Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran

(1)

ABSTRACT

HERTI HERNIATI. Parenting style, self-concept, motivation and academic achievement of high school students on various learning models. Supervised by MELLY LATIFAH and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

The aims of this study were to analyze parenting styles, self-concept, learning and achievement motivation of high school students. The study focused of acceleration, international, and regular class. The study involved 86 eleventh grade students who purposively selected (26 students of acceleration class, 30 students of international class, and 30 students of regular class). The primary data (parenting style, self-concept, and motivation) was collected using structured questionnaires. Student’s achievement data was collected through student’s report cards. Data was analyzed with descriptive and inferential analysis. The result showed that more than half sample perceived authoritarian parenting style. About of 97,7 percent samples have positive self-concept. Accelerated class tend to have extrinsic learning motivation, while the international and regular classes tend to be intrinsic. Accelerated classes have higher the cognitive and psychomotor achievement than international and regular class. The correlation test showed the relationships between authoritarian and authoritative parenting style with self-concept, authoritative parenting style with intrinsic motivation, authoritarian parenting style with cognitive achievement, and self-concept with motivation. The research also showed a negatively relation between intrinsic motivation and academic achievement.

Keywords : parenting styles, self-concept, motivation, and academic achievement. ABSTRAK

HERTI HERNIATI. Gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa SMA. Penelitian ini difokuskan pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Penelitian ini melibatkan 86 siswa SMA kelas XI yang dipilih secara purposive (26 siswa akselerasi, 30 siswa SBI dan 30 siswa reguler). Pengambilan data (gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar) dilakukan dengan teknik pelaporan diri menggunakan bantuan kuesioner. Data prestasi siswa dikumpulkan melalui rapor siswa. Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan inferensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan otoriter. Sebanyak 97,7 persen contoh memiliki konsep diri positif. Siswa akselerasi memiliki motivasi belajar yang cenderung bersifat ekstrinsik, sedangkan siswa SBI dan reguler cenderung intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi kognitif dan psikomotorik yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi intrinsic, gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif), dan konsep diri dengan motivasi belajar. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan negatif motivasi intrinsik dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik).


(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, dan martabat manusia Indonesia. Upaya meningkatkan SDM dilakukan melalui upaya sadar lewat jalur pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah, salah satunya ditempuh melalui Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai tingkat pendidikan lanjutan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peningkatan mutu pendidikan tersebut juga muncul sebagai tuntutan karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Remaja merupakan salah satu sumberdaya manusia penting sebagai pelaksana dalam transformasi teknologi dan informasi yang akan datang tentunya perlu mendapat perhatian dalam bidang pendidikan yang tidak bisa lepas dari sasaran upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut Semiawan (2002) peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan.

Munculnya program-program belajar yang diselenggarakan sekolah, seperti adanya program kelas SBI dan akselerasi disamping kelas reguler merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diharapkan dapat mendorong prestasi dan keberhasilan siswa. Kelas internasional lebih digambarkan pada kelas yang dirintis dengan kurikulum lokal namun dengan taraf internasional, diperuntukkan bagi siswa yang berbakat, mempunyai potensi, dan ditunjang sejumlah fasilitas yang berbeda dibanding kelas reguler.

Program akselerasi diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, yang membutuhkan program berdiferensiasi atau pendidikan khusus di luar jangkauan apa yang diberikan dalam program sekolah biasa (Semiun 2006). Adanya kelas akselerasi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan bagi siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi, karena sesuai pendapat Terman diacu dalam Hawadi (2004) yang menyatakan bahwa


(3)

siswa dengan IQ diatas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral.

Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan adalah prestasi belajar siswa. Prestasi belajar adalah hasil suatu penilaian dibidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (Winkel 1989). Menurut Dalyono (2001) prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam manusia yang terdiri dari faktor fisiologis (karena sakit, karena kurang sehat, karena cacat tubuh), dan faktor psikologis (intelegensi, bakat, minat, motivasi dan faktor kesehatan mental). Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dan mass media.

Lingkungan keluarga memang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan fondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya.

Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar dari pendidikan di sekolah. Bloom (1976) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan faktor luar sekolah telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah.

Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat. Keadaan keluarga yang harmonis akan menimbulkan rasa nyaman dan aman. Perasaan nyaman tersebut meningkatkan motivasi atau menjadikan anak


(4)

bersemangat melakukan sesuatu untuk dirinya dan orang lain, tidak terkecuali dalam hal belajar. Rasa aman muncul pada saat orang tua dapat menghargai keberadaan anak dan paham tentang bagaimana pengasuhan yang tepat untuk anak. Rasa aman yang tertanam tersebut akan menimbulkan suatu kepercayaan pada diri sendiri dan mampu memandang keadaan diri sendiri (konsep diri). Pada masa remaja yang kondisi perkembangannya masih labil memungkinkan terbentuknya konsep diri positif bila didukung oleh lingkungan sosial dan keluarga.

Dalam pencarian identitas diri diharapkan remaja dapat membentuk konsep dirinya yang positif karena akan berpengaruh terhadap pemikirannya, perilakunya, serta pendidikan dalam pencapaian prestasi belajar (Santrock 2007). Dalam melakukan sesuatu, bersikap serta bertindak motivasi diperlukan untuk memaksimalkan tujuan individu. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) motivasi adalah dorongan atau kehendak yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar seseorang itu berbuat atau bertindak, dengan kata lain bertingkah laku. Tumbuhnya motivasi dalam diri seseorang senantiasa dilandasi oleh adanya kesadaran diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masing-masing. Selain adanya motivasi, konsep diri yang ada pada remaja juga menentukan prestasi belajarnya. Hal ini berpengaruh terhadap pendidikan yang dilakukan oleh remaja.

Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, salah satunya adalah pelaksanaan program akselerasi dan kelas internasional dari sekolah yang bertaraf internasional. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh penyediaan fasilitas bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik diatas rata-rata agar potensi dapat berkembang secara maksimal dan tidak terjadi underachiever (suatu kondisi kemampuan intelektual tinggi/luar biasa yang tidak terlayani secara makasimal, berakibat pada penurunan kinerja intelektual) (Farmer 1993). Hasil penelitian Departemen Pendidikan Nasional tahun 2001 menemukan bahwa pada 20 SMA


(5)

unggulan di Indonesia terdapat 21,75 persen siswa dengan kecerdasan umum prestasinya di bawah rerata sedangkan para siswa yang tergolong berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa sebesar 9,7 persen. Pada hasil temuan sebelumnya juga diungkapkan bahwa masih tinggi siswa yang dikategorikan berbakat istimewa mengalami underachiever pada SD dan SMP (2-5%) dan SMA sebesar delapan persen (Depdikbud 1997). Namun apakah dengan adanya program akselerasi dan SBI benar-benar dapat meminimalisasi underachiever dan dapat memotivasi siswa sehingga mereka menjadi lulusan dengan prestasi yang tinggi?

Menurut Southern dan Jones (1991) disamping memiliki kelebihan, program akselerasi juga memiliki sejumlah dampak negatif yang merugikan, diantaranya di bidang akademis, penyesuaian emosional, dan penyesuaian sosial. Pada bidang akademis, siswa dimungkinkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru, tertinggal dari teman sebayanya, dan menjadi siswa yang gagal. Hal tersebut dikarenakan isi pelajaran yang diberikan terlalu jauh atau terlalu tinggi untuk siswa. Selain itu juga siswa akan kekurangan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berfikirnya. Pada bidang penyesuaian emosional, dengan adanya dorongan untuk berprestasi secara konstan menjadikan siswa akselerasi frustasi dan pada penyesuaian sosialnya frekuensi hubungan siswa akaselerasi dengan teman sebayanya akan berkurang.

Hasil penelitian Ary (2005) menyebutkan bahwa siswa akselerasi cenderung mendapat labelling dari masyarakat sebagai anak pintar, hal tersebut dapat membentuk konsep diri yang positif dan negatif, tergantung siswa mempersepsikan labelling tersebut. Siswa yang mempersepsikannya sebagai sesuatu yang positif akan terbentuk menjadi konsep diri yang positif untuk selanjutnya dapat meningkatkan motivasi untuk meraih prestasi dan sebaliknya.

Penelitian Kusumawardhani (2000) terhadap siswa SMA kelas akselerasi dan reguler, menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang konsep belajar dan motivasi belajar antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki konsep belajar dan motivasi yang efektif lebih tinggi mempengaruhi proses belajar mereka dibandingkan dengan siswa kelas reguler.


(6)

Permasalahan lain yang muncul adalah masih banyaknya siswa yang berpotensi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata di kelas akselerasi (IQ minimal 130) dan internasional namun tidak berprestasi (underachiever)

(Munandar 2004). Padahal tujuan dari dilaksanakannya program akselerasi dan kelas SBI juga untuk meningkatkan mutu pendidikan serta prestasi siswa. Permasalahan tersebut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar seperi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi belajar siswa.

Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak. Akan tetapi banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa caranya mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya. Menurut Slameto (2003) bahwa salah satu yang mempengaruhi prestasi belajar anak adalah lingkungan keluarga termasuk didalamnya pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua kepada anak. Hal ini berkaitan dengan peran orangtua dalam memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik, guru dan pemimpin bagi anak-anaknya.

Interaksi anak dengan orangtua atau lingkungannya akan membentuk konsep diri. Konsep diri tersebut dapat berhubungan atau bahkan mempengaruhi prestasi karena dengan adanya konsep diri yang positif atau tinggi maka siswa akan mampu mengarahkan tindakannya dengan tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Menurut hasil penelitian Gunawan (2010), siswa yang memandang dan mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik, percaya diri untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki kemungkinan tidak akan mengalami kesulitan untuk meraih prestasi belajar. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa pencapaian prestasi seorang siswa tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah faktor

internal (dalam diri siswa) dan faktor ekternal (dari luar diri siswa). Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan peneliti adalah:

1. Bagaimana karakteristik siswa dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI dan reguler?

2. Bagaimana gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI dan reguler?


(7)

3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan orangtua?

4. Adakah hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa?

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

2. Mengidentifikasi gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler.

3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan.

4. Menganalisis hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak terkait. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan keilmuan yang telah diterima di bangku kuliah terutama dalam bidang perkembangan anak. Bagi institusi IPB, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang referensi baru bagi civitas akademika khususnya di bidang perkembangan anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak sekolah, dan orang tua mengenai hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar, Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa atau peneliti yang tertarik dengan topik penelitian sejenis.


(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Indvidu Umur

Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada tahap sebelumnya. Tahap-tahap ini berkaitan dengan usia anak. Anak yang lebih tua diharapkan berada pada tahap yang lebih tinggi. Kecepatan anak dalam menjalani dan melalui tahap-tahap perkembangan ini tidak sama, tergantung dari inteligensi dan pengaruh sosial.

Usia anak dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikologis anak. Pada usia tertentu emosi dapat berkurang dan bertambah. Dengan meningkatnya usia, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan (Hurlock 1980)

Jenis Kelamin

Jenis kelamin anak mempengaruhi perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Pengaruh tidak langsung dari jenis kelamin terhadap perkembangan timbul dari kondisi lingkungan. Individu laki-laki dan perempuan pertama kali dibentuk oleh keluarga, selanjutnya oleh kelompok teman sebaya dan sekolah serta kelak oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya (Hurlock 1991).

Lebih lanjut Hurlock (1980) menyatakan jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya karena setiap tahunnya individu mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orangtua, guru, kelompok sebaya dan masyarakat yyang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelaminnya. Selain itu, pengalaman belajar juga ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah, dan di dalam kelompok bermain, individu belajar apa yang dianggap pantas untuk anggota-anggota jenis kelamin mereka. Sikap orangtua pun menjadi hal terpenting


(9)

sehubungan dengan jenis kelamin individu Penelitian tentang kecenderungan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki terlebih sebagai anak pertama, masih banyak ditemukan. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap-sikap orangtua yang selanjutnya mempengaruhi perilaku mereka kepada anak dan hubungan mereka dengan anak.

Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran memiliki peranan yang penting dalam hubungan antar saudara sekandung. Individu yang lahir lebih dulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan saudara sekandung mereka. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi ditetapkan bagi anak sulung agar dapat meraih keberhasilan (Santrock 2003).

Beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa anak pertama cenderung lebih cerdas dan berprestasi lebih tinggi daripada adik-adiknya. Akan tetapi di pihak lain sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan karena perbedaan waktu lahir, melainkan disebabkan oleh kondisi-kondisi lingkungan yang mendorong pengembangan intelektual anak. Anak pertama tidak hanya memperolah lebih banyak rangsangan intelektual daripada anak-anak yang lahir kemudian, tetapi mereka juga memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka daripada adik-adiknya (Hurlock 1980).

Karakteristik Keluarga Pengertian dan Teori Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Bergest dan Locke 1960). Menurut Undang Undang nomor 10 tahun


(10)

1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Salah satu teori yang melandasi institusi keluarga adalah teori struktural fungsional. Pendekatan teori struktural fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasikan dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pendekatan struktural fungsional ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan (Megawangi 1999).

Lebih lanjut Megawangi (1999) menyatakan bahwa penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang diterapkan. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya serta patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut. Pada aspek fungsional, arti aspek diakitkan dengan bagaimana sebuah sistem dalam masyarakat atau keluarga dapat berhubungan menjadi satu kesatuan yang solid. Kepentingan paternalistik sosial (struktur) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan karena merupakan suatu mekanisasi sosial agar seorang anak mengetahui posisi dan kedudukannya, sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa.

Anak merupakan bagian dari suatu keluarga, lingkungan di sekitar kehidupan anak tergambar melalui teori bioekologi Bronfenbrenner. Bronfenbrenner (1974) dalam teori bioekologinya (bioecological theory)

menjelaskan cakupan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan individu. Setiap organisme biologis berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau mengekang perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul melalui berbagai proses rutin yang semakin kompleks, aktif, interaksi dua arah antara individu yang berkembang dan


(11)

lingkungan terdekatnya. Proses tersebut dimulai dari lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan luar tempat tinggal yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial seperti pola-pola budaya dan sejarah yang mempengaruhi keluarga, sekolah dan hampir seluruh aspek kehidupan individu. Selanjutnya Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang saling berhubungan, mulai dari yang paling dekat hingga yang terluas, yaitu mikrosistem (suatu lingkungan dimana anak berinteraksi sehari-hari, dan bertatap muka dengan orang lain), mesosistem (hubungan antara dua atau lebih mikrosistem), eksosistem (hubungan antara dua atau lebih lingkungan yang salah satunya mengendalikan anak), makrosistem (keseluruhan pola budaya suatu masyarakat), dan kronosistem (pengaruh waktu pada sistem perkembangan yang lain).

Tingkat pendidikan

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda untuk satu orang ke orang lain. Ada yang memiliki potensi lebih tinggi pada segi-segi kualitas fisik (kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif), sementara yang lain mempunyai potensi yang lebih pada segi kualitas nonfisik (kualitas kepribadian,kecerdasan, ketahanan mental, dan kemandirian). Pendapatan Keluarga

Keadaan sosial ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan keluarga. Ekonomi dalam keluarga dapat digunakan salah satunya sebagai pemeliharaan anak dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan tentang keadaan ekonomi yang kurang (Hurlock 1980). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan kurang perhatian dan tidak memiliki waktu untuk membimbing anak karena terlalu memikirkan keadaan ekonominya.


(12)

Besar Keluarga

Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap tersaing dan tersisih. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan yang dapat berakibat buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa jumlah keluarga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak. Anak yang berasal dari keluarga besar memiliki hubungan yang kurang erat dengan orang tuanya karena perhatian dari orang tua terbagi. Semakin besar keluarga maka akan semakin sedikit waktu yang dikeluarkan orang tua untuk merawat dan mengasuh anak.

Pekerjaan Orangtua

Masyarakat Indonesia masa kini telah menerima perempuan untuk berkarya di luar rumah baik untuk bekerja mencari nafkah maupun untuk melakukan aktivitas dalam masyarakat. Menurut Rowatt (1990) diacu dalam Supriyantini (2002) menyatakan pekerjaan seorang suami tidaklah berkurang walaupun istrinya juga turut bekerja. Pekerjaan suami bahkan terlihat bertambah sibuk jika istrinya tidak bekerja. Banyak suami secara eksplisit dan implisit mengharapkan peran sitri menjadi suatu sistem pendukung bagi pekerjaan mereka.

Remaja

Santrock (2003) mengartikan remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai kemandirian.

Lebih lanjut Santrock menggambarkan bahwa masa remaja terdiri atas remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal (early adolescence) diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup perubahan pubertas yang tinggi. Remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada masa sekitar setelah 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan ekplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir dibandingkan dengan dalam masa remaja awal.


(13)

Disamping pertumbuhan fisik yang pesat, remaja juga mengalami perkembangan kognitif. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007), remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi.

Remaja umumnya sudah mampu berfikir secara abstrak, hipotetis, menggunakan logika, membedakan antara fakta dan fantasi, mengelola perasaan, dan juga berpikir secara deduktif maupun induktif. Pada tahapan kognitif formal operasional ini remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau preposisi (Santrock 2007).

Namun demikian, perkembangan kognitif remaja belum matang, terbukti dengan adanya egosentrisme pada remaja. Hal ini dikarenakan tidak semua remaja dapat menjadi pemikir formal operasional sepenuhnya karena pengaruh subjektifitas dalam diri yang masih sangat kuat (Santrock 2007).

Selain pertumbuhan fisik dan pematangan organ reproduksi serta perkembangan kognitif dan moral, remaja juga mengalami perkembangan sosial. Menurut teori Psikososial Erickson (Santrock 2002), pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs. Identity Confusion. Artinya, pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya.

Pada fase Identity vs Identity Confusion remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Remaja dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut keberadaan dirinya, masa depannya, peran-peran sosialnya dalam keluarga dan masyarakat serta kehidupan beragama (Yusuf 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila pada fase ini remaja berhasil memahami dirinya, peran-perannya, dan makna hidup beragama, maka ia akan menemukan jati dirinya, dalam arti ia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya, apabila gagal, maka ia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja, remaja akan cenderung kurang baik dalam menyesuaikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan remaja tersebut dapat berjalan dengan maksimal dengan adanya dukungan dari lingkungan remaja. Prestasi yang dimiliki atau


(14)

diraih oleh remaja tidak bisa dilepaskan dari dorongan untuk berprestasi (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Dorongan berprestasi adalah sesuatu yang ada dan menjadi ciri dari kepribadian seseorang remaja, sesuatu mengenai apa yang ada dan dibawa dari lahir. Namun, di pihak lain dorongan berprestasi ternyata dalam banyak hal adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Gunarsa dan Gunarsa (2004) juga menjelaskan bahwa dorongan berprestasi pada remaja sangat penting diperhatikan. Hal ini dikarenakan remaja yang memiliki dorongan berprestasi tinggi adalah modal dalam asset suatu bangsa yang sedang membangun dan kaitannya dengan penggalian sumber daya manusia.

Gaya Pengasuhan

Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara pengasuh dengan yang diasuh, meliputi bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap aktivitas sehari-hari yang berlangsung secara rutin, sehingga terbentuk suatu pola yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pendidik atau pengasuh. Pengasuhan orangtua terhadap anak berlangsung melalui ucapan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperhatikan atau dilakukan oleh anak. Dengan demikian, sikap dan perilaku orangtua dijadikan sebagai patokan untuk ditiru, kemudian apa yang ditiru akan diterapkan dalam dirinya. Oleh karena itu, suasana hubungan antar anggota keluarga dapat mempengaruhi kualitas pengasuhan, dimana hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pengasuhan yang berkualitas.

Menurut Hastuti (2008) pengasuhan adalah interaksi orangtua terhadap anaknya yang didalamnya meliputi pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan kepada anak. Sedangkan gaya pengasuhan itu sendiri merupakan cara berinteraksi orangtua terhadap anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak.

Di bidang pendidikan, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua lakukan untuk menunjang


(15)

prestasi akademik anak antara lain, menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak, memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 2009).

Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Hasil penelitian Nguyen dan Cheung (2009) menunjukkan bahwa secara umum, ayah cenderung menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak. Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi dorongan pada anak. Akan tetapi pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orangtua yang efektif adalah orangtua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orangtua terhadap belajar anak merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak.

Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoriter, otoritatif, dan permissif. Otoriter, yaitu terdapat banyak pembatasan dan mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan kepada anak-anak. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.

Otoritatif, yaitu menentukan batas-batas tetapi jauh lebih luwes, memberi penjelasan kepada anak mereka, dan memberi kehangatan. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu. Mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak


(16)

dan orangtua, memperkuat standar-standar perilaku. Orangtua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata.

Permissif, yaitu orangtua bersikap hangat dan komunikatif terhadap anak-anak mereka tetapi memberikan sedikit pembatasan terhadap tingkah laku. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.

Gaya pengasuhan menunjukkan kepribadian orangtua dan teknik yang dilakukan saat berhubungan sehari-hari dengan anak yang diasuhnya. Teori yang ada telah memperlihatkan bukti-bukti gaya pengasuhan otoritatif sebagai gaya pengasuhan paling efektif dan efisien dalam membentuk kualitas anak.

Konsep Diri

Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya (Fitts 1971).

Definisi lain dari konsep diri disebutkan oleh Gunawan (2005), yang menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman hidup dan interaksinya dengan lingkungan dan juga karena pengaruh dari orang-orang yang dianggap penting atau dijadikan panutan. Konsep diri merupakan fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup. Orang yang memiliki konsep diri yang buruk akan sangat sulit berhasil dan hanya akan menjalani hidup sebagai manusia rata-rata.

Pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil (balita) dimana anak belajar dari lingkungannya. Dalam proses pembelajaran itu secara perlahan


(17)

tetapi pasti konsep diri anak mulai terbentuk. Namun, masa kritis pembentukan konsep diri justru terjadi saat anak memasuki sekolah dasar (Gunawan 2005). Konsep diri diperjelas selama masa remaja akhir ketika anak muda mengatur konsep diri sendiri di sekitar nilai, tujuan, dan kompetensi yang didapat selama masa kanak-kanak.

Menurut Sunaryo (2002) beberapa hal yang penting dan perlu dipahami terkait konsep diri, yaitu: konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap, positif ditandai dengan kemampuan intelektual, negatif ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif, penguasaan lingkungan terbentuk karena peran keluarga, dan penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya.

Fitts (1971) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi internal terdiri dari: (1) diri identitas (the identity self) yang merupakan aspek yang paling dasar dari konsep diri, merupakan label dan simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya. Setiap elemen dari identitas akan mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan dunia fenomenologisnya, yaitu cara ia merespon terhadap dunianya atau berinteraksi dengan dunianya dan observasi serta penilaian yang ia buat mengenai dirinya bila ia berfungsi. Elemen-elemen identitas terus bertambah mengikuti tumbuh dan meluasnya kemampuan, kegiatan seseorang, keanggotaan kelompok dan sumber-sumber identifikasi; (2) diri pelaku (the behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku itu sendiri, juga menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan digabungkan ke dalam diri identitas; (3) diri penilai (the judging self ), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu kapasitas manusia adalah kemampuan untuk sadar akan dirinya serta mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penetap standar, pengkhayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai


(18)

Dimensi eksternal merupakan bagian-bagian diri dengan macam-macam label seperti diri fisik, diri etik moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. Dimensi eksternal diri banyaknya tergantung dari peran-peran, kegiatan-kegiatan dan nilai-nilai dari orang bersangkutan, namun yang paling umum adalah kelima diri tersebut.

Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini 2002).

Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkorelasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik siswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi erat hubungannya dengan rendahnya konsep diri yang dimiliki. Area yang paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap perilaku (Tarmidi 2006). Selanjutnya hasil penelitian Rola (2006) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi individu adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga terdapat hubungan positif antara konsep diri terhadap prestasi belajar.

Motivasi Belajar

Menurut Nasution (2003) motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui motivasi diharapkan siswa memiliki usaha untuk membangun kondisi sehingga memiliki keinginan dan minat serta bersedia melakukan sesuatu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan


(19)

kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang, akan semakin kuat motivasi belajarnya (Halim 2005).

Motif yang ada pada setiap orang dalam melakukan suatu kegiatan dapat berbeda satu sama lain. Selain itu, seseorang dapat mempunyai motif lebih dari satu jenis. Menurut Santrock (2008) terdapat dua macam motivasi, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Lebih lanjut Sardiman (2006) menyatakan motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.

Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri) (Santrock 2007). Sedangkan menurut Sardiman (2006) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seorang siswa melakukan belajar karena didorong tujuan ingin mendapatkan pengetahuan, nilai dan keterampilan.

Menurut Dimyati (2002) ada empat hal yang mempengaruhi motivasi dalam belajar adalah cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, dan kondisi lingkungan siswa.

Cita-cita. Motivasi belajar tampak dalam keinginan seseorang sejak kecil, seperti keinginan belajar makan, berjalan dan sebagainya, keinginan berhasilnya keinginan tersebut menumbuhkan kemauan untuk selanjutnya menjadi rangsangan cita-cita di masa depannya. Tumbuhnya cita-cita yang dibarengi dengan perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, perkembangan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar baik internal

maupun eksternal, sebab terciptanya cita-cita akan mewujudkan motivasi diri. Kemampuan siswa. Keinginan seorang anak perlu dibarengi dengan kemampuan mencapainya keinginan tersebut. Misal seperti anak yang berkeinginan untuk pandai membaca. Dalam rangka mewujudkan keinginannya


(20)

untuk membaca, anak harus diperkenalkan kepada jenis huruf dan seperangkat tata eja abjadnya.

Kondisi siswa. Kondisi kesehatan jasmani dan rohani seorang siswa akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk melakukan sesuatu, seperti dalam kondisi sakit, seorang siswa akan malas belajar, dan sebaliknya ketika seorang siswa dalam keadaan sehat, maka keinginan untuk belajar dan melakukannya terlihat cukup tinggi.

Kondisi lingkungan siswa. Kondisi lingkungan yang ada di sekeliling siswa sangat berpengaruh besar terhadap munculnya motivasi, baik lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan tempat dimana ia bersosialisasi. Pandangan di atas sangat menekankan bahwa kompetensi dan kondisi yang ada dalam diri siswa selain faktor yang timbul dari luar diri siswa itu sendiri, ternyata dalam proses belajar sangat memerlukan dukungan lain berupan harapan atau bahkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan belajar yang dilakukan agar benar-benar menghasilkan berbagai aspek dan indikator yang sesuai atau yang diinginkan dari perbuatan belajarnya selama perbuatan atau kegiatan belajar itu mengarah pada perubahan-perubahan pribadi siswa secara positif.

Prestasi Belajar

Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto 2003).

Sudjana (2000) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar.

Seorang guru harus menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat prestasi siswa. Menurut Syah (2004) ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut


(21)

adalah norma skala angka dari nol sampai sepuluh dan norma skala angka dari nol sampai seratus.

Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar

(passing grade) skala nol (0) sampai sepuluh (10) adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala nol (0) sampai seratus (100) adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat meneyelesaikan lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, siswa dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.

Penilaian prestasi belajar ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Evaluasi prestasi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan tes tertulis maupun dengan tes lisan dan perbuatan. Evaluasi prestasi afektif dapat dilakukan dengan menggunakan skala likert dan atau diferensial semantik yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa mulai sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap sesuatu yang harus direspon. Evaluasi prestasi psikomotor dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku jasmaniah siswa dicatat dalam format observasi ketrampilan melakukan pekerjaan tertentu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam dua faktor yaitu, faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sosial). Metode belajar yang dilaksanakan seorang anak, akan menentukan hasil belajar. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan, dapat karena sifat malas belajar seorang anak atau sikap orangtua yang memperhatikan rasa kecewa atau menekan anak. Namun sebaliknya, anak akan berhasil dalam belajar, apabila orangtua mendampingi, membimbing serta mendorong dalam mencapai prestasi yang memuaskan (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Hubungan antara Pengasuhan terhadap Prestasi Belajar

Pengasuhan yang diterapkan orangtua (ibu) berpengaruh pada prestasi belajar seseorang. Menurut Rohner (1986), pengasuhan ibu dengan penuh kasih sayang, hangat akan membuat anak lebih terampil dalam mengelola emosi, bergaul, dan meningkatkan dalam bidang akademis. Menurut Steinberg (1993), orangtua yang hangat terlibat penerimaan secara langsung dapat mempengaruhi


(22)

pencapaian prestasi seorang anak di sekolahnya didukung pula hasil penelitian bahwa remaja yang orangtuanya menerima, terlibat dan demokratis memberi skor lebih tinggi dalam ukuran prestasi akademik. Hubungan antara ibu dengan anak dengan penuh kasih sayang akan mendorong anak untuk memotivasi dalam mencapai prestasi belajar (Gunarsa & Gunarsa 2001).

Zanden (1993) menyatakan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bahagia dalam perkawinannya lebih memiliki rasa aman secara emosional, sehingga tampak lebih memiliki kesempatan untuk mengambangkan intelektual, sebaliknya perselisihan perkawinan yang menghantarkan pada perpisahan dapat menciptakan kecenderungan antisosial pada anak-anak yang menyebabkan mereka ditolak guru dan gagal di sekolah. Begitu pula menurut Djamarah (2002), bahwa anak yang sulit dalam prestasi belajar di sekolah disebabkan oleh hubungan suami istri yang penuh dengan ketegangan, tidak harmonis, dan penuh dengan konflik.

Model Pembelajaran Akselerasi

Program percepatan belajar atau akselerasi, merupakan bagian kebijakan pendidikan jalur formal pada program layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keberbakatan akademik istimewa. Semiawan dalam Gunarsa (2004) membagi dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua adalah akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Perumusan pertama menunjuk pada siswa yang dapat melompat kelas. Sementara itu, perumusan yang kedua menunjuk pada peningkatan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus, atau sekolah khusus dalam waktu tertentu.

Menurut Semiawan (2002) kurikulum yang sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak 1981. Sebelum uji coba pelaksanaan program anak berbakat dilaksanakan tahun 1984, kurikulum berdeferensiasi telah dibuat. Dengan adanya hal tersebut kemampuan guru harus selalu ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak


(23)

dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar.

Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan. Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler (Semiawan 2002).

Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening dan Davies, (1983) diacu dalam Hawadi (2001) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa. Proses pembelajaran siswa akselerasi sama dengan siswa reguler. Jika peserta didik akselerasi dikumpulkan dalam satu kelas tersendiri maka guru dan siswa dapat menerapkan berbagai strategi belajar. Ciri dominan proses belajar yang khas pada siswa akselerasi adalah pembelajaran individual atau mandiri lebih kontras dilaksanakan daripada siswa reguler.

Sekolah Bertaraf Internasional

Adanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 yang didalamnya menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah mengembangkan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Anonim, 2006).


(24)

Salah satu tujuan pembangunan sekolah bertaraf internasional adalah untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan SBI didasari filosofi

eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme

berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Haryana 2007).

Lebih lanjut Haryana (2007) menyebutkan bahwa terdapat karakteristik untuk menjadi sekolah internasional dan juga memiliki beberapa ciri dalam proses pembelajarannya. Sekolah atau madrasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional.

Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang semuanya telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen internasional.


(25)

KERANGKA PEMIKIRAN

Keluarga memiliki peran yang besar dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang individu, karena keluarga adalah lingkungan eksternal pertama yang dikenal begitu individu baru dilahirkan di dunia. Seluruh kebutuhan primer bagi seseorang untuk hidup dan bertahan hidup ditentukan oleh kemampuan keluarga untuk memenuhi hidupnya. Oleh karena itu, karakteristik keluarga, yang meliputi besar keluarga, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga dan pekerjaan orangtua, menentukan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak, disamping karakteristik anak itu sendiri seperti umur, jenis kelamin dan urutan kelahiran.

Pada teori bioekologi Bronfrenbenner (1974), anak merupakan salah sebuah unsur dalam suatu lingkungan. Berbagai proses saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan anak, proses tersebut dimulai dari lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari atau tempat dimana anak saling berinteraksi di rumah, sekolah dan dalam kehidupan bertetangga (mikrosistem). Antara dua atau lebih lingkungan mikrosistem tersebut akan saling berhubungan dan didalamnya terdapat keterlibatan anak (mesosistem). Selanjutnya anak secara tidak langsung akan berinteraksi dengan lingkungan lembaga atau institusi yang akan mempengaruhinya (eksosistem) juga berinteraksi dengan lingkungan yang secara tidak langsung akan mempengaruhinya (makrosistem). Perubahan dan keberlanlanjutan yang berlangsung sepanjang waktu juga akan turut mempengaruhi kehidupan anak, seperti masuknya anak ke sekolah formal, pubertas, pernikahan, dan lain-lain (kronosistem).

Karakteristik keluarga dan individu akan menentukan gaya pengasuhan di lingkungan keluarga. Selanjutnya pengasuhan yang diterapkan keluarga akan membentuk perilaku dan juga pengalaman-pengalaman dari interaksi orang tua anak selanjutnya dipelajari oleh anak dan akan membentuk konsep diri anak. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain terutama dengan lingkungan terdekatnya (Fitts 1971). Perlakuan-perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak akan membekas hingga anak menjelang


(26)

dewasa dan membawa pengaruh terhadap konsep diri, baik konsep diri ke arah positif atau ke arah negatif.

Konsep diri yang diperoleh dari hasil suatu pembelajaran atau pengalaman merupakan faktor psikologis yang dapat mendorong motivasi belajar untuk mencapai prestasi. Apabila konsep diri yang dimiliki siswa merupakan konsep diri positif, maka akan timbul keyakinan bahwa dirinya bisa dan mampu sehingga memungkinkan dirinya untuk termotivasi belajar dan meraih prestasi. Sebaliknya, jika konsep diri negatif yang dimiliki, maka siswa akan memandang negatif dirinya dan akan merasa bahwa dirinya tidak mampu sehingga kurang memiliki motivasi untuk belajar dan meraih prestasi.

Motivasi belajar berhubungan dengan prestasi belajar, karena dengan memiliki motivasi dalam belajar siswa akan percaya pada kemampuannya, cenderung untuk berjuang mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dengan adanya motivasi belajar untuk meraih prestasi yang tinggi maka siswa akan mampu meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut Winkel (1991) diacu dalam Slameto (2003) menyatakan bahwa prestasi belajar berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor internal (intelegensi, motivasi belajar, minat, bakat, sikap, konsep diri, dan kondisi fisik) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat). Kerangka pemikiran yang menggambarkan hubungan karakteristik keluarga, karakteristik individu, gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar disajikan pada Gambar 1.


(27)

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu, karakteristik keluarga, gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar, dan prestasi belajar

27

Lingkungan Sekolah: - Model pembelajaran

(akselerasi, SBI, reguler)

Prestasi belajar: - Kognitif - Psikomotorik - Afektif Gaya pengasuhan:

-Otoriter -Permisif -Otoritatif

Motivasi belajar: -Intrinsik

-Ekstrinsik

Konsep diri: -Positif -Negatif Karakteristik keluarga:

-Besar keluarga -Pendidikan orangtua -Pendapatan keluarga

Karakteristik individu: -Umur

-Jenis kelamin -Urutan kelahiran


(28)

METODE

Desain, Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler. Penentuan tempat sekolah yang dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)

dengan pertimbangan sekolah pertama yang menerapkan program akselerasi di Kota Bogor dan kelas SBI, sedangkan sekolah kedua, memiliki karakteristik sekolah yang berbeda sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai April hingga Mei 2011.

Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian ini adalah siswa SMA di dua sekolah Kota Bogor. Contoh dari penelitian ini adalah siswa kelas XI di dua sekolah tersebut dengan pertimbangan siswa kelas XI telah memiliki pengalaman belajar di SMA relatif lama dibanding kelas X, tetapi tidak disibukkan dengan persiapan Ujian Akhir Nasional seperti kelas XII. Penentuan kelas akselerasi (hanya terdapat 1 kelas), SBI (dipilih 1 kelas dari 7 kelas) dan reguler (dipilih 1 kelas dari 5 kelas) dilakukan secara purposive. Dalam satu kelas yang dipilih memiliki jumlah siswa sebanyak 26 siswa pada kelas akselerasi, 32 siswa kelas SBI, dan 39 siswa kelas reguler, kemudian dilakukan pemilihan kembali untuk menjadi contoh. Total jumlah contoh untuk penelitian ini sebanyak 86 contoh, yang terdiri atas 26 contoh dari kelas akselerasi, 30 contoh kelas SBI dan 30 contoh dari kelas reguler yang dipilih secara purposive pula. Cara pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 2.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui teknik self report dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh contoh setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Data primer meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga), karakteristik contoh (umur, urutan kelahiran dan jenis kelamin), gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar. Data sekunder


(29)

meliputi prestasi belajar dan keadaan umum sekolah yang diperoleh dari pihak sekolah. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1.

Gambar 2 Bagan cara pengambilan contoh Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis Data Variabel Alat Bantu Skala Data

Primer

Karakteristik keluarga: - Besar keluarga - Pendidikan orangtua - Pekerjaan orangtua - Pendapatan orangtua

Kuesioner Rasio Ordinal Nominal

Rasio

Primer

Karakteristik individu - Umur

- Jenis kelamin - Urutan kelahiran

Kuesioner Rasio Nominal

Ordinal

Primer Gaya Pengasuhan Kuesioner Ordinal

Primer Konsep diri Kuesioner Ordinal

Primer Motivasi belajar Kuesioner Ordinal

Sekunder

Prestasi belajar Jumlah siswa

Keadaan umum sekolah

Rapor siswa Rasio

Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive n=30 Kelas IPA (1 kelas) Kelas IPA (1 kelas)

n=26 n=30

Kelas IPA (1 kelas) Kelas Akselerasi

(26 siswa)

Kelas SBI (7 kelas = 224 siswa)

Kelas Reguler (5 kelas = 195 siswa) Kota Bogor

SMA Y Bogor SMA X Bogor


(30)

Sebelum digunakan untuk pengumpulan data penelitian, kuesioner yang sudah disusun diuji coba pada 10 siswa kelas XI. Hasil uji coba tersebut akan menentukan reliabilitas dari kuesioner yang digunakan. Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan, untuk mengetahui pilihan bentuk kuesioner (pertanyaan dan pernyataan), kedalaman pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan ditanyakan, dapat tidaknya suatu pertanyaan dijawab, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal pengisian kuesioner.

Persepsi gaya pengasuhan orangtua diukur menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Latifah (2009), mengenai persepsi gaya pengasuhan orangtua yang terbagi menjadi tiga tipe, yaitu: otoriter, permisif, dan otoritatif. Ketiga persepsi gaya pengasuhan orangtua ini terdiri dari dimensi demandingness

(kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Variabel ini terdiri atas 27 pertanyaan dengan skala Likert 1-4 dengan keterangan 1=tidak pernah; 2=hampir tidak pernah; 3=sering; 4=sangat sering/selalu. Reliabilitas kuesioner persepsi gaya pengasuhan memiliki nilai cronbach alpha 0,704.

Konsep diri diukur menggunakan kuesioner berbentuk skala yang mengacu pada alat skala konsep diri yaitu Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang disusun oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001), mengenai konsep diri remaja yang terdiri dari 15 dimensi, yaitu: identitas diri fisik, tingkah laku fisik, kepuasan diri fisik, identitas diri etik moral, tingkah laku etik moral, kepuasan etik moral, identitas diri personal, tingkah laku diri personal, kepuasan diri personal, identitas diri keluarga, tingkah laku diri keluarga, kepuasan diri keluarga, identitas diri sosial, tingkah laku diri sosial, dan kepuasan diri sosial. Setiap dimensi yang diukur terdapat dua sifat item yaitu pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan pernyataan bersifat negatif (unfavorable).Variabel konsep diri ini terdiri atas 50 pertanyaan dengan keterangan 1=sangat tidak sesuai dengan diri saya; 2=tidak sesuai dengan diri saya; 3=sesuai dengan diri saya; 4=sangat sesuai dengan diri saya. Reliabilitas kuesioner konsep diri memiliki nilai

cronbach alpha 0,845.

Motivasi belajar diukur menggunakan kuesioner yang mengacu pada Rahmaisya (2011) yang merujuk pada (Pelletier,et al.1995) dan dimodifikasi


(31)

peneliti, mengenai motivasi belajar yang terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Variabel motivasi belajar ini terdiri atas 30 pertanyaan dengan skala Likert dengan keterangan: STS=sangat tidak setuju; TS=tidak setuju; S=setuju; SS=sangat setuju. Reliabilitas kuesioner persepsi motivasi belajar memiliki nilai cronbach alpha 0,805.

Tabel 2 Jenis data dan pengkategorian data

Jenis Data Kategori Pengukuran

Karakteristik Contoh

Urutan anak Sulung

Tengah Bungsu Karakteristik Keluarga

Usia orangtua Dewasa muda (18-40 tahun) Dewasa madya (41-60 tahun) Dewasa lanjut (>60 tahun) Tingkat pendidikan Tidak tamat SD

SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D1/D2/D3 S1/S2/S3 Pekerjaan orangtua - Tidak bekerja

- Wiraswasta - PNS - Swasta - ABRI - Buruh - Pensiunan - Dokter - Supir Besar keluarga Keluarga besar (≥ 8 orang)

Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga kecil (< 4 orang) Tingkat pendapatan ≤Rp 1.000.000,00

Rp 1.000.001,00 – Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.001,00 – Rp 3.000.000,00 Rp 3.000.001,00 – Rp 4.000.000,00 Rp 4.000.001,00 – Rp 5.000.000,00 >Rp 5.000.000,00

Konsep diri Positif

Negatif

Gaya pengasuhan Otoriter

Permissif Otoritatif Motivasi belajar (intrinsik dan

ekstrinsik) Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Prestasi belajar Kognitif Psikomotorik Afektif Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80)


(32)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial.

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entryng, scoring, dan cleaning data. Pengontrolan kualitas data dilakukan melalui uji reliabilitas instrumen gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dengan metodeCronbach’s Alpha.

Data persepsi gaya pengasuhan mengacu kepada standar baku yang telah dimodifikasi sesuai dengan penelitian. Standar baku yang dijadikan acuan adalah gaya pengasuhan dimensi arahan Baumrind. Penilaian terhadap data persepsi gaya pengasuhan, yaitu semakin tinggi persentase dari skor yang diperoleh pada suatu gaya pengasuhan tertentu maka semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan tersebut. Penentuan gaya pengasuhan paling dominan yang diterapkan ini didasarkan pada jawaban dari masing pertanyaan yang kemudian masing dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masing-masing jenis pengasuhan dimensi arahan (ototiter, permissif, dan otoritatif), kemudian dipersentasekan dan dikategorikan.

Sistem skoring dibuat konsisten untuk variabel motivasi belajar, yaitu semakin tinggi skor maka semakin positif nilai variabelnya. Penentuannya didasarkan pada jawaban dari masing pertanyaan yang kemudian masing dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masing-masing variabel, kemudian dipersentasekan dan dikategorikan. Pengkategorian terdiri dari tiga kategori yaitu: rendah (<60), sedang (60-80), dan tinggi (≥80).

Sistem skoring dibuat konsisten untuk variabel konsep diri, yaitu semakin tinggi skor maka semakin positif nilai variabelnya. Setelah itu dijumlahkan dan dipersentasekan, selanjutnya dikategorikan dengan teknik skoring menggunakan interval kelas.

Interval Kelas (A)=

Keterangan:

A = Interval Kelas NR = Skor Minimal NT = Skor Maksimal

Skor Maks (NT) – Skor Min (NR) Jumlah Kategori


(33)

Kategori:

Negatif : NR sampai NR+A

Positif : (NR+A)+ 1 sampai NR+2A

Prestasi belajar dilihat dari rata-rata nilai rapor mata pelajaran B.Indonesia, B.inggris, IPA, IPS, Matematika, Pendidikan Agama, Jasmani, TIK dan PKN dari semester satu kelas sepuluh sampai semester 1 kelas sebelas. Nilai rapor dilihat dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Nilai kognitif dan psikomotorik berupa angka sedangkan nilai afektif berupa predikat. Dalam pengolahannya, penilaian kognitif dan psikomotorik dikategorikan menjadi tiga kategori, rendah (<60), sedang (60-80), tinggi (≥80). Nilai afektif diberi skor sebagai berikut: yaitu A=4, B=3, C=2, D=1. Selanjutnya skor afektif dijumlahkan dan dirata-rata kemudian dikategorikan menjadi tinggi (≥3,1), sedang (2,1-3,0), rendah (1,0-2,0).

Analisis hubungan antar variabel secara statistik deskriptif digunakan tabulasi silang (Crosstab). Analisis secara statistik inferensial yang digunakan sebagai berikut:

1. Uji Beda

a. Uji One Way Anova untuk membandingkan karakterikstik keluarga dan karakteristik contoh (yang memiliki skala data rasio), konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa kelas akselerasi, SBI dan reguler.

b. Uji Kruskal Wallis untuk membandingkan karakteristik keluarga dan contoh (yang memiliki skala data ordinal) serta gaya pengasuhan siswa kelas akselerasi, SBI dan reguler.

2. Uji korelasi

a. Uji korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan karakteristik keluarga yang memiliki jenis skala data ordinal dengan gaya pengasuhan.

b. Uji korelasi Chi-Square untuk menganalisis hubungan jenis kelamin contoh dengan gaya pengasuhan.

c. Uji ini Pearson untuk mengetahui hubungan antar variabel (gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar).

Definisi Operasional

Model Pembelajaran adalah program sekolah yang diikuti contoh, meliputi kelas akselerasi, SBI dan reguler.


(34)

Pendidikan Orangtua adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh orangtua contoh (ayah dan ibu).

Pekerjaan Orangtua adalah aktivitas fisik yang dilakukan orangtua contoh (ayah dan ibu) sebagai sumber mata pencaharian keluarga, meliputi buruh, wiraswasta, swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pensiunan, ibu rumah tangga, dokter, supir dan ABRI.

Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh ayah dan ibu serta anggota keluarga lain dalam keluarga yang dinilai dengan rupiah. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak

dan anggota keluarga lainnya, dinyatakan dalam jumlah orang.

Gaya Pengasuhan Orangtua adalah persepsi contoh tentang bagaimana orangtua melakukan interaksi dengan contoh, meliputi otoriter, permissif, dan otoritatif yang diukur berdasarkan persepsi remaja.

Gaya Pengasuhan Otoriter adalah orangtua bersikap kaku terhadap anak, mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan, banyak dan menetapkan batasan bagi anak.

Gaya Pengasuhan Permisif adalah bersikap hangat dan komunikatif terhadap anak tetapi memberikan pembatasan yang sedikit pada tingkah laku. Gaya Pengasuhan Otoritatif adalah orangtua yang memberi kehangatan, lebih

luwes dalam menetapkan batasan dan disertai penjelasan pada anak. Konsep Diri adalah evaluasi terhadap domain diri yang spesifik serta berkaitan

dengan ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya.

Konsep Diri Positif adalah jika siswa penuh percaya diri, terlihat optimis dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya.

Konsep Diri Negatif adalah jika siswa meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup.

Motivasi belajar adalah hal yang mendorong contoh untuk melakuan kegiatan belajar, dinyatakan dalam skor.


(35)

Motivasi Intrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam diri contoh tanpa adanya rangsangan atau pengaruh dari luar diri contoh.

Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul karena pengaruh dari luar diri, misal karena ada imbaan atau hukuman. Prestasi belajar adalah rata-rata nilai rapor untuk 15 mata pelajaran dari semester

satu kelas sepuluh sampai semester 1 kelas sebelas.

Prestasi kognitif adalah nilai rapor untuk mata pelajaran yang bersifat akademis dan dinyatakan dengan angka.

Prestasi psikomotoik adalah nilai rapor yang diperoleh dari hasil praktikum mata pelajaran tertentu dan dinyatakan dengan angka.

Prestasi afektif adalah nilai rapor yang diperoleh berdasarkan sikap atau minat siswa terhadap mata pelajaran dan dinyatakan dalam huruf mutu.


(36)

HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan SBI berasal dari sekolah yang sama, sedangkan kelas reguler diambil dari sekolah yang berbeda.

Sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini, mulai tahun ajaran 2002/2003 diberi kepercayaan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk membuka kelas akselerasi yaitu kelas percepatan untuk siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA dalam waktu hanya dua tahun saja. Program akselerasi ini dilatarbelakangi oleh perlunya mengubah strategi pelayanan pembelajaran guna memberi pelayanan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa dan mengelompokkan siswa dalam kelas akselerasi. Karena layanan pembelajaran yang menyamaratakan kemampuan siswa dirasa bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan layanan kepada anak berbakat untuk mewujudkan bakat dan kemampuannya secara optimal, memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kreativitas secara optimal dan menyelesaikan pendidikan lebih awal selama dua tahun. Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah siswa dilayani secara individual, adanya bimbingan konseling, pelaksanaan program remedial, sekali sebulan diadakan belajar di luar sekolah, dan siswa yang hasil belajarnya kurang dari tujuh dipindahkan ke kelas reguler.

Selain program akselerasi, di sekolah tersebut juga menyelenggarakan kelas Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Latar belakang penyelenggaraannya adalah adanya keinginan untuk menjadi wadah dalam upaya mewujudkan inovasi di bidang pendidikan yang mencetak lulusan berdaya saing tinggi, daya saing internasional. Program pendidikannya adalah lama peserta didik selama 3 tahun, menggunakan bahasa pengantar bilingual dan model pembelajaran mendorong siswa kreatif, inovasi, dinamis dan mandiri. Didukung oleh fasilitas belajar seperti: ruang kelas yang memenuhi standar internasional, pembelajaran berbasis ICT, laboratorium IPA dan bahasa, tersedia akses internet, serta ruang multi media.


(37)

Lokasi penelitian yang kedua adalah sekolah yang hanya memiliki kelas reguler dan tidak menyelenggarakan program akselerasi maupun SBI. Sekolah tersebut didirikan pada tanggal 5 Oktober 1994 yang diresmikan oleh kepala kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Memiliki luas areal sebesar 5000 m2 dengan luas bangunan 1267 m2, terdiri dari 52 ruangan yang 16 diantaranya merupakan ruang kelas. Untuk mendukung aktivitas akademik dan non akademik sekolah tersebut dibina oleh 57 guru tetap, delapan guru tidak tetap, sepuluh orang tata usaha, tiga orang keamanan, satu orang pegawai perpustakaan, dan satu orang pegawai kebersihan. Jumlah siswa yang terdaftar sampai tahun ajaran 2009/2010 adalah kelas X berjumlah 360 orang, kelas X1 sebanyak 358 orang dan kelas XII sejumlah 360 orang. Sekolah tersebut memiliki sejumlah prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik.

Adapun visi dari sekolahnya adalah menjadi sekolah yang nyaman dengan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berwawasan teknologi berlandaskan iman dan taqwa. Sedangkan misinya adalah meningkatkan prestasi akademik lulusan, membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, meningkatkan prestasi ekstrakurikuler, menumbuhkan minat baca, meningkatkan kemampuan berbahsa inggris, meningkatkan wawasan teknologi bagi pendidik dan peserta didik. Memiliki tujuan umum yaitu meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Selain itu juga meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam.

Karakteristik Keluarga Usia Orangtua

Usia orangtua dalam penelitian ini mengacu pada pembagian usia menurut Hurlock (1980) yang terdiri dari tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh ayah contoh pada ketiga kelompok masuk dalam kategori usia madya (96,2% pada kelas akselerasi, 86,6% pada kelas SBI


(38)

dan 93,3% pada kelas reguler). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) usia ayah contoh pada ketiga kelompok contoh.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua

Usia Akselerasi SBI Reguler Total

n % n % n % n %

Ayah

Dewasa muda (18-40 tahun) 1 3,8 0 0 2 6,7 3 3,4 Dewasa madya (41-60 tahun) 25 96,2 26 86,6 28 93,3 79 91,9 Dewasa lanjut (>60 tahun) 0 0 2 6,7 0 0 2 2,3

Total 26 100 28 93,4* 30 100 84 97,6*

Min-maks (tahun) 39-59 42-72 40-56 39-72

Rataan ± standar deviasi 47,77±5,078 50,21±6,33 2

46,73±3,60 0

48,18±5,308

p value 0,900

Ibu

Dewasa muda (18-40 tahun) 2 7,7 2 6,7 8 26,7 12 13,9 Dewasa madya (41-60 tahun) 24 92,3 28 93,3 22 73,3 74 86,1 Dewasa lanjut (>60 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Total 26 100 30 100 30 100 86 100

Min-maks (tahun) Rataan ± standar deviasi

36-54 44,19±3,666 37-55 45,43±4,24 8 36-48 41,83±2,925 36-55 43,80±3,922

p value 0,001**

Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal **=signifikan pada level 0,05

Usia ibu contoh pada ketiga kelas pun memiliki kategori yang sama, yaitu ketiganya masuk pada kategori dewasa madya (92,3% pada kelas akselerasi, 93,3% pada kelas RSBI dan 73,3% pada kelas reguler). Terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antara kelas SBI dengan kelas reguler berdasarkan hasil uji beda

one way anova. Usia ibu contoh kelas SBI lebih tinggi dibandingkan dengan usia ibu contoh kelas reguler (dapat dilihat pada lampiran 4).

Tingkat Pendidikan Orangtua

Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Pendidikan ayah contoh dalam penelitian ini umumnya adalah tamat perguruan tinggi. Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh dari kelas akselerasi (73,1%) dan SBI (63,3%) paling banyak memiliki ayah yang tamat perguruan tinggi (sarjana), sedangkan 50 persen contoh dari kelas reguler memiliki ayah yang tamat SMA. Contoh dari kelas reguler lebih


(1)

Lampiran 8 Hasil uji beda

one way anova

dan

post hoc tests

motivasi intrinsik

pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler)

Anova

Motivasi intrinsik Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 347.307 2 173.653 8.563 .000

Within Groups 1683.251 83 20.280

Total 2030.558 85

Post Hoc Tests

(I) KODES

KLH

(J) KODES

KLH

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound Scheffe akselerasi SBI -4.254* 1.207 .003 -7.26 -1.25

reguler -4.487* 1.207 .002 -7.49 -1.48 SBI akselerasi 4.254* 1.207 .003 1.25 7.26

reguler -.233 1.163 .980 -3.13 2.66

reguler akselerasi 4.487* 1.207 .002 1.48 7.49

SBI .233 1.163 .980 -2.66 3.13

Bonferroni akselerasi SBI -4.254* 1.207 .002 -7.20 -1.31 reguler -4.487* 1.207 .001 -7.44 -1.54 SBI akselerasi 4.254* 1.207 .002 1.31 7.20 reguler -.233 1.163 1.000 -3.07 2.61 reguler akselerasi 4.487* 1.207 .001 1.54 7.44

SBI .233 1.163 1.000 -2.61 3.07


(2)

Lampiran 9 Hasil uji beda

one way anova

dan

post hoc tests

prestasi pada tiga

kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler)

Anova

Prestasi kognitif Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 531.516 2 265.758 96.530 .000

Within Groups 228.509 83 2.753

Total 760.025 85

Post Hoc Tests

(I) KODESK

LH

(J) KODESK

LH

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

akselerasi SBI 2.779* .445 .000 1.72 3.84

Reguler 6.147* .445 .000 5.09 7.21

SBI akselerasi -2.779* .445 .000 -3.84 -1.72

Reguler 3.368* .428 .000 2.35 4.39

Reguler akselerasi -6.147* .445 .000 -7.21 -5.09

SBI -3.368* .428 .000 -4.39 -2.35

Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

Anova

Prestasi

psikomotor Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 540.785 2 270.392 363.386 .000

Within Groups 61.760 83 .744

Total 602.544 85

Post Hoc Tests

(I) KODESK

LH

(J) KODESK

LH

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

akselerasi SBI 2.835* .231 .000 2.28 3.39

Reguler 6.204* .231 .000 5.65 6.76

SBI akselerasi -2.835* .231 .000 -3.39 -2.28

Reguler 3.369* .223 .000 2.84 3.90

Reguler akselerasi -6.204* .231 .000 -6.76 -5.65

SBI -3.369* .223 .000 -3.90 -2.84


(3)

Lampiran 9

(lanjutan)

Anova

Prestasi afektif Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Between

Groups 1.451 2 .725 30.151 .000

Within Groups 1.997 83 .024

Total 3.448 85

Post Hoc Test

(I) KODESK

LH

(J) KODESK

LH

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

akselerasi SBI .161* .042 .001 .06 .26

Reguler -.150* .042 .002 -.25 -.05

SBI akselerasi -.161* .042 .001 -.26 -.06

Reguler -.311* .040 .000 -.41 -.22

Reguler akselerasi .150* .042 .002 .05 .25

SBI .311* .040 .000 .22 .41


(4)

Lampiran 10 Hasil uji beda

kruskal wallis

pendidikan orangtua pada tiga

kelompok (kelas akselerasi, SBI, dan reguler)

Kruskal-Wallis Test

Kelas n Mean Rank

Pendidikan ayah Akselerasi 26 51.31

SBI 28 47.30

Regular 30 30.38

Total 84

Test Statisticsa,b

Pendidikan ayah

Chi-Square 15.044

Df 2

Asymp. Sig. .001

Keterangan: a= Kruskal Wallis Test b= Grouping Variable: Kelas

Kruskal-Wallis Test

Kelas n Mean Rank

Pendidikan ibu Akselerasi 26 59.69

SBI 30 45.15

Regular 30 27.82

Total 86

Test Statisticsa,b

Pendidikan ibu

Chi-Square 26.062

Df 2

Asymp. Sig. .000

Keterangan: a= Kruskal Wallis Test b= Grouping Variable: Kelas


(5)

Lampiran 11 Hasil uji korelasi karakteristik dengan gaya pengasuhan

Variabel Besar

keluarga Pendapatan keluarga Status pekerjaan ibu Pendidikan ayah Pendidikan ibu Umur Ayah Umur Ibu Jenis kelamin Gaya pengasuhan otoriter Gaya pengasuhan permissif Gaya pengasuhan otoritatif Gaya pengasuhan (total) Besar

keluarga 1

Pendapatan

keluarga 0,005 1

Status pekerjaan ibu

-0,175 0,345** 1

Pendidikan

ayah -0,184 0,303** 0,261* 1

Pendidikan

ibu -0,116 0,366** 0,507** 0,584** 1

Umur Ayah -0,190 0,345** -0,016 0,146 0,151 1

Umur Ibu 0,170 0,138 0,261* 0,045 0,335** 0,105 1

Jenis

kelamin -0,114 -0,002 0,116 -0,058 0,025 0,133 0,179

1 Gaya

pengasuhan otoriter

0,103 0,032 -0,047

0,150

-0,054 -0,069 -0,039 -0,267* 1

Gaya pengasuhan permissif

0,048 -0,224* -0,289**

0,019

-0,093 -0,271* -0,052 0,165 0,264* 1

Gaya pengasuhan otoritatif

0,028 0,043 -0,180

0,050

-0,182 0,039 -0,075 -0,040 0,324** 0,270* 1

Gaya pengasuhan (total)

-0,070 0,115 0,007 0,056 -0,027 0,014 -0,148 0,143 -0,300** -0,038 0,543** 1

Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%


(6)

Lampiran 12 Hasil uji korelasi antar gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar, prestasi belajar, dan model pembelajaran

Variabel Konsep

diri

Gaya pengasuhan

otoriter

Gaya pengasuhan

permissif

Gaya pengasuhan

otoritatif

Gaya pengasuhan

(total)

Motivasi intrinsik

Motivasi ekstrinsik

Motivasi (total)

Prestasi kognitif

Prestasi psikomotor

Prestasi afektif

Model pembelajaran Konsep diri 1

Gaya pengasuhan otoriter

0,272* 1

Gaya pengasuhan permissif

0,057 0,264* 1

Gaya pengasuhan otoritatif

0,235* 0,324** 0,270* 1

Gaya pengasuhan (total)

0,041* -0,300** -0,038 0,543** 1

Motivasi

intrinsik 0,522** 0,065 0,127 0,297** 0,143 1 Motivasi

ekstrinsik 0,306** -0,089 0,018 0,075 0,197 0,437** 1 Motivasi

(total) 0,501** -0,004 0,092 0,233* 0,196 0,881** 0,810** 1 Prestasi

kognitif -0,065 0,230* 0,032 0,131 -0,029 -0,217* 0,038 -0,122 1 Prestasi

psikomotor -0,023 0,201 0,048 0,052 -0,096 -0,256* 0,087 -0,121 0,929** 1 Prestasi

afektif 0,000 0,087 -0,137 -0,049 -0,04 0,145 0,026 0,108 0,028 -0,182 1 Model

pembelajaran 0,079 0,130 0,058 0,107 0,024 -0,276* 0,056 -0,165 0,801** 0,826** -0,574** 1

Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95%