5.3. Analisis Pengembangan Institusi Lokal
Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pengembangan institusi lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
hutan oleh masyarakat, terdapat 4 dimensi pengembangan institusi yaitu pengaturan tata kuasa tenurial dan pengaturan tata guna lahan, pengaturan tata
produksi, dan pengaturan tata konsumsi.
5.3.1. Pengaturan Tata Kuasa Tenurial dan Pengaturan Tata Guna Lahan.
Isu kepastian dalam memperoleh akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan merupakan isu yang paling banyak diangkat oleh LSM dalam
proyek UNDP. Adanya kepastian akses atau pengusahaan adalah salah satu prasyarat penting untuk menuju pengelolaan hutan yang adil dan lestari.
Permasalahan kepastian tenurial sebagian besar dipersoalkan pada kawasan yang dikelola oleh masyarakat yang difasilitasi oleh LSM dalam proyek UNDP ini
menunjukkan adanya tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan.
Tumpang tindih penguasaan antara lain merupakan penyebab dari adanya ketidakpastian tenurial pada wilayah yang dikelola oleh masyarakat.
Ketidakpastian penguasaan tenurial dan akses masyarakat terhadap hutan seringkali dilihat sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak
terlalu antusias untuk mencari strategi pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan jangka panjang.
Mengingat sebagian besar LSM bekerja dengan masyarakat yang mempunyai permasalahan tumpang tindih penguasaan lahan kelola, maka sebagian besar
fokus kegiatan dari pendukung PHBM adalah mencari strategi agar ada kepastian tenurial bagi masyarakat yang mereka dampingi. Ruang lingkup dari persoalan
kepastian tenurial ini antara lain mencakup kepastian kepemilikan dan kepastian akses masyarakat atas hutan di sekitar mereka hidup. Juga didalamnya terkait
dengan seberapa penting masyarakat menjadi penentu dari kesepakatan model pengembangan komoditi dan pengelolaan sumberdayanya, kepastian waktu usaha,
dan kesepakatan pembagian manfaat hasil hutan secara lebih adil Afiff, 2007. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai tujuan
utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap
sumberdaya hutan dengan berbagai metode dan instrumen pengakuan. Beberapa instrumen yang dijadikan sebagai alat perjuangan diantaranya adalah melalui
pendekatan ekologis, misalnya hutan mangrove dan kawasan ekowisata serta pendekatan historis kawasan, misalnya tanah simpen dan wewengkon adat. Selain
itu, LSM juga mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang
berusaha untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan dalam proyek UNDP ini Tabel 20.
Tabel 20. Instrumen Pengakuan yang dikembangkan LSM dan Tujuan Utama Proyek UNDP
Tujuan utama proyek UNDP LSM
Wilayah Instrumen pengakuan
Kelestarian hutan
Kesejahteraan masyarakat
Akses ke hutan
LSM 1 Jawa Tengah
Hutan Mangrove
√ √
√ LSM 2
Jawa Timur Satwa Endemik dan
Hutan Milik √
LSM 3 Lampung
Hutan Mangrove √
√ LSM 4
Jawa Tengah Sertifikasi Ekolabel
√ √
LSM 5 Jawa Timur
Kemitraan √
LSM 6 Lampung
Ekowisata √
√ LSM 7
Jawa Tengah Tanah Simpen
√ LSM 8
Jawa barat Wewengkon Kasepuhan
√ LSM 9
Lampung Hutan Kemasyarakatan
HKm √
√
Sumber: Diolah dari data penelitian
Apabila dilihat dari capaian LSM dalam proyek ini, maka terlihat sebagian besar LSM bersentuhan dengan pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan
masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan. Bentuk kegiatan yang dilakukan diantaranya melalui penyusunan draf Peraturan Daerah
Perda terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. LSM berpendapat bahwa dengan melalui instrumen Perda ini, masyarakat akan lebih
mudah memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan secara legal Tabel 21. Tabel 21. Capaian LSM dalam Proyek UNDP periode 2005-2007
No Isu Pokok
Nama LSM
Capaian LSM dalam Proyek UNDP
1 LSM 1
Rehabilitasi kawasan mangrove dan budidaya tambak udang di hutan lindung
2 LSM 2
Rehabilitasi kawasan hutan milik dan budidaya ternak rusa 3
Konservasi LSM 3
Rehabilitasi kawasan mangrove di hutan lindung
No Isu Pokok
Nama LSM
Capaian LSM dalam Proyek UNDP
4 LSM 4
Memperoleh sertifikasi ekolabel dari LEI selama 15 tahun
5 LSM 5
Penyusunan draf Peraturan Daerah Perda tentang Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan
6 Pendampingan
teknis
LSM 6 Penyusunan draf MoU tentang Pengelolaan Kawasan
Ekowisata Berbasis Masyarakat di Tahura Wan Abdurrahman
7 LSM 7
Penandatanganan MoU antara masyarakat dengan Perhutani di hutan produksi Perhutani tentang
pemanfaatan
tanah simpen
8 LSM 8
Penyusunan draf 4 Surat Keputusan SK Bupati Lebak
tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek di Taman
Nasional Halimun-Salak 9
Advokasi
LSM 9
Memperoleh ijin definitif HKm dari pemerintah daerah selama 35 tahun
Sumber: Diolah dari data penelitian
Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices terkait dengan pengaturan tata kuasa tenurial dan pengaturan tata guna lahan, yaitu
Persepsi dengan sertifikasi ekolabel di hutan milik, Watala dengan perolehan HKm di hutan lindung, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk
menandatangai MoU dengan Perhutani di hutan produksi.
.3.2. Pengaturan Tata Produksi
Apabila kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan berikutnya adalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan
produksi. Terdapat dua level strategi pengembangan institusi terkait dengan pengaturan tata produksi yaitu, pertama, strategi pengembangan tata produksi
pada tingkat kelompok atau komunitas, dan kedua, strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga Afiff, 2007.
Strategi tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas pada dasarnya adalah mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok.
Di sektor kehutanan, salah satu strategi yang saat ini banyak mendapatkan dukungan adalah membangun tata niaga produksi kayu rakyat maupun hasil hutan
bukan kayu non-timber forest productNTFP yang berwawasan lingkungan. Sebagai contoh, dalam proyek UNDP ini, Persepsi telah melakukan
pendampingan bersama masyarakat untuk pengaturan tat produksi melalui
instrumen sertifikasi ekolabel di hutan milik. Konsep sertifikasi ekolabel merupakan suatu standar pengelolaan hutan yang memperhatikan kaidah-kaidah
kelestarian sumberdaya hutan berdasarkan fungis produksi, fungsi ekologi, dan fungis sosial. Ketiga kelestarian fungsi hutan ini tidak dapat terpisahkan satu
dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat difasilitasi untuk membentuk usaha bersama melalui tata niaga kayu rakyat yang telah disertifikasi ekolabel.
Pengaturan tata produksi juga terjadi pada Watala. LSM ini berupaya untuk mengembangkan hasil pertanian organik. Pertanian organik yang dikembangkan
ini merupakan salah satu kebutuhan masyarakat, baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk dijual.
Sementara untuk strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga petani, pendekatan yang banyak didorong oleg LSM pada komunitas di
sekitar hutan adalah dengan cara mendorong tumbuhnya jenis-jenis usaha ekonomi rumah tangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan petani
pada hutan. Para pendukung program ini beranggapan bahwa dengan cara inilah maka penyelamatan hutan dapat dilakukan. LPPSP misalnya, mengembangkan
budidaya tambak ikan nila sebagai pendapatan alternatif. Pengembangan tambak ikan ini dimaksudkan untuk mengurangi kerusakan hutan mangrove akibat adanya
konversi dari hutan mangrove menjadi tambak ikan. Kegiatan ini sekaligus bertujuan untuk menyelamatkan hutan mangrove yang telah maupun sedang
dirintis.
5.3.3. Pengaturan Tata Konsumsi.