Budaya Pada Novel Gadis Pantai
1947 sampai Desember 1949. Adapun, selanjutnya Pramoedya Ananta Toer juga kembali dipenjara selama 14 tahun oleh pemerintahan Orde Baru
dengan tuduhan terlibat dengan parpol PKI sejak tahun 1965 sampai 1979. Pada 21 Desember 1979 tersebut ia mendapat surat pembebasan secara
hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI. Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang yang produktif karena
di zaman yang susah dan di tengah-tengah kesibukannya bekerja dan di dalam penjara ia masih sempat menuliskan beberapa karya. Hal tersebut
terbukti pada tahun 1950 sampai tahun 1952 ia berhasil menerbitkan tiga kumpulan cerpen dan empat novel. Kumpulan cerpen tersebut yaitu Pertjikan
Revolusi, Subuh, Tjerita dari Blora, dan keempat roman tersebut adalah Perburuan, Keluarga Gerilja, Ditepi Kali Bekasi, dan Mereka Jang
Dilumpuhkan. Sejak tahun 1950 itulah ia mulai terkenal dan aktif berkarya di dunia sastra. Kehidupan Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan juga
tidak terlepas dari kehidupan sosial politik. Diketahui ia mempunyai jiwa nasionalis dengan bergabung dengan BKR. Adapun, sejak tahun 1957 ia
mulai dikenal aktif dalam dunia politik Indonesia dengan menulis karangan yang mendukung politik Presiden Soekarno yang berorientasi pada
demokrasi terpimpin. Kehidupan sosial dan politis Pramoedya Ananta Toer juga terlihat ketika dirinya dilibatkan untuk pertama kali dalam Lekra pada
Januari 1959. Lekra merupakan lembaga kebudayaan yang kedudukannya berada di bawah naungan PKI. Sejak ketergabungannya di Lekra tersebut
Pramoedya Ananta Toer aktif menyuarakan perlawanan pada penindasan imperialisme dan kolonialisme.
Keaktifan dan perhatian Pramoedya Ananta Toer dalam dunia politik indonesia tercermin dari berbagai tulisannya. Adapun, ia pernah menyatakan
dalam tulisaanya bahwa yang menjadi biang keladi kegagalan-kegagalan Indonesia adalah sistem demokrasi liberal yang mendasarkan segala-galanya
pada faktor uang, tidak pada jiwa-jiwa yang setiap saat dapat berkembang kalau dibimbing secara tepat dan baik. Selain pandangan politik, Pramoedya
Ananta Toer juga menetaskan pandangan sastra yaitu dengan visi realisme sosial. Adapun, visi sastra Pram tersebut dimaksudkan pada humanisme
sosial atau humanisme proletar yang memperjuangkan rakyat dalam melawan penderitaan dan penindasan dari kaum kapitalis dan imperialis.
Novel Gadis Pantai ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1962-1965 dan mula-mula terbit sebagai cerita bersambung dalam lampiran
kebudayaan Lentera. Adapun, melalui proses yang penuh lika-liku akhirnya novel ini berhasil diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1987. Novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan kisah yang mempunyai kemiripan dengan kehidupan keluarganya. Nenek Pram dari pihak ibu yaitu
bernama Satimah. Ia disunting sebagai selir oleh kakek Pram yaitu seorang Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anak ibunya Pramoedya,
Satimah dicerai. Kisah kehidupan nenek Pram tersebutlah yang kemudian menjadi prototipe Gadis Pantai. Penceritaan novel Gadis Pantai yang
ternyata sangat dekat dengan sejarah kehidupan keluarga, memang sesuai dengan pandangan sastra Pram. Pramoedya Ananta Toer berpandangan
bahwa pentingnya bagi dia latar kenyataan hulu, data-data, fakta-fakta, untuk menciptakan karya sastra; ia selalu memerlukan setting dalam kenyataan
„untuk memberikan ruang yang meyakinkan bagi cerita itu untuk dapat berlangsung dengan mantap‟. Adapun, demikian maka karya Pramoedya
Ananta Toer memang mempunyai latar kenyataan yang cukup mantap: petama-tama kenyataan hidupnya sendiri, kenyataan orang disekitarnya,
kenyataan Indonesia sezaman, dan kenyataan sejarah. Dirangkum dari A. Teww, 1997: 2
– 45 dan pengantar Novel Gadis Pantai, 2011.