PENENTUAN LOCUS DAN TEMPUS DELICTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT ONLINE (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

(1)

PENENTUAN LOCUS DAN TEMPUS DELICTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

KARTU KREDIT ON LINE

(Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

Oleh

TOMMY KRENZ

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENENTUAN LOCUS DAN TEMPUS DELICTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

KARTU KREDIT ONLINE

(Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) Oleh :

Tommy Krenz

Penyalahgunaan kartu kredit bukan merupakan tindak pidana biasa, kharakteristik tindak pidana kartu kredit bersifat tidak kasat mata, dilakukan secara sangat kompleks, terdapat ketidakjelasan korban, memanfaatkan peraturan hukum yang tidak jelas atau samar. Inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam perumusan locus dan tempusdelicti pada tindak pidana kartu kredit. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perumusan locus dan tempus delicti

surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online dan apakah hambatan-hambatannya.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa perumusan locus

dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online yaitu dengan menggunakan tolak ukur tempat dan waktu saat kejahatan penyalahgunaan kartu kredit itu dilakukan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Penentuan tempat tindak pidana dilakukan dengan melihat saat pelaku melakukan akses atau membuka jaringan internet pada atau di komputer untuk pertama kalinya, sehingga akan diketahui berapa nomor IP Address yang digunakan pelaku. Sedangkan dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, maka penyidik mengacu pada log file, dari log file

tersebut dapat terlihat waktu ketika pelaku melakukan tindak pidana. Hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online adalah pertama, masih kurangnya jumlah aparat yang paham mengenai teknologi informasi dan tidak adanya peraturan tentang cybercrime. Kedua, belum adanya komputer forensik di Indonesia yang digunakan untuk melacak keberadaan tempat dan waktu dari kejahatan mayantara (cybercrime).


(3)

Sebaiknya pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana untuk memberikan pengetahuan para aparat penegak hukum, agar dapat menemukan langkah-langkah tepat untuk menanggulangi kejahatan di internet agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tempat dan Waktu Tindak Pidana ………. 12

B. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu ……….. 13

C. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat ………. 18

D. Kejahatan Teknologi Informasi ………. 24

E. PengertianPenyalahgunaan Kartu Kredit ... 27

F. Penentuan Tindak Pidana dalam Surat Dakwaan ………... 29

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 31

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 31

C. Penentuan Narasumber ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….……….. 33


(7)

B. Penggunaan Perumusan Locus Dan Tempus Delicti Surat Dakwaan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana

Penyalahgunaan Kartu Kredit Online……….………….. 36 C. Hambatan-hambatan Yang Dialami Jaksa Penuntut Umum Dalam

Perumusan Locus Dan Tempus Delicti Surat Dakwaan Dalam

Perkara Penyalahgunaan Kartu Kredit Online…………...………... 46

V. PENUTUP

A. Simpulan ………...………..………. 50

B. Saran ……….……… 51


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan iptek dan globalisasi membawa kemudahan dan kemanfaatan kepada manusia di berbagai bidang kehidupan, antara lain di bidang komunikasi dan informasi. Hampir seluruh transaksi di dunia ini dapat dilakukan dengan sarana elektronik baik verbal maupun data, begitu juga perpindahan sejumlah uang dapat dilakukan dengan menggunakan jasa elektronik antara lain dengan menggunakan jasa elektronic transfer fund. Begitu juga dalam sektor perbankan yang merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, karena perbankan berfungsi sebagai sarana perantara antara sektor defisit dan sektor surplus dalam masyarakat maupun sebagai agen pembangunan.

Kaitannya dengan bidang transfer dana, terasa sekali bahwa kemajuan di bidang teknologi, mempengaruhi secara langsung terhadap sistem transfer uang dari satu tempat ke tempat lain. Interaksi antara bidang teknologi dengan hukum dan bisnis sangat erat, sehingga apa yang disebut dengan istilah “home banking”, yakni

mengirim perintah kepada bank oleh pengirim yang berada di rumahnya (misalnya lewat komputer atau telepon) atau berada di tempat-tempat tertentu, seperti di supermarket sudah menjadi trend saat ini dan akan semakin meningkat di masa depan. Dengan demikian sektor hukum pun sebaiknya segera pula


(9)

berbenah diri agar tidak ketinggalan kereta menuju suatu sistem pengiriman uang yang terpenuhi unsur-unsur kesegaran, keakuratan dan kenyamanan.

Dunia perbankan, salah satu kemajuan teknologi yang sudah memasyarakat adalah penggunaan kartu kredit untuk berbagai keperluan. Kartu kredit merupakan produk perbankan yang bertujuan memberi kemudahan bagi nasabah dalam melakukan transaksi, baik dengan bank penerbit kartu kredit itu sendiri maupun dengan beberapa merchant. Merchant adalah pedagang atau perusahaan yang ditunjuk dan bekerja sama dengan pihak penerbit untuk dapat melakukan transaksi dengan nasabah pemegang kartu yang menggunakan kartu kredit sebagai pengganti uang tunai.

Dibandingkan transaksi tunai, transaksi kartu kredit jauh lebih aman dan dapat dihindarkan dari risiko transaksi uang palsu. Tampaknya peran serta pemerintah dalam pemasyarakatan kartu kredit dengan berbagai peraturan dan dukungan, kartu kredit dapat merupakan alternatif yang menarik. Pemakaian kartu kredit yang banyak memungkinkan penghematan pencetakan uang kertas. Sebab tiap orang cukup memiliki 1 atau 2 kartu kredit untuk melakukan transaksi jutaan rupiah. Dengan demikian untuk penduduk negara kita yang 205 juta cukup mencetak sekitar 50-60 juta kartu.1

Antisipasi terjadinya tindak pidana pada seseorang, berbagai cara telah dilakukan. Salah satunya yaitu untuk mencegah terjadinya perampokan, seseorang tidak perlu membawa uang dalam jumlah yang banyak ketika sedang berpergian.

1


(10)

Perkembangan zaman yang cukup pesat memunculkan salah satu bentuk alat bayar alternatif, seperti kartu kredit (creditcard).

Munculnya tindak pidana terhadap kartu kredit yaitu penyalahgunaan kartu kredit (credit card fraud). Penyalahgunaan kartu kredit adalah murni kejahatan lintas-negara (trans-national crime) karena dapat dilakukan oleh siapa saja dari belahan dunia yang berbeda dan system hukum yang berbeda pula. Penyalahgunaan kartu kredit merupakan tindak pidana terhadap kartu kredit dengan menggunakan internet dan komputer sebagai medianya dan di lakukan secara online dengan mencoba nomor-nomor yang ada dengan cara memalsukannya.2

Salah satu contoh kasus pada perkara atas nama Petrus Pangkur yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta pada Putusan Nomor 94/Pid.B/2002/PN.SLMN. Terdakwa melakukan chatting (yaitu menggunakan fasilitas yang tersedia di internet yang memungkinkan seseorang berkomunikasi secara langsung dengan lawan bicara pada saat yang sama) dan minta kartu kredit pada seseorang di bandung yang namanya sering berubah-berubah. Nomor kartu kredit tersebut adalah milik orang lain dan oleh terdakwa namanya telah diubah menjadi “Bony di Obok-obok”, selanjutnya terdakwa berbelanja melalui website. Terdakwa memesan helm sepeda motor merek AGV HDI sepeda motor X Vent 1 (satu) pasang sarung tangan merk AGV Y-402 putih biru hitam ukuran M seharga $ 365,93 atau Rp 3.293.370,-belum termasuk ongkos kirim. Akibat perbuatan terdakwa, perusahaan AGV di Amerika Serikat yang dalam hal ini diwakili oleh Gian Luca Manzo dirugikan sebesar US $ 499,00 atau senilai kurang lebih senilai

2

Ade Ary Sam Indradi, Carding (Modus Operandi Penyidikan dan Penindakan), Pensil-324, Jakarta. 2006, hlm 34.


(11)

Rp 4.491.000,-. Atas perbuatannya tersebut terdakwa Petrus Pangkur dinyatakan bersalah melanggar Pasal 362 KUHP dan Pasal 31 Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menghukum terdakwa oleh karena itu dengan penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan.3 Kasus ini berhubungan dengan tindak pidana modern yang tergolong sulit untuk dibuktikan, tindak pidana ini dapat dikualifikasikan dengan berbagai jenis tindak pidana.

Locus delicti merupakan batas berlakunya hukum pidana karena masalah tempat atau orang yang penting untuk diketahui dalam hal hukum pidana mana yang akan diberlakukan terkait suatu tindak pidana dan kompetensi relatif suatu pengadilan.

Tempus delicti penting untuk diketahui pada dalam hal-hal yang kaitannya dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP dan aturan daluarsa.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit bukan merupakan tugas yang gampang. Hal demikian disebabkan oleh kharakteristik tindak pidana kartu kredit, yang menurut Hazel Croal, antara lain bersifat : tidak kasat mata, dilakukan secara sangat kompleks, terdapat ketidakjelasan korban, memanfaatkan peraturan hukum yang tidak jelas atau samar (ambigious regulation), pendeteksian atau penuntutannya cukup sulit (weak detection and prosecution).4 Inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam perumusan

locus dan tempus delicti pada tindak pidana kartu kredit. Penentuan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindak pidana kartu kredit, tidak ada aturan yang pasti mengenai metode yang diterapkan oleh penyidik. Selain itu

3

http://kompas.com/kasus-kejahatan-komputer.html diakses 15 Januari 2013.

4

N.H.T Siahaan, Pencucian uang dan kejahatan perbankan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 144.


(12)

dalam pengumpulan bukti permulaan yang cukup, yaitu bukti permulaan untuk menduga seseorang telah melakukan suatu tindak pidana adalah bagian terpenting yang harus ada sebelum menentukan locus dan tempus delicti-nya.5

Menurut uraian di atas, penulis merasa perlu untu mengkaji lebih lanjut mengenai pembuktian dalam hukum acara pidana mengenai tindak pidana kartu kredit, dan menuangkannya dalam sebuah karya tulis yang berjudul : “Penentuan Locus Dan

Tempus Delicti Oleh Jaksa Dalam Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit On Line (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimanakah perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa

Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit

online?

b. Apakah hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut

5


(13)

Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dan hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit. Sedangkan lingkup tempat penelitian penulis mengambil lokasi penelitian di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online.

b. Hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan

locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online.


(14)

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Pengertian tentang terjadinya tindak pidana menurut tempat dan waktu ini adalah sangat penting oleh karena Pasal 143 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah mensyaratkan bahwa penuntut umum harus juga mencantumkan tentang tempat dan waktu dari tindak pidana yang telah dituduhkan itu di dalam surat dakwaannya dengan menentukan suatu akibat hukum berupa batalnya surat dakwaan tersebut apabila tentang tempat dan waktu dari tindak pidana itu telah dicantumkannya di dalam surat dakwaan yang bersangkutan.6

Mempelajari tempat dan waktu dilakukannya suatu tindak pidana sebenarnya berhubungan dengan hukum acara pidana. Locus delicti/tempat dilakukan tindak pidana yaitu untuk menentukan hukum mana atau pengadilan mana yang berwenang mengadili. Sedangkan tempus delicti/waktu dilakukan tindak pidana ialah waktu memberlakukan hukum pidana yang mana, yang baru atau yang lama yang harus diperlukan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan perubahan perundang-undangan mengenai tempus delicti dapat dihubungkan dengan Pasal 1

6


(15)

ayat (1) KUHP. Hukum pidana berlaku ke depan tidak boleh berlaku surut (Non Retro Aktif). Asas ini Retro aktif tidak mutlak berlaku karena ada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.7

Menurut van Bemmelen, yang harus dipandang sebagai waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu pada dasarnya adalah waktu dan tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara material. Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara material terjadi, akan tetapi ada kalanya terjadi keadaan yang menyertai utuk diperluas dengan “alat/instrument” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat

disimpulkan hanya diakui tiga ajaran yaitu :

1. “de leer van de lichamelijke daad”, yaitu mendasarkan dimana perbuatan

terjadi yang dilakukan oleh seseorang;

2. “de leer van het instrument”, yaitu mendasarkan dimana alat yang dipakai

untuk melakukan perbuatan;

3. “de leer van het gevolg”, yang mendasarkan atas mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian (het onmiddelijke gevolg) dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik (het constitutief).8

Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti dalam tindak pidana

cybercrime adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana untuk kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang

7

Ibid

8


(16)

mengadili. Tempus delicti mempunyai arti penting bagi ilex temporis delicti

maupun hukum transitoir, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.

Pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor- faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor- faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 9

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.10 Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Tempus delicti merupakan waktu terjadinya delik yang menentukan apakah suatu peristiwa pidana tunduk pada aturan yang mana, umur pelaku,

9

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hlm. 8

10


(17)

kadaluarsa penuntutan, batas waktu pengaduan jika delik aduan, apakah tejadi pengulangan, dan apakah telah terjadi tertangkap tangan atau tidak.

b. Locus delicti merupakan penentuan lokasi terjadinya tindak pidana.

c. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.11

d. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.12

e. Kartu kredit merupakan kartu plastik yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang diberikan kepada nasabah untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan pengambilan uang tunai. .13

f. Penyalahgunaan kartu kredit adalah kegiatan melakukan transaksi e-commerce

dengan nomor kartu kredit palsu atau curian.14

g. Online adalah menggunakan fasilitas jaringan internet untuk melakukan upaya penjualan atas produk kita. .15

E. Sistematika Penulisan Hukum

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

11

Pasal 1 Butir 6 KUHAP

12

PAF Lamintang, Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung,1984, hlm 185.

13

http://www.overfans.com/3009/pengertian-kartu-kredit.html. Diakses 21 Febuari 2013

14

http//:Wikipedia.com/carding. Diakses 15 Januari 2013

15


(18)

I. PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang pembuktian, dan tindak pidana bidang komputer.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit dan hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan

tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tempat dan Waktu Tindak Pidana

Locus delicti adalah tempat terjadinya tindak pidana, sedangkan yang dimaksud dengan tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu tindak pidana. Untuk menentukan locus delicti dan tempus delicti tidaklah mudah. Namun walaupun demikian, penyebutan secara tegas mengenai kedua hal ini sangat berperan penting bagi berbagai permasalahan yang terdapat dalam bidang hukum pidana.

Meskipun locus delicti dan tempus delicti ini tidak ada ketentuannya di dalam KUHP, locus dan tempus delicti tetap perlu diketahui. Locus delicti perlu diketahui untuk :

1) Menentukan apakah hukum pidana Indonesia tetap berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak, ini berhubungan dengan Pasal 2-8 KUHP

2) Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya, ini berhubungan dengan kompetensi relatif.16

Menurut Van Hamel yang dianggap sebagai locus delicti adalah:

1) Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya. 2) Tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seorang pelaku itu bekerja.

16


(20)

3) Tempat di mana akibat langsung dari sesuatu tindakan itu telah timbul. 4) Tempat di mana sesuatu akibat konstitutif itu telah diambil.17

Tempus delicti adalah penting karena berhubungan dengan:

1) Pasal 1 KUHP, untuk menentukan apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana atau belum

2) Pasal 44 KUHP, untuk menentukan apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab atau tidak

3) Pasal 45 KUHP, untuk menentukan apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum, jika belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara ketiga kemungkinan

4) Pasal 79 KUHP (verjaring atau daluarsa), dihitung mulai dari hari setelah perbuatan pidana terjadi

5) Pasal 57 HIR, diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (opheterda).

B. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu 1. Asas Legalitas

Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal ini dianggap kejam dan sangat bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh Montesqueau tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J.


(21)

Rousseau tahun 1762 (Du Contract Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap rakyatnya. Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan Pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Anselm von Feuerbach

dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801) merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.18

2. Konsekuensi Asas Legalitas Formil

Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensi:

a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.

b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.

18


(22)

Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensi aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar pikirannya:

a. menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. b. berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselem von Feuerbach, bahwa

si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.

Di negara-negara yang menganut faham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926.

3. Asas Legalitas Materiel

Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan di dalam KUHP). Oleh karena itu dahulu Pasal 14 (2) UUDS 1950 telah menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata “…perundangundangan…” yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).19

19Ibid


(23)

Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap diakui. Hal ini di dasarkan pada:

a. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.

Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab HukumPidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

b. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”


(24)

Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis. Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.

4. Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP

Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Pasal 1 (3) Konsep KUHP menyebutkan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.”20

5. Asas Temporis Delicti

Pasal 1 ayat (1) di samping mengandung asas legalitas juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili

20Ibid


(25)

menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka (Pasal 1 (2)) dipakailah ketentuan yang paling meringankan terdakwa. Konsep KUHP lebih memperinci perubahan undang-undang pidana tersebut. Perincian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan KUHP Korea dan Thailand. Selengkapnya Pasal (3) Konsep KUHP menyatakan:

a. Jika terdapat perubahan undang-undangan sesudah perbuatan dilakukan atau sesudah tidak dilakukannya perbuatan, maka diterapkan peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan.

b. Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

c. Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru

C. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempatnya

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mengatur berlakunya hukum pidana Indonesia menurut waktu (kapan dilakukannya tindak pidana), maka selanjutnya yang perlu diketahui adalah dimensi tempat atau dimana berlakunya hukum pidana Indonesia sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana itu diberlakukan.


(26)

Kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat ini diatur dalam Pasal 2 s.d. 9 KUHP yang kemudian dikelompokkan menjadi empat asas, yaitu asas teritorial, asas personal (nasional aktif), asas perlindungan (nasional pasif) dan asas universal.21

1. Asas Teritorial atau Asas Wilayah

Asas teritorial mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh wilayah negara itu. Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam Pasal 2 dan 3 KUHP. Dalam Pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya, siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana Indonesia.

Berdasarkan Konvensi Paris 13 Oktober 1919, wilayah Indonesia meliputi tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut sampai 12 mil diukur dari titik pantai dari pulau-pulau terluar. Jika berbatasan langsung dengan Negara tetangga yang jaraknya kurang dari 24 mil, maka diambil titik tengah sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.

21Ibid


(27)

Wilayah ini kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan air/perahu (vaartuig) sebagai ruang berlakunya hukum pidana. Pasal 3 ini tidak memperluas wilayah Indonesia. Arti harfiyah vaartuig adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, yang dapat bergerak di atas air. Namun berdasarkan hukum internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang Iaut terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut negara lain).

Semula Pasal 3 KUHP tidak menyebut adanya kapal udara, karena saat KUHP dibentuk belum dikenal adanya pesawat udara. Namun dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976 bunyi Pasal 3 ini kemudian diubah menjadi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

2. Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif

Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada.22

22Ibid


(28)

Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan.

Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasii bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan dia dari penuntutan pidana.


(29)

Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara tempat dilakukannya tindak pidana tidak diancam dengan pidana mati, maka ketika warga negara Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.

3. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif

Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun bukan.23

Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam asas perlndungan adalah:

a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).

b. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia.

c. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia d. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)

e. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).

23Ibid


(30)

Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi warga negara di luar negeri.

4. Asas Universal

Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia dapat diterapkan. Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia berdasarkan asas universal adalah:

a. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP) yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.

b. Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971.

Istisna' Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa berlakunya Pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional. KUHP tidak merinci hukum internasional mana yang membatasi pasal-pasal tersebut. Dengan demikian, aturan ini cukup luas karena dimungkinkan adanya perubahan- perubahan ketentuan berdasar pada hukum internasional. Pengecualian yang didasarkan pada hukum internasional ini adalah hak imunitas atau exterritorialitas.


(31)

Hak imunitas adalah hak yang dimiliki oleh seseorang terhadap tuntutan pidana dari negara tempat ia melakukan tindak pidana. Hak imunitas ini didasarkan pada Perjanjian Wina 1961 yang dapat diberlakukan bagi:

a. Kepala negara asing dan keluarganya b. Duta besar negara asing dan keluarganya c. Anak buah kapal perang negara asing

d. Pasukan negara sahabat yang berada di wilayah negara atas persetujuan negara yang bersangkutan.

D. Kejahatan Teknologi Informasi

1. Pengertian Kejahatan Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi selain mambawa banyak manfaat dan keuntungan berupa semakin dipermudahnya hidup manusia, akan tetapi juga membawa nilai-nilai negatif misalnya sedemikain mudahnya para criminal melakukan tindak kejahatannya. Teknologi juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pemahaman mengenai kejahatan terutama terhadap paham-paham dalam kriminologi yang menitikberatkan pada faktor manusia baik secara lahir maupun batin. Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulakan terjadinya kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan timbul sejak kejahatan itu sendiri ada.24

24

Reda Manthovani, Problematika & Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia, Malibu, Jakarta, 2006, hlm 15.


(32)

Kejahatan merupakan perbuatan antisosial, tidak hanya terjadi dilingkungan masyarakat atau Negara yang sedang berkembang, tetapi juga masyarakat atau negara yang sudah maju. Kejahatan terjadi tidak hanya terdapat dalam dunia nyata. Tetapi juga terdapat dalam dunia maya dengan formulasi yang berbeda dengan kejahatan konvensional karena semakin canggihnya teknologi.

Meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi (cyber crime), namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer, hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan dari kejahatan komputer tersebut. secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan didunia cyber adalah upaya untuk memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau diguakan tersebut.

Indra Safitri mengemukakan kejahatan dunia maya adalah jenis-jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaat sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dengan diakses oleh pelanggan internet.25 Dengan demikian jelaslah bahwa jika seseorang menggunakan komputer atau bagian dari jaringan komputer tanpa seijin yang berhak, tindakan tersebut sudah tergolong pada kejahatan komputer.

25

Abdul Wahib, dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung. 2005, hlm 40


(33)

Kejahatan teknologi informasi yaitu komputer dan internet pada masa ini memang telah merajai pergaulan globalisasi kehidupan manusia. Kejahatan tersebut dapat timbul dari komputer maupun dari internet yang kita gunakan semagai media informasi dan kejahatan-kejahatan ini mengunakn teknologi informasi sebagai sasaran utama untuk mewujudkan niat tersebut.

2. Kejahatan Dengan Menggunakan Sarana Komputer dan Internet

Kejahatan teknologi informasi diawali dengan adanya komputer dan internet sebagai sarana manusia untuk menciptakan sesuatu inforamsi yang berguna bagi dirinya pribadi maupun orang lain. Dengan adanya komputer dan internet ini setiap orang yang menggunakan sarana ini dipaksa terus berpikir untuk menciptakan hal-hal baru untuk kesempurnaan isi dari komputer dan kemajuan serta kelengkapan materi internet tersebut dan terkadang melewati batas wajar manusia dan hal inilah yang menimbulkan kejahatan tersebut.

Istilah komputer berasal dari bahasa asing “computer” dengan kata dasar “to

computer” yang berarti menhitung atau menaksir, namun dalam

perkembangannya komputer memiliki fungsi yang lebih luas dari pada sekedar menghitung (to calculate = calculator). Sedangkan internet adalah jaringan komputer global atau jaringan yang menghubungkan jaringan komputer di seluruh dunia dengan menggunakan protokol komunikasi internet protokol. Adanya internet dan komputer memungkinkan masyarakat untuk dapat berkomunikasi dalam bentuk yang lebih bervariasi, tidak seperti telepon yang hanya mampu menyampaikan suara, atau faksimili untuk text dan gambar saja.


(34)

Kenyataan bahwa internet adalah penting karena dapat mempermudah masyarakat untuk menemukan apa yang dicari dengan hanya memakai komputer atau internet tersebut keinginan itu terwujud. Ada berbagai definisi mengenai komputer, dari berbagai definsi tersebut setidaknya terungkap dua definisi yang dianggap paling mewakili cirri-ciri komputer:

a. Serangkaian atau kumpulan mesin elektronik yang bekerja bersama-sama dan dapat melakukan rentetan atau rangkaian pekerjaan secara otomatis melalui instruksi/program yang diberikan kepadanya.

b. Suatu rangkaian peralatan dan fasilitas yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol suatu operating systems melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi-instruksi yang disebut program, serta mempunyai internal storage yang digunakan untuk menyimpan system-sistem operasi, program dan data yang diolah.

E. Pengertian Penyalahgunaan Kartu Kredit

Salah satu gaya hidup global yang sedang berkembang adalah pengunanan kartu kredit. Dengan kartu kredit di tangan semua jadi mudah, gampang, dan cepat. Ketika berbelanja atau membeli tiket pesawat, membayar rekening dan tagihan, dan sebagainya, kini tidak perlu membwa uang dalam jumlah banyak. Carding

adalah kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer untuk Carding adalah murni kejahatan lintas-negara (trans-national crime) karena dapat dilakukan oleh siapa saja dari belahan dunia yang berbeda dan system hukum yang berbeda pula. Carding merupakan penyalahgunaan kartu kredit dengan menggunakan internet


(35)

dan komputer sebagai medianya dan di lakukan secara online dengan mencoba nomor-nomor yang ada dengan cara memalsukannya.26

Kartu kredit merupakan sebuah gaya hidup dan bagian dari komunitas manusia untuk dapat dikatagorikan modern dalam tata kehidupan sebuah kota yang beranjak menuju metropolitan atau cosmopolitan. Namun demikian, kehadiran kartu kredit sering disalahgunakan. Hal ini dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek. Pertama, dari aspek hukum perdata dalam lingkup hukum perjanjian sebagai perbuatan wanprestasi. Misalnya, menggunkan kartu kredit secara tanpa hak dan tidak sebagaimana lazimnya, Kedua, dari sudut hukum pidana berupa kejahatan dengan menggunkan sarana kartu kredit, dikenal dengan istilah carding atau card fraud. Carding adalah penyalahgunaan kartu kredit menggunakan internet,

carding merupakan triminologi yang biasa digunakan para hacker bagi perbuatan yang terkait penipuan menggunakan kartu kredit. Carding adalah triminologi yang digunakan hacker untuk mendeskripsikan penggunaan informasi kartu kredit yang dicuri untuk membeli barang dan jasa.27

Jenis kejahatan ini, bila ditinjau dari segi sasarannya termasuk bentuk cyber crime against property atau jenis cyber crime yang sasaranya property milik orang seseorang. Sedangkan dari modus operandinya, tergolong dalam computer facilitated crime, yaitu pola kejahatan umum menggunkaan komputer dalam aksinya.

26

Ibid 27

Johannes Ibrahim, Kartu Kredit (Delematis Antara Kontrak dan Kejahatan), Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm 1


(36)

F. Penentuan Tindak Pidana dalam Surat Dakwaan

Undang-undang hanya menghendaki uraian yang cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan serta waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Tetapi undang-undang tidak mengatur bagaimana cara merumuskan tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempatnya, agar perumusan itu dipandang telah cermat, jelas dan lengkap atau belum. Dalam praktek dikenal dua cara merumuskan tindak pidana dalam dakwaan. Cara-cara tersebut adalah :

1) Pencantuman unsur-unsur tindak pidana sesuai perumusannya dalam undang-undang (perumusan kualifikasi) yang kemudian disusulkan dengan uraian fakta perbuatan yang dilakukan terdakwa.

2) Merumuskan tindak pidana tersebut dengan cara langsung mempertautkan antara unsur tindak pidana dengan fakta perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Mengenai tehnik perumusan tindak pidana yang di dakwakan, menurut dalam menyusun surat dakwaan semua unsur perbuatan yang dilakukan harus diuraikan dalam dakwaan, tidak cukup hanya menyebutkan kualifikasi pidananya saja, seperti pencurian, penggelapan, korupsi dan sebagainya. Kata yang dipakai dalam menguraikan surat dakwaan hendaklah dipakai kata sehari-hari yang mudah dimengerti dan dipahami, tetapi yang berhubungan dengan istilah sehingga memudahkan terdakwa dalam menyusun pembelaan dirinya. Di samping itu perlu juga diperhatikan dalam penyusunan dakwaan harus jelas perbuatan delik yang dilanggar, kalau tidak dakwaan akan batal.


(37)

Jika semua unsur telah dicantumkan dalam perumusan perbuatan yang bersangkutan, maka walaupun salah satu unsur tidak dinyatakan dalam kualifikasi, hakim akan menganggap tuduhan tersebut memenuhi sayarat. Oleh sebab itu adalah lebih baik dalam menyusun suatu tuduhan untuk tidak dimulai lebih dahulu dengan kualifikasi, baru diikuti dengan perumusannya, tetapi hendaknya langsung saja tindak pidana yang dituduhkan, dirumuskan sesuai dengan isi pemeriksaan terdahulu. Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, menentukan bahwa surat dakwaan harus memuat uraian yang cermat, jelas dan lengkap, tentang tindak pidana yang didakwakan dan dilengkapi dengan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan perumusan locus

dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara kejahatan penyalahgunaan kartu kredit on line. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada mengenai

locus dan tempus delicti kejahatan penyalahgunaan kartu kredit on line.

B. Jenis Dan Sumber Data

Penelitian ini penulis pertama-tama memerlukan data-data atau keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini berasal dari :

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelari, membaca, mengutif, literatur-literatur, atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan


(39)

pokok permasalahan penelitian ini. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) Bahan Hukum , yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer ini terdiri dari : a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

c) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah, surat kabar, media cetak, dan media elektronik.

b. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian (field Risearch) yang dilakukan dengan


(40)

cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dikarenakan orang tersebut menduduki posisi terbaik yang dapat memberikan informasi-informasi yang akurat terkait dengan topik penelitian ini. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu : 1) Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 2) Dosen Bidang Hukum Pidana FH UNILA : 2 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri :

2) Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memproleh arah pemikirin dan tujuan penelitian dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah literatur yang menunjang, peraturan perundang-perundang serta bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. 3) Wawancara

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara Wawancara (Interview). Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara


(41)

secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap narasumber yang berkaitan dengan permasalahan,

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.


(42)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online yaitu dengan menggunakan tolak ukur tempat dan waktu saat kejahatan penyalahgunaan kartu kredit itu dilakukan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Penentuan tempat tindak pidana dilakukan dengan melihat saat pelaku melakukan akses atau membuka jaringan internet pada atau di komputer untuk pertama kalinya, sehingga akan diketahui berapa nomor IP Address yang digunakan pelaku, baik pada saat pelaku melakukan serangan atau gangguan internet maupun saat pelaku menawarkan barang atau sesuatu melalui internet. Sedangkan dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, maka penyidik mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer, dari log file tersebut dapat terlihat waktu ketika pelaku melakukan tindak pidana.


(43)

2. Hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan

locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online adalah pertama, masih kuranganya jumlah aparat yang paham mengenai teknologi informasi dan tidak adanya peraturan tentang tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online, adanya perbedaan karakteristik antara cyber crime dengan kejahatan konvensional. Kedua, belum adanya komputer forensik yang akurat yang digunakan untuk melacak keberadaan tempat dan waktu dari cyber crime dengan tepat. Hal tersebut merupakan kendala tersendiri dalam merumuskan locus dan tempus delicti kejahatan.

B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian yang dikemukakan penulis dalam penulisan ini, maka beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan adalah :

1. Sebaiknya pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana untuk memberikan pengetahuan para aparat penegak hukum, caranya bisa diadakan semacam penataran untuk memperluas pengetahuan mereka agar dapat menemukan langkah-langkah tepat untuk menanggulangi kejahatan mayantara agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal.

2. Perlu dibentuk peraturan hukum pidana yang rumusan ketentuannya dapat menjangkau unsur-unsur perbuatan dalam kejahatan modern. Hal ini dapat dilakukan dengan dua alternatif, yaitu dengan membentuk undang-undang baru tentang Kejahatan Komputer atau dengan merevisi/menambah ketentuan yang sudah ada baik dalam KUHP maupun KUHAP.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta.

Harahap, Yahya, 1986, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

Ibrahim, Johannes 2004, Kartu Kredit (Delematis Antara Kontrak dan Kejahatan), Refika Aditama, Bandung.

Indradi, Ade Ary Sam, 2006, Carding (Modus Operandi Penyidikan dan Penindakan), Pensil-324, Jakarta.

Lamintang, PAF, 2004, Delik-delik khusus, Sinar Baru, Bandung.

………..., 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung.

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Manthovani, Reda, 2006, Problematika & Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia, Malibu, Jakarta.

Poernomo, Bambang, 1985,Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam. Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1981, Prenada Media, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wiryono, 2003, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. Siahaan, N.H.T, 2005, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan. Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta,

Soeharto, RM, 1993, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. ………, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan


(45)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

http://kompas.com.


(1)

33

cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dikarenakan orang tersebut menduduki posisi terbaik yang dapat memberikan informasi-informasi yang akurat terkait dengan topik penelitian ini. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu : 1) Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang 2) Dosen Bidang Hukum Pidana FH UNILA : 2 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri :

2) Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memproleh arah pemikirin dan tujuan penelitian dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah literatur yang menunjang, peraturan perundang-perundang serta bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. 3) Wawancara

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara Wawancara (Interview). Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara


(2)

34

secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap narasumber yang berkaitan dengan permasalahan,

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online yaitu dengan menggunakan tolak ukur tempat dan waktu saat kejahatan penyalahgunaan kartu kredit itu dilakukan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Penentuan tempat tindak pidana dilakukan dengan melihat saat pelaku melakukan akses atau membuka jaringan internet pada atau di komputer untuk pertama kalinya, sehingga akan diketahui berapa nomor IP Address yang digunakan pelaku, baik pada saat pelaku melakukan serangan atau gangguan internet maupun saat pelaku menawarkan barang atau sesuatu melalui internet. Sedangkan dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit, maka penyidik mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer, dari log file tersebut dapat terlihat waktu ketika pelaku melakukan tindak pidana.


(4)

51

2. Hambatan-hambatan yang dialami Jaksa Penuntut Umum dalam perumusan locus dan tempus delicti surat dakwaan dalam perkara penyalahgunaan kartu kredit online adalah pertama, masih kuranganya jumlah aparat yang paham mengenai teknologi informasi dan tidak adanya peraturan tentang tindak pidana penyalahgunaan kartu kredit online, adanya perbedaan karakteristik antara cyber crime dengan kejahatan konvensional. Kedua, belum adanya komputer forensik yang akurat yang digunakan untuk melacak keberadaan tempat dan waktu dari cyber crime dengan tepat. Hal tersebut merupakan kendala tersendiri dalam merumuskan locus dan tempus delicti kejahatan. B. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian yang dikemukakan penulis dalam penulisan ini, maka beberapa rekomendasi yang dapat dikemukakan adalah :

1. Sebaiknya pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana untuk memberikan pengetahuan para aparat penegak hukum, caranya bisa diadakan semacam penataran untuk memperluas pengetahuan mereka agar dapat menemukan langkah-langkah tepat untuk menanggulangi kejahatan mayantara agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal.

2. Perlu dibentuk peraturan hukum pidana yang rumusan ketentuannya dapat menjangkau unsur-unsur perbuatan dalam kejahatan modern. Hal ini dapat dilakukan dengan dua alternatif, yaitu dengan membentuk undang-undang baru tentang Kejahatan Komputer atau dengan merevisi/menambah ketentuan yang sudah ada baik dalam KUHP maupun KUHAP.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta. Harahap, Yahya, 1986, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

Ibrahim, Johannes 2004, Kartu Kredit (Delematis Antara Kontrak dan Kejahatan), Refika Aditama, Bandung.

Indradi, Ade Ary Sam, 2006, Carding (Modus Operandi Penyidikan dan Penindakan), Pensil-324, Jakarta.

Lamintang, PAF, 2004, Delik-delik khusus, Sinar Baru, Bandung.

………..., 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya,

Bandung.

Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Manthovani, Reda, 2006, Problematika & Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia, Malibu, Jakarta.

Poernomo, Bambang, 1985,Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam. Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1981, Prenada Media, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wiryono, 2003, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sumur. Bandung. Siahaan, N.H.T, 2005, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan. Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta,

Soeharto, RM, 1993, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika , Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

………, 2011, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan


(6)

Wahib, Abdul, dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

http://kompas.com.