Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology Second Edition. Academic Press. A
Subsidiary of harcourt Brace Jovanovich, Publisher. New York. p. 272.

Alexopoulos, C. J and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology Third Edition.
John Wiley and Sons. New York. pp. 559 – 560.

Anonimus. 1991. Pengendalian Beberapa Penyakit Tanaman Karet Terpenting.
Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I) Pusat
Penelitian Perkebunan Sungai Putih. Taruna Melati. Medan. p. 23.

. 1999. Laporan Tahunan (Annual Report) : Pengendalian Penyakit
Tanaman Karet (Control Of Hevea Rubber Diseases). Pusat Penelitian karet
(Indonesian Rubber Research Institute). Medan. pp. 16 – 17.

Anwar, C. 2001. Manajemen dan Teknologi Bididaya Karet. Pusat Penelitiam
Karet, Jakarta.

Bailey, J. A and M. J. Jeger. 1992. Colletotrichum : Biology, Pathology, and
Control. The British Society for Plant Pathology. London. pp. 88 – 337.


Daslin, A. 2000.Pengenalan Klon Karet Anjuran untuk Penanaman. Lembaga
Pendidikan Perkebunan Kampus Medan. pp. 13 – 14.

Daslin, A dan M. Lasminingsih. 2001. Klon Karet Unggul Anjuran IRR Seri 00
Sebagai Penghasil Lateks Kayu. Warta Pusat Penelitian Karet 2001.
Medan. 21 (1 – 3) : 25 – 31.

Dirjenbun, 2012.Luas Areal Karet Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun 2008
Sampai 2012. Direktoral Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

Novalina dan AD Sagala. 2011. Studi Sgregasi dan Pwarisan Marka-marka RAPD
pada Tanaman Karet Hasil Persilangan PB 260 dngan PN. J. Biospcis
4(2):18-26.
Nurhayati, N. Anwar, A. Mazid, dan M. E. Lina. 2011. Hubungan Jumlah Konidia
di Udara dengan Keparahan Penyakit. Gugur Daun Colletotrichum
padaLima Klon Karet Eksperimental di BPP Sembawa. J. Rafflesia
17(1):362-365

Pawirosoemardjo, S. 1999. Aspek – Aspek Biologi C. gloeosporioides Penz. dan
Respon Beberapa Klon Karet Terhadap Penyakit yang Ditimbulkan. Tesis
Magister Sains, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Perangin-angin, E. 2008. Uji Resistensi Klon IRR Seri 400 Terhadap Penyakit
Gugur Daun Colletotrichum gloesporioides (Penz.) Sacc pada Tanaman
Karet di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Pertanian USU. Medan.
Pratama A. 2008. Karakter Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasiliensis
Selama Proses Microcutting. Skripsi. FMIPA IPB. Bogor.
Purnamasari I. 2014. Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet terhadap
Penyakit Corynespora cassiicola dan Colletotrichum gloeosporioides di
Kbun Entres Sei Putih. J. Agroekoteknologi 2(2):851-862
Purwantara dan Pawirosoemardjo, S. 1991. Perkembangan Gejala dan Sebaran
Spora Patogen Penyakit Gugur Daun pada Klon Karet PPN 2058. Menara
Perkebunan. pp. 33 – 37.

Riyaldi. 2003. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian Organisme Pengganggu
Tanaman Karet. Direktorat Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian
Desember 2003. Jakarta. pp. 7 -10.

Semangun, H. 1991. Penyakit – Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia.

Fakultas Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. pp. 89 - 92.
Setiawan, D. H dan A. Andoko. 2006. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. PT
Agromedia Pustaka. Jakarta. pp. 11 – 17.

Universitas Sumatera Utara

Situmorang, A dan A. Budiman. 1984. Penyakit Tanaman Karet dan
Pengendaliannya. Balai Penelitian Sembawa. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sembawa. pp. 29 – 31.

Situmorang, A, M. Lasminingsih, dan Thomas. 1998. Resistensi Klon Karet
Anjuran dan Strategi Penggunaannya dalam Pengendalian Penyakit Penting
Di Perkebunan Karet Indonesia. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional
Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21.
Medan, 8 – 9 Desember 1998. p. 103.

Soepena, H. 1991. Shourt Course on South American Leaf Blight and Other
Diseases of Rubber. Research Institute for Estate Crops of Sungai Putih in
Colaboration with Association of Natural Rubber Producing Countris Asean
Plant Quarantine Centre and Training Institute Rubber Research Institute of

Malaysia Centre Agricultural Quarantine. Medan. Pp. 3 – 6.

Sujatno, Syaifuddin, dan Soekirman, P. 1998. Resistensi Klon Harapan Terhadap
Penyakit Utama Tanaman Karet. Dalam Prosiding Lokakarya Nasional
Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet Alam Abad 21.
Medan, 8 – 9 Desember 1998. pp. 223 – 227.

Woelan, S., I. Suhendry, A. Daslin, dan R. Azwar, 1999. Karakteristik Klon
Anjuran Rekomendasi 1999 – 2001. Warta Pusat Penelitian Karet, Pusat
Penelitian Karet. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. pp. 37 – 50

Yardha, S. Edi, dan Mugiyanto. 2007. Teknik Pembibitan dan Budidaya Karet
Unggul di Provinsi Jambi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.

Yuniarti, F. dan E. Wibowo. 2013. Perkembangan Serangan Colletotrichum sp.
pada Tanaman Karet http://203.190.36.35/bbpptsurabaya/berita-582perkembangan-serangan-colletotrichumsp-pada-tanaman-karet-triwulan-iitahun-2013-di-wilayah-b.html diakses tanggal 22 Oktober 2015.

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODA


Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Balai
Penelitian Perkebunan Karet Sungai Putih, Kecamatan Galang yang terletak
± 80 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai dengan
selesai.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan terdiri dari 20 genotipe tanaman karet, aquadest
steril, 3 Isolat C. gloeosporioides yang berasal dari daerah yang berbeda (Isolat
Salatiga, Sembawa, dan Sei Putih), Potato Dextrose Agar (PDA), clorox 0,1 %, dan
alkohol 96 %.
Alat

yang

digunakan

terdiri

dari


pinset,

petridish,

erlenmeyer,

haemocytometer, mikroskop, autoclave, inkubator, jarum inokulasi, kapas, kertas
saring, dan cork borer (pelubang gabus).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu :
Faktor 1: Isolat C. Gloeosporioides yang terdiri dari 4 taraf
I0

: Kontrol (Aquadest steril)

I1

: Isolat dari Sungai Putih Kabupaten Deli Serdang


I2

: Isolat dari Sembawa Palembang

I3

: Isolat dari Salatiga Jawa Tengah

Universitas Sumatera Utara

Faktor 2: Genotipe Tanaman Karet yang terdiri dari 20 jenis yaitu:
No

Genotipe

Hasil Persilangan antara:
Klon 1

Klon 2


1

374 (G1)

IAN 873

PN 20

2

719 (G2)

IRR 111

PB 260

3

532 (G3)


IAN 873

RRIC 100

4

223 (G4)

PB 260

IRR 100

5

453 (G5)

IAN 873

PN 7108


6

38 (G6)

PB 260

RRIC 100

7

713 (G7)

IRR 111

PB 260

8

51(G8)


RRIM 600

PB 255

9

108 (G9)

PN 8997

PB 5/51

10

222 (G10)

PB 260

IRR 100

11

118 (G11)

RRIM 600

IRR 111

12

227 (G12)

PB 260

IRR 100

13

147(G13)

RRIM 600

PB 5/51

14

76 (G14)

PB 260

IRR 100

Universitas Sumatera Utara

15

64 (G15)

IRR 111

PB 260

16

229 (G16)

PB 260

IRR 100

17

891 (G17)

PR 300

PB 260

18

779 (G18)

PB 260

PN 2018

19

930 (G19)

IRR 111

PB 260

20

135 (G20)

RRIM 600

IRR 111

(Sumber: Puslitbun Sungai Putih)
Sehingga diperoleh kombinasi kedua perlakuan tersebut sebagai berikut :
I0G1

I0G2

I0G3

I0G4

I0G5

I0G6

I0G7

I0G8

I0G9

I0G10

I0G11 I0G12 I0G13 I0G14 I0G15 I0G16 I0G17 I0G18 I0G19 I0G20
I1G1

I1G2

I1G3

I1G4

I1G5

I1G6

I1G7

I1G8

I1G9

I1G10

I1G11 I1G12 I1G13 I1G14 I1G15 I1G16 I1G17 I1G18 I1G19 I1G20
I2G1

I2G2

I2G3

I2G4

I2G5

I2G6

I2G7

I2G8

I2G9

I2G10

I2G11 I2G12 I2G13 I2G14 I2G15 I2G16 I2G17 I2G18 I2G19 I2G20
I3G1

I3G2

I3G3

I3G4

I3G5

I3G6

I3G7

I3G8

I3G9

I3G10

I3G11 I3G12 I3G13 I3G14 I3G15 I3G16 I3G17 I3G18 I3G19 I3G20
Jumlah Perlakuan

: 80

Jumlah Ulangan

:3

Jumlah Cakram Daun tiap genotipe : 7
Diameter Cakram Daun

: 2 cm

Jumlah Unit Percobaan

: 240

Pelaksanaan Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Persiapan Bahan Inokulasi
Isolat C. gloesporioides dari beberapa daerah dimurnikan pada media PDA.
Biakan yang telah benar – benar murni diinkubasikan dalam inkubator selama 6
hari pada suhu 28 o dan RH 60 – 70 %.
Biakan murni dari C. gloesporioides ditetesi dengan aquadest steril
secukupnya, kemudian dikikis dengan menggunakan jarum kait, sehingga seluruh
konidia yang terdapat pada ujung konidiofor terlepas dan masuk kedalam larutan.
Campuran larutan ini disaring dengan menggunakan kain muslin, sehingga
potongan miselium atau bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain
penyaring, sedangkan yang dapat lolos hanya konidia. Kemudian suspensi ini
diencerkan dengan aquadest steril sehingga mencapai kerapatan konidia sebanyak
4.104 konidia/ml. Konsentrasi ini dapat dihitung dengan menggunakan
haemocytometer.

Isolat Sei Putih

Isolat Sembawa
Isolat Salatiga
Gambar 1. Biakan Murni C. gloesporioides dari isolatSei Putih, Sembawa dan
Salatiga.
(sumber: foto langsung)

Inokulasi Pada Cakram Daun (Leaf Disc)
Setiap daun dari 20 genotipe yang di uji di lubangi sehingga terbentuk
cakram daun dengan alat pelubang gabus (Cork Borer) yang berdiameter 2cm.
Selanjutnya Cakram daun diinokulasikan dengan cara direndam dengan suspensi

Universitas Sumatera Utara

konidia C. gloesporioides dengan kerapatan 4.104 konidia/ml selama 1-2 menit.
Kemudian cakram daun (leaf disc) disusun di dalam petridish yang telah dilapisi
kertas saring yang terlebih dahulu dilembabkan dengan aquadest steril. Satu cawan
petri di letakkan 7 cakram daun yang di susun secara acak. Kemudian petridish
inokulasi ditutup.
Peubah Amatan
Intensitas Serangan pada Cakram Daun (Leaf Disc)
Potonga cakram daun yang telah diinokulasi dengan suspensi

C.

gloesporioides diamati 2 hari sekali sebanyak 4 kali pengamatan untuk masingmasing daerah asal isolat (pada hari ke 2, 4, 6, dan 8 hsi). Pengamatan dilakukan
dengan membandingkan antara luas bercak yang timbul dengan luas cakram daun
secara visual.
Pengukuran skala bercak pada cakram daun di laboratorium menurut
metode Pawirosoemardjo (1999) yang telah dimodifikasi, maka skala bercak daun
ditetapkan 0-4 yaitu sebagai berikut :
Skala 0 = tidak terdapat bercak
Skala 1 = terdapat bercak < 1/4 bagian
Skala 2 = terdapat bercak < 1/2 bagian
Skala 3 = terdapat bercak >1/2 – 3/4 bagian
Skala 4 = terdapat bercak > 3/4 bagian

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Skala bercak daun untuk penilaian intensitas serangan
C. gloeosporioides pada cakram daun di laboratorium
(Sumber : Puslitbun Sungai Putih)
Hasil pengukuran skala bercak pada cakram daun di laboratorium
digunakan untuk menghitung nilai intensitas serangan klon tanaman karet. Menurut
Pawirosoemardjo (1999) nilai intensitas serangan penyakit dinyatakan dengan
rumus : I =
Dimana :

 (nxv)
ZxN

x 100%

I

= Intensitas Serangan

n

= Jumlah daun tiap kategori serangan

v

= Nilai skala dari setiap kategori serangan

Z

= Nilai skala dari kategori yang tertinggi

N

= Jumlah daun yang diamati

Tabel. 1. Klasifikasi Penilaian Intensitas Serangan Penyakit C. gloeosporioides
Klasifikasi

Intensitas Serangan

Resisten

0 – 20 %

Agak Resisten

21 – 40 %

Moderat

41 – 60 %

Agak Rentan

61 – 80 %

Rentan

81 – 100 %

(Prawirosoemardjo, 1999)

Universitas Sumatera Utara

Periode Latent
Suatu periode antara tibanya inokulum sampai perkembangan penyakit atau
pembawa gejala dari penyakit yang ditimbulkan.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Hasil penelitian uji ketahanan beberapa Genotitpe tanaman karet
(Hevea brassiliensis Muel. Arg.) terhadap 3 isolat penyakit gugur daun
(Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.) di laboratorium adalah sebagai
berikut :
Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%)
Pengaruh

Faktor Genotipe (G) Terhadap Rataan Intensitas

Serangan

C. gloeosporioides (%)
Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam
diperoleh bahwa Genotipe berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Faktor Genotipe (G) Terhadap Rataan Intensitas Serangan
C. gloeosporioides (%)
Intensitas Serangan (%)
Faktor G
2 hsi

4 hsi

6 hsi

8 hsi

374 (G1)

5,77c

30,67bcd

58,98abcd

90,00a

719 (G2)

8,24b

29,1bcde

63,78a

90.,00a

532 (G3)

5,00c

21,17ghi

46,9ghi

85,27bc

223 (G4)

5,77c

37,51a

57,14bcde

90,00a

453 (G5)

10,95a

33,70ab

59,6abc

90,00a

38 (G6)

5,19c

22,71fgh

51,34fg

85,53bc

713 (G7)

4,05d

26,56cdef

51,86efg

83,55c

51 (G8)

4,05d

17,00ij

35,98j

60,30e

Universitas Sumatera Utara

108 (G9)

4,05d

20,99ghi

53,5def

89,08a

222 (G10)

4,05d

10,71l

17,42l

29,23f

118 (G11)

4,05d

24,02fgh

57,06bcde

89,08a

227 (G12)

5,19c

33,77ab

61,44ab

90,00a

147 (G13)

4,05d

29,03bcde

46,96ghi

78,14d

76 (G14)

4,05d

24,28efgh

43,89hi

85,33bc

64 (G15)

4,05d

14,46jl

43,49i

90,00a

229 (G16)

4,05d

20,42hi

54,48cdef

90,00a

891 (G17)

4,05d

26,25def

50,72fg

87,42ab

779 (G18)

4,05d

25,75defg

49,92fg

89,08a

930 (G19)

4,05d

31,24bc

58,27abcd

90,00a

135 (G20)

4,05d

22,83fgh

49,07fgh

87,12ab

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.
hsi = hari setelah inokulasi
Dari tabel 2 dapat dilihat keterangan bahwa pada perlakuan Genotipe
Terhadap Intensitas serangan memiliki variasi ketahanan yang berkisar antara
29,23%-90,00%. Pada pengamatan I (2hsi) perlakuan Genotipe 435 berbeda sangat
nyata dengan perlakuan genotipe 374, 7119, 532, 223, 38, 713, 51, 108, 222, 118,
227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, dan 135. Intensitas serangan tertinggi terdapat
pada perlakuan genotipe 435 yaitu sebesar 10,95%. Sedangkan intensitas serangan
terendah terdapat pada perlakuan genotipe 713, 51, 108, 222, 118, 227, 147, 76, 64,
229, 891, 779, 930, dan 135 yaitu sebesar 4,05%. Pada pengamatan pengamatan ke1 perlakuan genotipe 713, 51, 108, 222, 118, 227,147,

76, 64, 229, 891, 779,

930 dan 135 tergolong dalam kategori resisten dan Perlakuan genotipe 435
tergolong dalam kategori resisten.

Universitas Sumatera Utara

Pada pengamatan II (4hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan genotipe 223 yaitu sebesar 37,51% dan yang terendah
terdapat pada genotipe 222 yaitu sebesar 10,71%. Pada pengamatan ke-II perlakuan
genotipe 223 tergolong dalam kategori agak resisten dan pada perlakuan genotipe
222 tergolong kategori resisten.
Pada pengamatan III (6hsi) dapat dilihat bahwa serangan yang tertinggi
terdapat pada perlakuan genotipe 719 yaitu sebesar 63,78% dan yang terendah
terdapat pada genotipe 222 yaitu sebesar 17,42%. Pada pengamatan ke-III
perlakuan genotipe 719 sudah tergolong dalam kategori agak rentan dan perlakuan
genotipe 222 masih tergolong kategori resisten.
Pada pengamatan IV (8hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapa pada genotipe 374, 719, 223, 453, 227, 64, 229, dan 930 yaitu sebesar
90,00%. Dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan genotipe 222
yaitu sebesar 29,23%. Pada pengamtan ke-IV perlakuan genotipe 374, 719, 223,
453, 227, 64, 229, dan pada 930 sudah tergolong dalam kategori rentan dan
perlakuan genotipe 222 tergolong dalam kategori agak resisten.
Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan

Intensitas

Serangan

C.

gloeosporioides (%)
Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam
diperoleh bahwa isolat berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel
3.

Universitas Sumatera Utara

Tabel. 3. Pengaruh Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas Serangan C.
gloeosporioides (%)
Intensitas Serangan (%)
Faktor I
2 hsi

4 hsi

6 hsi

8 hsi

Kontrol

4,05a

12,78c

42,73c

78,09c

Sei Putih

5,27b

18,59b

45,80c

79,99b

Sembawa

5,15b

34,00a

55,94b

87,64a

Salatiga

5,27b

35,05a

58,59a

88,09a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.
hsi = hari setelah inokulasi.
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada perlakuan isolat terhadap intensitas
serangan memilikin variasi virulensi yang berkisar antara 78,09%-88,09%. Pada
pengamatan I (2hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan perlakuan
isolat sei putih, sembawa, dan salatiga. Adapun intensitas tertinggi terdapat pada
perlakuan isolat sallatiga yaitu sebesar 5,27%. Dan terendah terdapat pada
perlakuan kontrol yaitu sebesar 4,05%.
Pada pengamatan II (4hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan
perlakuan isolat salatiga dan isolat semabawa, dan isolat yang berasal dari sugai
putih. Adapun intensitas serangan yang tertinggi terdapat pada perlakuan isolat
salatiga yaitu sebesar 35,05% dan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu
sebesar 12,78% .
Pada pengamatan III (6hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan
perlakuan isolat salatiga, perlakuan isoalat sembawa tetapi tidak berbeda nyata
dengan isolat sungai putih. Adapun intesitas serangan tertinggi terdapat pada

Universitas Sumatera Utara

perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 58,59% dan terendah terdapat pada perlakuan
kontrol yaitu 42,73%.
Pada pengamatan IV (8hsi) perlakuan kontrol sangat berbeda sangat nyata
dengan perlakuan isolat salatiga, sembawa, dan sungai putih. Adapun intensitas
serangan tertinggi terdapat pada perlakuan isolat salatiga yaitu sebesar 88,09%. Dan
terendah terdapat pada perlakuan kontrol 78,09%.
Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat dengan Genotipe (I x G)
Terhadap Rataan Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%)
Berdasarkan hasil pengamatan 2, 4, 6, dan 8 hsi dari analisa sidik ragam
diperoleh bahwa isolat berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada tabel
4.
Intensitas Serangan (%)
Perlakuan
2 hsi

4 hsi

6 hsi

8 hsi

Kontrol x 374 (I0G1)

4,05 bA

19,40bABC

58,86aAB

90,00aA

Kontrol x 719 (I0G2)

4,05 bA

22,11bAB

60,88bA

90,00aA

Kontro x 532 (I0G3)

4,05 bA

4,05CF

29,03bH

71,08b

Kontrol x 223 (I0G4)

4,05 bA

24,93bAB

56,99abABC

90,00aA

Kontrol x 453 (I0G5)

4,05 cA

17,88cABC

52,16bABCD

90,00aA

Kontrol x 38 (I0G6)

4,05 bA

7,85cDEF

45,00bDEF

72,12bc

Kontrol x 71 (I0G7)

4,05 aA

6,35cEF

30,78cGH

64,22bD

Kontrol x 51 (I0G8)

4,05 aA

4,05BF

13,95cI

33,06cE

Kontrol x 108 (I0G9)

4,05 aA

15,45bBCDE

51,19abABCDE

86,35aA

Kontrol x 222 (I0G10)

4,05 aA

4,05bF

4,05cJ

4,05bF

Kontrol x 118 (I0G11)

4,05 aA

16,67bBCD

57,72aABC

90,00 aA

Kontrol x 227 (I0G12)

4,05 bA

20,14bABC

58,50aAB

90,00 aA

Universitas Sumatera Utara

Kontrol x 147 (I0G13)

4,05 aA

26,71abA

47,05 aCDEF

72,58bBC

Kontrol x 76 (I0G14)

4,05 aA

15,45bBCDE

45,00abDEF

90,00 aA

Kontrol x 64 (I0G15)

4,05 aA

4,05bF

29,15bGH

90,00 aA

Kontrol x 229 (I0G16)

4,05 aA

4,05 bF

54,83aABCD

80,00bB

Kontrol x 891 (I0G17)

4,05 aA

7,85cDEF

39,52bFGH

90,00 aA

Kontrol x 779 (I0G18)

4,05 aA

6,35cEF

40,22bEFG

90,00 aA

Kontrol x 930 (I0G19)

4,05 aA

16,67cBCD

48,42bBCDEF

90,00 aA

Kontrol x 135 (I0G20)

4,05 aA

11,36bCDEF

31,55bGH

78,48b

Sei Putih x 374 (I1G1)

4.05 bC

20,90bABC

52,72aABCD

90,00 aA

Sei Putih x 719 (I1G2)

12,44 aA

30,69abA

62,47bA

90,00 aA

Sei Putih x 532 (I1G3)

4,05 bC

4,05 bF

39,22bFGH

90,00 aA

Sei Putih x 223 (I1G4)

4,05 bC

23,16bAB

46,63bCDEFG

90,00 aA

Sei Putih x 453 (I1G5)

10,94 bA

30,78bA

58,50abAB

90,00 aA

Sei Putih x 38

(I1G6)

8,64 aB

8,64cDE

38,10bGH

90,00 aA

Sei Putih x 713 (I1G7)

4.05 aC

24,34bAB

42,64bDEFGH

90,00 aA

Sei Putih x 51 (I1G8)

4,05 aC

4,05 bF

20,14cI

38,47cE

Sei Putih x 108 (I1G9)

4,05 aC

11,65bCDE

56,27abABC

90,00 aA

Sei Putih x 222
(I1G10)

4,05 aC

4,05 bF

4,05cJ

4,05bF

Sei Putih x 118
(I1G11)

4,05 aC

23,16bAB

58,83aAB

86,35aA

Sei Putih x 227 (I1
G12)

8,64 aB

30,00bA

60,00aAB

90,00 aA

Sei Putih x 147 (I1
G13)

4,05 aC

21,18bABC

33,93bH

60,00cD

Sei Putih x 76 (I1 G14)

4,05 aC

25,03abAB

35,00bH

71,35bC

Sei Putih x 64 (I1 G15)

4,05 aC

6,35bDE

34,51bH

90,00 aA

Sei Putih x 229 (I1
G16)

4,05 aC

8,64cDE

49,78aBCDEF

90,00 aA

Universitas Sumatera Utara

Sei Putih x 891 (I1
G17)

4,05 aC

24,00bAB

51,92aABCDE

79,70bB

Sei Putih x 779 (I1
G18)

4,05 aC

26,69bA

56,94aABC

90,00 aA

Sei Putih x 930 (I1
G19)

4,05 aC

29,19bA

59,22abAB

90,00 aA

Sei Putih x 135 (I1
G20)

4,05 aC

15,45bBCD

40,92bEFGH

90,00 aA

Sembawa x 374 (I2G1)

10,94 aA

37,40ABCDE

62,44aBC

90,00 aA

Sembawa x 719 (I2G2)

12,44 aA

35,24aCDEF

75,66aA

90,00 aA

Sembawa x 532 (I2G3)

4,05 bB

45,10aABC

58,53aBCDE

90,00 aA

Sembawa x 223 (I2G4)

4,05 bB

47,94aA

58,50aBCDE

90,00 aA

Sembawa x 453 (I2G5)

10,94 bA

29,19bEFG

60,81abBCD

90,00 aA

Sembawa x 38
(I2G6)

4,05 bB

45,17aAB

62,13aBC

90,00 aA

Sembawa x 713 (I2G7)

4,05 aB

40,32aABCD

66,98aAB

90,00 aA

Sembawa x 51 (I2G8)

4,05 aB

29,12aEFG

47,25bFGHI

79,70bB

Sembawa x 108 (I2G9)

4,05 aB

28,49aEFGH

45,69bGHI

90,00 aA

Sembawa x 222
(I2G10)

4,05 aB

30,69aDEFG

36,67aI

56,90aC

Sembawa x 118
(I2G11)

4,05 aB

37,40aBCDE

56,94aBCDEF

90,00 aA

Sembawa x 227 (I2
G12)

4,05 bB

29,19bEFG

58,45aBCDE

90,00 aA

Sembawa x 147 (I2
G13)

4,05 aB

33,01aDEFG

57,06aBCDEF

90,00 aA

Sembawa x 76 (I2
G14)

4,05 aB

26,69aFGH

47,81aEFGH

90,00 aA

Sembawa x 64 (I2
G15)

4,05 aB

19,09aH

56,28aBCDEFG

90,00 aA

Sembawa x 229 (I2
G16)

4,05 aB

24,00bGH

54,13aCDEFG

90,00 aA

Universitas Sumatera Utara

Sembawa x 891 (I2
G17)

4,05 aB

31,50bDEFG

50,49abDEFGH

90,00 aA

Sembawa x 779 (I2
G18)

4,05 aB

30,00bEFG

60,88aABC

86,35 aA

Sembawa x 930 (I2
G19)

4,05 aB

49,15aA

65,29aAB

90,00 aA

Sembawa x 135 (I2
G20)

4,05 aB

31,50aDEFG

56,99aBCDEF

90,00 aA

Salatiga x 374 (I3G1)

4,05 bD

44,99aBC

61,90aABC

90,00 aA

Salatiga x 719 (I3G2)

4,05 bD

28,37abFG

56,22bBCDE

90,00 aA

Salatiga x 532 (I3G3)

7,85 aC

31,50bEF

60,81aABCD

90,00 aA

Salatiga x 223 (I3G4)

10,94 aB

54,04aAB

66,48aAB

90,00 aA

Salatigax 453 (I3G5)

17,87 aA

56,99aA

66,95aAB

90,00 aA

Salatiga x 38

(I3G6)

4.05 bD

29,19bF

60,15aABCD

90,00 aA

Salatiga x 713 (I3G7)

4,05 aD

35,24aCDEF

67,04aAB

90,00 aA

Salatiga x 51 (I3G8)

4,05 aD

30,78aEF

62,59aABC

90,00 aA

Salatiga x 108 (I3G9)

4,05 aD

28,37aFG

60,88aABCD

90,00 aA

Salatiga x 222 (I3G10)

4,05 aD

4,05bh

24,93bF

51,92aB

Salatiga x 118 (I3G11)

4,05 aD

18,88bG

54,76aCDE

90,00 aA

Salatiga x 227 (I3 G12)

4,05 bD

55,49aA

68,82aA

90,00 aA

Salatigax 147 (I3 G13)

4,05 aD

35,22aCDEF

49,82aDE

90,00 aA

Salatiga x 76 (I3G14)

4,05 aD

29,96aF

47,75aE

90,00 aA

Salatiga x 64 (I3 G15)

4,05 aD

28,37aFG

54,04aCDE

90,00 aA

Salatiga x 229 (I3 G16)

4,05 aD

45,00aBC

59,22aABCD

90,00 aA

Salatiga x 891 (I3 G17)

4,05 aD

41,66aCD

60,97aABC

90,00 aA

Salatiga x 779 (I3 G18)

4,05 aD

40,00aCDE

61,66aABC

90,00 aA

Salatiga x 930 (I3 G19)

4,05 aD

30,00bF

60,15aABCD

90,00 aA

Salatiga x 135 (I3 G20)

4,05 aD

33,01aDEF

66,84aAB

90,00 aA

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 1 %.
hsi = hari setelah inokulasi

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pada perlakuan interaksi isolat dengan
genotipe (I x G) terhadap intensitas serangan memiliki variasi ketahanan yang
berkisar antara 4,05%-90,00%.
Pada pengamatan I (2hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan interaksi isolat salatiga genotipe 453 yaitu sebesar 17,87%
dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol genotipe
374, 719, 532, 223, 453, 38, 713, 51, 108, 222, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779,
930, 135, dan perlakuan interaksi sungai putih genotipe 374, 532, 223, 713, 51, 108,
222, 118, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, 135, dan perlakuan interaksi sembawa
genotipe 532, 223, 38, 713, 51, 108, 222, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930,
135, dan perlakuan interaksi salatiga genotipe 374, 719, 38, 713, 51, 108, 222, 118,
227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, 135 yaitu sebesar 4,05%.
Pada pengamatan II (4hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan interaksi isolat salatiga genotipe 453 yaitu sebesar 56,99%.
Dan intensitas serangan yang terendah terdapat perlakuan interaksi kontrol genotipe
532, 51, 222, 64, 229, dan sungai putih genotipe 532, 51, 222, dan pada salatiga
genotipe 222 yaitu sebesar 4,05%.
Pada pengamatan III (6hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada interaksi perlakuan isolat sembawa genotipe 719 yaitu sebesar
75,66%. Dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol
genotipe 222 dan perlakuan interaksi sungai putih genotipe 222 yaitu sebesar
4,05%.
Pada pengamatan IV (8hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan interaksi kontrol genotipe 374, 719, 223, 453, 118, 227,

Universitas Sumatera Utara

76, 64, 891, 779, 930 dan perlakuan interaksi sungai putih genotipe 374, 719, 532,
223, 453, 38, 713, 108, 227, 64, 229, 779, 930, 135 dan perlakuan interaksi
sembawa genotipe 135, 374, 719, 532, 223, 453, 38, 713, 108, 118, 227, 147, 76,
64, 229, 891, 930, 135, dan perlakuan interaksi salatiga genotipe 374, 719, 532,
223, 453, 38, 713, 51, 108, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, 135, yaitu
sebesar 90,00%. Dan intensitas serangan terendah terdapat pada perlakuan interaksi
kontrol genotipe 222 dan perlakuan interaksi sei putih genotipe 222 yaitu sebesar
4,05%.
Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf
disc) untuk perlakuan kontrol (menggunakan air steril) genotipe 532, 51, 64, dan
229 pertama kali menimbulkan gejala serangan pada 6 hsi. Pada genotipe 374, 719,
223, 453, 38, 71, 108, 118, 227, 147, 76, 891, 779, 930, dan 135 pertama kali
menimbulkan gejala serangan pada 4 hsi, dan pada genotipe 222 tidak terkena
gejala serangan.
Pada pegamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf
disc) untuk perlakuan isolat yang berasal dari sungai putih genotipe 532, dan 51
pertama kali menimbulkan gejala serangan pada 6 hsi, dan pada genotipe 374, 223,
713, 108, 118, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, dan 135 pertama kali menimbulkan
gejala serangan pada 4 hsi, dan pada genotipe 719, 453, 38, dan 227 pertama kali
menimbulkan gejala serangan pada 2 hsi, dan pada genotipe 222 tidak terkena
gejala serangan.
Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf
disc) untuk perlakuan isolat yang berasal dari sembawa genotipe 532, 223, 38, 713,
51, 108, 222, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, dan 135 pertama kali

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan gejala serangan pada 4 hsi, dan pada genotipe 374, 719, dan 453
pertama kali menimbulkan gejala serangan pada 2 hsi.
Pada pengamatan periode latent C. gloesporioides pada cakram daun (leaf
disc) untuk perlakuan isolat yang berasal dari salatiga genotipe 222 pertama kali
menimbulkan gejala serangan pada 6 hsi, dan genotipe 374, 719, 38, 713, 51, 108,
118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930, dan 135 pertama kali menimbulkan gejala
serangan pada 4 hsi, dan genotipe 532, 223, dan 453 pertama kali menimbulkan
gejala serangan pada 2 hsi.
Pembahasan
Intensitas Serangan C. gloeosporioides (%)
Pengaruh Faktor Genotipe (G) Terhadap Rataan Intensitas Serangan C.
gloesporioides (%)
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada perlakuan genotipe terhadap intensitas
serangan memiliki variasi ketahanan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing
genotipe yang mempunyai ketahanan yang berbeda-beda terhadap jamur C.
gloeosporioides. Hal ini sesuai dengan literatur Woelan et all (1999). Yang
menyatakan bahwa setiap masing-masing genotipe baik yang tergolong dalam
anjuran maupun komersial mempunyai sifat ketahanan yang berbeda-beda terhadap
jamur C. gloesporioides.
Pada pengamatan I (2hsi) intensitas serangan tertinggi terdapat pada
perlakuan genotipe 435 sedangan intensitas serangan terendah terdapat pada
perlakuan genotipe 713, 51, 108, 222, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 779, 930,
135 pada pengmatan I (2hsi) masih tergolong dalam kategori resisten. Hal ini sesuai

Universitas Sumatera Utara

dengan literatur Pawirosoemardjo (1999) yang menyatakan bahwa nilai skala 020% tergolong dalam kategori resisten.
Pada pengamatan II (4hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan genotipe 223 sedangkan intensitas serangan terendah
terdapat pada perlakuan genotipe 222 pada pengamatan II (4hsi) pada genotipe 223
tergolong kategori agak resisten dan pada genotipe 222 tergolong kategori
resisnten. Hal ini sesuai dengan literatur Pawirosoemardjo (1999) yang menyatakan
bahwa nilai skala 0-20% tergolong dalam kategori resisten dan nilai skala 21-40%
tergolong kategori agak resisten.
Pada pengamatan III (6hsi) dapat dilihat bahwa serangan tertinggi terdapat
pada perlakuan genotipe 719 sedangkan intensitas serangan terendah terdapat pada
perlakuan genotipe 222 pada pengamatan III (6hsi) pada genotipe 719 tergolong
kategori agak rentan dan pada genotipe 222 tergolong kategori resisten. Hal ini
sesuai dengan literatur Woelan et all (1999) yang menyatakan Masing masing
genotipe baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai sifat
ketahanan yang berbeda-beda terhadap jamur C. gloeosporioides.
Pada pengamatan IV (8hsi) dapat dilihat bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapa pada genotipe 374, 719, 223, 453, 227, 64, 229, dan intensitas serangan
terendah terdapat pada genotipe 222 pada pengamatan IV (8hsi) pada genotipe 374,
719, 223, 453, 227, 64, 229 tergolong kategori rentan dan pada genotipe 222
tergolong kategori resisten. Hal ini sesuai dengan literatur Pawirosoemardjo (1999)
yang menyatakan bahwa nilai 0-20% resisten dan nilai 81-100% rentan.
Pengaruh

Faktor Isolat (I) Terhadap Rataan Intensitas Serangan

C.gloeosporides (%)

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel 3 dapat dilahat bahwa pada perlakuan isolat terhadap intensitas
serangan memiliki variasi virulensi. Hal ini di sebabkan oleh masing-masing isolat
C.gloeosporioides (%) mempunyai sifat virulensi yang berbeda-beda terhadap daun
klon tanaman karet. Hal ini sesuai dengan literatur Situmorang et all (1998)
menyatakan bahwa penggunaan klon resisten merupakan metoda pengendalian
yang efektif karena kemampuannya memperkecil kerusakan tanaman. Rendahnya
kerusakan tanaman resisten adalah sebagai akibat penurunan populasi awal patogen
dan laju infeksi patogen.
Pada pengamatan I sampai dengan pengamatan IV intensitas serangan
tertinggi terdapat pada perlakuan isolat Salatiga. Hal ini dikarenakan isolat Salatiga
mempunyai tingkat virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Sungai
Putih dan Sembawa. Pada pengamatan ini, intensitas serangan terendah terdapat
pada perlakuan kontrol. Hal ini dikarenakan hanya menggunakan aquades steril.
Intensitas serangan C.gloeosporioides (%) selama pengamatan 2, 4, 6 dan
8 hsi dalam bentuk histogram untuk setiap isolat dapat dilihat pada gambar 3. Pada
gambar histogram dapat dilihat bahwa rata-rata intensitas serangan tertinggi
terdapat pada 8 hsi dan terendah pada 2 hsi.

Universitas Sumatera Utara

78,09
79,99
87,64
88,09

100

55,94
58,59

80

60
34
35,05

50

30
20
10

2 Hsi
4 Hsi

5,27
18,59

40

42,73
45,8

70

4,05
5,27
5,15
12,78

Intensitas serangan (%)

90

6 Hsi
8 Hsi

0
I0

I1

I2

I3

Isolat
Gambar 3. Histogram Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides
Penz. Sacc. pada Perlakuan Isolat (I)
Pengaruh Faktor Perlakuan Interaksi Isolat dengan Genotipe (I x G)
Terhadap Rataan Intensitas Serangan C.gloesporiodes (%)
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pada perlakuan interaksi isolat dengan
genotipe (I x G) terhadap intensitas serangan memiliki variasi ketahanan yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara C. gloeosporioides dan
toksin yang dihasilkannya dengan ketentuan genotipe karet. Hal ini sesuai dengan
literatur situmorang, et all (1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara

C.

gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan kerentanan genotipe karet
dapat digolongkan menjadi: rentan terhadap serangan jamur dan toksin yang
dihasilkannya, rentan terhadap serangan jamur tetapi resisten terhadap toksin,
resisten terhadap serangan jamur dan toksin.
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa dari pengamatan I (2hsi) sampai dengan
pengamatan IV (8hsi) berpengaruh sangat nyata dan mengalami peningkatan
intensitas serangan. Hal ini terjadi karena patogen berada dalam tahap menginfeksi
tanaman yang semakin lama semakin berkembang. Hal ini sesuai dengan literatur

Universitas Sumatera Utara

Purwantara dan Pawirosoemardjo (1991) yang menyatakan bahwa daun terinfeksi
dapat menunjukkan gejala setelah berumur 2-53 hari, dan gugur setelah daun
berumur antara 12-64 hari. Jadi setelah pengamatan pertama kolonisasi dan invasi
akan berkembang.
Periode Latent C. gloeosporioides Pada Cakram Daun (Leaf Disc)
Pada pengamatan periode latent C. gloeosporioides pada cakram daun (leaf
disc) mulai munculnya gejala yang di timbulkan pada masing-masing genotipe
berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh masing-masing genotipe mempunyai
ketahanan yang berbeda-beda terhadap jamur C. gloeosporioides. Hal ini sesuai
dengan literatur Woelan, et all (1999) yang menyatakan bahwa dari setiap masingmasing genotipe baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial mempunyai
sifat ketahanan yang berbeda-beda terhadap jamur

C. gloeosporioides.

Pada pengamtan periode latent dapat diketauhui bahwa pertama kali timbul
gejala yang tercepat pada masing-masing isolat kecuali pada penggunaan aguadest
steril (sebagai kontrol) pada perlakuan sei putih yang paling rentan pada 2 hsi yaitu
genotipe 719, 453, 38, 227, dan pada perlakuan sembawa yaitu genotipe 374, 719,
453, dan pada perlakuan salatiga yaitu genotipe 532, 223, 453 dan yang paling
resisten terdapat pada genotipe 222. Hal ini sesuai dengan literatur Purnamasari
(2014) yang menyatakan bahwa perlakuan genotipe 222 memiliki periode inkubasi
yang lebih lama dibandingkan dengan genotipe lainya terhadap serangan penyakit
C. gloeosporioides.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pada pengamatan 8 hsi genotipe yang memiliki intensitas serangan
tertinggi terdapat pada genotipe 374, 719, 223, 453, 227, dan 229 yaitu
sebesar 90.00% dan yang terendah terdapat pada genotipe 222 yaitu
sebesar 29,23%.
2. Pada pengamatan 8 hsi isolat yang memiliki intensitas serangan yang
tertinggi terdapat pada isolat salatiga yaitu sebesar 88,09% dan terendah
terdapat pada perlakuan kontrol (Aguadest) yaitu sebesar 78,09%.
3. Pada pengamatan 8 hsi intensitas serangan tertinggi terdapat pada isolat
sei putih genotipe 374, 719,532, 223, 453, 38, 713, 108, 227, 64, 229,
779, 930,135 dan isolat sembawa genotipe 374, 719, 532, 223, 453, 38,
713, 108, 118, 227, 147, 76, 64, 229, 891, 930, 135 dan isolat salatiga
genotipe 374, 719, 532, 223, 453, 38, 713, 51, 108, 118, 227, 147, 76,
64, 229, 891, 779, 930, 135 yaitu sebesar 90%. Dan intensitas serangan
terendah terdapat pada perlakuan interaksi kontrol genotipe 222 yaitu
sebesar 4,05%.
4. Pada pengamtan 8 hsi genotipe 374, 719, 223, 453, 227, 64, 229, adalah
genotipe yang tergolong rentan, sedangkan genotipe 222 tergolong
resisten.
5. Pada pengamatan periode latent dapat diketahui bahwa pertama kali
timbul gejala yang tercepat pada 2 hsi yaitu isolat sungai putih dengan
genotipe 719, 453, 38, 227. Pada isolat sembawa dengan genotipe 374,

Universitas Sumatera Utara

719, 453. Pada isolat salatiga dengan genotipe 532, 223, 453, kecuali
kontrol dan isolat sungai putih dengan genotipe 222.
Saran
Disarankan penelitian lanjutan mengenai Uji Ketahanan Beberapa Genotipe
Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur
Daun (Colletotricum gloeosporioides Penz. Sacc.) dalam skala lapangan.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Penyakit
Menurut

Alexopoulos

and

Mims

(Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.)

(1979)

penyakit

gugur

daun

dapat di klasifikasikan sebagai

berikut :
Kingdom

: Myceteae

Divisio

: Amastigomycota

Sub Divisio

: Deuteromycotina

Class

: Deuteromycetes

Ordo

: Melanconiales

Famili

: Melanconiaceae

Genus

: Colletotrichum

Species

: C. gloeosporioides Penz. Sacc

Penyakit daun Colletotrichum disebabkan oleh jamur C. gloeosporioides.
Jamur ini umumnya mempunyai konidium hialin, berbentuk silinder dengan ujungujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung yang membulat
dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu,

terbentuk pada

konidiofor seperti fialid, berbentuk silinder, hialin agak kecokelatan (Semangun,
2008). Dalam cuaca yang lembab spora menjadi lunak dan mudah tersebar oleh
percikan air hujan atau oleh aliran udara yang lembab (Yuniarti dan Wibowo,
2013).
C. gloeosporioides Penz. Sacc. merupakan parasit fakultatif yang termasuk
ordo melanconiales. Konidianya berukuran panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm.

Universitas Sumatera Utara

Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri

dari massa

miselium

yang

berbentuk acervulus, bersepta, panjang antara 30-90 µm, umumnya berkembang
merupakan perpanjangan dari setiap acervulus (Bailey & Jeger,1992).
Acervuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah
apabila konidia telah dewasa, konidia keluar sebagai percikan berwarna putih,
kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia.
Diantara Melanconiales yang konidianya cerah (hyalin) adalah Gloeosporium dan
Colletotrichum, keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penciutan
di tengah (Agrios, 2005).
Pada medium agar PDA (Potato Dextrose Agar) C. gloeosporioides dapat
tumbuh dan bersporulasi dengan baik. Biakan murni pada medium tersebut
berwarna kelabu kehitaman atau keputih-putihan (Alexopoulos & Mims, 1979).
Gejala Serangan
Serangan C. gloeosporioides terutama menyerang daun. Serangan yang
berat pada daun muda yang baru terbentuk setelah tanaman meranggas sehingga
menyebabkan banyaknya daun muda yang gugur. Hal ini disebut dengan gugur
daun sekunder, ini terutama terjadi jika perkembangan daun muda berlangsung pada
cuaca yang basah. Gejala pertama pada daun muda yang agak dewasa dapat di lihat
dengan adanya spora (konidium) jamur yang berwarna merah jambu. Pada cuaca
yang basah massa spora ini dapat terlihat jelas. Daun muda hanya rentan selama ±
5 hari pada waktu kuncup membuka (bud break) dan selama 10 hari pertama pada
waktu daun berkembang. Setelah itu daun membuka penuh, warnanya sudah
berubah dari warna perunggu menjadi hijau pucat. Pada waktu itu kutikula sudah
terbentuk dan daun cukup tahan. Jika infeksi terjadi pada bagian awal dari masa 15

Universitas Sumatera Utara

hari tersebut, daun akan segera layu dan rontok, tetapi jika infeksi terjadi pada
tingkat yang lebih maka daun sudah mempunyai ketahanan dalam, yang mencegah
terjadinya kerusakan yang meluas. Sehingga meskipun sebagian daun berubah
bentuknya dan banyak bercak-bercak daun tidak akan gugur (Semangun, 1991).
Penyakit ini menyerang pada berbagai tingkat umur tanaman karet. Daundaun muda yang terserang lemas berwarna hitam, mengeriput, bagian ujung mati
dan menggulung. Pada daun dewasa terdapat bercak-bercak berwarna hitam,
berlubang dan daun keriput serta bagian ujungnya mati. Tanaman yang terserang
tajuknya menjadi gundul. Penyakit ini juga mengakibatkan mati pucuk. Serangan
berat bisa terjadi pada kebun yang letaknya diatas 200 m dpl atau daerah beriklim
basah (Yardha dkk, 2007).
Pada cuaca yang basah massa spora ini dapat dilihat jelas dengan mata
telanjang. Pada daun yang lebih dewasa menyebabkan tepi dan ujung daun
berkeriput dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat berwarna cokelat
dengan tepi kuning, bergaris tengah 1-2 mm. Bila daun bertambah umurnya, bercak
akan berlubang di tengahnya dan bercak tampak menonjol dari permukaan daun
(Yuniarti dan Wibowo, 2013).
Daun yang

terinfeksi

dapat

menunjukkan gejala setelah berumur

2-53 hari, dan gugur setelah daun berumur antara 12-64 hari. Jadi setelah
pengamatan pertama kolonisasi dan invasi akan berkembang
(Purwantara & Pawirosoemardjo,1991).

Universitas Sumatera Utara

Epidemiologi Penyakit
Penularan utama Colletotrichum adalah dengan spora konidia yang
disebarkan melalui percikan air hujan dan angin. Konidia merupakan sel tunggal
yang transparan, sangat ringan dan terbentuk pada ujung konidiofor
(Soepena, 1991).
Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskopik spora jamur C.
gloesporioides berukuran sangat kecil dan banyak, sehingga pada waktu
pengamatan di bawah mikroskop bertumpuk-tumpuk dan dilapangan mudah
terbawa angin (Perangin-angin, 2008).
Suhu udara optimum untuk berkembangnya jamur ini antara 28ºC dengan
kelembaban di atas 95%, sedangkan suhu di bawah 5ºC dan di atas 32ºC konidia
jamur tidak dapat berkecambah. Sementara pada percobaan di rumah kaca dan
laboratorium ternyata bahwa infeksi jamur terjadi pada kelembaban lebih dari
96% pada temperatur 26-31ºC (Bailey & Jeger, 1992).
Resistensi Klon Tanaman Karet
Pada umumnya klon karet yang dilepas Pusat Penelitian Karet mempunyai
resistensi yang baik terhadap satu atau beberapa penyakit penting karet. Beberapa
klon yang cukup handal mengatasi beberapa penyakit penting karet terutama
penyakit gugur daun Colletotrichum di berbagai daerah perkebunan Indonesia
adalah BPM 1, BPM 24, PR 260, dan RRIC 100. Klon anjuran IRR juga termasuk
klon yang mempunyai resistensi yang baik terhadap penyakit karet. Penggunaan
klon resisten merupakan metoda pengendalian yang efektif karena kemampuannya
memperkecil kerusakan tanaman. Rendahnya kerusakan tanaman resisten adalah
sebagai akibat penurunan populasi awal patogen dan laju infeksi patogen.

Universitas Sumatera Utara

Mekanisme kerjanya adalah mengurangi jumlah spora patogen atau memperkecil
jumlah populasi awal, menghambat perkembangan bercak, memperpanjang waktu
dalam pembentukan spora baru dan memperkecil jumlah spora baru. Disamping
efektif, penggunaan klon resisten juga dianggap efisien karena sekali penggunaan
klon resisten relatif tidak lagi memerlukan biaya, tenaga dan waktu. Tetapi kendala
yang dihadapi adalah tidak satu klonpun yang mempunyai resistensi terhadap
semua penyakit, demikian juga resistensi suatu klon terhadap penyakit tertentu
dapat menjadi patah pada suatu agroklimat atau ras patogen tertentu. Untuk
mengoptimalkan penggunaan klon resisten dianjurkan untuk membatasi
penggunaan satu klon dalam hamparan luas, menggunakan klon karet secara
berimbang dalam suatu hamparan, dan menanam klon campuran dalam satu blok
serta penempatan suatu klon dalam suatu agroklimat yang sesuai untuk menghindari
kerusakan berat penyakit penting (Situmorang et all., 1998).
Klon BPM 107 merupakan hasil seleksi dari populasi semaian PBIG dengan
pohon induk nomor K 19 8/2. Klon BPM 107 mempunyai ketahanan yang cukup
baik (resisten) terhadap penyakit daun Corynespora, dan moderat terhadap
Colletotrichum, Oidium. Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat diolah
menjadi SIR 3CV. Pengembangannya pada lahan beriklim sedang-kering
(Daslin,2000).
Klon BPM 24 merupakan hasil seleksi dari persilangan antara klon GT 1 x
AVROS. Ketahanan terhadap penyakit daun Corynespora cukup baik, sedangkan
ketahanan terhadap Colletotrichum kurang. Perioritas pengembangannya dapat di
lakukan di daerah beriklim sedang. Lateks berwarna putih kekuningan, dan dapat
diolah menjadi SIR 3L (Woelan et all., 1999).

Universitas Sumatera Utara

Klon BPM 109 merupakan hasil seleksi dari persilangan BPM 107 x BPM
13, direkomendasikan sebagai klon karet anjuran sejak tahun 1996. Ketahanan
terhadap Corynespora moderat, sedangkan terhadap Colletotrichum baik dan agak
tahan terhadap Oidium. Lateks berwarna putih dan dapat diolah menjadi SIR 3 WF.
Pengembangannya pada lahan beriklim sedang-kering. Klon PB 217 merupakan
hasil seleksi persilangan antara PB 5/51 x PB 6/9, di Indonesia direkomendasikan
sebagai klon anjuran sejak tahun 1991 (Daslin, 2000).
Ketahanan terhadap Oidium kurang dan moderat terhadap Colletotrichum.
Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat diolah menjadi SIR 3L,
perkembangannya lahan beriklim sedang. Klon PB 260 merupakan hasil seleksi dari
persilangan antara PB 5/51 x PB 49, tergolong memiliki ketahanan moderat sampai
tahan terhadap penyakit daun utama (Corynespora, Colletotrichum dan Oidium),
tetapi kurang tahan terhadap angin. Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat
diolah menjadi SIR 3L, pengembangannya pada daerah beriklim sedang sampai
basah (Daslin, 2000).
Masing-masing klon baik yang tergolong dalam anjuran maupun komersial
mempunyai

sifat

ketahanan

yang

berbeda-beda

terhadap

jamur

C.

gloeosporioides. Klon RRIC 100 ketahanannya terhadap beberapa penyakit daun
(Colletotrichum, Corynespora, dan Oidium) cukup baik. Potensi produksi awal
rendah dengan rata-rata produksi aktual 1567 kg/ha/thn selama 8 tahun penyadapan,
lateks berwarna putih. Pengembangannya dapat dilakukan pada daerah beriklim
sedang sampai basah (Woelan et all., 1999).
Hubungan antara C. gloeosporioides dan toksin yang dihasilkannya dengan
kerentanan klon karet dapat digolongkan menjadi : 1) rentan terhadap serangan

Universitas Sumatera Utara

jamur dan toksin yang dihasilkannya; 2) rentan terhadap serangan jamur tetapi
resisten terhadap toksin; 3) resisten terhadap serangan jamur dan rentan terhadap
toksin; 4) resisten terhadap serangan jamur dan toksin. Klon apa saja yang termasuk
kelompok tersebut sampai sekarang belum banyak diketahui, tetapi klon-klon yang
termasuk dalam kelompok pertama dan ketiga adalah klon yang berisiko
mengalami serangan berat (Situmorang et all., 1998).
Kajian tentang sifat resistensi klon terhadap penyakit utama pada karet
khususnya klon yang akan dianjurkan diperlukan untuk dapat merumuskan
rekomendasi klon unggul. Dari hasil uji resistensi klon terhadap penyakit
Colletotrichum dalam kondisi laboratorium menunjukkan IRR 106, IRR 118, IRR
130 (Tergolong Resisten). BPM 1, IRR 111, IRR 120, IRR 129 (Tergolong Agak
Resisten). IRR 100, IRR 104, IRR 105, IRR 107, IRR 110, IRR 112, IRR 117, IRR
124, IRR 125, IRR, 126, IRR 128 (Tergolong Moderat). IRR 101, IRR 102, IRR
103, IRR 108, IRR 109, IRR 113, IRR 114, IRR 115, IRR 127 (Tergolong Agak
Rentan) dan (Tergolong yang rentan) GT 1, IRR 116, IRR 119, IRR 123, RRIM
600 (Sujatno dkk, 1998).
Genotipe Tanaman Karet
Setiap genotipe karet memiliki karakter yang bervariasi untuk dijadikan
sebagai batang bawah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam identifikasi
ciri morfologi klon batang bawah yang digunakan dalam microcutting (Pratama,
2008)
Hasil penelitian Purnamasari (2014) menunjukkan bahwa perlakuan
genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap periode inkubasi. perlakuan genotipe
222 memiliki periode inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan genotipe

Universitas Sumatera Utara

lainnya terhadap serangan penyakit C.gloeosporioides. Periode inkubasi paling
cepat terdapat pada perlakuan genotipe 930 dan genotipe 223. Perbedaan periode
inkubasi ini terjadi dikarenakan perbedaan kemampuan patogen dalam menginfeksi
tanaman. Selain itu dapat juga disebabkan oleh keadaan cuaca pada saat percobaan
dilakukan. Pada perlakuan genotipe 222 mengalami periode inkubasi lebih lama
dapat disebabkan karena tanaman memiliki ketahanan lebih tinggi yang
menyebabkan patogen lebih lama menimbulkan gejala pada tanaman (Purnamasari,
2014)
Perlakuan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
jumlah bercak/satuan luas daun. Jumlah bercak tertinggi terdapat pada perlakuan
genotipe 223 dengan jenis penyaki C. Gloeosporioides. Genotipe 223 memiliki
ketahanan yang rendah terhadap serangan patogen yang menyebabkan jumlah
bercak lebih banyak terdapat pada genotipe 223 dibandingkan dengan genotipe 100
dan genotipe-genotipe lainnya. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kemampuan
patogen dalam merusak jaringan daun karena salah satu dari tanaman yang diinfeksi
bersifat tahan, sehingga bercak daun tidak berkembang. Sedangkan pada tanaman
yang rentan, bercak daun mudah berkembang pada bagian tanaman yang diserang
(Purnamasari, 2014).
Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit gugur daun Colletotrichum dapat diusahakan
melalui pemeliharaan tanaman seperti menanam 3 jenis klon anjuran yang resisten
dalam satu areal pertanaman seperti : PR 261, RRIC 100, BPM 1, BPM 24, BPM
107, BPM 109, PB 260, klon seri 00 dan 100 dan klon unggul lainnya
(Riyaldi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Klon yang peka diganti tajuknya melalui okulasi tajuk dengan klon tahan
sehingga diharapkan bebas dari serangan Colletotrichum. Penginokulasian
dilakukan pada ketinggian 2 meter di atas permukaan tanah, pada umur 2-3 tahun
di lapangan (Situmorang & Budiman, 1984).
Melakukan pemupukan teratur seperti pada tanaman terserang ringan diberi
pupuk nitrogen dua kali dosis anjuran pada saat daun mulai terbentuk. Pupuk
dibenamkan ke dalam tanah agar mudah diserap akar, selain itu dilakukan
pemberantasan gulma (Riyaldi, 2003).
Pinggiran daun lebih awal disemprot dengan penyemprotan asam kakodilik
agar tanaman dapat membentuk daun-daun baru lebih awal sebelum musim hujan
dengan demikian tanaman akan terhindar serangan penyakit (Situmorang &
Budiman, 1984).
Tanaman yang terserang berat dilakukan penyemprotan dengan fungisida
kontak yang disemprotkan pada setiap mulai membentuk daun dengan interval 1
minggu sampai daun berwarna hijau. Fungisida yang efektif untuk penyakit ini
adalah mankozeb. Alat penyemprotan juga berbeda sesuai dengan umur tanaman
jika di pembibitan digunakan knapsack sprayer sedangkan pada masa TBM
menggunakan mist blower (Soepena, 1991).

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di
dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20
tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1,0 juta ton pada tahun
1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 1,9 juta ton pada tahun 2004.
Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2,25 milyar,
yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas (Anwar, 2001).
Karet alam merupakan komoditas ekspor yang sangat penting sebagai
sumber devisa negara dan merupakan sumber penghidupan sebagian penduduk
Indonesia. Secara ekologi tanaman karet mendukung pelestarian lingkungan hidup,
sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Sumatera Selatan memiliki lahan
karet

Dokumen yang terkait

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet Terhadap Penyakit Corynespora cassiicola dan Colletotrichum gloeosporioides di Kebun Entres Sei Putih

1 85 68

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muel. Arg.) Terhadap 3 Isolat Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc.) Di Laboratorium

0 48 59

Uji Ketahanan Klon IRR Seri 200 Terhadap Penyakit Gugur Daun (Colletotrichum gloeosporioides Penz. et Sacc.) Pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) Di Laboratorium

0 38 63

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Uji Resistensi Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Laboratorium

0 30 53

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 11

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 2

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 3

Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Tanaman Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.)Terhadap 3 Isolat PenyakitGugur Daun (Colletotricum gloeosporides Penz. Sacc.) di Laboratorium

0 0 9