PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA DILENGKAPI IZIN EDAR BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA DILENGKAPI IZIN EDAR

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(Studi Pada Polda Lampung)

Oleh

Dhaniko Syahputra Sembiring

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016


(2)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana ... 14

1. Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana ... 14

2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum... 17

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar ... 20

1. Pengertian Tindak Pidana ... 20

2. Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia ... 22

a. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ... 22

b. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ... 24


(3)

A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Narasumber ... 30

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Izin Edar di Wilayah Hukum Polda Lampung ... 33

B. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Izin Edar di Wilayah Hukum Polda Lampung ... 56

V. PENUTUP A. Simpulan... 62

B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi global yang semakin terbuka berpengaruh pada kegiatan ekspor dan impor barang. Kegiatan ekspor dan impor barang yang tidak dikendalikan oleh kebijakan pemerintah tentu akan merugikan masyarakat, pengusaha makro dan pengusaha mikro (pelaku pasar tradisional). Dalam perkembangan kegiatan ekonomi global peranan kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan baik dalam perdagangan skala Nasional, regional maupun Internasional. Kebijakan pemerintah tersebut tentu tidak terlepas dari yang namanya kebijakan hukum. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai pelaksana dalam mengawasi kegiatan ekspor–impor barang karena sangat tidak mungkin kegiatan ekspor dan impor barang menimbulkan persoalan–persoalan hukum yang dapat merugikan masyarakat dan penerimaan negara serta dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Negara.

Sebagai contoh yang dapat dikaji secara hukum adalah barang bukti yang dijadikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana Nomor: 986/Pid.B/2014/PN.Tjk di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang yaitu berupa : 13 (tiga belas) buah L–Glutathione Lation SPF 70 warna hitam, 10 (sepuluh) buah L-Glutathione Moist Whitening Lotion SPF 70 Hello Kitty warna


(5)

pink, 4 (empat) buah L-Glutathione Moist Whitening Natural SPA exfloating hello Kitty warna hijau bening, 3 (tiga) buah clean beauty whitening moisturizing body shop warna pink, 4 (empat) buah exploaliating very white algae refining whitening warna biru muda, 8 (delapan) buah body lotion sammy warna kuning, 3 (tiga) buah L-Glutathione magic cream UV A/B.C protection SPF 130 PA, cathy warna pink adalah barang-barang kosmetika yang tergolong kosmetika Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Berdasarkan Putusan Nomor 986/Pid.B/2014PN.Tjk barang-barang kosmetika tersebut diproduksi diluar negeri yakni buatan negara Cina dan sebagian dari Korea Selatan yang diimpor ke Indonesia tanpa Izin bea cukai Indonesia, terbukti pada saat diperlihatkan dipersidangan dari kemasan barang kosmetik tersebut tidak tercantum Izin Lembaga Kesehatan Republik Indonesia dan kode izin BPOM berdasarkan Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Pasal 18 Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia.

Berdasarkan keterangan saksi Ahli dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) pada saat memberikan keterangan dihadapan Majelis Hakim yang menerangkan bahwa barang-barang kosmetik yang dijadikan barang bukti oleh Jaksa Penuntut Umum adalah barang ilegal yang tidak ada Izin edar dan Izin masuk barang (impor) dari Indonesia. Upaya yang dilakukan pihak Kepolisian Polda Lampung khususnya Subdit I Tindak Pidana Tertentu dalam menindak oknum-oknum yang mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar telah berkoordinasi dengan BPOM Provinsi


(6)

Lampung koordinasi tersebut tentunya tidak menyimpang dari standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan oleh Polda Lampung.

Fungsi dan peranan Subdit I Tindak Pidana Tertentu Polda Lampung berdasarkan Pasal 146 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah Subdit bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Ekonomi (perdagangan, ekspor-impor, Haki) yang terjadi di wilayah hukum Polda yakni Polda Lampung, menganalisa dan mengkaji perkembangan tindak pidana dibidang perdagangan khususnya menghadapi pasar bebas dan kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan dalam melaksanakan tugasnya tersebut,1 berdasarkan kasus yang terjadi di Bandar Lampung pada Toko Paris Boutiqe Jalan Jendral Sudirman No. 89 Kelurahan Enggal, Kecamatan Tanjungkarang Pusat bahwa toko tersebut telah menjual alat kosmetik yang tidak disertai dengan kode izin edar dari BPOM.

Kebijakan hukum Pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi secara mikro maupun ekonomi makro yang tidak dilaksanakan dengan baik akan berdampak negatif kepada pelaku usaha maupun masyarakat itu sendiri terlebih pada diri Terdakwa. Terdakwa sebagai masyarakat awam yang tidak paham dengan peraturan dan ketentuan menjual sediaan farmasi berupa kosmetika di Tokonya, motivasi Terdakwa bukan semata-mata bertujuan untuk memperolah untung akan tetapi hanya sekedar mengisi etalase toko pakaian miliknya karena Terdakwa mengetahui bawah barang-barang kosmetik tersebut banyak dijual di Mangga Dua

1

http://www.reskrimsusjatim.com/profile diakses pada tanggal 05 September 2014, pukul 14.00 wib.


(7)

Jakarta, di Mall Chandra Tanjung Karang dan di Pasar Locking Tanjung Karang

sehingga Terdakwa juga tertarik menjualnya ditokonya.2 Kebebasan

memperdagangkan sediaan farmasi dan kosmetik tanpa Izin edar tidak dapat ditindak secara hukum baik oleh Kepolisian dan lembaga pemerintah yang berwenang seperti BPOM terbukti sampai dengan sekarang barang-barang sediaan farmasi dan kosmetik ilegal masih marak diperjual-belikan oleh pedagang-pedagang baik dalam jumlah yang besar atau pada skala pedagang-pedagang kecil-kecilan dalam bentuk eceran meskipun Terdakwa telah diputus dan dinyatakan bersalah karena mengedarkan sediaan farmasi tanpa Izin edar namun tidak membuat efek jera terhadap pedagang lainnya.

Banyak faktor yang dihadapi oleh pihak Kepolisian dan BPOM yang menjadi penghambat dalam memberantas sediaan farmasi dan kosmetik tanpa izin edar yang menyebabkan sulitnya dilakukan penegakan hukum terhadap masyarakat yang masih menjual dengan bebas sediaan farmasi dan kosmetik tanpa izin edar dan tidak sedikit pula pedagang yang telah diproses secara hukum karena mengedarkan sediaan farmasi dan kosmetik tanpa izin edar namun tidak mengurangi peredaran sediaan farmasi dan kosmetik yang tidak dilengkapi izin edar masih terus menerus diperdagangkan oleh masyarakat.

Pembatasan ekspor dan impor barang yang seharusnya diperketat untuk mencegah masuknya barang-barang sediaan farmasi dan kosmetik karena hal tersebut sangat membantu aparat Kepolisian dan BPOM dalam menindak dan menertibkan perdagangan sediaan farmasi dan kosmetik yang tidak dilengkapi izin edar.

2


(8)

Kebijakan selanjutnya yang diprioritaskan oleh pemerintah adalah mengeluarkan peraturan dan melaksanakannya dilapangan dengan baik sehingga berdampak positif dalam mengurangi peredaran sediaan farmasi tanpa izin edar dipasar dan pusat perbelanjaan lainnya karena penegakan hukum akan sia-sia apabila kegiatan impor barang khususnya barang sediaan farmasi dan kosmetik tidak diawasi dan dibatasi oleh pemerintah dengan baik dalam hal ini koodinasi Kepolisian dan BPOM masing-masing wilayah.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan

meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul “Penegakan Hukum Terdahap Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Izin Edar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan” (Studi Pada Polda Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang di atas maka permasalahan yang dikaji dalam hal ini adalah:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan?

b. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana

terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan?


(9)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi substansi penelitian mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di wilayah hukum Polda Lampung, yang merupakan ruang lingkup kajian hukum pidana. Objek penelitian ini adalah penegakan hukum pidana melalui putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 989/Pid.B/2014/PN.Tjk. Tahun penelitian dimulai pada tahun 2015. Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap seorang pelaku tindak

pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di wilayah hukum Polda Lampung.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana

terhadap seorang pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di wilayah hukum Polda Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah:


(10)

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperluas cakrawala serta dapat menjadi bahan referensi dan dapat memberikan masukan-masukan disamping undang-undang dan peraturan perundang-undang-undang-undangan terkait bagi penegak hukum, lembaga pemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan serta masyarakat umumnya atas “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Izin Edar di wilayah hukum Polda Lampung.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan bagi penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait dalam menangani permasalahan terhadap Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Izin Edar, selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori dan tambahan kepustakaan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti3.

3


(11)

Sebelum membahas mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, penulis mengutip penegakan hukum yang dikemukakan oleh para pakar hukum.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya.4

Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap, yaitu:

1. Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum pidana in abstaco oleh badan pembentuk undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislasi.

2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan pidana yang dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh

4


(12)

nilai-nilai keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan oleh pengadilan.5

Menurut Prof. Sudarto kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat;

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan Peraturan-Peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan biasa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.6

Kasus yang penulis angkat sebenarnya adalah tindak pidana khusus yang telah diatur secara jelas dalam Pasal 197 jo Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tentang Kesehatan namun penerapan undang-undang sendiri belum sepenuhnya diketahui masyarakat sehingga apabila ada oknum yang terjerat karena melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa Izin edar baru timbul kesadaran bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana.

Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan:

5

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 45.

6


(13)

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”

Pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan:

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Rumusan delik pada tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa Izin edar merupakan tindak pidana yang bersifat khusus yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Andi Hamzah tujuan hukum pidana ialah menemukan kebenaran materiil. Selain pengetahuan tentang hukum pidana dan hukum acara pidana, perlu pula penegakan hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan penasehat hukum mempunyai bekal pengetahuan lain yang dapat membantu dalam menemukan kebenaran materiil.

Masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada 5 (lima) faktor, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.


(14)

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.7

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.

Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantara nya adalah:

a. Penegakan hukum pidana adalah proses dilaksanakannya upaya untuk

menegakkan atau memfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.8

b. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.9

7

Soerjono Sukanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 3.

8

http://statushukum.com/penegakan-hukum.html diakses pada tanggal 05 september 2014, pukul 14.00 wib.

9

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html#_ diakses pada tanggal 05 september 2014, pukul 14.00 wib.


(15)

c. Mengedarkan adalah membawa (menyampaikan) barang dan sebagainya dari orang yang satu kepada yang lain.10

d. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Di atur dalam Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data, pengolahan data dan analisis data.

10


(16)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas yaitu mengenai Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar ”

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana

1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan yang tugasnya menyelesaikan konflik atau perkara hukum. Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian pada orang lain. Penegakan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penegak hukum oleh undang-undang ini adalah sebagai berikut:

1. Polri/Penyidik ialah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.

3. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini


(18)

4. Hakim yaitu pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili.

5. Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Secara arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk mengenai

kesejahteraan aparatnya.

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan.


(19)

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Ditinjau dari sudut subyeknya: Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.11

11


(20)

2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum

Menegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikan telapak tangan, karena banyak sekali faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum di Indonesia. Berikut ini menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum sebagai berikut:

1. Faktor Undang-Undang

Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum, peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.

a. Secara Yuridis:

Setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, undang-undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Secara Sosiologis:

Bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/ diberlakukan menurut

Anerkennungstheorie”, “The recognition Theory”). Teori ini bertolak

belakang dengan “Machttheorie”, Power Theory”) yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila


(21)

dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga masyarkat.

c. Secara Filosofis:

Apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum

(rechtsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi. Dalam negara Indonesia,

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2. Faktor Penegak Hukum

Secara sosiologi setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan karena:

a. Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian lengkap, sehingga

dapat mengatur perilaku manusia.

b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan dengan

perkembangan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.

c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan.

d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus.12

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang

12

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.


(22)

cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya, untuk membuktikan apakah suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di daerah tidak dapat mengetahui secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk memeriksanya, sehingga terpaksa dikirim ke Jakarta. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai, penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak bisa berjalan dengan sempurna.

4. Faktor Masyarakat

Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegak hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan itu selalu berubah, oleh karena itu hukum pun selalu berubah. Maka diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yakni:

a. Pengetahuan hukum

b. Pemahaman hukum

c. Sikap terhadap norma-norma

d. Perilaku hukum

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak


(23)

mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku, disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif.13

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Ijin Edar.

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstractio dalam pengertian pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dalam masyarakat secara konkret. Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:

a. Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004, hlm. 15.


(24)

untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut pakar positif adalah suatu kejadian/ feit yang oleh peraturan perundang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat

dihukum. (Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata

Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun

1981 (Liberty: Jakarta, 1986) hal.86 14

b. Simons

Tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”.

c. Voc

Tindak pidana adalah “suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh

peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya

dilarang dengan ancaman pidana”.

d. Van Hammell

Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan”.

14

Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun 1981 (Liberty: Jakarta, 1986) hal.86


(25)

e. Moeljatno

Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “ perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

f. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”. Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana.

2. Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka mengedarkan sediaan farmasi sebelum diberi izin edar merupakan suatau tindak pidana. Adapun pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia adalah:

a. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495)

Pengertian sediaan farmasi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 ayat (9) yaitu sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengamanan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 43. Adapun bunyi dari Pasal-Pasal tersebut adalah:


(26)

Pasal 39

“Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk

melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan

atau keamanan dan atau kemanfaatan”.

Pasal 40

ayat (1) “Sediaan farmasi berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakof Indonesia atau buku standar lainya”

ayat (2) “Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang

ditentukan”

Pasal 41

ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 42

Pekerjan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.

Pasal 43

“Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan dengan peraturan pemerintah”

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 81 ayat (2), rumusan yang terdapat dalam Pasal ini adalah Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah).15

15


(27)

b. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Pengertian sediaan farmasi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.16 Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 108. Adapun bunyi dari Pasal-Pasal tersebut adalah

Pasal 98

ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau”

ayat (2) “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan

dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”

ayat (3) “Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,

promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah”

ayat (4) “Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,

dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran

sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”

Pasal 99

ayat (1) “Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga

kelestariannya”

ayat (2) “Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,

memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan

menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya”

ayat (3) “Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi”

16


(28)

Pasal 100

ayat (1) “Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman

digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya”

ayat (2) “Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku

obat tradisional”

Pasal 101

“ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah,

memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan

menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya”

ayat (2) “Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan,

mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Pasal 102

ayat (1) “Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan”

ayat (2) “Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Pasal 103

ayat (1) “Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan

menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu”

ayat (2) “Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”

Pasal 104

ayat (1) “Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan”

ayat (2) “Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional” Pasal 105

ayat (1) “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus

memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya”

ayat (2) “Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan”


(29)

Pasal 106

ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapat izin edar”

ayat (2) “Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan”

ayat (3) “Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan

penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Pasal 107

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Pasal 108

“Ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

ayat (2) “Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 197, rumusan yang terdapat dalam Pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


(30)

II. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.17

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

Sedangkan pendekatan yuridis empiris yatu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan yaitu mengenai analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap

17


(31)

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Dilengkapi Ijin Edar, dalam Unit Tindak Pidana Tertentu Polda Lampung.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti.

B. Sumber dan Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.18

Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini adalah:

1. Data Primer

Menurut Soerjono Soekanto, data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden.19 Sedangkan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapat/diperoleh penulis berdasarkan pengamatan pada putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 986/Pid.B/2014/PN.Tjk. Data primer ini diambil berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang menangani dan memutus perkara tersebut, dosen pada bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.Cit., hlm. 15.

19


(32)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM).

3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat

menjelaskan bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, yaitu meliputi kamus ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Wikipedia yang berkaitan dengan penelitian.


(33)

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi.20

Narasumber dalam penulisan ini sebanyak 3 (tiga) orang yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang

2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

3. Penyidik Unit Tindak Pidana Tertentu Polda Lampung : 1 Orang

4. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang

Jumlah : 4 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

20


(34)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan narasumber. Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Metode wawancara yang digunakan adalah standartisasi interview dimana hal-hal yang akan dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Polda Lampung, Kampus Universitas Lampung dan Tempat Usaha Penjualan Kosemetik di Wilayah Bandar Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut

bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan

permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.


(35)

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(36)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa dilengkapi izin edar di wilayah hukum polda Lampung dalam perkara ini sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan/diimplementasikan dalam proses peradilan pidana, yaitu dengan melakukan penyidikan yang selanjutnya diserahkan/dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung untuk dilakukan proses penuntutan yang akan dilakukan oleh badan/lembaga penuntut umum dengan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri agar perkara diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

2. Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di Lampung disebabkan oleh beberapa faktor, faktor utama yang menghambat penegakan hukumnya ialah karena kurangnya kordinasi antar penegak hukum dalam memberantas barang sediaan farmasi yang tidak memliki izin tersebut, hal ini


(37)

juga terjadi karena masih banyak penegak hukum yang main mata dengan tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan penuntutan maupun di peradilan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum sebaiknya lebih meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait atau stake holder, dalam memberantas barang sediaan farmasi yang tidak memliki izin edar. Dengan cara pihak yang berkewajiban memberi laporan kepada pihak kepolisian, sebelum barang farmasi yang tidak memiliki izin tersebut sampai ketangan penjual. Hal ini juga mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh masyarakat, khususnya di daerah pedesaan mengingat kurangnya informasi dan banyak warga pedesaan yang berpendidikan rendah.

2. Kesadaran peranan aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membuat kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terdahap mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, karena tindak pidana tersebut sulit dibuktikan dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan laporan dari masyarakat.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agung Dewantara, Nanda. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani

Suatu Perkara Pidana. Aksara Persada. Jakarta. Indonesia.

Atmasasmita, Romli. 2001. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidik dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Muladi, dan Barda Nawawi Arif. 1998. Teori-Teori dan Kebijaksanaan Pidana. Alumni. Bandung.

Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. Indonesia. Nawawi Arief, Barda. 2011. Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group,

Jakarta.

---. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2011, Kriminalitas Dalam Hukum Pidana, Nusa Media,

Bandung.

Poernomo, Bambang. 1986. Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara

Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun 1981. Liberty. Jakarta.


(39)

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

---, 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa. Jakarta,

Undang – Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang – Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah Subdit

Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Pasal 18 Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia

Internet

http://kbbi.web.id

https://dansite.wordpress.com http://statushukum.com


(1)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan narasumber. Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Metode wawancara yang digunakan adalah standartisasi interview dimana hal-hal yang akan dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Polda Lampung, Kampus Universitas Lampung dan Tempat Usaha Penjualan Kosemetik di Wilayah Bandar Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.


(2)

32

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di wilayah hukum polda Lampung dalam perkara ini sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan/diimplementasikan dalam proses peradilan pidana, yaitu dengan melakukan penyidikan yang selanjutnya diserahkan/dilimpahkan kepada pihak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung untuk dilakukan proses penuntutan yang akan dilakukan oleh badan/lembaga penuntut umum dengan melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri agar perkara diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

2. Faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar di Lampung disebabkan oleh beberapa faktor, faktor utama yang menghambat penegakan hukumnya ialah karena kurangnya kordinasi antar penegak hukum dalam memberantas barang sediaan farmasi yang tidak memliki izin tersebut, hal ini


(4)

63

juga terjadi karena masih banyak penegak hukum yang main mata dengan tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan penuntutan maupun di peradilan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum sebaiknya lebih meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait atau stake holder, dalam memberantas barang sediaan farmasi yang tidak memliki izin edar. Dengan cara pihak yang berkewajiban memberi laporan kepada pihak kepolisian, sebelum barang farmasi yang tidak memiliki izin tersebut sampai ketangan penjual. Hal ini juga mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh masyarakat, khususnya di daerah pedesaan mengingat kurangnya informasi dan banyak warga pedesaan yang berpendidikan rendah.

2. Kesadaran peranan aktif masyarakat harus ditingkatkan dalam membuat kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terdahap mengedarkan sediaan farmasi tanpa dilengkapi izin edar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, karena tindak pidana tersebut sulit dibuktikan dan sering lolos dari pengawasan, oleh karena itu diperlukan laporan dari masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Agung Dewantara, Nanda. 1987. Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Aksara Persada. Jakarta. Indonesia.

Atmasasmita, Romli. 2001. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidik dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Muladi, dan Barda Nawawi Arif. 1998. Teori-Teori dan Kebijaksanaan Pidana. Alumni. Bandung.

Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. Indonesia. Nawawi Arief, Barda. 2011. Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group,

Jakarta.

---. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2011, Kriminalitas Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung.

Poernomo, Bambang. 1986. Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun 1981. Liberty. Jakarta.


(6)

Shant, Dellyana. 1988. Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta.

Shafrudin. 1998. Politik Hukum Pidana.Universitas Lampung, Bandar Lampung. Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

---, 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa. Jakarta,

Undang – Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang – Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah Subdit

Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Pasal 18 Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia

Internet

http://kbbi.web.id

https://dansite.wordpress.com http://statushukum.com


Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902/PID B/2004/PN Medan)

8 97 79

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEREDARAN SEDIAAN FARMASI OBAT TANPA IZIN EDAR BERDASARKAN UNDANG- Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Peredaran Sediaan Farmasi Obat Tanpa Izin Edar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Kasu

0 6 16

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PEREDARAN SEDIAAN FARMASI OBAT TANPA IZIN EDAR BERDASARKAN UNDANG- Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Peredaran Sediaan Farmasi Obat Tanpa Izin Edar Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Kasu

1 4 12

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM PIDANA KASUS KOSMETIK BERBAHAYA DAN TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN UNDANG-UNDANG NOM.

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 8

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 3 26

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 29

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 0 3

TINDAK PIDANA PENGEDARAN DAN PENYALAHGUNAAN OBAT FARMASI TANPA IZIN EDAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Andin Rusmini

1 1 22