Dasar Hukum Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali

2. Output-based : Total Allowable Catch TAC Sementara itu, institusi atau kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanannya adalah : 1. Komite Koordinasi Perikanan Fisheries Coordination Committee. Sebuah komite yang dibentuk untuk menjaga kehormonisan pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus menjaga konflik antar nelayan. Anggotanya terdiri dari nelayan, pemerintah daerahpusat dan perguruan tinggi atau LSM yang berpengalaman terhadap kondisi perikanan di daerah tersebut 2. Kementrian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 3. Institusi Hukum dan Peraturan. Terdiri dari Undang-Undang UU Koperasi Perikanan, UU Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Laut TAC System, dll, UU Promosi Perikanan Pantai, UU Pelabuhan Perikanan dan UU Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan melindungi sumberdaya perikanan pantai. Semua UU ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap produksi perikanan. Selain itu, terdapat pula UU Fundamental Perikanan Suisan Kihon Hou untuk memberikan kepastian hukum pada seluruh aspek dalam sistem perikanan produksi, pengolahan, distribusi, komunitas dan konsumsi.

2.6. Dasar Hukum Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali

Semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan alat tangkap purse seine di Perairan Selat Bali maka untuk memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan bagi para nelayan, maka pada tanggal 20 Mei 1977 telah dikeluarkan kebijaksanaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di Perairan Selat Bali dalam bentuk Surat Keputusan Bersama SKB Gubernur Kepala Daerah KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. HK. 13977EKIe5277 tentang pengaturan bersama mengenai kegiatan penangkapan ikan di daerah Perairan Selat Bali. Di dalam SKB ini jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Perairan Selat Bali sebanyak 100 unit, dengan perincian Daerah Tingkat I Jawa Timur 50 unit dan Bali 50 unit. SKB ini kemudian direvisi pada tahun 1978, dimana jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di perairan Selat Bali sebanyak 133 unit dengan perincian Daerah Tingkat I Jawa Timur sebanyak 73 unit dan Bali 60 unit. Ketentuan ini masih dilanggar oleh nelayan purse seine karena jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi di Muncar jauh melebihi ketentuan hingga 200 unit sehingga pada tahun 1985 dikeluarkan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor : 7 tahun 1985 4 tahun 1985 dengan petunjuk pelaksanaannya berdasarkan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor : 02SKUtanI85523.4196UmK. Pada tanggal 14 November 1992, SKB ini disempurnakan menjadi SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 238 tahun 1992SKB 673 tahun 1992 dengan petunjuk pelaksanaannya berdasarkan Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Bali Nomor : 10 tahun 199402 tahun 1994 Dinas Perikanan Resort Muncar, 1999. Dasar hukum lain yang dipergunakan untuk mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di Perairan Selat Bali khususnya ikan Lemuru adalah : 1. Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 138 Tahun 1992674 Tahun 1992 tentang pengaturan dan pengendalian penggunaan purse seine di Perairan Selat Bali 2. Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 10 Tahun 199402 Tahun 1994 tentang petunjuk pelaksanaan kerjasama antar daerah Provinsi Jawa Timur dan Bali di bidang perikanan. 3. Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor : 392 Tahun 1994 Tanggal 19 Agustus 1994 Tentang penetapan jumlah ijin penangkapan ikan dengan jaring purse seine untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Jembrana dan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. 4. Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 523.417092Binoroda Tanggal 10 Desember 1992 Tentang Penertiban Pendaratan Ikan Lemuru di PPI Kedonganan 5. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomo 168 Tahun 1995 Tanggal 17 Oktober 1995 Tentang Penetapan Harga Dasar Lemuru 6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 17 Tahun 1991 Tanggal 5 Desember 1991 Tentang Ijin Usaha Perikanan. Adapun perbedaan antara Surat Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 7 Tahun 19854 Tahun 1985 dan No. 238 Tahun 1992674 Tahun 1992 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 7 Tahun 19854 Tahun 1985 dengan No. 238 Tahun 1992674 Tahun 1992 SKB Gubernur KDH Tk. I Jawa Timur dan Bali Tahun 1985 SKB Gubernur KDH Tk. I Jawa Timur dan Bali Tahun 1992 1. Daerah operasi penangkapan ikan : • Daerah I : perahu layartanpa motor 08 o 40’ LS-114 o 33’ BT 08 o13 ’ LS-114 o 27’ BT 08 o 30’LS-114 o 33’ BT • Daerah II : untuk kapalperahu motor 2. Jumlah purse seine yang diijinkan 273 unit Jatim=190 unit dan Bali=83 unit 3. Ukuran unit purse seine : • Panjang : maks 150.00 m • Mata jaring : min 1 inchi 4. Tanda pengenal SKB Kepala Dinas Perikanan Provinsi Dati I Jawa Timur dan Bali nomor : 02SKUtanI85 523.4196UmKabupaten Cilacap 5. Pengawasan Pemda Tingkat TkII setempat berkoordinasi dgn unsur SATGAS-KAMLA 6. Pemasaran ikan hasil tangkapan harus dijual ke TPI dimana ijin diperoleh 1. Ditegaskan kembali koordinatnya : • Daerah I : Perahu layartanpa motor 08 o 40’ LS-114 o 33’ BT 08 o 30 LS-114 o 33’ BT 08 o 30’LS-114 o 53’ BT 08 o 13’ LS-114 o 27’ BT 08 o 13 LS-114 o 23’ BT • Daerah II Tetap 2. Tetap 3. Ukuran unit purse seine • Panjang : maks 300.00 m • Dalam : 60.00 m • Mata jaring : min 1 inchi 4. Tanda pengenal SKB Kepala Dinas Perikanan Provinsi Dati I Jawa Timur dan Bali nomor : 10 Tahun 1992 02 Tahun 1992 5. Pengawasan tetap,ditambah agar lebih ditingkatkan 6. Pemasaran tetap, ditambah antar KUD Mina kedua daerah dapat mengadakan kerjasama saling menguntungkan di Bidang pemasaran Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Bali, 2009

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI

Sumberdaya perikanan tropis seperti di Indonesia bersifat gabungan atau multipesies yang memiliki potensi sumberdaya perikanan pelagis yang cukup besar. Sumberdaya perikanan yang bersifat open access dan terjadinya ekspansi yang berlebihan pada industri perikanan merupakan gejala yang dapat mendorong kearah kerugian ekonomi atau mengakibatkan hilangnya rente ekonomi sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Gordon 1954. Model Gordon menyatakan bahwa didalam perikanan open access upaya penangkapan effort akan meningkat hingga ke tingkatan upaya penangkapan open access di mana total pendapatan sama dengan total biaya. Pada tingkat ini akan tercipta suatu keseimbangan pada usaha perikanan, dimana kekuatan ekonomi yang mempengaruhi nelayan dan kekuatan produktivitas biologi sumberdaya stabil keseimbangan bioekonomi. Pola pengelolaan perikanan Indonesia yang cenderung berorientasi pada produksi mengakibatkan produksi hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa produksi perikanan akan menuju atau melebihi titik Maximum Sustainable Yield MSY. Jika ini terus dibiarkan maka dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan atau tangkap lebih overfishing dan pada gilirannya akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan itu sendiri. Teori Gordon yang berkembang pada masyarakat perikanan juga menjelaskan apa yang disebut dengan overfishing Graham, 1952. Oleh karena sumberdaya perikanan bersifat