PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

(1)

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

OLEH : EKA YULIASTUTI

NIM : S.330908004

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

Disusun Oleh :

EKA YULIASTUTI

NIM : S.330908004

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof.Dr.Adi Sulistiyono, SH.,MH ………. NIP. 196302091988031003

Pembimbing II Ismunarno, SH.,M.Hum ………. NIP. 196604281990031001

Mengetahui

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS. NIP. 130 345 735


(3)

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

Disusun Oleh : EKA YULIASTUTI

NIM : S.330908004

Telah disetujui oleh Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS ……… ……… NIP. 130 345 735

Sekretaris Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH ……… ………. NIP. 196111081987021001

Anggota 1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH ……… ………. NIP. 196302091988031003

2. Ismunarno, SH.,M.Hum ……… ………. NIP. 196604281990031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS ……… Ilmu hukum NIP. 130 345 735

Direktur Program Pror.Drs. Suranto, MSc,Ph.D ……….... Pasca Sarjana NIP. 131 472 192


(4)

PERNYATAAN

Nama : EKA YULIASTUTI NIM : S. 330908004

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :

”Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi “ (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar)

Adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila terbukti dikemudian hari bahwa pernyataan saya tersebut diatas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Juli 2010 Yang Membuat Pernyataan


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi” (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar).

Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan moril serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan maupun bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc.,Ph.D., Selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Setiono SH.,M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Pror. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi MagisterIlmu Hukum, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi. 4. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH., selaku Pembimbing I yang banyak

membantu kelancaran penulis dalam menempuh studi serta dalam menyelesaikan penulisan Tesis.

5. Bapak Ismunarno, SH.,M.Hum selaku Pembimbing II yang dengan tulus ikhlas membimbing dan mengarahkan penulis.

6. Bapak / Ibu Tim Penguji Tesis Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

7. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganya serta Bapak Faisal Banu selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus yang telah bersedia membimbing penulis selama penulis mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganyar.


(6)

8. Ayah dan Ibu ku tercinta, yang selalu memberikan Doa yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Adik-adik ku tersayang, Ahmad dan Wahyu, terimakasih atas kecintaan kalian berdua, dan atas dukungannya.

10. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

11. Semua Pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sampaikan dalam penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi siapa peneliti selanjutnya. Meskipun dalam penulisan ini banyak kesalahan dan kekhilafan, maka dimohon saran demi penyempurnaan penulisan ini. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

Surakarta, Juli 2010

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

PENGESAHAN ……… iii

PERNYATAAN ……….. iv

KATA PENGANTAR ……….. v

DAFTAR ISI ……… vii

ABSTRAK ……….. ix

ABSTRACT ……… x

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 7

C. Tujuan Penelitian ……… 8

D. Manfaat Penelitian ……….. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 11

A. Landasan Teori ………. 11

1. Arti dan Pengertian Korupsi ………. 11

2. Lembaga-lembaga Yang Berwenang dalam proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi 1). Lembaga Kejaksaan ……… 26

2). Kepolisian ……….. 27

3). Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) …. 32

3. Teori Penegakan Hukum ………. 34

B. Penelitian Yang Relevan ………. 40


(8)

BAB III. METODE PENELITIAN ………. 42

A. Jenis Penelitian ………. 42

B. Jenis dan Sumber data ………. 45

C. Tehnik Pengumpulan Data ……….. 46

D. Tehnik Analisa Data ………. 46

E. Jadwal Penelitian ……….. 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 49

A. Hasil Penelitian ……… 49

1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian ……… 49

2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ……… 58

B. Hasil Wawancara ………. 76

C. Pembahasan ……….. 81

BAB V. PENUTUP ……… 104

A. Kesimpulan ………. 104

B. Implikasi ……….. 115

C. Saran ……… 116

DAFTAR PUSTAKA ……….. 119 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Eka Yuliastuti, S. 330908004, 2010, Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada kejaksaan Negeri Karanganyar). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai Problematika yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar).

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah non-doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum ke-5. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif.

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang dikaji dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi jaksa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi (studi pada kejaksaan negeri karanganyar) adalah : (1) Pembuatan Undang-undang atau perundang-undangan yang masih rancu sehingga menyulitkan jaksa dalam proses penyidikan dan dukungan produk legislatif yang kurang memadai baik di Pusat (undang-undang), maupun di daerah (Perda), Obyeknya rumit karena berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, (2) Kurangnya personil penyidik kejaksaan, sarana dan prasarana yang belum memadai, kurang profesionalnya sumberdaya manusia atau penyidik dari Kejaksaan, Pelaku dilindungi korps / atasan / teman-temanya, Modus operandinya canggih baik dalam bidang pembukuan dan menggunakan media elektronik, dan pelaku menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Selanjutnya upaya-upaya yang dilakukan jaksa dalam menghadapi problematika tersebut adalah : Mempersiapkan para penegak hukum yang mempunyai keahlian khusus, mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penyidikan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tentang tindak pidana korupsi, meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem perundang-undang-undang-undangan yang ada seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 undang-undang tindak pidana korupsi, jaksa dan hakim sering bingung dalam menafsirkan isi darinpasal-pasal tersebut.

Sebagai implikasinya, Apabila sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, akan terjadi stagnasi perkara korupsi, sehingga penyidikan kasus perkara korupsi terhambat, disarankan adanya peningkatan SDM melalui studi lanjut program strata II (Magister) dan strata III (Doktor) serta pelatihan yang relevan.


(10)

ABSTRACT

Eka Yuliastuti S.330908004. The Problems Encountered by The Public Prosecutors in Investigating the Corruption Offenses (A Study at the District Court of Karanganyar). Thesis: The Graduate Program in Law Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010.

The objective of this research is to investigate and analyze the problems encountered by public prosecutors in investigating the corruption offenses (a study at the District Court of Karanganyar).

This research used a non-doctrinal and method based on the fifth law concept. Its data were analyzed by using a qualitative analysis technique.

Based on the results of the analysis on the problems encountered by the public prosecutors in investigating the corruption offenses, conclusions are drawn as follows: (1) The drafting of the prevailing laws and regulations is still contradictory so that it puts the public prosecutors in trouble to conduct investigation; the supports of legislative products, either from the central ones (central legislations) or the local ones (local legislations) are less adequate; and its object is very complicated because it shall include multi disciplinary sciences. (2) The public prosecutors lack investigators; the infrastructures and facilities are less adequate; the prevailing investigators are less professional; the corruption offenders are protected by their corps/ordinates/colleagues; its modus operandi (operating method) is sophisticated through the use of uneasily investigated book keeping methods and electronic devices; and the corruption offenders use certain ways to make the cases physically and non-physically undetectable. The efforts taken by the public prosecutors to encounter such problems are as follows: The public prosecutors prepare the law enforcers with special skills, conduct training to those related to the investigation of corruption offenses so that they master the laws and regulations against the corruption offenses, and call for improvement of the prevailing legislation systems to the law and regulation makers. For example, they require Articles 2 and 3 of the Corruption Act to be improved as the public prosecutors and judges are often confused in interpreting their contents.

As an implication, if the ability of the human resources is not improved, the corruption offenses will remain stagnant or even become higher and the investigation of the corruption offenses will also be impended. Therefore, the ability of the human resources shall be improved through dispatching them to do graduate and postgraduate programs and to attend variety of relevant training.  


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.

Sejalan dengan dinamika masyarakat pelaksanaan pembangunan berkembang cukup pesat, tetapi dalam berbagai bidang pembangunan nasional negara Indonesianseperti Ideologi, Ekonomi, Sosial Budaya, pertahanan dan keamanan terdapat adanya faktor penghambat yang berasal dari aparatur negara yang justryseharusnya menjadi pengemban untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu berupa perbuatan tindak pidana korupsi.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad


(12)

pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun.

Strategi preventif dibuat dan dilaksanakan dan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar apabila agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Strategi represif dibuat dan dilaksanakan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam Korupsi.

In sum, an effective anti-corruption strategy is likely to remove the opportunities for corruption; raise the salaries of civil servants and politicians; ensure a high degree of policing through effective application of the formal rule of law and the informal controls which encompass values; culture, moral and society responsiveness; and provide a negative publicity as a deterrent.1

In Indonesia, corruption was a serious problem during the Dutch colonial period as the salaries of the Dutch East India Company’s personnel were inadequate. Clive Day bservant that these personnel “were underpaid and exposed to every temptation that was offered by the combination of a weak native organization, extraordinary opportunities in trade, and an almost complete absence of checks from home or in Java” (Day, 1966: 00-103). Corruption became endemic during President Sukarno’s rule because his disastrously inflationary budgets eroded civil service salaries to the point where people simply could not live on them and where financial accountability virtually collapsed because of administrative deterioration” (Mackie, 1970: 87-88).2

Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda kehidupan masyarakat di Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri

      

    1

 Abdullah, N. R. W. (2008). Eradicating corruption: The Malaysian experience, JOAAG, Vol. 3. No. 1,

Jurnal Internasional, www.google.com, Download Tanggal 2 Juli 2010. 

2

Jon S.T. Quah, National University of Singapore, Asian Review of Public Administration, Vol XI, , No 2

Juli-Desember 1999), Comparing Anti-corruption Measures in Asian Countries: Lessons to be Learnt,


(13)

hingga saat ini, pemerintah dan rakyat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan korupsi. Apabila kita perhatikan, beberapa peraturan di bidang korupsi, jika diamati setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundang-undangan, maka ternyata bahwa setiap pergantian atau perubahan undang-undang senantiasa didasarkan pada “pertimbangan-pertimbangan” bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.

Korupsi di Indonesia diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat dan penyelenggara negara. Pada tatanan penyelenggaraan negara, korupsi menjalar mulai dari level pejabat lembaga negara di tingkat pusat hingga level yang terendah sekalipun. Aparat negara saat ini sebagian besar sudah terkontaminasi praktek korupsi baik secara terang-terangan maupun terselubung.

Corruption is a serious problem affecting democracy and the economy and engendering grave consequences for the security of goods and persons. Corruption is to economic life and public life what doping is to sports, namely an illicit, camouflaged means of breaking the rules to gain undue advantage.3

Meluasnya praktek korupsi di negara-negara yang sedang berkembang menimbulkan kesan bahwa kata korupsi barangkali kata yang paling dikutuk orang, bahkan sampai timbul ungkapan bahwa kebudayaan negara berkembang korupsi merupakan ciri yang sukar diberantas. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa tidak sedikit negara yang runtuh karena salah satu penyebab utamanya adalah korupsi, akan tetapi banyak pula negara yang berhasil keluar dari kemelut Korupsi, baik negara-negara yang sekarang sudah maju seperti Inggris, Perancis dan Belanda maupun yang masih setengah maju seperti Korea Selatan dan Singapura.4

             3

 Thomas Cassuto ,Efective Legal And Practical Measures For Combating Corruption : The French

System, Jurnal Internasional, , www.google.com Download Tanggal 16 Juni 2010.  4

Junaidi Soewartojo, 2005, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran pengawasan dalam


(14)

Semakin banyak bukti menumpuk tentang korupsi di negara-negara berkembang, agaknya jelas bahwa pengaruh buruk jauh lebih besar daripada manfaat sosialnya. Begitu pula dengan Tindak Pidana Korupsi dengan sedikit memikirkan usaha-usaha untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi.

Modus operandi korupsi terbentang dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih. Paling sederhana adalah mengambil uang dari brankas atau rekening dinas di suatu instansi. Versi yang lebih canggih banyak variannya, misalnya berupa penundaan pencairan dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangunan.

Modus operandi delik korupsi berbeda dengan delik pada umumnya disamping modus operandinya lebih rumit, juga dilakukan oleh mereka yang pada umumnya mempunyai kadar intelektual atau pendidikan yang cukup tinggi, sebab itulah Erwin E. Sutetherland menggolongkan mereka pada apa yang disebut “white collar crime” (penjahat kerah putih)5. Bahkan muncul pula istilah “political corruption” oleh karena pelaku tindak pidana korupsi di identifikasikan sebagai konspirasi antar pejabat negara dan masyarakat yang bersifat kompleks. Istilah tersebut menggambarkan pula keprihatinan masyarakat dan para ahli yang baik karena tindak pidana korupsi sangat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara substansial, disamping mengakibatkan meningkatkan biaya-biaya pelayanan sosial sebaliknya menurunkan kualitas pelayanan sosial.6

Permasalahan dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi berdampak pada gangguan stabilitas politik dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai-nilai demokratis, nilai-nilai-nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkesinambungan dan melemahkan penegakan hukum. Korupsi dalam perkembangannya kini bukan hanya merupakan kejahatan yang berdiri sendiri tetapi juga berhubungan sinergi dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, seperti kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Lebih jauh

kasus-      

5

Muladi, Beberapa Dimensi Dari Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran Hukum Pidana Nasional ke

IV kerjasama indonesia –Belanda, hal 3 


(15)

kasus korupsi juga mengancam aset-aset yang merupakan sumber daya dari Negara sehingga berpotensi menimbulkan kemiskinan rakyat.

Korupsi di Indonesia dirasakan semakin meluas dan meningkat, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara serta kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan tindak pidan korupsi menjadi perhatian serius pemerintah, dengan adanya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta dengan adanya UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Politik hukum di Indonesia menempatkan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa diantaranya dengan menghilangkan hambatan prosedur dalam pelaksanaan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai Undang-undang hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum pidana materiil dan formil sebenarnya diharapkan mampu sebagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik secara preventif maupun represif.

Berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-123/J/A/11/1994 tanggal 7 November tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena adanya laporan/ informasi tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.


(16)

Pada hakikatnya, Kejaksaan sebagai institusi yang berwenang menangani Tindak Pidana Korupsi dapat bertindak baik sebagai penuntut umum yang mendapatkan hasil penyidikan (BAP) dari kepolisian mengenai tindak pidana korupsi dan dapat pula bertindak penyidik langsung tindak pidana korupsi.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis mempunyai kedudukan sentra dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis ( Procureur die de procesvoering vaststels ) kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana ( executive amtenaar ). Masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat menjadi tulang punggung reformasi. Sebab pada dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.

Dalam hal penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan dapat melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dengan dasar pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya sebagai Penuntut Umum Tunggal (KUHAP), Kejaksaan akan melakukan penuntutan Tindak Pidana Korupsi. Penanganan Tindak pidana di Kejaksaan dimulai dengan penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka proses penyidikan diteruskan oleh seksi pidana khusus. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26 November 2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi se Indonesia menggariskan agar penyidikan diselesaikan dalam waktu 2 (dua) bulan. Untuk mendorong kinerja kejaksaan, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.


(17)

Strategi penegakan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung dengan instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden yang salah satu diantaranya ditujukan kepada khusus kepada Jaksa Agung berisi:

a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidanan korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.

b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.

c. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengendalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Selain Kejaksaan, KPK dan Kepolisian juga berwenang menangani kasus Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi, Kejaksaan sering mengalami hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi. Kejaksaan seringkali dinilai kurang kooperatif. Sorotan tajam yang mengemukakan terhadap institusi penegakan hukum termasuk kejaksaan RI, baik dalam tugas penyidikan maupun dalam tugas penuntutan antara lain karena Kejaksaan RI dipandang tidak mandiri dan independent sebagaimana terlihat pada penyelesaian perkara-perkara.

Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia yang diperbarui (S.1941 Nomor 44) pasal 53 (1) yang dimaksud dengan penyidik ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, Polisi umum yang sekurang-kurangnya


(18)

berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

Di dalam praktek, seringkali ditemukan pula bahwa untuk tindak pidana korupsi hanya berupa informasi saja yang dilaporkan. Bila informasi perkara korupsi tersebut hanya melingkupi satu kabupaten maka cukup ditangani Kepala Kejaksaan Negeri setempat, namun bila meliputi beberapa kabupaten maka ditangani oleh Kejaksaan Tinggi.

Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007 hanya dapat menyelesaikan pencapaian penanganan perkara penyelidikan, penyelidikan masing-masing sejumlah 2 (dua) perkara / kasus Tindak Pidana Korupsi yang terjadi diwilayah hukum Kejaksaan Negeri Karanganyar. Sedangkan untuk tahun 2008 sama sekali tidak dapat menyelesaikan pencapaian penanganan perkara baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan sampai ke tahap penuntutan. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007-2007 tidak dapat memenuhi target sebagaimana dalam S.E Jaksa Agung yang ditindak lanjuti dengan Surat JAM PIDSUS.

Dari latar belakang masalah tersebut bahwa ternyata Jaksa Penyidik didalam hal menangani proses penyidikan tindak pidana korupsi menimbulkan problematika. Apa yang menyebabkan terjadinya problematika penyidikan tindak pidana korupsi inilah yang layak untuk diteliti agar dapat menemukan faktor yang menjadi penyebab terjadinya problematika, padahal sudah ada Instruksi Presiden serta surat Edaran Kejaksaan Agung tentang percepatan penanganan kasus tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya ilmiah berbentuk tesis dengan judul “PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”


(19)

B. PERUMUSAN MASALAH

Guna memberikan arah dalam pembahasan masalah maupun untuk mencapai tujuan penelitian, maka akan dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang perlu diteliti dan dibahas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan yang akan diteliti meliputi :

1. Apakah problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana

Korupsi.?

2. Apakah upaya yang dapat dilakukan Jaksa untuk mengatasi problematika

tersebut.?

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk dapat mencapai sasaran yang di inginkan sebagai pemecahan masalah

sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka dalam penelitian ini mempunyai tujuan.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui bagaimana usaha yang dapat dilakukan Jaksa dalam

mengatasi problematika penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

D. MANFAAT PENELITIAN

Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidaklah sia-sia, maka setiap penelitian berusaha untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :


(20)

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada umumnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan ilmiah bidang hukum lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang

lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum agar

dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan ataupun kebijakan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Arti Dan Pengertian Korupsi

Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak adanya Penguasa Militer Nomor PRT / PM-08 / 1958 tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam pasa 1 ayat (a) yang menyatakan bahwa mengadakan penyelidikan harta benda seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt / Pm/ 06 / 1957 Penguasa Militer Berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta setiap orang atau badan di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

‘Corruption’ is a very broad term. It covers fraud (theft through misrepresentation), embezzlement (misappropriation of corporate or public funds) and bribery (payments made in order to gain an advantage or to avoid a disadvantage). The different types of corruption are likely to be closely linked. It is not easy to define a corrupt deal in a few words because there are a number of elements to the transaction. It is an act of theft (and hence an offence against human relationships), but it is a very particular kind of theft. One definition that has the virtue of simplicity (but which needs unpacking) is “the act by which ‘insiders’ profit at the expense of ‘outsiders’ ”. This can convey the ideas of abuse of position, offending against relationships, and underhandedness.7

Para ahli hukum dalam memberikan pengertian korupsi sangatlah

bervariasi, sedangkan dalam peraturan perundang-undangan KUHP maupun

         7

 Bryan R Evans, The Cost of corruption, A discussion paper on corruption, development and the poor,


(22)

dalam undang-undang tindak pidana korupsi sama sekali tidak terdapat satu pasalpun yang memberikan definisi korupsi secara jelas.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman.

Kata Korupsi dalam bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruptie” yang selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Korupsi”. Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion Webster Dictionary8 diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian , sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,dsbnya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9

Secara harfiah arti korupsi10 dapat berupa : kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran11. Perbuatan yang buruk, sepeti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Perbuatan yang kenyataaan yang menimbulkan keadaan bersifat buruk, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, seperti kata diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat.

Pengertian tindak pidana korupsi adalah salah satu dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara.

      

8 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law dictionary, ST. Paul Minn West Publishing, hal. 35. 

9

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, hlm 118. 

10

Lilik Mulyadi, ibid, hlm. 16 


(23)

Sedangkan dalam definisi yang formal adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat kekuasaan untuk mengambil secara melawan hukum sejumlah harta kekayaan yang terbilang atau yang seharusnya akan dibilangkan sebagai harta kekayaan negara, sebagian literatur merumuskan korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status uang yang menyangkut pribadi ( perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau melanggar aturan-aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi. Definisi-definisi ini tidak statis karena pemahaman masyarakat tentang apa yang

disebut corup itu berkembang, sepanjang waktu masyarakat lambat laun

mampu membuat perbedaan yang lebih tajam antara suap dan tindakan timbal balik atau transaksi dan semakin mampu membuat perbedaan ini berlaku dalam praktek.

Dalam arti sempit, korupsi berati pengabaian standar perilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Baharudin Loppa12 membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk yaitu sebagai berikut :

1. Korupsi yang bermotif terselubung

Yakni korupsi sepintas kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang belaka.

Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi Pegawai Negeri atau di angkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak memperdulikan lagi janji kepada orang yang memberi suap tersebut yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut.

      

12

Baharudin Loppa dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta, hal. 10


(24)

2. Korupsi yang bermotif ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriyah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain yaitu kepentingan politik.

Contoh, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusan memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun sesungguhnya si penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkausa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga rahasianya. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan politik atau umum ( masyarakat ). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Menurut Carl J. Friesnich sebagaimana dikutip oleh Martiman

Prodjohamidjojo, mengatakan bahwa apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah


(25)

yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar mambahayakan kepentingan umum.13

Secara hukum, pengertian korupsi adalah “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut :

“Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya kepada mereka”.

Korupsi di mana pun dan kapan pun akan memiliki ciri khas, ciri tersebut bisa bermacam-macam di antaranya14 :

1. Melibatkan lebih dari satu orang;

2. Korupsi tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri atau anggota

birokrasi negara, tetapi terdiri juga dari Organisasi usaha swasta;

3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam

tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk tunai, benda atau wanita;

4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;

5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak

selalu uang;

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan

publik atau masyarakat umum;

7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma, tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;

8. Di bidang swasta korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang

dan sebagainya untuk membuka rahasia perusahaan, tempat seorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3 mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut:

      

13

Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Kekuasaan Kehakiman dan Kewenangan Mengadili. Ghalia Indonesia,

Jakarta. hlm.10 


(26)

a. Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara....”

Menurut Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971). Rumusan delik pada Undang-undang N0.3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dan Undang-undang No.24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistmatikanya. Sehingga ada dua kelompok delik korupsi yaitu delik korupsi yang selesai (vooltoid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan (convenant).

Menurut Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar delik korupsi menurut rumusan Undang-undang No.3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai berikut:

1. Memperluas subyek delik korupsi. 2. Memperluas pengertian pegawai negeri. 3. Memperluas pengertian delik korupsi.

4. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara. 5. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil. 6. Subyek korupsi dikenakan sanksi.

7. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah memberantas

delik korupsi sanksi pida berbeda dengan sanksi pidana undang-undang sebelumnya.


(27)

8. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasi oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi.

9. Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan

keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan pembuktian terbalik terbatas.

10. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. 11. Akan dibentuk komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dua tahun

mendatang.

Delik korupsi menurut Undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, yakni, kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi. Sedangkan definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undamg-undang ini.

Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar dari delik korupsi menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, dengan beberapa perubahan yang antara lain penyebutan unsur-unsur yang langsung yang terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan kata “setiap orang”, yang diberi makna orang atau perseorangan atau termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum dan dapat terjadi subyek tindak pidana korupsi.


(28)

Lebih lanjut perumusan ciri-ciri tindak pidana korupsi15 sebagai berikut : 1.Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan;

2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat

umum;

3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan

khusus;

4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang

yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu; 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak;

6. Adabya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk unag atau

lainnya;

7. Terputusnya kegiatan ( korupsi ) pada mereka yang menghendaki

keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya;

8. Adanya bentuk usaha menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk-bentuk

pengesahan hukum; dan

9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang

melakukan korupsi.

Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula, dan artinya pula tergantung dari segi mana pendekatan itu dilakukan. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti yang halnya yang dilakukan oleh Syed Husien Alatas dalam bukunya “ He Sociology of Corruption” yang menyatakan bahwa istilah korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yand di sodorkan oleh swasta dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa agar memberikan perhatian istimewa untuk kepentingan si pemberi. Akan lain halnya bila dilakukan pendekatan normatif, atau pendekatan politik maupun ekonomi.

Hunington16 menyatakan : ”Akan tetapi tidak berati dengan adanya pola korupsi ditingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan untuk mobilitas keatas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai

      

15

SH. Alatas, 1987, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerbit LP3ES, Jakarta, vii. 

16

Mochtar lubis dan James C. Scoot, 1977, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, LP3ES,


(29)

oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatn yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem terbuka tersebut akan digoncangkan oleh kekuasaan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya tergantung pada mobilitas keatas”.

Lain halnya jika melihat korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagia tindak pidaan korupso secara tegas diatur dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus, oleh karena itu disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti halnya adanya penyimpangan hukum acara pidana.

Apabila dikaji secara mendalam maka tindak pidana korupsi sebenarnya tidaklah terlepas dari dan berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan tindakan lain yang diatur dalam perundang-undang lainnya lainnya, misalnya undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan lain sebagainya.

Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks, dengan faktor penyebab seseorang pelaku berbuat korupsi antara lain faktor internal maupun eksternal. Hal ini dikatakan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa aspek-aspek penyebab seseeorang berbuat korupsi antara lain :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri ( keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya);

b. Rangsangan dari luar ( dorongan teman-teman, adanya kesempatan,

kurang kontrol dan sebagainya);

Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi


(30)

(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.

Menurut Bambang Poernomo17 berbicara kejahatan korupsi akan

berhubungan dengan faktor-faktor :

1. Kelemahan dalam kegiatan penegakkan hukum yang berkaitan

manipulasi penyelenggaraan penerapan hukum secara tidak adil dan kekebalan bagi para pelanggar hukum dengan beraneka imbalan yang diatur dengan rapi;

2. Mekanisme kegiatan dewan legislatif sebagai badan pembentuk

undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilu sering berkaitan dengan aktivitas industriawan dan perdagangan;

3. Melalui sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha akan lebih mudah menjurus untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan;

4. Sistem koneksi di berbagai bidang;

5. Penyelenggaraan pemilihan dengan pemungutan suara berbeda

dalam lingkungan kegiatan politik.

Korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk membangun diri sendiri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisasi. Didalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran yang dipakai oleh seorang oknum tunggal.

Korupsi yang terorganisir lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan struktur organisasi yang ada. Berbeda dengan kejahatan yang terorganisasi yang membangun struktur organisasinya dilakukan oleh anggota mereka sendiri. Didalam korupsi yang terorganisir terdapat beberapa kepala organisasi sedangkan pada kejahatan terorganisir hanya seorang kepala yang berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala di dalam korupsi yang terorganisir

      

17

Bambang Poernomo, 1994. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi, Ghalia Indonesia,


(31)

bertindak secara otonom meskipun seringkali mereka saling tergantung satu sama lain. Mereka akan menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak lain.

Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu

faktor tersebut adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope18 kemiskinan

merupakan faktor penyebab korupsi, meskipun bukan satu-satunya. Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) tahun 1997 disebabkan aspek individu pelaku korupsi seperti sikap tamak, moral dan iman yang lemah sehingga tidak dapat menahan godaan hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar.

Faktor yang kedua adalah aspek organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung meniyupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga, aspek masyarakat tempat iindividu dan organisasi berada seperti iindividu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hany Negara, namun masyarakat luas luas juga akan terkena dampak korupsi itu.

Andi Hamzah19 menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi,

yakni :

1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan

yang makin meningkat;

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP di pandang jurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri;

3. Manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;

4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

      

18

Rohim, 2008, Modus Operandi tindak Pidana Korupsi, PT, Pena Multi Media, Jakarta, hal. 14 

19

Andi Hamzah dalam Parman Suparman, Korupsi di Indonesia, masalah dan pemecahannya, Gramedia,


(32)

Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Perumusan Delik Sebagai Delik Formil

Adanya kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 UUPTK menunjukkan bahwa delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Sehingga adanya kerugian negara / perekonomian atau tidak bukanlah merupakan hal yang senantiasa essetialita artinya tidak merupakan unsur yang mutlak sehingga tidak perlu dibuktikan secara obyektif. 2. Pidana Minimal Khusus

Penggunaan ancaman pidana minimal khusus beralasan agar pelaku korupsi dapat dijatuhi pidana seberat-beratnya. Namun yang menjadi masalah adalah belum adanya atau tidak disertai dengan aturan atau pedoman pemidanaan yang menerapkan ancaman pidana khusus tersebut. Hal ini disebabkan dalam KUHPidana sendiri tidak mengatur masalah ini, sehingga tidak jelas apakah pidana minimal ini dapat diperingan ( dalam faktor yang meringankan ) dan dapat diperberat ( dalam faktor yang memberatkan ).

3. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapus dipidanya Pelaku

Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya seorang pelaku. Upaya pengembalian kerugian negara tetap ada dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf kesalahan tersangka atau terdakwa20.

      


(33)

Menurut Lilik Mulyadi21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi korupsi menurut Undang-undang ini dapat di interpretasikan dari rumusan perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum karena tindak pidana.

Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 ini secara tegas menyatakan bahwa penegakkan hukum untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menghadapi berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan sebuah “badan khusus negara” yang mempunyai wewenang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk upaya pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extra ordinary crime.

Lebih jauh melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ( KPK ), yang tenaga penyidiknya diambilkan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.

Menurut Romli22 pembentukan korupsi ini merupakan paradigma baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatn yang sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan keuangan negara melainkan juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan sosial masyarakat luas;

2. Penyelesaian kasus korupsi dengan karakteristik tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan metode-metode dan lembaga-lembaga yang bersifat konvensional melainkan harus dengan metode baru dan lembaga baru;

      

21

Lilik Mulyadi,2000, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 5. 

22

Romli Atmasasminta, 1995, Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi, CV. Bandar maju.


(34)

3. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah saatnya dilakukan dengan senjata pamungkas yang dapat melindungi hak asasi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus dapat membatasi hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Senjata pamungkas ini hanya dapat dibenarkan dalam bentuk undang-undang dan tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Corruption takes many forms. It may be incidental (bribes to junior public officials, little macro-economic cost, but hard to curb), systematic (affects whole areas of government and harms revenue, trade and development) or systemic (makes honesty irrational and has a huge developmental impact). Corruption infringes the fundamental human rights to fair treatment, unbiased decision-making, and secure civil and political status. Through corruption the public services on which the poor depend are starved of funds, foreign investors are driven away, and environmental protection measures are flouted23.

Selanjutnya menurut David Bayle24 menginvetarisasi “biaya-biaya” yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu :

1. Tindak Korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan

yang ditetapkan pemerintah ( misalnya, korupsi dalam pengangkatan jabatan pejabat atau salah alokasi sumberdaya menimbulkan in efisiensimdan pemborosan );

2. Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya

mengejar laba dengan cepat ( dan berlebihan ) dalam situasi yang sulit diramalkan, atau melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang baru, dan dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta;

3. Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi ( pembayar

pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang sama );

4. Korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan

mengurangi jumlah dana yang disediakn untuk publik;

5. Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian

yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi;

6. Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada

kekuasaan, dan akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah;

         23

  Bryan R Evans,  The cost of corruption, A discussion paper on corruption development and the poor,

Jurnal Internasional, www.google.com. Download Tanggal 12 Juli 2010. 

24

David Bayle dalam Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, PT. Pena Multimedia,


(35)

7. Jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka public akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi public untuk tidak boleh kurup juga;

8. Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama dimasa mendatang;

9. Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi

produkvitas, karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan obyektif mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan;

10. Karena korupsi merupakan ketidakadilan yang dilembagakan mau

tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan;

11. Bentuk korupsi yang paling menonjol dibeberapa negara yaitu “uang pelicin“, atau “uang rokok “ menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan berdasarkan kebutuhan manusia.

Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.

The fight against corruption is central to the struggle for human rights. Corruption has always greased the wheels of the exploitation and injustice which characterise our world. From violent ethnic cleansing to institutionalized racism, political actors have abused their entrusted powers to focus on gains for the few at great cost for the many.

For too long the anti-corruption and human rights movements have been working in parallel rather than tackling these problems together. Through this first and innovative report on human rights and corruption, the International Council on Human Rights Policy (ICHRP) has provided an important conceptual mendations emphasise a need to address the


(36)

destructive relationship between corruption and human rights and find ways to mitigate its negative impacts, which can be direct, indirect and remote25.

2. Lembaga - Lembaga Yang Berwenang dalam Proses Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi

1. Lembaga Kejaksaan

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI memberikan penegasan dasar hukum kewenangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi bagi Kejaksaan antara lain :

Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI sebagai berikut :

“ Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menempuh beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Pasal 30 ayat (1) huruf d undang-undang Nomor 16 tahun 2004 secara implisit menyebutkan : Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang. Hal ini ditegaskan pula dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf d sebagai berikut : Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo

      

  25

 Corruption and Human Rights: Making the Connection, 2009. International Council on Human Rights


(37)

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Kepolisian

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mempunyai kewenangan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tugas26 dan wewenang27 kepolisian negara republik Indonesia tersirat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut :

Pasal 13 :

Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah:

a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. Dalam pasal 14 :

(1). Dalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, kepolisian negara republik indenesia bertugas :

a). Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;

b). Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

      

26

Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 


(38)

c). Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d). Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e). Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan masyarakat umum; f). Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g). Melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan peundang-undangan lainnya; h). Menyelenggaraka identifikasi kepolosian, kedokteran kkepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian;

i). Melindungi keselmatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasai manusia.

j). Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang.

k). Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dan lingkup tugas kepolisian; serta

l). Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 16 :

(1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk ;


(39)

b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik

pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, adalah

tindakan penyidikan dan penyelidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Dalam proses pemeriksaan tindak pidana korupsi memang mendapatkan prioritas utama dalam penyelesaian dibandingkan dengan perkara lainnya, hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 25 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut :

“ penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”


(40)

Oleh karena dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengatur mengenai proses penyidikan dan pemeriksaan perkara secara khusus, maka proses pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi tetap mengacu kepada ketentuan pasal 7 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang wewenang Penyidikan (POLRI).

Wewenang tersebut antara lain adalah :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan terdakwa;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam melakukan tugasnya maka penyidik wajib menjunjung tinggi

hukum yang berlaku, antara lain membuat berita acara pelaksanaan tentang : 1. Pemeriksaan tersangka;

2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Pemasukkan rumah; 6. Penyitaan benda; 7. Pemeriksaan surat;

8. Pemeriksaan ditempat kejadian;

9. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;

10.Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan KUHAP ( pasal 75 KUHAP). Penyidikan menurut pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam


(41)

Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.

Dari rumusan tersebut maka unsur-unsur pengertian penyidikan itu sebagai berikut28 :

1). Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai kegiatan / pekerjaan yang antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan atau yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya. 2). Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut

dengan penyidik yang oleh pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “ Pejabat Negara Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

3). Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur menurut Undang-undang.

4). Tujuan dari pekerjaan penyidik ialah (1) mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi (2) menemukan tersangkanya.

Dari unsur keempat dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana tersebut belum terang dan belum diketemukan siapa pembuatnya / pelakunya. Jadi masih bersifat dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan hasil penyelidikan sehingga dasar untuk menarik dugaan adanya / terjadinya tindak pidana tersebut adalah adanya alat bukti permulaan, yang dalam praktek didasarkan pada adanya laporan polisi atau hasil temuan penyidik.

Dalam proses penyelesaian kasus korupsi maka terdapat penyimpangan / perbedaan mengenai kewenangan penyidik antara lain

      


(42)

dalam ketentuan pasal 30 UU Nomor 31 tahun 1999 yang disebutkan antara lain “

“ Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana yang sedang diperiksa”.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KPK ini terbentuk berdasarkan amanat Undang-undang No.30 tahun 2002 , KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan undang-undang tersebur, KPK memiliki kewenangan atribusi karena telah ditentukan dalam perundang-undangan, yang mempunyai tugas sangat luas, bukan hanya tugas penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga tugas lain yang strategis dan sama pentingnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Tugas KPK yang pertama adalah Koordinasi dengan berbagai instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti Kejaksaan dan Kepolisian serta badan-badan lain yang berkaitan seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jendral dan Badan Pengawasan Daerah. Pelaksanaan koordinasi KPK, adalah menjaga agar pelaksanaan undang-undang tidak saling tumpang tindih. Bersama instansi yang telah ada dapat disusun suatu jaringan kerja ( networking ) dan menempatkan instansi yang

telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga sehingga

pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.29

Tugas Koordinasi, meliputi :

a). Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi; b). Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi; c). Meminta informasi tentang kegiatan tentang kegiatan pemberantasan

korupsi kepada instansi yang terkait;

d). Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang terkait;

      

29

Ruslan, Fungsi Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), available at Bening Kliping Edisi


(43)

e). Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan korupsi.

Tugas koordinasi ini, dalam keadaan tertentu dapat berkembang ke tugas supervisi seperti melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi, yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi dan selanjutnya dengan alasan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang institusi tersebut. Terkait dengan hal ini kewengan KPK adalah terkait dan bebas, artinya disatu sisi KPK adalah pelaksana dari pada Undang-undang, tetapi disatu sisi sesuai dengan tugas lapangan, KPK berhak membuat langkah-langkah lebih konkrit sesuai dengan tugasnya yang telah diamanatkan Undang-undang. Selain itu KPK bertugas juga untuk memantau instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Pengambilalihan tugas penyidikan dan penuntutan oleh KPK tersebut, dengan pertimbangan :

• Laporan masyarakat mengenai tindak pidana Korupsi yang tidak ditindak lanjuti.

• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau

• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.


(44)

3. Teori Penegakan Hukum

Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan arti hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam

masyarakat.30 Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan manusia,

misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam masyarakat pasar dan sebagainya. Disamping itu juga untuk mencegah selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga.

Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum tersebut. Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak hambatan dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-macam.

Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan sanksi.31 Seringkali

      

  30 

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta,

hlm 13. 

  31 

Soetandyo Wignjosoebroto, 1986, Mengembangkan Ketaatan di Sanubari Warga Masyarakat


(45)

kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan karena kondisi-kondisi obyektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran (manggung) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementar pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan.32 Disamping itu kadar ketaatannya juga dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau dari hukumnya. Sehingga tidak jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan maksud dan tujuan peraturan dengan perilaku yang diwujudkan.

Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah Undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik ( perancangan undang-undang ) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik pula.

Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami dulu bidang pekerjaan hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum adalah pelaksanaan suatu kebijakan atau suatu komitmen yang bersangkutan dengan 5 faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau

diterapkan;

      


(46)

5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.33

Purnadi Purbacaraka yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan terdapat ada 9 ( sembilan ) pengertian yang diberikan oleh masyarakat mengenai arti hukum yaitu34 :

a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan. b. Hukum sebagai disiplin.

c. Hukum sebagai kaedah. d. Hukum sebagai tata hukum. e. Hukum sebagai petugas (hukum). f. Hukum sebagai keputusan penguasa. g. Hukum sebagai proses pemerintahan.

h. Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.

Dalam pandangan lain hukum merupakan salah satu proses (produksi) manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui interaksi yang berlangsung dimasyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang dimasyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum35. Dalam pada itu I.S. Susanto mengungkapkan bahwa untuk memahami makna hukum akan sangat ditentukan oleh persepsi orang tentang apa yang disebut hukum36. Disisi lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk memahami apa yang merupakan hukum perlu dipahami adanya relasi hukum, sains, fiksi dan mistisme. Adanya pergeseran dari logika analitis menjadi logika sintesis,

      

33

Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm, 5 

34 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Bandung, hlm. 4. 

35 Anthon f. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme

Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 26  36

Anthon F susanto, 2007. Hukum dari Concilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif.


(47)

dengan tawaran keilmuwan bagi hukum yang asalnya berada pada domain terkotak menuju wilayah hukum integrasi dan rumit37.

Sementara Van Hoecke atau Meuwismen menyebutkan beberapa ciri objektif dari hukum adalah sebagai berikut38 :

1). Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang;

2). Hukum memiliki satu sifat lugas dan obyektif;

3). Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati;

4). Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang dinamakan keberlakuan ( berlaku, gelding ) yaitu aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis;

5). Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal; 6). Hukum itu menyangkut obyek dan isi dari hukum.

Syarat pertama untuk pelaksanaan Undang-undang yang efektif adalah bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan suatu keputusan hukum mengetahui betul apa yang harus mereka lakukan seperti halnya yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang untuk kepentingan masyarakat. Berhubungan dengan itu, maka bekerjanya hukum oleh penegak hukum haruslah menunjukkan rumusan yang jelas dan mudah dipahami serta dapat dikerjakan. Oleh karena itu dengan meminjam model dari Seidman, suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimanan respon yang akan diberikan oleh pemegang peran antara lain39 :

1). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya

      

37

Anton F Susanto, Loc cit, hal, 28. 

38 Meuwismen terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 35-37.  39

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT, Suryandaru Utama, Semarang,


(1)

pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangani tindak pidana korupsi, maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan tembusan kepada Kepala kejaksaan Negeri setempat.

b. Aparat Kejaksaan dituntut bekerja secara intervensi atau dipengaruhi oleh lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan murni mengacu kepada undang-undang yang berlaku.

c. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT

(cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3 bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.

d. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus

dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.

e. Meminta kepada pembuat Undang-undang untuk membenahi sistem

perundang-undangan yang ada. Seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak pidana korupsi. Jaksa dan Hakim sering bingung dalam menafsirkan isi dari pasal tersebut. Karena tanpa adanya sistem


(2)

perundang-undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita ketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan

kerah putih. Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan

oleh orang-orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara. Jaksa penyidik tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada masyarakat umum agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang mereka ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi dengan berbagai alasan.

f. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa Penyidik adalah :

• Dalam hal pemanggilan saksi

Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.

• Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka

Apabila tersangaka tidak berada ditempat maka penyidik memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak ingkar dari tersangka yang harus dihargai.


(3)

Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan penggeledahan. Apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik dari kejaksaan.

• Penyitaan

Penyitaan bisa dilakukan tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri.

• Penangkapan dan penahanan

Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka langsung ditangkap.

• Pemberkasan

Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi kesalahan.

B. IMPLIKASI

Dari hasil kesimpulan diatas, maka konsekuensi yang dapat ditimbulkan antara lain :

1. Peran kejaksaan pasca pembentukan Komisi Tindak Pidana korupsi bukan semakin ringan. Profesionalisme dan integritas kepribadian Jaksa menjadi tumpuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegagalan dan penyalahgunaan yang dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi akan mendorong komisi untuk mengambil tindakan terhadap aparat Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Pemberantasan


(4)

Tindak Pidana orupsi. Apabila problematika yang terjadi pada proses penyidikan tindak pidana korupsi tersebut tidak segera diminimalisir, maka akan berpengaruh luas pada upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Apabila faktor sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, maka akan terjadi stagnasi penyidikan perkara korupsi terutama didaerah, sehingga bukan tidak mungkin penyidikan kasus korupsi terhambat.

C. SARAN

1. a) Pembuat Undang-undang diharapkan segera melakukan

penyempurnaan berbagai produk Undang-undang yang berkaitan dengan upaya penanggulangan korupsi, terutama ketentuan-ketentuan yang justru dapat menghambat proses penyidikan perkara korupsi, misalnya ketentuan mengenai penyidikan kepala daerah, anggota DPR dan MPR yang mana disebutkan harus ada persetujuan terlebih dahulu dari presiden. Ketentuan tersebut hendaknya dirubah menjadi : Penyidikan terhadap kepala daerah, anggota DPR dan MPR diberitahukan kepada Presiden”. Jadi, penyidik cukup memberitahukan adanya penyidikan terhadap pejabat negara tersebut.

b) Pemerintah pusat hendaknya memberikan tambahan jumlah peyidik khususnya peyidik tindak pidana korupsi pada tiap-tiap Kejaksaan Negeri dan memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai untuk dilakakukannya penyidikan tindak pidana korupsi supaya hasil yang dicapai bisa maksimal. Selain itu juga Pemerintah harus berusaha menaikan gaji pegawai sehingga kehidupan para pegawai bertambah makmur. Dengan bertambah makmurnya pegawai diharapkan tidak melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu juga mengadakan perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah


(5)

dari kelemahan manajemen. Menggiatkan pelaksanaan pengawas melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan setempat. c) Aparat penegak hukum hendaknya segera melakukan reformasi internal, baik secara kelembagaan maupun secara pribadi. Upaya ini diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum untuk bersifat secara positif dalam merespons spirit moral dan keinginan Undang-undang.

2. a) Perlu adanya pedoman-pedoman yang secara khusus dan terperinci dibuat sebagai dasar proses penyidikan perkara korupsi dilapangan oleh petugas, sehingga dapat dengan cepat mengidentifikasi perbuatan-perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Juga perlu adanya peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia terutama dari penyidik dengan cara melalui program pelatihan baik ekstra maupun ontra kulikuler, misalnya studi lanjut ke program Strata II (Magister) dan Strata III (Doktor).

b) Terhadap anggota masyarakat diharapkan agar dapat meningkatkan peran sertanya dalam membantu upaya penegakan hukum untuk sebuah penyidikan tindak pidana korupsi pada khususnya. Peran serta ini dapat berupa kontrol secara aktif terhadap lembaga-lembaga yang mempunyai potensi tejadinya Tindak Pidana Korupsi maupun memberikan masukan atau laporan tentang adanta Tindak Pidana Korupsi. oleh karena itu adanya lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi sangat diperlukan, karena dapat membantu petugas Penyidik Kejaksaan dalam melakukan Penyidikan.

c) Memperbaiki moral. Baik moral pegawai, moral penegak hukum dan moral masyarakat atau rakyat. Sebab bila moral seseorang itu baik


(6)

maka orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan yang tidak baik, apalagi melakukan tindak pidana korupsi.