CARA MENGATASI MASALAH PADA SISWA SMP YANG TERINDIKASI Cara Mengatasi Masalah Pada Siswa Smp Yang Terindikasi Emotional Problem.

(1)

CARA MENGATASI MASALAH PADA SISWA SMP YANG TERINDIKASI

EMOTIONAL PROBLEM

HALAMAN DEPAN

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada jurusan

Psikologi Fakultas Psikologi

Oleh:

DEWI SETYANINGRUM F 100 130 023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


(2)

i

HALAMAN PERSETUJUAN

CARA MENGATASI MASALAH PADA SISWA SMP YANG TERINDIKASI

EMOTIONAL PROBLEM

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh :

DEWI SETYANINGRUM F 100 130 023

Telah diperiksa dan disetujui oleh:

Dosen Pembimbing


(3)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

CARA MENGATASI MASALAH PADA SISWA SMP YANG TERINDIKASI

EMOTIONAL PROBLEM

UAN Yang diajukan oleh: DEWI SETYANINGRUM

F 100 130 023

Telah dipertahankan di depan Dewan penguji Pada tanggal 10 April 2017

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat HALAMAN PENGESAHAN

Penguji Utama

Usmi Karyani, S.Psi, M.Si, Psi _______________________

Penguji Pendamping I

Dr. Eny Purwandari, M.Si

Penguji Pendamping II

Setia Asyanti, S.Psi., M.Si, Psi

Surakarta, 10 April 2017 Universitas Muhammadiyah Surakarta

Fakultas Psikologi Dekan

Taufik, M.Si, Ph.D. NIK/NIDN. 799/0629037401


(4)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas, maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 5 April 2017 Penulis,

Dewi Setyaningrum F100130023


(5)

1

CARA MENGATASI MASALAH PADA SISWA SMP YANG

TERINDIKASI EMOTIONAL PROBLEM

ABSTRAK

Emotional problem yang dialami remaja biasanya berkaitan dengan masa peralihannya dari anak-anak menuju dewasa. Proses transisi ini bisa terjadi bila pada masa kanak-kanak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi baru dibawah tekanan sosial. Penelitian awal yang dilakukan pada 227 siswa SMP menunjukan bahwa 15% siswa terindikasi emotional problem dengan level high need. Presentase yang diperoleh memang tidak banyak, namun emotional problem yang tidak segera diantisipasi dapat berkembang menjadi gangguan mental emosional. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif naratif deskriptif, dengan jumlah informan 6 orang yang dipilih secara purposive sampling dengan kriteria siswa SMP yang terindikasi emotional problem dengan level high need. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan screening skala

Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) dan wawancara semi terstruktur untuk

mengumpulkan data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber permasalahan yang dialami oleh informan adalah dari pertemanan, keluarga dan dari dalam diri sendiri. Pihak yang menyebabkan munculnya masalah pada siswa adalah teman, nenek dan guru. Sedangkan pihak yang membantu dalam menyelesaikan masalah adalah teman, guru serta orang tua. Cara mengatasi masalah pada siswa dilakukan secara maladaptif yaitu dengan memilih diam dan membiarkan ketika diejek, beberapa siswa justru bertindak agresif seperti membalas mengejek, memukul dan mendobrak meja. Namun disisi lain siswa juga mengatasi masalahnya secara adaptif yaitu dengan melakukan usaha penyelesaian seperti mencari dukungan sosial dari orang lain serta berusaha sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah.

Kata Kunci: emotional problem, remaja, coping ABSTRACT

Emotional problems that experienced by adolescents is ussualy associated with the with the period of transition from children to adulthood. The process of this transition could happen when in childhood are less prepared to deal with new conditions under social pressure. The early research conduct on 227 junior high school student show that 15% of students indicated the emotional problem in high need level. The result of percentage is not much, but the emotional problem that is not immediately anticipated can develop become mental disorder emotional. This study aims to reveal the dynamics of coping of junior high school students who emotional problems. This study uses qualitative descriptive narrative, with the six informants that are chosen by purposive sampling with criteria that students are indicated emotional problems with high levels of need. In this study the researcher uses screening Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) scale and semi structured interviews to collect the data. The results of this study indicate that the source of problems experienced by the informant is from friendship, family and from within yourself. The party that led to the emergence of problems in students is the teacher, grandmother and friend. While the party that helped in resolving the problem is friends, teachers and parents. How to troubleshoot on the students conducted in maladaptive i.e. by choosing silence and let when ridiculed, some of the students instead


(6)

2

of acting aggressively as reply to taunt, beat and break down the table. But on the other hand students are also addressing the problem in doing business with Adaptive resolution such as seeking social support from others and strive forward and sincere in dealing with the problem

Keyword: emotional problem, adolescents ,coping

1. PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan

mental merupakan keadaan dimana individu mengalami kesejahteraan karena mereka mampu menggunakan kemampuannya, bekerja secara produktif, tidak mengalami stres dan mampu berpartisipasi dalam masyarakat (Kelemen, Harmant, Gavrila, Nache, Pluss, & Stassen, 2016). Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting namun demikian dari data yang ditemukan menunjukkan bahwa kesehatan mental pada remaja semakin memburuk. Berdasarkan data dari National Adolescent Health Information Center (NAHIC) diperoleh bahwa mulai tahun 2004, 1 dari 10 ( 11,6%) remaja usia 12 hingga 17 tahun memiliki permasalahan yang serius pada kesehatan mental dan perilaku. Remaja perempuan lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental daripada remaja laki-laki, dengan presentasi 12,3 % banding 10,9%. Kemudian remaja yang berasal dari ekonomi rendah memiliki kerentanan lebih dari dua kali lipat untuk mengalami gangguan kesehatan mental dari pada remaja yang berasal dari ekonomi lebih tinggi dengan perbandingan 17,9% banding 8,0% ( Knopf, Park, dan Mulye, 2008).

Kesehatan mental merupakan bekal awal seorang remaja dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Kesehatan mental dapat diperoleh melalui pengelolaan emosi yang baik dalam mengatasi stres (Silvers, Gabrieli, McRae, & Gross 2012). Remaja yang kurang mampu mengelola emosinya dengan baik akan rentan terhadap depresi, cemas, stres, dan gangguan psikis lainnya (Larsen, Raffaelli, Richards, Ham, & Jewel, dalam Fitriani & Alsa, 2015). Pengelolaan emosi yang baik pada remaja akan mengurangi munculnya gejala depresi dan akan memiliki kemampuan kognitif yang tinggi (Rusk, Tamir, &


(7)

3

Rothbaum, 2011). Ketidakseimbangan antara perkembangan fisik, psikologik dan sosial dapat mempengaruhi munculnya masalah mental emosional pada remaja (Diananta, Hartanto, & Radityo, 2012)).

Penelitian mengenai masalah mental emosional pernah dilakukan oleh Gita Soraya Diananta pada tahun 2012 dengan judul perbedaan masalah mental dan emosional berdasarkan latar belakang pendidikan agama (Studi Kasus Smp Negeri 21 Semarang Dan Smp Islam Al Azhar 14 Semarang) dengan jumlah responden sebanyak 140 orang, terdiri dari 70 orang responden pada masing – masing sekolah. Di SMP Negeri 21 Semarang didapatkan 11.4 % gejala emosional borderline dan 14.3% abnormal. Di SMP Islam Al Azhar 14 Semarang didapatkan 5.7% gejala emosional borderline dan 10% abnormal. Selain itu berdasarkan data awal yang diperoleh peneliti melalui screening hasil penelitian terhadap 227 siswa yang yang mengisi skala SDQ (Strengths and Difficulties Questionnaire) yaitu skala yang memprediksi struktur lima faktor SDQ (masalah emosi, masalah tingkah laku, inatensi-hiperaktivitas, masalah teman sebaya, dan kemampuan prososial). Presentase yang diperoleh menunjukkan bahwa 15% siswa SMP A di Surakarta terindikasi emotional problem dengan level high need, Presentase yang diperoleh memang tidak banyak namun masalah mental emosional yang tidak diantisipasi bisa berkembang menjadi gangguan mental emosional.

Masalah emosi yang dialami oleh anak dan remaja akan berakibat negatif terhadap perkembangan dan menurunkan produktivitas serta kualitas hidup mereka dimasa mendatang. Masalah emosi membuat remaja mengalami gangguan kognitif, kesulitan dalam belajar, kemampuan mengingat yang buruk bahkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan disekolah (Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza, & Hapsari, 2010). Adanya emotional problem yang dialami remaja memungkinkan remaja untuk mendapatkan labeling negative dari lingkungan disekitarnya (Ediati, 2015). Maka dari itu remaja harus mampu mengatasi emotional problem yang dihadapinya, sehingga remaja dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Strategi coping sangat diperlukan agar siswa dapat mengatasi masalahnya dengan adaptif. Menurut


(8)

4

Lazarus dan Folkman (1984) strategi coping merupakan usaha-usaha khusus baik kognitif maupun perilaku untuk mentoleransi, menguasai atau mengecilkan dampak tuntuntan-tuntutan baik internal maupun eksternal). Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua tipe yaitu: emotion focused coping dan problem-solving focused coping. Emotion focused coping, yaitu perilaku penyelesaian masalah dengan menggunakan aspek emosionaluntuk mengatur respon emosional terhadap stress tanpa mengatasi sumber masalah. Problem focused coping, yaitu perilaku penyelesaian masalah yang berpusat pada masalah, dengan melakukan aktivitas penyelesaian secara langsung, mempelajari cara-cara atau ketrampilan baru.

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Sukmawati, 2014) mekanisme coping dibedakan menjadi 2 macam yaitu (1) Coping adaptif, yang merupakan coping yang mendukung fungsi intgrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Contohnya seperti berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (menganggap kecemasan sebagai signal peringatan dan individu menerima kecemasan sebagai tantangan yang harus diatasi. (2) Coping Maladaptif, yaitu

coping yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan

kecenderungan menguasai lingkungan, contohnya berlebihan atau justru tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan menolak solusi).

Carver, Scheier, dan Weintraub (dalam Marwing, 2011) mengemukakan aspek-aspek problem focused coping menjadi enam yakni (1) perilaku aktif yaitu mengambil langkah-langkah dengan berusaha menghindari penyebab stress dan memperbaiki akibatnya secara langsung. (2) Perencanaan yaitu dengan memikirkan cara langkah dan cara terbaik untuk mengatasi masalah. (3) suppression of competing yanitu memberikan perhatian penuh pada masalah yang dihadapi. (4) Penguasaan diri yaitu dengan tidak terburu-buru dalam memberikan respon. (5) Mencari dukungan sosial secara instrumental seperti nasehat, bantuan atau informasi. (6) Mencari dukungan sosial secara emosional seperti dukungan moral, simpati atau pengertian.


(9)

5

Sedangkan aspek-aspek emotion focused coping menurut Carver et al (dalam Marwing, 2011) yaitu (1) Berpikir positif dan pertumbuhan yaitu memahami secara positif permasalahan yang dihadapi. (2) Penerimaan yaitu dengan menerima keadaan penuh stres atau tekanan. (3) kembali pada agama yaitu inidvidu menyelesaikan masalahnya dengan kembali pada agama. (4) Berfokus pada pengekspresian perasaan yaitu usaha individu untuk menunjukkan perasaanya. (5) Penolakan yaitu menolak keadaan penuh stress (6) Penyimpangan perilaku yaitu kecenderungan untuk menyerah karena penyebab stress dianggap mengganggu. (7) Penyimpangan mental yaitu dengan melakukan kegiatan lain. Dan (8) Penyimpangan dalam penggunaan alkohol, ketika menghadapi stress individu akan memakai obat-obatan atau minuman keras.

Masalah emosi yang dialami remaja semakin tinggi, hal ini menunjukkan pentingnya membahas mengenai tentang cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem.

2. METODE

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan tema kesehatan mental pada siswa. Dalam penelitian ini yang akan dikaji adalah cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan naratif deskriptif. Pendekatan naratif merupakan pendekatan yang mendiskripsikan kehidupan individu, mengumpulkan dan menceritakan kisah kehidupan individu dan menuliskan narasi tentang pengalaman individu. Fokus penelitian yaitu pada pengalaman satu orang atau beberapa orang dengan memahami pengalaman masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka (Creswell, 2015).

Informan penelitian berjumlah 6 orang yang dipilih secara purposive sampling yaitu informan dipilih melalui kriteria yang telah ditentukan


(10)

6

sebelumnya. Kriteria pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMP yang terindikasi emotional problem dalam level yang tinggi (High Need / HN) yang diketahui melalui hasil screening skala SDQ (Strengths and Difficulties Questionnare). SDQ terdiri dari 25 aitem yang dibagi mejadi lima subskala. Keempat subskala termasuk ke dalam kelompok subskala kesulitan, yaitu subskala emotion symptom, subskala conduct problem, subskala hyperactivity-inattention, dan subskala peer problem. Sedangkan subskala yang kelima termasuk dalam kelompok subskala kekuatan, yaitu subskala prosocial. Dalam versi Indonesia SDQ diterjemahkan oleh TjhinWiguna dan Yohana Hestyanti, yang oleh Oktaviana dan Wimbarti (2010) dilakukan uji properti psikometri dan uji kualitas screening. Dengan demikin SDQ merupakan screening yang valid untuk kesehatan mental.

Berdasakan screening hasil penelitian dari 227 siswa SMP dari kelas VII, VIII dan IX diperoleh bahwa 9.7% siswa terindikasi emotional problem dalam level low need, 72.7% siswa terindikasi emotional problem dalam level some need dan 15% siswa terindikasi emotional problem dalam level high need dan 2.6% siswa tidak memenuhi syarat karena data tidak lengkap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terindikasi emotional problem dalam level high need sebesar 15% yaitu sejumlah 34 siswa. Adapun informan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1. Dalam penelitian ini kelas IX tidak dijadikan sebagai informan penelitian dikarenakan harus mempersiapkan Ujian Nasional, sehingga informan penelitian hanya dilakukan kepada siswa kelas VII dan VIII yang terindikasi emotional problem dalam level high need yang masing-masing tingkatan diwakili 3 orang siswa. Cara pemilihan informan dari 26 siswa yang berasal dari kelas VII dan VIII diambil perwakilan pertingkatan kelas 3 orang dengan memilih siswa yang terindikasi emotional problem dengan level high need yaitu dengan skor SDQ antara 6 hingga 10. Peneliti dibantu dengan guru BK memilih informan yang tepat dari 26 siswa yang terindikasi emotional problem menjadi 6 informan sehingga memudahkan peneliti dalam proses mengumpulkan data.


(11)

7 Karakteristik Informan penelitian

No Nama Jenis

kelamin Score SDQ Usia Kelas

1. RBPP Laki-laki 8 12 tahun 8 bulan VII

2. ASN Perempuan 8 13 tahun 9 bulan VII

3. RDS Perempuan 9 16 tahun 9 bulan VIII

4 MRF Laki-laki 9 13 tahun 8 bulan VIII

5 RSAN Laki-laki 10 13 tahun 8 bulan VIII

6 GANH Perempuan 7 12 tahun 9 bulan VII

Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu dengan menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara semiterstruktur merupakan jenis wawancara yang termasuk dalam kategori in-dept interview, yang pelaksanaanya lebih leluasa dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Pedoman yang digunakan bersifat terbuka, yang berarti pedoman tersebut dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi penelitian dan diharapkan data yang terkumpul dapat menjawab pertanyaan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan utama yang disampaikan peneliti meliputi permasalahan yang sering dihadapi informan, pihak yang terlibat dalam memunculkan masalah, dimana permasalahan tersebut muncul, seberapa sering permasalahan itu muncul, penyebab munculnya permasalahan, serta pihak yang membatu menyelesaikan permasalahan tersebut, dampak dari permasalahan (baik untuk diri sendiri, keluarga maupun sekolah), tindakan ketika mengalami permasalahan tersebut, dan tanggapan orang lain ketika informan mengalami permasalahan. Terlepas dari pertanyaan utama, peneliti akan memprobing jawaban dari informan untuk melengakapi seluruh jawaban penelitian.

Untuk mendapatkan keabsahan data yang diperoleh peneliti menggunakan cara credibility dan confirmability. Credibility (kredibilitas) merupakan counterpart kualitatif untuk validitas internal yaitu dengan melakukan pengecekan hasil penelitian dengan orang lain seperti dengan dosen pembimbing atau berdiskusi sesama peneliti. Sementara confirmability (konfirmabilitas) yaitu penulis meminta partisipan untuk memeriksa keakuratan data yang dilaporkan dengan cara melihat rangkuman data dan meminta partisipan (melalui member checking) untuk mengomentari tentang hasil penelitian (Lincoln dan Guba dalam Creswell, 2015) .


(12)

8

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sumber masalah yang sering dialami siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber masalah yang dihadapi seluruh siswa adalah berasal dari pertemanan, baik itu dipalak, saling mengejek maupun bertengkar dengan teman. Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting untuk kehidupan remaja. Jean Peaget dan Harry Stack Sullivan menekankan bahwa melalui hubungan teman sebaya remaja mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan dan perspektif teman sebaya dalam rangka memuluskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan (Desmita, 2010). Sehingga ketika remaja kurang mampu menjalin hubungan baik dengan teman-temanya, maka teman dapat menjadi sumber masalah bagi remaja.

Satu dari keenam informan menyatakan sumber masalah yang dihadapinya adalah keluarga, yaitu dengan nenek karena informan tinggal dengan nenek, hal ini disebabkan oleh orang tua informan yang sudah berpisah. Menurut Astuti (2010) keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil bagi remaja. Terjadinya konflik antara orang tua dan anak, terjadinya pertengkaran antara kedua orang tua hingga perceraian orang tua dapat menjadi sumber masalah bagi remaja. Anak yang dibesarkan dalam keluarga disfungsi memiliki resiko lebih besar untuk memiliki gangguan dalam tumbuh kembang jiwanya. Selain itu satu dari enam informan lainnya juga memiliki sumber masalah lain yaitu dari dalam dirinya sendiri yakni tidak percaya diri. Widyaningtyas & Farid (2014) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa dimana adanya gejala negative phase, keinginan untuk menyendiri, berkurang kemampuan untuk bekerja, kegelisahan, kepekaan perasaan, pertentangan sosial dan rasa kurang percaya diri (lack of selfconfidence). Dari beberapa gejala negative phase di atas yang paling


(13)

9

menonjol dialami masa remaja adalah rasa kurang percaya diri (lack of self confidence).

Tabel 2

Sumber masalah yang sering dialami siswa SMP yang terindikasi emotional problem

No Informan Sumber masalah

Pertemanan Diri sendiri Keluarga

1 RBPP V V

2 ASN V V

3 RDS V

4 MRF V

5 RSAN V

6 GANH V

Jumlah 6 1 1

3.2 Pihak-pihak yang menyebabkan munculnya masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa seluruh informan mengatakan bahwa pihak-pihak menyebabkan dalam munculnya masalah adalah teman-temannya. Menurut Desmita (2010) hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting untuk kehidupan remaja. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya akan memunculkan perasaan kesepian dan permusuhan. Di samping itu, penolakan teman sebaya juga dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan. Beberapa ahli menjelaskan bahwa budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan yang merusak nilai-nilai dan kontrol orang tua. Lebih dari itu teman sebaya dapat memperkenalkan remaja pada alkohol, obat-obatan (narkoba), kenakalan, dan berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai maladaptif.

Salah satu informan yaitu ASN, mengatakan pihak yang menyebabkan munculnya masalah adalah nenek, informan tidak mau ketika diminta membantu nenek karena sudah lelah. hal ini disebabkan oleh orang tua informan yang sudah berpisah. Menurut Astuti (2010) terjadinya konflik


(14)

10

antara orang tua dan anak, terjadinya pertengkaran antara kedua orang tua hingga perceraian orang tua dapat menjadi sumber masalah bagi remaja. Anak yang dibesarkan dalam keluarga disfungsi memiliki memiliki resiko lebih besar untuk memiliki gangguan dalam tumbuh kembang jiwanya. Menurut Desmita (2010) kelekatan (secure attachment) antara remaja dengan orang tua dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya seperti tercemin dalam ciri-ciri: harga diri, kesehatan fisik dan penyesuaian emosional. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku informan yang tidak mau membantu nenek, merupakan dampak dari perpisahan orang tua karena tidak adanya kelekatan (secure attachment) yang harusnya diberikan oleh orang tua.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu informan mengatakan tidak percaya diri ketika diminta maju guru, karena takut salah dan takut ditertawakan teman-temannya. Trinova (2012) menyatakan bahwa pembelajaran yang menyenangkan adalah ketika guru tidak membuat anak takut salah dan takut dihukum, takut ditertawakan teman-teman, takut dianggap sepele oleh guru atau teman. Hal ini berarti informan menganggap bahwa situasi pembelajaran yang dibuat oleh gurunya kurang menyenangkan karena informan merasa takut dengan guru dan takut ditertawakan oleh teman-temannya. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan suatu proses pembelajaran yang didalamnya terdapat hubungan yang kuat antara guru dan siswa.

Tabel 3

Pihak-pihak yang menyebakan munculnya masalah pada siswa SMP yang terindikasi emosional problem

No Informan Pihak-pihak yang menyebakan munculnya masalah

Teman Guru Nenek

1 RBPP V V

2 ASN V V

3 RDS V

4 MRF V

5 RSAN V

6 GANH V


(15)

11

3.3 Pihak-pihak yang membantu menyelesaikan masalah pada siswa SMP yang terindikasi emosional problem

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lima dari enam informan mengatakan pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan masalah siswa adalah teman, informan lebih sering bercerita dengan teman-temannya dibandingkan dengan orang tuanya. Fungsi utama kelompok teman sebaya yaitu menyediakan berbagai informasi diluar dunia keluarga, sumber penting bagi dukungan emosional selama masa remaja yaitu meningkatnya keterlibatan remaja dengan teman sebaya. Remaja mulai lebih mengandalkan teman dibandingkan orangtua untuk mendapatkan kedekatan dan dukungan serta berbagi rahasia (Berndt&Perry; Buhrmester; Hartup & Stevens; Laursen, dalam Papalia, Olds & Fieldman, 2009). Namun disisi lain tiga dari enam informan mengatakan bahwa mereka menceritakan masalahnya dengan orang tua, terutama ibu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Guzmdn et al (dalam Indarjo, 2009) yang mengungkapkan bahwa seorang remaja tidak lagi dikatakan sebagai anak kecil, tetapi belum juga dianggap sebagai orang dewasa. Disatu sisi ia ingin bebas dan mandiri,lepas dari pengaruh orang tua, disisi lain pada dasarnya ia tetap membutuhkan bantuan, dukungan perlindungan orang tuanya. Remaja secara alami akan mencari bantuan untuk mengatasi masalahnya kepada orang-orang terdekatnya seperti teman, orang tua dan keluarga sebagai sumber bantuan utama, dan mencari bantuan kepada guru maupun psikolog sebagai pilihan terakhir (Aulia, 2014), hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yaitu selain dengan teman, dua dari enam informan meminta bantuan kepada guru untuk mengatasi permasalahannya, karena informan merasa usaha yang dilakukannya tidak dapat diterapkan lagi.


(16)

12

Tabel 4 Pihak-pihak membantu menyelesaikan masalah pada siswa SMP yang terindikasi emosional problem

No Informan Pihak-pihak membantu menyelesaikan masalah

Teman Orang tua Guru

1 RBPP V V

2 ASN V

3 RDS V V

4 MRF V V

5 RSAN V

6 GANH V V

Jumlah 5 3 2

3.4 Cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa seluruh informan melakukan usaha penyelesaian seperti dengan meminta maaf ketika bersalah dan mencari dukungan dari orang lain, baik itu dari temannya maupun dari orang tua. Seluruh informan menceritakan permasalahannya dan meminta bantuan kepada teman, orang tua maupun dengan gurunya. Hal tersebut sesuai dengan aspek problem focus coping yaitu mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental (seeking social support for instrumental reasons). Mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental merupakan proses mencari dukungan seperti dengan merncari nasihat, bantuan atau informasi (Carver et al dalam Marwing 2011). Selain itu empat dari enam informan melakukan tindakan meminta maaf ketika memiliki bersalah kepada teman. Tindakan yang dilakukan informan termasuk kedalam aspek problem focus coping yaitu perilaku aktif (active coping). Perilaku aktif merupakan pengambilan langkah-langkah dengan berusaha menghilangkan atau menghindari penyebab stress dan memperbaiki akibatnya secara langsung (Carver et al dalam Marwing 2011).

Cara mengatasi masalah yang dilakukan oleh lima dari enam informan adalah dengan diam dan membiarkan ketika berada dalam tekanan, hal tersebut sesuai dengan aspek-aspek coping dari emotion focused coping yakni penerimaan (acceptance), yaitu individu mengatasi permasalahanya dengan menerima keadaan yang penuh stres atau tekanan (Carver et al dalam


(17)

13

Marwing, 2011). Secara teoritis, memilih diam dan membiarkan lebih mengarah kepada strategi emotion focused coping, karena informan menggunakan emosi dalam menyelesaikan permasalahannya, sehingga informan cenderung untuk mengundurkan diri dan lebih menerima permasalahannya dari pada menyelesaikannya secara positif dan lebih konkret. Selain itu berusaha sabar dan ikhlas juga termasuk kedalam aspek dari emotion focused coping yang yaitu kembali pada agama (turning to religion) yang berarti usaha individu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan kembali ke agama (Carver et al dalam Marwing, 2011). Hal tersebut sesuai yang dilakukan tiga dari enam informan yang memilih bersabar ketika diejek, dan mengikhlaskan ketika dipalak.

Tindakan agresif seperti membalas mengejek, memukul, mendobrak meja termasuk yang dilakukan tiga dari enam informan termasuk dalam aspek coping confrontive coping yaitu upaya untuk mengubah situasi yang menekan. Coping ini menunjukkan derajat kekerasan, sebagai contoh sesorang yang melepaskan masalah dan pengambilan resiko (Lazarus dan Folkman dalam Aziz & Margaretha, 2017).

Tabel 5

Tabel cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Kategori Melakukan usaha penyelesaian Menjadi Putus asa Melaku-kan Agresi Melaku-kan Aktivitas lain Berusaha sabar dan ikhlas Menghindar

RBPP V V V V V

ASN V V

RDS V V V V

MRF V V V

RSAN V V V

GANH V V V

Jumlah 6 5 3 1 3 2

3.5 Dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lima dari enam informan menggunakan problem focused coping secara adaptif seperti mencoba lebih


(18)

14

percaya diri, meminta maaf, membicarakan masalah dengan orang yang bersangkutan, meminta bantuan guru maupun teman. Informan yang dapat mengatasi permasalahannya dengan baik , berarti mereka dapat dikategorikan mampu menggunakan coping yang adaptif. Coping adaptif merupakan coping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Contohnya seperti berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (menganggap kecemasan sebagai signal peringatan dan individu menerima kecemasan sebagai tantangan yang harus diatasi (Stuart dan Sundeen dalam Sukmawati, 2014). Bentuk coping yang adaptif lebih condong ke problem focused coping, karena menurut Lazarus dan Folkman (1984) problem focused coping merupakan perilaku penyelesaian masalah yang berpusat pada masalah, dengan melakukan aktivitas penyelesaian secara langsung, mempelajari cara-cara atau ketrampilan baru. Namun disisi lain emotion focused coping, juga dikembangkan secara adaptif oleh tiga dari enam informan yaitu dengan berusaha sabar dan ikhlas ketika dipalak dan diejek. Hal tersebut dikarenakan emotion focused coping sendiri merupakan proses

coping terhadap permasalahan dengan menggunakan aspek emosional dalam

menerima respon tersebut sebagai bagian dari kehidupan, informan merasa bahwa ketika mereka berusaha sabar dan ikhlas informan akan merasakan ketenangan dari dalam dirinya.

Sedangkan coping maladaptif merupakan coping yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan kecenderungan menguasai lingkungan seperti berlebihan atau justru tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan melakukan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan menolak solusi)( Stuart dan Sundeen dalam Sukmawati, 2014). Siswa cenderung untuk menerima bahkan menyerah dalam menghadapi kondisi yang penuh tekanan. Seluruh informan mengembangkan emotional focused coping secara maladaptif seperti menghindari kondisi penuh tekanan, menjadi putus asa, dan melakukan aktivitas lain. Sementara tiga dari enam informan juga mengembangkan problem focused coping secara maladaptif seperti


(19)

15

agresi dan meminta maaf ketika membutuhkan. Agresi termasuk dalam aspek confrontive coping yang menurut Lazarus dan Folkman (1984) confrontive coping merupakan penyelesaian masalah secara konkret, tetapi yang dilakukan informan adalah bukan menyelesaikan melainkan melakukan kegiatan konkret yang destruktif yaitu membalas memukul, membalas mengejek dan mendobrak meja. Salah satu informan akan meminta maaf ketika membutuhkan teman saja, hal tersebut tidak sesuai dengan aspek perilaku aktif yaitu pengambilan langkah-langkah dengan berusaha menghilangkan atau menghindari penyebab stress dan memperbaiki akibatnya secara langsung (Carver et al dalam Marwing, 2011). Sehingga aspek perilaku aktif yang seharusnya adaptif berubah menjadi maladaptif. Tabel 5 Dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

No

Nama problem focused coping emotion focused coping Adaptif Maladaptif Adaptif Maladaptif

1 RBPP V V V V

2 ASN V V V

3 RDS V V V

4 MRF V V V

5 RSAN V V V

6 GANH V V V

Jumlah 5 5 3 6

4. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa sumber masalah yang dihadapi siswa yang terindikasi emotional problem yaitu adalah masalah pertemanan, keluarga dan dari dalam diri sendiri. Pihak yang menyebabkan munculnya masalah pada siswa adalah teman, nenek dan guru. Sedangkan pihak yang membantu dalam menyelesaikan masalah adalah teman, guru serta orang tua. Cara mengatasi masalah pada siswa dilakukan secara maladaptif yaitu dengan memilih diam dan membiarkan ketika diejek dan dipalak, beberapa siswa justru bertindak agresif seperti membalas mengejek, memukul dan mendobrak meja. Namun disisi lain siswa juga mengatasi masalahnya secara adaptif yaitu dengan melakukan usaha penyelesaian seperti mencari dukungan sosial dari orang lain, meminta maaf, serta berusaha sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah.


(20)

16

Saran yang diberikan kepada siswa yaitu diharapkan siswa mampu menjalankan komunikasi yang baik serta mampu menjalin pertemanan yang lebih matang dan lebih efektif dengan teman sebayanya. Sehingga ketika memiliki masalah siswa dapat menyelesaikan masalahnya dengan lebih adaptif, seperti membicarakan masalah dengan pihak munculnya masalah. Selain itu dengan adanya hubungan yang baik antar teman sebaya akan mengurangi kerentanan siswa untuk mengalami masalah yang bersumber dari pertemanan. Peranan orang tua merupakan hal yang penting untuk anak, diharapkan agar dapat memposisikan diri sebagai sahabat untuk anak, dalam kesehariannya anak tidak hanya membutuhkan orangtua sebagai teladan tetapi juga seorang sahabat. Sebagai sahabat hendaknya orang tua dapat menjadi teman yang menyenangkan untuk anak, membantu menyelesaikan masalah, mengingatkan ketika anak berbuat salah atau hanya sekedar untuk teman menumpahkan keluh kesah bagi anak. Guru merupakan orang tua kedua bagi anak, diharapkan guru dapat membantu siswa dalam mengatasi masalah melalui proses bimbingan dan konseling serta guru lebih mampu untuk memposisikan dirinya menjadi teman bagi siswa, hal ini dilakukan agar siswa merasa nyaman untuk bercerita maupun meminta bantuan kepada guru. Sedangkan untuk sekolah, diharapkan mengadakan pelatihan konseling teman sebaya, hal ini dikarenakan siswa lebih memilih menceritakan masalahnya kepada teman dibandingkan dengan guru maupun orang tua. Konseling teman sebaya dimaksudkan agar siswa dapat menyelesaikan masalahnya secara positif meskipun tidak bercerita dengan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Y. (2016). Hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan strategi coping berfokus masalah pada siswa SMK Negeri 3 Yogyakarta. E-Jurnal Bimbingan dan Konseling, 1 (5), 1-15.

Aulia, F. (2014). Studi deskriptif help seeking behaviour pada remaja yang pernah mengalami parental abuse ditinjau dari tahap perkembangan (masa awal anak-anak - masa remaja) dan identitas gender. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya , 3 (1), 1-15.

Creswell, J. (2015). Riset Pendidikan, Perencanaan , Pelaksananaan dan Evaluasi Riset Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(21)

17

Diananta, G. S., Hartanto, F., & Radityo, A. N. (2012). Perbedaan masalah mental dan emosional berdasarkan latar belakang pendidikan agama studi kasus SMP Negeri 21 Semarang dan SMP Islam Al Azhar 14 Semarang. jurnal media medika muda , 1-17.

Fitriani, Y., & Alsa, A. (2015). Relaksasi autogenik untuk meningkatkan regulasi emosi. Gajah Mada Journal Of Professional Psychology, 1 (3), 149-162. Indarjo, S. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5 (1),

48-57.

Kelemen, G., Harmant, L. F., Gavrila, M. A., Nache, C., Pluss, M., & Stassen, J.-M. (2016). Education for mental health. Journal Plus Education , 14 (1), 44-58.

Knopf, D.a., Park, M, & Mulye, T.i. (2008). The Mental Health of Adolescents : A National Profile , 2008. National Adolescent Health Information (NAHIC). Diunduh pada tanggal 5 Oktober 2016 dari http://nahic.ucsf.edu/downloads/MentalHealthBrief.pdf

Laporan Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI 2010. Diunduh pada

tanggal 10 Oktober 2016 dari:

http://riskesdas.litbang.depkes.go.id/laporan2010/reg.php.

Lazarus, L.A. & Folkman, S. (1984). Stress appraisal and coping. New York: Spranger.

Marwing, A. (2011). Problem psikologis dan strategi coping pelaku upacara kematian rambu solo' di Toraja (Studi Fenomenologi pada Tana' Bulaan). Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8 (2), 209-230.

Ningrum, N. A. (2012). Hubungan antara coping strategy dengan kenakalan pada remaja awal. Jurnal Psikologi, 7 (1), 481-489.

Oktaviana, M., & Wimbarti, S. (2014). Validasi klinik strenghts and difficulties questionnaire (sdq) sebagai instrumen skrining gangguan tingkah laku. Jurnal Psikologi, 41 (1), 101-114.

Oktaviana, M., & Wimbarti, S. (2014). Validasi klinik strenghts and difficulties Questionnaire (SDQ) sebagai instrumen skrining gangguan tingkah laku. Jurnal Psikologi, 41 (1), 101-114.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development

Perkembangan Manusia. Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika.

Rusk, N., Tamir, M., & Rothbaum, F. (2011). Performance and learning goals for emotion regulation. Motiv Emot , 444-460.

Safaria, T., & Saputra, N. E. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi Aksara. Sarwono, S. W. (2008). Psikologi Remaja. Jakarta: Grafindo Persada.

Silvers, J. A., Gabrieli, J. D., McRae, K., & Gross, J. J. (2012). Age-related differences in emotional reactivity, regulation, and rejection sensitivity in adolescence. Emotion, 12 (6), 1235–1247.

Solita, L., Syahniar, & Nurfarhanah. (2012). Hubungan antara kemandirian emosi dengan motivasi belajar. Konselor, Jurnal Ilmiah Konseling, 1 (1), 1-9. Sukmawati, B. (2014). Hubungan tingkat kepuasan pernikahan istri dan coping

strategy dengan kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 2 (3), 205-218.


(22)

18

Trinova, Z. (2012). Hakikat Belajar dan bermain menyenangkan bagi peserta didik. Al-Ta'lim, 1 (3), 209-215.

Utami, A. B., & Pratitis, N. T. (2013). Peran kreativitas dalam membentuk strategi coping mahasiswa ditinjau dari tipe kepribadian. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia , 2 (3), 232-247.

Widyaningtyas, D., & Farid, M. (2014). Pengaruh experiential learning terhadap kepercayaan diri dan kerjasama tim remaja. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia , 3 (3), 237-246.

Youthinmind.(2014). Information for researchers and professionals about the Strengths & Difficulties Questionnaires. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2016 dari http://www.sdqinfo.com/


(1)

13

Marwing, 2011). Secara teoritis, memilih diam dan membiarkan lebih mengarah kepada strategi emotion focused coping, karena informan menggunakan emosi dalam menyelesaikan permasalahannya, sehingga informan cenderung untuk mengundurkan diri dan lebih menerima permasalahannya dari pada menyelesaikannya secara positif dan lebih konkret. Selain itu berusaha sabar dan ikhlas juga termasuk kedalam aspek dari emotion focused coping yang yaitu kembali pada agama (turning to religion) yang berarti usaha individu dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan kembali ke agama (Carver et al dalam Marwing, 2011). Hal tersebut sesuai yang dilakukan tiga dari enam informan yang memilih bersabar ketika diejek, dan mengikhlaskan ketika dipalak.

Tindakan agresif seperti membalas mengejek, memukul, mendobrak meja termasuk yang dilakukan tiga dari enam informan termasuk dalam aspek coping confrontive coping yaitu upaya untuk mengubah situasi yang menekan. Coping ini menunjukkan derajat kekerasan, sebagai contoh sesorang yang melepaskan masalah dan pengambilan resiko (Lazarus dan Folkman dalam Aziz & Margaretha, 2017).

Tabel 5

Tabel cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Kategori Melakukan usaha penyelesaian

Menjadi Putus asa

Melaku-kan Agresi

Melaku-kan Aktivitas lain

Berusaha sabar dan ikhlas

Menghindar

RBPP V V V V V

ASN V V

RDS V V V V

MRF V V V

RSAN V V V

GANH V V V

Jumlah 6 5 3 1 3 2

3.5 Dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lima dari enam informan menggunakan problem focused coping secara adaptif seperti mencoba lebih


(2)

14

percaya diri, meminta maaf, membicarakan masalah dengan orang yang bersangkutan, meminta bantuan guru maupun teman. Informan yang dapat mengatasi permasalahannya dengan baik , berarti mereka dapat dikategorikan mampu menggunakan coping yang adaptif. Coping adaptif merupakan coping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Contohnya seperti berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (menganggap kecemasan sebagai signal peringatan dan individu menerima kecemasan sebagai tantangan yang harus diatasi (Stuart dan Sundeen dalam Sukmawati, 2014). Bentuk coping yang adaptif lebih condong ke problem focused coping, karena menurut Lazarus dan Folkman (1984) problem focused coping merupakan perilaku penyelesaian masalah yang berpusat pada masalah, dengan melakukan aktivitas penyelesaian secara langsung, mempelajari cara-cara atau ketrampilan baru. Namun disisi lain emotion focused coping, juga dikembangkan secara adaptif oleh tiga dari enam informan yaitu dengan berusaha sabar dan ikhlas ketika dipalak dan diejek. Hal tersebut dikarenakan emotion focused coping sendiri merupakan proses coping terhadap permasalahan dengan menggunakan aspek emosional dalam menerima respon tersebut sebagai bagian dari kehidupan, informan merasa bahwa ketika mereka berusaha sabar dan ikhlas informan akan merasakan ketenangan dari dalam dirinya.

Sedangkan coping maladaptif merupakan coping yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan kecenderungan menguasai lingkungan seperti berlebihan atau justru tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan melakukan aktivitas destruktif (mencegah suatu konflik dengan menolak solusi)( Stuart dan Sundeen dalam Sukmawati, 2014). Siswa cenderung untuk menerima bahkan menyerah dalam menghadapi kondisi yang penuh tekanan. Seluruh informan mengembangkan emotional focused coping secara maladaptif seperti menghindari kondisi penuh tekanan, menjadi putus asa, dan melakukan aktivitas lain. Sementara tiga dari enam informan juga mengembangkan problem focused coping secara maladaptif seperti


(3)

15

agresi dan meminta maaf ketika membutuhkan. Agresi termasuk dalam aspek confrontive coping yang menurut Lazarus dan Folkman (1984) confrontive coping merupakan penyelesaian masalah secara konkret, tetapi yang dilakukan informan adalah bukan menyelesaikan melainkan melakukan kegiatan konkret yang destruktif yaitu membalas memukul, membalas mengejek dan mendobrak meja. Salah satu informan akan meminta maaf ketika membutuhkan teman saja, hal tersebut tidak sesuai dengan aspek perilaku aktif yaitu pengambilan langkah-langkah dengan berusaha menghilangkan atau menghindari penyebab stress dan memperbaiki akibatnya secara langsung (Carver et al dalam Marwing, 2011). Sehingga aspek perilaku aktif yang seharusnya adaptif berubah menjadi maladaptif. Tabel 5 Dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem

No

Nama problem focused coping emotion focused coping Adaptif Maladaptif Adaptif Maladaptif

1 RBPP V V V V

2 ASN V V V

3 RDS V V V

4 MRF V V V

5 RSAN V V V

6 GANH V V V

Jumlah 5 5 3 6

4. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa sumber masalah yang dihadapi siswa yang terindikasi emotional problem yaitu adalah masalah pertemanan, keluarga dan dari dalam diri sendiri. Pihak yang menyebabkan munculnya masalah pada siswa adalah teman, nenek dan guru. Sedangkan pihak yang membantu dalam menyelesaikan masalah adalah teman, guru serta orang tua. Cara mengatasi masalah pada siswa dilakukan secara maladaptif yaitu dengan memilih diam dan membiarkan ketika diejek dan dipalak, beberapa siswa justru bertindak agresif seperti membalas mengejek, memukul dan mendobrak meja. Namun disisi lain siswa juga mengatasi masalahnya secara adaptif yaitu dengan melakukan usaha penyelesaian seperti mencari dukungan sosial dari orang lain, meminta maaf, serta berusaha sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah.


(4)

16

Saran yang diberikan kepada siswa yaitu diharapkan siswa mampu menjalankan komunikasi yang baik serta mampu menjalin pertemanan yang lebih matang dan lebih efektif dengan teman sebayanya. Sehingga ketika memiliki masalah siswa dapat menyelesaikan masalahnya dengan lebih adaptif, seperti membicarakan masalah dengan pihak munculnya masalah. Selain itu dengan adanya hubungan yang baik antar teman sebaya akan mengurangi kerentanan siswa untuk mengalami masalah yang bersumber dari pertemanan. Peranan orang tua merupakan hal yang penting untuk anak, diharapkan agar dapat memposisikan diri sebagai sahabat untuk anak, dalam kesehariannya anak tidak hanya membutuhkan orangtua sebagai teladan tetapi juga seorang sahabat. Sebagai sahabat hendaknya orang tua dapat menjadi teman yang menyenangkan untuk anak, membantu menyelesaikan masalah, mengingatkan ketika anak berbuat salah atau hanya sekedar untuk teman menumpahkan keluh kesah bagi anak. Guru merupakan orang tua kedua bagi anak, diharapkan guru dapat membantu siswa dalam mengatasi masalah melalui proses bimbingan dan konseling serta guru lebih mampu untuk memposisikan dirinya menjadi teman bagi siswa, hal ini dilakukan agar siswa merasa nyaman untuk bercerita maupun meminta bantuan kepada guru. Sedangkan untuk sekolah, diharapkan mengadakan pelatihan konseling teman sebaya, hal ini dikarenakan siswa lebih memilih menceritakan masalahnya kepada teman dibandingkan dengan guru maupun orang tua. Konseling teman sebaya dimaksudkan agar siswa dapat menyelesaikan masalahnya secara positif meskipun tidak bercerita dengan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Y. (2016). Hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan strategi coping berfokus masalah pada siswa SMK Negeri 3 Yogyakarta. E-Jurnal Bimbingan dan Konseling, 1 (5), 1-15.

Aulia, F. (2014). Studi deskriptif help seeking behaviour pada remaja yang pernah mengalami parental abuse ditinjau dari tahap perkembangan (masa awal anak-anak - masa remaja) dan identitas gender. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya , 3 (1), 1-15.

Creswell, J. (2015). Riset Pendidikan, Perencanaan , Pelaksananaan dan Evaluasi Riset Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(5)

17

Diananta, G. S., Hartanto, F., & Radityo, A. N. (2012). Perbedaan masalah mental dan emosional berdasarkan latar belakang pendidikan agama studi kasus SMP Negeri 21 Semarang dan SMP Islam Al Azhar 14 Semarang. jurnal media medika muda , 1-17.

Fitriani, Y., & Alsa, A. (2015). Relaksasi autogenik untuk meningkatkan regulasi emosi. Gajah Mada Journal Of Professional Psychology, 1 (3), 149-162. Indarjo, S. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5 (1),

48-57.

Kelemen, G., Harmant, L. F., Gavrila, M. A., Nache, C., Pluss, M., & Stassen, J.-M. (2016). Education for mental health. Journal Plus Education , 14 (1), 44-58.

Knopf, D.a., Park, M, & Mulye, T.i. (2008). The Mental Health of Adolescents : A National Profile , 2008. National Adolescent Health Information (NAHIC). Diunduh pada tanggal 5 Oktober 2016 dari http://nahic.ucsf.edu/downloads/MentalHealthBrief.pdf

Laporan Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI 2010. Diunduh pada

tanggal 10 Oktober 2016 dari:

http://riskesdas.litbang.depkes.go.id/laporan2010/reg.php.

Lazarus, L.A. & Folkman, S. (1984). Stress appraisal and coping. New York: Spranger.

Marwing, A. (2011). Problem psikologis dan strategi coping pelaku upacara kematian rambu solo' di Toraja (Studi Fenomenologi pada Tana' Bulaan). Jurnal Psikologi Islam (JPI), 8 (2), 209-230.

Ningrum, N. A. (2012). Hubungan antara coping strategy dengan kenakalan pada remaja awal. Jurnal Psikologi, 7 (1), 481-489.

Oktaviana, M., & Wimbarti, S. (2014). Validasi klinik strenghts and difficulties questionnaire (sdq) sebagai instrumen skrining gangguan tingkah laku. Jurnal Psikologi, 41 (1), 101-114.

Oktaviana, M., & Wimbarti, S. (2014). Validasi klinik strenghts and difficulties Questionnaire (SDQ) sebagai instrumen skrining gangguan tingkah laku. Jurnal Psikologi, 41 (1), 101-114.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development Perkembangan Manusia. Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika.

Rusk, N., Tamir, M., & Rothbaum, F. (2011). Performance and learning goals for emotion regulation. Motiv Emot , 444-460.

Safaria, T., & Saputra, N. E. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi Aksara. Sarwono, S. W. (2008). Psikologi Remaja. Jakarta: Grafindo Persada.

Silvers, J. A., Gabrieli, J. D., McRae, K., & Gross, J. J. (2012). Age-related differences in emotional reactivity, regulation, and rejection sensitivity in adolescence. Emotion, 12 (6), 1235–1247.

Solita, L., Syahniar, & Nurfarhanah. (2012). Hubungan antara kemandirian emosi dengan motivasi belajar. Konselor, Jurnal Ilmiah Konseling, 1 (1), 1-9. Sukmawati, B. (2014). Hubungan tingkat kepuasan pernikahan istri dan coping

strategy dengan kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi, 2 (3), 205-218.


(6)

18

Trinova, Z. (2012). Hakikat Belajar dan bermain menyenangkan bagi peserta didik. Al-Ta'lim, 1 (3), 209-215.

Utami, A. B., & Pratitis, N. T. (2013). Peran kreativitas dalam membentuk strategi coping mahasiswa ditinjau dari tipe kepribadian. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia , 2 (3), 232-247.

Widyaningtyas, D., & Farid, M. (2014). Pengaruh experiential learning terhadap kepercayaan diri dan kerjasama tim remaja. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia , 3 (3), 237-246.

Youthinmind.(2014). Information for researchers and professionals about the Strengths & Difficulties Questionnaires. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2016 dari http://www.sdqinfo.com/