organisme.

Strategi terbaik pelestarian jangka panjang bagi keanekaragaman hayati adalah populasi dan komunitas alami di habitat alami, yang dikenal sebagai pelestarian in-situ (atau dalam kawasan). Alasan pendekatan ini berlandaskan pada fakta bahwa kemampuan spesies untuk menjalankan proses adaptasi evolusi hanya dapat berlangsung di alam bebas. Bagi spesies langka yang telah terdesak oleh pengaruh kegiatan manusia, pelestarian in-situ bukan pilihan yang tepat. Suatu populasi sisa berukuran kecil, atau bila seluruh individu tersisa hanya ditemukan di luar kawasan-kawasan yang dilindungi, maka pelestarian in-situ mungkin tidak berhasil. Satu-satunya jalan untuk mencegah kepunahan spesies adalah dengan memelihara individu-individu alami dalam kondisi terkendali, di bawah pengawa-san manusia. Strategi ini dikenal sebagai pelestarian ex-situ (atau di luar habitat) (Supriatna,2008) .

B. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman

Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tum-buhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli,


(27)

11 yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Adapun kriteria penun-jukan dan penetapan suatu daerah sebagai kawasan taman hutan raya antara lain sebagai berikut (Arief, 2001).

1. Kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah. 2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam.

3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.

Taman hutan raya merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang ber-tujuan untuk mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan dan memperbaiki kawasan hutan yang rusak untuk menunjang program pengembangan wisata, khususnya dalam penyediaan sarana wisata alam bagi masyarakat dalam maupun luar negeri. Arti penting taman hutan raya adalah untuk menyediakan sarana pendidikan yang berkaitan dengan upaya konservasi sumber daya alam, terutama untuk mening-katkan kesadaran pentingnya peran masyarakat dalam upaya konservasi tersebut (Arief, 2001).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 403/Kpts-II/1993, Kawasan Hutan Gunung Betung Register 19 seluas sekitar 22.249,31 ha ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Adaya perubahan status dari hutan lindung menjadi taman hutan raya dimaksudkan untuk memperluas fungsi kawasan seperti selain fungsi lindung, juga dapat berfungsi sebagai sarana


(28)

peles-12 tarian sumber daya alam hayati, penelitian dan pendidikan, penunjang budidaya dan budaya, dan pariwisata (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

Dalam rangka efisiensi dan efektivitas pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, maka berdasarkan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan, kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman dibagi menjadi blok-blok pengelolaan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006), antara lain sebagai berikut.

1. Blok Koleksi Tumbuhan, sesuai dengan fungsi tahura pada blok ini diarahkan untuk koleksi tanaman asli dan bukan asli serta langka atau tidak langka. 2. Blok Pemanfaatan, bentuk pemanfatan dalam kawasan tahura adalah untuk

kegiatan pendidikan, penelitian dan wisata alam, pada blok ini juga dapat dibangun sarana dan prasarana kegiatan tersebut (maksimal 10% dari luas blok pemanfatan).

3. Blok Perlindungan, bagian dari kawasan tahura sebagai tempat perlindungan jenis tumbuhan, satwa dan ekosistem serta penyangga kehidupan.

4. Blok lainnya (pendidikan, penelitian, dan social forestry), pada blok ini dapat dilakukan aktivitas pendidikan dan penelitian serta pengelolaan hutan bersama masyarakat terbatas dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi.

Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman memiliki kondisi dan karakteristik alam yang spesifik. Secara biofisik merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang memiliki tipe hutan hujan dataran rendah dan pegunungan sedang dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Tahura Wan Abdul Rachman


(29)

13 juga mempunyai panorama bentang alam yang menarik, antara lain pemandangan ke Kota Bandar Lampung dan perairan laut Teluk Lampung (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

C. Blok Koleksi Tumbuhan

Blok koleksi tumbuhan merupakan area/wilayah di dalam kawasan taman hutan raya yang berisikan berbagai jenis tumbuhan baik jenis asli maupun tidak asli (eksotik), langka maupun tidak langka yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan taman hutan raya. Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman dapat berfungsi sebagai tempat koleksi tum-buhan atau tanaman, akan tetapi khusus blok koleksi tumtum-buhan perlu ditetapkan agar area tersebut dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya secara lebih efektif dan efisien (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

Blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman memiliki luas area 845,54 ha yang berada desa Desa Hurun dan Desa Hanura. Secara spesifik di wilayah ini, khususnya sekitar Youth Camp Centre telah ditanami berbagai jenis tanaman kehutanan antara lain, damar mata kucing, durian, alpokat, cempaka, medang, dan jenis-jenis kayu-kayuan serta MPTS (multi purpose tree species) lainya. Kondisi blok koleksi tanaman saat ini seluruhnya merupakan kebun campuran yang diga-rap oleh masyarakat sebagai area perladangan yang didominasi oleh tanaman budidaya (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).


(30)

14 D. Pohon Langka

Indonesia sebenarnya sangat kaya akan tumbuhan langka terutama pohon langka karena posisi Indonesia yang tepat di garis khatulistiwa sehingga menyebabkan Indonesia mempunyai iklim tropis yang sangat ideal untuk tempat tumbuhnya ber-macam ber-macam tanaman. Namun sayangnya, tumbuhan langka yang harusnya dilindungi ini tidak dirawat dengan baik sehingga mengakibatkan populasinya semakin menurun dari hari ke hari. Pohon langka atau spesies langka merupakan pohon atau spesies yang keberadaannya tampak seragam dan tidak terlalu bervari-asi secara genetik, sehingga jenis tersebut terancam punah.

1. Kategori Spesies Langka

Tumbuhan langka adalah tumbuhan yang keberadaan takson atau populasinya diperkirakan mengalami tekanan. Besarnya tekanan terhadap setiap takson ber-beda bergantung pada sifat biologis tumbuhan dan keadaan lingkungannya se-hingga tingkat atau status kelangkaan setiap takson tumbuhan dapat berlainan. Penentuan status kelangkaan suatu spesies dapat di kelompokkan dalam delapan kategori tumbuhan langka, antara lain sebagai berikut (Mogea dkk., 2001).

1) Punah (Extinct = EX)

Kategori EX (Extinct) diterapkan pada takson yang telah dipastikan tidak akan dapat ditemukan lagi karena individu yang terakhir diketahui telah mati.


(31)

15 2) Punah in-situ (Extinct in the Wild = EW)

Kategori EW (Extinct in the Wild) diterapkan pada takson yang diketahui hanya hidup dan dipelihara dengan baik di dalam kebun dan di kawasan kon-servasi lainnya. Takson ini kemudian tumbuh secara alami, namun tidak dite-mukan di habitat aslinya. Kepastian bahwa suatu takson tidak ditedite-mukan di habitat aslinya disimpulkan setelah melalui pengamatan intensif di tempat tak-son tersebut diperkirakan hidup, ternyata taktak-son yang dimaksud adalah tidak di temukan lagi. Jangka waktu pengamatan intensif ini harus melebihi waktu daur hidup dan pola hidup biota yang diamati.

3) Kritis (Critically Endangered = CR)

Kategori CR (Critically Endangered) diterapkan pada takson yang keberadaan populasinya menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat jika tidak ada usaha penyelamatan yang berarti untuk melin-dungi populasinya dan segera dimasukkan ke dalam kategori EW. Dalam kea-daan demikian suatu takson termasuk dalam kategori CR dengan salah satu kriteria (A sampai E) seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dalam bab ini.

4) Genting (Endangered = EN)

Kategori EN (Endangered) diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam CR namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan dima-sukkan ke dalam kategori EW jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Dalam keadaan


(32)

16 demikian suatu takson termasuk dalam kategori EN dengan salah satu kriteria (A sampai E) seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dalam bab ini.

5) Rawan (Vulnerable = VU)

Kategori VU (Vulnerable) diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR atau EN namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW. Dalam keadaan demikian suatu takson termasuk dalam kategori VU dengan salah satu kriteria (A sampai E) seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dalam bab ini.

6) Terkikis (Lower Risk = LR)

Kategori LR (Lower Risk) diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam EX, EW, CR, EN atau VU. Kategori LR ini terbagi atas tiga subkategori sebagai berikut.

1. Usaha Konservasi (Conservation Dependent = CD). Subkategori ini dite-rapkan pada takson yang menjadi pusat perhatian dalam program perlin-dungan kelangsungan hidup suatu habitat atau takson, dalam usaha meng-amankan dan memperbaiki populasinya. Namun jika program perlindungan ini terhenti, maka dalam waktu lima tahun takson yang berada dalam

kategori ini akan dimasukkan ke dalam salah satu kategori terancam di atas. 2. Nyaris terancam (Near Threatened = NT). Subkategori ini diterapkan pada

takson yang tidak termasuk dalam cd, namun mendekati kategori VU. 3. Tidak terperhatikan (Least Concern = LC). Subkategori ini diterapkan pada


(33)

17 7) Data belum lengkap (Data Deficient = DD)

Kategori DD (Data Deficient) diterapkan pada takson yang kondisi biologisnya mungkin telah diketahui namun data persebaran dan populasinya belum leng-kap sehingga analisis status kelangkaannya kurang memadai. Oleh karena itu, disarankan agar menggunakan data yang tersedia sehingga memberikan pelu-ang positif untuk kelpelu-angsungan hidup suatu takson. Cukup sulit untuk menen-tukan suatu takson termasuk DD atau kategori lainnya, namun jika populasi takson diketahui relatif terbatas dalam jangka waktu tertentu setelah satu popu-lasi kecil ditemukan, maka status takson tersebut dinilai sebagai salah satu ka-tegori tumbuhan langka. Kaka-tegori ini berbeda dengan LR, karena takson yang didaftar dalam kategori DD ini jika dikemudian hari data persebaran populasi-nya diperoleh, maka selanjutpopulasi-nya takson tersebut dapat dimasukkan dalam salah satu kategori tumbuhan langka.

8) Belum dievaluasi (Not Evaluated = NE)

Kategori NE (Not Evaluated) diterapkan pada takson yang belum dievaluasi dengan menggunakan batasan kriteria untuk kategori Kritis, Genting, dan Rawan menurut IUCN Red List Categories 30 November 1994 sehingga belum bisa dimasukkan ke dalam kriteria-kriteria tersebut.

2. Kriteria untuk Kategori Kritis, Genting, dan Rawan

a. Kritis (Critically Endangered = CR)


(34)

18 satu kriteria (A sampai E) sebagai berikut (Mogea dkk., 2001).

1. Populasinya berkurang sebagai akibat salah satu keadaan berikut.

a. Dari hasil pengamatan, diduga, disimpulkan atau dicurigai telah terjadi penu-runan paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi, atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan salah satu hal berikut : 1) observasi langsung,

2) indeks kepadatan yang tepat bagi suatu takson,

3) penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan, dan kualitas habitat,

4) tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

5) pengaruh takson introduksi, persilangan, patogen, polutan, kompetitor, dan parasit.

b. Terjadi penurunan populasi paling sedikit 80% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi, atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama berdasarkan kriteria 1.a.: 2), 3),4) atau 5) di atas.

2. Luas wilayah keberadaan populasi atau taksonnya diperkirakan kurang dari 100 km2 atau wilayah yang dapat ditempati diperkirakan kurang dari 10 km2, atau keadaan populasinya diperkirakan memenuhi dua situasi berikut.

a. Mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi.

b. Berdasarkan pengamatan atau prediksi, diduga populasi takson yang dimaksud berkurang secara terus-menerus dalam hal-hal berikut:


(35)

19 2) wilayah yang ditempati,

3) luas, wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat, 4) jumlah populasi dan subpopulasi,

5) jumlah individu dewasa.

c. Terjadi fluktuasi yang ekstrim dalam beberapa hal berikut: 1) luas wilayah keberadaan,

2) wilayah yang ditempati,

3) jumlah populasi dan subpopulasi, 4) jumlah individu dewasa.

3. Populasi diperkirakan berjumlah kurang dari 250 individu dewasa dan mengalami hal berikut.

a. Diperkirakan pengurangan populasi terus berlanjut paling sedikit 25% dalam waktu tiga tahun atau dalam satu generasi atau satu waktu di antara keduanya yang lebih lama, atau

b. Berdasarkan pengamatan atau prediksi diduga terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasi dalam salah satu bentuk berikut:

1) mengalami fragmentasi berat (misalnya tidak ada subpopulasi yang diper-kirakan memiliki lebih dari 50 individu dewasa.

2) semua individu hanya ada dalam satu subpopulasi.

4. Jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa.

5. Analisi kuantitatif menunjukkan bahwa kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun atau tiga generasi, satu waktu di antara keduanya yang lebih lama.


(36)

20 b. Genting (Endangered = EN)

`

Suatu takson dapat dimasukkan ke dalam kategori EN apabila sesuai dengan salah satu kriteria (A sampai E) sebagai berikut.

1. Populasinya berkurang sebagai akibat dari salah satu keadaan berikut.

a. Dari hasil pengamatan, diduga, disimpulkan atau dicurigai paling sedikit terjadi penurunan 50% selama 10 tahun terakhir berdasarkan salah satu hal berikut: 1) observasi langsung,

2) indeks kepadatan yang tepat bagi takson,

3) penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan dan kualitas habitat,

4) tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

5) pengaruh takson introduksi, persilangan, patogen, polutan, kompetitor, dan parasit.

b. Penurunan populasi paling sedikit 50% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi.

2. Luas wilayah keberadaan populasi kurang dari 5.000 km2 atau yang ditempati kurang dari 500 km2 atau keadaan populasi harus memenuhi dua situasi berikut.

a. Mengalami fragmentasi berat.

b. Berdasarkan pengamatan atau prediksi, populasi takson berkurang secara terus-menerus dalam hal-hal berikut:

1) luas wilayah keberadaan, 2) wilayah yang ditempati,


(37)

21 3) luas , wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat,

4) jumlah populasi dan subpopulasi, 5) jumlah individu dewasa.

c. Terjadi fluktuasi ekstrim dalam beberapa hal sebagai berikut: 1) luas wilayah keberadaan,

2) wilayah yang ditempati,

3) jumlah populasi dan subpopulasi, 4) jumlah individu dewasa.

3. Populasi diperkirakan berjumlah kurang dari 2.500 individu dewasa atau sebagai berikut.

a. Pengurangan populasi paling sedikit 20% dalam waktu lima tahun atau dalam dua generasi, atau

b. Terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasi.

4. Jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa.

5. Analisi kuantitatif menunjukkan bahwa kemungkinan punah di alam setidaknya 20% dalam 20 tahun atau lima generasi.

c. Rawan (Vulnerable = VU)

Suatu takson dapat dimasukkan ke dalam kategori VU apabila sesuai dengan salah satu kriteria (A sampai E) sebagai berikut.

1. Populasinya berkurang sebagai akibat salah satu keadaan berikut.

a. Dari hasil pengamatan terjadi penurunan paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir berdasarkan salah satu hal berikut:


(38)

22 1) observasi langsung,

2) indeks kepadatan yang tepat bagi takson,

3) penurunan wilayah yang ditempati, luas wilayah keberadaan, dan/atau kualitas habitat,

4) tingkat eksploitasi (aktual) saat ini dan kemungkinan eksploitasi (di masa depan),

5) pengaruh takson introduksi, persilangan, patogen, polutan, kompetitor, dan parasit.

b. Penurunan populasi paling sedikit 20% dalam 10 tahun terakhir atau pada periode tiga generasi atau keduanya lebih lama.

2. Luas wilayah keberadaan populsi kurang dari 20.000 km2 atau yang ditempati kurang dari 2.000 km2 atau keadaan populasinya memenuhi dua situasi berikut. a. Mengalami fragmentasi berat atau tidak lebih dari sepuluh lokasi.

b. Berdasarkan pengamatan populasi takson berkurang terus-menerus dengan cara-cara berikut:

1) luas wilayah keberadaan, 2) wilayah yang ditempati,

3) luas, wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat, 4) jumlah populasi dan subpopulasi,

5) jumlah individu dewasa.

c. Terjadi fluktuasi ekstrim dalam beberapa hal sebagai berikut: 1) luas wilayah keberadaan,

2) wilayah yang ditempati,


(39)

23 4) jumlah individu dewasa.

3. Populasi berjumlah kurang dari 10.000 individu dewasa atau sebagai berikut. a. Pengurangan populasi secara menerus palinga sedikit sampai 10% dalam waktu

10 tahun atau dalam tiga generasi.

b. Berdasarkan pengamatan atau prediksi terjadi pengurangan berlanjut pada jumlah individu dewasa dan struktur populasinya dalam salah satu bentuk berikut.

1) mengalami fragmentasi berat,

2) semua individu hanya terdapat dalam satu subpopulasi.

4. Populasi diperkirakan jumlahnya sangat kecil, terbatas atau keadaannya sebagai berikut.

a. Jumlah populasi kurang dari 1.000 individu dewasa.

b. Wilayah yang ditempati kurang dari 100 km2 atau jumlah lokasi kurang dari lima.

5. Analisis kuantitatif menunjukkan kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun.

3. Jenis-Jenis Pohon Langka

Menurut Mogea dkk. (2001), beberapa tumbuhan langka atau pohon langka yang perlu dilindungi di Indonesia antara lain sebagai berikut.

1) Alstonia scholaris (pulai) 2) Aquilaria beccariana (gaharu) 3) Aquilaria filaria (gaharu) 4) Aquilaria malaccensis (gaharu)


(40)

24 5) Aquilaria microcarpa (gaharu)

6) Borassodendron borneensis (palem atau pinang-pinangan) 7) Diospyros celebica (eboni)

8) Diospyros macrophyilla (kayu hitam atau eboni) 9) Durio kutejensis (durian pulu)

10)Durio oxleyanus (durian daun atau durian rimba) 11)Durio grandiflorus (Masters) (durian hantu) 12)Durio graveolens (durian burung)

13)Durio lowianus (tekawai)

14)Durio testudinarium (durian kura-kura) 15)Dalbergia latifolia (sonokeling)

16)Dyera costulata (jelutung) 17)Enkleia malaccensis (akar karas) 18)Eusideroxylon zwageri (ulin) 19)Ganua motleyana (katiau)

20)Gyrinops versteegii (ketenun/gaharu)

21)Koompassia excelsa (kedundung atau berniung) 22)Koompassia malaccensis (kempas)

23)Macadamia hildebrandii (perande) 24)Mangifera casturi (mangga kasturi) 25)Mangifera gedebe (gedebe)

26)Shorea javanica (damar mata kucing) 27)Shorea palembanica (tengkawang majau) 28)Shorea pinanga (tengkawang amung)


(41)

25 29)Stelechocarpus burahol (kepel)

30)Scorodocarpus borneensis (kayu bawang/ kulim) 31)Styrax benzoin (kemenyan)

32)Toona sureni (mahoni cina atau suren) 33)Upuna borneensis (balau penyau) 34)Vatica rassak (resak hiru, resak irian) 35)Timonius timon (ketimunan)

36)Aleuritas moluccana (kemiri) 37)Fagraea fragans (tembesu) 38)Santalum album (cendana)

39)Palaquium leiocarpum (hangkang) 40)Vatica bantamensis (kokoleceran)

Tumbuhan langka Indonesia ialah tumbuhan asli indonesia yang takson atau populasi taksonnya cenderung berkurang, baik dalam jumlah individu, populasi maupun keanekaragaman genetisnya sehingga jika tidak ada usaha pelestarian yang cukup berarti maka akan segera punah dalam waktu singkat.

Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang digunakan oleh IUCN dalam melakukan klasifikasi terhadap jenis-jenis berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Dari status konservasi ini kemudian IUCN mengeluarkan IUCN Red List of Threatened Species atau disingkat IUCN Red List, yaitu daftar status kelangkaan suatu jenis.


(42)

26 Kategori status konservasi dalam IUCN Red List pertama kali dikeluarkan pada tahun 1984. Sampai kini daftar ini merupakan panduan paling berpengaruh mengenai status konservasi keanekaragaman hayati.

IUCN Red List menetapkan kriteria untuk mengevaluasi status kelangkaan suatu spesies. Kriteria ini relevan untuk semua jenis di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk memperingatkan betapa pentingnya masalah konservasi kepada publik dan pembuat kebijakan untuk menolong komunitas internasional dalam memperbaiki status kelangkaan jenis.

Tumbuhan langka di Indonesia yang terancam punah tidak kalah banyak diban-ding hewan langka Indonesia. Bahkan spesies tanaman yang langka dan terancam punah di Indonesia jumlahnya jauh lebih banyak.

Daftar tumbuhan langka yang masuk dalam daftar Extinc in Wild (Punah in situ), Critically Endangered (Kritis) dan Endangered (Terancam Punah) adalah sebagai berikut.

a. Extinct in the Wild (Punah in Situ)

Mangga kasturi (Mangifera casturi). Tumbuhan yang menjadi maskot (flora identitas) provinsi Kalimantan Selatan ini dinyatakan telah punah in situ (Extinct in the Wild) oleh IUCN Redlist.

b. Critically Endangered (Kritis)

Daftar tanaman langka Indonesia yang masuk dalam daftar status konservasi Critically Endangered (Kritis) antara lain sebagai berikut.


(43)

27 1) Pelalar atau meranti jawa (Dipterocarpus littoralis); endemik

Nusakambangan, Jawa Tengah.

2) Keruing (Dipterocarpus elongatus); tumbuhan asli Indonesia (Kalimantan, Sumatera), Malaysia, dan Singapura.

3) Keruing arong atau kekalup (Dipterocarpus applanatus); tanaman endemik Kalimantan.

4) Keruing bulu atau mara keluang atau lagan sanduk (Dipterocarpus baudii); tumbuh di Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya, dan Sumatra.

5) Keruing jantung (Dipterocarpus concavus); tumbuhan asli Sumatera dan Semenanjung Malaysia.

6) Kadan (Dipterocarpus coriaceus); tersebar di Semenanjung Malaya, Riau, Kalimantan Barat, dan Serawak.

7) Keruing gajah atau tampudau (Dipterocarpus cornutus); semenanjung Malaysia, Sumatera bagian utara dan Kalimantan bagian tenggara.

8) Keruing pekat atau keruing kipas (Dipterocarpus costulatus); tanaman asli Indonesia (Kalimantan, Sumatera) dan Malaysia.

9) Keruing senium atau keruing padi (Dipterocarpus eurynchus); tersebar di Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan, Sumatera), Malaysia, dan Filipina.

10)Keruing pipit (Dipterocarpus fagineus). tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia.


(44)

28 12)Meranti (Dipterocarpus glabrigemmatus); tumbuh di Indonesia (Kalimantan)

dan Malaysia (Serawak).

13)Meranti kuning atau damar pakit (Shorea acuminatissima); tumbuh di Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Sabah).

14)Belangeran atau balau merah (Shorea balangeran); endemik Sumatera dan Kalimantan.

15)Meranti merah (Shorea carapae); tumbuh di Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Serawak).

16)Meranti (Shorea conica); tumbuhan endemik Sumatera.

17)Meranti putih (Shorea dealbata); tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia.

18)Selagan batu (Shorea falciferoides); Meranti endemik Kalimantan. 19)Selagan batu (Shorea foxworthyi); Indonesia (Kalimantan, Sumatera),

Malaysia, dan Thailand.

20)Balau atau beraja atau red balan (Shorea guiso); Meranti dari Indonesia (Sumatera), Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

21)Meranti kuning (Shorea hopeifolia); tumbuh di Indonesia (Sumatera), Malaysia, dan Filipina.

22)Selagan batu kelabu (Shorea hypoleuca); tumbuh di Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan), dan Malaysia (Sabah, Sarawak).

23)Selagan (Shorea inappendiculata); tumbuh di Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Sabah, Sarawak).


(45)

29 25)Meranti merah (Shorea johorensis); tumbuh di Indonesia (Kalimantan,

Sumatera) dan Malaysia.

26)Balau merah atau dark red meranti (Shorea kunstleri); tumbuh di Indonesia (Kalimantan, Sumatera) dan Malaysia.

27)Damar tunam atau meranti putih (Shorea lamellata); tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia.

28)Light red meranti (Shorea lepidota); tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia.

29)Meranti kuning (Shorea longiflora); tumbuh di Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan), dan Malaysia (Sarawak).

30)Meranti kuning (Shorea longisperma); tumbuh di Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan), dan Malaysia (Sarawak).

31)Meranti merah (Shorea macrantha); tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia.

32)Meranti (Shorea materialis); tumbuh di Brunei Darussalam, Indonesia (Sumatera), dan Malaysia

33)Meranti maluku (Shorea montigena); Endemik Maluku

34)Meranti merah atau light red meranti (Shorea myrionerva); tersebar di Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan), dan Malaysia (Sabah, Serawak).

35)Meranti (Shorea ochrophloia); tumbuh di Indonesia (Sumatera) dan Malaysia. 36)Meranti merah atau balau merah (Shorea pallidifolia); tumbuh di Indonesia

(Sumatera) dan Malaysia

37)Meranti kuning (Shorea peltata); tumbuh di Indonesia (Kalimantan, Sumatera) dan Malaysia


(46)

30 38)Light red meranti (Shorea platycarpa); tumbuh di Indonesia (Sumatera),

Malaysia, dan Singapura.

39)Meranti kuning (Shorea polyandra); tumbuh di Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Sabah, Serawak).

c. Endangered (Terancam Punah)

Daftar tumbuhan langka Indonesia yang masuk dalam daftar status konservasi Endangered (Terancam Punah) adalah seperti Shorea sp. Beberapa spesies Shorea berpredikat spesies berstatus konservasi Endangered (Terancam Punah) sehingga keberadaannya semakin langka, seperti; Shorea agami (meranti putih), Shorea albida (meranti merah terang), Shorea argentifolia (meranti merah gelap atau dark red meranti), Shorea balanocarpoides (meranti putih), Shorea

blumutensis (meranti kuning), Shorea bracteolata (meranti putih), Shorea dasyphylla (meranti putih), Shorea domatiosa, Shorea elliptica, Shorea

faguetiana (damar siput), Shorea falcifera, Shorea glauca (balau bunga), Shorea gratissima, Shorea leprosula (meranti tembaga atau tengkawang), Shorea

maxwelliana, Shorea obscura, Shorea ovata, Shorea pauciflora (tengkawang), Shorea platyclados, Shorea teysmanniana.

Selain yang terdaftar dalam status konservasi Extinct in the Wild, Critically Endangered, dan Endangered di atas, masih banyak tanaman Indonesia lainnya yang juga langka dan terancam punah meskipun dengan status konservasi yang lebih rendah.


(47)

31 Sebagai contoh tanaman langka yang berstatus vulnerable adalahkalapia

(Kalappia celebica), kayu susu (Alstonia beatricis), tualang (Koompasia grandiflora), kayu hitam, dan eboni (Diospyros celebica). Tumbuhan berstatus Least Concern seperti palem raja (Caryota no) dan palem nipa (Nypa fruticans). Tumbuhan yang berstatus Near Threatened seperti Korma Rawa (Phoenix paludosa).

Jenis tumbuhan yang ada dapat diketahui dari pengumpulan atau koleksi secara periodik dan identifikasi di lapangan. Berdasarkan komposisi flora, dapat dike-tahui jenis tumbuhan dari suatu ekosistem, seperti ekosistem hutan, komposisi atau susunan pokok hutan terdiri atas pohon, dari berbagai jenis, bentuk, keliling dan tinggi pohon (Indriyanto, 2006).

Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragamn jenis dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkat komunitas berdasarkan organisasi biologinya (Indriyanto, 2006).

E. Permudaan

Permudaan alam adalah pengadaan tegakan baru dalam peremajaan hutan secara alami, tanpa dilakukan campur tangan manusia. Permudaan alam terdiri dari antara lain sebagai berikut (Direktoral Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993). 1. Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0.3 meter sampai


(48)

32 2. Permudaan tingkat pancang adalah permudaan yang berukuran tinggi lebih dari

1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm.

3. Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 –19 cm.

Pertumbuhan dan perkembangan pemudaan pada dasarnya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, sesuai dengan karakteristik dan tingkat keberadaan tegakan hutan. Proses pemudaan tersebut berlangsung secara alami.

Permudaan hutan merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang dapat dila-kukan secara alami (permudaan alami), maupun buatan (permudaan buatan). Per-mudaan alami adalah proses regenerasi tegakan hutan yang mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahapan proses perkembangan tegakan hutan, sedangkan permudaan buatan adalah proses regenerasi tegakan hutan yang dilakukan oleh manusia melalui penerapan aspek-aspek budidaya hutan (Indriyanto 2008).

Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut ber-adaptasi dengan lingkungannya. Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi dan merupakan sifat dasar dari suatu organisme. Menurut Indriyanto (2006), individu-individu yang ada di dalam populasi menga-lami penyebaran di dalam habitatnya mengikuti salah satu di antara tiga pola pe-nyebaran yang disebut pola distribusi intern. Tiga pola distribusi intern yang di-maksudkan antara lain distribusi acak (random), distribusi seragam (uniform), dan distribusi bergerombol (clumped). Di dalam pola distribusi bergerombol ternyata tiap-tiap kelompok ada kemungkinan tersebar secara acak, seragam, ataupun


(49)

seca-33 ra berkumpul. Oleh karena itu, tipe distribusi secara keseluruhan dapat terjadi : secara acak, seragam, bergerombol secara acak, bergerombol seragam, dan berge-rombol berkumpul.

Tumbuhan mempunyai toleransi yang sangat nyata dengan hal tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan (densitas), dan dominansinya. Kerapatan atau densitas populasi adalah besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap unit luas atau volume (Indriyanto, 2006). Densitas populasi sering dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang dimak-sud adalah berkurang atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit luas atau volume.

F. Gambaran Umum Pulai (Alstonia Scholaris)

Dalam taksonomi tumbuhan, pulai dikenal dengan nama Alstonia spp. Menurut ahli botani ada 6 spesies yang termasuk ke dalam genus Alstonia yaitu: Alstonia anguistifolia, A. angustiloba, A. macrophylla, A.pneumathophora, A. Scholaris, danA. spathulata. Dari keenam jenis tersebut A. scholaris yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Tumbuhan pulai mempunyai nama yang berbeda-beda tergantung dimana dia tumbuh, misalnya lame (Sunda), pule (Jawa), polay (Madura), kayu gabus/ pulai (Sumatera), hanjalutung (Kalimantan), kita (Minahasa), rite (Ambon), tewer (Banda), aliag (Irian), hange (Ternate), ditta bark tree (lnggris), Chatian, saitan-kajihad, saptaparna (India, Pakistan), co tin pat, phayasattaban (Thailand).


(50)

34 Klasifikasi pohon pulai adalah sebagai berikut.

Rhegnum : Tumbuhan Divisi : Magnoliophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Famili : Apocynaceae Genus : Alstonia

Spesies : Alstonia scholaris R. Br.

Pohon pulai (Alstonia scholaris) memiliki bentuk daun mirip dengan daun kamboja, dan bunga warna kuning yang indah. Batangnya lurus, tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodia, putih kotor dan mengandung banyak getah berwarna putih, rasa getahnya sangat pahit. Rasa pahit tersebut didapatkan pula pada akar, kulit batang dan daunnya. Akar pohon pulai merupakan akar tunggang dan berwarna cokelat (Rauf, 2009).

Pulai (Alstonia scholaris) adalah pohon yang dapat mencapai tinggi 40 m de-ngan bebas cabang 28 meter. Diameter setinggi dada mencapai 150 cm atau lebih. Bentuk batang agak silendris, memiliki percabangan berkarang dan bertingkat sehingga bentuk tajuknya seperti pagoda. Termasuk jenis kayu ringan dengan berat bervariasi antara 0,27-- 0,49. Dari segi kekuatannya tergolong kayu kelas kuat IV-V dan kelas awet V. Warna kayu gubal hampir sama dengan warna kayu teras yang berwarna putih krem sehingga sulit dibedakan. Tekstur agak halus sampai hampir kasar, mudah digergaji dan dibor dalam keadaan segar maupun


(51)

35 kering. Kulit batang bagian luar berwarna abu-abu putih sedangkan bagian dalamnya berwarna kuning muda. Kulit batang mengandung getah yang putih.

Di alam, jenis-jenis Alstonia umumnya tumbuh di daerah terbuka, bersemak, atau hutan campuran, pada ketinggian 500-1.500 m dpl (Hendrian dan Hadiah, 1999). Di tempat alaminya, Alstonia scholaris dapat tumbuh di atas tanah dangkal dan tidak dapat tumbuh pada tempat dengan temperatur udara kurang dari 80 . Banyak dijumpai di daratan rendah dan pesisir dengan curah hujan tahunan 1.000 – 3.800 mm. Namun dapat dijumpai pula di daerah dengan mencapai ketinggian 1.000 m dpl. Tanaman ini toleran terhadap berbagai macam tanah dan habitat. Pohon yang dipanen dalam kurun waktu 10-12 tahun dengan diameter 30-40 cm dan tinggi batang bebas cabang 10-14 meter, merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing) yang berbatang lurus sehingga potensinya bagi pengusahaan hutan tanaman sangat menjanjikan (Arinana dan Diba, 2009).

Masa berbunga dan berbuah pulai terjadi antara bulan Mei-Desember. Bunga berwarna hijau muda sampai kuning keputihan dan tersusun dalam malai. Buah pulai berbentuk polong panjangnya 30-50 cm dan berisi biji dalam jumlah yang banyak. Jumlah biji kering dalam setiap kilogramnya ada 620.000 butir. Biji pulai yang telah dijemur selama 2 hari dan disimpan selama 2 bulan dalam kaleng tertutup rapat masih mampu berkecambah sampai 90% dengan pesentase 80%.

Kegunaan tanaman pulai antara lain sebagai berikut.

1. Bagian kayu pulai digunakan untuk korek api, pembuatan peti, hak sepatu, pelampung, barang-barang kerajinan seperti wayang golek dan topeng, cetakan beton, sumbat botol, peralatan rumah tangga, pensil, dan pulp.


(52)

36 2. Rebusan kulit kayunya dapat digunakan sebagai tonik, obat disentri, obat

beri-beri, obat malaria, antihipertensi, dan gangguan usus besar.

3. Getahnya dapat digunakan untuk permen karet, obat kudis, dan borok.

Berdasarkan hasil penelitian LIPI (2000), tumbuhan kayu pulai (Alstonia scholaris) dan suren (Toona sureni), termasuk kedalam tumbuhan langka

Indonesia yang berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan di kawasan Gunung Tilu Kabupaten Kuningan. Selain langka khususnya pulai (A. scholaris) juga ter-masuk kedalam kriteria Red List IUCN (2012), yaitu LR/LC yakni status konser-vasi LC diberikan untuk flora yang diidentifikasikan tidak memiliki tanda-tanda terpenuhinya kriteria EX, EW, ER, VU, maupun NT.

G. Gambaran Umum Suren (Toona sureni Merr.)

Suren (Toona sureni) merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan kayunya dapat digunakan untuk papan dan bahan bangunan perumahan, peti, venire, alat musik, kayu lapis, venir, dan mebel. Bagian tanaman suren khususnya kulit kayu dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional seperti tonik, obat diare, dan anti biotik (Djam’an dan Ochsner, 2002).

Pohon suren tergolong pohon besar dengan bentuk batang lurus dan dapat menca-pai tinggi 40-60 m dengan tinggi bebas cabang mencamenca-pai 25 m dan diameter seki-tar 100 cm, bahkan di daerah pegunungan dapat mencapai diameter hingga 300 cm, pertumbuhannya tergolong cepat (fast growing). Permukaan kulit batang pecah-pecah seolah tumpang tindih seperti kulit buaya, berwarna coklat


(53)

keabu-37 abuan hingga coklat gelap dan mengeluarkan aroma khas apabila dipotong. Suren (Toona sureni) memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut.

Rhegnum : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Toona

Species : Toona sureni Merr.

Suren menyebar dari daratan Asia mulai dari Nepal, India, Burma (Myanmar), Cina, Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Suren juga memiliki banyak nama daerah sesuai dengan daerah penyebarannya, seperti suren, ingul, surian, surian amba (Sumatera), surian wangi (Malaysia), danupra (Philippina), yetama (Myanmar), surian (Thailand), dan nama dagangannya adalah Limpaga (Djam’an dan Ochsner, 2002).

Suren memiliki banyak kegunaan dan manfaat yang dapat diperoleh mulai dari akar, batang, kulit, buah, dan daun. Pohon suren sering ditanam sebagai tanaman pagar pemecah angin, naungan dan pelindung tanaman di bawahnya. Daunnya mengandung senyawa surenon, surenin, surenolakton yang terbukti efektif sebagai repellant (pengusir dan penolak) serangga, dan daunnya juga dapat diekstrak se-bagai antibiotik dan bioinsektisida. Ekstrak biji suren dapat digunakan untuk pengendalian hama daun Eurema spp. (Darwiati, 2013). Buahnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak esensial (aromatik). Kulit dan akar suren dapat


(54)

38 dimanfaatkan sebagai bahan baku obat diare karena mengandung senyawa

diarrhoea. Kayu suren dapat dipergunakan sebagai kayu perkakas, peti kemas, kotak cerutu, kayu bangunan, plywood, kayu perkapalan, kayu ukiran, furniture, panel dekoratif, alat musik, finir, dan lain-lain. Suren tumbuh baik dari dataran rendah hingga ketinggian 2.700 m diatas permukaan laut, namun tumbuh optimal pada ketinggian 600 -- 2.000 m diatas permukaan laut dengan suhu udara sekitar 220C (Djam’an dan Ochsner, 2002).


(55)

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013.

B. Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur meter, GPS, tally sheet, tali rafia, kompas, kamera digital tipe finepix S2800HD, christenmeter hypsome-ter, dan Microsoft Excel. Objek penelitian adalah pohon pulai (Alstonia schola-ris) dan pohon suren (Toona sureni) yang berada di blok koleksi tumbuhan.

C. Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. 1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan. Data yang diambil antara lain sebagai berikut.

a) Data densitas atau kerapatan pohon dewasa mencakup jumlah pohon pulai dan suren yang ada di blok koleksi tumbuhan.

b) Data unutk permudaan pohon dikelompokkan berdasarkan fase pertumbuhan antara lain sebagai berikut.


(56)

40 1. Data untuk fase semai dan pancang mencakup jumlah individu dan

frekuensi permudaan.

2. Data untuk fase tiang dan pohon mencakup diameter pohon, tinggi pohon, dan jumlah individu.

c) Tinggi bebas cabang diketahui dengan mengukur tinggi batang pangkal (di atas tanah) hingga batas percabangan pertama.

d) Posisi letak koordinat masing-masing pohon dewasa. 2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang yang sifatnya mendukung data primer. Data yang dimaksud adalah peta Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, status kawasan, jenis tanah, kondisi iklim, kondisi biologi, kondisi kelerengan lahan, ketinggian, kelembapan udara, informasi masyarakat setempat, dan literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Data Primer

Pengambilan data primer dilakukan menggunakan metode inventarisasi tumbuhan dengan garis berpetak dengan cara melompati satu petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama

(Indriyanto, 2006). Petak pengamatan berukuran 20 m x 20 m dengan intensitas sampling 0,1%. Dari luas total 845,54 ha diambil luas sampel 8.455,4 m2 yang kemudian dibagi menjadi 20 petak. Jarak antargaris rintis 200 m dan jarak antar petak ukur 100 m. Jarak antargaris rintis dan jarak antarpetak ditentukan


(57)

41 Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan tata letak petak ukur.


(58)

42

100 m

200 m

Gambar 2. Desain tata letak petak-petak pengamatan dengan metode garis berpetak.

Gambar 3. Desain petak contoh dilapangan dengan metode garis berpetak.

Keterangan:

Petak A = petak berukuran 20m x 20m untuk pengamatan pohon dewasa.

4

3

2

1

5 10

9 8 7 6 15 14 13 12 11 20 19 18 17 16 B C D A


(59)

43 Petak B = petak berukuran 10m x 10m untuk pengamatan pohon fase

tiang.

Petak C = petak berukuran 5m x 5m untuk pengamatan pohon fase pancang.

Petak D = petak berukuran 2m x 2m untuk pengamatan pohon fase semai.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisis, mengumpulkan data penunjang yang terdapat dalam dokumen resmi seperti buku-buku, tulisan-tulisan umum, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

E. Prosedur penelitian

Adapun langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membuat petak pengamatan pada setiap fase pertumbuhan.

2. Melakukan pengukuran yang mencakup densitas atau kerapatan, jumlah individu, frekuensi pemudaan, tinggi, diameter, tinggi bebas cabang, posisi letak koordinat, dan kondisi pohon dewasa. Menurut Departemen Kehutanan dan Djamhuri dkk. (2006), kriteria yang digunakan dalam penentuan kondisi pohon dewasa yang layak sebagai pohon induk antara lain sebagai berikut.` a) Tinggi pohon minimal sama dengan rata-rata tinggi pohon-pohon yang

terdapat di dalam petak ukur.

b) Diameter batang minimal 10% lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang terdapat di dalam petak ukur.

c) Sudut cabang minimal 500. d) Pohon sehat.


(60)

44 e) Pohon produktif.

f) Batang lurus minimal 25% dari tinggi total pohon.

3. Data-data hasil pengukuran kemudian dimasukkan dalam lembar pengamatan (tally sheet) yang telah disediakan.

4. Menganalisis sekaligus membandingkan data-data hasil pengukuran pohon dewasa dengan seluruh pohon dewasa yaitu pohon suren dan pulai ( di dalam petak ukur) yang telah dicatat dalam lembar pengamatan (tally sheet).

5. Melakukan skoring pohon dewasa untuk dijadikan sebagai pohon induk sesuai dengan tabel skoring sebagai berikut.

Tabel 1. Acuan pembuatan skor untuk pohon dewasa yang diidentifikasi di lokasi penelitian

Karakteristik Sistem Evaluasi Skor (poin)

Tinggi <105% 4

105-110% 5

111-115% 12

116-120% 26

>121 % 20

Diameter <105% 5

105-110% 7

111-115% 17

116-120% 23

>120% 30

Tinggi Bebas Cabang <35% 3

35-45% 6

46-55% 9

56-<65% 12

>65 15

Kelurusan batang Lurus dari bawah sampai pucuk 10 Lurus dari bawah sampai 75% 7 Lurus dari bawah sampai 50% 5 Lurus dari bawah sampai 25% 3


(61)

45 Tabel 1. (lanjutan)

Karakteristik Sistem Evaluasi Skor (poin)

Permukaan batang Halus 5

Agak halus 2

Kondisi Kesehatan Sehat (luas tanda-tanda serangan hama penyakit <20%)

5 Tidak sehat (luas tanda-tanda serangan

hama penyakit >20%)

0

Produksi buah Produktif 5

Tidak produktif 0

Sudut Cabang <500 0

50-700 >700

2 5

Kebulatan batang Bulat 5

Agak bulat 2

Berbenjol/tidak beraturan 0 Sumber : Djamhuri dkk. (2006).

6. Data hasil dari skoring pohon dewasa dicatat dalam lembar pengamatan (tally sheet), kemudian dilakukan pembahasan mengenai data tersebut.

F. Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka perlu dilakukan analisis data sebagai berikut. 1. Kerapatan (densitas)

Kerapatan (densitas) merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

jumlah individu untuk spesies K =

luas seluruh petak contoh

2. Frekuensi


(62)

46 jumlah petak contoh ditemukannya suatu jenis

F = jumlah seluruh petak

3. Persentase perbandingan antara tinggi bebas cabang dengan tinggi total pohon (RTBC).

4. Kelurusan batang, permukaan batang, kondisi kesehatan pohon, produksi buah, sudut cabang, dan kebulatan batang dari pohon dewasa dianalisis berdasarkan sistem evaluasi tabel skoring pohon plus (Tabel 1).


(63)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Status

Tahura Wan Abdul Rachman pada awalnya merupakan kawasan hutan lindung register 19 Gunung Betung. Kemudian berdasarkan keputusan Menteri

Kehutanan Nomor 408/Kpts–II/1993 tanggal 10 Agustus 1993 diubah fungsinya menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

2. Kondisi Biologi

a. Flora

Beberapa jenis flora yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain adalah gondang (Ficus variegata), medang (Litsea firma), bayur (Pterospermum spp.), pulai (Alstonia scholaris), durian (Durio spp.), merawan (Hopea mangarawan) dan berbagai jenis rotan (Calamus spp.) (UPTD Tahura Wan Abdul Rachman, 2002).

b. Fauna

Beberapa jenis mamalia yang terdapat dalam kawasan ini antara lain adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), rusa sambar (Cervus unicolor), siamang (Hylobates syndactylus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk


(64)

48 (Macaca nemestrina). Jenis-jenis burung yang ada seperti elang brontok

(Spizaetus cirrhatus), ayam hutan (Gallus gallus), rangkong (Buceros rhinoceros), tupai (Treron vernans), kepodang (Oriolus chinensis), kutilang (Picnonotus aurigaster), murai (Copsychus malabaricus) dan tekukur (Streptopelia chinensis) (UPTD Tahura Wan Abdul Rachman, 2002).

3. Aksesibilitas

Kawasan Tahura ini berada di tepi kota Bandar Lampung. Dari pusat kota dapat ditempuh dengan mobil atau motor dengan jarak 14 km. Transportasi (angkutan umum) hanya sampai pinggir jalan umum, dan untuk sampai ke perkemahan Youth Camp belum ada angkutan tetapi sarana jalan sudah ada (UPTD Tahura Wan Abdul Rachman, 2002).

4. Tanah dan Bahan Induk

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2006) berdasarkan Peta Satuan Lahan dan Tanah Lembar Tanjung Karang hasil studi LREPP, satuan-satuan lahan yang meliputi wilayah Tahura Wan Abdul Rachman tersusun dari dua jenis tanah (soil subgroup) yaitu meliputi Dystropept dan Distrandept. Distribusi luasnya secara ringkas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis tanah di Tahura Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung

No Jenis Tanah Luas

ha %

1. 2. Dystropepts Distrandept 16.466,66 5.782,65 74,01 25,99

Jumlah 22.249,31 100,00


(65)

49 5. Hidrologi

Dari sisi geomorfologis secara keseluruhan, pola percabangan anak-anak sungai (pola drainase) aliran sungai yang ada di Tahura Wan Abdul Rachman memlihatkan pola konsentrik. Pola konsentrik merupakan ciri dari daerah hulu per-bukitan atau pegunungan vulkanik (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

6. Tipe iklim

Berdasarkan klasifikasi Koppen, daerah dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 1.627,5 mm dan temperatur lebih dari 18 oC secara umum diklasifikasikan ke dalam tipe iklim A. Mengingat rata-rata hujan pada bulan kering lebih besar dari 60 mm yang terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, sehingga wilayah Tahura Wan Abdul Rachman termasuk pada zona iklim Am (Iklim muson tropis)

(Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006). Sedangkan berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, wilayah Tahura Wan Abdul Rachman termasuk zona iklim B yakni daerah basah. Klasifikasi ini didasarkan pada banyaknya bulan basah (bulan dengan curah hujan >100 mm), bulan lembab (bulan dengan curah hujan 60–100 mm), dan bulan kering (bulan dengan curah hujan <60 mm). Di lokasi studi terdapat 5 (lima) bulan basah, 6 (enam) bulan lembab, dan 1 (satu) bulan kering (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).

7. Penutupan Lahan

HasiI interpretasi citra Quick Bird hasil pemotretan Juli 2006 memperlihatkan bahwa keadaan vegetasi kawasan Tahura Wan Abdul Rachman terdiri dari hutan


(66)

50 lahan kering primer dengan luas 5.778,00 ha (26%), hutan lahan kering sekunder dengan luas 7.892,42 ha (13%), ladang/tanah terbuka dengan luas 1.019,12 ha (5%), kebun campuran/pertanian dengan luas 12.306,97 ha (55%), dan semak belukar dengan luas 252,80 ha (1%) (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).


(67)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Kerapatan pohon pulai dan suren yang ditemukan di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman adalah 15 batang/ha dan 7 batang/ha.

2. Pohon pulai memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan pohon suren sehingga pohon pulai lebih menyebar dibandingkan pohon suren .

3. Pohon pulai dan pohon suren memiliki pohon induk dengan masing-masing skor 92 poin untuk pulai dan 89 poin untuk suren, hal ini berarti bahwa kedua pohon tersebut memenuhi standar penilaian sebagai pohon induk.

4. Regenerasi pertumbuhan pohon pulai dan suren tidak berjalan dengan baik karena terjadinya persaingan dalam memperebutkan cahaya yang ada terutama pada fase semai dan fase pancang.

B. Saran

1. Pengelolaan blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman agar lebih ditingkatkan terutama dalam pemeliharaan dan pembudidayaan pohon-pohon langka dan dilindungi.


(68)

72 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan pohon pulai

(Alstonia scholaris) dan pohon suren (Toona sureni) terhadap intensitas cahaya terutama pada anakan pohon tersebut.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Buku. Kanisius. Yogyakarta. 177 p. Arinana dan F. Diba. 2009. Kualitas kayu pulai (Alstonia scholaris) terdensifikasi

(sifat fisis, mekanis dan keawetan).Jurnal ilmu dan teknologi hasil hutan. 2(2) : 78-88.

Daniel, T.W., J. A. Helms, dan F. S. Baker. 1992. Prinsip Prinsip Silvikultur. Buku. Diterjemahkan oleh Djoko Marsono. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 521 p.

Departemen Kehutanan. 2006. Seleksi Pohon Plus. Booklet. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. Sumedang. 28 p.

Darwiati, W. 2013. Bioaktivitas tiga fraksinasi ekstrak biji suren terhadap mortalitas hama daun Eurema spp. Jurnal penelitian hutan tanaman. 10(2) : 99-108.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006. Master Plan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Buku. PT Laras Sembada. Jakarta. 142 p.

Direktorat jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Buku. Departemen Kehutanan. Jakarta. 133 p.

Djam’an, D. F. dan P. Ochsner. 2002. Toona sureni (Blume) Merr. Informasi Singkat Benih. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan bekerja sama dengan Indonesia Forest Seed Project. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. 2 p.

Djamhuri, E., Supriyanto, I. Z. Siregar, U. Y. Siregar, A. Sukendro, S. Wilarso, P. Pamungkas, dan R. Safei. 2006. Petunjuk Teknis Seleksi Pohon Induk. Buku. IPB. Bogor. 61 p.

Effendi, R., A. Hafsari, dan Zuraida. 2011. Kajian tata niaga kulit pulai (Alstonia scholaris) sebagai bahan baku obat hipertensi (Antihipertensi) di provinsi jawa tengah. Jurnal penelitian hutan tanaman. 8(5) : 315-321. Hani, A. dan R. Effendi. 2009. Potensi permudaan alam tingkat semai (Khaya


(70)

74 antotecha) di hutan penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Mitra Hutan Tanaman. 4(2) : 49-56.

Hendrian dan JT Hadiah. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. vol.1(3). UPT Balai Pengembangan Kebun Raya LIPI. Bogor. 16 p. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 210 p.

_________. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 234 p.

Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian. Diakses pada tanggal 18 November 2013. http://saveforest.webs.com.

Kurniawan, E. 2011. Keanekaragaman tumbuhan dalam blok koleksi tanaman di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 45 p.

Krebs, C. J. 1978. Ecological Methodology. Buku. Harper dan Row Publisher. New York. 654 p.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. Tanaman Buah Kebun Raya Bogor. Seri Koleksi Kebun Raya- LIPI. Bogor. 1(4) : 70-71.

Lukman. A. H., A. Sofyan, dan I. Muslimin. 2012. Pengaruh penyiangan dan pemupukan terhadap pertumbuhan awal tanaman pulai (Alstonia scholaris R. Br.). Jurnal penelitian hutan tanaman. 9(1) : 1-8.

Mogea, J. P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R. E. Nasution, dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Buku. Bogor: Puslitbang Biologi – LIPI. 86 p.

Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Buku. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. 171 p. Rauf, A. 2009. Profil Arboretum USU 2006-2008. USU Press. Medan. 259 p. Rustika, R. 2008. Pengaruh pohon induk, naungan dan pupuk terhadap

pertumbuhan bibit suren (Toona sinensis Roem.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 p.

Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Buku. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 482 p.

Undang Undang Nomor 5 tahun 1990. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta. 31 p.


(71)

75 UPTD Tahura Wan Abdul Rachman. 2002. Statistik Data Kawasan Tahura Wan

Abdul Rachman Register 19 Gunung Betung. Bandar Lampung. 11 p. WRI, IUCN, dan UNEP. 1995. Strategi Keanekaragaman Global. Buku.


(1)

50 lahan kering primer dengan luas 5.778,00 ha (26%), hutan lahan kering sekunder dengan luas 7.892,42 ha (13%), ladang/tanah terbuka dengan luas 1.019,12 ha (5%), kebun campuran/pertanian dengan luas 12.306,97 ha (55%), dan semak belukar dengan luas 252,80 ha (1%) (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2006).


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Kerapatan pohon pulai dan suren yang ditemukan di blok koleksi tumbuhan Tahura Wan Abdul Rachman adalah 15 batang/ha dan 7 batang/ha.

2. Pohon pulai memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan pohon suren sehingga pohon pulai lebih menyebar dibandingkan pohon suren .

3. Pohon pulai dan pohon suren memiliki pohon induk dengan masing-masing skor 92 poin untuk pulai dan 89 poin untuk suren, hal ini berarti bahwa kedua pohon tersebut memenuhi standar penilaian sebagai pohon induk.

4. Regenerasi pertumbuhan pohon pulai dan suren tidak berjalan dengan baik karena terjadinya persaingan dalam memperebutkan cahaya yang ada terutama pada fase semai dan fase pancang.

B. Saran

1. Pengelolaan blok koleksi tumbuhan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman agar lebih ditingkatkan terutama dalam pemeliharaan dan pembudidayaan pohon-pohon langka dan dilindungi.


(3)

72 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan pohon pulai

(Alstonia scholaris) dan pohon suren (Toona sureni) terhadap intensitas cahaya terutama pada anakan pohon tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Buku. Kanisius. Yogyakarta. 177 p. Arinana dan F. Diba. 2009. Kualitas kayu pulai (Alstonia scholaris) terdensifikasi

(sifat fisis, mekanis dan keawetan). Jurnal ilmu dan teknologi hasil hutan. 2(2) : 78-88.

Daniel, T.W., J. A. Helms, dan F. S. Baker. 1992. Prinsip Prinsip Silvikultur. Buku. Diterjemahkan oleh Djoko Marsono. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 521 p.

Departemen Kehutanan. 2006. Seleksi Pohon Plus. Booklet. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. Sumedang. 28 p.

Darwiati, W. 2013. Bioaktivitas tiga fraksinasi ekstrak biji suren terhadap mortalitas hama daun Eurema spp. Jurnal penelitian hutan tanaman. 10(2) : 99-108.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006. Master Plan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Buku. PT Laras Sembada. Jakarta. 142 p.

Direktorat jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Buku. Departemen Kehutanan. Jakarta. 133 p.

Djam’an, D. F. dan P. Ochsner. 2002. Toona sureni (Blume) Merr. Informasi Singkat Benih. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan bekerja sama dengan Indonesia Forest Seed Project. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. 2 p.

Djamhuri, E., Supriyanto, I. Z. Siregar, U. Y. Siregar, A. Sukendro, S. Wilarso, P. Pamungkas, dan R. Safei. 2006. Petunjuk Teknis Seleksi Pohon Induk. Buku. IPB. Bogor. 61 p.

Effendi, R., A. Hafsari, dan Zuraida. 2011. Kajian tata niaga kulit pulai (Alstonia scholaris) sebagai bahan baku obat hipertensi (Antihipertensi) di provinsi jawa tengah. Jurnal penelitian hutan tanaman. 8(5) : 315-321. Hani, A. dan R. Effendi. 2009. Potensi permudaan alam tingkat semai (Khaya


(5)

74 antotecha) di hutan penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Mitra Hutan Tanaman. 4(2) : 49-56.

Hendrian dan JT Hadiah. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. vol.1(3). UPT Balai Pengembangan Kebun Raya LIPI. Bogor. 16 p. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 210 p. _________. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta.

234 p.

Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian. Diakses pada tanggal 18 November 2013. http://saveforest.webs.com.

Kurniawan, E. 2011. Keanekaragaman tumbuhan dalam blok koleksi tanaman di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 45 p.

Krebs, C. J. 1978. Ecological Methodology. Buku. Harper dan Row Publisher. New York. 654 p.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2000. Tanaman Buah Kebun Raya Bogor. Seri Koleksi Kebun Raya- LIPI. Bogor. 1(4) : 70-71.

Lukman. A. H., A. Sofyan, dan I. Muslimin. 2012. Pengaruh penyiangan dan pemupukan terhadap pertumbuhan awal tanaman pulai (Alstonia scholaris R. Br.). Jurnal penelitian hutan tanaman. 9(1) : 1-8.

Mogea, J. P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R. E. Nasution, dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Buku. Bogor: Puslitbang Biologi – LIPI. 86 p.

Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Buku. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. 171 p. Rauf, A. 2009. Profil Arboretum USU 2006-2008. USU Press. Medan. 259 p. Rustika, R. 2008. Pengaruh pohon induk, naungan dan pupuk terhadap

pertumbuhan bibit suren (Toona sinensis Roem.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 p.

Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Buku. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 482 p.

Undang Undang Nomor 5 tahun 1990. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta. 31 p.


(6)

75 UPTD Tahura Wan Abdul Rachman. 2002. Statistik Data Kawasan Tahura Wan

Abdul Rachman Register 19 Gunung Betung. Bandar Lampung. 11 p. WRI, IUCN, dan UNEP. 1995. Strategi Keanekaragaman Global. Buku.