PENDUGAAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN NILAI KOEFISIEN TANAMAN (Kc) KEDELAI ( Glycine max (L) Merril ) VARIETAS TANGGAMUS DENGAN METODE LYSIMETER

ABSTRACT

ESTIMATION OF WATER REQUIREMENT AND CROP COEFFICIENT
(Kc) OF SOYBEAN ( Glycine max (L) Merril ) VARIETY OF
TANGGAMUS WITH LYSIMETER
By
TIA YULIAWATI

Soybean plays an important role in economy of indonesia that it is the raw
material of tempe. However; a problem is arise because unbalance between the
production and consumption. The price of soybean has made farmers not willing
to cultivate soybean. Other problem is complexity of the soybean cultivation, and
especialy for water scarcity. Therefore; water requirement of soybean needs to be
seriously calculated. The aims of this research was to to determine the water
requirement of soybean by measuring evapotranspiration of local varieties of
soybean directly by using lysimeter. This research was conducted at the
Integrated Field Laboratory University of Lampung and Laboratory of Water and
Land Resources Engineering of Agriculture Biological Engineering of
Department of Agriculture, University of Lampung starting from 4 November
2013 to Jan 20 2014. Field observations were carried out with two 2 x 3 meters
lysimeter, one to measure the crop evapotranspiration (ETc) of Tanggamus variety

and the other one was used to measure the grass evapotranspirationas as standard
evapotranspiration (potential).
The results showed that the total water
requirement of soybean (ETc) for Tanggamus is 490.02 mm with the total pergrowth phase each 80.3; 72.2; 234.5 and 102.5 mm. Crop coefficients (Kc) of
soybean in the early growth phase, active vegetative, fertilization or seed pod
filling and maturity for Tanggamus are found to be 0:48; 0.69; 0.9; 0.78.

Keywords : soybean, lysimeter, evapotranspiration, crop coefficient.

ABSTRAK

PENDUGAAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN NILAI KOEFISIEN
TANAMAN (Kc) KEDELAI ( Glycine max (L) Merril ) VARIETAS
TANGGAMUS DENGAN METODE LYSIMETER
Oleh
TIA YULIAWATI

Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia.
Namun, permasalahan yang baru-baru ini terjadi adalah ketersediaan kedelai yang
terus-menerus berkurang.

Produksi kedelai yang tidak seimbang seiring
bertambahnya jumlah dan kebutuhan penduduk merupakan salah satu penyebab
kelangkaan komoditi kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai salah satu hal
yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan tanaman kedelai adalah kebutuhan
air tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan air tanaman
kedelai dengan cara mengukur evapotranspirasi tanaman kedelai varietas lokal
secara langsung dengan menggunakan lysimeter. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung dan Laboratorium
Rekayasa Sumber Daya Air dan Lahan Jurusan Teknik Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung terhitung mulai tanggal 4 November 2013 – 20
Januari 2014. Pengamatan lapangan dilakukan pada dua bangunan lysimeter yaitu
untuk mengukur evapotranspirasi tanaman (ETc) kedelai varietas Tanggamus dan
yang satu petak ditanami rumput sebagai evapotranspirasi standar (potensial)
dengan ukuran 2 x 3 meter. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa total kebutuhan
air tanaman kedelai (ETc) varietas Tanggamus adalah 490.02 mm dengan total
ETc per-fase berturut-turut adalah 80.3; 72.2; 234.5 dan 102.5 mm. Nilai
koefisien tanaman kedelai (Kc) pada fase pertumbuhan awal, vegetatif aktif,
pembuahan atau pengisian polong dan kematangan berturut-turut adalah 0.48;
0.69; 0.9; 0.78.


Kata kunci : kedelai, lysimeter, evapotranspirasi, koefisien tanaman.

PENDUGAAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN NILAI KOEFISIEN
TANAMAN (Kc) KEDELAI (Glycine max (L) Merril ) VARIETAS
TANGGAMUS DENGAN METODE LYSIMETER

Oleh

TIA YULIAWATI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknik Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG


BANDAR LAMPUNG
2014

PENDUGAAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN NILAI KOEFISIEN
TANAMAN (Kc) KEDELAI (Glycine max (L) Merril ) VARIETAS
TANGGAMUS DENGAN METODE LYSIMETER
(Skripsi)

Oleh
TIA YULIAWATI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

PERNYATAAN KEASLIAN HASIL KARYA

Saya adalah


Tia Yuliawati

NPM 1014071052

Dengan ini menyatakan bahwa apa yang tertulis dalam karya ilmiah ini adalah hasil
karya saya yang dibimbing oleh Komisi Pembimbing, 1) Dr. Ir. Tumiar K.Manik,
M.Sc. dan 2) Prof. Dr. Ir. R.A. Bustomi Rosadi, M.S. berdasarkan pada pengetahuan
dan informasi yang telah saya dapatkan. Karya ilmiah ini berisi material yang dibuat
sendiri dan hasil rujukan beberapa sumber lain (buku, jurnal, dll) yang telah
dipublikasikan sebelumnya atau dengan kata lain bukanlah hasil dari plagiat karya
orang lain.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila

dikemudian hari terdapat kecurangan dalam pembuatan hasil karya ini, maka saya siap
mempertanggungjawabkannya.

Bandar Lampung, 9 September 2014

Yang membuat pernyataan

(Tua Yuliawati)
NPM 1014071052

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 25 Juli
1992, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan
Bapak Gigih Bijaksono dan Ibu Purwiyati. Penulis
menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di
TK Kartika II-28 Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung
pada tahun 1998. Penulis menempuh pendidikan Sekolah
Dasar di SD Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 1998 - 2004. Sekolah
Menengah Pertama (SMP) penulis selesaikan di SMP Negeri 4 Bandar Lampung
pada tahun 2004 - 2007, dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas
(SMA) di SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2007 - 2010.

Pada Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui tes SNMPTN. Selama menjadi

mahasiswi, penulis mendapatkan beasiswa Bidik Misi selama 4 tahun. Penulis
pernah menjabat menjadi Anggota Departemen Dana dan Usaha (DANUS) di
Perhimpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (PERMATEP) pada periode 20112012 dan menjadi Asisten Dosen Riset Operasional pada semester genap tahun
ajaran 2013 – 2014.

Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Praktik Umum di Parung Farm, Bogor
dengan judul “Mempelajari Budidaya Bayam Hijau dengan Sistem Aeroponik di
Parung Farm Bogor” selama 30 hari mulai tanggal 1 Juli 2013 sampai dengan 3
Agustus 2013. Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Banjarejo, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Pringsewu selama 40 hari mulai
tanggal 20 Januari 2014 sampai dengan 3 Maret 2014.
Pada akhir tahun 2014, penulis berhasil menyelesaikan studi di Jurusan Teknik
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan skripsi yang berjudul
“Pendugaan Kebutuhan Air Tanaman dan Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Kedelai
(Glycine Max (L) Merril ) Varietas Tanggamus Dengan Metode Lysimeter”.

SANWACANA

Puji syukur Alhamudillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ” PENDUGAAN
KEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN NILAI KOEFISIEN TANAMAN (Kc)
KEDELAI ( Glycine max (L) Merril ) VARIETAS TANGGAMUS DENGAN
METODE LYSIMETER ” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian di Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulis, baik dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan
dari banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih
kepada :
1.

Dr. Ir. Tumiar K.Manik, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
membantu dan bersedia memberikan bimbingan, motivasi, saran, serta kritik
dalam proses penyelesian skripsi ini.

2.

Prof. Dr. Ir. R.A Bustomi Rosadi, M.S., selaku Dosen Pembimbing kedua
atas kesediaannya memberikan bimbingan, masukan, saran dan kritik yang
membangun dalam proses penyelesaian skripsi ini.


3.

Ahmad Tusi, S.TP., M.Si., selaku Dosen Penguji Utama pada ujian skripsi
serta selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas motivasi,
kritik, masukan dan saran dalam proses perkuliahan dan penyelesian skripsi
ini.

4.

Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.

5.

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.

6.


Bapak dan Ibu tercinta yang selalu mendoakan, membimbing, mendukung,
menasehati, dan tak henti-hentinya memotivasi. Adikku Dea Dwi Lestari dan
Tio Manggala Putra untuk semua bantuan dan dukungannya. Keluarga besar
penulis yang terkasih, om, tante dan semua sepupu-sepupuku. Terima kasih
atas dukungan, semangat, bantuan, dan doa yang selalu terucap untuk
keberhasilan penulis.

7.

Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 yang selalu menjadi motivasi dan
semangat dalam menjalankan kuliah.

8.

Seluruh Dosen dan Karyawan di Jurusan Teknik Pertanian atas bantuan dan
arahan yang telah diberikan. Serta Keluarga Besar Teknik Pertanian,
Angkatan 2007, 2008, 2009, 2011, 2012 dan 2013.

Penulis berharap Allah SWT membalas kebaikan Saudara-saudara, dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, 9 September 2014
Penulis

Tia Yuliawati

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia. Potensi
pertanian tersebut sangat besar, namun masih diperlukan penanganan yang baik
agar kebutuhan pangan tercukupi, terjangkau, aman dan merata. Permasalahan
yang baru-baru ini terjadi adalah ketersediaan kedelai. Hal ini dapat dilihat dari
hasil produksi kedelai nasional dari tahun 2010 hingga tahun 2012 yang terusmenerus mengalami penurunan.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013) perkembangan produksi kedelai nasional
mencapai 974.521 ribu ton di tahun 2009; 907.03 ribu ton di tahun 2010; 851.29
ribu ton di tahun 2011 dan 843.15 ribu ton di tahun 2012. Data ini membuktikan
bahwa produksi kedelai nasional mengalami penurunan yang cukup drastis,
sehingga mengakibatkan kelangkaan komoditi kedelai dan akhirnya memicu
terjadinya impor kedelai dan kenaikan harga.
Produksi kedelai yang tidak seimbang seiring bertambahnya jumlah dan
kebutuhan penduduk merupakan salah satu penyebab kelangkaan komoditi
kedelai. Menurut Suprapto (1999) penurunan hasil produksi kedelai disebabkan
oleh banjir, hujan terlalu besar pada saat panen, serangan hama, persaingan

2

dengan rerumputan, tingginya intensitas guna lahan menjadi daerah pemukiman
dan kekeringan. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai maka perlu adanya
peningkatan dalam produktivitas yaitu dengan cara teknologi pembudidayaan
yang lebih baik ataupun dengan perluasaan penanaman. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam pembudidayaan tanaman kedelai adalah kebutuhan air
tanaman.
Di lahan beririgasi atau di lahan sawah kebutuhan air pertanaman kedelai yang
diusahakan setelah padi lebih terjamin. Akan tetapi, ketersediaan air untuk
pertanaman kedelai akan menjadi masalah jika intensitas pertanaman padi dalam
setahun ditingkatkan, sehingga menyebabkan penurunan produksi kedelai.
Penyebab kemerosotan luas tanam dan panen kedelai adalah ketersediaan air yang
tidak terjamin (Fagi dan Tangkuman, 1985). Oleh karena itu, kebutuhan air
tanaman kedelai perlu diketahui agar pemberian air lebih efektif dan efisien serta
memberikan hasil panen yang baik.
Kebutuhan air tanaman sama dengan kehilangan air persatuan luas yang
diakibatkan oleh penguapan pada tanaman ditambah dengan hilangnya air melalui
penguapan permukaan tanah. Karena itu, kebutuhan air tanaman bagi satu
rumpun tanaman sama dengan banyaknya air yang hilang akibat evapotranspirasi
dalam satu satuan waktu (Fagi dan Tangkuman, 1985). Proses hilangnya air
akibat evapotranspirasi merupakan salah satu bagian penting dalam hidrologi
karena proses tersebut dapat mengurangi simpanan air dalam badan-badan air,
tanah dan tanaman. Apabila kebutuhan air pada tanaman kedelai dapat diketahui,
maka kebutuhan air pada areal luas dapat dihitung.

3

Laju evapotranspirasi dapat dihitung dan diestimasi dengan berbagai metode atau
dapat juga diukur secara langsung. Pengukuran evapotranspirasi secara langsung
dilakukan dengan alat yang dinamakan lysimeter. Sedangkan, beberapa metode
pendugaan yang dapat digunakan adalah metode Penman Monteith, metode
Blaney-Cridle, metode Jensen-Haise, metode Hagereaves, metode Thorntwaite,
metode Panci Evaporasi dan metode Radiasi (Hansen et al., 1992).
Metode pendugaan yang direkomendasikan oleh FAO adalah Penman Monteith,
tetapi metode ini dikembangkan di negara Sub-tropis dan membutuhkan banyak
unsur iklim dalam perhitungannya. Karena Indonesia merupakan negara Tropis
dan di tiap-tiap daerah memiliki ciri iklim yang berbeda-beda, maka diperlukan
adanya data lokal yang tepat untuk mengestimasi evapotranspirasi yang terjadi
pada tanaman kedelai di daerah Lampung. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui kebutuhan air tanaman kedelai dengan cara mengukur
evapotranspirasi tanaman kedelai varietas lokal secara langsung dengan
menggunakan lysimeter.

1.2

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menduga evapotranspirasi tanaman (ETc) kedelai varietas Tanggamus.
2. Menghitung nilai koefisien tanaman (Kc) varietas Tanggamus dengan metode
lysimeter.
3. Membandingkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai varietas
Tanggamus pada lysimeter dan petak lapang.

4

1.3

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan nilai koefisien tanaman (Kc)
untuk menduga kebutuhan air pada tanaman kedelai, sehingga dapat menjadi
dasar rekomendasi bagi penentuan jadwal tanam.

1.4

Kerangka Pemikiran

Tanaman kedelai merupakan tanaman daerah Sub-Tropis yang dapat beradaptasi
baik di daerah Tropis. Kedelai dapat tumbuh dengan baik dengan kelembaban
rata-rata 65%. Kedelai sebaiknya ditanam pada bulan-bulan yang agak kering,
tetapi air tanah masih cukup tersedia untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik
(Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, 2013).
Konsumsi air tanaman kedelai sangat bergantung terhadap iklim, pengelolaan
tanah atau lahan, dan lamanya pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air tanaman
dapat diartikan sebagai banyaknya air yang hilang dari lahan pertanaman setiap
satuan luas dan satuan waktu, yang digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (transpirasi) dan dievaporasikan dari permukaan tanah,
sehingga pada prinsipnya kebutuhan air tanaman adalah evapotranspirasi (Jumin,
2008).
Mengetahui kebutuhan air merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
produktivitas tanaman kedelai di lahan kering melalui pengaturan pengairan yang
baik. Kebutuhan air dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan oleh

5

tanaman pada suatu periode untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal
(Asdak, 1995).
Secara definisi, ETo adalah evapotranspirasi dimana keadaan permukaan tertutup
oleh rumput setinggi 8 – 15 cm, memiliki daun hijau yang secara sempurna
menutup permukaan tanah, terbebas dari hama atau penyakit dan memiliki air
yang berkecukupan sedangkan ETc adalah jumlah air yang dikembalikan lagi ke
atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh
faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi (Asdak,1995).
Jumlah air yang diperlukan setara dengan kebutuhan untuk evapotranspirasi
tanaman (ETc). Untuk menghitung evapotranspirasi tanaman (ETc) dapat
dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya :
1. Dengan menduga ETo dari rumput hijau yang ditanam dalam lysimeter dengan
tinggi yang seragam, bisa tumbuh aktif, secara lengkap menaungi permukaan
tanah dan tidak kekurangan air (Hansen et. al., 1992 ), kemudian ETc didapat
dengan mengalikan ETo dengan Kc.
2. Dengan mengukur evapotranspirasi tanaman (ETc) secara langsung dengan
menggunakan lysimeter yang ditanami tanaman tertentu.
Metode lysimeter merupakan metode langsung yang digunakan untuk mengukur
evapotranspirasi tanaman (ETc). Lysimeter atau tangki dibuat disesuaikan dengan
keadaan alamiah (keadaan lingkungan sekitar) (Hansen et. al., 1992). Unsur yang
diamati pada lysimeter adalah besarnya input dan output air yang berlangsung
pada sebidang tanah yang bervegetasi. Lysimeter yang akan digunakan yaitu tipe
drainase (drainage type).

6

Pada lysimeter, air masuk dan air keluar dapat dihitung, karena vegetasi dan tanah
terkurung dalam lysimeter, air masuk dapat diketahui dengan mengukur curah
hujan dan air yang ditambahkan (air siraman), sedangkan air yang keluar adalah
air perkolasi (Asdak, 1995).

Sumber : www.llansadwrn-wk.co.uk

Gambar 1. Skema lysimeter
Nilai evapotranspirasi acuan (ETo) didapat dari evapotranspirasi yang terjadi pada
rumput sedangkan evapotranspirasi tanaman (ETc) didapat dari metode lysimeter,
sehingga dari nilai tersebut koefisien konsumtif tanaman (Kc) dapat dihitung.
Koefisien konsumtif tanaman (Kc) dapat diartikan sebagai perbandingan antara
besarnya evapotaranspirasi tanaman dengan evaporasi acuan tanaman pada

7

kondisi pertumbuhan tanaman yang tidak terganggu atau dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
Kc =

���

���

…………………………………………………………………….

(1)

Keterangan :
Kc
ETc
ETo

= koefisien konsumtif tanaman
= evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
= evapotranspirasi acuan (mm/hari)

Manfaat dengan mengetahui nilai koefisien konsumtif tanaman (Kc) adalah dapat
menduga kebutuhan air tanaman pada tempat yang tidak memiliki data iklim yang
lengkap. Selain itu, digunakan untuk mengatur jadwal tanam kedelai di lahan
kering (Manik, dkk., 2010).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai

Kedelai merupakan tanaman yang menghendaki tanah yang gembur dan kaya
akan humas atau bahan organik agar dapat tumbuh dengan baik. Tanah berpasir
dapat ditanami kedelai asal air dan unsur hara untuk pertumbuhannya cukup.
Kedelai juga dapat tumbuh di tanah agak masam tetapi pH yang terlalu rendah
akan menimbulkan keracunan bagi tanaman karena kelebihan Al dan Fe. pH
tanah yang cocok berkisar antara 5,8 – 7 (Suprapto, 1999).
Karena Indonesia memiliki distribusi hujan yang berbeda-beda, maka waktu
tanam kedelai perlu diperhatikan. Pedoman waktu tanam yang baik untuk kedelai
disesuaikan dengan resiko yang paling kecil dan biaya pemeliharaan yang dapat
ditekan. Penanaman yang dilakukan pada musim hujan akan merugikan
pertumbuhan karena serangan penyakit dan hambatan dalam pengolahan lepas
panen.
Kedelai memiliki beberapa varietas unggul untuk tiap daerah. Berikut merupakan
beberapa deskripsi kedelai yang tahan terhadap kekeringan.

9

Tabel 1. Deskripsi beberapa varietas kedelai
Keterangan

Varietas Kaba

Varietas Wilis

Varietas Tanggamus

Tahun dilepas

22 Oktober 2001

21 Juli 1983

22 Oktober 2001

Hasil rata-rata

2,13 ton/ha

1,6 ton/ha

1,22 ton/ha

Asal

Silang ganda 16

Seleksi keturunan

Hibrida

Warna hipokitil

Ungu

Ungu

Ungu

Warna epikotil

Hijau

Hijau

Hijau

Warna Bunga

Ungu

Ungu

Ungu

Warna kulit

Kuning

Kuning

Kuning

Warna polong

Coklat

Coklat tua

Coklat

Warna hilum

Coklat

Coklat tua

Coklat tua

Bentuk biji

Lonjong

Oval pipih

Oval

Tipe tumbuh

Determinit

Determinit

Determinit

Umur berbunga

35 hari

± 39 hari

35 hari

Umur panen

85 hari

85–90 hari

88 hari

Tinggi tanaman

64 cm

± 50 cm

67 cm

Bobot 100 biji

10,37 g

± 10 g

11,0 g

Ukuran biji

Sedang

Kandungan protein

44,0%

37,0%

44,5%

Kandungan lemak

8,0%

18,0%

12,9%

Pengusul

Muchlish A, dkk

Sumarno, dkk.

Muchlish Adie, dkk

Sedang

Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian, 2004.

Di Lampung, kedelai pada tempat-tempat tertentu ditanam sampai tiga kali dalam
setahun. Tanam pertama pada bulan September, pada permulaan musim hujan,
tanam kedua pada bulan Februari-Maret dan tanam ketiga pada bulan Juni-Juli
(Suprapto, 1999).
Fase pertumbuhan tanaman kedelai terdiri dari fase vegetatif dan fase generatif.
Fase vegetatif dihitung sejak tanaman mulai muncul ke permukaan tanah sampai

10

saat mulai berbunga. Perkecambahan dicirikan dengan adanya kotiledon,
sedangkan penandaan stadia pertumbuhan vegetatif dihitung dari jumlah buku
yang berbentuk pada batang utama. Fase pertumbuhan reproduktif (generatif)
dihitung sejak tanaman kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong,
perkembangan biji, dan pemasakan biji (Adisarwanto, 2007). Tipe pertumbuhan
tanaman kedelai ada dua macam yaitu tipe ujung batang melilit (indeterminate)
dimana ujung batang tidak berakhir dengan rangkaian bunga dan tipe batang tegak
(determinate) dimana ujung batang berakhir dengan rangkaian bunga (Andrianto
dan Indarto, 2004).
Berikut merupakan deskripsi dari fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai.

Tabel 2. Penandaan fase pertumbuhan vegetatif kedelai
Singkatan Stadia

Tingkatan Stadia

Keterangan

VE

Stadia pemunculan

Kotiledon muncul ke permukaan
tanah

VC

Stadia kotiledon

Daun unfoliolat berkembang, tepi
daun tidak menyentuh tanah

V1

Stadia buku pertama

Daun terbuka penuh pada buku
unfoliolat

V2

Stadia buku kedua

Daun trifoliolat terbuka penuh pada
buku kedua di atas buku unfoliolat

V3

Stadia buku ketiga

Pada buku ketiga batang utama
terdapat daun yang terbuka penuh

Vn

Stadia buku ke-n

Pada buku ke-n, batang utama telah
terdapat daun yang terbuka.

Sumber : Adisarwanto, 2007.

11

Tabel 3. Penandaan fase pertumbuhan reproduktif kedelai
Singkatan Stadia

Tingkatan Stadia

Keterangan

R1

Mulai berbunga

Munculnya bunga pertama pada buku
manapun pada batang utama

R2

Berbunga penuh

Bunga terbuka penuh pada satu atau
dua buku paling atas pada batang
utama dengan daun yang telah terbuka
penuh

R3

Mulai berpolong

Polong telah terbentuk dengan panjang
0,5 cmpada salah satu buku batang
utama

R4

Berpolong penuh

Polong telah mempunyai panjang 2cm
pada salah satu buku teratas pada
batang utama

R5

Mulai pembentukan
biji

Ukuran biji dalam polong mencapai
3mm pada salah satu buku batang
utama

R6

Biji penuh

Setiap polong pada batang utama telah
berisi biji satu atau dua

R7

Mulai masak

Salah satu warna polong pada batang
utama telah berubah menjadi cokelat
kekuningan atau warna masak

R8

Masak penuh

95% jumlah polong telah mencapai
warna polong masak

Sumber : Adisarwanto, 2007.

2.2

Kebutuhan Air Tanaman

Konsumsi air tanaman kedelai sangat bergantung terhadap iklim, pengelolaan
tanah atau lahan, dan lamanya pertumbuhan tanaman. Musim, waktu tanam,
varietas kedelai, kerakteristik tanah, teknik bercocok tanam, dan ketersediaan air
mempengaruhi kerapatan daun, koefisien tanaman, dan evapotranspirasi.

12

Kebutuhan air tanaman kedelai di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 640–
750 mm selama pertumbuhan kedelai, namun di daerah tropis curah hujan
sebanyak 200 – 300 mm telah cukup guna pertumbuhan kedelai ( Fagi dan
Tangkuman, 1985).
Menurut Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (2013)
pengairan tanaman harus mencapai kapasitas lapang, terutama pada awal
pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan polong dan saat pengisian biji, sebab
kekeringan pada saat-saat tersebut dapat mengakibatkan merosotnya produksi.
Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian
polong.
Menurut hasil penelitian Oktaviani, dkk. (2013) rata-rata evapotranspirasi
tanaman kedelai yang ditanam pada bulan Oktober 2011 – Januari 2012 pada
tahap awal tumbuh, tahap perkembangan, tahap pertengahan dan tahap penuaan
berturut-turut adalah 4.24 mm/hari; 4.80 mm/hari; 6.08 mm/hari; 5.51 mm/hari
dan total ETc selama periode tumbuh tanam adalah 473.80 mm/hari dengan total
curah hujan 317.2 mm sedangkan menurut hasil penelitian Manik, dkk. (2010)
laju evapotranspirasi tanaman kedelai tertinggi adalah 20 mm/minggu atau 3
mm/hari.
Hidayat, dkk. (2006) mengatakan bahwa analisis neraca air dan penentuan waktu
tanam ditentukan berdasarkan tingkat ketersediaan air tanah dasarian. Hal ini
menunjukkan bahwa evapotranspirasi sangat diperlukan dalam analisis neraca air.
Analisis neraca air dapat digunakan dalam penentuan jadwal tanam yang baik
serta sebagai acuan dalam menentukan alternatif komoditas dan perkiraan awal
waktu tanam pada lahan-lahan yang tidak memilki jaringan irigasi.

13

2.3

Koefisien Tanaman (Kc)

Musim dan tingkat pertumbuhan tanaman merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi besarnya nilai Kc. Oleh sebab itu, erat kaitannya dengan
pertumbuhan tanaman dan perhitungan evapotranspirasi acuan tanaman (ETo).
Berikut merupakan nilai koefisien tanaman dari berbagai tanaman.

Tabel 4. Nilai koefisien konsumtif (Kc) pada beberapa tanaman

Kc mid

Kc end

Maximum
Crop Height
(h) (m)

0.7

1.05

0.95

0.3

Brussel sprout

0.7

1.05

0.95

0.4

Cabbage

0.7

1.05

0.95

0.4

Carrots

0.7

1.05

0.95

0.3

Cauliflower

0.7

1.05

0.95

0.4

Celery

0.7

1.05

1.00

0.6

Garlic

0.7

1.00

0.70

0.3

Lettuce

0.7

1.00

0.95

0.3

Spinach

0.7

1.00

0.95

0.3

Soy beans

-

1.15

0.5

0.5 – 1.0

Crop

Kc ini

Broccoli

1

Sumber : Allen et al., 1998.

Berdasarkan pada hasil penelitian Oktaviani, dkk. (2013) nilai Kc berturut-turut
untuk tanaman kedelai adalah sebesar 0.98; 1.12; 1.26; 1.10. Sedangkan menurut
Manik, dkk. (2012) Kc tanaman kedelai adalah 0.36 pada V1, 0.42 pada fase V2,
0.76 pada fase V3, 0.68 pada fase R1, 1.10 pada fase R3, 0.78 pada fase R5 dan
0.21 pada fase R6.

14

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Bamber and Mc Glinchey (2003)
terdapat perbedaan nilai ETc yang diperoleh dari penggunaan nilai Kc FAO untuk
mengkonfirmasi nilai kebutuhan pada tanaman tebu. Oleh karena itu, perlu
adanya penyesuaian lokasi dan kondisi cuaca yang berbeda untuk menghitung
nilai Kc.
Pada penelitian Consoli et. al. (2006) mengemukakan hal yang sama yaitu
perbedaan nilai Kc yang didapatkan dengan nilai Kc yang disarankan oleh FAO
untuk tanaman jeruk yang dihitung pada 4 kebun jeruk di California. Nilai Kc
yang didapat lebih besar dibandingkan nilai Kc FAO 24 dan FAO 56.

2.4

Evapotranspirasi

Menurut Usman (2004) hasil analisis dari penelitian yang telah dilakukan pada 5
stasiun klimatologi di Provinsi Jawa Barat menghasilkan nilai yang beragam
tentang pengaruh iklim pada metode pendugaan evapotranspirasi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kepekaan evapotranspirasi terhadap perubahan iklim sangat
bervariasi menurut tempat dan waktu, terutama pada metode yang
memperlihatkan respon yang sangat besar terhadap suhu.
Berbeda dengan penelitian Mujiharjo (2002) yang mengatakan bahwa adanya
hubungan linier yang relatif erat antara metode Blaney Cridle dan metode
Penman, sedangkan tidak adanya hubungan antara metode Panci Evaporasi dan
metode Penman jika dilihat dari ETp harian yang dalam perhitungannya
menggunakan menggunakan data di Stasiun Kuro Tidur, Bengkulu selama 16
tahun terakhir, mulai dari tahun 1985 sampai tahun 2000.

15

Ortega et.al. (2004) mengemukakan bahwa estimasi pendugaan evapotranspirasi
yang didasarkan pada persamaan Penman Monteith cenderung lebih tinggi pada
siang hari dan rendah pada malam hari. Hal ini disebabkan waktu siang yang
lebih panjang dibandingkan waktu malam hari. Namun model Penman Monteith
ini cukup baik digunakan untuk skala harian pada tanaman kedelai untuk semua
musim tanam dan jenis kondisi atmosfer.
Penelitian lain di Marathwada, India membandingkan metode Panci Evaporasi
dengan metode Penman-Monteith dalam menghitung ETo, metode Panci
Evaporasi adalah yang paling cocok untuk wilayah semi-arid (Gundekar et.al.,
2007). Sedangkan Singandhupe and Sethi (2005) mengatakan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan, dari enam metode pendugaan evapotranspirasi
yang digunakan, metode Hagrevess adalah yang paling cocok dibandingkan
dengan metode Penman-Monteith, metode Penman modifikasi, metode Radiasi,
metode Panci Evaporasi dan metode Blaney Criddle. Namun jika dibandingkan
dengan pengukuran langsung dengan menggunakan lysimeter lebih cocok untuk
tanaman gandum di lingkungan semi-arid di Rahuri, India. Hasil penelitian lain
memberikan alternatif untuk stasiun yang tidak memiliki lysimeter dapat
menggunakan metode Panci Evaporasi dengan mempertimbangkan iklim yang
tersedia (Runtunuwu, dkk., 2008).
Lain halnya dengan Parisi et.al. (2009) yang melakukan penelitian di sebuah
peternakan di Milano University yang terletak di Carnedo, Italy. Hasil
penelitiannya mengatakan bahwa adanya kedekatan nilai perhitungan
evapotranpirasi di bulan Maret 2008 dan bulan Agustus 2007. Hal ini dikarnakan

16

adanya persamaan data yang diambil dengan menggunakan lysimeter dan data
iklim harian yang didapat dari stasiun meterologi.
Sedangkan Manik, dkk. (2012) dalam papernya mengungkapkan bahwa
pendugaan laju evapotranspirasi yang dihitung dari data klimatologi pada dua
stasiun yang ada di Lampung yaitu stasiun Branti dan stasiun Klimatologi Masgar
tidak menghasilkan pendekatan yang erat dengan perhitungan laju
evapotranspirasi dari panci evaporasi. Hal ini diduga karena pengamatan
penurunan muka air pada panci evaporasi kurang teliti. Karena model Penman
Monteith direkomendasikan oleh FAO, maka model ini tetap dianjurkan untuk
menduga kebutuhan air tanaman pada tempat-tempat yang tidak memiliki laju
evaporasi. Namun, perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pendekatan yang
tepat untuk menduga laju evaporasi sehingga perencanaan irigasi dan pengaturan
jadwal tanam akan lebih tepat.

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013- Januari 2014 di
Laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung dan Laboratorium
Rekayasa Sumber Daya Air dan Lahan Jurusan Teknik Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.

3.2

Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Dua bangunan lysimeter untuk mengukur evapotranspirasi tanaman (ETc) dan
yang satu petak ditanami rumput sebagai evapotranspirasi standar (potensial)
dengan ukuran 2 x 3 meter. Selain itu, kedelai juga ditanam di sekeliling
lysimeter (petak lapang).

2.

Ombrometer di stasiun pengamat iklim Laboratorium Lapangan Terpadu.

3.

Varietas kedelai yang digunakan yaitu Tanggamus.

18

3.3

Pelaksanaaan Penelitian

MULAI
Persiapan Bahan dan Lahan

Penanaman
Pengumpulan Data

Data curah hujan pada
Ombrometer

Data air siraman dan air perkolasi
pada lysimeter

Analisis Data

Pembuatan draft laporan

SELESAI

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Data pertumbuhan dan
perkembangan tanaman

19

3.3.1

Analisis Sifat Fisik Tanah

Adapun analisis sifat fisik tanah meliputi :


Tekstur Tanah



Kapasitas Lapang



Titik Layu Permanen

Tabel 1. Sifat fisik tanah

Uraian

Keterangan

Tekstur Tanah

Liat

Kerapatan isi (g/cm3)

1,41

Kapasitas Lapang (% volume)

39,1

Titik Kritis (% volume)

30,7

Titik Layu Permanen (% volume)

22,3

Sumber : Balai Penelitian Tanah, Bogor,2013.

3.3.2

Persiapan Lahan

a. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pengolahan tanah
dilakukan sampai kedalam 15 – 20 cm.
b. Pembuatan Alur Tanam
Tanah yang telah digemburkan, dibuat alur dengan jarak tanam 20 x 40 cm.
Jumlah tanaman dalam tiap lysimeter adalah 54 tanaman.

20

40 cm

20 cm

2m

3m

Gambar 2. Model lahan tanaman kedelai pada lysimeter
c. Penanaman Benih
Benih kedelai yang akan digunakan sebelum ditanam direndam dalam air selama
10 menit dengan tujuan untuk merangsang percepatan pertumbuhan kotiledon.
Setelah itu, dipilih benih yang tenggelam. Benih kedelai ditanam antara 2-3 cm
dalam tanah. Benih yang ditanam pada tiap lubang sebanyak 2 buah, setelah
benih berumur 2 minggu, dilakukan penjarangan menjadi satu tanaman dalam
tiap lubang.

21

3.3.3

Pemeliharaan Tanaman

a. Pemberian Pupuk
Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, KCl, dan NPK dengan dosis KCl 50
kg – 100 kg/ha, dan Urea 50 kg/ha. NPK 75 kg – 200 kg/ha, atau setara dengan
30-60 g/lysimeter, Urea 30 g/lysimeter, dan NPK 45-120 g/lysimeter. Pupuk
diberikan setelah pengolahan tanah dilakukan atau sebelum penanaman benih.
Pupuk diberikan dengan cara disebar secara merata keseluruh bagian tanah dalam
lysimeter.

b. Pemberantasan Gulma
Penyiangan dilakukan saat gulma tumbuh disekitar tanaman. Pemberian
insektisida juga dilakukan disesuaikan dengan keperluan, yaitu menurut intensitas
serangan atau populasi hama. Penyemprotan insektisida pada tanaman dilakukan
apabila terdapat tanda-tanda terserang penyakit sehingga tanaman bebas dari
serangan hama dan dapat berkembang dengan baik.

3.3.4

Pengambilan Data

a. Data ETc dengan Menggunakan Lysimeter


Mengukur Curah Hujan

Data curah hujan didapat dari stasiun pengamat iklim Laboratorium Lapangan
Terpadu menggunakan alat yang bernama Ombrometer. Curah hujan diukur
setiap pagi hari. Data yang didapat merupakan data curah hujan hari
sebelumnya begitupun seterusnya.

22



Mengukur Pemberian Air Irigasi

Irigasi diberikan setiap pagi hari sesuai jumlah air yang dibutuhkan dalam tiap
lysimeter. Volume irigasi yang dihasilkan, dihitung sesuai tinggi irigasi (mm)
dengan rumus :
I(mm) =

� (dm 3)

.........................................................................................

(3)

Keterangan :
I (mm)
i (dm3)
A


= irigasi (mm)
= air irigasi yang ditambahkan (dm3)
= luas permukaan yang diirigasi (dm2)

Mengukur air perkolasi

Air perkolasi dihitung dari jumlah air yang tertampung dalam wadah. Air
yang tertampung dalam wadah diamati dan dihitung setiap pagi hari. Air yang
tertampung akan diukur dengan menggunakan gelas ukur, sehingga dapat
dihitung berapa banyak air perkolasinya dengan satuan mm.


Mengukur Kadar Air Tanah

Pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan cara gravimetrik. Pengukuran
kadar air tanah dilakukan pada setiap awal dan fase pertumbuhan. Pada
metode ini kandungan air dalam tanah (kelengasan tanah) dinyatakan dalam
persen berat air (dalam tanah tersebut) terhadap berat tanah kering (kering
oven, 100-110oC). Adapun tahap-tahap yang dilakukan yaitu mengambil tiga
sampel tanah pada tiap lysimeter, lalu dioven selama 1 x 24 jam lalu timbang
(berat kering). Rumus yang digunakan yaitu :

% KA =

− �


� 100 %..............................................................................

(3)

23

Keterangan :
KA = Kadar Air
BB = Berat Basah (gram)
BK = Berat Kering (gram)

b. Data Tanaman


Parameter tanaman dilakukan dengan pengukuran pada 5 sample tanaman
pada ysimeter dan petak lapang.



Tinggi Tanaman (cm), diukur mulai dari pangkal batang pada permukaan
tanah sampai ujung daun tertinggi (titik tumbuh) dan dilakukan 1 minggu
sekali.



Jumlah daun per tanaman (helai) dan dilakukan 1 minggu sekali selama fase
vegetatif.



Indeks luas daun (cm2) diukur sesuai dengan jumlah tanaman, tiap daun dalam
tiap tanaman dicari luasnya, lalu dijumlahkan, setelah itu dibagi jumlah daun
pada tanaman tersebut.



Jumlah polong (buah), yaitu dihitung mulai dari keluarnya polong pertama
pada fase generatif sampai panen.



Berat berangkasan atas (gram), berat berangkasan bawah (gram) serta jumlah
biji (biji) dihitung pada saat panen.



3.4

Berat kering biji (gram) dihitung pada saat panen.

Analisis Data

Data perhitungan dan pengamatan yang diperoleh akan dianalisis dan disajikan
dalam bentuk table dan grafik.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka didapat kesimpulan sebagai berikut :
1.

Total kebutuhan air tanaman kedelai (ETc) untuk varietas Tanggamus adalah
490.02 mm air dengan total ETc per-fase berturut-turut adalah 80.3 ; 72.2;
234.5 dan 102.5.

2.

Nilai koefisien tanaman kedelai (Kc) untuk varietas Tanggamus pada fase
pertumbuhan awal, vegetatif aktif, pembuahan atau pengisian polong dan
kematangan biji berturut-turut adalah 0.48; 0.69; 0.9; 0.78.

3.

Kc FAO yang dibandingkan dengan Kc yang didapat dari lysimeter memiliki
nilai yang lebih rendah pada fase pertumbuhan awal, hampir sama pada fase
namun lebih tinggi pada fase pembuahan dan mendekati pada stadia akhir
pertumbuhan (kematangan biji). Hal tersebut menunjukkan kedelai lokal
membutuhkan lebih banyak air di awal pertumbuhan dibandingkan yang
diprediksi FAO.

4.

Tanaman di dalam lysimeter tumbuh lebih baik jika dibandingkan dengan
petak lapang. Ini membuktikan bahwa tanaman kedelai tetap lebih baik jika
kebutuhan air tersedia.

43

5.2

Saran

Untuk menyempurnakan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan
varietas yang berbeda serta waktu penelitian pada bulan yang berbeda dan pada
tempat yang berbeda untuk membandingkan nilai evapotranspirasi tanaman dan
nilai koefisien tanamannya agar lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2007. Budidaya Kedelai dengan Pemupukan yang Efektif dan
Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Swadaya. Jakarta. 170 hlm.
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith. 1998.Crop Evapotranspiration:
Guidelines for computing crop water requirements. Irrigation and
Drainage Paper 56, Food and Agriculture Organization of the United
Nations, Rome, 300 p.
Andrianto, T.T dan N.Indarto, N. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Absolut. Yogyakarta. 134 hlm.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013.http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 9
September 2013.
Balai Penelitian Tanah. 2013. Hasil Analisis Contoh Fisika Tanah. Laboratorium
Ilmu Tanah. Bogor.
Bamber, N.G.I dan M.G., Mc.Glinchey. 2003. Crop Coeffiicients and water-use
Estimates For Sugarcane Based on Long-term Bowen Ratio Energy
Balance Measurements. Field Crops Research. 83:125-138.
Consoli, S, N. O’Conell, dan R. Snyder. 2006. Estimation of Evapotranspiration
of Different-Sized Navel-Orage Tree Orchards Using Energy Balance.
Journal of Irrigation and Drainage Engineering. 1(2):132.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2004. Prospek dan
Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman
Teknis Pengelolaan Produksi kedelai.
Fagi, A.M dan F.Tangkuman. 1985. Pengolahan Air untuk Tanaman Kedelai.
Balai Penelitian Tanaman Pangan. Sukamandi. 119 hlm.

45

Gundekar, H.G, U.M Khodke, dan S. Sarkar. 2008. Evaluation of Pan Coefficient
for Reference Crop Evapotranspiration For Semi-arid Region. Irrig Sci
26 :169-175.
Hansen, V.E, O.W. Israelsen, O.W.Israelsen, G.E.Stringham diterjemahkan oleh
E.P.Tachyan, dan Soetjipto. 1992. Dasar – dasar dan Praktek Irigasi.
Erlangga. Jakarta. 407 hlm
Hidayat, T, Y. Koesmaryono, dan A. Pramudia. 2006. Analisis Neraca Air Dalam
Penentuan Potensi Musim Tanam Tanaman Pangan di Provinsi Banten.
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Jurnal
Floratek. 2:55-62.
Jumin, H.S. 2008. Dasar-Dasar Agronomi. PT. Grafindo Persaja. Jakarta. 78 hlm.
Islami, T. dan W.H. Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP :
Semarang Press. Semarang. 242 hlm.
Linsley, R.K. dan J.B. Franzini. 1985. Teknik Sumber Daya Air. Erlangga.
Jakarta. 107 hlm.
Manik, T. K., R. B. Rosadi, A. Karyanto, dan A. I. Pratya. 2010. Pendugaan
Koefisien Tanaman untuk Menghitung Kebutuhan Air dan Mengatur
Jadual Tanam Kedelai di Lahan Kering. Jurnal Agrotropika. 15(2):7884.
Manik, T. K., R. B. Rosadi, dan A. Karyanto. 2012. Evaluasi Metode PenmanMonteith dalam Menduga Laju Evapotranspirasi Standar (ETo)di
Dataran Rendah Propinsi Lampung, Indonesia. Jurnal Keteknikan
Pertanian. 26(2):121-128.
Mujiharjo, S. 2002. Perbandingan Keeratan danBentuk Hubungan
Evapotranspirasi Potensial(ETp) Harian Dengan ETp Bulanan. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 4(1):42-48.
Oktaviani, S. Triyono, dan N. Haryono. 2013. Analisi Neraca Air Budidaya
Tanaman Kedelai (Glycine max [L] Merr.) pada Lahan Kering. Jurnal
Teknik Pertanian Lampung. 2(1):7-16.
Ortega-Farias, S, A. Olioso, R. Atntonioletti, dan N. Brisson. 2004. Evaluation of
the Penman-Monteith Model for Estimating Soybean Evapotranspiration.
Irrig Sci 23:1-9.
Parisi, S, L.Mariani, G.Cola dan T.Maggiore.2009. Miny-Lysimeter
Evapotrannspiration Measurements On Suburba Environment. Italian
Journal of Agrometeorology. (3):13-16.

46

Perkins, D. 2006. Use And Construction A Lysimeter To Measure
Evapotranspiration. http:/www.llansadwrn-wx.co.uk/evap/lysim.html.
Diakses tanggal 10 Oktober 2013.
Runtunuwu, E., H. Syahbudin dan A. Pramudia. 2008. Validasi Model Pendugaan
Evapotranspirasi:Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional.
Jurnal Tanah dan Iklim 27. 9(2):165-171.
Sanjaya, P. 2014. Penentuan Model Pendugaan dan Pengukuran Langsung ETo
dan Kc Untuk Penentuan Jadwal Tanam Tanaman Kedelai. Tesis. Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Singandhupe, R.B dan R.R Sethi. 2005. Estimation of Reference
Evapotranspiration and Crop Coefficient in Wheat Under Semi-Arid
Environment in India. Archieves of Agronomy and Soil Science.
51(6):619-631.
Suprapto, Hs. 1999. Bertanam Kedelai. Jakarta. Swadaya. 80 hlm.
Usman. 2004. Analisis Kepekaan Beberapa MetodePendugaan Evapotranspirasi
Potensial Terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Natur Indonesia. 6(2): 9198.