Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan manusia akan sumberdaya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sudibyo (2011) menyatakan bahwa menurut sensus penduduk tahun 2010 pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun dan menurut prediksi BKKBN bahwa jumlah penduduk Indonesia diperkirakan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih.

Jumlah penduduk di Kabupten Garut pada tahun 2000 sebanyak 2.044.129 jiwa. Jumlah penduduk semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi 2.407.086 jiwa dengan LPP sebesar 1,57% (Badan Pusat Statistik 2012). Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas maksimum sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan lingkungan. Salah satu sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia adalah sumberdaya hutan.

Menurut UU no. 41 tahun 1999 hutan memiliki tiga fungsi pokok, di antaranya fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Fungsi pokok dalam konservasi adalah pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya misalnya suaka alam, cagar alam, dan kawasan pelestarian alam. Fungsi pokok hutan dalam perlindungan adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi pokok hutan dalam produksi adalah memproduksi hasil hutan.

Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan tingginya tingkat degradasi hutan. Luas kawasan hutan yang rusak dan harus direhabilitasi di Jawa Barat sebesar 295.405 ha atau sebesar 28,8% dari luas total kawasan hutan yang ada di Jawa Barat (Badan Planologi Kehutanan 2002). Degradasi hutan tersebut terjadi karena adanya perambahan hutan, konversi hutan, dan lain sebagainya. Adanya degradasi hutan tersebut mengakibatkan berkurangnya pasokan air pada suatu wilayah terutama Daerah Aliran Sungai karena berkurangnya daerah resapan air. Hal tersebut merupakan salah satu


(2)

dampak yang dirasakan oleh penduduk Desa Sekar Wangi, Kecamatan Malangbong, Garut. Perlu adanya peran dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang dapat digunakan sebagai salah satu solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Kehadiran sistem agroforestri sangat diperlukan saat ini, karena pada sistem agroforestri ini setidaknya ada dua keuntungan yang bisa langsung diambil yaitu keuntungan secara ekonomis dan ekologis.

Tanaman pertanian atau tanaman sela yang disisipkan diantara tanaman pokok (kayu), memungkinan tanah tercuci atau tererosi akan bisa dikurangi dan tanaman kehutanan dapat meningkatkan infiltrasi air hujan sehingga pasokan air yang tersedia meningkat. Secara ekonomis jelas akan meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus menebang semua pohon untuk diganti dengan tanaman pertanian.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pola agroforestri terhadap pertumbuhan tanaman pokok G. arborea dan mengkaji hubungan sistem pengelolaan lahan terhadap produktivitas tanaman pokok.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari pola agroforestri yang tepat dan menguntungkan bagi pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis kegiatan rehabilitasi.


(3)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Pertumbuhan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian (organ-organ) tanaman akibat dari pertambahan jaringan sel yang dihasilkan oleh pertumbuhan ukuran sel. Jumlah sel yang semakin banyak atau ruang (volume) sel yang semakin besar membutuhkan semakin banyak bahan-bahan sel yang disintesis menggunakan substrat yang sesuai. Pertumbuhan berfungsi sebagai proses yang mengolah masukan substrat tersebut menghasilkan produk pertumbuhan. Pada tingkat sel, proses pertumbuhan menggunakan substrat dan senyawa-senyawa organik seperti asam amino dan karbohidrat untuk menghasilkan bahan-bahan sel. Pada tingkat tanaman, substrat dapat dibatasi pada bahan anorganik dan dan unsur lain yang diambil tanaman dari lingkungannya seperti karbondioksida, unsur hara, air, dan kuanta radiasi matahari yang diolah menjadi bahan organik yang dapat diukur secara sederhana dengan pertambahan bobot keseluruhan tanaman atau bagian-bagian tanaman termasuk bagian-bagian yang ditanam dan parameter lain (Sitompul dan Guritno 1995).

Peristiwa yang terjadi pada sistem tanaman dapat dimulai dari perkecambahan biji atau bahan tanaman lain seperti stek. Setelah bahan tanam ini ditanam, substrat yang terdapat di dalamnya (karbohidrat, lemak, dan protein) akan mengalami perombakan secara enzimatik untuk mendukung aktivitas embrio atau tunas membentuk bakal tanaman yang kemudian membentuk organ-organ utama tanaman seperti batang, daun, dan akar. Pembentukan awal organ-organ ini dengan demikian bergantung pada cadangan karbohidrat dan unsur hara dalam biji serta efisiensi metabolisme. Tanaman kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti program ontogeni dimana aktivitas dari proses-proses yang mendukung pertumbuhan disinkronisasi sedemikian rupa dalam membentuk biomassa tanaman yang maksimal sesuai dengan kondisi lingkungan.


(4)

Setelah substrat awal habis digunakan, penyediaan substrat selanjutnya tergantung pada luas daun dan efisiensinya memfiksasi CO2. Sejalan dengan

pertambahan umur tanaman, luas daun akan meningkat, tetapi tidak selalu diikuti peningkatan produksi karbohidrat yang proporsional karena ada penurunan efisiensi fiksasi CO2 khususnya pada tanaman yang dapat tumbuh dalam suatu

komunitas yang cukup rapat.

Tanaman yang memiliki daun yang lebih luas pada awal pertumbuhan akan lebih cepat tumbuh karena kemampuan menghasilkan fotosintat yang lebih tinggi dari tanaman yang memiliki luas daun lebih rendah. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang mudah dilihat. Sebagai parameter pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mengalami kekurangan cahaya biasanya lebih tinggi dari tanaman yang mendapat cahaya cukup (Sitompul dan Guritno 1995).

2.2Gmelina arborea

2.2.1 Klasifikasi dan penyebaran

Berdasarkan klasifikasi tumbuhan, gmelina (G. arborea) termasuk dalam famili Verbenaceae. Nama perdagangan yang umum dikenal adalah gmelina, di Indonesia dikenal secara umum dikenal dengan jati putih, sedangkan di beberapa tempat terkenal dengan nama di antaranya yaitu: Arakoko, koko, kayu titi (Maluku dan Irian Jaya), yemane, mai saw (Burma), gamar (Bangladesh), gumbar, shiwan (India), dan so-maeo (Thailand) (Martawijaya 1995).

Klasifikasi morfologi gmelina sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Gmelina


(5)

Spesies : arborea Roxb.

Penyebaran alami gmelina adalah di Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Cina Selatan. Di hutan alam spesies ini selalu tersebar dan berkelompok dengan spesies yang lain. Gmelina dijumpai di hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering menggugurkan daun di India Tengah. Gmelina sudah ditanam luas di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat, dan Amerika Selatan. Di Indonesia spesies ini termasuk kayu asing (exotic spesies) dan mendapat prioritas dalam rangka pembangunan Hutan Tanaman Industri (Sukajadi 1992).

2.2.2 Deskripsi botani

Tanaman gmelina (G. arborea) merupakan pohon dengan ukuran sedang,

tinggi dapat mencapai lebih (30−40) meter, batang silindris, diameter rata-rata

50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III−IV, dan kelas awet III (Martawijaya 2005). Kulit halus atau bersisik, warna coklat muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning terang, mengelompok dalam tandan besar (30−350 bunga per tandan). Daun bersilang, bergerigi, atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 10−25 cm x 5−18 cm. Bunga sempurna, panjang mencapai lebih dari 25 mm, berbentuk tabung dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari, penyerbukan umumnya dilakukan dengan bantuan lebah.

Buah gmelina berupa buah berdaging dengan panjang 20−35 mm, kulit mengkilat, mesokarp lunak, agak manis sedangkan bijinya keras seperti batu, panjang 16−25 mm, permukaan licin, satu ujung bulat, ujung yang lain runcing. Buah terdiri dati 4 ruang, jarang dijumpai 5 ruang, sedikitnya satu ruang berisi benih, jarang dalam satu buah terdiri dari biji batu. Ukuran benih meningkat menurut ukuran biji, yaitu panjang 6−9 mm. Berat 1.000 butir biji batu sekitar 400 g. Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami beriklim musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon menggugurkan daun. Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan dan pembuahan tidak jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun. Buah masak terjadi 1,5 bulan setelah pembungaan (Martawijaya 2005).


(6)

2.2.3 Syarat tumbuh

Gmelina tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi (0−1.000 m dpl) dengan curah hujan 1.000 mm per tahun dengan jumlah bulan kering maksimum 6−7 bulan per tahun. Menurut Alrasyid dan Widiarti (1992), untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal berada pada ketinggian 0-800 m dpl dengan curah hujan 1.778 s/d 2.286 mm dengan musim kering 2−4 bulan, suhu udara yang dikehendaki berkisar 21oC−28oC suhu maksimum dan minimumnya berkisar antara 24oC−35oC dan 18oC-26oC. Pada tanah subur, berdrainase baik dengan pH 4 sampai dengan 7. Gmelina tidak cocok pada tanah pasir, gambut dengan pengaruh pasang surut, begitu pula pada tanah yang kedap dari lapisan olah yang sangat tipis. Untuk tanah yang kurang subur, masih dapat tumbuh tetapi produksinya rendah. Menurut Sumarna (2012) gmelina relatif tahan dengan kondisi lahan yang kering.

2.2.4 Teknik silvikultur

Tanaman G. arborea dapat diproduksi dengan biji, stump, dan stek. Bahan untuk keperluan biji ini dikumpulkan dari tegakan yang baik agar diperoleh tegakan yang baik (Alrasyid dan Widiarti 1992).

Biji atau benih dapat disimpan pada wadah kedap udara. Biji atau benih dikumpulkan lebih baik ketika buah masih hijau atau kuning. Daya kecambah benih dari buah cokelat atau hitam sangat rendah. Biji yang mengapung dalam air sebaiknya tidak dipakai. Benih tidak mengalami dormansi dan tidak memerlukan perlakuan pendahuluan. Benih yang akan ditabur sebaiknya direndam dalam air dingin selama 24−48 jam. Benih umumnya cepat berkecambah dalam jumlah banyak. Perkecambahan sering lebih dari 100% karena dari satu biji tumbuh lebih dari satu kecambah. Kecambah gmelina termasuk epigeal (kotiledon terangkat dari permukaan tanah). Bibit gmelina ditanam pada musim hujan dengan jarak tanam yang umum dipakai 2,5 x 2,5 meter atau 3,5 x 3,5 meter. Hama penyakit yang perlu diwaspadai adalah serangan Atta sp, yaitu sejenis semut perusak daun dan sejenis semut gamar (Calapepla leayana) yaitu umumnya menyerang daun tunas dan ranting pohon (Sukajadi 1992).


(7)

2.2.4 Pemanfaatan

Kayu G. arborea ringan dan memiliki berat jenis 0,42−0,64. Pada mulanya pohon ini dikenal sebagai penghasil kayu energi, karena kayunya menghasilkan arang berkualitas terbaik, kurang berasap, dan cepat terbakar. Pohon ini juga dapat digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api, peti kemas, dan bahan kerajinan kayu (Alrasyid 1991). Martawijaya (1995) menambahkan, bahwa kayu gmelina bisa juga untuk bahan venir dan kayu lapis, papan partikel dan moulding.

Kayu gmelina menghasilkan pulp yang berkualitas baik. Pulp semi campuran sesuai digunakan sebagai papan karton atau kertas tulis kualitas rendah, namun pulp sesuai digunakan sebagai kertas tulis yang berkualitas tinggi. Akar, kulit batang, daun, buah, dan benih dari gemelina digunakan sebagai pengobatan bagi masyarakat Hindu. Buah dan kulit kayu gmelina digunakan sebagai obat penyakit hati. Gmelina sering ditanam pada kebun kopi dan cokelat untuk melindungi pohon muda dan untuk menekan rumput yang berbahaya. Daun dari gmelina digunakan sebagai makanan ternak. Bunga dari gmelina menghasilkan nektar yang melimpah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas tinggi (Soerianegara dan Lemmens 1994).

2.3 Agroforestri 2.3.1 Pengertian

Secara bahasa agroforestri berasal dari dua akar kata yaitu agros dan forestri. Agros adalah bahasa Yunani yang berarti bentuk kombinasi kegiatan pertanian dengan kegiatan lainnya pada sebuah lahan sedangkan forestry berasal dari bahasa inggris yang berarti segala sesuatu berkenaan dengan hutan (kehutanan) (Mahendra 2009). Menurut Lahjie (1992) agroforestri merupakan bentuk pengelolaan lahan yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Pertanian dalam arti suatu pemanfaatan lahan untuk memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Kehutanan untuk memperoleh produksi kayu pertukangan dan atau kayu bakar serta fungsi estetik, hidrologi, serta konservasi flora dan fauna. Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan yang bersifat permanen. Tanaman semusim maupun tahunan ditanam bersamaan atau dalam rotasi sehingga membentuk tajuk-tajuk yang berlapis. Sistem ini memberikan


(8)

keuntungan secara biologis maupun ekonomis. Menurut International Council for Reasearch in Agroforestry (De Foresta et al. 2000) agroforestri memiliki beberapa pengertian, di antaranya:

1. Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, rotan, dll) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak dan hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dan komponen yang lainnya.

2. Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai produk dan jasa sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar tanaman.

2.3.2 Pola agroforestri

Sistem agroforestri memiliki pola-pola (pattern) tertentu dalam mengkombinasikan komponen tanaman penyusunnya satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negatif antar komponen penyusun. Interaksi negatif yang terjadi bisa berupa kompetisi yang tidak sehat dalam memperebutkan unsur hara, cahaya matahari, air, serta ruang tumbuh. Akibat dari kompetisi tersebut adalah salah satu tanaman bisa tertekan bahkan mati karena pengaruh tanaman lainnya. Tajuk pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak sampai ke strata di bawahnya yang merupakan tempat tumbuh tanaman peranian. Akar pohon yang memanjang dan menempati horison tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm bisa mengganggu perakaran tanaman pertanian sehingga terjadi perebutan unsur hara (nutrisi) yang akhirnya merugikan tanaman peranian.

Vergara (1981) mengklasifikasikan pola tanam agroforestri dalam beberapa bentuk antara lain: Trees Along Border (TAB), yaitu pola penanaman pohon di bagian pinggir lahan dan tanaman pertanian berada di bagian tengah pohon-pohon yang ditanam mengelilingi lahan biasanya difungsikan sebagai pagar ataupun pembatas lahan. Bentuk yang kedua adalah alternate rows, yaitu model penanaman agroforestri yang menempatkan pohon dan tanaman pertanian


(9)

secara berselang-seling. Bentuk yang ketiga adalah alley cropping, yaitu pola penanaman agroforestri yang menempatkan pohon di pinggir kanan dan kiri tanaman pertanian. Pola ini memiliki beberapa keuntungan, di antaranya menghasilkan mulsa dan fiksasi nitrogen oleh tanaman sehingga produktivitas lebih meningkat, menghasilkan kayu dan pakan ternak, melindungi tanaman dari pengaruh angin kencang dan cahaya berlebih, serta keuntungan aspek konservasi tanah. Bentuk yang keempat adalah random mixture, yaitu pola penanaman acak, artinya antara tanaman pertanian dan pohon ditanam tidak teratur.

2.3.3 Peran agroforestri

Peran agroforestri menurut Mahendra (2009) adalah menjaga kestabilan ekosistem ditandai dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, menjaga kestabilan tanah dan ketersediaan hara dalam tanah, menjaga tata air dan ketersediaan air tanah untuk proses fisiologi tanaman, mencegah terjadinya bencana alam berupa erosi dan tanah longsor, memperbaiki struktur/agregasi tanah, dan meminmalisir dampak pemanasan global (global warming).

Andayani (2005) menyatakan bahwa agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif (collective name) dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti agrisilvikultur, sylvopastural, agrosylvo-pastoral, dan multipurpose forest tree production system. Agrisilvikultur yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan. Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem penggunaan lahan yang dikelola untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem penggunaan lahan dengan berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak.

Dalam bahasa Indonesia, kata agroforestri dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan


(10)

pertanian. Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Sistem agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistemnya menyerupai hutan.


(11)

IV.

KONDISI UMUM LOKASI

Desa Sekarwangi merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa barat. Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dan terletak di bagian Selatan. Secara geografis wilayahnya terletak pada koordinat 6o56’49”–7o45’00”LS dan

107o25’8”–108o7’30”BT. Desa sekarwangi memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut: sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sela Awi, sebelah utara berbatasan dengan Desa Cilampuyang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Mekarasih, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukajaya.

Desa Sekarwangi beriklim tropis basah (humid tropical climate), dengan bulan basah sebanyak lima bulan, curah hujan bulanan sebesar 186,5 mm, dan suhu rata-rata harian berkisar antara 18oC−25oC. Desa ini terletak pada ketinggian 550 meter di atas permukaan laut. Desa Sekarwangi memiliki topografi wilayah yang berbukit-bukit. Kondisi tanah di desa ini tergolong ke dalam subur dengan didominasi oleh tanah yang liat dengan jenis tanah latosol.

Luas total wilayah Desa Sekarwangi adalah 527.327 ha. Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Sekarwangi digunakan untuk berkebun dan pemukiman. Luas perkebunan sebesar 359.631 ha dan luas pemukiman sebesar 41.313 ha. Total penduduk di Desa Sekarwangi pada tahun 2011 sebanyak 5.843 orang dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.754 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 3.089 orang (Profil Desa 2011). Sebagian besar penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai buruh tani. Lahan pertanian yang ada di Desa Sekarwangi sebagian besar didominasi oleh tanaman pertanian, terutama tanaman pertanian berupa palawija.


(12)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Pebruari 2012 di lahan agroforestri Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah lahan garapan petani agroforestri dengan tanaman pokok G. arborea umur 14 bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah phiband (pita diameter), galah bambu, kompas, patok, tali rafia, golok, milimeter block, tally sheet, ring tanah, bor tanah, spiracle densiometer, kantong plastik, alat tulis, lembar kuisioner, alat hitung, kamera digital, dan komputer.

Gambar 1 Pola Agroforestri : A. kombinasi tanaman gmelina + suren + mahoni + cabai + jagung; B. kombinasi tanaman gmelina + sengon + jagung + singkong; C. kombinasi tanaman gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer yaitu melalui pengukuran langsung di lapangan seperti pengukuran dimensi tanaman, pengukuran suhu dan kelembaban, persen penutupan tajuk, pengambilan contoh tanah, serta sistem pengelolaan lahan yang diterapkan.

Data sekunder yang dibutuhkan adalah topografi dan kondisi iklim Desa Sekarwangi. Data ini diperoleh dari kantor Desa Sekarwangi dan wawancara bebas dengan petugas lapangan. Untuk data-data lain yang terkait dengan


(13)

penelitian ini, diperoleh dari studi pustaka serta laporan dan arsip dinas terkait maupun yang bersumber dari media elektronik.

3.4 Metode Kerja

3.4.1 Pengukuran dimensi tanaman

Pengukuran dimensi tanaman meliputi diameter batang, tinggi total, tajuk dan tinggi bebas cabang (TBC). Diameter batang, tinggi total, tinggi bebas cabang, dan tajuk diukur di dalam plot pengamatan. Diameter diukur menggunakan phiband pada ketinggian setinggi dada (DBH ± 1,3 meter). Pengukuran tinggi tanaman diukur dengan menggunakan galah berskala bambu yang telah diberi skala dan pita ukur. Pengukuran tinggi gmelina dilakukan dari pangkal batang sampai pucuk atau titik paling ujung.

Tajuk tanaman diukur dengan menggunakan kompas, galah, dan pita ukur. Panjang tajuk merupakan tajuk terpanjang dari gmelina yang diukur pada garis proyeksinya yang tegak lurus ke tanah. Lebar tajuk diukur pada tajuk terlebar gmelina yang garis proyeksinya tegak lurus dengan garis imajiner dari proyeksi tajuk terpanjang yang sudah diukur. Tata letak gmelina dan tanaman pertanian serta pola penanaman gmelina dalam satu plot disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tata letak gmelina pada pola agroforestri: A. kombinasi tanaman gmelina + suren + mahoni + cabai + jagung; B. kombinasi tanaman gmelina + sengon + jagung + singkong; C. kombinasi tanaman gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung (X = gmelina, S = suren, M = mahoni)

XX X X X

X X X X X

X X X X X

X X

X X X

S X S X S X S

X X S X S X S

X S X S X S X

S X S X S X S

X S M X S M X S M

X S M X S M X S M

B


(14)

3.4.2 Pengukuran Intensitas Penutupan Tajuk

Pendugaan penutupan tajuk dilakukan dengan menggunakan alat spiracle densiometer yang dikembangkan oleh Supriyanto dan Irawan (2001). Pengukuran persen penutupan tajuk dilakukan di tengah blok dan pada empat arah mata angin yaitu Utara, Timur, Selatan, dan Barat. Cara menggunakannya dengan meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30−45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persen bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan, yaitu terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%), serta bobot 0 (0%). 3.4.3 Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama 3 hari berturut-turut tanpa ada hujan di setiap plot pengamatan pada setiap pola agroforestri. Setiap harinya dilakukan tiga waktu pengukuran, yaitu pagi hari pada pukul 07.00-08.00 WIB, siang pada pukul 120.00−13.00 WIB, dan sore hari pukul 16.00-17.00 WIB. Masing-masing waktu pengukuran dilakukan 3 kali ulangan setiap 10 menit. 3.4.4 Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Tanah

Pegukuran dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Pengambilan contoh tanah untuk penentuan sifat fisik tanah ini dilakukan di plot pengamatan pada kelerengan sedang dan curam serta pada plot pengamatan permudaan berumur 14 bulan. Adapun sifat fisik tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori, dan kadar air contoh tanah.

Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut (Balai Penelitian Tanah 2004): lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop. Kemudian tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah dan tabung lainnya diletakkan tepat di atas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah


(15)

yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan. Tabung ditutup dengan tutup plastik.

Gambar 3 Titik pengambilan contoh tanah individu: A. sistematik diagonal; B.sistematik zig-zag; C. sistematik diagonal; D. acak

Sifat kimia tanah seperti pH tanah, kandungan bahan organik, nitrogen, serta unsur-unsur hara yang lain diamati dengan cara mengambil contoh tanah menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut: penentuan tempat atau titik pengambilan contoh tanah individu, dengan cara: (1) sistematik, seperti sistem diagonal atau zig-zag (Gambar 3A, 3B, dan 3C), atau (2) acak (Gambar 3D). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada areal datar (low land), areal miring, dan areal datar terpisah (upland). Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah. Tanah dicangkul sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Apabila menggunakan bor tanah (auger atau tabung), maka pada setiap titik pengambilan dibor sedalam 20 cm. Contoh tanah individu tersebut dicampur dan diaduk (10−15 contoh) dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (ini merupakan contoh tanah komposit). Tanah tersebut diberi label yang berisi keterangan: tanggal dan kode

A B

A


(16)

pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah.

Pengambilan contoh tanah komposit secara sistematik (zig-zag) sebanyak tiga titik. Berat contoh tanah yang diambil adalah 500 g dari setiap petak pengamatan.

3.5 Analisis Data

Data dimensi gmelina meliputi diameter batang, tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk dianalisis dengan menggunakan metode statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Data lain berupa suhu, kelembaban, sifat fisik dan kimia tanah, serta intensitas penutupan tajuk dianalisis secara deskriptif. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini di antaranya:

1. Pola agroforestri 1 (AgF1) dengan tanaman pokok gmelina, suren, mahoni, sengon, cabai, dan jagung.

2. Pola agroforestri 2 (AgF2) dengan tanaman pokok gmelina, sengon, jagung, dan singkong

3. Pola agroforestri 3 (AgF3) dengan tanaman pokok gmelina, suren, kacang tanah, singkong, dan jagung.

Model yang diuji dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor (Mattjik & Sumertajaya 2006) :

Yij= µ + αi +∑ij

keterangan :

Yij = nilai respon pengamatan pada pola agroforestri ke-i, ulangan ke-j

µ = rataan umum

αi = pengaruh pola agroforestri ke-i

∑ij = pengaruh acak pola agroforestri ke-i dan ulangan ke-j

Data hasil pengukuran dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan bila terdapat pengaruh yang signifikan pada parameter percobaan, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan software SAS (Statistical Analysis System) 9.1.3 Portable.


(17)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk. Hasil pengolahan data pengaruh pola agroforestri terhadap parameter pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Lampiran 1. Rekapitulasi hasil sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil sidik ragam pengaruh pola agroforestri terhadap parameter pertumbuhan tanaman

Parameter Pertumbuhan Perlakuan p-value

Diameter batang Tinggi total TBC

Diameter tajuk

* * * *

< 0,0001 0,0027 < 0,0001 < 0,0001 *: berpengaruh nyata pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pola agroforestri yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter pertumbuhan gmelina yakni diameter batang, tinggi, tinggi bebas cabang, dan diameter tajuk pada taraf 5%. Hal tersebut sesuai dengan nilai p-value yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Tinggi total

Berdasarkan hasil uji Duncan pada Tabel 2 pola agroforestri satu (AgF1) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pola agroforestri tiga pada taraf 5% dan memberikan nilai rataan tinggi total tertinggi daripada pola agroforestri dua (AgF2) dan pola agroforestri tiga (AgF3). Pola agroforestri dua memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pola agroforestri satu dan tiga.


(18)

Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter tinggi gmelina

Pola agroforestri Tinggi gmelina

AgF1 3,6a*

AgF2 3,3ab

AgF3 2,9b*

*: huruf beda di belakang angka menunjukan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%; AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

Diameter batang

Berdasarkan Tabel 3 ketiga perlakuan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap variabel diameter batang gmelina. Pola agroforestri yang memberikan nilai rataan diameter batang tertinggi adalah pola agroforestri satu. Pola agroforestri tiga memberikan pengaruh nilai rataan diameter yang paling rendah. Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter diameter

batang gmelina

Pola agroforestri Diameter batang gmelina (cm) AgF 1

AgF 2 AgF3

3,5* 3,0b* 2,3c*

*: huruf beda di belakang angka menunjukan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%; AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

Tinggi bebas cabang (TBC)

Berdasarkan Tabel 4 pola agroforestri satu memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi bebas cabang gmelina. Selain itu, rataan tinggi bebas cabang tertinggi terdapat pada pola agroforestri satu. Rataan tinggi bebas cabang yang paling rendah terdapat pada pola agroforestri tiga.


(19)

Tabel 4 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter TBC gmelina

Pola agroforestri Rata-rata TBC (m) AgF 1

AgF 2 AgF 3

40,7a* 20,1 b 19,6 b

*: Huruf beda di belakang angka menunjukan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%; AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

Diameter tajuk

Tabel 5 menunjukkan bahwa pola agroforestri satu memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% dan memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan diameter tajuk gmelina. Pola agroforestri dua dan tiga memberikan pengaruh yang saling tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai rataan diamater tajuk yang hampir sama.

Tabel 5 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter diameter tajuk gmelina

Pola Agroforestri Diameter tajuk (m) AgF 1

AgF 2 AgF 3

1,5 a* 0,8 b 0,7 b

*: huruf beda di belakang angka menunjukan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5%; AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

Persentase penutupan tajuk

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa persen penutupan tajuk yang paling rendah terdapat pada pola agroforstri satu (16,5%). Persen penutupan tajuk yang paling besar terdapat pada pola agroforestri dua (51,3%).

Tabel 6 Rata-rata persentase penutupan tajuk pada setiap pola agroforestri

Pola agroforestri Penutupan tajuk (%)

AgF1 16,5

AgF2 51,3

AgF3 25,9

AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung


(20)

Suhu dan kelembaban

Berdasarkan Tabel 7, rataan suhu yang paling tinggi terdapat pada pola agroforestri satu. Berbeda halnya dengan suhu, nilai kelembaban terbesar terdapat pada pola agroforestri tiga.

Tabel 7 Rata-rata suhu dan kelembaban

Pola agroforestri Suhu rata-rata (oC) Kelembaban (%) AgF1 AgF2 AgF3 25,7 25,0 25,1 86 86 90

AgF1: gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; AgF 2: gmelina + sengon + jagung + singkong; AgF 3: gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung

Sifat fisik dan kimia tanah

Tabel 8 Hasil analisis sifat kimia tanah

Tabel 9 Hasil analisis sifat fisik tanah

Parameter Hasil

Bulk density (g/cm3) 1,15

Porositas (%) 56,49

Kadar air (% volume) PF 2.54

PF 4.2

35,69

22,17

Air Tersedia (%) 13,52

Parameter Perlakuan AgF1 AgF2 AgF3 Tekstur Pasir (%) 11,08 7,62 4,54

Debu (%) 27,21 18,53 14,58 Liat (%) 61,71 73,85 80,85

pH H20 5,6 5,4 5,6

KCL 4,8 4,7 4,9 Bahan organik C (%)

N (%) 2,07 0,21 2,0 0,2 1,67 0,17 Nilai Tukar Kation Ca (me/100g) Mg (me/100g) 6,64 3,01 5,34 2,18 8,15 2,01 K (me/100g)

P pada HCl 25% (ppm)

1,56 123,1 0,76 136,1 0,67 72,9 Na (me/100g) 0,66 0,34 0,32 KTK (me/100g) 20,25 22,46 25,76 KB (%) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) 58,62 5,76 3,09 1,75 64,21 38,38 4,10 242 4,39 50,50 43,26 303,58 0,18 3,54 29,46


(21)

Sampel tanah yang diambil untuk analisis sifat fisik hanya diambil sebanyak satu sampel. Hal ini dikarenakan semua pola agroforestri terletak pada satu hamparan lahan yang sama dan dianggap homogen. Berdasarkan analisis sifat fisik tanah, sifat fisik tanah yang diperoleh merupakan sifat fisik yang tergolong baik untuk pertumbuhan gmelina. Sifat kimia dan fisik tanah pada setiap pola agroforestri disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9.

5.2 Pembahasan

Pola agroforestri dengan tanaman pokok gmelina yang diamati pada penelitian ini adalah sebanyak tiga pola. Pola agroforestri satu (AgF1) terdiri dari gmelina, suren (Toona sureni), mahoni (Swietenia macrophylla), sengon, dominansi cabai, dan jagung. Pola agroforestri dua (AgF2) terdiri dari gmelina, sengon, dominansi jagung, dan singkong. Pola agroforestri tiga (AgF3) terdiri dari gmelina, suren, dominansi kacang tanah, singkong, dan jagung. Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap empat parameter pertumbuhan yakni diameter batang, tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk. Berdasarkan uji lanjut Duncan dapat dilihat bahwa pola agroforestri satu memberikan pengaruh berbeda nyata dan memberikan pengaruh yang paling baik terhadap pertumbuhan gmelina dilihat dari nilai rataan yang tertinggi dari semua parameter pertumbuhan, yakni tinggi total, diameter, tinggi bebas cabang, dan diemeter tajuk.

Tinggi pohon merupakan salah satu parameter pertumbuhan yang mudah diamati. Berdasarkan hasil uji Duncan yang disajikan pada Tabel 2, pola agroforestri satu memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pola agroforestri tiga. Selain itu nilai rataan tinggi total gmelina pada pola agroforestri satu merupakan rataan tertinggi dibandingkan pola agroforestri dua dan tiga yakni sebesar 3,7 cm. Pola agroforestri satu dan pola agroforestri dua tidak saling berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat dari nilai rataan tinggi total yang selisihnya berdekatan.

Rataan tinggi total yang besar pada pola agroforestri satu diduga karena unsur hara yang cukup, suhu yang optimal, dan cahaya yang cukup. Hal tersebut mengakibatkan tingkat fotosintesis yang optimal sehingga pertumbuhan tinggi lebih pada pola ini lebih tinggi. Menurut Lewenussa (2009), pada usia muda,


(22)

tanaman cenderung melakukan pertumbuhan yang cepat ke arah vertikal (atas), pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, pergantian daun, pergantian akar, dan tinggi telah terpenuhi.

Rataan tinggi total yang besar pada pola agroforestri dua diduga karena adanya faktor kekurangan cahaya. Intensitas cahaya yang masuk pada pola agroforestri dua lebih rendah dibandingkan dengan pola agroforestri satu dan tiga. Hal ini dilihat dari nilai persentase penutupan tajuk sebesar 51,3%. Sitompul dan Guritno (1995), menyatakan bahwa tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mengalami kekurangan cahaya biasanya lebih tinggi dari tanaman yang mendapat cahaya cukup.

Diameter batang adalah salah satu parameter pertumbuhan yang diamati. Berdasarkan hasil uji Duncan yang disajikan pada Tabel 3, pengaruh ketiga pola agroforestri saling berbeda nyata pada taraf 5%. Akan tetapi berdasarkan nilai rataan diameter batang, pola agroforestri satu memberikan pengaruh yang paling baik terhadap parameter diameter batang gmelina. Hal tersebut terbukti dengan nilai rataan yang tertinggi pada pola agroforestri satu, yaitu sebesar 3,5 meter. Nilai rataan diameter batang yang tinggi pada pola agroforestri satu diduga karena unsur hara yang cukup. Selain itu pula pada pola agroforestri ini cahaya dan suhu optimal merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan diameter batang. Cahaya yang cukup dan suhu yang optimal memungkinkan optimalnya kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses fisiologis yang berfungsi dalam pertumbuhan.

Rataan diameter yang paling rendah pada pola agroforestri tiga diduga karena kombinasi tanaman yang beragam dengan tidak diiringi oleh sistem pengelolaan yang kurang optimal terutama dalam hal pemeliharaan tanaman pertanian seperti pemupukan. Hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang tinggi dalam hal mendapatkan unsur hara pada setiap tanaman. Pemupukan dilakukan untuk memenuhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Sumarna 2012). Kombinasi tanaman yang banyak akan membutuhkan lebih banyak masukan unsur hara.

Tinggi bebas cabang merupakan parameter pertumbuhan tanaman yang diamati. Tinggi bebas cabang tanaman selain dipengaruhi oleh lingkungan dan


(23)

unsur hara juga dipengaruhi oleh sistem pengelolaan lahan terutama dalam hal pemeliharaan tanaman, yakni pemangkasan. Menurut Sumarna (2012), untuk mendapatkan tinggi bebas cabang yang optimal, maka pemangkasan cabang harus dilakukan dengan gergaji pangkas sehingga pembentukan mata kayu yang dapat menurunkan kualitas kayu dapat ditekan. Tabel 4 hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pola agroforestri satu memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pola agroforestri dua dan tiga. Pola agroforestri dua dan tiga tidak saling berbeda nyata atau memberikan pengaruh yang sama. Pola agroforestri satu memberikan pengaruh paling baik dilihat dari nilai rataan tinggi bebas cabang yang tertinggi yakni sebesar 40,8%.

Tajuk merupakan aspek penting dalam pertumbuhan tanaman. Tajuk merupakan tempat berlangsungnya proses metabolisme yang menunjang terjadinya pertumbuhan. Aktivitas metabolisme tersebut salah satunya adalah fotosintesis. Semakin banyak dan semakin luas ukuran tajuk maka semakin besar kemampuannya dalam melakukan fotosintesis. Menurut Brown (1971), ukuran dan bentuk tajuk dikontrol oleh kombinasi genetis bawaan dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil uji Duncan yang disajikan pada Tabel 5, pola agroforestri satu memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap parameter pertumbuhan diameter tajuk gmelina. Pola agroforestri satu memberikan pengaruh paling baik dibandingkan dengan pola agroforestri dua dan tiga. Hal ini terlihat dengan nilai rataan diameter tajuk yang diperoleh yakni sebesar 1,5 meter.

Faktor-faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan gmelina paling baik di pola agroforestri satu adalah sistem pengelolaan lahan, intensitas penutupan tajuk, sifat fisik dan kimia tanah, iklim, dan komposisi tanaman. Menurut Hardjowigeno (1987), pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor di antaranya cahaya matahari, suhu, udara, air, dan unsur-unsur hara dalam tanah. Menurut Daniel et al. (1987), ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi tanaman antara lain: tempat tumbuh, iklim, penyebab fisiologis. Kombinasi tanaman pada setiap pola agroforestri akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok maupun tanaman sela. Interaksi yang positif pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan produksi dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya (Hairiah et al. 2002).


(24)

Kandungan pH pada ketiga pola agroforestri menunjukkan nilai yang hampir sama yakni berkisar antara 5,40−5,60. Hal tersebut berarti tanah tersebut memiliki keasaman yang tidak tinggi dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H+ di dalam tanah. pH tanah sangat penting terhadap pertumbuhan tanaman, di antaranya berfungsi dalam menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap tanaman, menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun, dan mempengaruhi perkembangan mikroorganisme.

Pertumbuhan gmelina yang lebih rendah pada pola agroforestri dua dan tiga diduga karena adanya tanaman singkong yang dikombinasikan pada kedua pola tersebut. Salam et al. (1997) menyebutkan tanaman singkong dikenal sangat boros dalam penyerapan unsur hara khususnya unsur P dan K serta beberapa unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn). Sifat singkong yang boros akan beberapa unsur hara makro dan mikro dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi hara terutama pada tanaman pokok sehingga pertumbuhan tanaman pokok menjadi terhambat.

Pola agroforestri satu secara umum memiliki unsur makro yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua pola lainnya. Unsur N merupakan salah satu unsur makro tanah yang berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N berwarna lebih hijau. Selain itu, unsur N berfungsi untuk pembentukan protein. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah, tanah pada pola agroforestri satu memiliki kadar unsur N paling tinggi daripada pola agroforestri dua dan tiga. Hal ini sesuai dengan hasil pertumbuhan gmelina yang lebih baik pada pola agroforestri satu. Unsur P berfungsi dalam pembelahan sel, pembentukan buah dan biji, serta mempercepat pematangan. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah unsur P tertinggi terdapat pada pola agroforestri dua. Unsur K berfungsi dalam pembentukan pati mengaktifkan enzim, pembukaan stomata, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan.

Pertumbuhan gmelina yang lebih rendah pada pola agroforestri tiga diduga karena rendahnya unsur hara tanah. Unsur hara N, P, dan K diduga sebagai faktor pembatas pertumbuhan gmelina pada pola agroforestri tiga. Ketiga unsur hara


(25)

makro tersebut memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan pola agroforestri satu dan dua.

Sama halnya dengan unsur K, unsur Ca dan Mg tertinggi terdapat pada pola agroforestri satu. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan gmelina lebih cepat dibandingkan dengan dua pola lainnya. Unsur Ca berfungsi dalam penyusunan dinding-dinding sel tanaman dan pembelahan sel. Unsur Mg (magnesium) berfungsi dalam pembentukan klorofil, aktivasi sistem enzim, dan pembentukan minyak.

Menurut Indriyanto (2006), tanah adalah tubuh alam (bumi) yang berasal dari berbagai campuran hasil pelapukan oleh iklim dan terdiri atas komponen bahan organik dan anorganik yang menyelimuti bumi, sehingga mampu menyediakan air, udara, dan hara bagi tumbuhan, serta sebagai berdiri tegaknya tumbuh-tumbuhan. Sifat fisik tanah yang diamati adalah Bulk density, porositas, kadar air, dan air tersedia. Bulk density atau kerapatan lindak atau bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin tinggi kepadatan tanah makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya bulk density berkisar dari 1,1−1,6 g/ml (Hardjowigeno 1987). Nilai bulk density yang diperoleh di lahan agroforestri sebesar 1,15 g/ml. Hal ini berarti nilai kepadatan tanah tergolong sedang sehingga tanah mudah untuk ditembus oleh akar.

Porositas tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang diamati. Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat tanah (terisi oleh udara dan air). Pori-pori tanah terdiri dari pori-pori kasar dan pori-pori halus. Tanah dengan banyak pori-pori kasar sulit menahan air sehingga tanaman mudah kekeringan. Menurut Hardjowigeno (1987), porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur tanah, dan tekstur tanah. Nilai porositas tanah pada lahan agroforestri yang diamati sebesar 56,49%. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki porositas yang baik. Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah pada wilayah jenuh atau semua pori-pori dan ruang antar partikel tanah jenuh berisi air, yang terdapat pada bagian atas disebut water table dan bagian bawah disebut ground water (Asdak 2005, Winter et al. 2005).


(26)

Kemantapan agregat tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk bertahan terhadap gaya-gaya yang akan merusaknya. Agregat tanah yang mantap akan mempertahankan sifat-sifat tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman, seperti porositas dan ketersediaan air lebih lama dibandingkan dengan agregat tanah tidak mantap (Hardjowigeno 1987). Tekstur tanah pada pola agroforestri satu tergolong ke dalam kelas tekstur berliat halus. Tekstur tanah pada pola agroforestri dua tergolong ke dalam kelas tekstur tanah liat. Tekstur tanah pada pola agroforestri tiga tergolong ke dalam kelas tekstur liat halus. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah tersebut mengandung fraksi liat yang lebih banyak dibandingkan dengan debu dan pasir.

Tanah dengan ruang pori tinggi seperti tanah liat memiliki bobot isi yang rendah. Sebaliknya, tanah dengan tekstur kasar, walaupun ukuran porinya lebih besar, namun total ruang porinya lebih kecil mempunyai bobot isi yang lebih tinggi. Komposisi mineral tanah seperti dominannya mineral tanah dengan berat jenis partikel tinggi di dalam tanah menyebabkan bobot isi tanah menjadi lebih tinggi pula (Grossman dan Reinsch 2002).

Cahaya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, karena kaitannya dengan proses fotosintesis sebagai proses metabolisme yang menghasilkan karbohidrat untuk aktivitas tanaman. Berdasarkan pengukuran intensitas penutupan tajuk dengan menggunakan densiometer, persen penutupan tajuk yang paling rendah terdapat pada pola agroforestri satu yakni sebesar 16,5% sedangkan pada pola agroforestri dua dan tiga yakni sebesar 51,3% dan 25,9%. Persen penutupan tajuk yang rendah pada pola agroforestri satu menyebabkan optimalnya intensitas cahaya yang dapat diserap oleh gmelina maupun tanaman pertaniannya.

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu unsur iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap suhu di setiap pola agroforestri, rataan suhu pada ketiga pola agroforestri termasuk ke dalam kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan gmelina yakni 21oC−28oC. Menurut Handoko (1995), suhu merupakan gambaran umum keadaan energi suatu benda. Variasi suhu menurut tempat dipengaruhi oleh posisi daerah terhadap daratan dan lautan serta keadaan unsur iklim seperti perawanan. Variasi


(27)

menurut tempat ini juga sangat ditentukan oleh waktu. Di daerah tropika, fluktuasi suhu rata-rata harian relatif konstan sepanjang tahun sedangkan fluktuasi suhu diurnal (variasi antara siang dan malam) lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian.

Selain suhu, kelembaban merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Handoko (1995), kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara. Kelembaban udara yang diukur pada setiap pola agroforestri menunjukan nilai yang bervariasi. Akan tetapi nilai kelembaban terbesar diperoleh pada pola agroforestri tiga.

Pengelolaan lahan merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan pertumbuhan tanaman pada lahan agroforestri. Pengelolaan lahan dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada kegiatan pemeliharaan tanaman, baik itu tanaman pokok maupun tanaman sela. Berdasarkan hasil wawancara dengan penggarap lahan dari setiap pola agroforestri, kegiatan pemeliharaan untuk gmelina pada setiap pola agroforestri adalah sama. Hal tersebut dikarenakan sumber dana untuk pemeliharaan gmelina berasal dari pemerintah. Dana yang diberikan disesuaikan dengan luas dan jumlah tanaman gmelina pada setiap pola agroforestri. Kegiatan pemeliharaan tersebut meliputi pemupukan dasar dengan pupuk kandang, penyiangan, dan pemupukan setiap tiga bulan satu kali dengan menggunakan pupuk NPK.

Berbeda halnya dengan kegiatan pemeliharaan pada tanaman gmelina, kegiatan pemeliharaan untuk tanaman sela pada setiap pola agroforestri adalah berbeda. Hal tersebut mengingat jenis tanaman sela yang berbeda pada setiap pola agroforestri dan kebutuhan akan nutrisi yang berbeda pula. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada pola agroforestri satu lebih intensif dibandingkan dengan pola agroforestri dua dan tiga. Hal tersebut dikarenakan jenis tanaman sela yang ditanam adalah cabai. Cabai merupakan jenis tanaman pertanian yang waktu panennya lebih dari satu kali (bisa mencapai 20 kali panen) untuk setiap satu kali masa tanam. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya unsur hara yang dibutuhkan tanaman cabai sehingga intensitas pemupukan yang diberikan lebih besar daripada jenis tanaman sela lain pada pola dua dan tiga (dominansi jagung dan kacang tanah). Jagung dan kacang tanah adalah jeinis tanaman pertanian yang waktu


(28)

panennya hanya sekali, sehingga unsur hara yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan dengan cabai. Tingkat pemeliharaan yang lebih intensif pada pola agroforestri satu mengakibatkan pertumbuhan gmelina pada setiap parameter lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada pola agroforestri dua dan tiga.


(29)

VI.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pola agroforestri yang diterapkan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan gmelina baik diameter batang, tinggi total, serta panjang dan lebar tajuk. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pola agroforestri satu memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan gmelina.

2. Sistem pengelolaan lahan pada pola agroforestri satu memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan gmelina daripada sistem pengelolaan pada pola agroforestri dua dan tiga.

6.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kombinasi pola agrofoestri lain yang terdapat di lahan agroforesti. Selain itu seiring bertambahnya umur dan panjang tajuk gmelina perlu adanya penggantian jenis tanaman pertanian baru pada lahan agroforestri dengan tanaman-tanaman pertanian yang lebih tahan naungan sehingga tidak mempengaruhi hasil produksi dan pendapatan penggarap lahan.


(30)

PERTUMBUHAN GMELINA (

Gmelina arborea

Roxb.)

PADA BEBERAPA POLA AGROFORESTRI

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

IDA ROSITA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid H. 1991. Faktor kualitas lahan pembatas untuk pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Buletin Penelitian Hutan 540:1-23.

Alrasyid H, Widiarti A. 1992. Teknik Penanaman dan Pemungutan Hasil Gmelina arborea. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Brown KM, Merritt C. 1970. A shadow pattern simulation model for forest opening. J Foretsry 868:24-29.

Daniel TW, Helms JA, Baker F. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono D, penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: The Principles of Sylviculture.

De Foresta H, Kusworo A, Minchon G, Djatmiko WA. 2000. Agroforest Khas Indonesia. Bogor: ICRAF.

Grossman RB, Reinsch TG. 2002. The solid phase. di dalam: Dane JH, Topp GC, editor. Methods of Soil Analysis. Ed ke-2. Winconsin: Soil Science Society of American. hlm 55-61.

Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: ICRAF.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pessindo. Hilel D. 1982. Introduction to Soil Rhysics. California: Academic Press. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.

Kurnia U, Agus F, Adimihardja A, Dariah A. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor: Departemen Pertanian.

Lahjie AM. 1990. Teknik Agroforestri di Asia. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Lewenussa A. 2009. Pengaruh mikoriza dan bioorganik terhadap pertumbuhan bibit Cananga odorata (Lamk) Hook fes & Thoms [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Mahendra F. 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia.

Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Nair PKR. 1987. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht-Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Pemerintah Kabupaten Garut. 2010. Penduduk berdasarkan kelompok usia. [terhubung berkala] http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/ sosbud_ demografi_kelompok_usia[24 Juli 2012].


(32)

Salam AK, Iswati A, Yusnaini S, Niswati A. 1997. Status kesuburan tanah dalam pertanaman singkong (Manihot esculenta Crantz) di Gunung Batin Lampung Utara. J Agrotrop 4:35-41.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudibyo. 2011. Prediksi BKKBN: 2011, penduduk Indonesia 241 jiwa. [terhubung berkala] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum /11/07/05/inua4p-prediksi-bkkbn-2011-penduduk-indonesia241-juta-jiwa [10 Mei 2012].

Soerianegara I, Lemmens RHMJ, editor. 1994. Timber trees: Major Commercial Timbers Plant resources of South-East Asia. Bogor: PROSEA Foundation. Sukajadi. 1992. Sekelumit tentang Tanaman Gmelina. Yogyakarta: Duta Rimba. Sumarna SH. 2012. Sukses Budidaya 9 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Klaten:

Cable Book.

Winter TC, Harvey JW, Franke OL, Alley WM. 2005. Concepts of ground water, water table, and flows systems. [terhubung berkala]. http://qa.water.usqs.qov/edu/watercyclecwdischarge. [15 Mei 2012].


(33)

PERTUMBUHAN GMELINA (

Gmelina arborea

Roxb.)

PADA BEBERAPA POLA AGROFORESTRI

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

IDA ROSITA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(34)

ii

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

IDA ROSITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(35)

iii IDA ROSITA. Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, rotan) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak dan hewan lainnya sehingga terbentuk interaksi ekologis antara tanaman berkayu dan komponen yang lainnya. Pemilihan pola agroforestri yang tidak tepat akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok dengan adanya persaingan yang tinggi untuk mendapatkan unsur hara, udara, maupun cahaya matahari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola agroforestri terhadap pertumbuhan G. arborea dan menganalisis hubungan sistem pengelolaan lahan terhadap pertumbuhan G. arborea.

Penelitian ini menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan analisis satu faktorial, yakni pola agroforestri. Pola agroforestri yang dipilih sebagai perlakuan di antaranya pola agroforestri satu (AgF1) terdiri dari gmelina, suren, mahoni, singkong, cabai, dan jagung. Pola agroforestri dua (AgF2) terdiri dari gmelina, sengon, tanaman jagung, dan singkong. Pola agroforestri tiga (AgF3) terdiri dari gmelina, suren, kacang tanah, singkong, dan jagung. Parameter yang diamati adalah dimensi gmelina berupa tinggi total, diameter batang, tinggi bebas cabang, dan diameter tajuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola agroforestri dengan kombinasi tanaman gmelina, suren, mahoni, cabai, dan jagung memberikan pengaruh yang paling baik terhadap seluruh parameter pertumbuhan gmelina. Adapun parameter tersebut di antaranya diameter batang, tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter tajuk. Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil uji sidik ragam dan uji Duncan. Pola agroforestri dengan kombinasi tanaman gmelina, suren, mahoni, cabai, dan jagung memberikan rataan tertinggi pada setiap parameter. Selain itu sistem pengelolaan lahan pada agroforestri tersebut juga memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan gmelina.


(36)

iv IDA ROSITA. Growth of Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) in Some Agroforestry Patterns. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestry is a system of land use which combines wooden plants (trees, shrubs, rattan) with plants is not a wooden or may with grass (pasture), sometimes there is a component of livestock and other animals so that ecological interactions between plant formed a wooden and other components. Selection of inappropriate agroforestry pattern will affect the growth of plants by the existence of high competition to get nutrient elements, air, and light of the Sun.

Agroforestry patterns which were selected as a treatment are agroforestry pattern one (AgF1) consists of gmelina, suren, mahoni, pete, the dominance of chili plants, and corn. Agroforestri pattern two (AgF2) consists of gmelina, sengon, dominance of plant corn, and cassava. Agroforestri pattern three (AgF3) consists of gmelina, suren, crop the dominance of cassava, peanut, and corn. Observed parameters is gmelina dimension, which are total tall, total diameter trunk, tall branch without crown, and the crown diameter.

This research aims to analyze the effect of agroforestry pattern on the growth of G. arborea and analyze the relationship of land use management system with the growth of G. arborea. The research held in the Sekarwangi Village, Malangbong, Garut in December 2011 up to February 2012. This research uses a Complete random Design (RAL) with one factorial analysis, i.e. agroforestry pattern.

The result showed that agroforestry pattern one give the best effect to gmelina growth. It obtained based on the test and test fingerprints variegated Duncan. Agroforestry pattern one gives highest average on all parameters. Besides that, land management system agroforestry pattern one also exert the best effect to the gmelina growth.


(37)

v

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan Gmelina

(Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Ida Rosita NIM E44080008


(38)

vi Judul Skripsi : Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut

Nama Mahasiswa : Ida Rosita

NIM : E44080008

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009


(39)

vii Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat merampungkan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi seluruh umat, Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat, dan sampai kepada pengikutnya sampai akhir zaman.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Pebruari 2012 adalah pertumbuhan Gmelina arborea dengan judul “Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut”. Penelitian dilaksanakan di lahan agroforestri milik masyarakat Desa Sekarwangi dengan harapan agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari pola agroforestri yang tepat dan menguntungkan bagi pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis kegiatan rehabilitasi. Hasil penelitian kemudian didokumentasikan dalam bentuk skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran membangun dari pembaca untuk penulis sangat dinanti untuk kemajuan penulis di masa yang akan datang. Harapan penulis ialah semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang kehutanan, khususnya silvikultur.

Bogor, Juni 2012

Ida Rosita NIM E44080008


(40)

viii Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini dan juga pihak yang selama ini membimbing penulis, antara lain:

1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah mencurahkan segala kesabaran, perhatian, waktu, tenaga, serta pikiran beliau dalam memberikan arahan dan bimbingan. Bapak Dr. Ir. Budi Hernowo, M.Sc selaku dosen penguji serta Bapak Dr. Ir Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop selaku ketua sidang komprehensif atas masukan dan sarannya terhadap penulis.

2. Ayahanda Adja dan ibunda Yati serta kakak beserta keluarga besar di Garut atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

3. Bapak Lurah Desa Sekarwangi, Bapak Ahim Rahayu selaku Ketua Kelompok Tani, dan masyarakat Desa Sekarwangi khususnya para pemilik dan penggarap lahan agroforestri atas yang telah membantu dan mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Lahan Agroforestri Desa Sekarwangi Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut.

4. Ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS selaku ketua Komisi Pendidikan atas saran dan masukannya kepada penulis.

5. Staf Tata Usaha: Ibu Aliyah, Pak Ismail, Pak Dedi, dan Mas Saiful serta keluarga besar Silvikultur baik dosen maupun staf Departemen Silvikultur atas kekeluargaan dan ilmu yang telah diberikan.

6. Teman-teman Silvikultur 45 dan keluarga Fakultas Kehutanan IPB: Dekya, Bude, Ari, Mimi, Lita, Khori, Umar, Uan, Edo, Ageng, Yolan, Lintang dan seluruh teman-teman atas segala bantuan, dukungan, motivasinya, semua kenangan yang telah kita lalui, dan kebersamaan ini semoga bisa tetap terjalin. 7. Teman dan sahabat yang sekaligus menjadi keluarga di Bogor: Wyanda, Alm.

Vebry, Nina, Inggit, Baher, Dea, Yani, Ulfah, Dian, Rizki, dan Syifa.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan, tanpa mengurangi rasa hormat, semoga segala kebaikan dibalas Allah SWT.


(41)

ix Penulis dilahirkan di Garut, pada tanggal 28 April 1989 sebagai anak ke-5 dari lima bersaudara pasangan Adja dan Yati. Pada tahun 2008 penulis lulus SMA Negeri 9 Garut dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, yakni staf divisi Informasi dan Komunikasi (INFOKOM) BEM Fakultas Kehutanan tahun 2010, staf Scientific Improvement Division Tree Grower Community (TGC) tahun 2010, dan sekretaris umum Tree Grower Community (TGC) tahun 2011. Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan. Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan praktik lapang, kegiatan tersebut, yakni Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang Timur-Gunung Papandayan Garut, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Sukabumi), serta Praktik Kerja Profesi di PT Newmont Nusa Tenggara, Nusa Tenggara Barat.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri”, dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.


(42)

x Halaman DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN ... xiii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 1 1.3 Manfaat Penelitian ... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Pertumbuhan ... 3 2.2 Gmelina arborea ... 4 2.3 Agroforestri ... 7 III. METODE PENELITIAN ... 11 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11 3.2 Alat dan Bahan ... 11 3.3 Metode Pengumpulan Data ... 11 3.4 Metode Kerja ... 12 3.5 Analisis Data ... 15 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 16 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 5.1 Hasil Penelitian ... 17 5.2 Pembahasan ... 22 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28 6.1 Kesimpulan ... 28 6.2 Saran ... 28 DAFTAR PUSTAKA ... 30 LAMPIRAN ... 32


(43)

xi

Halaman 1 Hasil sidik ragam pengaruh pola agroforestri terhadap parameter dimensi

tanaman ... 17 2 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter tinggi

gmelina ... 18 3 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter

diameter batang gmelina ... 18 4 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter TBC

gmelina ... 19 5 Hasil uji Duncan pengaruh pola agroforestri terhadap parameter

diameter tajuk gmelina ... 19 6 Rata-rata persentase penutupan tajuk pada setiap pola agroforestri ... 19 7 Rata-rata suhu dan kelembaban ... 20 8

Hasil analisis sifat kimia tanah ... 20 9

Hasil analisis sifat fisik tanah ... 20


(44)

xii Halaman 1 Pola agroforestri: A. kombinasi tanaman gmelina + suren + mahoni

+ sengon + cabai + jagung; B. kombinasi tanaman gmelina + sengon + jagung + singkong; C. kombinasi tanaman gmelina + suren

+ kacang tanah + singkong + jagung ... 11 2 Tata letak gmelina pada pola agroforestri: A. kombinasi tanaman

gmelina + suren + mahoni + sengon + cabai + jagung; B. kombinasi tanaman gmelina + sengom + jagung + singkong; C. kombinasi

tanaman gmelina + suren + kacang tanah + singkong + jagung ... 12 3 Titik pengambilan contoh tanah individu: A. sistematik diagonal


(45)

xiii Halaman 1 Hasil pengolahan data tinggi total gmelina ... 33 2 Hasil pengolahan data diameter batang gmelina ... 33 3 Hasil pengolahan data diameter tajuk gmelina ... 33 4 Hasil pengolahan data tinggi bebas cabang gmelina... 34 5 Hasil analisis sifat kimia tanah ... 35 6 Hasil analisis sifat fisik tanah ... 36


(46)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan manusia akan sumberdaya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sudibyo (2011) menyatakan bahwa menurut sensus penduduk tahun 2010 pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,49 per tahun dan menurut prediksi BKKBN bahwa jumlah penduduk Indonesia diperkirakan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih.

Jumlah penduduk di Kabupten Garut pada tahun 2000 sebanyak 2.044.129 jiwa. Jumlah penduduk semakin meningkat pada tahun 2010 menjadi 2.407.086 jiwa dengan LPP sebesar 1,57% (Badan Pusat Statistik 2012). Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas maksimum sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan lingkungan. Salah satu sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia adalah sumberdaya hutan.

Menurut UU no. 41 tahun 1999 hutan memiliki tiga fungsi pokok, di antaranya fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Fungsi pokok dalam konservasi adalah pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya misalnya suaka alam, cagar alam, dan kawasan pelestarian alam. Fungsi pokok hutan dalam perlindungan adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi pokok hutan dalam produksi adalah memproduksi hasil hutan.

Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan tingginya tingkat degradasi hutan. Luas kawasan hutan yang rusak dan harus direhabilitasi di Jawa Barat sebesar 295.405 ha atau sebesar 28,8% dari luas total kawasan hutan yang ada di Jawa Barat (Badan Planologi Kehutanan 2002). Degradasi hutan tersebut terjadi karena adanya perambahan hutan, konversi hutan, dan lain sebagainya. Adanya degradasi hutan tersebut mengakibatkan berkurangnya pasokan air pada suatu wilayah terutama Daerah Aliran Sungai karena berkurangnya daerah resapan air. Hal tersebut merupakan salah satu


(47)

dampak yang dirasakan oleh penduduk Desa Sekar Wangi, Kecamatan Malangbong, Garut. Perlu adanya peran dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan yang dapat digunakan sebagai salah satu solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Kehadiran sistem agroforestri sangat diperlukan saat ini, karena pada sistem agroforestri ini setidaknya ada dua keuntungan yang bisa langsung diambil yaitu keuntungan secara ekonomis dan ekologis.

Tanaman pertanian atau tanaman sela yang disisipkan diantara tanaman pokok (kayu), memungkinan tanah tercuci atau tererosi akan bisa dikurangi dan tanaman kehutanan dapat meningkatkan infiltrasi air hujan sehingga pasokan air yang tersedia meningkat. Secara ekonomis jelas akan meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus menebang semua pohon untuk diganti dengan tanaman pertanian.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pola agroforestri terhadap pertumbuhan tanaman pokok G. arborea dan mengkaji hubungan sistem pengelolaan lahan terhadap produktivitas tanaman pokok.

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari pola agroforestri yang tepat dan menguntungkan bagi pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis kegiatan rehabilitasi.


(48)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Pertumbuhan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian (organ-organ) tanaman akibat dari pertambahan jaringan sel yang dihasilkan oleh pertumbuhan ukuran sel. Jumlah sel yang semakin banyak atau ruang (volume) sel yang semakin besar membutuhkan semakin banyak bahan-bahan sel yang disintesis menggunakan substrat yang sesuai. Pertumbuhan berfungsi sebagai proses yang mengolah masukan substrat tersebut menghasilkan produk pertumbuhan. Pada tingkat sel, proses pertumbuhan menggunakan substrat dan senyawa-senyawa organik seperti asam amino dan karbohidrat untuk menghasilkan bahan-bahan sel. Pada tingkat tanaman, substrat dapat dibatasi pada bahan anorganik dan dan unsur lain yang diambil tanaman dari lingkungannya seperti karbondioksida, unsur hara, air, dan kuanta radiasi matahari yang diolah menjadi bahan organik yang dapat diukur secara sederhana dengan pertambahan bobot keseluruhan tanaman atau bagian-bagian tanaman termasuk bagian-bagian yang ditanam dan parameter lain (Sitompul dan Guritno 1995).

Peristiwa yang terjadi pada sistem tanaman dapat dimulai dari perkecambahan biji atau bahan tanaman lain seperti stek. Setelah bahan tanam ini ditanam, substrat yang terdapat di dalamnya (karbohidrat, lemak, dan protein) akan mengalami perombakan secara enzimatik untuk mendukung aktivitas embrio atau tunas membentuk bakal tanaman yang kemudian membentuk organ-organ utama tanaman seperti batang, daun, dan akar. Pembentukan awal organ-organ ini dengan demikian bergantung pada cadangan karbohidrat dan unsur hara dalam biji serta efisiensi metabolisme. Tanaman kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti program ontogeni dimana aktivitas dari proses-proses yang mendukung pertumbuhan disinkronisasi sedemikian rupa dalam membentuk biomassa tanaman yang maksimal sesuai dengan kondisi lingkungan.


(49)

Setelah substrat awal habis digunakan, penyediaan substrat selanjutnya tergantung pada luas daun dan efisiensinya memfiksasi CO2. Sejalan dengan

pertambahan umur tanaman, luas daun akan meningkat, tetapi tidak selalu diikuti peningkatan produksi karbohidrat yang proporsional karena ada penurunan efisiensi fiksasi CO2 khususnya pada tanaman yang dapat tumbuh dalam suatu

komunitas yang cukup rapat.

Tanaman yang memiliki daun yang lebih luas pada awal pertumbuhan akan lebih cepat tumbuh karena kemampuan menghasilkan fotosintat yang lebih tinggi dari tanaman yang memiliki luas daun lebih rendah. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang mudah dilihat. Sebagai parameter pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mengalami kekurangan cahaya biasanya lebih tinggi dari tanaman yang mendapat cahaya cukup (Sitompul dan Guritno 1995).

2.2Gmelina arborea

2.2.1 Klasifikasi dan penyebaran

Berdasarkan klasifikasi tumbuhan, gmelina (G. arborea) termasuk dalam famili Verbenaceae. Nama perdagangan yang umum dikenal adalah gmelina, di Indonesia dikenal secara umum dikenal dengan jati putih, sedangkan di beberapa tempat terkenal dengan nama di antaranya yaitu: Arakoko, koko, kayu titi (Maluku dan Irian Jaya), yemane, mai saw (Burma), gamar (Bangladesh), gumbar, shiwan (India), dan so-maeo (Thailand) (Martawijaya 1995).

Klasifikasi morfologi gmelina sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Gmelina


(50)

Spesies : arborea Roxb.

Penyebaran alami gmelina adalah di Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Cina Selatan. Di hutan alam spesies ini selalu tersebar dan berkelompok dengan spesies yang lain. Gmelina dijumpai di hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering menggugurkan daun di India Tengah. Gmelina sudah ditanam luas di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat, dan Amerika Selatan. Di Indonesia spesies ini termasuk kayu asing (exotic spesies) dan mendapat prioritas dalam rangka pembangunan Hutan Tanaman Industri (Sukajadi 1992).

2.2.2 Deskripsi botani

Tanaman gmelina (G. arborea) merupakan pohon dengan ukuran sedang,

tinggi dapat mencapai lebih (30−40) meter, batang silindris, diameter rata-rata

50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III−IV, dan kelas awet III (Martawijaya 2005). Kulit halus atau bersisik, warna coklat muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning terang, mengelompok dalam tandan besar (30−350 bunga per tandan). Daun bersilang, bergerigi, atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 10−25 cm x 5−18 cm. Bunga sempurna, panjang mencapai lebih dari 25 mm, berbentuk tabung dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari, penyerbukan umumnya dilakukan dengan bantuan lebah.

Buah gmelina berupa buah berdaging dengan panjang 20−35 mm, kulit mengkilat, mesokarp lunak, agak manis sedangkan bijinya keras seperti batu, panjang 16−25 mm, permukaan licin, satu ujung bulat, ujung yang lain runcing. Buah terdiri dati 4 ruang, jarang dijumpai 5 ruang, sedikitnya satu ruang berisi benih, jarang dalam satu buah terdiri dari biji batu. Ukuran benih meningkat menurut ukuran biji, yaitu panjang 6−9 mm. Berat 1.000 butir biji batu sekitar 400 g. Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami beriklim musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon menggugurkan daun. Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan dan pembuahan tidak jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun. Buah masak terjadi 1,5 bulan setelah pembungaan (Martawijaya 2005).


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

iii IDA ROSITA. Pertumbuhan Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, rotan) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak dan hewan lainnya sehingga terbentuk interaksi ekologis antara tanaman berkayu dan komponen yang lainnya. Pemilihan pola agroforestri yang tidak tepat akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok dengan adanya persaingan yang tinggi untuk mendapatkan unsur hara, udara, maupun cahaya matahari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola agroforestri terhadap pertumbuhan G. arborea dan menganalisis hubungan sistem pengelolaan lahan terhadap pertumbuhan G. arborea.

Penelitian ini menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan analisis satu faktorial, yakni pola agroforestri. Pola agroforestri yang dipilih sebagai perlakuan di antaranya pola agroforestri satu (AgF1) terdiri dari gmelina, suren, mahoni, singkong, cabai, dan jagung. Pola agroforestri dua (AgF2) terdiri dari gmelina, sengon, tanaman jagung, dan singkong. Pola agroforestri tiga (AgF3) terdiri dari gmelina, suren, kacang tanah, singkong, dan jagung. Parameter yang diamati adalah dimensi gmelina berupa tinggi total, diameter batang, tinggi bebas cabang, dan diameter tajuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola agroforestri dengan kombinasi tanaman gmelina, suren, mahoni, cabai, dan jagung memberikan pengaruh yang paling baik terhadap seluruh parameter pertumbuhan gmelina. Adapun parameter tersebut di antaranya diameter batang, tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter tajuk. Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil uji sidik ragam dan uji Duncan. Pola agroforestri dengan kombinasi tanaman gmelina, suren, mahoni, cabai, dan jagung memberikan rataan tertinggi pada setiap parameter. Selain itu sistem pengelolaan lahan pada agroforestri tersebut juga memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan gmelina.


(6)

iv

SUMMARY

IDA ROSITA. Growth of Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) in Some Agroforestry Patterns. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestry is a system of land use which combines wooden plants (trees, shrubs, rattan) with plants is not a wooden or may with grass (pasture), sometimes there is a component of livestock and other animals so that ecological interactions between plant formed a wooden and other components. Selection of inappropriate agroforestry pattern will affect the growth of plants by the existence of high competition to get nutrient elements, air, and light of the Sun.

Agroforestry patterns which were selected as a treatment are agroforestry pattern one (AgF1) consists of gmelina, suren, mahoni, pete, the dominance of chili plants, and corn. Agroforestri pattern two (AgF2) consists of gmelina, sengon, dominance of plant corn, and cassava. Agroforestri pattern three (AgF3) consists of gmelina, suren, crop the dominance of cassava, peanut, and corn. Observed parameters is gmelina dimension, which are total tall, total diameter trunk, tall branch without crown, and the crown diameter.

This research aims to analyze the effect of agroforestry pattern on the growth of G. arborea and analyze the relationship of land use management system with the growth of G. arborea. The research held in the Sekarwangi Village, Malangbong, Garut in December 2011 up to February 2012. This research uses a Complete random Design (RAL) with one factorial analysis, i.e. agroforestry pattern.

The result showed that agroforestry pattern one give the best effect to gmelina growth. It obtained based on the test and test fingerprints variegated Duncan. Agroforestry pattern one gives highest average on all parameters. Besides that, land management system agroforestry pattern one also exert the best effect to the gmelina growth.