1
BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Remaja adalah individu yang berusia antara 12 – 21 tahun yang sudah mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian
12 – 15 tahun adalah masa remaja awal, 15 – 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun adalah masa remaja akhir Monks, 1999.
Menurut Hurlock 1999 salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi seorang remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana remaja
harus mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup, dimana hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewati.
Remaja pasti ingin memperluas pergaulan dengan banyak teman, tidak hanya dengan teman yang sesama jenis kelaminnya saja, tetapi juga dengan teman
yang berbeda jenis kelamin. Ada remaja yang memilih untuk berpacaran tapi adapula yang lebih senang bersahabat saja dengan lawan jenisnya “sudah”,
2001. Pacaran merupakan hubungan antara seseorang dengan lawan jenisnya dan melibatkan hubungan yang lebih intim dari sekedar pertemanan biasa. Hubungan
seperti ini disebut dengan relasi heteroseksual, atau yang biasa kita kenal dengan pacaran “sudah”, 2001. Menurut Santrock 1998 pacaran bagi remaja
merupakan salah satu bentuk perkembangan aspek sosial yang penting. Pacaran pada masa remaja dapat membantu proses pembentukan hubungan yang romantis
dan pernikahan dimasa dewasa. Lebih lanjut Hidayati Mashum 2002 pacaran
Universitas Sumatera Utara
2 adalah sebuah proses saling mengenal, memahami dan menghargai perbedaan
diantara dua individu. Pacaran bagi remaja bertujuan untuk menemukan dan mengetahui lebih
jauh mengenai seseorang yang berbeda jenis kelaminnya yang disukainya. Intinya adalah menemukan pasangan Duvall Miller, 1985. Turner dan Helms, dalam
bukunya Life Span Development mengemukakan keuntungan pacaran buat remaja yakni remaja dapat mengasah kemampuan bersosialisasi, menyadari jujur pada
pasangan itu penting. Hubungan kasih sayang juga semakin terjaga saat kita saling memberi saran dan bukan menyalahkan. Kemampuan bernegosiasi untuk
menyelesaikan konflik sama pacar pun bermanfaat buat melanggengkan hubungan. Lebih jauh lagi, melalui pacaran remaja dapat belajar mentolerir
perbedaan. Semua ilmu yang berhasil dipetik dari masa pacaran itu sangat berguna. Terutama buat bekal memasuki dunia pernikahan Witri, 2003.
Pacaran sebagai salah satu bentuk hubungan intim dapat terjadi dimana saja, di kelas, di tempat kerja, di toko, ditempat bermain dan lain-lain, untuk
memulai terjadinya suatu hubungan, maka biasanya dimulai dengan adanya ketertarikan interpersonal attraction, yaitu keinginan untuk dekat dengan
seseorang Brehm, 1992. Sebelum
berpacaran, pertama-tama
harus muncul rasa ketertarikan attraction antara dua individu. Ketertarikan dapat berupa mengirim dan
menerima tanda seksual tertentu, yang dapat diekspresikan melalui gaya berpakaian atau gaya berjalan seseorang. Ketertarikan dapat juga sebagai bentuk
umum dan rasa suka liking Geer, Heiman Leitenberg, 1984.
Universitas Sumatera Utara
3 Menurut Brehm 1992, ketertarikan meliputi kebutuhan, preferensi, dan
keinginan dari orang yang dianggap menarik, dan situasi dimana kedua individu saling menemukan dirinya. Kebutuhan seseorang dapat mempengaruhi bagaimana
ia menerima orang lain dan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi. Menurut Baron Byrne 1997 ketertarikan itu dimulai ketika seseorang
mulai berinteraksi dengan orang lain dan biasanya interaksi tersebut dapat terjadi dimana saja dan tanpa disengaja. Langkah pertama yang dapat membuat seseorag
tertarik dengan orang lain, yaitu kedekatan fisik physical proximity. Faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi adalah seseorang menyukai atau tidak
orang yang dijumpainya yaitu keadaannya pada saat itu affective state. Seseorang akan senang dengan orang yang dijumpainya ketika perasaan emosinya
positif dan begitu juga sebaliknya. Pacaran ternyata bukan cara yang tepat untuk mengenali calon
pendamping hidup. Maksudnya bahwa pacaran ternyata lebih banyak menimbulkan aspek negatif daripada positif dalam mencapai proses pengenalan.
Proses ini cenderung hanya untuk kesenangan semata dan adapula yang menjalaninya hanya untuk ikut-ikutan dan tidak dengan tujuan pernikahan
Adhim, 2003. Pendapat ini didukung oleh Turner dan Helms dalam Witri , 2003 yang
menyatakan sisi negatif yang muncul dari berpacaran adalah 1 ingin buat gaya. Fenomena ini sering terjadi di kalangan cowok yang merasa bangga bila pamer ke
teman-teman tentang puluhan cewek yang berhasil ditaklukkan. Bahkan, ada suatu geng yang anggotanya saling bersaing buat membuktikan siapa yang paling
Universitas Sumatera Utara
4 sukses menebar pesona, 2 kecenderungan playful saat pacaran. Remaja belum
mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. Hal ini dapat berakibat salah satu pasangan yang serius dengan pasangannya
jengkel karena ditinggalkan oleh pasangan yang belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. 3 alasan klasik yang
sering dipakai untuk mengakhiri hubungan: tidak cocok sama pasangan., jalur memutuskan hubungan memang yang paling gampang diambil. Cara ini justru
mengesankan remaja tersebut adalah sosok egois yang malas mencari solusi. 4 keterbatasan waktu bergaul dengan teman-teman kita., terutama teman yang
berasal dari lawan jenis karena pacar suka keberatan kalau pasangannya terlalu dekat sama lawan jenis lain sehingga menelantarkan teman-temannya, 5
terjerumus seks bebas. Kemungkinan terjerumus juga makin besar karena kita dipengaruhi gejolak hormon seksual. Keberadaan pacar dijadikan kesempatan
untuk eksplorasi seksual. Tanpa disadari, keintiman fisik dengan pacar semakin meningkat dan meningkat, sementara kita belum siap menghadapi
konsekuensinya., seperti hamil di luar nikah atau ketularan penyakit kelamin. Menurut Imran 2000 mengatakan bahwa ada beberapa bentuk perilaku
dalam berpacaran adalah berbincang-bincang, berciuman, meraba, berpelukan, masturbasi, oral, petting, dan intercourse. Penelitian yang dilakukan oleh Yarmato
2004 menyimpulkan Sebanyak 45,9 persen 367 responden memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3 persen 378 responden
membolehkan cium pipi, 22 persen 176 responden tidak menabukan cium bibir, 11 persen 88 responden oke saja dengan necking alias cium leher
Universitas Sumatera Utara
5 atau cupang, 4,5 persen 36 responden tak mengharamkan kegiatan
raba-meraba, 2,8 persen 22 responden menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3 persen 10 responden tak melarang sanggama di luar
nikah.
Minimnya informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat, maka tidak sedikit remaja saat berpacaran unsur nafsu seksual menjadi dominan. Jenis
perilaku seksual yang dilakukan remaja dalam berpacaran biasanya bertahap mulai dari timbulnya perasaan saling tertarik, lalu diikuti kencan, bercumbu dan
akhirnya melakukan hubungan seksual. Hasil Baseline Survei Lentera-Sahaja PKBI memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari
berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting, hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang Adrianus, 2001.
Berbagai penelitian menunjukkan, perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat
Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan, 3,6 persen remaja di Kota Medan; 8,5 persen remaja di Kota Yogyakarta, 3,4 persen remaja di Kota
Surabaya, serta 31,1 persen remaja di Kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan
UGM menemukan, 33,5 responden laki-laki di Kota Bali pernah berhubungan seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 23,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota
sebanyak 15,5 persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen Tito, 2001.
Universitas Sumatera Utara
6 Perkembangan zaman juga akan mempengaruhi perilaku seksual dalam
berpacaran para remaja. Hal ini, misalnya, dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun lalu seperti berciuman dan bercumbu, kini
dibenarkan oleh remaja. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini, misalnya, terjadi dengan pandangan remaja
terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun lalu, hanya 1,2 persen hingga 9,6 persen setuju hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun
kemudian angka itu naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen yang
setuju free sex Tito, 2001. Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai
akibat perilaku seksual di kalangan remaja juga makin meningkat dari tahun ke tahun. Meski sulit diketahui pasti, di Indonesia angka kehamilan sebelum
menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja, menyatakan tentang besarnya angka kehamilan remaja Tito, 2001.
Catatan konseling Sahaja menunjukkan, kasus kehamilan tidak dikehendaki pada tahun 19981999 tercatat sebesar 113 kasus. Beberapa hal
menarik berkaitan dengan catatan itu, misalnya, hubungan seks pertama kali biasanya dilakukan dengan pacar 71 persen, teman biasa 3,5 persen, suami 3,5
persen; inisiatif hubungan seks dengan pasangan 39,8 persen, klien 9,7 persen, keduanya 11,5 persen; keputusan melakukan hubungan seks: tidak
direncanakan 45 persen, direncanakan 20,4 persen dan tempat yang biasa
Universitas Sumatera Utara
7 digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah rumah 25,7 persen hotel
13,3 persen Tito, 2001. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak
dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam menghindari dari hal-hal yang negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain,
remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional Monks, 1999.
Masa “badai dan tekanan” adalah suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar hormon. Kondisi ini
disebabkan karena remaja di bawah tekanan sosial, juga diakibatkan dari kecenderungan remaja dalam memandang kehidupan menurut apa yang mereka
inginkan. Mereka melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan bukan sebagaimana adanya Hurlock, 1999. Pergolakan emosi yang
terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya. Masa
remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif Monks, 1999.
Masa remaja merupakan masa dimana remaja banyak sekali menghadapi tantangan. Manusia dapat menghadapi tantangan serta mampu memainkan
perannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia maka perlu adanya peningkatan kualitas kepribadian. Salah satu unsur kepribadian yang dianggap
penting bagi kehidupan manusia dalam kaitannya dengan dunia sekitar adalah kecerdasan emosional http:www.kompas.comkompas-
Universitas Sumatera Utara
8 cetak021115dikbudkece35.htm. Goleman 2001 mengatakan bahwa
kecerdasan emosional merupakan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat menempatkan emosinya pada
porsi yang tepat, memilah kepuasan dan suasana hati. Cooper Sawaf 2002 juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah sebagai kecerdasan yang
dapat dipelajari, kecerdasan yang dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia berapa saja.
Goleman 2001 menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidupnya 20 ditentukan oleh IQ dan 80 ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
lainnya termasuk kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional memegang peranan penting, di mana ia mencakup pengendalian diri, semangat dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan- keterampilan seperti ini dapat diajarkan kepada anak-anak semenjak dini, untuk
memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi yang ada dalam diri mereka http:www.kompas.comkompas-cetak021115
dikbudkece35.htm. Havighurst dalam Hurlock, 1999 menyatakan bahwa orang yang matang
adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengontrol emosinya. Kemampuan untuk mengontrol emosi tidak terlepas dari kecerdasan emosional
seseorang untuk menghadapi dan mengatasi masalah.
Universitas Sumatera Utara
9 Keterampilan mengelola emosi tersebut meliputi: mampu
mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas kadar perasaan, mampu
mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, dan mampu mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan Hidayati
dan Mashum, 2002. Ketrampilan kecerdasan emosional yang dikenal dengan kecakapan
emosional yang merupakan kecakapan hasil belajar yang mencakup kesadaran diri, mengidentifikasi dan mengelola perasaan serta mengendalikan dorongan hati.
Pengendalian dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan dan belajar membuat keputusan emosional yang baik dengan terlebih
dahulu mengendalikan dorongan untuk bertindak, kemudian mengidentifikasi tindakan alternatif serta konsekuensinya sebelum bertindak Goleman, 2001.
Goleman 2001 membagi emotional intelligence ini ke dalam lima aspek yaitu : 1 kesadaran diri, 2 pengaturan diri, 3 motivasi, 4 empati, dan 5
ketrampilan sosial. Menurut Hidayati Masyum 2005 kecerdasan emosional penting dan
perlu untuk pacaran. Individu yang berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik terampil dalam mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan
serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas kadar perasaan, mampu mengelola perasaan, mampu
mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku, seperti : perilaku verbal
Universitas Sumatera Utara
10 mampu mengajukan permintaan-permintaan dnegan jelas, menanggapi kesulitan
dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negative, mampu mendengarkan orang lain dan perilaku non verbal eksperi
wajah, sikap tubuh, dan pandangan mata. Hal ini didukung oleh Goleman 2003 remaja yang kecerdasan
emosionalnya berkembang dengan baik akan merasakan bahwa tekanan baru para teman sebaya, meningkatnya tuntutan akademis, godaan merokok, menggunakan
obat-obat terlarang, dan seks bebas tidak lagi merisaukan mereka dibandingkan dengan teman sebaya yang kecerdasan emosionalnya tidak berkembang dengan
baik Mereka yang sudah menguasai kecerdasan emosional yang sekurang- kurangnya utuk jangka pendek, memberi vaksinasi bagi mereka utuk melawan
guncangan dan tekanan yang akan mereka hadapi. Intinya, untuk mengembangkan kecerdasan emosional harus dimulai sejak dini yang disesuaikan dengan usia dan
dilangsungkan sepanjang tahun ajaran serta dikaitan dengan sekolah, rumah, dan masyarakat.
Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran.
I.B. Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran”
Universitas Sumatera Utara
11
I.C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi
perkembangan dalam hal mengembangkan kecerdasan emosional bagi remaja yang berpacaran.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian sebagai sumber informasi dan layanan konseling berupa pendidikan seks sex education bagi remaja yang
berpacaran sehingga tercipta hubungan yang sehat yang berhubungan juga dengan kecerdasan emosional.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I :
Pendahuluan Dalam bab ini dijelaskan latar belakang penelitian tentang
gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran. Bab II :
Landasan teori
Universitas Sumatera Utara
12 Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian kecerdasan
emosional, manfaat kecerdasan emosional, komponen-komponen kecerdasan emosional, faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, ciri-ciri kepribadian individu yang memiliki kecerdasan emosional, pengertian remaja, tugas-tugas
perkembangan pada masa remaja, pengertian pacaran, proses pacaran, dinamika gambaran kecerdasan emosional pada remaja
yang berpacaran, dan hipotesa. Bab III :
Metode Penelitian Pada bab ini akan di jelaskan mengenai identifikasi variable
penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, dan metode analisa
data. Bab IV:
Analisis Data dan Interpretasi Bab ini menguraikan analisis data dari hasil observasi dan
wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian. Bab V:
Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini merupakan bab terakhir yang membahas tentang
kesimpulan, diskusi, dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
13
Kerangka Berpikir
Ket :
+ : Berpacaran yang sehat
- : Berpacaran yang tidak sehat
: Berkembang dengan baik tinggi : Berkembang dengan tidak baik rendah
Salah satu tugas perkembangan remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup. Salah
satunya adalah remaja akhir yang berada pada usia 18 – 21 tahun. Untuk menemukan dan mengetahui lebih jauh mengenai seseorang yang berbeda jenis
Berpacaran
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional
- +
Remaja
Salah satu tugas perkembangan remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dan
mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup
Universitas Sumatera Utara
14 kelaminnya yang disukainya. Intinya adalah menemukan pasangan, dimulai
dengan proses berpacaran Duvall Miller, 1985. Menurut Hidayati Masyum 2005 kecerdasan emosional penting dan perlu untuk pacaran. Individu yang
berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik terampil dalam mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan
yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas kadar perasaan, mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri,
mampu mengurangi stress, mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku, seperti : perilaku verbal mampu mengajukan
permintaan-permintaan dnegan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negative, mampu
mendengarkan orang lain dan perilaku non verbal eksperi wajah, sikap tubuh, dan pandangan mata.
Universitas Sumatera Utara
15
BAB II LANDASAN TEORI