mengandungi tanah yang mengandung telur tadi dimasukkan ke dalam mulut atau terjadi akibat konsumsi sayuran atau buah yang tidak dibasuh, dibuang kulit atau
tidak dimasak dengan cara yang benar CDC 2010. Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90 Gandahusada
1998. Telur Ascaris lumbricoides yang infektif bila tertelan manusia menetas
menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju
paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding alveolus dan, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju ke faring. Penderita akan batuk
kareana adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi cacing dewasa. Proses ini
membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan Onggowaluyo, 2002.
2.1.2. Trichuris trichiura
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing cambuk Trichuris trichiura adalah Trichuriasis Gandahusada, 1998. Trichuriasis mempunyai distribusi yang
global dan daerah yang sering terinfeksi adalah daerah tropis seperti di Asia Tenggara. Pada tahun 1990, diperkirakan 21 anak pra-sekolah dan 25 anak
sekolah di dunia menderita Trichuriasis Holland dan Kennedy, 2002. Cara penularannya sama seperti cara penularan cacing Ascaris lumbricoides yaitu melalui
route fecal-oral. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10000 butir. Telur yang dibuahi akan keluar melalui tinja dan akan
matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai; tanah yang lembab dan tempat yang teduh.
Hospes akan menelan telur matang secara kebetulan. Kemudian, larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa,
cacing akan kembali ke lumen dan turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam kolon, terutama sekum. Cacing tersebut akan lengket pada usus besar dengan cara
menembuskan bagian ujung anteriornya ke dalam membran mukosa usus dan akan
Universitas Sumatera Utara
membentuk struktur tunnel-like pada bagian superfisial epithelium. Bagian posterior cacing tergantung secara bebas dalam lumen. Perkembangannya di dalam hospes
memakan masa sampai 3 bulan Zaman dan Mary, 2008. Tidak seperti pada infeksi Ascaris lumbricoides, cacing ini tidak mempunyai siklus pada paru Gandahusada,
1998.
2.1.3. Hookworms
Sejarah penamaan cacing tambang bermula di Eropah apabila cacing ini ditemukan pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang
memadai Gandahusada, 1998. Ada beberapa spesies hookworms yang penting dalam bidang medis, namun yang sering dijumpai di Indonesia ialah cacing Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, sekitar 40. Distribusi cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan
di tempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia. Dan kedua cacing ini
menyebabkan penyakit ankilostomiasis. Telur yang dihasilkan betinanya akan dikeluarkan bersama-sama tinja, 2-3
hari kemudian menetas dan keluar larva rhabditiform, selama 2 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform infeksius yang tahan terhadap
perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi Ancylostoma duodenale juga mungkin
dengan menelan larva filariform Onggowaluyo, 2002. Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk
ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, faring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Cara Penularan