PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)

(1)

i

PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH

JAKSA DALAM PERKARA PIDANA

(Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)

SKRIPSI

untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Hukum Pada Universitas Negeri Semerang.

Oleh :

LAISIANA IRVIANTI 8150408033

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA (Studi pada kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)” yang ditulis oleh Laisiana Irvianti, NIM 8150408033 telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 11 Maret 2013

Panitia:

Ketua Sekretaris

Drs. Sartono Sahlan, M.H Drs. Suhadi, S,H.,M.Si

NIP.195808251982031003 NIP. 196711161993091001

Penguji Utama

Indung Wijayanto,S.H.,M.H NIP. 198207132008121002

Dosen Pembimbing I

Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum. NIP. 196401132003122001

Dosen Pembimbing II

Cahya Wulandari,S.H., M.Hum. NIP. 198402242008122001 Ketua

Drs. Sartono Sahlan, M.H NIP.195808251982031003

Sekretaris

Drs. Suhadi, S,H.,M.Si NIP. 196711161993091001


(4)

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Moto:

Kegagalan bukan akhir dari segalanya tetapi awal kita untuk menuju

keberhasilan selama kita berusaha untuk memperbaiki kegagalan itu.

Persembahan:

Skripsi ini saya persembahkan kepada :  kepada ALLAH SWT

 kepada kedua orang tua saya, H.Muhammad Zuhri dan Hj. Sri Rejeki.

 kepada adik-adikku, Rizqi Amalia Sari, H.Muhammad Tarech Aziz (Alm), Muhammad Naufal Pahlevi.  kepada Nenek dan kakek, H. Hasan Bisri(Alm), Hj. Siti

Khotijah(Alm), Watin (Alm), Mimbariyah(Alm).  Almamater UNNES 2008

 Untuk Keluarga besar.


(6)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, atas segala rahmat dan karunianya yang memberikan kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di wilayah hukum pengadilan semarang”, disusun untuk memperoleh gelar Sarjana hukum, Fakultas hukum Universitas Negeri Semarang.

Proses penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1 ALLAH SWT, bersyukur atas semua limpahan rahmat hidayah kepada penulis atas kelimpahan nikmat yang di berikan.

2 Prof. Dr. H Sudijono Sastroatmodjo M.Si. Selaku Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

3 Drs. Sartono Sahlan, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 4 Selaku penguji utama yang telah banyak memberikan dukungan dan arahan kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini.

5 Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang bersedia meluangkan banyak waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan saran, masukan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.


(7)

vii

6 Cahya Wulandari, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran, inspirasi, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7 Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mendapatkan pengetahuaan yang berguna dan bermanfaat untuk penulis.

8 Ucapan terimakasih kepada Bapak Hardi selaku Jaksa bagian barang bukti di Kejaksaan Negeri Semarang.

9 Ucapan terimakasih kepada Ibu Kartika selaku Jaksa bagian barang bukti di Kejaksaan Negeri Semarang.

10 Ucapan terimaksih kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I di Semarang.

11 Ucapan terimakasih kepada Kepala RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara)

12 Teristimewa saya sampaikan terima kasih kepada papa dan mama yang telah banyak memberi kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, nasehat, dan doa sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik.

13 Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada adik-adik saya (sari, aziz, naufal) yang telah memberi semangat, dorongan dan motivasi kepada penulis.

14 Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Zamasyari (Eko Prasetyo) yang telah memberi semangat, dorongan dan motivasi kepada penulis.

15 Keluarga besar penulis yang selalu member doa dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.


(8)

viii

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memenuhi persyaratan di dalam menyelesaikan pendidikan sarjana dan bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa Universitas Negeri Semarang khususnya dan masyarakat pada umumnya.


(9)

ix

ABSTRAK

Laisiana Irvianti, 2013. PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SEMARANG (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I, Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum. Pembimbing II: Cahya Wulandari, S.H, M.Hum.

Kata Kunci: barang bukti; perkara pidana; jaksa.

Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan atas kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga pempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana adalah persoalan mengenai pembuktian.

Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti? Serta kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap?.

Dalam penulisan skripi ini, penulis memilih metode pendekatan yuridis sosiologis dengan pengumpulan data sebagai berikut: studi kepustakaan, studi dokumen, dan wawancara.

Hasil penelitian pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di wilayah hukum pengadilan negeri semarang adalah Perkara yang sudah mendapatkan putusan

inkracht setelah itu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa bisa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA–6) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (BA–20). Setelah itu (BA-6) dan (BA–20) diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena (BA–6) dan (BA–20) untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN.

Simpulan pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di wilayah Pengadilan Negeri Semarang adalah Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht, jaksa harus segera mengembalikan barang bukti kepada orang yang disebutkan dalan isi petikan putusan. Sesuai dengan undang-undang yang mengatur pelaksanaan pengembalian barang bukti. Kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah tidak adanya undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang jangka waktu pengambilan barang bukti oleh orang yang berhak menerima barang bukti. Saran yang ditawarkan oleh peneliti dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di adalah Penambahan dan pembaharuan sarana prasarana untuk meminimalisir terjadinya penumpukan barang bukti di RUPBASAN.


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN... iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Identifikasi masalah ... 4

1.3 Pembatasan masalah ... 4

1.4 Rumusan masalah ... 5

1.5 Tujuan penelitian ... 5


(11)

xi

1.7 Sistematika penulisan skripsi ... 6

1.7.1 Bagian awal skripsi ... 6

1.7.2 Bagian pokok skripsi... 6

1.7.3 Bagian akhir skripsi ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian terdahulu ... 9

2.2 Barang bukti dalam proses peradilan pidana ... 9

2.2.1 pengertian dan fungsi barang bukti dalam proses peradilan pidana ... 9

2.2.2 Hubungan barang bukti dengan alat bukti ... 11

2.2.3 Macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti ... 15

2.3 Pihak yang bertanggungjawab atas barang bukti dalam upaya hukum biasa dan luar Biasa ... 19

2.4 Tata cara pelaksanaan putusan pengadilan ... 22

2.4.1 Terhadap terdakwa yang dikenakan pidana ... 22


(12)

xii BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Metode pendekatan ... 32

3.2 Spesefikasi penelitian... 32

3.3 Lokasi penelitian ... 32

3.4 Sumber data penelitian ... 33

3.4.1 Data primer sebagai data utama ... 33

3.4.2 Data sekunder sebagai data pendukung ... 34

3.5 Metode pengumpulan data ... 36

3.5.1 Studi kepustakaan ... 36

3.5.2 Dokumentasi ... 37

3.5.3 Wawancara ... 37

3.6 Metode analisis data ... 38

3.7 Keabsahan data ... 41

BAB 4 ISI DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana ... 48

4.2 Kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap ... 57


(13)

xiii BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.05-UM.01.06 Tahun 1983

Lampiran 2. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1983

Lampiran 3. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 Tahun 1985

Lampiran 4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.01 Tahun 1983

Lampiran 5. Surat berita acara pelaksanaan penetapan hakim (BA- 6)

Lampiran 6. Surat berita acara pengembalian barang bukti

Lampiran 7. Surat PENETAPAN

Lampiran 8. Surat petikan putusan

Lampiran 9. Surat pengantar penitipan barang

Lampiran 10. Surat pengembalian barang bukti

Lampiran 11. Instrumen Penelitian

Lampiran 12. Formulir Usulan Topik Skripsi

Lampiran 13. Formulir usulan Pembimbing


(15)

xv Lampiran 15. Kartu Bimbingan Skripsi

Lampiran 16. Surat izin untuk penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang

Lampiran 17. Surat izin untuk penelitian di RUPBASAN Semarang

Lampiran 18. Surat izin sudah melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang

Lampiran 19. Surat berita penelitian/penilaian Basan Baran

Lampiran 20. Surat berita acara serah terima Basan/Baran

Lampiran 21. Surat lampiran berita acara penelitian/penilaian Basan Baran


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat keterangan pengganti kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga pempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Tugas melaksanakan eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara pidana dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim dalam arti terbatas hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim dapat ditetapkan dari berbagai jenis pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan selanjutnya pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan pidana.

Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah barang bukti. Yang dimaksud barang bukti atau

corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila kita simak dan perhatikan satu per satu peraturan perundang-undangan bernafaskan pidana (undang-undang pokok, (undang-undang-(undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya) tidak ada satu


(17)

pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Akan tetapi apabila dikaitkan pasal demi pasal yang ada hubungannya yang ada masalah barang bukti maka secara implisit (tersirat) akan dapat dipahami apa sebenarnya barang bukti itu.

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara itu masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang pengadilandasar pengembalian barang tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan di pengadilan dalam keadaan utuh.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dimusnahkan atau dijual lelang untuk negara, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 39 KUHP hanya terbatas


(18)

pada barang-barang yang telah disita saja. Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dikembalikan kepada orang yang paling berhak, maka Jaksa selaku pelaksana putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus segara mengembalikannya.

Namun kenyataannya didalam praktek proses pengembalian barang bukti tersebut menemui hambatan atau kendala, sehingga pelaksanaan pengembalian barang bukti tidak bisa segera dilaksanakan (memakan waktu yang lama). Bedasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul "PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM PERKARA PIDANA " (Studi di Kejaksaan Negeri Semarang).

1.2.

Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah yang ditemukan yaitu:

1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti

2. Kendala bagi Jaksa dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti 3. Prosedur yang perlukan dalam pengambilan barang bukti

4. Tenggang waktu yang diperlukan dalam penyimpanan barang bukti di RUPBASAN 5. Cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh, atau sulit dalam

pemeliharaannya

6. Orang-orang yang berhak menerima barang bukti 1.3

Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan dalam proses penegakan hukum pidana maka dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah yaitu:


(19)

1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti

2. kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

1.4

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti ? 2. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita

setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ? 1.5

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti.

2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

1.6

Manfaat Penelitian


(20)

1.6.1 Manfaat teoritis:

a. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya dan bagi mahasiswa fakultas hukum atau kalangan akademisi fakultas hukum khususnya terhadap proses pengembalian barang bukti.

b. Dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya. 1.6.2 Manfaat praktis:

a. Dapat mengetahui mekanisme untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan proses pengembalian barang bukti.

b. Dapat mengetahui mekanisme dalam proses pelaksanaan pengembalian barang bukti. 1.7 Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan kemudahan dalam memahami skripsi serta memberikan gambaran yang menyeluruh secara garis besar, sistematika skripsi dibagi menjadi tiga bagian. Adapun sistematikanya adalah :

1.7.1 Bagian Awal Skripsi

Bagian awal skripsi terdiri atas sampul, lembar judul, persetujuan pembimbing, lembar pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, prakata, lembar abstrak, daftar isi, daftar lampiran.

1.7.2 Bagian Pokok Skripsi

Bagian pokok skripsi terdiri atas bab pendahuluan, teori yang digunakan untuk landasan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan penutup. Bab 1 Pendahuluan

Pada bab ini penulis menguraikan latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan, manfaat, penegasan istilah dan sistematika penulisan.


(21)

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang diharapkan mampu menjembatani atau mempermudah dalam memperoleh hasil penelitian, dijelaskan mengenai macam-macam pidana, pengertian bentuk dan isi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan fungsi barang bukti.

Bab 3 Metode Penelitian

Metodologi Penelitian, berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data, dan keabsahan data.

Bab 4 Hasil Penelitian

Berisi tentang hasil Penelitian dan pembahasan. Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan yang menghubungkan fakta atau data yang diperoleh dari hasil penelitian pustaka dan penelitian lapangan (empiris). Bab ini menguraikan mengenai pelaksanaan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti dan kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bab 5 Penutup

Pada bagian ini merupakan bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari pembahasan yang diuraikan.


(22)

1.7.3 Bagian Akhir Skripsi

Bagian akhir dari skripsi ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran. Isi daftar pustaka merupakan keterangan sumber literatur yang digunakan dalam penyusunan skripsi. Lampiran dipakai untuk mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi uraian skripsi.


(23)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi terdahulu yang berjudul “Benda Sitaan Negara Sebagai barang Bukti Dalam Perkara Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Rembang” yang di buat oleh Dedy Prabowo dari Universitas Negeri Semarang dalam skripsinya membedah mengenai Benda Sitaan Negara Sebagai barang Bukti Dalam Perkara Pidana. Di dalam skripsi tersebut berisi mengenai pengelolaan benda sitaan, Tanggung jawab benda sitaan, arti penting benda sitaan. Dari hasil skripsi di atas menunjukan bahwa skripsi yang dibuat oleh penulis tidaklah sama. Karena penulis menfokuskan tentang pelaksanaan dan kendalanya dalam pengembalian barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana.

2.2

Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

2.2.1 Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik. (Hamzah,1986:100).

Disamping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan


(24)

langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia dianiaya atau dibunuh.

Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa tiadak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila kerena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif, dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah


(25)

letak pentingnya barang bukti tersebut. Meskipun barang bukti mempunyai peranan penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak harus ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana tanpa adanya barang bukti misalnya penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP). Dalam hal demikian hakim melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.

2.2.2 Hubungan Barang Bukti dengan Alat Bukti

Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus:

a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.

Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai berikut:

a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP.

b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi

c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.(Afiah 1988:19)


(26)

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana, kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani/ periksa. Barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk alat pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau

corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana.

Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment(HIR) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun


(27)

orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya:

a. Barang yang menjadi sarana tindak pidana (corpora delicti)

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)

Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyebutkan :

“Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran Kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman

disebut keterangn”. Memperhatikan Pasal 133 KUHAP beserta penjelasannya maka dapat

disimpulkan bahwa: Keterangan mengenai barang bukti (tubuh manusia yang masih hidup atau pun mati) yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman, adalah menjadi alat bukti yang sah sebagai keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

Terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ahli (expert) yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara (Yan Pramadya Puspa, 235;2008). Misalnya hasil pemeriksaan terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia (darah,


(28)

air mani, rambut, dsb) atau hasil pemeriksaan benda-benda tertentu (serbuk, senjata api, uang palsu, dsb) apabila diberikan secara lisan disidang pengadilan, maka akan menjadi keterangan ahli sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan keterangan yang diberikan oleh seorang ahli (bukan ahli kedokteran kehakiman) jika diberikan secara tertulis, maka akan menjadi surat keterangan dari seorang ahli (Pasal 184 ayat (1) c jo Pasal 187 c KUHAP).

Dengan demikian barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan/ menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya disidang pengadilan.

2.2.3 Macam-macam Putusan yang Berkenaan dengan Barang Bukti

Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan ongkos perkara putusan hakim harus memuat pula tentang status benda sitaan yang dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang buktinya. Mengenai macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti dapat kita ketahui dari Pasal 46 ayat (2) KUHAP dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP.

Pasal 46 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. .(Afiah 1988:198)


(29)

Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa : Dalam hal putusan pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan Undang-Undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.(Afiah 1988:198)

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa putusan hakim yang berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut:

1. Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak.

Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak sebagai mana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut barang bukti dalam pemeriksaan sidang di pengadilan (Afiah,1988: 199 ).

Afiah (1988:200-203) yang disebut orang yang berhak menerima barang bukti anatara lain :

a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut.

b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak dalam kekuasaanorang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.


(30)

c. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya. d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan

kepada pemegang hak terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar mempunyai hak atas benda tersebut.

2. Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak.

Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan peledak, narkotika. Barang tesebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh dimiliki oleh umum.

Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar rumah orang lain.

3. Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain

Afiah (1998:207) Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti tersebut diatas :


(31)

a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus oleh hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua.

b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.

c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang (sipil dan ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.

2.3 Pihak yang Bertanggungjawab Atas Barang Bukti dalam Upaya Hukum Biasa Dan Luar Biasa.

Afiah (1998:208), dalam bukunya Barang Bukti Dalam Proses Pidana menjelaskan bahwa KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 bagian yaitu:

1. Upaya hukum biasa terdiri dari: a. Banding;

b. Kasasi.

2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: a. Kasasi demi kepentingan hukum;

b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan adanya permintaan pemeriksaan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan kewenangan masing-masing yang telah ditentukan oleh Undang-undang, maka tanggungjawab yuridis atas segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara tersebut akan beralih. Yaitu, dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung yang memeriksa perkara tersebut.


(32)

Demikian pula halnya dengan barang bukti, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 1983 tanggung jawab yuridis ada pada pejabat yang memeriksa perkara tersebut. Jadi dalam tingkat pemeriksaan banding tangungjawab yuridis atas benda sitaan ada pada Hakim Pengadilan Tinggi. Sedangkan tanggung jawab yuridis atas barang bukti apabila perkara tersebut dalam tingkat kasasi ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara tersebut.

Demikian halnya dengan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tangung jawab yuridis atas benda sitaan tersebut ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkaranya, sedangkan tanggung jawab administrasi dan fisik atas benda tersebut terletak pada Kepala RUPBASAN ( Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara). Surat Keputusan Jaksa Agung RI yang berlaku di Indonesia adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/J.A/l 1/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor: KEP.120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Adminstrasi Perkara Tindak Pidana.

Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan administrasi perkara tindak Pidana adalah:

Bagian dari administrasi umum Kejaksaan yang meliputi segala kegiatan administrasi yang mengelola perkara tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus mengenai: perkara, tahan, benda sitaan, barang bukti, barang rampasan, barang temuan dan hasil dirias, baik secara teknis yuridis merupakan bagian tak terpisahkan dari berkas perkara maupun hanya merupakan pencatatan proses penanganan berbentuk surat-surat, register dan laporan sesuai dengan bentuk dan kode yang ditentukan.


(33)

Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa Penuntut Umum mencocokkan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh Penyidik dan tersangka.

Menurut Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006/J.A/7/1986 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang bukti tersebut meliputi:

a. Jenis / macamnya b. Jumlah. Kesatuannya c. Mutu/kadarnya

Penelitian dilakukan dengan bantuan tenaga ahli atau laboratorium. Seperti yang diperlukan untuk mengetahui tentang mutu/kadar logam mulia, narkotika, obat-obatan dan barang bukti lain yang bersifat khusus. Pelaksanaan penelitian tersangka dan barang bukti tersebut masing- masing dibuatkan Berita Acara dengan menggunakan formulir BA-18 dan ditandatangani oleh Penuntut umum dan Penyidik yang menyaksikan acara itu. Barang sitaan yang dibuka dilakukan pembungkusan dan penyegelan kembali, semua benda sitaan yang diserahkan kepada Penuntut Umum diberi Label Barang Bukti Kejaksaan (B-10), yang mencantumkan keterangan sebagai berikut:

a. Nomor register barang bukti b. Nomor register perkara c. Nama tersangka


(34)

2.4 Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana, barang bukti dan putusan ganti kerugian. Maka yang akan diuraikan hanya mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berkenaan dengan barang bukti.

2.4.1 Terhadap Terdakwa yang Dikenakan Pidana.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana barang bukti dan putusan ganti kerugian. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap terpidana tentunya tergantung pada amar putusannya, masing- masing sebagai berikut:

a. Pidana mati: pelaksanaannya tidak dilakukan dimuka umum dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 271 KUHAP) Pidana penjara/kurungan: pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 KUHAP)

b. Pidana denda: kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP) jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)

c. Pidana bersyarat: pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 276 KHUAP)

Setelah melaksanakan putusan pengadilan tersebut Jaksa membuat dan menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan menurut Pasal 278


(35)

KUHAP tembusanya dikirimkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana, serta Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dan selanjutnya panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.

Berdasarkan Pasal 277 jo Pasal 280 KUHAP hakim pengawas dan pengamat pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

2.4.2 Terhadap Barang Bukti

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.

Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat (2) KUHAP, khususnya terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan/ barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim


(36)

berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita atau kepada orang yang berhak.

Penyerahan barang bukti tersebut harus dengan berita acara, sebagai bukti otentik bahwa barang bukti sudah diserahkan, apabila benda tersebut berada atau disimpan di RUPBASAN. Dalam hal ini, kita berpedoman pada Pasal 10 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983, bahwa pengeluaran benda tersebut harus berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pengeluaran benda sitaan/ barang bukti tersebut, petugas RUPBASAN harus:

a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.

b. Membuat berita acara yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang menyita.

c. Mencatat dan mencoret benda sitaan negara tersebut dari daftar yang tersedia. Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap:

Berdasarkan Pasal 194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang bukti.

Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan pengembalian barang bukti.


(37)

Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

Dan bunyi Pasal 193 KUHAP yaitu:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dalat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila


(38)

dipenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP dan terdapat alas an cukup untuk itu.

b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alas an cukup untuk itu.

Bahwa putusan bebas apabila ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis Hakim yang bersangkutan:

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Dari hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus pula kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti tadi tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Dalam hal putusan yang mengandung pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali ada alasan lain yang sah misalnya terdakwa masih tersangkut perkara lain. a. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan : "Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum".


(39)

1. Apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian menurut Undang-undang maupun dari segi pembuktian menurut Undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti tadi tidak merupakan tindak pidana, tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti tadi tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana tetapi mungkin masuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum adat, atau hukum dagang.

2. Adanya keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya:

a. Terdakwa sakit atau cacat jiwanya (Pasal 44 KUHP) b. Keadaan memaksa / Overmacht (Pasal 48 KUHP) c. Pembelaan terpaksa / Noodweer (Pasal 49 KUHP)

d. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang (Pasal 50 KUHP)

e. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 KUHP).

Terhadap putusan bebas dan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan banding.

Mengenai apa yang dimaksud dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-Undang. Dalam Instruksi Jaksa Agung RI nomer: INS-006/J.A/7/1986, disebutkan bahwa putusan memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu jika setelah putusan pengadilan diucapkan


(40)

/diberitahukan secara sah menurut hukum, terdakwa dan Penuntut Umum menerima putusan atau tenggang waktu berpikir dilampaui dan tidak digunakan upaya hukum.

Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat (4), mengatur juga tentang pelaksanaan putusan hakim yang didasarkan pada keadilan dan perikemanusiaan. Hal ini mengandung arti, bahwa dalam pelaksanaan tersebut tidak boleh merugikan terpidana yang harus menjalani pidanannya baik yang berupa kerugian materiil maupun moril.

Kerugian materiil dimaksud antara lain pemakaian barang-barang milik terpidana yang dipergunakan sebagai barang bukti yang kemudian tidak dikembalikan sedangkan kerugian moril antara lain berupa penyiksaan atau penganiayaan terhadap diri terpidana selama ia menjalani pidananya.

Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa: Pelaksanaan putusan hakim tersebut panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya) kemudian kepala seksi meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan putusannya ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana, barang bukti dan biaya perkara (Marpaung,1992:493).


(41)

26

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian adalah “Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah” (Soetrisno Hadi,1993:4). Sedangkan “metodologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Metodologi penelitian dapat diartikan, “sebagai suatu cara atau jalan yang harus digunakan untuk tujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan” (Soekanto,1986: 5).

Metode pada hakikatnya merupakan prosedur dalam memecahkan suatu masalah dan untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan kerja seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subyektif. Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh banyak orang (Sunggono, 2006:43).

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai sebagai upaya dalam bidang Ilmu Pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis,2004:24).

Metode penelitian digunakan penulis dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang akan penulis gunakan adalah Metode Kualitatif dengan pendekatan Yuridis sosiologis. Metode ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:


(42)

3.1 Metode pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan yuridis sosiologis.Yuridis sosiologis merupakan ”suatu pendekatan selain menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat dan menganalisa masalah yang terjadi” (Soekanto,1997:10).

3.2 Spesifikasi penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu “melukiskan atau menggambarkan gejala atau peristiwa hukum dengan tepat dan jelas” (Soemitro,1983:11). Deskriptif digunakan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dengan demikian deskriptif mempunyai tujuan untuk melukiskan atau memberikan gambaran tentang dasar-dasar penegak hukum dalam melaksanakan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam kasus pidana.

3.3 Lokasi Penelitian

Untuk menunjang informasi tentang “Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana, maka penulis memilih melakukan penelitian langsung ke Kejaksaan Negeri Semarang, dan RUPBASAN Semarang.

3.4 Sumber data Penelitian

”Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data dapat diperoleh” (Meloeng,2000:114). Sumber data merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam setiap penelitian ilmiah, agar diperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(43)

3.4.1 Data Primer sebagai data utama

Penelitian hukum untuk keperluan hukum diperlukan keberadaan bahan hukum non hukum dapat membantu berupa: ”wawancara untuk mengumpulkan bahan-bahan non hukum, maka digunakan teknik alat dan teknik pengumpulan data tertentu” (Marzuki,2006:16). ”Penelitian disamping perlu menggunakan metode yang tepat juga perlu memiliki teknik dan alat pengumpul data yang relevan agar memungkinkan diperoleh data yang objektif” (Rachman,1997:77). “Sumber data primer diperoleh dari hasil penelitian dilapangan secara langsung dengan pihak -pihak yang mengetahui persis masalah yang akan dibahas” (Arikunto,2002:107).

Jadi data primer diperoleh dari data di lapangan atau dari penelitian di masyarakat, disamping informan dan responden, juga berupa data-data hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan, yaitu data-data hasil penelitian dari Kejaksaan Negeri Semarang, serta tokoh akademisi yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Pendekatan sosiologis

berarti “penelitian ini akan mengidentifikasi hukum dan efektifitas hukum”

(Soekanto,1986: 51). Artinya penelitian ini adalah kajian untuk melihat realitas sosial atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat dari sudut pandang hukum, di mana hukum mengatur ketentuan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan. Sedangkan pendekatan secara yuridis berarti “penelitian ini mencakup penelitian terhadap azas-aza shukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum” (Soekanto,1986: 51).

3.4.2 Data Sekunder sebagai data pendukung

Sumber data sekunder yaitu “sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data” ( Sugiyono, 2007:225). MenurutArikunto (2002:107) bahwa “untuk


(44)

memperoleh sumber data sekunder penulis menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang berupa buku, sumber arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi”.

”Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,dan komentar-komentar hukum atas pengadilan” (Marzuki, 2006:95).Data sekunder adalah ”data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu sebagai berikut:” (Marzuki, 2006:95).

a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat. Berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-558/A/J.A/12/2003. Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-225/A/J.A/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik


(45)

Indonesia, Nomor: KEP-115/A/J.A/10/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

5. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomer: KEP-132/J.A/111994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa "Agung R.I Nomor: KEP-120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

6. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-033/JA/3/1993. tentang Eksaminasi Perkara.

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana meliputi skripsi, tesis dan desertasi serta literatur lain seperti website-website tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum sebagai pelengkap kedua bahan hukum sebelumnya, yaitu berupa:

1. Kamus Hukum;

2. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3.5 Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh data penelitian, akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :

3.5.1 Studi Kepustakaan

Penelitian pustaka (library research), melalui penelitian ini penulis berusaha mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan materi skripsi, selanjutnya mengutip dan


(46)

menerjemahkan bagian-bagian tertentu yang mempunyai kaitan dengan materi skripsi (Rachman, 1997:77).

Studi kepustakaan adalah penelaahan bahan-bahan kepustakaan, dengan cara membaca dan mencatat literatur-literatur terkait. Studi kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder yaitu dengan membaca dan mencermati aturan-aturan hukum, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, serta mempelajari literatur-literatur lainnya yang kemudian berdasarkan studi pustaka tersebut selanjutnya dapat diperoleh aturan-aturan hukum yang sesuai dalam mengatur permasalahan yang sedang di teliti. (Rachman,1997:77)

Untuk keperluan analisis kualitatif, peneliti akan mengambil beberapa contoh pelaksanaan pengambilan barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana dan kemudian dianalisis dengan data sekunder yang telah di peroleh dari studi kepustakaan serta buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Sehingga dari analisis tersebut dapat diperoleh kesimpulan atas permasalahan yang sedang diteliti.

3.5.2 Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal–hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, legger, agenda dan lain sebagainya (Arikunto,1998: 236).

Dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat dokumen atau arsip-arsip yang berkaitan dan dibutuhkan pada penelitian ini serta bertujuan untuk mencocokan dan melengkapi data primer, dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana.


(47)

3.5.3 Wawancara

“Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara” (Fathoni, 2006 : 105).

Wawancara ini diadakan secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan berwenang memberikan informasi yakni jaksa yang khususnya di Kejaksaan Negeri Semarang dalam penentuan pelaksanaan pengembalian barang bukti, serta para petugas RUPBASAN yang berkompeten untuk menyampaikan informasi yang diperlukan kepada peneliti.

3.6 Metode Analisis Data

Dalam melakukan penelitian hukum dilakukan langkah-langkah seperti: mengidentifikasi masalah fakta-fakta hukum dan hal-hal yang tidak relevan terhadap isu hukum yang hendak dipecahkan; menyimpulkan bahan-bahan hukum yang mempunyai relevansi dengan bahan-bahan non hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang di kumpulkan: menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum dan memberi perskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan (Marzuki, 2006:171).

Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan suatu analisis data untuk mengolah data yang ada. Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema dan di temukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2002:103).


(48)

Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000:103).

Menurut Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:120). Tahapan analisis data adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.

2. Reduksi Data

Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Dimana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu - waktu diperlukan.

3. Penyajian Data

Penyajian data berupa sekumpulan informasi yang telah tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

4. Penarikan Kesimpulan atauVerifikasi

Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang di peroleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pula, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam pengambilan keputusan,


(49)

didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian.

Tahap ananalisis data kualitatif diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini: Bagan 5 (lima) : Analisis Data Kualitatif

Sumber: Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:120)

Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian dilapangan dengan menggunakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang di kumpulkan banyak maka diadakan reduksi data, setelah direduksi kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga di gunakan untuk penyajian data, selain itu pengumpulan data juga di gunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai dilakukan, maka diambil kesimpulan.

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan kesimpulan/


(50)

3.7 Keabsahan Data

“Pemeriksaan keabsahan data ini diterapkan dalam rangka membuktikan kebenaran temuan hasil penelitian dengan kenyataan dilapangan.” (Moleong,2000:75), untuk memeriksa keabsahan data pada penelitian kualitatif antara lain digunakan taraf kepercayaan data (credibility). Teknik yang digunakan untuk melacak credibility dalam penelitian ini adalah teknik tringulasi (triangulation).

“Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data ini”(Moleong,2000:178). Proses pemeriksaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi dan data pelengkap lainnya.

Triangulasi yang digunakan antara lain sebagai berikut :

1. Triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek baik kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif.

2. Memanfaatkan pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data dari pemanfaatan pengamat akan membantu mengurangi bias dalam pengumpulan data.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber. Menurut Patton dalam bukunya (Moleong,2000:178). Triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan jalan sebagai berikut:

1. Membandingkan data hasilpengamatandenganhasilwawancara.

2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.


(51)

3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti dengan sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan, orang berada, pejabat pemerintah.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Bagan triangulasi pada pengujian validitas data dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 4 (empat) : Triangulasi Data

(Sumber: Moleong, 2000:178)

Berdasarkan pendapat Moleong diatas, maka penulis melakukan perbandingan data yang telah diperoleh. Yaitu data-data sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingkan dengan data-data primer yang diperoleh di fakta-fakta yang ditemui lapangan. Sehingga kebenaran dari data yang diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan.

Peneliti melakukan validasi sendiri dengan memperhatikan hal-hal, diantaranya: a. Pemahaman peneliti terhadap metode penelitian kualitatif;

b. Kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian secara akademik maupun logistik.

Teknik yang berbeda

Waktu yang berbeda

Data Sama Data valid


(52)

37

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Semarang dan RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara)

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004). Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga


(53)

mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

Kejaksaan negeri adalah lembaga kejaksaan yang berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan kabupaten/ kota. Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi), dan kejaksaan negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kejaksaan negeri dipimpin oleh kepala kejaksaan negeri, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Kejaksaan negeri dibentuk dengan keputusan presiden atas usul Jaksa Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum kejaksaan negeri dapat dibentuk


(54)

cabang kejaksaan negeri, yang dibentuk dengan keputusan Jaksa Agung. Gedung Kejaksaan Negeri Semarang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 5-9 Semarang, Jawa Tengah.

Dalam penanganan terdakwa, setelah berkas dari pihak penyidik (P-21) dinyatakan lengkap oleh jaksa, masih ada tahap berikutnya dan tahapan itu terdiri dari: 1. Berkas yang telah dinyatakan P-21 oleh jaksa.

2. Bawa Barang Bukti.

3. Dihadirkan tersangka tetapi setelah pemeriksaan, tersangka dititipkan ke Rutan. Setelah selesai, barulah jaksa membuat surat dakwaan dan segera dilimpahkan ke

Pengadilan Negeri. Waktu pada saat dilimpahkan ke PN itu waktunya sekitar 2 minggu. Pengadilan Negeri menerima surat dakwaan yang diserahkan ke Panitera dan membuat jadwal untuk membuat hari sidang. Setelah penetapan hari sidang dari Pengadilan Negeri disampaikan kepada Jaksa, dan Jaksa menyampaikan kepada terdakwa.

Setelah melakukan penyitaan atas benda yang bersangkutan dalam tindak pidana,maka benda tersebut harus diamankan oleh penyidik dengan menempatkannya dalam suatu tempat yang khusus yaitu menyimpan benda-benda sitaan Negara. Pasal 44 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa benda sitaan disimpan dalam rumah penyitaan benda sitaan Negara. Dengan berlakunya KUHAP, timbul suatu lembaga baru yang dikena nama RUPBASAN ( Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara), yaitu tempat penyimpanan benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan ( pasal 1 butir 3 PP No. 27 tahun 1983).

Tugas RUPBASAN adalah Melakukan Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara. Fungsi RUPBASAN yaitu sebagai berikut:


(55)

berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA–6) dan membuat berita acara pengambilan

Orang yang dijelaskan dalam isi petikan putusan

RUPBASAN a) Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan Negara; b) Melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang rampasan Negara; c) Melakukan pengamanan dan pengelolaan RUPBASAN

4.1 Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti Oleh Jaksa Dalam Perkara Pidana Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Semarang, bahwa pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:

HAKIM Surat Petikan Jaksa

Putusan inkracht

(putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap)

Bagan.1 .Mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana Dari keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti yang menjelaskan tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah seperti bagan mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana tersebut dan penjelasan dari bagan mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah:


(56)

“Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim menbuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan

inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap). Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapan hakim ( BA - 6 ) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti ( BA - 20 ). Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapan hakim ( BA - 6 ) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti ( BA - 20 ) diberikan kepada orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim ( BA - 6 ) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti ( BA - 20 ) untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN (rumah penyimpanan benda sitaan negara)".

(Wawancara dengan Hardi, SH sebagai jaksa bagian barang bukti, 26 November 2012, Pukul 13.00 wib).

Jadi yang diterangkan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 46 ayat (2) KUHAP yaitu apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Mengenai pengembalian barang bukti yang diatur dalam Pasal 46 KUHAP yaitu menyatakan bahwa :

(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau

ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.


(57)

(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu: f. Keterangan saksi

g. Keterangan ahli h. Surat

i. Petunjuk

j. Keterangan terdakwa

Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk alat pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau

corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pidana.

Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment(HIR) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu


(58)

kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya:

e. Barang yang menjadi sarana tindak pidana (corpora delicti)

f. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)

g. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)

h. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti).

Apabila benda tersebut adalah surat maka diperlukan untuk pemeriksaan surat, sebagaimana yang diatur Pasal 47 KUHAP dan Pasal 48 KUHAP, yaitu sebagai berikut: Pasal 47 KUHAP antara lain menyebutkan:

1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.

2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.

Pasal 48 KUHAP mengatur bahwa:

1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.

2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik.

3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.


(59)

Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara tersebut masih di tingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah di persidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP yaitu menyatakan bahwa :

(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai suatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam pengembalian barang bukti sebelum mendapatkan putusan kekuatan hukum tetap tidak menyebutkan syarat-syarat pengembalian benda sitaan yang dapat dipinjam-pakaikan kepada orang atau mereka dari mana benda tersebut disita atau kepada mereka yang paling berhak, namun dalam praktek pelaksanaan, pejabat yang bertanggungjawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh si penerima barang bukti tersebut. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh si pemohon atau orang yang berhak menerima barang bukti sesuai isi petikan putusan adalah sebagai berikut :

a. Bersedia menghadapkan barang bukti itu apabila sewaktu-waktu diperlukan kembali untuk kepentingan pembuktian.

b. Bersedia menjaga keutuhan barang bukti tersebut, artinya bahwa barang bukti tersebut tidak akan dirubah atau rusak atau dipendah-tangankan kepada orang lain. c. Bersedia barang bukti tersebut ditarik kembali dan bersedia dituntut menurut hukum


(60)

Pada umumnya benda sitaan yang dipinjam-pakaikan adalah benda yang merupakan objek kejahatan, misalnya : mobil, sepeda motor, emas, TV, video, radio dan lain-lain. Benda yang tidak dapat dipinjam-pakaikan antara lain :

a. Benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan, misalnya : pisau, linggis, dan alat-alat lainnya. Kecuali jika jelas bahwa benda tersebut adalah milik suatu instansi, misalnya pistol yang dipakai untuk membunuh adalah milik Departemen Hankam, maka pistol tersebut dapat dikembalikan pada instansi yang bersangkutan.

b. Benda tersebut merupakan hasil perbuatan jahat terdakwa, misalnya uang palsu, emas palsu dan lain-lain.

c. Benda terlarang, misalnya : ganja, heroin, obat-obatan dan lain-lain.

d. Benda yang kepemilikannya kurang jelas atau saling kait mengkait antar pelapor dengan orang lain.

Dalam hal barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain, maka putusan pengadilan yang berkenaan dengan barang bukti tersebut menyatakan bahwa: barang bukti masih dikuasai jaksa, karena masih diperlukan dalam perkara lain atau barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum karena masih diperlukan dalam perkara lain. Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti berikut: d. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus

oleh hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua.


(61)

e. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.

f. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang (sipil dan ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.

Mengenai permintaan pengeluaran benda sitaan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak ditentukan jangka waktu kapan surat tersebut harus diajukan. Sedangkan permintaan pengeluaran benda sitaan untuk keperluan sidang pengadilan, menurut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-UM.01.06 Tahun 1983, surat tersebut harus sudah diterima oleh Kepala RUPBASAN selambat-lambatnya 1 X 24 jam sebelum hari sidang. Ketentuan ini adalah untuk mencegah adanya permintaan pengeluaran benda sitaan yang bersifat mendesak atau terburu-buru, dan pada saat sidang dimulai barang bukti yang diperlukan sudah siap untuk dihadapkan ke persidangan. Untuk mengeluarkan benda sitaan guna keperluan sidang pengadilan, petugas RUPBASAN harus:

a.Meneliti surat permintaan pengeluaran benda sitaan negara

b.Membuat berita acara serah terima dan menyampaikannya kepada instansi yang menyita

c.Mencatat lama peminjaman benda sitaan negara, dalam register yang tersedia

Benda sitaan negara hanya digunakan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Apabila digunakan untuk kepentingan lain tentunya tindakan tersebut tidak


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)