Critical Review Jurnal Analisa Lokasi da

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan ritel modern di Indonesia terbilang cukup pesat terlebih dengan dimulainya
era otomi daerah. Otonomi daerah membuat masing-masing daerah berlomba-lomba untuk
meningkatkan perekonomian di daerahnya, salah satu cara adalah dengan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ritel modern merupakan sumber pemasukan untuk PAD
khususnya ritel modern yang berkapasitas besar seperti hypermarket atau supermarket
(Bappeda Kota Bandung, 2007; Natawidjaja, 2005).
Fenomena lain yang terjadi adalah tumbuhnya ritel modern berskala kecil seperti
minimarket di pinggiran kota-kota besar di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu
perkembangan minimarket sudah mulai merambah kota-kota kecil. Hal ini merupakan warna
baru bagi kota-kota tersebut sehingga tak dapat dipungkiri bahwa minimarket mempunyai daya
tarik tersendiri dimata masyarakat.
Bila sebelumnya masyarakat hanya dapat berbelanja di toko kelontong atau warung
tradisional dengan fasilitas yang terbatas, maka dengan adanya minimarket masyarakat mulai
dikenalkan dengan konsep belanja yang nyaman dan tampilan barang yang menarik sehingga
tak jarang minimarket berubah menjadi sarana “rekreasi” bagi masyarakat (Ma’ruf, 2006).
Pola persebaran minimarket pada kota-kota kecil mempunyai pola tersendiri dan untuk
mengamati pola tersebut diperlukan eksplorasi teori lokasi yang dalam hal ini adalah teori lokasi

central place (Christaller,1993). Dengan mengacu kota Bandung sebagai kota besar, maka
didapatkan 3 kota kecil disekitarnya yang memiliki fungsi perkotaan dan karakteristik yang
berbeda Soreang (kawasan pemerintahan), Lembang (kawasan pariwisata) dan Tanjung SariJatinangor (kawasan pendidikan dan perdagangan) yang diharapkan dapat mewakili pola
persebaran ritel modern skala kecil pada kota-kota kecil di Indonesia.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui implikasi teori-teori
lokasi terhadap fenomena lokasi dan keruangan yang terbentuk dalam wilayah dan kota.

BAB II
Pembahasan

2.1 Konsep dasar teori lokasi


Teori Central Place (Eppli dan Benjamin, 1993)
Teori Central Place merupakan teori yang ditemukan oleh Christaller pada
pertengahan tahun 1933. Teori ini membuat model perilaku para pengusaha ritel secara
spasial. Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan
masalah penentuan jumlah, ukuran dan pola penyebaran kota-kota berdasarkan asumsi
yang ia buat. Adapun asumsi-asumsi yang dikemukakan antara lain:


Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam.

Lokasi memiliki jumlah penduduk yang merata.

Lokasi mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang
merata.

Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa.

Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki
kesempatan yang relatif sama untuk pergi ke dua pusat pasar itu. Dalam kenyataannya,
konsumen atau masyarakat tidak selalu rasional dalam memilih barang atau komoditi
yang diinginkan Keterba-tasan sistem tempat pusat dari Christaller ini meliputi beberapa
kendala, antara lain:
-

Jumlah penduduk.

-


Pola aksesibilitas.

-

Distribusi.
Bentuk

jangkauan

pelayanannya

heksagonal

sehingga

model

ini


menggambarkan lokasi optimal bagi gerai ritel karena mengkombinasikan antara jarak
tempuh konsumen dengan skala ekonomi optimal ritel.



Teori Ekonomi Aglomerasi Ritel (Hotelling, 1993)
Teori ini membuat model yang menggambarkan kegiatan ritel kedalam satu
tempat guna memaksimalkan utilitas konsumen. Teori ini menyebutkan jika terdapat dua
perusahaan yang menjual barang yang sama, maka mereka akan beraglomerasi di
pusat pasar. Secara spesifik, perbedaan sedikit harga tidak akan membuat pelanggan
beralih ke toko lain karena pelanggan memilih toko berdasarkan hal-hal non harga
seperti pelayanan dari si pedagang, kualitas barang dan lain-lain.
Menurut Webber (1972) dalam Eppli dan Benjamin (1993) berpendapat bahwa
teori ini akan terjadi jika konsumen berada dalam kondisi ketidakpastian dalam
menemukan barang yang diinginkan di ritel tertentu. Sehingga ia akan berbelanja pada
ritel yang beraglomerasi sehingga dapat mengurangi biaya pencarian dan terjadi
perbandingan antar toko.
Disisi lain pengelompokan perusahaan di pusat pasar akan menyebabkan
ketidakefisienan secara sosial dan ekonomi bagi peritel karena terjadi tumpang tindih
dalam menangkap pelanggan sehingga tidak akan tercapai ekuilibrium. Sementara

Eaton dan Lipsey (1979) dalam Eppli dan Benjamin (1993), menyebutkan bahwa teori
Hotelling secara sosial berguna karena mempertimbangkann keinginan konsumen
dalam hal untuk membandingkan toko namun selagi harga diasumsikan tetap,
aglomerasi ini juga akan bersifat tidak efisien dan tidak menguntungkan bagi konsumen.

2.2 Alasan pemilihan lokasi
Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
lahan di kota besar menyebabkan kegiatan ritel mulai memasuki kota-kota kecil di sekitar kota
besar khususnya minimarket. Kota-kota kecil tersebut dipilih berdasarkan perbedaan fungsi
kota, antara lain Kawasan Perkotaan Soreang sebagai kawasan pemerintahan, Kawasan
Perkotaan Tanjungsari sebagai kawasan perdagangan dan pendidikan, dan Kawasan
Perkotaan Lembang sebagai kawasan pariwisata.
Secara umum, persebaran toko pengecer modern di 3 kota kecil terpilih (Tanjungsari,
Soreang, dan Lembang) berlokasi di pinggiran jalan-jalan utama. Hal ini mengindikasikan
bahwa lokasi pusat kegiatan tersebut menarik pangsa pasar yang sangat besar dimana hal ini
berkaitan dengan aktivitas pergerakan pada jalan tersebut. Berbeda halnya dengan toko
memilih untuk berada pada kawasan permukiman karena kedekatan lokasi toko pengecer
tradisional dengan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu upaya meminimasi biaya
transportasi konsumen.


Dari ketiga kota terpilih, jumlah penduduk terbesar ada di Kawasan Perkotaan Soreang
khususnya di kawasan perdagangan. Besarnya jumlah penduduk ini juga menyebabkan jumlah
pengecer modern dan tradisional di Kawasan Perkotaan Soreang berkembang pesat. Meskipun
fungsi utama Kawasan Perkotaan Soreang adalah pusat pemerintahan dan pemukiman, namun
perkembangan pengecer dan tradisional terpusat di kawasan perdagangan dibandingkan pada
kawasan pemerintahan dan permukiman.
Berbeda dengan Kawasan Perkotaan Tanjungsari. Walaupun, fungsi utama Kawasan
Perkotaan Tanjungsari sebagai kawasan perdagangan, namun perkembangan pengecer
modern (minimarket) dan tradisional terpusat di kawasan pendidikan. Keberadaan perguruan
tinggi memberikan bangkitan permintaan yang lebih besar dari pusat perdagangannya.
Sementara pada Kawasan Perkotaan Lembang, perkembangan pengecer modern (minimarket)
dan tradisional teralokasi di pinggir jalan utama khususnya berdekatan dengan sarana
pariwisata seperti hotel, restoran, toko oleh-oleh, dan pasar turis.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di setiap kawasan di
dalam suatu kota berbanding lurus dengan jumlah toko. Semakin besar jumlah penduduk di
suatu kawasan, maka jumlah minimarket dan toko tradisionalpun semakin besar. Selain itu,
terdapat juga fenomena beraglomerasinya toko pengecer di satu lokasi khususnya pengecer
modern. Jika melihat dari persebarannya, pengecer modern tersebut beraglomerasi di kawasan
yang memiliki bangkitan yang tinggi baik dari jumlah penduduk setempat maupun kegiatan yang
menyebabkan bangkitan tinggi seperti perdagangan dan pendidikan.

2.3 Faktor-faktor lokasi


Teori central place
Penduduk diasumsikan berada pada tingkat yang sama akan tersebar merata di
seluruh wilayah sehingga jarak adalah satu-satunya hambatan bagi konsumen dalam
melakukan perjalanan. Berdasarkan teori central place terdapat dua hal mendasar yang
menjadi pertimbangan yaitu jarak dan ambang batas dimana:
-

Range (jarak)
Merupakan jarak yang harus ditempuh penduduk untuk mencapai pasar yang
menjual kebutuhan komoditi atau barang. Misalnya seseorang ingin membeli kue
di pasar tertentu, range adalah jarak antara tempat tinggal orang tersebut dengan
pasar lokasi tempat dia membeli kue. Apabila jarak ke pasar tersebut terlampau

jauh maka penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang
lebih dekat.
-


Threshold (ambang batas)
Merupakan jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan demi
kelangsungan usahanya. Konsumen inilah yang menunjang kesinambungan
pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan. Dari komponen

range dan

threshold lahir prinsip optimalisasi pasar (market optimizing principle). Apabila
sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran bertemu
dengan pusat yang lain maka akan terjadi daerah yang bertampalan.

Gambar 1 : Threshold dan Range dalam Central Teory



Perkembangan Ritel Modern Indonesia
Perkembangan ritel modern di Indonesia dimulai pada tahun 1968 dimana hanya
terdapat satu supermarket. Kemudian setelah tahun 1983, jumlah ritel modern (termasuk
minimarket) meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan
peningkatan pendapatan per kapita di Indonesia. Namun pertumbuhan ritel modern sempat

terhambat dengan adanya krisis ekonomi pada tahun 1998 sehingga jumlah supermarket
menurun sebesar 13% (Natawidjadja, 2005).
Pada negara maju, jenis ritel modern yang berukuran besar seperti Supermarket
dan Hypermarket umumnya berlokasi di daerah pinggiran kota dan jauh dari keramaian
dengan tujuan melayani masyarakat pinggiran kota tanpa harus membebani lahan di pusat
kota (Jones and Simmons, 1990). Namun di Indonesia tidak semua ritel modern
berkapasitas besar berlokasi di pinggir kota karena seiring berjalannya waktu, terjadi
pergeseran lokasi pendirian menjadi ke pusat kota.

Gambar 2 : Perkembangan ritel Indonesia tahun 1997-2003



Perkembangan Kebijakan (Produk Hukum) Ritel Modern Indonesia
Kebijakan yang mengawali penanganan terhadap ritel modern di Indonesia
adalah Keputusan Presiden No. 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup
dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman
Modal. Dalam kebijakan ini disebutkan bahwa perdagangan eceran skala besar (mall,
pusat pertokoan /perbelanjaan) dan perdagangan besar (distributor, perdagangan
ekspor dan impor) diperbolehkan dimiliki oleh negara atau badan hukum asing.

Secara spasial, penataan lokasi ritel modern tersebut diatur dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Kebijakan ini menyebutkan
pendirian pusat perbelanjaan atau toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial
dan memperhatikan jarak ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha
Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan.
Sedangkan ritel modern jenis minimarket boleh beroperasi pada setiap sistem
jaringan jalan termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan
lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. Dengan dua hal yang diatur tersebut
maka akan terdapat lokasi dimana minimarketdan pasar tradisional berdampingan,
bertemu pada hirarki jalan yang sama yaitu pada jalan lingkungan.

2.4 Implikasi teori terhadap lokasi yang dipilih


Kawasan Perkotaan Tanjungsari
Kawasan Perkotaan Tanjungsari yang memiliki jarak 30 km dari Kota Bandung dan
merupakan daerah yang diarahkan untuk membantu mengendalikan arus desa kota dan
ketergantungan pelayanan ke kota Bandung (counter magnet). Sebagai Kota yang
mendapat dampak dari modernisasi perkotaan, Kawasan Perkotaan Tanjungsari juga

mengalami perkembangan pada sektor-sektor penunjang perkotaan, khususnya pada
sektor perdagangan.
Ritel modern di Kawasan Perkotaan Tanjungsari terdiri dari 2 toko berupa pasar
swalayan yang berada di pusat kegiatan pendidikan dan pusat perdagangan serta 7 toko
berupa minimarket yang tersebar di seluruh pusat kegiatan di kota. Toko di Kecamatan
Tanjungsari tersebar di pusat-pusat kegiatan dan permukiman untuk menunjang kebutuhan
masyarakat selaku konsumen di Kota Tanjungsari.
Sementara untuk pengecer tradisional berupa toko kelontong /warung sangat besar dan
tersebar hampir di seluruh wilayah Kota Tanjungsari. Perkembangan Kota Tanjungsari
yang bersifat ribbon development menjadi salah satu penyebab toko kelontong dan
minimarket terkonsentrasi di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kota
Tanjungsari dengan kota lain. Jumlah toko kelontong dan minimarket

di kawasan

pendidikan lebih banyak daripada kawasan perdagangan karena bangkitan konsumen di
kawasan pendidikan lebih tinggi dibandingkan di kawasan perdagangan.


Kawasan Perkotaan Soreang
Kota Soreang berfungsi sebagai kota satelit 1 dalam Wilayah Metropolitan Bandung
dengan fungsi spesisik sebagai pusat pemerintahan, industri pertanian, perdagangan, dan
permukiman. Pada Kawasan Soreang indikasi ini terlihat dengan mulai berdirinya
minimarket yang berlokasi di sepanjang jalan arteri sekunder (Jalan Terusan Kopo-Jalan
Raya Soreang) dengan pertumbuhan kota yang berpola ribbon development.
Persebaran toko kelontong teralokasi di Desa Cingcin, Soreang dan Pamekaran.
Namun, untuk persebaran minimarket hanya terdapat di desa Pamekaran, Cingcin dan
Sekarwangi. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Desa Soreang memiliki jumlah
penduduk yang besar dan pemusatan toko pengecer tradisional yang besar dibandingkan
Desa Pamekaran, namun tidak terdapat minimarket di desa tersebut. Hal ini dikarenakan
Desa Soreang dan Pamekaran sebelumnya adalah satu desa yang kemudian pada tahun
2000-an terjadi pemekaran sehingga Desa Pamekaran terbagi menjadi 2 Desa.

Penetapan fungsi Desa Pamekaran sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan
menimbulkan bangkitan yang tinggi sebagai pangsa pasar minimarket. Minimarket yang
berada di kawasan pemerintahan hanya terdapat di dalam kawasan perkantoran
Pemerintahan dan berbentuk koperasi. Hal ini diduga minimarket tersebut diprioritaskan
untuk melayani kebutuhan karyawan.
Sementara banyaknya minimarket di kawasan perdagangan memiliki pangsa pasar
yang lebih besar. Lokasinya yang berada pada pinggiran jalan utama membuat pangsa
pasar yang lebih luas.


Kawasan Perkotaan Lembang
Berdasarkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Barat
dimana kedudukan Kabupaten Bandung Barat dalam Lingkup Metropolitan Bandung
sebagai wilayah yang mendukung pengembangan Kota Inti (Bandung-Cimahi) maka
Lembang merupakan Kota Satelit I.
Berdasarkan arah pengembangan dan kedekatan dengan Kota Bandung, kegiatan
ekonomi di Lembang cukup berkembang. Salah satunya adalah perdagangan. Salah satu
kegiatan yang berkembang di kota ini adalah ritel modern yang diwakili oleh minimarket
yang diakibatkan proses modernisasi.
Persebaran minimarket dan toko kelontong Kota Lembang tidak hanya berlokasi di
sepanjang jalan utama yaitu Jalan Raya Lembang, namun juga terdapat di permukiman
penduduk. persebaran minimarket teralokasi di Desa Jayagiri, Lembang dan Kayuambon.
Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Desa Jayagiri dan Lembang memiliki konsentrasi
penduduk yang tinggi sehingga persebaran minimarket dimungkinkan karena alasan
demografis.
Jika dilihat dari persebarannya, terdapat 3 minimarket yang berlokasi di jalan utama
tersebut berada di pusat kota, bahkan ada yang posisinya beraglomerasi. Ketiga
minimarket tersebut berlokasi di desa Jayagiri dan Lembang. Aglomerasi ini terjadi karena
di dekatnya terdapat pasar turis sehingga dapat menangkap pangsa pasar dari wisatawan.
Kemudian terdapat juga minimarketyang berlokasi di jalan lokal yang berlokasi di Desa
Lembang dan Kayu Ambon. Hal ini dikarenakan lokasi minimarket berdekatan dengan
pasar tradisional penduduk. Keberadaan minimarket tersebut memanfaatkan potensi
pengunjung dari pasar serta permukiman setempat. Walaupun terdapat beberapa
minimarketyang berlokasi di jalan lokal, namun secara umum kegiatan perdagangan di
daerah permukiman masih didominasi oleh toko kelontong dibandingkan minimarket.

Gambar 3 : Persebaran Ritel Modern di Tanjungsari, Soreang, dan Lembang

2.5 Lesson Learned
Adapun Lesson Learned yang dapat diperoleh dari pembahasan diatas adalah:


Faktor-faktor yang mempengaruhi pola persebaran minimarket di Tanjungsari, Soreang,
dan Lembang adalah teori central place, perkembangan dan kebijakan ritel modern di
Indonesia.



Penentuan lokasi pasar menurut dipengaruhi Teori Central Place oleh jarak dan ambang
batas.



Perkembangan ritel modern di Indonesia membentuk kecenderungan lokasi minimarket
berada di pusat kegiatan.



Perkembangan kebijakan ritel modern di Indonesia menyebabkan minimarket dapat
berdampingan dengan pasar tradisional dan dapat berada pada jalan lingkungan.



Berdasarkan pola persebaran di Tanjungsari, Soreang, dan Lembang maka diperlukan
kebijakan mengenai jarak minimum antara ritel modern dengan pasar tradisional.

Daftar Pustaka


Aulia S, Astri., dkk. 2009. Pola Distribusi Spasial Minimarket di Kota-Kota Kecil. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. Volume 20



Lutfi. 2005. Analisis Optimalisasi Lahan di Kota Palu. Jurnal SMARTek. Volume 3



Central

Place

Teory.

2013.

file:///D:/kuliah/semester%205/Analisa%20Lokasi%20dan%20Ruang/teory%20central%2
0place.html. Diakses pada tanggal 5 November 2014 pukul 21.00 WIB.