Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut

(1)

1.1 Latar Belakang

Konversi lahan sering kali menjadi permasalahan global saat ini, terutama konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Hal ini tentu dilatarbelakangi jumlah populasi manusia yang kian meningkat dan tuntutan akan kebutuhan pangan yang kian tinggi, sehingga alih guna lahan kehutanan menjadi pertanian atau perkebunan kian bertambah.

Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan alih guna lahan tersebut adalah dengan sistem agroforestri. Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (Hairiah et al. 2003). Pada dasarnya agroforestri sudah mulai diterapkan masyarakat sejak dahulu. Sebagian masyarakat sudah memanfaatkan lahan secara agroforestri. Akan tetapi, masih banyak juga yang memanfaatkan lahan secara monokultur dengan tanaman pertanian.

Salah satu kegiatan agroforestri terdapat di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Program ini merupakan kerja sama antara masyarakat sekitar dengan Kementerian Kehutanan Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy. Sistem agroforestri ini diterapkan di lahan masyarakat seluas 25 ha. Pihak BP-DAS Cimanuk-Citanduy memfasilitasi bibit untuk ditanam di lahan milik rakyat. Kebutuhan akan kayu yang meningkat dan terjadinya kekeringan pada musim kemarau, menjadi alasan diterapkannya sistem agroforestri di lahan tersebut. Daerah ini juga merupakan daerah hulu DAS, sehingga Kemenhut BP-DAS Cimanuk-Citanduy bersama masyarakat berupaya merehabilitasi daerah tersebut. Terjaganya daerah hulu DAS diharapkan akan memperbaiki siklus air di daerah tersebut maupun di daerah hilir.


(2)

2 Selain memiliki nilai ekologi untuk merehabilitasi daerah tersebut, agroforestri yang diterapkan juga memiliki nilai ekonomi maupun sosial. Nilai ekonomi yaitu untuk pakan ternak maupun kebutuhan kayu, dan sosial yaitu mengenalkan masyarakat tentang kelebihan agroforestri dan kerjasama dengan BP DAS Cimanuk-Citanduy. Akan tetapi, interaksi negatif seperti persaingan unsur hara, air, maupun cahaya pada agroforestri menjadi kendala masyarakat untuk menerapkan sistem agroforestri. Untuk mempelajari interaksi negatif tersebut, maka dilakukan penelitian tentang perakaran gmelina. Perakaran tanaman pokok menjadi indikator persaingan unsur hara dan air dengan tanaman pertanian. Oleh karena itu, perakaran suatu tanaman pokok dapat digunakan sebagai salah satu parameter pemilihan kombinasi dengan tanaman pertanian.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedalaman dan panjang akar lateral gmelina, mengetahui data biofisik lingkungan, serta sistem pengolahan lahan pada tiga pola agroforestri berbeda.

1.3 Manfaat Penelitian

Adanya studi ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi pemilihan jenis tanaman pertanian pada tegakan tersebut, berdasarkan karakter perakaran pohon gmelina dan data biofisik di lapangan.


(3)

2.1 Pengertian Agroforestri

Para ahli memiliki banyak definisi tentang agroforestri. Menurut Nair (1983), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari suatu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Definisi lain menurut Lundgren (1982), agroforestri adalah penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian dan/atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyek-proyek hutan kemasyarakatan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka secara garis besar agroforestri memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tahunan dan/atau ternak atau hewan, waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, dan ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial. Adapun ciri dan karakteristik pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri menurut Lahjie (2004) adalah sebagai berikut: 1) usaha pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan produksi dari berbagai output dengan perlindungan bagi sumberdaya dasar, 2) kurun waktu umumnya lebih dari satu tahun, 3) interaksi dari beberapa aspek sosial, ekonomi, ekologi dan usaha pemanfaatan lahan lebih dari dua macam produk, 4) mempunyai fungsi dari aspek lingkungan, misalnya konservasi lahan terhadap kesuburan dan erosi, penahan kuatnya angin yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman lain, maupun sebagai tempat untuk melakukan industri rumah tangga, 5) usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri yang sederhana pun secara biolois maupun ekonomis lebih kompleks dari pada pemanfaatan lahan monokultur, 6) usaha dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, baik terencana maupun tak terencana, 7) melibatkan lebih banyak nilai-nilai sosial budaya yang saling mempengaruhi, dan 8) mempunyai strata


(4)

4 tajuk yang bervariasi khusunya pada komunitas vegetasi yang membentuk ekosistem setempat.

Indonesia telah memiliki beberapa sistem agroforestri yang terkenal seperti repong damar di Lampung Barat, tembawang di Kalimantan Barat, pelak di Jambi, parak di Sumatera Barat, lembo di Kalimantan Timur, talun di Jawa Barat, kebun kemenyan di Sumatera Utara, kebun karet campuran di Jambi dan Sumatera Selatan, kebun durian campuran di Kalimantan Barat, dan kebun pepohonan campuran di sekitar Bogor. Istilah yang melekat di masyarakat tentang agoforestri adalah kebun campuran, karena pada umumnya lahan masyarakat ditanam dengan berbagai jenis tanaman.

2.2 Pola Tanam

Pertumbuhan tanaman pertanian maupun kehutanan pada sistem agroforestri dipengaruhi oleh pola tanam. Pola tanam ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada tegakan, karena pada sistem agroforestri terjadi persaingan unsur hara dan cahaya. Oleh karena itu, perlu diadakan beberapa cara untuk pemanfaatan ruang dan waktu yang optimal. Pemanfaatan ruang secara optimal dapat dilakukan dengan cara pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, dan perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Adapun pemanfaatan waktu secara optimal dapat dilakukan dengan pengaturan waktu tanam dan panen.

Pada sistem agroforestri, pola tanam diatur sedemikian rupa, sehingga pada tahap awal saat penutupan tajuk belum menjadi masalah. Beberapa komponen dapat tumbuh bersama dalam satu tajuk. Pada tahap selanjutnya, sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk. Lapisan tajuk bagian atas ditempati oleh jenis-jenis dominan, strata di bawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan (semi toleran), kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis yang tahan naungan (Sukandi 2002).

2.3 Pemilihan Jenis

Sistem agroforestri terdiri dari beberapa komponen jenis tanaman, seperti pohon, perdu, liana, maupun tanaman semusim. Pemilihan jenis sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.


(5)

5 Aspek biofisik seperti iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan kondisi lahan.

Kondisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan kondisi bentang alamnya menjadikan Indonesia mempunyai curah hujan yang relatif tinggi. Adanya kondisi tingginya curah hujan tentu akan mempengaruhi kondisi tanah seperti pencucian tanah (leaching) maupun aliran permukaan yang membawa top soil (surface run off). Oleh karena itu, sangat diperlukan jenis yang mampu mengikat agregat tanah atau dapat berperan sebagai cover crops sebagai upaya konservasi tanah dan air.

Pada topografi miring, peluang terjadinya surface run off akan lebih besar, karenanya diperlukan jenis yang memiliki perakaran dalam seperti mahoni, khaya, atau nangka. Pemilihan jenis ini tentu tidak melihat faktor topografi saja, tetapi kondisi curah hujan, lahan, maupun budaya masyarakat.

Faktor lain yang tidak kalah penting mengenai pemilihan jenis adalah ketinggian tempat. Pada daerah yang lebih tinggi, jumlah oksigen rendah, suhu semakin menurun, dan radiasi lebih tinggi. Untuk itu, pemilihan jenisnya harus tepat. Adapun contoh dari tanaman dataran tinggi adalah manglid, suren, pinus, puspa, kopi, alpukat, aren, rasamala, mahoni, dan gmelina. Selain itu, fase perkembangan agroforestri perlu diperhatikan. Saat fase awal, dapat dipilih jenis tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya matahari banyak (sampai dua atau tiga tahun pertama), seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pada fase selanjutnya, saat penutupan tajuk mulai mendominasi, maka diperlukan jenis yang tahan terhadap naungan seperti kunyit, laos, temulawak, ubi jalar, bengkuang, dan lainnya (Sukandi 2002).

Faktor biofisik tersebut harus diimbangi oleh budaya masyarakat sekitar. Pemilihan jenis tidak hanya memperhatikan kondisi biofosik, tetapi juga kebutuhan masyarakat dan budaya masyarakat, karena masyarakat yang berperan langsung terhadap sistem agroforestri.


(6)

6 2.4 Gmelina

2.4.1 Klasifikasi dan penyebaran

Gmelina atau jati putih merupakan jenis tanaman yang tumbuh dengan cepat (fast growing species). Tumbuhan ini termasuk tanaman penghasil kayu yang produktif. Gmelina berasal dari Asia Tenggara, di negara lain dikenal dengan nama gumadi (India), gamar (Bangladesh), atau yamene (Myanmar) (Martawijaya 1995). Klasifikasi morfologi gmelina adalah:

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub kelas : Asteridae

Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Gmelina

Spesies : arborea Roxb.

Penyebaran alami gmelina adalah di Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Cina Selatan. Di hutan alam jenis ini selalu tersebar dan berkelompok dengan jenis yang lain dan terdapat di hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering menggugurkan daun di India Tengah. Sudah ditanam luas di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat, dan Amerika Selatan. Di Indonesia jenis ini termasuk kayu asing (exotic spesies) dan mendapat prioritas dalam rangka pembangunan Hutan Tanaman Industri (Sukajadi 1992).

Gmelina dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi (0–1000 m dpl), tetapi tumbuh optimal pada ketinggian 0–800 m dpl, dengan curah hujan 1200–3000 mm/tahun. Jenis ini tumbuh pada tanah berlapisan dalam, subur, berdrainase baik, dan toleran terhadap tanah berlapisan dangkal, berpasir, tanah padat, tanah asam asalkan tidak pada tanah berdrainase jelek.

2.4.2Deskripsi botani

Tanaman gmelina merupakan pohon dengan ukuran sedang, tinggi dapat mencapai lebih (30–40) meter, batang silindris, diameter rata-rata 50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kayu gmelina termasuk dalam kategori kelas kuat III–


(7)

7 IV dan kelas awet III (Martawijaya 2005). Kulit halus atau bersisik, warna coklat muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau berbulu halus. Bunga kuning terang, mengelompok dalam tandan besar (30–350 bunga per tandan). Bunga sempurna, panjang mencapai lebih dari 25 mm, berbentuk tabung dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari, penyerbukan umumnya dilakukan dengan bantuan lebah. Daun bersilang, bergerigi, atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 10–25 cm x 5–18 cm.

Buah gmelina berupa buah berdaging dengan panjang 20–35 mm, kulit mengkilat, mesokarp lunak, agak manis sedangkan bijinya keras seperti batu, panjang 16–25 mm, permukaan licin, satu ujung bulat, ujung yang lain runcing. Buah terdiri dati 4 ruang, jarang dijumpai 5 ruang, sedikitnya satu ruang berisi benih, jarang dalam satu buah terdiri dari biji batu. Ukuran benih meningkat menurut ukuran biji, yaitu panjang 6–9 mm. Berat 1000 butir biji batu sekitar 400 g. Tanaman gmelina berbunga dan berbuah setiap tahun. Di sebaran alami beriklim musim, mulai berbunga pada musim kemarau ketika pohon menggugurkan daun. Di luar sebaran alami beriklim musim, periode pembungaan dan pembuahan tidak jelas, bunga dan buah terlihat kira-kira sepanjang tahun (Martawijaya 2005).

2.4.3 Teknik silvikultur

Tanaman gmelina dapat diproduksi dengan biji, stump, dan stek. Bahan untuk keperluan biji ini dikumpulkan dari tegakan yang baik agar diperoleh tegakan yang baik (Alrasyid dan Widiarti 1992). Biji atau benih dapat dilakukan penyimpanan pada wadah kedap udara. Biji atau benih dikumpulkan lebih baik ketika buah masih hijau atau kuning. Daya kecambah benih dari buah coklat atau hitam sangat rendah. Biji yang mengapung dalam air sebaiknya tidak dipakai. Benih tidak mengalami dormansi dan tidak memerlukan perlakuan pendahuluan. Benih yang akan ditabur sebaiknya direndam dalam air dingin selama 24–48 jam. Benih umumnya cepat berkecambah dalam jumlah banyak.

Perkecambahan sering lebih dari 100% karena dari satu biji tumbuh lebih dari satu kecambah. Kecambah gmelina termasuk epigeal (kotiledon terangkat dari permukaan tanah). Bibit gmelina ditanam pada musim hujan dengan jarak tanam yang umum dipakai 2,5 x 2,5 meter atau 3,5 x 3,5 meter. Hama penyakit


(8)

8 yang perlu diwaspadai adalah serangan Atta sp., yaitu sejenis semut perusak daun dan Calapepla leayana yaitu umumnya menyerang daun tunas dan ranting pohon (Sukajadi 1992).

2.4.4 Pemanfaatan gmelina

Kayu gmelina ringan dan memiliki berat jenis 0,42–0,64. Pada mulanya pohon ini dikenal sebagai penghasil kayu energi, karena kayunya menghasilkan arang berkualitas terbaik, kurang berasap, dan cepat terbakar. Pohon ini juga dapat digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api, peti kemas, dan bahan kerajinan kayu (Alrasyid 1991). Martawijaya (1995) menambahkan, bahwa kayu gmelina bisa juga untuk bahan venir dan kayu lapis, papan partikel dan moulding.

Kayu gmelina menghasilkan pulp yang berkualitas baik. Pulp semi campuran sesuai digunakan sebagai papan karton atau kertas tulis kualitas rendah, namun pulp (kraft) sesuai digunakan sebagai kertas tulis yang berkualitas tinggi. Akar, kulit batang, daun, buah, dan benih dari gemelina digunakan sebagai pengobatan bagi masyarakat Hindu. Buah dan kulit kayu gmelina digunakan sebagai obat penyakit hati. Gmelina sering ditanam pada kebun kopi dan coklat untuk melindungi pohon muda dan untuk menekan rumput yang berbahaya. Daun dari gmelina digunakan sebagai makanan ternak. Bunga dari gmelina menghasilkan nektar yang melimpah yang akan menghasilkan madu yang berkualitas tinggi (Soerianegara dan Lemmens 1994).

2.4.5 Karakteristik pohon gmelina sebagai pepohonan multi guna untuk agroforestri

Pohon multi guna adalah pohon yang ditanam dengan tujuan untuk menyediakan lebih dari satu kontribusi bagi produksi dan/atau fungsi jasa (perlindungan, naungan, atau kelestarian lahan) bagi sistem pemanfaatan lahan dimana pohon tersebut berada. Karakteristik pohon multi guna yang sesuai untuk agroforestri menurut Lahjie (2004) adalah: 1) mampu beradaptasi dengan kondisi iklim lokal, 2) tajuk cukup terbuka sehingga dapat dilalui cahaya, 3) mampu bertunas dengan cepat setelah pemangkasan, pentrubusan atau pollarding, 4) kapasitas produksi meliputi kayu pertukangan, kayu bakar, bahan pangan, pakan


(9)

9 ternak, obat-obatan dan hasil lainnya, 5) banyak menghasilkan guguran daun untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara, 6) akar lateral sedikit (atau mudah dipotong), 7) mampu mengikat nitrogen, 8) tahan terhadap kekeringan, banjir, variasi tanah, dan gangguan-gangguan iklim lainnya, 9) sistem perakaran dalam, 10) pemeliharaannya mudah, 11) murah dalam pengadaannya, dan 12) nilai harga dan jumlah permintaan akan hasil-hasilnya lebih tinggi.

Adanya karakter di atas dapat digunakan sebagai panduan untuk memilih jenis pohon untuk agroforestri dan tanaman pertanian yang dapat digunakan di bawah tegakan. Gmelina sebagai pohon multi guna memiliki beberapa kriteria di atas.

2.5 Perakaran

Akar merupakan organ tumbuhan yang berpembuluh dan terletak di dalam tanah. Organ tumbuhan ini juga memiliki beberapa fungsi yaitu 1) penopang tubuh tumbuhan, karena akar memiliki kemampuan untuk menerobos lapisan tanah, 2) sebagai absorbsi, yaitu penyerapan hara dan mineral di tanah untuk tumbuhan, 3) mengangkat hara dan mineral tadi ke tempat-tempat pada tubuh tumbuhan yang memerlukan, 4) cadangan makanan, pada beberapa tanaman, akar digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan, contohnya pada ubi, kentang, dan wortel (Tjitrosoepomo 2007).

Akar tumbuh dan berkembang dari ujung distal. Terdapat empat zona perkembangan yang tersusun mulai dari ujung akar: tudung akar, zona meristematik, zona pemanjangan, dan zona pendewasaan. Tudung akar melindungi meristem apikal dari kerusakan mekanik ketika akar menembus tanah. Zona meristematik, terletak tepat di balik tudung akar dan meristem akar yang ada pada bagian ini hanya membangun saat organ yaitu akar primer. Zona pemanjangan, daerah dimana sel-sel memanjang secara cepat dan aktif. Laju pembelahan sel menurun sejalan dengan jauhnya jarak dari meristem. Zona pendewasaan, sel yang ada pada daerah ini memiliki ciri terdiferensiasi. Sel memasuki proses pendewasaan setelah pembelahan dan pemanjangan berhenti.

Sistem perakaran terbagi menjadi dua yaitu sistem perakaran tunggang dan serabut. Sistem perakaran tunggang dijumpai pada tumbuhan dikotil dan gymnospermae, akar lembaga (calon akar yang sudah ada di dalam biji) tumbuh


(10)

10 terus menjadi akar pokok yang bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil. Akar pokok yang berasal dari akar lembaga inilah yang disebut akar tunggang (adix primaria). Selain memiliki akar tunggang, pada monokotil maupun angiospermae juga terdapat beberapa akar lateral. Sistem perakaran serabut dijumpai pada tumbuhan monokotil, akar lembaga dalam perkembangannya mengalami kematian atau kemudian disusul oleh sejumah akar yang kurang lebih sama besar dan semuanya keluar dari pangkal batang. Akar-akar ini karena bukan berasal dari calon Akar-akar yang asli, maka dinamakan Akar-akar liar, bentuknya seperti serabut, sehingga dinamakan akar serabut (radix adventic) (Tjitrosoepomo 2007). Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan bentuk sistem akar antara lain: 1) permeabilitas akar: berhubungan dengan kelimpahan dan penyebaran pori-pori yang cukup besar dan nantinya akan berkolerasi dengan perkembangan akar, 2) air tanah, 3) aerasi tanah: berkaitan dengan pertukaran gas dan udara, 4) suhu tanah, sistem perakaran tumbuhan yang hidup di tanah kering biasanya berkembang lebih baik, dan 5) faktor-faktor kimia tanah, ketersediaan unsur-unsur yang mendorong pertumbuhan akar dan atau tumbuhan (Mulyani 2007).


(11)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Desember 2011sampai dengan Pebruari 2012, di beberapa pola agroforestri Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah parang, kored, densiometer, thermometer, tally sheet, ring tanah, kantong plastik,kompas, pita ukur, alat tulis,

notebook, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan gmelina pada beberapa pola agroforestri.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan adalah data primer dan data skunder. Pengumpulan data primer melalui pengukuran langsung di lapangan, seperti pengukuran kondisi dan pertumbuhan tanaman pokok, pengukuran tajuk, pengukuran intensitas cahaya matahari pada setiap pola, pengukuran panjang akar gmelina searah larikan dan kedalamannya, dan pengukuran suhu serta kelembaban.

Data sekunder yang dibutuhkan adalah data profil dari lokasi penelitian meliputi data letak dan luas, pola penggunaan lahan, topografi, dan kondisi iklim. Data ini diperoleh dari wawancara khusus dengan masyarakat sekitar dan pengelola kelompok tani desa Sekarwangi. Data-data lain yang terkait dengan penelitian ini, diperoleh dari studi pustaka serta diperoleh dari beberapa kutipan literatur, skripsi, arsip-arsip dinas, maupun media elektronik.

3.4 Metode Kerja

3.4.1 Penentuan peletakkan plot sampling

Penentuan plot sampling di lapangan dengan luasan masing-masing plot sebesar 20 x 15 meter. Pola yang diambil sebanyak tiga buah, yaitu: 1) agf 1 (gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis), 2) agf 2 (gmelina+jagung +singkong), 3) agf 3 (gmelina+suren+kacang tanah+singkong). Setiap pola


(12)

12 memiliki dua plot, sehingga jumlah total plot yang diamati adalah enam plot. Tata letak pola penelitian terdapat pada Gambar 1, 2, dan 3.

Gambar 1 Agf 1 ( = gmelina 2x3 m, = suren 2x3 m, = mahoni 2x3 m, dan = tanaman cabai)

Gambar 2 Agf 2 ( = gmelina 2 x 3 m, = tanaman lain, dan = jagung)

Gambar 3 Agf 3 ( = gmelina 2 x 3 m, = tanaman lain, = suren 2 x 3 m, dan = kacang tanah)


(13)

13 3.4.2 Pengukuran penutupan tajuk

Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan densiometer pada jarak 30– 45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan. Terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat)

Data pengukuran masing-masing titik selanjutnya dijumlahkan dan merupakan nilai pada titik. Bobot rata-rata pada masing-masing pola agroforestri dihitung dengan rumus:

Ti= T1+T2+T3+..Tn

N x 1,04

Ti : Keterbukaan tajuk

Tn : Bobot pada masing-masing titik pengukuran

N : Jumlah titik pengukuran 1,04 : Faktor koreksi

Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).

3.4.3 Pengukuran suhu dan kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan pada setiap pola, sehingga ada tiga pengukuran pada plot yang diamati dengan pola yang berbeda. Alat yang digunakan dalam pengukuran adalah termometer bola basah dan termometer bola kering. Termometer bola basah adalah termometer ukur biasa yang dibasahi dengan menggunakan kain kasa pada bagian ujungnya. Kedua termometer ini di gantung pada ranting pohon dan terlindung oleh naungan. Selain itu, dilakukan pula pengukuran terhadap suhu tanah dengan menggunakan termometer tanah.

Termometer bola kering digunakan untuk perhitungan suhu, sedangkan termometer basah digunakan untuk mengukur kelembaban dengan membandingkan nisbah data pada termometer bola kering. Pengukuran dilakukan pada pagi (pukul 07.00–08.00), siang (12.00–13.00), dan sore (pukul 16.00– 17.00), setiap pengukuran dilakukan tiga kali pengulangan dan dilakukan tiap 10


(14)

14 menit sekali selama 30 menit. Pengukuran dilakukan selama tiga hari berturut-turut tanpa hari hujan. Jika turun hujan, maka pengukuran dianggap gagal (Handoko 1993).

3.4.4 Analisis Tanah

Pengambilan sampel tanah untuk dianalisis dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dan tanah terusik. Pengambilan contoh tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah dan bertujuan untuk penentuan sifat fisik tanah. Kegiatan ini dilakukan di plot pengamatan pada kelerengan sedang dan curam serta pada plot pengamatan permudaan berumur 1 tahun, dan permukaan tanah yang tidak terdapat banyak akar. Adapun sifat fisik tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, kapasitas lapang, titik layu permanen, ruang pori, dan kadar air contoh tanah.

Cara pengambilan tanah tidak terusik (agregat utuh) oleh Balai Penelitian Tanah (2004) adalah sebagai berikut: Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya. Kemudian ring diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah (bagian ring yang tajam berada di bawah) dan permukaan ring ditutup dengan menggunakan balok kayu yang datar. Balok kayu yang menutupi ring tersebut dipukul hingga 3/4 bagiannya masuk ke tanah. Ring

lainnya diletakkan tepat di atas ring pertama (bagian yang tajam berada di bawah dan posisi kedua ring harus sejajar), kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari ring ini masuk ke dalam tanah hingga 1/2 tinggi ring. Tanah di sekitar

ring digali dengan sekop (membentuk persegi enam). Selanjutnya, tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk ring. Setelah ring berhasil diambil dari dalam tanah, ring kedua dipisahkan dengan hati-hati dengan menggunakan pisau tipis, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah ring

dibersihkan dengan menggunakan pisau tipis dan tajam. Langkah terakhir adalah menutup ring dengan tutup plastik.

Sifat kimia tanah seperti pH tanah, kandungan bahan organik, nitrogen, serta unsur-unsur hara yang lain diamati dengan cara mengambil contoh tanah menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut: menentukan tempat atau titik pengambilan contoh tanah individu, dengan cara: 1) sistematik, seperti sistem diagonal (Gambar 1a dan 1c)


(15)

15 a

atau zig-zag (Gambar 1b), atau 2) acak (Gambar 1d). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada: areal 1 datar (low land), areal 2 miring, areal 3 datar terpisah (upland). Permukaan tanah tersebut dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah. Setelah dibersihkan, tanah tersebut dicangkul sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Apabila menggunakan bor tanah (auger atau tabung), maka pada setiap titik pengambilan dibor sedalam 20 cm. Tanah individu tersebut selanjutnya dicampur dan diaduk (10–15 contoh) dalam satu tempat dan diambil sekitar 1 kg. Langkah terakhir adalah memasukkan ke dalam plastik dan memberi label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah.

Pengambilan contoh tanah komposit secara sistematik (zig-zag) sebanyak tiga titik. Berat contoh tanah yang diambil adalah 500 g dari setiap petak pengamatan.

Gambar 4 Titik pengambilan contoh tanah individu:

a sistem diagonal; b sistem zig-zag; c sistem diagonal; d sistem acak

3.4.5 Pengukuran akar tanaman pokok kedalaman dan panjang horisontal searah larikan

Pengukuran akar tanaman pokok dilakukan untuk mengetahui kedalaman dan panjang horisontal akar gmelina yang berpengaruh terhadap pemilihan jenis tanaman pertanian pada sistem agroforestri. Pengukuran dilakukan di antara jarak tanam kedua tanaman pokok. Setelah penggalian sedalam 15–25 cm, jika tidak

b


(16)

16 ditemukan akar, maka penggalian dilakukan dengan cara bergeser ke kiri dan ke kanan mendekati pangkal batang sejauh 50 cm sampai ditemukan akar.

3.4.6 Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa teknik antara lain:

1. Teknik Observasi

Data primer dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Data pengukuran yang diambil berupa kedalaman dan panjang horisontal akar gmelina, sifat fisik dan kimia tanah, penutupan tajuk, serta suhu dan kelembaban. Data tentang pola agroforestri diambil dengan mengadakan pengamatan langsung di lahan petani penggarap.

2. Teknik Wawancara

Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan petani pemilik lahan agroforetsri. Wawancara dilakukan secara bebas atau semi terstruktur yang dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan penelitian. Kegiatan wawancara menekankan pada penelusuran sejarah pengelolaan lahan yang meliputi tahapan pembangunan agroforestri sampai dengan penerapan teknologi pada masing-masing pola agroforestri.

3. Pengumpulan data sekunder diambil dari instansi-instansi pemerintah yang terkait serta studi pustaka.

3.4.7 Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Contoh pola agroforestri yang diamati di lapangan dipilih sebanyak 3 macam secara acak, yaitu agf 1 (gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis), agf 2 (gmelina+jagung +singkong), dan agf 3 (gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:


(17)

17 Yij= μ+Ʈi+฀ij

Keterangan:

Yij = nilai respon pengamatan kedalaman atau panjang akar lateral gmelina pada setiap pola agroforestri ke-i, ulangan ke-j

μ = nilai tengah rataan umum

Ʈi = pengaruh perlakuan kedalaman atau panjang akar lateral ke-i

฀ij = pengaruh acak pada perlakuan kedalaman atau panjang akar lateral ke-i ulangan ke-j

Jika model yang digunakan berpengaruh nyata pada sidik ragam, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.


(18)

Kabupaten Garut merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dan terletak di bagian Selatan. Secara geografis wilayahnya terletak pada koordinat 6o56’49”–7o45’00” Lintang Selatan dan 107o25’8”–108o7’30” Bujur Timur. Kegiatan penelitian dilakukan pada lokasi ini dengan peta wilayah Kabupaten Garut dan lokasi penelitian tertera pada Gambar 2.

Gambar 5 Peta Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut Desa Sekarwangi merupakan salah satu desa dari 23 desa yang terdapat di Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Kementerian Kehutanan BP-DAS Cimanuk-Citanduy melakukan rehabilitasi di lahan ini yang merupakan lahan masyarakat seluas 25 ha. Jenis yang ditanam adalah gmelina (G. arborea) 19.110 batang, mahoni (Swietenia macrophylla) 8.000 batang, suren (Toona sureni) 8.017 batang, dan jenis MPTS (Multi Purpose Trees Species) seperti rambutan (Nephelium lappaceum) 4.900 batang dan petai (Parkia speciosa) 6.557 batang.

Desa Sekarwangi sendiri memiliki luas wilayah sebesar 527.327 ha dengan luas pemukiman 41.313 ha. Batas wilayah tempat ini adalah Kecamatan Sela Awi sebagai batas Barat, Desa Cilampuyang sebagai batas Utara, Desa MekarAsih


(19)

19 sebagai batas Timur, dan Desa Suka Jaya sebagai batas Selatan. Curah hujan desa ini sebesar 186,5 mm/bln, dengan suhu rata-rata 18,25oC, dan ketinggian tempat 550 m dpl. Mata air sejumlah 9 buah, sumber gali sebanyak 445 buah, dan sungai sebanyak 3 buah. Hasil hutan yang terdapat pada lokasi ini adalah kayu sebanyak 3.455 m3/th, bambu 4.526 m3/th, jati 1.257 m3/th, dan mahoni 2.425 m3/th. Dampak dari pengolahan hutan sendiri tidak ada.

Jumlah penduduk di wilayah ini sebanyak 5.843 orang dengan jumlah laki-laki 2.754 orang dan perempuan 3.089 orang. Untuk kisaran usia penduduk sendiri tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Kisaran usia penduduk Desa Sekarwangi

Usia Penduduk Jumlah (orang)

0–12 bulan 213

0–5 tahun 378

1–6 tahun 125

7–12 tahun 549

13–18 tahun 449

19–24 tahun 503

25–55 tahun 2156

56–79 tahun 1056

80 tahun keatas 414

Mata pencaharian penduduk mayoritas adalah buruh tani, dengan jenis mata pencaharian lain seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Mata pencaharian penduduk Desa Sekarwangi

Jenis Pekerjaan Laki-Laki (orang) Perempuan (orang)

Petani 215 105

Buruh tani 1630 1860

Pegawai Negeri Sipil (PNS) 2 5

Pengrajin industri rumah tangga 4 5

Pedagang keliling 15 25

Peternak 12 -

Pembantu rumah tangga 3 165

POLRI 1 -

Pensiunan PNS/TNI/POLRI 2

Pengusaha kecil dan menengah 3 2

Dukun kampung terlatih - 3

Pengacara 3 -


(20)

4.1 Hasil Penelitian

Pola pada penelitian terletak pada satu hamparan lahan yang sama dan terletak pada lahan datar. Tanaman kehutanan yang dibudidayakan di lokasi penelitian berumur 14 bulan pada saat penelitian dilakukan. Tanaman kehutanan ini ditanam di lahan milik masyarakat yang terdiri dari beberapa masyarakat pemilik lahan yang dikombinasi dengan beberapa tanaman pertanian berbeda oleh masing-masing pemilik lahan. Pola agroforestri di lokasi penelitian tertera pada Gambar 6, 7, dan 8.

Gambar 6 Agf 1 (gmelina+suren+mahoni Gambar 7 Agf 2 (gmelina+jagung +cabai+jagung+buncis) +singkong)

Gambar 8 Agf 3 (gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong)

Perakaran gmelina yang diperoleh melalui penggalian kedalaman akar memiliki variasi kedalaman maupun panjang yang berbeda. Perbedaan tersebut terdapat pada pola agroforestri maupun pada tiap tanaman. Faktor yang mempengaruhi perakaran dapat berupa sifat fisik dan kimia tanah, suhu dan kelembaban, maupun pengelolaan tanah. Hasil pengolahan data perakaran


(21)

21 gmelina pada tiga pola berbeda dengan variabel kedalaman dan panjang akar gmelina terlampir pada Lampiran 1. Rekapitulasi hasil sidik ragamnya tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil sidik ragam perakaran gmelina pada tiga pola yang berbeda

Variabel Perlakuan P-Value

Kedalaman akar searah larikan * <0,0001

Panjang akar searah larikan * <0,0001

* berpengaruh nyata pada taraf 5%,

Data tersebut menunjukkan perlakuan yang diberikan memberi pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, yaitu kedalaman dan panjang akar gmelina. Karakter perakaran tanaman pokok merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam sistem agroforestri.

Akar lateral yang dijumpai saat pengukuran mudah terpotong. Hal ini sesuai dengan karakteristik pohon multi guna menurut Lahjie (2004). Selain perakaran, gmelina juga merupakan jenis yang cukup tahan terhadap iklim lokal, mudah dilakukan pemangkasan dan mampu bertunas dengan cepat. Hasil pemangkasan dapat digunakan sebagai pakan ternak, seperti yang terdapat di lokasi penelitian. Beberapa perusahaan furniture menggunakan kayu gmelina untuk bahan baku industri.

4.2 Kedalaman Perakaran Gmelina Searah Larikan

Karakter perakaran gmelina yang diperoleh melalui penggalian kedalaman akar memiliki variasi kedalaman yang berbeda. Perbedaan tersebut terdapat pada pola agroforestri maupun pada tiap tanaman. Pengukuran kedalaman akar tersebut dengan menggali menggunakan kored mengingat usia tanaman yang baru berumur satu tahun. Hasil pengukuran ke dalaman akar searah larikan seperti tertera ada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji Duncan kedalaman akar gmelina searah larikan

Agroforestri N

(Pohon)

Rataan kedalaman akar

gmelina (cm)

Agf 1 (gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis) 28 17.393a

Agf 2 (gmelina+jagung+singkong) 48 11.104b


(22)

22 Semakin besar kedalaman perakaran gmelina yang diperoleh, maka semakin baik untuk sistem agroforestri, karena semakin dalam suatu akar pohon, maka persaingan unsur hara dan air dengan tanaman pertanian tidak besar. Nilai kedalaman tertinggi terdapat pada agf 3 dan agf 1. Adanya perbedaan kedalaman dengan agf 2 disebabkan oleh sistem pengolahan lahan yang berbeda. Pengolahan lahan pada agf 1 dan agf 3 dengan lebih menggemburkan tanah, sehingga volume tanah terangkat dan mengakibatkan nilai kedalaman yang diperoleh lebih tinggi dari agf 2.

4.3 Panjang Perakaran Gmelina Searah Larikan

Selain kedalaman akar, parameter lain yang diukur adalah panjang akar gmelina searah larikan, dengan hasil rataan dan uji Duncan seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji Duncan panjang akar gmelina searah larikan

Agroforestri N

(Pohon)

Rataan panjang akar gmelina (cm)

Agf 1 (gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis) 28 41.46a

Agf 2 (gmelina+jagung+singkong) 48 24.34c

Agf 3 (gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong) 30 30.73b

Semakin kecil nilai panjang horisontal akar (akar lateral), maka sistem perakaran gmelina semakin bagus untuk sistem agroforestri, karena persaingan unsur hara dengan tanaman pertanian tidak terlalu besar. Semakin pendek akar yang ditemui saat penggalian menunjukkan akar berkembang ke bagian tanah lebih dalam. Menurut Islami dan Utomo (1995), akar primer (akar tunjang) maupun akar skunder (akar lateral) yang terbentuk pertama kali memperlihatkan respon geotropi positif (vertikal ke arah bawah).

Adanya akar yang lebih pendek pada agf 2 dapat disebabkan oleh ketersediaan unsur hara yang kurang jika dibandingkan pada agf 1 dan agf 3. Faktor lain, dapat pula disebabkan populasi pohon pada agf 2 lebih besar sehingga akar cenderung tumbuh ke bagian lebih dalam, sehingga perlakuan agf 2 memberikan rataan panjang perakaran yang paling baik.


(23)

23 4.4 Persen penutupan tajuk

Penutupan tajuk memberi pengaruh terhadap kompetisi cahaya pada sistem agroforestri. Tidak semua tanaman pertanian tahan terhadap naungan. Adanya informasi penutupan tajuk, dapat digunakan sebagai pemilihan jenis tanaman pertanian yang tahan naungan. Hasil rekapitulasi persen penutupan tajuk disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rekapitulasi persen penutupan tajuk gmelina

No Arah Penutupan Tajuk (%)

Agf 1 Agf 2 Agf 3

1 Utara 6,40 64,90 20,96

2 Selatan 11,60 44,10 24,86

3 Barat 25,90 55,80 44,62

4 Timur 35,00 48,00 24,86

Rataan 16,51 51,33 25,98

Agf 1: gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis; Agf 2: gmelina+jagung+singkong; Agf 3: gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong

Hasil yang diperoleh menunjukkan kondisi lokasi penelitian relatif terbuka, karena tanaman pokok baru berumur satu tahun dan sering dilakukan pemangkasan. Perbedaan persen penutupan tajuk tersebut disebabkan adanya populasi pohon yang berbeda. Pada agf 2, jumlah pohon lebih banyak dan banyak pohon besar yang sudah ditanam oleh pemilik lahan sejak lama seperti kelapa, mangga, dan sengon. Hal ini mengakibatkan tajuk pohon besar tersebut sudah mendominasi, sehingga cahaya matahari yang diterima pada agf 2 lebih sedikit.

4.5 Analisis Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah sangat diperlukan untuk mengetahui karakter tanah secara kimia yang selanjutnya dapat dijadikan parameter untuk pemilihan jenis dan perlakuan. Menurut Sutedjo (2000), analisis kimia tanah bertujuan untuk mendiagnosa dan menanggulangi tanah yang kekurangan atau kelebihan unsur hara tertentu. Hasil analisis sifat kimia tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah IPB tertera pada Tabel 7.


(24)

24

Tabel 7 Hasil analisis sifat kimia tanah

Agf 1: gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis; Agf 2: gmelina+jagung+singkong; Agf 3: gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong

Menurut Kuswandi (1993) peranan beberapa unsur hara seperti 1) nitrogen (N) adalah sebagai bahan pembentuk klorofil, bahan tumbuh tanaman, bahan pembentuk enzim, mendorong pertumbuhan perakaran, 2) fosfor (P) yang berperan sebagai pembentuk inti sel dan dinding sel, dan mendorong pertumbuhan akar muda, 3) kalium (K) berfungsi dalam fotosintesis, pembelahan sel, dan pembentukan protein, dan memperkuat jaringan penyokong, 4) kapur (Ca) menjaga keseimbangan turgor, penyusunan dinding-dinding sel tanaman, dan pembelahan sel, 5) magnesium (Mg) berperan sebagai bahan pembentuk klorofil dan sistem enzim 6) tembaga (Cu) berperan mendorong metabolisme akar, penting dalam reaksi oksidasi dan reduksi, dan penyusunan protein.

Berdasarkan literatur dan data yang diperoleh maka unsur hara yang terdapat pada tiap pola mempengaruhi pertumbuhan gmelina. Nilai nitrogen yang tertinggi terdapat pada Agf 1 dan memiliki nilai panjang akar yang tinggi, karena nitrogen berfungsi mendorong pertumbuhan perakaran. Tingginya nilai N pada agf 1 disebabkan oleh pemupukan NPK yang dilakukan lebih dari sekali. Akan tetapi, nilai N pada agf 2 yang tidak berbeda jauh dengan agf 1. Hal ini disebabkan oleh adanya tanaman sengon yang tajuknya hampir mendominasi agf

Sifat Tanah Agroforestri

Agf 1 Agf 2 Agf 3 Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH C (%) N (%) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) P HCl 25% (ppm) P Bray 1 (ppm) H (me/100g) Al (me/100g) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm)

11,08 7,62 4,54

27,21 18,53 14,58

61,71 73,85 80,85

5,60 5,40 5,60

2,07 0,21 2,00 0,20 1,67 0,17 6,64 3,01 1,56 123,10 14,60 0,16 tr 5,34 2,18 0,76 136,10 15,40 0,16 0,20 8,15 2,01 0,67 72,90 8,30 0,12 tr 5,76 3,09 1,75 64,21 4,10 2,42 4,39 50,50 303,60 0,18 3,54 29,46

KB (%) 58,62 38,38 43,26


(25)

25 2. Serasah daun sengon banyak mengandung N, karena akar sengon mampu bersimbiosis dengan Rhizobium yang merupakan bakteri penambat N di udara. Rendahnya nilai N pada agf 3 disebabkan oleh penutupan tajuk yang lebih rendah, meskipun pada agf 3 terdapat tanaman penambat N di udara yaitu kacang tanah. Rendahnya penutupan tajuk dapat meningkatkan surface run off yang lebih besar yang dapat membawa beberapa unsur hara, sedangkan pemupukan yang dilakukan tidak seintensif pada agf 1. Nilai kalium tertinggi terdapat pada Agf 1, sehingga akar lateral berkembang secara horisontal lebih panjang. Tingginya nilai K pada Agf 1 juga disebabkan karena pemupukan NPK pada tanaman cabai yang memudahkan akar lateral untuk mendapat unsur hara tersebut di dekat permukaan tanah.

Nilai magnesium dan kalsium yang bervariasi mempengaruhi kondisi kemasaman tanah. Pada tanah masam dan pada daerah lembab, biasanya unsur hara ini hanya sedikit. Dari hasil analisis menunjukkan nilai Ca dan Mg yang kecil terdapat pada agf 2 dengan kondisi pH paling masam. Fungsi dari unsur hara ini dapat digunakan untuk mengurangi keasaman tanah.

Secara umum, ketersediaan unsur hara terkecil terdapat pada agf 2, yang ditunjukkan pula oleh nilai kejenuhan basa (KB). Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation basa (unsur hara yang diperlukan tanaman) dengan jumlah semua kation (Hardjowigeno 2003).

4.6 Analisis Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah yang akan dianalisis di laboratorium terlebih dahulu diambil contoh di lapangan dengan menggunakan ring tanah. Seperti halnya sifat kimia tanah, sifat fisik tanah juga dapat digunakan sebagai parameter pemilihan jenis dan perlakuan lahan. Hasil analisis sifat fisik tanah seperti pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis sifat fisika tanah

Parameter Hasil

Bulkdensity (g/cm3) 1,15

Porositas (%) 56,49

Kadar air (% volume) PF 2.54

PF 4.2

35,69 22,17


(26)

26

Bulk Density (kerapatan lindak) atau bobot isi menunjukkan nisbah antara berat kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density

juga menunjukkan kepadatan tanah. makin padat suatu tanah, makin tinggi bulk density nya, yang berarti mekin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya, bulk density berkisar dari 1,1–1,6 g/cm3 (Hardjowigeno 2003). Sehingga nilai bulk density yang diperoleh di lapangan tergolong kecil, yang memudahkan akar untuk menembus tanah.

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator drainase dan aerasi tanah. Penghilangan vegetasi penutup tanah biasanya mengakibatkan peningkatan kerataan tanah dan penurunan porositas tanah serta pengurangan tingkat infiltrasi (Lahjie 2004). Nilai porositas yang diperoleh cukup tinggi. Menurut Islami dan Utomo (1995), pada tanah pertanian tanah berpasir memiliki porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai porositas tingi, jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 60%. Nilai air tersedia hanya 13,52%. Air tersedia adalah air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih antara kapasitas lapang dengan titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Sedangkan titik layu permanen adalah kandungan air tanah dimana akar-akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap air dari tanah, sehinga tanaman menjadi layu (Hardjowigeno 2003).

4.7 Data Suhu Lingkungan, Suhu Tanah, dan Kelembaban

Suhu tanah merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan akar. Kelembaban udara juga berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman. Hasil pengukuran suhu tanah, suhu udara, dan kelembaban seperti tertera pada Tabel 9.

Tabel 9 Rekapitulasi rataan kelembaban, suhu tanah, dan suhu lingkungan

Parameter Agf 1 Agf 2 Agf 3

RH (%) 86,00 86,00 90,00

Suhu udara (oC) 25,70 24,96 25,11

Suhu Tanah (oC) 25,55 24,69 24,56

Agf 1: gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis; Agf 2: gmelina+jagung+singkong; Agf 3: gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong


(27)

27 Ada tiga fungsi fisiologis yang sangat dipengaruhi oleh suhu, yaitu pertumbuhan dan perkembangan, asimilasi, dan pernafasan (Heddy 1987). Menurut Dewanti (2000), tanaman akan muncul lebih cepat ke permukaan tanah, kalau suhu tanah mendekati optimum (21oC). Suhu tanah di lokasi penelitian hampir mendekati suhu optimum, yang berarti optimum pula untuk pertumbuhan tanaman di lokasi penelitian. Suhu tanah yang rendah akan berakibat absorpsi air dan unsur hara terganggu, karena transpirasi meningkat. Apabila kekurangan air ini terus menerus tanaman akan rusak. Hubungan suhu tanah yang rendah dengan dehidrasi dalam jaringan tanaman adalah apabila suhu tanaman rendah viskositas air naik dalam membran sel, sehingga aktivitas fisiologis sel-sel akar menurun.

Suhu udara juga berpengaruh terhadap proses respirasi. respirasi rendah bahkan terhenti pada suhu 0oC dan maksimal pada suhu 30–40oC. Respon respirasi terhadap suhu tidak sama pada jenis tanaman dan pada setiap tahap perkembangan tanaman. Pada tanaman tropis respirasi maksimal terjadi pada suhu 40oC dan tanaman daerah sedang respirasi maksimal 30oC. Suhu tinggi (diatas optimum) akan merusak tanaman dengan mengacau arus respirasi dan absorpsi air. Bila suhu udara meningkat, laju transpirasi meningkat, karena penurunan defisit tekanan uap dari daya yang hangat dan suhu daun tinggi, yang mengakibatkan peningkatan tekanan uap air padanya (Dewanti 2000).

Dengan diketahuinya suhu di suatu tempat, dapat dijadikan pula sebagai faktor pemilihan jenis tanaman. Berdasarkan hasil data yang diperoleh di lokasi penelitian, maka jenis tanaman pertanian yang dapat direkomendasikan pada tempat tersebut seperti kopi robusta, jeruk besar, kapulaga, kunyit, temulawak, dan nanas.

Kopi robusta (Coffea canephora) dapat ditanam pada tanah pH 5–7. Jika pH tanah terlalu masam dapat ditambah pupuk Ca(PO)2 atau Ca(PO3)2 (kapur atau dolomit). Curah hujan untuk tanaman ini maksimum 2000 mm/tahun dengan ketinggian 400–1200 m dpl. Jenis ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada suhu 20–28oC dan membutuhkan intensitas cahaya matahari yang lebih sedikit dari jenis kopi arabika (Panggabean 2011).

Jeruk besar (Citrus grandis) memiliki beberapa varietas seperti jeruk besar nambangan, bali, bali tanpa biji, delima, pandanwangi, pandan, cikoneng, khao


(28)

28 phuan, khao phan, dan gulung. Hampir seluruh wilayah Indonesia dapat ditanami jenis ini dan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini tumbuh baik pada kisaran pH 5–6, penyinaran matahari 50–60%, dan kelembaban antara 50–85% (Setiawan 1993).

Kapulaga (Amomum cardamomum) tumbuh di hutan primer maupun hutan jati pada ketinggian 200–1000 m dpl. Tanaman kapulaga tergolong ke dalam herba dan membentuk rumpun, seperti tumbuhan jahe, dan dapat mencapai ketinggian 2–3 m dan tumbuh di hutan-hutan yang masih lebat pada ketinggian 200–1.000 m dpl. Tanaman ini tumbuh pada daerah dengan curah hujan 2.000– 4.000 mm/th dan suhu antara 20–30oC dengan kelembaban 70%. Jenis tanah yang cocok untuk tanaman ini adalah latosol, andosol, dan alluvial (Prasetyo 2004). Manfaat dari tanaman ini dapat digunakan sebagai pengencer dahak, pelancar pengeluaran gas dari perut, penambah aroma, obat encok, obat mulas, dan obat demam (Mursito 2002).

Selain kapulaga, jenis kunyit (Curcuma domestica) juga tahan terhadap naungan. Kunyit tumbuh pada daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan tinggi. Jenis lain yang tahan naungan adalah temulawak (Curcuma xanthoriza). Temulawak dapat tumbuh hingga ketinggian 1500 m dpl pada tanah subur dan cukup air (Mursito 2002).

Nanas (Ananas comosus) banyak ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi 1200 m dpl. Tanaman ini senang dengan kondisi tanah subur, daerah beriklim basah, dengan curah hujan 1000–2500 mm/tahun. Selain itu, nanas juga tahan terhadap tanah masam yang memiliki pH 3–5, tetapi paling baik pH antara 5,0–6,5. Tanaman nanas dapat tumbuh di tempat terbuka, tetapi dapat pula di tempat yang ternaungi pohon besar. Akar tanaman ini berserabut, dangkal, dan tersebar luas (Sunarjono 2005).

Selain jenis tanaman tersebut, untuk pemanfaatan ruang dalam sistem agroforestri maka dapat diterapkan three dimentional agroforestry. Three dimentional agroforestry merupakan sistem agroforestri yang memanfaatkan ruang secara vertikal, yang berarti tanah tidak lagi menjadi faktor pembatas dalam kombinasi agroforestri. Jenis yang dapat diterapkan untuk sistem ini adalah anggrek, tanduk rusa, lebah madu, dan panili.


(29)

29 Salah satu jenis anggrek asli Indonesia yang dapat dibudidayakan adalah anggrek dendrobium. Anggrek ini merupakan jenis anggrek epifit (menempel pada pohon yang ditumpanginya) dan merupakan salah satu genus anggrek terbesar yang terdapat pada dunia ini. Anggrek ini diperkirakan terdiri dari 1600 spesies. Sinar matahari yang dibutuhkan sebanyak 50–65%, dengan kelembaban relatif (RH) sekitar 60–85%. Suhu udara 26–30oC pada siang hari, 21oC pada malam hari, dengan daerah ketinggian 0–650 m dpl (Sihotang 2010).

Tanduk Rusa (Paltycerium coronarium) termasuk jenis paku-pakuan. Tumbuhan ini memiliki persyaratan tumbuh seperti anggrek, butuh naungan dan epifit. Khasiat tumbuhan ini sebagai tanaman hias juga dapat digunakan sebagai obat demam, radang rahim luar, haid tidak teratur, bisul, abses (Wijai 2011).

Gmelina memiliki nektar yang melimpah. Oleh karena itu, pembudidayaan lebah madu cocok diterapkan di lokasi penelitian. Suhu udara yang cocok bagi lebah adalah sekitar 26oC dengan cahaya matahari sekitar 70–100% (Anonim 2000).

Jenis terakhir yang direkomendasikan adalah panili (Vanilla planifolia). Panili sangat sesuai tumbuh pada ketinggian 300–400 m dpl, temperatur 24–26oC, kelembaban 60–75%, radiasi matahari 30–50 %, tanah berdrainase baik, tekstur lempung berpasir, pH 6–7, KTK > 16 me/100g, KB 36–50%, N-total 0,51–0,75, Ca 6–10 me/100g, Mg 1,1–2 me/100g. Akan tetapi, panili dapat juga tumbuh baik pada 1–300 mdpl dan 400–700 mdpl, temperatur 23–24 oC, kelembaban 50–60% dan 76–80 % dan masih dapat tumbuh pada kelembaban lebih dari 80%, radiasi matahari 51–55%, tanah berdrainase agak baik atau sedikit terhambat, tekstur lempung berhumus, pH 5–6, KTK 5–16 me/100g, KB 20–35 %, N-total 0,2– 0,50%, Ca 2–5 me/100g dan 11–20 me/100g, Mg 0,4–1 me/100g dan 2,1–8 me/100g (Litbang Pertanian 1998).


(30)

5.1 Kesimpulan

Perbedaan nilai kedalaman dan panjang akar lateral pada setiap pola agroforestri disebabkan oleh perbedaan data biofisik lingkungan maupun sistem pengolahan lahan. Semakin dalam dan pendek akar lateral yang dijumpai di titik penggalian, semakin baik pula untuk sistem agroforestri, karena persaingan unsur hara, air, maupun ruang dengan tanaman pertanian lebih kecil.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pertumbuhan gmelina dengan kombinasi yang berbeda pada tahun tanaman yang sama maupun berbeda. Rekomendasi tanaman pertanian yang dapat dikombinasikan dengan tegakan gmelina berdasarkan hasil biofisik lingkungan adalah kopi robusta, jeruk besar, kapulaga, kunyit, temulawak, nanas, panili, anggrek, tanduk rusa, dan lebah madu.


(31)

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

KHORYFATUL MUNAWAROH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(32)

31 DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2000. Budidaya ternak lebah. [terhubung berkala]. http://www. warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/lebah.pdf. [23 Jun 2012].

[Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1998.

Monograf Panili. Jakarta: Litbang Pertanian.

[Puslitbangtanah] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah. 2004. Cara pengambilan contoh tanah untuk analisis (uji tanah). [terhubung berkala]. http://www.soil-climate.ir.id/uii_tanah.htm. [30 Nov 2011].

Alrasyid H, Widiarti A. 1992. Teknik Penanaman dan Pemungutan Hasil Gmelina arborea. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Alrasyid H. 1991. Faktor kualitas lahan pembatas untuk pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. Buletin Penelitian Hutan 540:1-23.

Dewanti D. 2000. Ekologi Tanaman. Bandung: Sinar Baru.

Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran 1. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Heddy S. 1987. Ekofisiologi Pertanian. Bandung: Sinar Baru.

Islami T, Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air, dan Tanaman. Semarang: IKIP Semarang Press.

Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Lahjie AM. 2004. Teknik Agroforestri. Samarinda: Universitas Mulawarman. Lundgren BO. 1982. What is agroforestry. J Agroforestry System 1(1):1-7.

Martawijaya. 1995. Sifat dan kegunaan kayu Gmelina arborea Roxb. Di dalam: Iskandar MI, Sutikno P. Atlas Kayu Indonesia. Prosiding Ekspos Hasil Penelitian dan Pengembangan; Cipayung, 27 Maret 1995. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. hlm 8-24.


(33)

32 Mursito B. 2002. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Jantung. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Dordrecht-Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Prasetyo. 2004. Budidaya kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan sengon.

Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6(1):22-31.

Setiawan AI. 1993. Usaha Pembudidayaan Jeruk Besar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sihotang B. 2010. Anggrek. [terhubung berkala]. http://www.ideelok.com /budidaya-tanaman/anggrek. [23 Juni 2012].

Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1994. Timber Trees: Major Commercial Timbers. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: PROSEA Foundation. Sukajadi. 1992. Sekelumit tentang tanaman gmelina. Duta Rimba 18:45-50. Sukandi T, Sumarhani, Murtiniati. 2002. Informasi Teknis Pola Wanatani

(Agroforestri). Bogor: Litbang Kehutanan.

Sunarjono H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan Pembukaan Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor: Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.

Sutedjo MM. 2000. Analisis Tanah, Air, dan Jaringan Tanaman. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjitrosoepomo G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wijai. 2011. Budidaya tanduk rusa. [terhubung berkala]. http://sigitwijai. blogspot.com/2011/10/budidaya-tanduk-rusa.html. [23 Jun 2012].


(34)

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

KHORYFATUL MUNAWAROH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(35)

ii

DI DESA SEKARWANGI, KECAMATAN MALANGBONG,

KABUPATEN GARUT

KHORYFATUL MUNAWAROH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(36)

iii KHORYFATUL MUNAWAROH. Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahan pun kian meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang dapat memanfaatkan lahan secara optimal seperti agroforestri. Agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan dengan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak. Sistem ini juga memiliki nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial. Akan tetapi, agroforestri juga memiliki interaksi negatif seperti persaingan unsur hara, air, maupun cahaya antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian. Sehingga dilakukan penelitian mengenai perakaran gmelina (Gmelina arborea) pada beberapa pola agroforestri berbeda. Gmelina merupakan tanaman kehutanan yang cepat tumbuh (fast growing species). Karakter pertumbuhan gmelina yang relatif cepat ini dapat digunakan sebagai spesies untuk rehabilitasi lahan seperti yang berada di DAS Cimanuk-Citanduy yang berada di lahan milik rakyat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kedalaman dan panjang akar lateral gmelina, mengetahui data biofisik lingkungan serta sistem pengolahan lahan pada tiga pola berbeda di lokasi penelitian. Adanya studi ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk pemilihan jenis tanaman pertanian yang cocok ditanam di bawah tegakan gmelina tersebut. Perakaran gmelina yang diperoleh dengan cara menggali kedalaman akar memiliki variasi kedalaman dan panjang yang berbeda. Variasi tersebut disebabkan adanya perbedaan sifat biofisik lingkungan maupun pengolahan lahan yang berbeda pada tiap pola. Pengukuran ini dilakukan secara sensus pada setiap pola. Adapun tanaman pertanian yang dapat diterapkan pada sistem agroforestri di lokasi penelitian adalah kopi robusta, jeruk besar, kapulaga, kunyit, temulawak, nanas, panili, anggrek, tanduk rusa, dan lebah madu.


(37)

iv KHORYFATUL MUNAWAROH. The Length and Depth of Lateral Roots of Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) on Several Pattern Agroforestry in Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Under Supervision of NURHENI WIJAYANTO.

Along with the growing population, the need for land was growing. Therefore, it takes an effort that can harness land optimally as agroforestri. Agroforestry is a system of land use by plants of forestry with crop and/or livestock. This system also has the value of economic, ecological, and social events. However, agroforestry also have negative interactions such as competition, nutrient elements, water, and light between forestry with crop plants. So do research on rooting on some patterns of gmelina (Gmelina arborea) agroforestry different. Gmelina is a fast-growing species of forestry. Growth character of gmelina relatively rapid can be used as a species for rehabilitation of land such as in DAS Cimanuk-Citanduy residing in the land belongs to the people. The purpose of this study is to assess the depth and length of the lateral roots gmelina, knowing the biophysical environment and data processing system of land on three different patterns in the location of research. The study is expected to be a reference for the selection of a suitable type of crop grown under the stands gmelina. Gmelina rooting was obtained by digging the root depth and depth variations have different length. These variations are due to the existence of biophysical properties of differences as well as the processing of land environment is different in each pattern. This measurement is done in the Census of every pattern. As for the crop that can be applied on the system agroforestry on site research is robusta, grapefruit, cardamom, turmeric, curcumae, pineapple, panili, orchid, deer horns, and honey bees.


(38)

v Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Khoryfatul Munawaroh NIM. E44080071


(39)

vi Nama : Khoryfatul Munawaroh

NIM : E44080071

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009


(40)

vii Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah memberi kemampuan dan ilmu pengetahuan sehingga skripsi yang berjudul “Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut” dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kedalaman perakaran gmelina dengan pengaruhnya terhadap tanaman pertanian, sehingga dapat digunakan sebagai referensi bagi pemilihan jenis tanaman pertanian pada tegakan tersebut

Penulis menyadari berbagai keterbatasan dalam penulisan ini, namun demikian penulis berharap karya ilmiah ini bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan yang berikutnya.

Bogor, Juni 2012


(41)

viii Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis sampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

2. Keluarga tercinta, Ayah Sumadi, Ibu Siti Sholikhah, Mbak Dewi, Mbak Sulis, Mbak Eeng, Mas Heru, dan Mas Joko yang telah memberi dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Bapak Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekowisata yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan skripsi.

4. Bapak Dr. Ir. Achmad, MS sebagai ketua sidang Departemen Silvikultur yang telah memberi saran dan masukan untuk perbaikan skripsi.

5. Ibu Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS sebagai komisi pendidikan yang telah memberi saran dan masukan dalam penulisan skripsi.

6. Bapak Ahim Rahayu selaku Ketua Tani Desa Sekarwangi yang telah membantu terselesaikannya kegiatan penelitian di lapangan, serta Bapak Lurah Desa Sekarwangi yang telah memberi dukungan dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan penelitian.

7. Hadi Firdaus dan keluarga yang telah memberi dukungan dan doa bagi penulis. 8. Tata Usaha Departemen Silvikultur, khususnya Ibu Aliyah, Mas Saeful, dan

Bapak Ismail yang telah banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

9. Teman-teman satu bimbingan Mimi, Ida, dan Lita yang telah memberi saran dan bantuan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

10. Teman-teman Fakultas Kehutanan dan Fakultas lain, khususnya Dina, Putry, Febry, Santi, Dekya, Zia, Yessy, Meta, Yuda, Yola, Fery, dan teman-teman Silvikultur 45 yang lain, yang telah memberi dukungan dan saran.

11. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(42)

ix Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 10 April 1990 sebagai anak keempat dari empat bersaudara, pasangan Sumadi A dan Siti Sholekhah. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Way Jepara Lampung Timur pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni sebagai panitia Planting for Future 2009, panitia TGC in Action 2010, panitia Belantara 2010, panitia Silviculture Cup 2010, sekretaris divisi Human Resources Development Tree Grower Community (TGC) tahun 2010-2011, panitia TGC in Action 2011, dan bendahara divisi Project Division

Tree Grower Community (TGC) tahun 2011-2012. Selain itu penulis juga memiliki pengalaman mengikuti seminar, baik seminar lokal maupun seminar nasional dan pelatihan di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di TWA Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 2010. Penulis melakukan Praktek Pembinaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi tahun 2011. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Banyuwangi Barat, Jawa Timur pada bulan Pebruari sampai dengan April 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah pengaruh hutan (2011) dan menerima Beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM).

Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.


(43)

x Halaman DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Agroforestri ... 3 2.2 Pola Tanam ... 4 2.3 Pemilihan Jenis ... 4 2.4 Gmelina (G. arborea Roxb) ... 6 2.5 Perakaran ... 9 III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11 3.2 Alat dan Bahan ... 11 3.3 Metode Pengumpulan Data... 11 3.4 Metode Kerja ... 11 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 18 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ... 20 4.2 Kedalaman Perakaran Gmelina Searah Larikan ... 21 4.3 Panjang Perakaran Gmelina Searah Larikan ... 22 4.4 Persen Penutupan Tajuk ... 23 4.5 Analisis Sifat Kimia Tanah ... 23 4.7Analisis Sifat Fisika Tanah ... 25 4.7 Data Suhu Lingkungan, Suhu Tanah, dan Kelembaban ... 26 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 30 5.2 Saran ... 30


(44)

(45)

xii Halaman 1 Kisaran usia penduduk Desa Sekarwangi ... 19 2 Mata pencaharian penduduk Desa Sekarwangi ... 19 3 Hasil sidik ragam perakaran gmelina pada tiga pola yang berbeda ... 21 4 Hasil uji Duncan kedalaman akar gmelina searah larikan ... 21 5 Hasil uji Duncan panjang akar gmelina searah larikan ... 22 6 Rekapitulasi persen penutupan tajuk gmelina ... 23 7 Hasil analisis sifat kimia tanah ... 24 8 Hasil analisis sifat fisik tanah ... 25 9 Rekapitulasi rataan kelembaban, suhu tanah, dan suhu lingkungan .... 26


(46)

xiii Halaman 1 Agf 1 ( = gmelina 2x3 m, = suren 2x3 m, = mahoni 2x3 m,

dan = tanaman cabai) ... 12 2 Agf 2 ( = gmelina 2x3 m, = tanaman lain, dan = jagung) ... 12 3 Agf 3 ( = gmelina 2x3 m, = tanaman lain, = suren 2 x 3 m, dan

= kacang tanah) ... 12 4 Titik pengambilan contoh tanah individu: a sistem diagonal;

b sistem zig-zag; c sistem diagonal; d sistem acak ... 15 5 Peta Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut ... 18 6 Agf 1 (gmelina+suren+mahoni+cabai+jagung+buncis) ... 20 7 Agf 2 (gmelina+jagung+singkong) ... 20 8 Agf 3 (gmelina+suren+kacang tanah+jagung+singkong) ... 20


(47)

xiv Halaman 1 Pengolahan data sidik ragam dan uji Duncan kedalaman perakaran

gmelina ... 33 2 Pengolahan data sidik ragam dan uji Duncan panjang akar lateral

gmelina ... 33 3 Hasil persen penutupan tajuk di lapangan ... 33 4 Rekapitulasi pengukuran suhu dan kelembaban ... 34 5 Hasil analisis sifat kimia tanah ... 35 6 Hasil analisis sifat fisik tanah ... 36


(48)

1.1 Latar Belakang

Konversi lahan sering kali menjadi permasalahan global saat ini, terutama konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Hal ini tentu dilatarbelakangi jumlah populasi manusia yang kian meningkat dan tuntutan akan kebutuhan pangan yang kian tinggi, sehingga alih guna lahan kehutanan menjadi pertanian atau perkebunan kian bertambah.

Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan alih guna lahan tersebut adalah dengan sistem agroforestri. Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (Hairiah et al. 2003). Pada dasarnya agroforestri sudah mulai diterapkan masyarakat sejak dahulu. Sebagian masyarakat sudah memanfaatkan lahan secara agroforestri. Akan tetapi, masih banyak juga yang memanfaatkan lahan secara monokultur dengan tanaman pertanian.

Salah satu kegiatan agroforestri terdapat di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Program ini merupakan kerja sama antara masyarakat sekitar dengan Kementerian Kehutanan Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy. Sistem agroforestri ini diterapkan di lahan masyarakat seluas 25 ha. Pihak BP-DAS Cimanuk-Citanduy memfasilitasi bibit untuk ditanam di lahan milik rakyat. Kebutuhan akan kayu yang meningkat dan terjadinya kekeringan pada musim kemarau, menjadi alasan diterapkannya sistem agroforestri di lahan tersebut. Daerah ini juga merupakan daerah hulu DAS, sehingga Kemenhut BP-DAS Cimanuk-Citanduy bersama masyarakat berupaya merehabilitasi daerah tersebut. Terjaganya daerah hulu DAS diharapkan akan memperbaiki siklus air di daerah tersebut maupun di daerah hilir.


(49)

2 Selain memiliki nilai ekologi untuk merehabilitasi daerah tersebut, agroforestri yang diterapkan juga memiliki nilai ekonomi maupun sosial. Nilai ekonomi yaitu untuk pakan ternak maupun kebutuhan kayu, dan sosial yaitu mengenalkan masyarakat tentang kelebihan agroforestri dan kerjasama dengan BP DAS Cimanuk-Citanduy. Akan tetapi, interaksi negatif seperti persaingan unsur hara, air, maupun cahaya pada agroforestri menjadi kendala masyarakat untuk menerapkan sistem agroforestri. Untuk mempelajari interaksi negatif tersebut, maka dilakukan penelitian tentang perakaran gmelina. Perakaran tanaman pokok menjadi indikator persaingan unsur hara dan air dengan tanaman pertanian. Oleh karena itu, perakaran suatu tanaman pokok dapat digunakan sebagai salah satu parameter pemilihan kombinasi dengan tanaman pertanian.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedalaman dan panjang akar lateral gmelina, mengetahui data biofisik lingkungan, serta sistem pengolahan lahan pada tiga pola agroforestri berbeda.

1.3 Manfaat Penelitian

Adanya studi ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi pemilihan jenis tanaman pertanian pada tegakan tersebut, berdasarkan karakter perakaran pohon gmelina dan data biofisik di lapangan.


(50)

2.1 Pengertian Agroforestri

Para ahli memiliki banyak definisi tentang agroforestri. Menurut Nair (1983), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari suatu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Definisi lain menurut Lundgren (1982), agroforestri adalah penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian dan/atau peternakan, baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyek-proyek hutan kemasyarakatan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka secara garis besar agroforestri memiliki unsur-unsur seperti penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tahunan dan/atau ternak atau hewan, waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu, dan ada interaksi ekologi, ekonomi, dan sosial. Adapun ciri dan karakteristik pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri menurut Lahjie (2004) adalah sebagai berikut: 1) usaha pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan produksi dari berbagai output dengan perlindungan bagi sumberdaya dasar, 2) kurun waktu umumnya lebih dari satu tahun, 3) interaksi dari beberapa aspek sosial, ekonomi, ekologi dan usaha pemanfaatan lahan lebih dari dua macam produk, 4) mempunyai fungsi dari aspek lingkungan, misalnya konservasi lahan terhadap kesuburan dan erosi, penahan kuatnya angin yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman lain, maupun sebagai tempat untuk melakukan industri rumah tangga, 5) usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri yang sederhana pun secara biolois maupun ekonomis lebih kompleks dari pada pemanfaatan lahan monokultur, 6) usaha dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, baik terencana maupun tak terencana, 7) melibatkan lebih banyak nilai-nilai sosial budaya yang saling mempengaruhi, dan 8) mempunyai strata


(51)

4 tajuk yang bervariasi khusunya pada komunitas vegetasi yang membentuk ekosistem setempat.

Indonesia telah memiliki beberapa sistem agroforestri yang terkenal seperti repong damar di Lampung Barat, tembawang di Kalimantan Barat, pelak di Jambi, parak di Sumatera Barat, lembo di Kalimantan Timur, talun di Jawa Barat, kebun kemenyan di Sumatera Utara, kebun karet campuran di Jambi dan Sumatera Selatan, kebun durian campuran di Kalimantan Barat, dan kebun pepohonan campuran di sekitar Bogor. Istilah yang melekat di masyarakat tentang agoforestri adalah kebun campuran, karena pada umumnya lahan masyarakat ditanam dengan berbagai jenis tanaman.

2.2 Pola Tanam

Pertumbuhan tanaman pertanian maupun kehutanan pada sistem agroforestri dipengaruhi oleh pola tanam. Pola tanam ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pada tegakan, karena pada sistem agroforestri terjadi persaingan unsur hara dan cahaya. Oleh karena itu, perlu diadakan beberapa cara untuk pemanfaatan ruang dan waktu yang optimal. Pemanfaatan ruang secara optimal dapat dilakukan dengan cara pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, dan perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Adapun pemanfaatan waktu secara optimal dapat dilakukan dengan pengaturan waktu tanam dan panen.

Pada sistem agroforestri, pola tanam diatur sedemikian rupa, sehingga pada tahap awal saat penutupan tajuk belum menjadi masalah. Beberapa komponen dapat tumbuh bersama dalam satu tajuk. Pada tahap selanjutnya, sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk. Lapisan tajuk bagian atas ditempati oleh jenis-jenis dominan, strata di bawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan (semi toleran), kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis yang tahan naungan (Sukandi 2002).

2.3 Pemilihan Jenis

Sistem agroforestri terdiri dari beberapa komponen jenis tanaman, seperti pohon, perdu, liana, maupun tanaman semusim. Pemilihan jenis sangat dipengaruhi oleh kondisi biofisik, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.


(52)

5 Aspek biofisik seperti iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan kondisi lahan.

Kondisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan kondisi bentang alamnya menjadikan Indonesia mempunyai curah hujan yang relatif tinggi. Adanya kondisi tingginya curah hujan tentu akan mempengaruhi kondisi tanah seperti pencucian tanah (leaching) maupun aliran permukaan yang membawa top soil (surface run off). Oleh karena itu, sangat diperlukan jenis yang mampu mengikat agregat tanah atau dapat berperan sebagai cover crops sebagai upaya konservasi tanah dan air.

Pada topografi miring, peluang terjadinya surface run off akan lebih besar, karenanya diperlukan jenis yang memiliki perakaran dalam seperti mahoni, khaya, atau nangka. Pemilihan jenis ini tentu tidak melihat faktor topografi saja, tetapi kondisi curah hujan, lahan, maupun budaya masyarakat.

Faktor lain yang tidak kalah penting mengenai pemilihan jenis adalah ketinggian tempat. Pada daerah yang lebih tinggi, jumlah oksigen rendah, suhu semakin menurun, dan radiasi lebih tinggi. Untuk itu, pemilihan jenisnya harus tepat. Adapun contoh dari tanaman dataran tinggi adalah manglid, suren, pinus, puspa, kopi, alpukat, aren, rasamala, mahoni, dan gmelina. Selain itu, fase perkembangan agroforestri perlu diperhatikan. Saat fase awal, dapat dipilih jenis tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya matahari banyak (sampai dua atau tiga tahun pertama), seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pada fase selanjutnya, saat penutupan tajuk mulai mendominasi, maka diperlukan jenis yang tahan terhadap naungan seperti kunyit, laos, temulawak, ubi jalar, bengkuang, dan lainnya (Sukandi 2002).

Faktor biofisik tersebut harus diimbangi oleh budaya masyarakat sekitar. Pemilihan jenis tidak hanya memperhatikan kondisi biofosik, tetapi juga kebutuhan masyarakat dan budaya masyarakat, karena masyarakat yang berperan langsung terhadap sistem agroforestri.


(1)

34 Lampiran 1 Pengolahan data sidik ragam dan uji Duncan kedalaman perakaran

gmelina

Parameter DF JK KT F Value Pr > F

Model 2 1039,91 519,95 38,19 <0,0001

Galat 103 1402,36 13,61

Jumlah koreksi 105 2442,26

Pengelompokkan Duncan Rataan (cm) N (Pohon) Perlakuan

A 17,40 30 Agf 3

A 17,39 28 Agf 1

B 11,10 48 Agf 2

Lampiran 2 Pengolahan data sidik ragam dan uji Duncan panjang perakaran gmelina

Parameter DF JK KT F Value Pr > F

Model 2 5221,36 2610,68 22,25 <0,0001

Galat 104 12201,93 117,33

Jumlah koreksi 106 17423,29

Pengelompokkan Duncan Rataan (cm) N (Pohon) Perlakuan

A 41,46 28 Agf 1

B 30,73 30 Agf 3

C 24,35 49 Agf 2

Lampiran 3 Hasil persen penutupan tajuk di lapangan A. Agf 1

Arah Posisi

Utara Selatan Barat Timur Keterbukaan Tajuk (%)

Penutupan Tajuk (%)

Utara 95 90 80 95 93,60 6,40

Selatan 75 100 70 95 88,40 11,60

Barat 40 95 75 75 74,10 25,90

Timur 70 100 50 30 65,00 35,00

Total` 83,49 16,51

B. Agf 2 Arah Posisi

Utara Selatan Barat Timur Keterbukaan Tajuk (%)

Penutupan Tajuk (%)

Utara 25 35 40 35 35,10 64,90

Selatan 40 70 75 30 55,90 44,10

Barat 30 60 50 30 44,20 55,80

Timur 65 30 50 55 52,00 48,00


(2)

35

35 C. Agf 3

Arah Posisi

Utara Selatan Barat Timur Keterbukaan Tajuk (%)

Penutupan Tajuk (%)

Utara 96 57 51 100 79,04 20,96

Selatan 89 73 49 78 75,14 24,86

Barat 73 50 50 40 55,38 44,62

Timur 78 72 50 89 75,14 24,86

Total 74,02 25,98

Lampiran 4 Rekapitulasi pengukuran suhu dan kelembaban A. Agf 1

B. Agf 2

C. Agf 3

Tanggal Agf 1

TBK (oC) TBB (oC) RH (%) T Tanah(oC)

20 Desember 2011 25,34 24,25 90,00 20,74

21 Desember 2011 25.46 24,12 90,00 27,50

22 Desember 2011 26,29 24,71 82,00 28,42

Rataan Harian 25,70 24,36 86,00 25,55

Hari Agf 2

TBK (oC) TBB (oC) RH (%) T Tanah(oC)

20 Desember 2011 24,04 23,00 90,00 25,12

21 Desember 2011 25,08 23,46 86,00 24,67

22 Desember 2011 25,75 23,70 82,00 24,29

Rataan Harian 24,96 23,39 86,00 24,69

Hari TBK (o Agf 3

C) TBB (oC) RH (%) T Tanah(oC)

20 Desember 2011 24,71 24,00 90,00 25,80

21 Desember 2011 25,58 23,66 82,00 23,83

22 Desember 2011 25,58 24,25 90,00 24,04


(3)

(4)

37


(5)

iii KHORYFATUL MUNAWAROH. Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahan pun kian meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang dapat memanfaatkan lahan secara optimal seperti agroforestri. Agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan dengan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak. Sistem ini juga memiliki nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial. Akan tetapi, agroforestri juga memiliki interaksi negatif seperti persaingan unsur hara, air, maupun cahaya antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian. Sehingga dilakukan penelitian mengenai perakaran gmelina (Gmelina arborea) pada beberapa pola agroforestri berbeda. Gmelina merupakan tanaman kehutanan yang cepat tumbuh (fast growing species). Karakter pertumbuhan gmelina yang relatif cepat ini dapat digunakan sebagai spesies untuk rehabilitasi lahan seperti yang berada di DAS Cimanuk-Citanduy yang berada di lahan milik rakyat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kedalaman dan panjang akar lateral gmelina, mengetahui data biofisik lingkungan serta sistem pengolahan lahan pada tiga pola berbeda di lokasi penelitian. Adanya studi ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk pemilihan jenis tanaman pertanian yang cocok ditanam di bawah tegakan gmelina tersebut. Perakaran gmelina yang diperoleh dengan cara menggali kedalaman akar memiliki variasi kedalaman dan panjang yang berbeda. Variasi tersebut disebabkan adanya perbedaan sifat biofisik lingkungan maupun pengolahan lahan yang berbeda pada tiap pola. Pengukuran ini dilakukan secara sensus pada setiap pola. Adapun tanaman pertanian yang dapat diterapkan pada sistem agroforestri di lokasi penelitian adalah kopi robusta, jeruk besar, kapulaga, kunyit, temulawak, nanas, panili, anggrek, tanduk rusa, dan lebah madu.


(6)

iv

SUMMARY

KHORYFATUL MUNAWAROH. The Length and Depth of Lateral Roots of Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) on Several Pattern Agroforestry in Desa Sekarwangi, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut. Under Supervision of NURHENI WIJAYANTO.

Along with the growing population, the need for land was growing. Therefore, it takes an effort that can harness land optimally as agroforestri. Agroforestry is a system of land use by plants of forestry with crop and/or livestock. This system also has the value of economic, ecological, and social events. However, agroforestry also have negative interactions such as competition, nutrient elements, water, and light between forestry with crop plants. So do research on rooting on some patterns of gmelina (Gmelina arborea) agroforestry different. Gmelina is a fast-growing species of forestry. Growth character of gmelina relatively rapid can be used as a species for rehabilitation of land such as in DAS Cimanuk-Citanduy residing in the land belongs to the people. The purpose of this study is to assess the depth and length of the lateral roots gmelina, knowing the biophysical environment and data processing system of land on three different patterns in the location of research. The study is expected to be a reference for the selection of a suitable type of crop grown under the stands gmelina. Gmelina rooting was obtained by digging the root depth and depth variations have different length. These variations are due to the existence of biophysical properties of differences as well as the processing of land environment is different in each pattern. This measurement is done in the Census of every pattern. As for the crop that can be applied on the system agroforestry on site research is robusta, grapefruit, cardamom, turmeric, curcumae, pineapple, panili, orchid, deer horns, and honey bees.