Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902/PID B/2004/PN Medan)

(1)

TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN (STUDI PUTUSAN NO.1902 / PID B / 2004 / PN MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Leo Bastanta Barus Nim : 040200136

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN(STUDI PUTUSAN NO.1902 / PID B / 2004 / PN MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Leo Bastanta Barus Nim : 040200136

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair SH Mhum Nip : 196107021989031001

Pembimbing I Pembimbing II

Syafruddin SH. MH DFM Liza Erwina SH. Mhum Nip : 196305111989031001 Nip : 196110241989032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang terus memberkati dan memberikan anugrah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi in dengan baik

Penulisan skripsi adalah syarat bagi seluruh mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara Medan. Sehubungan dengan syarat tersebut maka penulis telah memilih judul yang menjadi pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini yamg berjudul :

TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN (STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 / PN MEDAN)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tentunya mempunyai kekurangan dan kelemahan. Hal ini disebabkan keterbatasan ilmu pengetahuan dan literatur yang dimiliki penulis. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif bagi diri penulis demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.


(4)

ABSTRAKSI

Tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah judul skripsi yang merupakan tugas akhir penulis sebagai syarat untuk mencapai sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Maraknya beredar obat tanpa izin edar dalam masyarakat sangat memperihatinkan kita sebagai anggota masyarakat. Hal ini menunjukan tingkat kesadaran masyarakat akan hukum masih sangat rendah sehingga cendrung melakukan tindak pidana termasuk mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Penelitian ini dilakukan penulis untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, hal-hal yang dilakukan dalam upaya penangulanganya

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Dengan memilih lokasi penelitian diwilayah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan menganalisis kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan (STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 / PN MEDAN) sebagai bahan penulisan skripsi ini ditambah dengan data-data skunder melalui pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan berfungsi sebagai mengoptimalisasi hukum pidana sebagai sarana dalam upaya pencegah kejahatan. Penerapan Undang-Undang ini diharapkan dapat menjerat para pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Serta upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan tindak pidana ini dilakukan dengan kebijakan penal dan non penal.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….……... i

ABSTRAKSI……….. ii

DAFTARA ISI………... iii

BAB I Pendahuluan A.Latar belakang………... 1

B.Perumusan masalah……… 7

C.Tujuan dan manfaat penulisan……… 7

D.Keasliaan penulisan………... 8

E.Tinjauan pustaka………. 9

1. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan………... 9

2. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan………... 11

3. Pengertian tindak pidana……… 13

4. Pengertian sediaan farmasi………. 18

5. Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan……….. 26

F. Metode penulisan……… 27

G.Sistematika penulisan………. 29

BAB II Pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia A.Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan……… 31

B.Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan……… 33


(6)

C.Berdasarkan Undang-Undang no.5 Tahun 1997 tentang Psikoptopika dan Undang-Undang N0. 36 Tahun 2009 tentang Narkotika……… 37 D.Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan………... 43 BAB III Analisis Kasus Putusan No. 1902 / Pid B / 2004 / PN Medan

A.Kasus Posisi……… 46

B.Analisis Kasus……… 48

1. Unsur-unsur Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar………. 48 2. Pertanggung Jawaban Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa

Izin Edar………. 54 BAB IV Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi

tanpa izin edar

A. Kebijakan penal………... 56 B. Kebijakan non-penal………... 62 BAB V Penutup

A. Kesimpulan………. 65 B. Saran……….. 68


(7)

ABSTRAKSI

Tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah judul skripsi yang merupakan tugas akhir penulis sebagai syarat untuk mencapai sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Maraknya beredar obat tanpa izin edar dalam masyarakat sangat memperihatinkan kita sebagai anggota masyarakat. Hal ini menunjukan tingkat kesadaran masyarakat akan hukum masih sangat rendah sehingga cendrung melakukan tindak pidana termasuk mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Penelitian ini dilakukan penulis untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, hal-hal yang dilakukan dalam upaya penangulanganya

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Dengan memilih lokasi penelitian diwilayah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan menganalisis kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan (STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 / PN MEDAN) sebagai bahan penulisan skripsi ini ditambah dengan data-data skunder melalui pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan berfungsi sebagai mengoptimalisasi hukum pidana sebagai sarana dalam upaya pencegah kejahatan. Penerapan Undang-Undang ini diharapkan dapat menjerat para pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Serta upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan tindak pidana ini dilakukan dengan kebijakan penal dan non penal.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan penentu bagi suatu peradaban yang modren.

Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan diringi dengan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang ekonomi dan sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang sedang berkembang, jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak ragamnya.

Semakin tinggi pradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh pada akses yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang berkembang tersebut. Yang menimbulkan gangguan ketenteraman, ketenangan dan sering kali menimbulkan kerugian materil maupun immateril bagi masyarakat.

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpangan yang hidup dalam masyarakat. Yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu perkembangan hukum khususnya hukum pidana perlu ditingkatkan dan


(9)

diupayakan secara terpadu. Kodifikasi, unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak pidana.

Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang mengalami perkembangan paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana dibidang ilmu kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain : malpraktek, pemalsuan obat, mengedarkan obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia.

Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara maju maupun sedang berkembang. karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak asasi manusia. Negara memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan layanan kesehatan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan kepentingan perlindungan kesehatan.

Secara awam kesehatan dapat diartikan ketiadaan penyakit. Menurut WHO kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis1

Hukum kedokteran dan hukum kesehatan mulai di perkenalkan di Indonesia dengan terbentuknya kelompok study untuk Hukum Kedokteran di . Dapat disimpulkan kesehatan itu sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat. Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang langsung masyarakat baik secara materil maupun immateril. Sehingga masyarakat tidak dapat melangsungkan kehidupanya dengan baik.

1

Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,Bandung, 2007 hal 13


(10)

Universitas Indonesia pada tanggal 1 November 1982 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo oleh beberapa dokter dan sarjana hukum2

Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan bahan sintetis yang cocok dan menyenagkan untuk didistribusikan dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan suatu penyakit

. Hukum kesehatan ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan, namun dalam perkembanganya hukum kesehatan ini masih kurang mendapat perhatian oleh para sarjana hukum di indonesia. Ini dapat dilihat dari masih jarangnya ditemukan buku-buku yang membahas tentang hukum kesehatan.

3

2

Amri Amir, Bunga Ranpai Hukum Kesehatan, Jakarta 1997 hal 2 3

Moh. Anief, Farmasetika, Yogyakarta 1993 hal 11

. Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin dalam makanan, ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat pengawet berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET). Adapun zat berbahaya yang terkandung dalam minuman isitonik tersebut adalah natrium benzoat dan kalium sorbet yang dapat menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Sytemic Lupus Erythematosus, yaitu penyakit yang mematikan yang dapat menyerang seluruh tubuh dan sistem internal manusia itu sendiri. Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan seterusnya.


(11)

Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat. Oleh karena itu pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Terkait dengan sediaan farmasi yang akan dibahas oleh penulis, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan perlindungan kepada konsumen

Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembaga-lembaga pemerintah nondepartemen. LPND adalah lembaga-lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu dari presiden serta bertanggung jawab langsung pada presiden. BPOM merupakan salah satu LPND


(12)

yang mempunyai tugas yang terkait dengan pengawasan obat dan makanan.4

4

www.tesishukum.com, Tanggung Jawab Badan Pengawas Makana Dan Obat, terakhir kali di akses 12 februari 2010

Tetapi lembaga yang bertugas mengawasi belum optomal dalam melakukan tugasnya, ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui obat dan makanan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan masih beredar di masyarakat.

Untuk mencapai kesembuhan jasmani dan rohani dari suatu penyakit, tidak bisa lepas dari suatu pengobatan optimal dan benar. Namun apabila obat yang diedarkan oleh pihak yang di tunjuk oleh Undang-Undang berhak mengedarkan obat, mengedarkan obat dengan melakukan penyimpangan sudah tentu obat tersebut tidak dapat digunakan dalam proses penyembuhan . Karena mungkin saja obat tersebut tidak memenuhi standar racikan obat, kadaluarsa dan aturan pakai. Obat seperti ini apabila digunakan dapat menimbulkan penyakit baru bagi penggunanya bahkan dapat menimbulkan kematian.

Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan sakit pada orang lain atau bahkan menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang. Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-undang berhak mengedarkan obat dan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat.

Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, Karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan perundang -undangan yang ada untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks dalam hukum kesehatan ini.


(13)

Oleh sebab itu penulis mencoba mengkaji mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar untuk mengetahui bagaimana sebenarnya tindak pidana ini. Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia, faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan ini serta upaya penanggulanganya.


(14)

B. Perumusan Masalah

Dari uraian diatas adapun permasalahan yang akan dibahas penulis yaitu : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa izin

edar dalam hukum positif indonesia

2. Bagaimana penerapan Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36 tentang Kesehatan terhadap penegakan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar (Studi Putusan No 1902/Pid B/2004/PN Medan)

3. Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini adalah guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, disamping untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah.

Adapun tujuan yang khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan UU No.36 Tahun 12009 Tentang Kesehatan terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar ( Studi Putusan No.1902/Pid B/2004/PN Medan )


(15)

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

a. Secara teoritis

Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum, Khususnya hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana kesehatan di bidang farmasi.

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbanagan pemikiran untuk penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

2. Akademisi dan praktisi hukum untuk memberi masukan dan gambaran mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar khususnya di kota medan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “ Tindak Pidana Mengedar Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902 /PID B/ 2004 / PN Medan) “ .

Penulisan ini dilakukan penulis dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, baik itu melalui literatur yang diperoleh dari buku-buku yang ada di


(16)

perpustakaan maupun media cetak dan elektronik, disamping itu juga diadakan analisis kasus.

Dan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, pada saat penulis menulis skripsi ini belum ada judul yang sama. Walaupun ada yang membicarakan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, namun objek yang dibahas tidak sama. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah di tulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi maka hal itu akan menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan kepustakaan

1. UU NO.23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN

Pelayanan kesehatan adalah hak semua orang. kekurangan dalam pelayanan kesehatan masyarakat bisa disebabkan oleh sistem pelayanan kesehatan yang buruk. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundangan yang menjamin terlaksananya sistem pelayanan kesehatan yang sempurna bagi masyarakat.

Dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastiaan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan, makanan, minuman hasil produksi rumah tangga yang masih dalam, pembinaan pemerintah, pelaksanaan hukum diberlakukan secara bertahap. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau perkembangan yang masih kompleks yang terjadi dimasa akan datang.

Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dimaksud sebagai landasan bagi berbagai peraturan mengenai sistem pelayanan kesehatan bagi


(17)

seluruh masyarakat. Undang-Undang ini mencakup pengaturan berbagai hal pokok tentang kesehatan, antara lain:

1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanankan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial;

2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta didalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan;

3. Tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta mengerakan peran serta masyarakat;

4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;

5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan;

6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.


(18)

2. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya


(19)

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan

Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.

Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.

Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma


(20)

kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.

Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit.

Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3. Pengertian Tindak Pidana

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatianya. Masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban.5 Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dan demikian juga dalam Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.6

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah

yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan

5

Fuat Usfa & Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, , Malang ,2004 ,hal 31 6


(21)

dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan7

Tindak pidana merupakan suatu peristiwa dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah ”perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime) yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Isi dari pengertian tindak pidana tersebut dalam kenyataanya tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana.

.

8

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo9

Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo

, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :

a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ;

b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

10

7

Adawi Chazawi. Op. Cit, hal 69 8

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang ,1990, hal. 40 9

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 91 10

Ibid

, yaitu :

a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.


(22)

b. Definis panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alfa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.

Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.11

Pendapat Moeljanto sebagaimana yang dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi12

Pengertian perbuatan hukum pidana tidaklah diikuti oleh hukum pidana kita. Menurut sistem hukum adat tidaklah diadakan pemisahan antara pelanggaran

, memilih “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar

feit”. Beliau memberikan perumusan atau pembatas sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh menghambat akan tercapainya tata pergaulan masyarakat yangdicita-citakan. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus termasuk dalam unsur formil, yaitu mencocoki rumusan Undang-Undang, dan Unsur materil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtswiradigkeit).

11 Ibid. 12

EY. Kanter & Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya, Storia Grafika, Jakarta 2002, hal 208


(23)

hukum yang memungkinkan reaksi dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat digugat di lapangan hukum perdata. Berdasarkan hal tersebut, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum maka petugas hukum mengambil tindakan konkrit (inilah reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar.13

Satochid Kartanegara14

Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh ternyata diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.

menganjurkan pemakaian istilah “tindak pidana” hal ini karena istilah tindak (tindakan) , mencakup pengertian melakukan atau perbuatan dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat (passive handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat tidak mencakup pengertian mengakibatkan. Istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya tindakan manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk straffbaar adalah sudah tepat.

15

Kata “baar” mempunyai 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara literlijk bisa kita terima. Kata feit biasa digunakan 4 istilah yakni tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk feit memang lebih pas untuk diterjemahkan sebagai perbuatan. Kata perbuatan lebih lazim digunakan dalam perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtreding

13

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara baru, Jakarta, hal. 15

14

Satochid Kartenegara, Hukum Pidana Bag I, Balai lektur Mahasiswa, hal. 74 15


(24)

sebagai lawan dari istilah misdrijven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP.16

Kata “peristiwa”, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari pengertian perbuatan. Hal ini karena peristiwa tidak saja menunjuk kepada perbuatan manusia melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata tetapi juga oleh alam seperti matinya orang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsoryang tidak masuk dalam hukum pidana. Peristiwa baru menjadi penting dalam hukum pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).17

Istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatanya. Tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun perbuatan pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkanya diperlukan /disyaratkan adanya suatu gerakan dari tubuh atau bagian tubuh manusia, misalnya mengambil pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil suatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian” atau merusak pasal 406 KUHP “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hakmembinasakan, merusak, membuat sehinga tidak bisa dipakai lagi atau menghilangkan suatu barang yang sama sekali

16 Ibid. 17


(25)

atau sebagianya kepunyaan orang lain, dihukum penjara delapan bulan atau denda”. Perbuatan pasif adalah suatu perbuatan tanpa melakukan suatu perbuatan fisik apapun oleh karenanya, dengan demikian seorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong pasal 351 KUHP “Barang siapa menyaksikan sendiri ada orang didalam keadaan maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikannyaatau diadakanyadengan tidak atau menguatirkanya, bahwa iya sendiri atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan” atau perbuatan membiarkan pasal 304 KUHP “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena perjanjian, dihukum penjara”. 18

18 Ibid

4. PENGERTIAN SEDIAN FARMASI

Adapun yang dimaksud dengan sediaan farmasi dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang pengamanan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik.

Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk :

1. Pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau


(26)

2. Dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan.

Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya : hormon, vitamin D) atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam tubuh.

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa penggolongan obat yang lain, dimana penggolongan obat itu dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Berdasarkan undang-undang obat digolongkan dalam :

1. Obat Bebas 2. Obat Keras

3. Obat Psikotropika dan Narkoba

Berikut penjabaran masing-masing golongan tsb :

1. OBAT BEBAS

Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter (disebut obat OTC = Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan obat bebas terbatas.

1.1. Obat bebas

Ini merupakan tanda obat yang paling “aman” . Obat bebas, yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya : vitamin/multi vitamin (Livron B Plex, )


(27)

Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo), anti flu (Noza). Pada kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut :

P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya. P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan. P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan19

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang perlu

Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga obat yang dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit semakin serius sebaiknya memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak sekali-kalipun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat – obat yang seharusnya diperoleh dengan mempergunakan resep dokter.

19


(28)

diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak, Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur / selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang Indikasi merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan

Kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat, dan informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan.

2. OBAT KERAS

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain)

Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

3. PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA

Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu.


(29)

Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahakan oleh apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah.

3.1.PSIKOTROPIKA

Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

Menurut Undang-Undang No.5/1997 psikotropika dibedakan dalam 4 golongan sebagai berikut:

• Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: MDMA, ekstasi, LSD, ST

• Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: Amfetamin, fesiklidin, sekobarbital, metakualon,metilfenidat (Ritalin)

• Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta


(30)

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : Fenobarbital, flunitrazepam

• Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: Diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam (BK, DUM, MG).20

Bentuk psiotropika a. Ekstasi

Ekstasi adalah salah satu obat bius yang di buat secara ilegal di sebuah laboratorium dalam bentuk tablet atau kapsul.Ekstasi dapat membuat tubuh si pemakai memiliki energi yang lebih dan juga bisa mengalami dehidrasi yang tinggi. Sehingga akibatnya dapat membuat tubuh kita untuk terus bergerak. b.Amfetamin

Nama aslinya methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu penyedap masakan. Jenisnya antara lain yaitu gold river, coconut dan kristal. Sekarang ada yang berbentuk tablet.Obat ini dapat di temukan dalam bentuk kristal dan obat ini tidak mempunyai warna maupaun bau, maka ia di sebut dengan kata lain yaitu Ice. Obat ini juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap syaraf.

c.Diazepam

Sedatif (obat penenang) dan hipnotikum (obat tidur). Nama jalanan BDZ antara

20


(31)

lain BK, Lexo, MG, Rohip, Dum. Cara pemakaian BDZ dapat diminum, disuntik intravena, dan melalui dubur.21

3.2 NARKOTIKA

Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia.

Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya.

Menurut Undang-Undang No 35 tahun 2009, Narkotika dibagi menjadi 3 golonggan, yaitu :

• Narkotika Golongan I

adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : tanaman papaver somniferum, opium mentah, opium masak, erythroxylon cocae (koka), cannabis satira (ganja), tetra hydro cannabinol

• Narkotika Golongan II

adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

21


(32)

mengakibatkan ketergantungan. Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : alpha-cethyl-metadol, alpha-medprodina, alpha-prodine, phentanyl, pethidine, methadone

• Narkotika Golongan III

adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : asetildihidrokodeina, kodeina, etil morfina.22

Obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang dilindungi, dan bahan kimia obat di dalam obat tradisional. Ini sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 (Permenkes 246/1990) tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional.

BahanObat adalah sesuatu yang dapat dipergunakan atau dipakai untuk tujuan membuat obat. Baik itu bahan kimia, tumbuhan, bahan mineral atau campuran dari bahan tersebut.

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

23

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksud untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital

22

penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 23


(33)

bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, untuk mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik. Kosmetik dibagi 2 (dua) golongan Berdasarkan bahan dan penggunaannya

1. Kosmetik golongan I adalah :

a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi;

b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya; c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan; d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.

2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I

5. Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan

Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Terdakwa dalam kasus ini telah terbukti mengedarkan sediaan farmasi atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan berdasarkan surat perintah Tugas Kepala Balai Besar Pengaawas Obat dan Makanan di Medan No : PO.02.02.82.824.2550. Menemukan sejumlah obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar di dalam toko obat berijin milik terdakwa.


(34)

F. Metode penulisan

1. Pendekatan Masalah

Penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal

Menurut Soerjono Soekamto sebagaimana dikemukakan oleh burhan ashofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa:24

1. Inventaris hukum positif 2. Penemuan azas hukum 3. Penemuan hukum in concreto 4. Perbandingan hukum

5. Sejarah hukum

Soetandyo Wignosoebroto sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Sunggono, membagi penelitian hukum doktrinal sebagai berikut:25

1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif

2. Penelitian yang berupa penemuaan azas-azas dan dasar- dasar falsafah ( dogma atau doktrinal ) hukum positif

3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan study langsung dilapangan atau pada instansi-instansi terkait guna memperoleh data-data yang berkaitan penulisan skripsi.

24

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rieneke Cipta, Jakarta ,1996 ,hal 14 25


(35)

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan, alasan dipilihnya kota Medan dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang penyelesaiannya belum memuaskan, dalam hal ini penelitian lapangan penulis melakukannya di Pengadilan Negeri Medan, untuk mendapat gambaran atau bahan akurat dengan penulisan skripsi ini.

3. Sumber Dan Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

i. Data primer yaitu data yang dilakukan melalui studi lapangan.26

ii. Data skunder, diperoleh melalui studi pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar.

Dilakukan dengan menggali dan memahami secara mendalam persepsi mengenai Tindak Pidana “Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar studi Putusan No.1902/ Pid B/ 2004/ Pengadilan Negeri Medan” sehingga dapat dijadikan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan melalui pembahasan mengenai kasus No.1902/ Pid B/ 2004/ PengadilanNegeri Medan. Jadi lapangan pokok bahasan dalam skripsi ini yaitu : Pengadilan Negeri Medan.

27

26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984 hal 12 27


(36)

4. Metode Dan Analisis Data

Data yang diperoleh melalui pustaka dikumpulkan dan diurutkan lalu di organisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.28

G. Sistematika Penulisan

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu mengorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dari responden dan data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

Sisitematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahanya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematika penulis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhanya dalam beberapa bab berikut ini:

Bab I Pendahuluan:

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

28

Lexy Moelong, Metode penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Cetakan ke-10, Bandung, 1999, halaman 103


(37)

Bab III Studi Kasus Putusan No. 1902 / Pid B / 2004 / PN Medan

Dalam hal ini akan dibahas mengenai penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 / PN MEDAN, apa saja yg menjadi unsur-unsur tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dan pertanggung jawaban pidananya.

Bab IV Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dan Upaya

Dalam bab ini dibahas mengenai upaya penangulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar melalui kenijakan penal dan non penal.

Bab V Penutup

Dalam bab ini akan diambil kesimpulan yang disertai dengan saran dari penulis melalui penelitian yang dilakukan oleh penulis.


(38)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Dalam uraian-uraian yang telah di jelaskan sebelumnya maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka mengedarkan sediaan farmasi sebelum diberi izin edar merupakan suatau tindak pidana. Adapun pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia adalah :

A. Berdasarkan Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495)

Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 1 ayat (9) yaitu sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengamanan sediaan farmasi diatur dalam pasal 39 sampai pasal 43. Adapaun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah :

Pasal 39

Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan.

Pasal 40


(39)

ayat (1) Sediaan farmasi berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakof Indonesia atau buku standar lainya.

ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 41

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

Pekerjan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.

Pasal 43

Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 81 ayat (2), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana


(40)

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah.29

29

Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

B. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi diatur dalam pasal 98 sampai pasal 108. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah :

Pasal 98

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


(41)

Pasal 99

ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.

ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi. Pasal 100

ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.

Pasal 101

ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.


(42)

ayat (1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.

ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.

ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 104

ayat (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.

ayat (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Pasal 105

ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.


(43)

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 108

ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 197, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


(44)

sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar limaratus juta rupiah )

C. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671) Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)

Sebenarnya dalam kedua Undang-Undang diatas tidak ada pasal-pasal

yang secara langsung mengatur tentang mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar, namun terdapat beberapa pasal yang sangat berkaitan erat dengan mengedarkan sediaan farmasi.

1. Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

Pengaturan mengenai peredaran psiotropika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 8 sampai pasal 13. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut yaitu:

Pasal 8

Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan Pasal 9

ayat (1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan


(45)

ayat (2) Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat

Pasal 10

Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika

Pasal 11

Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri Pasal 12

ayat (1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah

ayat (2) penyaluran psiotropika sebagaimana diatur dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh :

a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan.

b. Pedagang basar farmasi kepada pedang besar farmasi lainnya, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah.

ayat (3) Psiotropika gokongan satu hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau pendidikan guna psiotropika.


(46)

Pasal 13

Psiotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatura dalam pasal 60 ayat (1) huruf (c), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau mengedarkan psikotropoka berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 30

30

Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pengaturan mengenai peredaran narkotika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 35 sampai pasal 38. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut Pasal 35

Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 36

ayat (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.


(47)

ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

ayat (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.

ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 37

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Pasal 39

(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.

Pasal 40


(48)

Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu; b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan d. rumah sakit.

ayat (2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya; b. apotek;

c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; d. rumah sakit; dan

e. lembaga ilmu pengetahuan;

ayat (3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:

a. rumah sakit pemerintah;

b. pusat kesehatan masyarakat; dan c. balai pengobatan pemerintah tertentu. Pasal 41

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.


(49)

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur menurut golongannya. Ketentuan mengenai tindak pidanan mengedarkan narkotika golongan I diataur dalam pasal 113 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan II diatur dalam pasal 118 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)

Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan III diatur dalam pasal 123 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 31

31


(50)

D. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781)

Peraturan pemerintah tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ini dibuat atas perintah UU kesehatan untuk mengatur hal teknis dan oprasional dari UU tersebut. Pengaturan mengenai peredaran sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam pasal 6 sampai pasal 8. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut

Pasal 6

Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan

Pasal 7

peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 8

ayat (1) Setiap pengankutan sedian farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan

ayat (2) Setiap pengankutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.


(51)

Pasal 9 sampai pasal 10 Peraturan pemerintah ini mengatura mengenai tata cara mendapatkan izin edar, adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah

Pasal 9

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari menteri kesehatan

ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diperoduksi oleh perorangan Pasal 10

ayat (1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada menteri kesehatan

ayat (2) Permohonan secara tertulis sebagaiman dalam ayat (1) disertai dengan keterangan dan atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan

ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh menteri kesehatan Pasal 11

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatura dalam pasal Pasal 75 huruf (b) rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau mengedarkan Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanp izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana


(52)

denganpidan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah32

32

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan


(53)

BAB III

ANALISA KASUS PUTUSAN NO.1920 / PID B / 2004 / PN MEDAN

A. Kasus Posisi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat kasus tentang mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan. Pada kasus dengan No Putusan 1902/ Pid B/ 2004/ PN Medan, dengan terdakwa Nerawati.

Bahwa terdakwa Nerawati pada hari Kamis tanggal 2 Oktober 2003, sekitar pukul 14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003, di toko obat Dwi jaya jalan Mayor No.7-f Pajak Palapa Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, telah mengedarkan sedian farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa selaku pemilik toko obat Dwi Jaya, telah membuka toko tersebut sejak tahun 2000 untuk menjual obat-obatan pada pelanggan, dan tiba-tiba datang petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan yaitu Sahat T.Marpaung, Drs.Ramses Doloksaribu dan Dahlinar Astuty untuk melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap toko obat berizin berdasarkan Surat Perintah Tugas Kepala Balai Besar POM di Medan Nomor : PO.02.02.82.824.2550 tanggal 30 September 2003.


(54)

- Kemudian para petugas Balai Besar POM melakukan pemeriksaan obat-obatan yang berada di toko obat Dwi Jaya milik Nerawati, dan hasilnya petugas menemukan sejumlah obat-obatan yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar yaitu : 13 (tiga belas) botol obat batuk, 60 (enam puluh) Tube Fluoclnonide Oitment, 20 (dua puluh) pot salap HL, 10 (sepuluh) kotak Niu Huang dan 16 (enam belas) tube cream Cinolone.

- Selanjutnya petugas Balai Besar POM melakukan penyitaan terhadap obat-obatan tersebut dan terdakwa mengakui bahwa obat-obat-obatan tanpa izin edar tersebut diperoleh dengan membeli dari toko obat Kemenangan dan toko obat Abadi, dan sebagian obat-obatan tersebut telah terjual secara eceran kepada orang-orang yang datang ke toko obat tersebut.

- Berdasarkan keterangan ahli yaitu Dra. Florasari, Apt, menerangkan bahwa obat-obatan yang telah disita dari toko Dwi Jaya milik terdakwa tersebut, adalah benar obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar.

Dengan Dakwaan

Diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c “Barang siapa yang tampa keahlian dan kewenangan dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam pasal41(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana dendapaling banyak Rp. 140.000.000,00 (seratus enpat puluh juta rupiah” Jo Pasal 41 ayat (1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar” Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.


(55)

Dengan Putusan

Menyatakan terdakwa Nerawati telah terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selam 6 (enam) bulan dengan masa hukuman percobaan selama 1 (satu) tahun

B. Analisis Kasus

1. Unsur-unsur Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan farmasi tanpa Izin Edar

Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan.

Pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran, aliran monistis dan aliran dualistis.

a.

1. Simons

Aliran monistis dianut oleh:

Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah sebagaiberikut:33

33


(56)

a. Perbuatan Manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (torekeningsvatbaar persoon); Simon menyebutkan adanya dua unsur strafbaarfeit, yakni

1. Unsur objektif meliputi dari: a. Perbuatan Orang;

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 2. Unsur subjektif adalah:

a. Orang yang mampu bertanggung jawab;

b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

2.Van Hamel

Unsur-unsur tindak pidana menurut Van Hamel adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana.

3. E. Mezger


(57)

a. Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan);

b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif ataupun subektif); c. Dapat dipertangungjawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana. b.

1. Moeljanto

Aliran dualistis diantaranya dianut oleh:

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi rmusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum;

2. H.B. Vos

Unsur-unsur tindak pidana menurut H.B Vos adalah: a. Kelakuan manusia

b. Diancam pidana dalam undang-undang. c. Sifat Melawan hukum dalam tindak pidana

Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum, unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unang-undang, dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandmaszing” tatbestand dalam arti sempit adalah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana, tastbestand dalam arti sempit ialah masing-masing unsur dari rumusan delik, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya


(58)

perbuatan tersebut.34 Sifat melawan hukum hapus apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf35

Sifat melawan hukum dibedakan atas empat bagian, yakni terdiri dari: .

36

Pengertian melawan hukum materil dapat dibedakan menjadi dua yaitu: sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif:

1.Melawan hukum formil

Yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasrkan suatu ketentuan undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangtan dengan undang-undang.

2. Melawan hukum materil

Yaitu suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukm yang tidak tertulis, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis.

37

a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif yaitu Mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat

34

Ibid. hal. 76.

35

Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, halaman 123. 36

D. Schffmeister et al, dalam J.F. Sahetapi (ed), Hukum Pidana, Liberty Edisi Pertama Cetakan Ke-1, Yogyakarta, halaman 39.

37


(59)

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi alasan tersebut sebagai pengahapus sifat melawan hukum.

b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif yaitu menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang, jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

3. Sifat melawan hukum umum

Yaitu diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidannya yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana (perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela).

4. Sifat melawan hukum khusus

Yaitu sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik.

Mengenai unsur-unsur tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan terhadap Nerawati, yang mana unsur-unsur tersebut adalah:

1. Menurut pasal 81 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, adapun rumusan pasal tersebut adalah Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar

Unsur-unsur objektif :


(60)

b. Perbuatan : mengedarkan

c. Objeknya : sediaan farmasi dan atau alat kesehatan d. Keadaan : tanpa izin edar

Unsur subjektif : Dengan sengaja

2. Menurut pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Unsur-unsur objektif :

a. Setiap orang : terdakwa Nerawati

b. Perbuatan : mengedarkan atau memproduksi c. Objeknya : sediaan famasi dan atau alat kesehatan d. Keadaan : tidak memiliki izin edar

unsur subjektif : Dengan sengaja

Dari pengamatan penulis terhadap kedua rumusan unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tidak terdapat perbedaan, yang membedakan adalah lamanya pidana penjara dan besarnya pidana denda.


(1)

para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan.

Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah dengan menerapkan hukuman yg terdapat dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yaitu Pasal 81 ayat (2) huruf c yang menerapkan hukumana penjara maksimal 7 tahun.

Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang t No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama 15 tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapakan.

b. Kebijakan Non Penal.

Kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana tindakan ini lebih bersifat administrasi dan lebih bermoral.

Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pencabutan izin

tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi adalah sebagai berikut:

a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah.


(2)

b. Melalui tindakan administrasi dengan melakukan pencabutan izin apotik atau toko obat.

c. Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan sediaan farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko obat berizin.

d. Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan dan memerintahkan segera menarik peredaran produkserta memusnahkannya e. Pemerintah harus berperan dalam membina industri maupun

importir/distributor secara komprehensif. Mulai dari pembuatan, peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari penggunaan obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan kesehatan.

f. Dengan memberi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat yang menjadi korban tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dari penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengingat masih susahnya membedakan obat tanpa izin edar dengan obat dengan izin edar, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memberikan informasi mengenai obat yang telah ditarik dari pasar.

2. Dalam penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, hendaknya dibuat suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga dalam menangani


(3)

tindak pidana ini para aparat hukum dan para pihak yang terkait dapat menindak dengan tegas karena payung hukum terhadap kejahatan ini sudah jelas berikut dengan seluruh penjelasannya. Dengan cara ini, mudah-mudahan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

3. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini yang berwenang Balai POM supaya lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan mulai dari tingkat daerah sampai dengan pusat. Yang menjadi objek pengawasan adalah pihak-pihak yang terkait, mulai dari produksi sampai peredaran, dengan lebih mengoptimalkan Badan Pengawas yang ada didaerah baik daerah Tkt II (Kab/Kota), daerah Tkt I (Propinsi) maupun tingkat pusat dengan melibatkan seluruh unsur mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga tertentu. Dengan demikian praktek jual beli obat tanpa izin edar tidak begitu mudah didapatkan, dan dapat mengurangi tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

4. Agar pemerintah mencoba untuk menganalisa lagi apa-apa saja faktor yang menjadi penyebab mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga ada suatu kesamaan persepsi tentang faktor penyebab mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin. Dengan demikian akan ditempuh slusi-solusi yang juga sifatnya sama mulai dari tingkat pusat sampai kedaerah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Slamet, Titon Kurnia. 2007. Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia. Bandung.

Amir,Amri.1997. Bunga Ranpai Hukum Kesehatan. Jakarta. Anief, Moh. 1993.Farmasetika. Yogyakarta.

Usfa, Usfa & Tongat.2004 Pengantar Hukum Pidana.Malang : UMM Press, Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Jakarta : Grafindo.

Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana bag III. Jakarta : Grafindo

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia Kanter, EY & Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya. Jakarta :Storia Grafika

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta : Aksara baru

Kartenegara, Satochid. Hukum Pidana Bag I. Balai lektur Mahasiswa Ashofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rieneke Cipta Bambang Sunggono, Bambang. 1998. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pers

Soerjono Soekanto, Soerjono.1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press

Lexy Moelong, Lexy. 1999. Metode penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya


(5)

Samidjo. 1985. Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana. Bandung : Armico

Schffmeister,D et al, dalam J.F. Sahetapi (ed). Hukum Pidana. Liberty Yogyakarta

Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil. Jakarta. Sinar Grafika Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Pradnya Paramita

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidan di Indonesia. Bandung : Refika Aditama

Arief, Barda Nawawi.2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta : Kencana

Undang-Undang

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063)

Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495)

Undang-Undang No. Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062)

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781)


(6)

Sumber Lain

TesisHuku m.com. Tanggung Jawab Pengawas Obat dan

Makanan.www.tesishukum.com. terakhir kali di akses 12 februari 2010

Pharpos.com. Mengenal Penggolongan Obat. www. Phapros.com.terakhir kali di akses 10 februari 2010

Blogspot, Henrydunan.com. Rekaman Medis. www.


Dokumen yang terkait

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Pemalsuan Dokumen Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Studi Putusan No. 2960/PID.B/2008/PN.Medan)

0 34 116

Tinjauan Yuridis Atas Tindak Pidana Paten Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten

4 76 135

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Kajian Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/Pn/Mdn)

0 38 141

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902/PID B/2004/PN Medan)

8 97 79

Tinjaun Yuridis Tentang Aborsi Ditinjau Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

0 46 110

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Izin Keimigrasian Menurut Undang-Undang Ri No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

3 119 119

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/201

0 0 38

Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Abortus Kriminalis Dalam Kaitannya Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

0 0 124