BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN TERHADAP PRAKTEK MONOPOLI
YANG DILAKUKAN OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA
A. Ketentuan Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memuat ketentuan yang melarang berbagai kegiatan usaha yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan tersebut mencakup perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan penyalahgunaan posisi dominan, selain itu
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga mengatur beberapa pengecualian yang termasuk didalamnya adalah ketentuan Pasal 51 yang menetapkan mengenai
Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang diberi wewenang atau hak khusus dalam kegiatan usahanya.
Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 membahas tentang masalah hubungan kompleks antara hukum persaingan usaha dengan badan usaha milik Negara, yang
secara internasional masih dipertentangkan. Ketentuan ini terutama menangani perlakuan terhadap monopoli negara oleh hukum persaingan usaha. pihak Dewan
Perwakilan Rakyat tidak mengikuti kecenderungan yang ada pada saat ini di negara-negara maju yang melarang pendirian monopoli negara yang baru,
sedangkan monopoli negara yang sudah ada secara terbatas dikontrol oleh hukum persaingan usaha.
67
Pasal 51 berisi kewajiban untuk mengatur monopoli negara
67
Knud Hansen, Op. Cit. hlm. 45.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
melalui undang-undang untuk dapat dibenarkan, monopoli negara memerlukan suatu undang-undang yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh sebab itu, UU No.5 Tahun 1999 menunjukkan sikap yang jelas menentang preferensi politik yang sebelumnya diberikan kepada monopoli-
monopoli di tangan negara dan swasta yang terbentuk berdasarkan dukungan pemerintah. Tujuan yang ambisius ini tidak akan dapat dilaksanakan dalam waktu
singkat. Selama masa transisi, yaitu selama monopoli negara dan swasta disesuaikan agar memenuhi Pasal 51 melalui pemberian dasar hukum, maka
kelangsungan hidup monopoli tersebut terjamin berdasarkan Pasal 52.
68
Ketentuan-ketentuan hukum yang hingga saat ini merupakan landasan pemberian monopoli sesuai dengan Pasal 51, masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pasal 51 bagi penciptaan dan pelestarian monopoli negara. Pasal 51 dan Pasal 52 memberikan dasar hukum
bagi monopoli negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51. Tidak ada maksud untuk menghapus monopoli sama sekali, tetapi tujuan utama pasal-pasal ini adalah
untuk melakukan pengawasan demokratis terhadap monopoli. Hukum persaingan usaha menurut UU No.5 Tahun 1999 berpengaruh terhadap monopoli hanya dapat
terlaksana sejauh kriteria-kriteria yang termuat dalam Pasal 51, yag merupakan ukuran bagi legitimasi ekonomi yaitu: Hanya monopoli negara yang memuaskan
permintaan mayoritas masyarakat dengan barang atau jasa atau mewakili cabang produksi yang penting bagi kepentingan negara yang sah
69
. Secara teoritis, titik awal jangkauan Pasal 51 adalah definisi istilah pelaku
usaha. Definisinya dibakukan di Pasal 1 Angka 5. Pelaku usaha dimaksudkan
68
Ibid.
69
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagai setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang berkedudukan di wilayah negara
republik Indonesia dan baik sendiri atau bersama-sama menyelenggarakan kegiatan usaha. Menurut definisi hukumnya, yang penting adalah bahwa pelaku
usaha bersangkutan “menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi”.
70
Secara teoritis peranan tersebut dapat merupakan perorangan, negara itu sendiri atau badan usaha milik negara. Dari sudut pertimbangan hukum dapat dlilihat
bahwa badan usaha milik negara pada dasarnya juga termasuk jangkauan UU No.5 Tahun 1999. Kalau tidak demikian, maka ketentuan Pasal 51 tidak dapat
dipahami, oleh karena pasal ini terutama ditujukan pada BUMN. Sedangkan BUMN yang dibentuk atau dipilih oleh pemerintah baru memperoleh perhatian
berikutnya. Perusahaan-perusahaam semacam ini menurut bentuk luarnya memang
merupakan badan usaha milik swasta, akan tetapi berada dibawah tanggung jawab negara. Pasal 51 tidak menjelaskan secara konkrit tingkat ketergantungan yang
diisyaratkan, atau intensitas kemungkinan intervensi bagi negara terhadap kegiatan pelaku usaha swasta. Paling penting untuk diperhatikan adalah kenyataan
apakah perusahaan swasta tersebut sebenarnya mampu atau tidak mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri.
71
Setelah pelaku usaha, yang menjadi pembahasan di Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 ini adalah monopoli, pemusatan kegiatan dan cabang-cabang
produksi. Untuk monopoli, dalam Pasal 51 tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan monopoli oleh karena itu perlu mengacu
70
Ibid.
71
Suyud Margono, Op.Cit. hlm. 27.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kepada Pasal 1 Angka 1, yang memberikan definisi istilah monopoli
72
. Pada dasarnya Pasal 51 berlaku untuk monopoli alami, monopoli yang berdasarkan
undang-undang dan monopoli swasta. Dalam praktek, Pasal 51 hanya berperan terhadap monopoli alami dan monopoli yang berdasarkan undang-undang.
Monopoli oleh pihak swasta, sepanjang terbentuk melalui perjanjian mengenai hak kekayaan intelektual, diperlakukan secara khusus sesuai Pasal 50 UU No.5
1999. Cabang-cabang produksi, yang telah atau dapat dinasionalisasi menurut
Pasal 51, mempunyai posisi yang sama dengan monopoli dan pemusatan kegiatan. Oleh karena itu, Pasal 51 membedakan antara produksi dan atau penjualan secara
keseluruhan dengan cabang-cabang produksi saja. Pasal 51 membuka kemungkinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengeluarkan bagian
tertentu dari mekanisme pasar
73
. Secara eksplisit hanya disebutkan produksi, tidak disebutkan penjualan. Untuk penjualan tidak mungkin dilaksanakan nasionalisasi
yang bersifat sebagian, tetapi berkaitan dengan nasionalisasi penjualan, ada alternatif pertama dari Pasal 51 sesuai persyaratan yang disebutkan di pasal
tersebut, yaitu cabang-cabang produksi yang penting bagi keamanan negeri. Kemudian yang terpenting dari ketentuan Pasal 51 ini adalah mengenai
memenuhi hajat hidup orang banyak dan yang penting bagi negara. Tidak semua monopoli, pemusatan kegiatan atau cabang produksi dapat dinasionalisasikan.
Nasionalisasi seharusnya lebih merupakan reaksi terhadap maksud untuk “memenuhi hajat hidup orang banyak”
74
. Dengan demikian setiap nasionalisasi dikaitkan dengan pembuktian keperluannya. Nasionalisasi harus bereaksi terhadap
72
Ibid.
73
Knud Hansen, Op.Cit, hlm. 47.
74
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suatu kebutuhan tertentu. Keputusan tentang ada atau tidaknya kebutuhan tersebut harus diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial dan politik, dimana
harus diutamakan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat, dengan contoh jika sebagian besar masyarakat mengalami kekurangan pasokan barang dan atau
jasa seperti listrik, maka negara harus diberi kesempatan untuk dapat mengelola produksi dan penjualan dalam hal ini monopoli listrik.
75
Dalam hal penting bagi negara, sebetulnya semua cabang produksi dianggap cenderung penting bagi negara, tergantung definisi cabang produksi
industri mana saja yang berperan penting bagi negara. Dilihat secara terpisah, maka terbuka ruang sangat luas untuk mengecualikan produksi dan penjualan
sektor-sektor ekonomi yang dianggap penting dari UU No.5 Tahun 1999. Dalam hal ini yang diberi kewenangan untuk menilai pentingnya cabang-cabang produksi
adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang secara mendasar ditempatkan di luar jangkauan KPPU. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang
banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945 jika ternyata terdapat pihak yang merasa
dirugikan hak konstitusionalnya karena penilaian pembuat undang-undang tersebut.
Menurut Pasal 51, monopoli, pemusatan kegiatan dan cabang-cabang produksi yang dikelola oleh badan usaha milik negara atau telah diserahkan oleh
negara kepada pihak swasta berada di bawah pengawasan Dewan Perwakilan
75
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rakyat. Bagi pelaku-pelaku usaha tersebut harus diciptakan suatu landasan hukum. Dengan demikian terlah terjamin tingkat pengawasan demokratis minimal
bagi pendirian badan usaha milik negara.
76
Akan tetapi pengawasan tersebut hanya terbatas pada pendirian saja karena pemerintah yang menentukan produksi
atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu atau cabang produksi mana saja yang perlu dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau swasta yang tergantung
pada negara, dan secara konkrit pemerintah pula yang menentukan atau menunjuk badan usaha yang dimaksud. Dengan demikian pemerintah juga pada akhirnya
menguasai seluruh wewenang pengambilan keputusan, dengan tujuan peningkatan ekonomi Indonesia.
B. Penerapan Pasal 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1999