Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

(1)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP

PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS

MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN

DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH

JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutup dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

Wahyu Fathurrahman Riva A 153044145


(3)

ABSTRACT

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. The Role of Non-Governmental Organizations in Community-Based Forest Management Program in Regional Development Contexts: Cases on the UNDP Grantees in Java Island and Lampung Region. Under direction of PARULIAN HUTAGAOL and PATRICE LEVANG

The increasing rate of forest degradation and lack of local communities access to forest, have been a significant stimulus for the implementation of community-based forest management (CBFM). The CBFM has an objective to achieve sustainable forest management and prosperity for rural community adjacent to forest area. To pursue the objective several local communities work closely with non-governmental organizations (NGOs) to get financial support from international funding agencies . There is a need to improve the role of NGOs and their strategy in order to work effectively with the local communities. The thesis provides analytical methods to evaluate the role and strategy of the NGOs, namely performance approach and institutional development approach. The research was conducted by analyzing 9 (nine) NGOs, which are partners of the UNDP project in 2005-2007 and located in Jawa island and Lampung province. NGOs undertake its programs in 3 mainstream scope of works, first, conservation; second, technical assistance; and third, advocacy program. Each of main issues have a approach and various methods of assistance. There are many lesson learnt got by NGOs collaborating with UNDP in a particular project commenced 2005 to 2007. A part of NGOs achieved the key role in conducting the project and otherwise getting a high performance of expected target. In the some location of the project, now it has become a show window to see how they conduct the best practices in CBFM. There are 3 NGOs successfully undertakeing best ways, namely Persepsi in achieving broad CBFM certification, Watala in getting HKm status, and Masta that successfully facilitating communities to collabotare with Perhutani through signing an MoU. The other one is still on going process in building local goverment regulation about CBFM in Indonesia. In general, CBFM programs facilitated by the NGOs have similar goal, which is pursuing government recognition on local community access to the forest area. A gap in terms of knowledge regarding forest management and the effectiveness of advocacy may become an obstacle in achiving the objective of CBFM. The most intriguing result of the research is that the succesfulness of NGOs program in CBFM relies on the hand of government. It is up to local and central government regulations may or may not recognizes the access of local community to the forest.

Key-word: Community-based forest management, non-governmental


(4)

RINGKASAN

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan PATRICE LEVANG

Tingkat kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan melemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan akibat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan telah memicu munculnya paradigma baru yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). PHBM ini bertujuan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat dibantu LSM yang sebagian besar mendapatkan pendanaan dari lembaga donor luar negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM serta merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Penelitian ini dilakukan pada 9 LSM mitra proyek UNDP periode 2005-2007 di wilayah Jawa dan Lampung. Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis, yaitu analisis kinerja LSM dalam program PHBM dan analisis pengembangan kelembagaan institusi lokal.

Dalam menjalankan programnya, LSM terbagi menjadi 3 isu utama, yaitu isu konservasi, pendampingan teknis, dan isu advokasi. Setiap isu utama mempunyai pendekatan dan metode pendampingan yang beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai peran utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga berperan bersama masyarakat untuk mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berperan untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan.

Dalam menjalankan programnya di bidang konservasi, LSM memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya.

Peran lain yang dilakukan oleh LSM adalah dalam bentuk pendampingan teknis yang meliputi pendampingan pada teknis pengelolaan hutan milik masyarakat, pendampingan dalam mengembangkan pola kemitraan, dan pendampingan dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari pendampingan yang dilakukan oleh LSM meskipun dirasakan belum optimal. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat bersama dengan LSM untuk terus maju dan memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui adanya pengakuan yang kongrit dari pemerintah daerah untuk memberikan hak akses kepada masyarakat yang memang telah lama tinggal dan hidup di hutan adat tersebut. Selain itu pendampingan teknis yang dilakukan oleh LSM juga berperan membantu masyarakat dalam peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan hutan serta penguatan kelembagaannya.


(5)

Dalam melakukan proyek UNDP, LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). LSM berperan penting dalam proses negosiasi dan advokasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah daerah.

Peran LSM dalam pendampingan masyarakat di Lampung difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm). Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. LSM juga telah berperan penting dalam proses pendampingan masyarakat sekaligus juga berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahnya.

Peran LSM masih perlu ditingkatkan untuk isu pendampingan teknis, misalnya dalam sertifikasi PHBM. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Peran LSM diharapkan lebih besar dalam pengembangan pemasaran dan tata niaga perdagangan kayu yang bersertifikat ekolabel.

Banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitra proyek UNDP mulai tahun 2005-2007. Beberapa LSM telah berperan penting dan berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek juga telah menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM karena besarnya peran LSM. Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel, Watala dengan perolehan HKm, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani. Sebagian lagi masih menyusun draf Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal, (1) pada prinsipnya peran LSM dalam proyek UNDP adalah untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pengakuan dalam bentuk terbukanya akses terhadap sumberdaya hutan dari pemerintah, (2) peran LSM dalam mengusung program di bidang konservasi lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada program di bidang ekonomi, (3) masih adanya gap pengetahuan dan pemahaman tentang teknis kehutanan dan advokasi


(6)

baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, (4) sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, (5) pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal, dan (6) keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah.

Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta.

Kata kunci: pengelolaan hutan berbasis masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, strategi


(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi

Magister Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(9)


(10)

Judul Tugas Akhir : Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

Nama Mahasiswa : Wahyu Fathurrahman Riva NRP : A 153044145

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Dr. Patrice Levang Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(11)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP

PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS

MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN

DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH

JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutup dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

Wahyu Fathurrahman Riva A 153044145


(13)

ABSTRACT

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. The Role of Non-Governmental Organizations in Community-Based Forest Management Program in Regional Development Contexts: Cases on the UNDP Grantees in Java Island and Lampung Region. Under direction of PARULIAN HUTAGAOL and PATRICE LEVANG

The increasing rate of forest degradation and lack of local communities access to forest, have been a significant stimulus for the implementation of community-based forest management (CBFM). The CBFM has an objective to achieve sustainable forest management and prosperity for rural community adjacent to forest area. To pursue the objective several local communities work closely with non-governmental organizations (NGOs) to get financial support from international funding agencies . There is a need to improve the role of NGOs and their strategy in order to work effectively with the local communities. The thesis provides analytical methods to evaluate the role and strategy of the NGOs, namely performance approach and institutional development approach. The research was conducted by analyzing 9 (nine) NGOs, which are partners of the UNDP project in 2005-2007 and located in Jawa island and Lampung province. NGOs undertake its programs in 3 mainstream scope of works, first, conservation; second, technical assistance; and third, advocacy program. Each of main issues have a approach and various methods of assistance. There are many lesson learnt got by NGOs collaborating with UNDP in a particular project commenced 2005 to 2007. A part of NGOs achieved the key role in conducting the project and otherwise getting a high performance of expected target. In the some location of the project, now it has become a show window to see how they conduct the best practices in CBFM. There are 3 NGOs successfully undertakeing best ways, namely Persepsi in achieving broad CBFM certification, Watala in getting HKm status, and Masta that successfully facilitating communities to collabotare with Perhutani through signing an MoU. The other one is still on going process in building local goverment regulation about CBFM in Indonesia. In general, CBFM programs facilitated by the NGOs have similar goal, which is pursuing government recognition on local community access to the forest area. A gap in terms of knowledge regarding forest management and the effectiveness of advocacy may become an obstacle in achiving the objective of CBFM. The most intriguing result of the research is that the succesfulness of NGOs program in CBFM relies on the hand of government. It is up to local and central government regulations may or may not recognizes the access of local community to the forest.

Key-word: Community-based forest management, non-governmental


(14)

RINGKASAN

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan PATRICE LEVANG

Tingkat kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan melemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan akibat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan telah memicu munculnya paradigma baru yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). PHBM ini bertujuan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat dibantu LSM yang sebagian besar mendapatkan pendanaan dari lembaga donor luar negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM serta merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Penelitian ini dilakukan pada 9 LSM mitra proyek UNDP periode 2005-2007 di wilayah Jawa dan Lampung. Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis, yaitu analisis kinerja LSM dalam program PHBM dan analisis pengembangan kelembagaan institusi lokal.

Dalam menjalankan programnya, LSM terbagi menjadi 3 isu utama, yaitu isu konservasi, pendampingan teknis, dan isu advokasi. Setiap isu utama mempunyai pendekatan dan metode pendampingan yang beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai peran utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga berperan bersama masyarakat untuk mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berperan untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan.

Dalam menjalankan programnya di bidang konservasi, LSM memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya.

Peran lain yang dilakukan oleh LSM adalah dalam bentuk pendampingan teknis yang meliputi pendampingan pada teknis pengelolaan hutan milik masyarakat, pendampingan dalam mengembangkan pola kemitraan, dan pendampingan dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari pendampingan yang dilakukan oleh LSM meskipun dirasakan belum optimal. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat bersama dengan LSM untuk terus maju dan memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui adanya pengakuan yang kongrit dari pemerintah daerah untuk memberikan hak akses kepada masyarakat yang memang telah lama tinggal dan hidup di hutan adat tersebut. Selain itu pendampingan teknis yang dilakukan oleh LSM juga berperan membantu masyarakat dalam peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan hutan serta penguatan kelembagaannya.


(15)

Dalam melakukan proyek UNDP, LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). LSM berperan penting dalam proses negosiasi dan advokasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah daerah.

Peran LSM dalam pendampingan masyarakat di Lampung difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm). Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. LSM juga telah berperan penting dalam proses pendampingan masyarakat sekaligus juga berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahnya.

Peran LSM masih perlu ditingkatkan untuk isu pendampingan teknis, misalnya dalam sertifikasi PHBM. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Peran LSM diharapkan lebih besar dalam pengembangan pemasaran dan tata niaga perdagangan kayu yang bersertifikat ekolabel.

Banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitra proyek UNDP mulai tahun 2005-2007. Beberapa LSM telah berperan penting dan berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek juga telah menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM karena besarnya peran LSM. Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel, Watala dengan perolehan HKm, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani. Sebagian lagi masih menyusun draf Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal, (1) pada prinsipnya peran LSM dalam proyek UNDP adalah untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pengakuan dalam bentuk terbukanya akses terhadap sumberdaya hutan dari pemerintah, (2) peran LSM dalam mengusung program di bidang konservasi lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada program di bidang ekonomi, (3) masih adanya gap pengetahuan dan pemahaman tentang teknis kehutanan dan advokasi


(16)

baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, (4) sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, (5) pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal, dan (6) keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah.

Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta.

Kata kunci: pengelolaan hutan berbasis masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, strategi


(17)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(18)

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG

WAHYU FATHURRAHMAN RIVA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi

Magister Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(19)


(20)

Judul Tugas Akhir : Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

Nama Mahasiswa : Wahyu Fathurrahman Riva NRP : A 153044145

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Dr. Patrice Levang Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(21)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, anugerah, dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008 ini adalah Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS dan Bapak Dr. Patrice Levang selaku dosen pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh teman-teman LSM dan masyarakat dampingannya yang telah bersedia bekerja sama dengan penulis dan telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan saya di Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), tempat dimana saya bekerja sekaligus belajar. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh civitas akademika dan rekan-rekan mahasiswa MPD-IPB yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan sejak awal sampai terselesaikannya Tesis ini.

Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada CIFOR melalui Bapak Dr. Patrice Levang yang telah banyak membantu penulis, baik dari dukungan pendanaan pendidikan dan penelitian ini, maupun waktu beliau yang selalu tersedia bagi penulis untuk berdiskusi dengan intensif dan produktif.

Secara khusus penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya, Bapak Koesjairi dan Ibu Nadlifah yang tiada henti-hentinya mendoakan dan memberikan kasih sayangnya.

Terakhir, kepada istriku tercinta: Eny Kadarti, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi yang tinggi yang diiringi dengan doa-doanya, serta kepada putri-putriku: Salma Nisrina Riva (6) dan Avia Fathina Riva (3,5), yang telah memberikan semangat dan inspirasi yang besar bagi penulis, kepadanya Tesis ini dipersembahkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Wahyu Fathurrahman Riva


(22)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 16 Juni 1974, sebagai anak bungsu dari pasangan Koesjairi dan Nadlifah. Pada tahun 1993, penulis lulus SMA Negeri Jatirogo, Tuban dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah diperoleh pada tahun 2007.

Penulis bekerja pada Bagian Sertifikasi dan Akreditasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), sebuah organisasi berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi ekolabel pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Di LEI, penulis pernah menjadi Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada Small Grand Programme to operation Promoting Tropical Forest (SGP PTF) - UNDP bekerja sama dengan LEI tahun 2005 – 2007 dengan tema Implementasi PHBM di Indonesia untuk wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Program ini telah banyak menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian ini.

Penulis juga aktif melakukan penelitian dan audit untuk sertifikasi pengelolaan hutan lestari, sertifikasi lacak balak, dan melakukan penilaian dampak sosial pada beberapa perusahaan. Penulis juga sering menjadi narasumber pada berbagai seminar, lokakarya, dan pelatihan yang berkaitan dengan topik PHBM. Beberapa hasil penelitian dan tulisannya telah dipublikasikan di beberapa media dan buku.


(23)

DAFTAR ISI

Daftar Tabel ... iv Daftar Grafik ... v Daftar Gambar... vi Daftar Lampiran ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 6 1.3. Tujuan Penelitian ... 6 1.4. Manfaat Penelitian ... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kerangka Teoritis... 9 2.1.1 Karakteristik LSM ... 9 2.1.2 Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia…… ... 11 2.1.3 Strategi Penggalangan Dana …… ... 14 2.1.4 Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia ... 17 2.1.5 Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 22 2.1.6 Pengukuran Peran LSM ... 26 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu... 32

III. METODE PENELITIAN ... 37

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 37 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42 3.3. Pendekatan Penelitian ... 43 3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 43 3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data... 45 3.5.1 Analisis Kinerja... 45 3.5.1.1. Penentuan Elemen Kinerja ... 45 3.5.1.1. Pembobotan Elemen Kinerja... 47 3.5.2 Analisis Pengembangan Institusi Lokal ... 49 3.6. Metode Perancangan Program ... 52

IV. GAMBARAN UMUM LSM ... 54

4.1. Sejarah Berdirinya LSM ... 54 4.2. Visi dan Misi LSM... 56


(24)

4.3. Program PHBM oleh LSM bersama UNDP ... 60

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

5.1. Elemen Kinerja LSM dalam Program PHBM ... 64 5.1.1. Relevansi Visi dan Misi terhadap Program PHBM ... 65 5.1.2. Kinerja Pelaksanaan Program PHBM... 67 5.1.3. Kinerja Pengelolaan Keuangan dalam Program PHBM ... 80 5.1.4. Kinerja Tata Laksana dalam Program PHBM ... 83 5.1.5. Kinerja Administrasi dalam Program PHBM ... 86 5.1.6. Legitimasi Sosial dalam Program PHBM ... 90 5.2. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM... 92 5.2.1. Penilaian Kinerja untuk Setiap Elemen... 92 5.2.2. Penilaian Kinerja untuk Setiap LSM... 94 5.3. Analisis Pengembangan Institusi Lokal... 102 5.3.1. Pengaturan Tata Kuasa Tenurial dan Tata Guna Lahan... 102 5.3.2. Pengaturan Tata Produksi ... 104 5.3.3. Pengaturan Tata Konsumsi ... 105 5.4. Peran UNDP dalam Program PHBM... 109 5.5. Strategi Peningkatan Kinerja LSM dalam Pembangunan Daerah ... 110

VI. RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PHBM ... 113

6.1. Respon Masyarakat pada Isu Konservasi ... 113 6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis ... 115 6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi ... 117

VII. PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM

PHBM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH ... 120

7.1. Kasus di Lampung Barat ... 121 7.2. Kasus di Jawa Tengah ... 123

VIII. RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS ... 127

8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM ... 127 8.2. Prioritas Program Strategis ... 128 8.2.1. Perencanaan dan Pelaksanaan Program ... 128 8.2.2. Monitoring dan Evaluasi ... 131

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 140

9.1. Kesimpulan ... 140 9.2. Implikasi Kebijakan ... 140 9.3. Rekomendasi ... 141


(25)

DAFTAR PUSTAKA... 142

LAMPIRAN ... 148


(26)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian ... 43

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian... 45

Tabel 3. Bentuk Lembaga dan Tahun Berdiri LSM ... 54

Tabel 4. Analisis Terhadap Fokus Visi Setiap LSM... 57

Tabel 5. Analisis Terhadap Misi Setiap LSM... 57

Tabel 6. Identifikasi Visi dan Misi LSM... 58

Tabel 7. Analisis Fokus dan Lokasi Proyek UNDP ...61

Tabel 8. Tujuan dan Fokus LSM sebagai Mitra dalam Proyek SGPPTF UNDP Periode 2005 – 2007... . . 63

Tabel 9. Penilaian Kinerja Elemen Visi dan Misi... 66

Tabel 10. Hasil Penilaian Kinerja Elemen

Program... 67

Tabel 11. Pengalaman LSM di Lokasi Proyek dan Fokus Proyek UNDP... 70

Tabel 12. Manfaat Proyek UNDP yang Dirasakan oleh Masyarakat... 75

Tabel 13. Penilaian Kinerja Elemen

Keuangan... 81 Tabel 14. Penilaian Kinerja Elemen Tata


(27)

Tabel 15. Penilaian Kinerja Elemen Administrasi... 87

Tabel 16. Penilaian Kinerja Elemen

Legitimasi... 91

Tabel 17. Instrumen yang digunakan LSM untuk Masyarakat dalam Memperoleh Pengakuan... . 92

Tabel 18. Peringkat Kinerja LSM dalam Program PHBM... 97

Tabel 19. Kelebihan dan Kelemahan LSM dalam Program PHBM... 98

Tabel 20. Instrumen Pengakuan yang dikembangkan LSM dan Tujuan Utama Proyek UNDP

... 103 Tabel 21. Capaian LSM dalam Proyek UNDP periode 2005-2007...

103

Tabel 22. Bentuk Kelembagaan di Masyarakat yang Dikembangkan LSM ... 106

Tabel 23. Matrik Perencanaan Program ... 133

Tabel 24. Rencana Kegiatan Program ... 138


(28)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Rekapitulasi Penilaian Kinerja Berdasarkan Elemen Kinerja... 93

Grafik 2. Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM... 95

Grafik 3. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM... 96


(29)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian... 41

Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal ... 51

Gambar 3. Diagram Alur Metode Logical Framework Approach (LFA)... 53


(30)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Identifikasi fokus proyek dari LSM Kehutanan yang Menjadi Mitra SGPPTF UNDP periode 2005 – 2007 ... 148

Lampiran 2. Pedoman Pertanyaan Umum untuk LSM ... 149

Lampiran 3. Kuesioner untuk Responden Penelitian... 150


(31)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Dalam hal ini Indonesia merupakan negara mega-biodiversity di peringkat dua dunia setelah Brazilia. Keanekaragaman biodiversitas tersebut tercermin dari 90 tipe ekosistem hutan dengan beragam kekayaan spesies flora dan fauna yang dimiliki (Bappenas, 2003). Selain ekosistemnya, didalam dan disekitar hutan juga terdapat masyarakat yang tinggal dan hidup didalamnya. Masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Secara umum wilayah tersebut mempunyai aksesibilitas yang rendah terhadap pendidikan, kesehatan dan pasar. Kebijakan pemerintah selama kurang lebih tiga dekade terakhir yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin telah membuat masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan semakin termarjinalkan. Mereka juga tidak dapat menikmati pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan logging.

Menurut Brown (2004), masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan di luar Pulau Jawa sekitar 48,8 juta orang. Dari jumlah itu, 10, 2 juta orang miskin (Sunderlin, 2000) tinggal dan hidup di sekitar hutan alam serta sekitar 6 juta kepala keluarga telah melakukan perladangan bergilir secara turun temurun.

Banyak masyarakat yang hidup secara tradisional dengan menerapkan strategi ekonomi melalui kombinasi antara kegiatan berladang untuk mendapatkan padi, menanam tanaman palawija, berburu, memanen dan menjual kayu, mengumpulkan dan menjual hasil hutan bukan kayu (non timber forest products) seperti rotan, madu, dan getah. Hasil dari kebun karet, kopi, dan tanaman lainnya juga penting sebagai sumber pendapatan masyarakat (FWI/GFW, 2001).

Disisi lain, kegiatan penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan


(32)

hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Dephut, 2003). Berdasarkan data terbaru dari Departemen Kehutanan (2007), rata-rata laju kerusakan hutan dalam 5 tahun terakhir sebesar 1.089.500 ha/tahun.

Kerusakan hutan Indonesia tidak hanya menyedot perhatian di tingkat nasional maupun regional, namun telah sampai pada tingkat dunia Internasional. Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai Negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya (SKEPHI, 2007).

Namun realitasnya, kebijakan kehutanan yang diimplementasikan bagi pengelolaan hutan di Indonesia dirasakan tidak mampu secara efektif menghambat laju kerusakan hutan. Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.

Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM/community-based forest management) menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju PHBM. Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan.


(33)

Program-program yang diusung oleh LSM ini mendapat dukungan yang besar dari lembaga donatur terutama dari international funding agency yang concern terhadap pengembangan PHBM. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership).

Sejak tahun 1990-an, perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan, terutama sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia. Malik (2004) mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim (2004), jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu.

Kehadiran LSM di Indonesia, menurut Culla (2006), dipicu oleh faktor kesempatan politik dan beroperasinya lembaga-lembaga donor internasional yang menjadi pendorong lahirnya banyak LSM, juga disebabkan oleh kekecewaan sebagian tokoh/pemimpin terhadap pemerintah yang menunjukkan indikasi penyimpang dari komitmen awal untuk membangun tatanan masyarakat berkeadilan dan demokratis lebih baik ketimbang era sebelumnya.

Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Menurut Abidin (2004a), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara.

Banyaknya LSM yang bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM ini bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan.


(34)

Menurut Afiff (2007), isu yang sering diangkat oleh LSM ini diantaranya adalah tentang kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan. Masalah kepastian tenurial banyak dipersoalkan karena mayoritas dari kawasan kelola masyarakat seringkali tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan.

Program pengembangan masyarakat (community empowerment) yang dilakukan oleh LSM diantaranya adalah mengembangkan kapasitas dan keahlian komunitas yang secara signifikan dapat mengurangi tekanan pada sumberdaya hutan. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk mencapai pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya.

Tumbuhnya perhatian, pengakuan, dan dukungan dari para peneliti dan aktivis LSM terhadap pola-pola PHBM merupakan satu gejala positif. Paling tidak semua itu telah membuka wawasan dan harapan baru bagi terwujudnya sistem PHBM yang berkelanjutan di masa yang akan datang, yang akan mampu menggantikan pola pengelolaan yang sangat exploitatif selama ini (Lubis, 2000).

LSM juga dituntut untuk dapat mengembangkan inisiatif lokal dalam mempromosikan pemanfaatan dan penggunaan hutan secara berkelanjutan dan inisiatif lainnya untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan memberikan nilai tambah terhadap komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan. Pada saat yang sama inisiatif ini juga diharapkan menjaga pemanfaatan lestari dari sumberdaya hutan (Abidin, 2004b).

Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penyusunan proposal, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor.

Pertumbuhan LSM yang sangat pesat di Indonesia ini juga belum diikuti dengan terciptanya suatu ukuran keberhasilan yang jelas. Hal ini berbeda dengan organisasi privat yang mempunyai tolak ukur yang lebih jelas seperti keuntungan


(35)

finansial. Hal ini disebabkan karena LSM sebagai organisasi nirlaba seringkali menetapkan tujuan yang sangat jangka panjang yang tidak memungkinkan untuk dicapai dalam waktu yang singkat. Padahal kebutuhan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dan kinerja sama pentingnya antara organisasi nirlaba dan organisasi privat.

Secara umum, LSM yang ada saat ini juga cenderung memiliki citra negatif. LSM yang ada saat ini memiliki manajemen yang tertutup serta orientasi proyek. Alokasi penggunaan dana sering kali tidak tepat sasaran baik dikarenakan ketidakjelasan program kerja maupun ketiadaan koordinasi yang baik antar-LSM yang berada dalam satu wilayah (Abidin, 2004b).

Tantangan mengenai pentingnya akuntabilitas yang harus dihadapi LSM sesungguhnya tidak lepas dari tanggungjawabnya. Secara umum, tanggungjawab LSM dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, tanggung jawab organisasional, termasuk diantaranya transparansi dalam pembuatan keputusan dan keuangan, efisiensi dan efektivitas dalam bekerja serta penghormatan terhadap hukum hak asasi manusia dalam setiap kegiatan dan tindakan LSM. Kedua, tanggung jawab untuk melaksanakan apa yang tercantum dalam misi organisasi seperti melindungi hak-hak kaum miskin dan tertindas, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan hidup, dan sebagainya. Ketiga, tanggung jawab terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang dipengaruhi atau terlibat dalam aktivitas LSM.

Secara umum, banyak LSM yang belum mempunyai sistem penilaian kinerja yang sifatnya menyeluruh. LSM biasanya hanya melakukan evaluasi terhadap audit keuangan beserta aktifitasnya berdasarkan proyek yang telah dilaksanakan. Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) melalui program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia (Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest/SGP PTF) di Indonesia pada periode 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah


(36)

pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Untuk itu, penelitian ini akan melakukan analisis penilaian kinerja yang menyeluruh terhadap beberapa LSM dalam program pengembangan PHBM yang menjadi mitra SGP PTF UNDP.

1.2. Rumusan Masalah

Kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan, mendorong terjadinya perubahan paradigma dari state-based forest management (pengelolaan hutan berbasis negara) ke paradigma PHBM. Dalam pelaksanaan PHBM ini, masyarakat mengalami kendala. LSM sebagai lembaga pendorong dan agen perubahan berupaya membantu masyarakat menuju tujuan PHBM lestari dan masyarakat sejahtera. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka rumusan masalah pertama adalah bagaimana peran LSM dalam program PHBM?

Program yang dilakukan LSM mempunyai keragaman metode, pendekatan, dan sebaran yang berbeda-beda. Pendampingan ini juga bersentuhan dengan pemerintah dan piha-pihak lainnya. Terkait dengan kondisi tersebut, maka rumusan masalah kedua adalah bagaimana strategi peningkatan peran LSM dalam program PHBM di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. 2. Merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program


(37)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi LSM Kehutanan, hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan kinerjanya dalam program pengembangan masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu instrumen untuk memantau dan mengukur pencapaian kinerja LSM sesuai dengan pencapaian visi dan misinya

2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan masukan dalam mengukur dan merumuskan strategi pengorganisasian, penataan, dan konsolidasi, khususnya pada LSM-LSM yang saat ini ada dan akan semakin berkembang ke depan guna mendukung tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk menyusunan kebijakan bagi tercapainya kemitraan antar stakeholders, khususnya dengan LSM Kehutanan.

3. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi kajian pengembangan pengetahuan tentang LSM dan pengembangan masyarakat

4. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan wahana sekaligus sarana dalam mempraktekkan pengetahuan Manajemen Pembangunan Daerah yang ditekuni.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada tingkat organisasi pelaksana LSM-LSM Kehutanan di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi dalam rangka pencapaian kinerja LSM Kehutanan yang optimal di masa yang akan datang.

Pemilihan responden terpilih ini didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah:

1. Pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan;

2. Mengangkat isu hutan berbasis masyarakat dan pengembangan masyarakat sebagai fokus programnya;


(38)

3. Isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas; dan 4. Wilayah kerjanya berada di hutan negara dan/atau hutan milik.


(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Karakteristik LSM

Istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non-govermental organization (NGO) atau Ornop. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai antipemerintah, sesuatu yang tidak disukai rezim Orde Baru pada waktu itu. Istilah LSM menunjuk pada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-goverment) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit).

Menurut Eldridge (2006), terdapat tiga model pendekatan yang dilakukan oleh Ornop Indonesia dalam rangka menjali hubungan dengan pemerintah. Pertama, high-level partnership: grassroots development. Ornop ini menekankan kerjasama dalam program-program pembangunan pemerintah seraya berusaha memperngaruhi rancangan maupun implementasi program-program ini agar bergerak ke arahyang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar rumput. Kedua, high level politics: grassroots mobilization. Ornop ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegaitan politik. Ketiga, empowerment at the grassroots. Ornop yang memusatkan perhatian pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput.

Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, maka Ornop dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) Ornopyang terlibat dalam kegiatan amal (charity), (2) Ornop yang bergerak dalam bidang kegiatan yang berorientasi pada perubahan dan pembangunan serta pengembangan masyarakat, (3) Ornop yang tidak hanya bergerak dalam pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi).

Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata (2003) mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat


(40)

permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu

Lebih lanjut menurut Fakih (1996), Ornop dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: (1) Tipe konformis. Ornop ini bekerja berdasarkan paradigma bantuan karikatif yang berorientasi pada proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada; (2) Tipe reformis. Ornop ini bekerja didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalism serta menekankan pada partisipasi rakyat dalam pembangunan; (3) Tipe transformatif. Ornop ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya.

Wirasapoetra (2004) menjelaskan bahwa ada beberapa pendorong tumbuhnya LSM di Kalimantan Timur berdasarkan pengamatan selama 20 tahun terakhir ini. Pertama, LSM yang tumbuh atas dasar kepedualian terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang memperoleh perlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Kedua, LSM yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap kondisi masyarakat dan alam, atau sebagai tindak lanjut dari program terdahulu yang menghasilkan ikatan kerjasama antar pesertanya. Ketiga, LSM yang tumbuh atas dasar hasil kolaborasi beberapa LSM untuk menangani masalah secara spesifik.

Studi yang dilakukan oleh Rochman (2002) menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR


(41)

dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi-koalisi.

Karakteristik LSM yang beragam ini juga diikuti dengan beragamnya pola dan metodologi pendampingan, isu-isu yang diangkat dan dikembangkan serta sebaran program yang dijalankan. Keberagaman ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan di masing-masing wilayah.

2.1.2. Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia

Tradisi untuk membangun organisasi masyarakat untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat dimulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. Tradisi ini menguat pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat (Korten, 1993).

Menurut Malik (2004) di Indonesia, kelahiran dari beberapa organisasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat atau populer disebut LSM pada tahun 1970-an dilihat dari krisis yang terjadi pada negara Indonesia, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik, kekerasan oleh negara, pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran LSM Internasional.

Pada tahun 1970-an, pembangunan di Indonesia terus melaju dengan cepat, dan dampak positifnya perkembangan ekonomi pun meningkat. Namun, pembangunan ternyata juga menimbulkan dampak negatif, terutama meningkatnya kemiskinan, represi terhadap hak-hak asasi manusi, dan perusakan lingkungan hidup. Upaya untuk menanggulangi dampak negatif kemudian melahirkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang semula dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Ornop (SMERU, 2002). Istilah Ornop adalah terjemahan dari Non-Governmental Organization atau NGO


(42)

Sejak tahun 1990-an, perkembangan LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia (SMERU, 2000). Namun Malik (2004) mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500.

Menurut Ibrahim (2004), jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang sangat parah, yang kemudian diikuti dengan proses transisi menuju demokrasi telah membawa perubahan-perubahan antara lain berupa pertumbuhan yang sangat lura biasa dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu.

Berdasarkan Halim (2000), menjamurnya LSM merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah dalam konteks ini, bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis dan dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara (pemerintah) terhadap pemenuhan kebutuhan esensial komunitas rakyat.

Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untk dicermati. Menurut Abidin (2004), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara.

Melalui organisasi yang didirikannya, salah satunya berbentuk LSM, masyarakat mampu tampil sebagai elemen di luar struktur formal kenegaraan yang turut menjadi pihak yang melakukan kontrol terhadap proses kebijakan publik. Selain itu organisasi juga berperan sebagai lembaga non-partisan yang memiliki peluang untuk menjadi kelompok penengah.


(43)

Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan perilaku miring sebagian LSM telah menodai reputasi lembaga nirlaba lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi lembaga nirlaba yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya.

Dengan diberlakukannya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai tanggal 6 Agustus 2002 maka diharapkan dalam jangka panjang akan berdampak kepada pengelolaan sektor nirlaba yang didasarkan kepada prinsip-prinsip good governance. Meskipun UU ini belum diimplementasikan secara penuh, namun UU ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap governance sektor nirlaba di Indonesia, termasuk LSM. Hal ini mengingat bahwa, menurut Ibrahim (2004) lebih dari 95% LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan dan sedikit sekali yang mempunyai badan hukum perkumpulan.

Sayangnya, pemberlakuan UU ini tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri. Penolakan ini terjadi karena sebagian besar aktivis LSM menilai UU ini telah menempatkan LSM dalam posisi canggung, ketat dan intervensif, kurang cocok dengan peran dan fungsi ideal LSM. Menurut Abidin (2004), UU ini juga dinilai bisa membuhun ribuan yayasan kecil yang berada di daerah-daerah, yang secara riil memang melakukan kegiatan penyantunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan keluarnya UU tersebut, disamping menghadapi persoalan tentang citra dan jati dirinya sendiri, LSM saat ini juga menghadapi dilema status hukum yang berimplikasi pada hubungannya dengan negara.

Menyikapi berbagai fenomena diatas, beberapa aktivis LSM berpendapat bahwa persoalan akuntabilitas dan transparansi sudah selayaknya diangkat menjadi agenda bersama dan urgent untuk diperbincangkan. Fenomena-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaganya dan LSM secara umum. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mengatasi persoalan tersebut. Karenanya, beberapa LSM dan jaringan LSM tengah mencoba menggagas program dan kajian yang bertujuan mengningkatkan internal governance LSM dan meningkatkan kredibilitas di kalangan konstituen


(44)

di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism.

Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia.

2.1.3. Strategi Penggalangan Dana

Saat ini banyak LSM di Indonesia yang pendanaannya masih bergantung pada pihak asing. LSM tersebut sangat sulit melepaskan diri dari bantuan lembaga donor. Ketergantungan LSM pada pihak asing tersebut tidak baik jika berlangsung secara terus-menerus dan permanen. Ketergantungan ini tidak hanya dapat mengubah style LSM, akan tetapi, juga bisa mengubah paradigma dan orientasi, bahkan mungkin juga ideologi perjuangan LSM.

Penelitian yang dilakukan oleh Rustam Ibrahim (2000) pada 25 Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil (OSMS) menemukan bahwa mayoritas lembaga nirlaba masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65%, dan sumber dalam negeri 35%. Secara lebih rinci, sumber dalam negeri ini terutama adalah hasil usaha sendiri (33%), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masing-masing 17%), donasi individu menyumbang 14%, sisanya dalam jumlah yang kecil bersumber dari pemerintah (5%), sumbangan ornop (3%), dan sumber lainnya (11%).

Lembaga nirlaba yang beruntung, akan mendapatkan dana dalam jumlah besar selama bertahun-tahun dari satu atau dua sumber dana, dapat terlena seolah-olah dana akan tersedia terus menerus. Akibatnya, ketika sumber dana utama menghentikan bantuan maka lembaga ini dapat secara tiba-tiba dalam kondisi kritis karena tidak menyiapkan kondisi finansial yang lebih mapan. Sumber dana yang tidak bervariasi dapat menjerumuskan lembaga nirlaba (Widjajanti, 2006)

Sebagai contoh, betapa kini YLBHI mengalami kesulitan pendanaan yang luar biasa setelah enam tahun bergantung pada pihak asing. Sejak 1994 YLBHI


(45)

mendapat bantuan dana dari luar negeri, khususnya dari Belanda (Novib), Belgia, dan Kanada. Bantuan itu digunakan untuk operasional YLBHI setiap bulan minimal Rp 900 juta untuk overhead dan operasionalisasi program. Setahun YLBHI membutuhkan dana lebih kurang Rp 10 Milyar. Kini setelah YLBHI tidak menerima bantuan terutama dari Novib, YLBHI kemudian mengalami kesulitan untuk membayar gaji para karyawan dan operasionalisasi program. Karena itu, mulai diupayakan penggalangan dana publik. Namun, ternyata tidak mudah menggalang dana publik, sebab publik pun pasti menuntut akuntabilitas dan transparansi pembukuan. Ironinya, LSM yang memposisikan diri untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan, namun selama ini tidak ada mekanisme kontrol publik atas pembukuan LSM itu sendiri (Kompas, 26 April 2007).

Menurut Abidin (2004), sebagian besar LSM yang beradvokasi menggalang dana (fundraising), khususnya dana lokal, adalah pekerjaan yang sulit. Sebagian kalangan aktivis LSM berpendapat bahwa penggalangan dana lokal mustahil dilakukan karena kapasitas menyumbang masyarakat terbilang kecil. Selain itu, mereka berpandangan bahwa masyarakat cenderung menyumbang program atau kegiatan yang bersifat karikatif atau penyantunan. Ini bisa dilihat dari melimpahnya dukungan pendanaan kepada lembaga yang bergerak dibidang pengentasan kemiskinan, penyantunan anak yatim piatu dan jompo, atau membantu korban bencana. Sementara lembaga sosial yang bergerak di bidang penegakan hukum dan HAM, penyelamatan lingkungan, advokasi kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, dan bidang-bidang advokasi lainnya kurang mendapatkan dukungan.

Mengingat minimnya dukungan pendanaan dari sumber daya lokal, LSM yang bergerak di bidang advokasi lebih suka menggalang dana dari lembaga donor internasional. Upaya ini dalam jangka pendek memang bisa menyelesaikan persoalan pendanaan yang dihadapi LSM. Namun, dalam jangka panjang pola pendanaan semacam ini juga akan menimbulkan masalah baru. Selain menciptakan ketergantungan, dana asing dinilai mematikan kreatifitas LSM, dan menjauhkan mereka dari konstituennya. Karena mudahnya mendapatkan dukungan dari lembaga donor, LSM lebih suka meminta dukungan kepada


(46)

lembaga donor ketimbang menggalangya dari masyarakat. Akibatnya, berbagai program dan agenda perubahan yang diusung oleh LSM tidak banyak didukung oleh publik dan dinilai sebagai agenda lembaga donor asing (Abidin, 2004).

Hal ini sejalan dengan Kuswardono (2004), yang mengatakan bahwa di sisi penerima dana, persoalan pendanaan adalah persoalan yang genting dan cenderung kronis. Dalam keberadaannya yang lebih dari 30 tahun, ornop-ornop di Indonesia, terutama golongan yang biasa disebut dengan LSM, amat bergantung pada dana negara-negara Utara.

Menurut Widjajanti (2006), strategi mobilisasi sumber daya sangat beragam. Ketersediaan sumber dana yang beragam memerlukan kreatifitas strategi untuk menggalangnya. Kreatifitas yang terhambat tidak akan menghantar lembaga ke berbagai sumber daya yang dapat diakses. Banyak lembaga nirlaba masih tergantung pada lembaga dana. Sumber lain kerap kali sulit dijangkau, memerlukan lebih banyak kerja keras, dan sering kali memberikan dalam jumlah dan waktu erbatas. Akibatnya lembaga dana masih menjadi sumber utama dari hidupnya lembaga nirlaba.

Gagasan untuk menciptakan dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak populer di kalangan aktivis LSM, namun isu ini masih menjadi perdebatan. Secara teknis banyak LSM yang tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial atau profit oriented. Namun dalam kenyataannya, beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara profesional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Sementara beberapa organisasi lain juga membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi profesional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga yang notabene nirlaba (Saidi, 2004a).

Hasil survei di sebelas kota dan studi kasus di 18 lembaga sosial yang dilakukan oleh PIRAC (Saidi, 2004b) menemukan bahwa LSM pada umumnya belum mendapatkan dukungan dana dari masyarakat umum. Ini nampaknya berkaitan dengan motif (98% responden menyatakan dilandasi agama), tetapi juga soal kepercayaan (trust), dengan angka responden yang menyatakannya mencapai 46%. Sebaliknya, alasan masyarakat menolak sumbangan, sekitar 51% berkaitan


(47)

dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang dana/fund raiser (34%), organisasinya (9%), maupun kegiatan/misi organisasi yang bersangkutan (8%).

Menurut Saidi (2004a), program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan. Pengelola lembaga harus mampu menyusun rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja. Selama ini tidak jarang dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik (Saidi, 2004a).

Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga akan dipertanyakan sehingga kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit.

2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia

Dalam pengembangan LSM menuju lembaga yang mandiri dalam memperjuangkan visi dan misi yang sudah menjadi komitmen dalam lembaga, sangat memerlukan pola pengembangan lembaga agar lembaga bisa tetap eksis. Eksistensi ini tidak serta merta berdiri sendiri, namun jalinan kerja sama maupun hubungan dengan lembaga lain, khususnya lembaga donor sangat diperlukan.


(48)

Hal ini sangat disadari bersama karena sebagian besar LSM yang ada di Indonesia masih banyak yang menggantungkan lembaganya pada lembaga donor, baik lembaga donor nasional maupun lembaga donor internasional.

Ada lima kategori lembaga donor asing yang memberikan bantuannya kepada LSM Indonesia. Pertama, donor bilateral, yaitu lembaga pemerintah-pemerintah lura negeri yang menyalurkan bantuannya kepada LSM baik melalui pemerintah Indonesia atau langsung kepada LSM bersangkutan. Kedua, yayasan-yayasan internasional. Ketiga, LSM-LSM internasional yang memperoleh dananya dari pemerintah atau publik di negaranya masing-masing kemudian melakukan aktivitas di Indonesia bekerja sama dengan LSM Indonesia. Keempat, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Indonesia, dan sebagainya yang memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia kemudian mengontrakkan kepada LSM untuk program pengembangan masyarakat. Kelima, lembaga-lembaga pembangunan internasional yang bernaung dibawah PBB seperti UNDP, UNICEF, dan lain-lain (Ibrahim, 2004).

Menurut Kuswardono (2004), terdapat tiga tipe donor internasional. Pertama organisasi donor sukarela yang memiliki karakter, (1) aktif memperjuangkan penghapusan kemiskinan struktural, (2) sebagai kontraktor pelayanan umum, (3) sebagai penyandang dana bagi organisasi-organisasi di negara Dunia Ketiga. Kedua, organisasi donor privat yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan atau kaum elit Utara yang memiliki semangat filantropi yang tinggi. Ketiga, organisasi donor atau agensi pemerintah untuk bantuan luar negeri. Organisasi ini memperoleh dana langsung dari pemerintah suatu negara untuk didistribusikan sebagai hibah kepada negara penerima demi kepentingan pembangunan.

Dalam Direktori Funding Agency (2006), Yapim mencatat terdapat 295 lembaga donor yang beroperasi di Asia, termasuk 90 lembaga donor yang berada di Indonesia. LP3ES (2001) mencatat terdapat sekitar 40 organisasi donor luar negeri beroperasi dan membiayai proyek-proyek di Indonesia, dan beberapa lainnya tidak langsung maupun tidak membiayai proyek dari luar Indonesia.


(49)

Menurut Sumarto (2003), tidak kurang dari 11 lembaga internasional penting yang memiliki program besar berkaitan dengan isu-isu partisipasi dan good governance di Indonesia. Selain World Bank (Bank Dunia) dan ADB, dapat disebtukan UNDP, USAID – termasuk di dalamnya CSSP, dan NRM-GTZ, CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, dan Tifa Foundation. Sedangkan ornop-ornop internasional yang memiliki program partisipasi dan good governance yang cukup penting di Indonesia saat ini adalah NDI, Pact, CARE, dan The Asia Foundation.

Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 milyar dolar AS yang diinvestasikan lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini (Kompas, 22 Februari 2007). Sementara setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 milyar dolar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial (Hadar, 2004).

Sejak tahun 1955, Asia Foundation juga telah bermitra dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Selama lebih dari lima dekade, Asia Foundation ikut berkontribusi menjawab kebutuhan Indonesia melalu serangkaian program seperti reformasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, serta dukungan pada masyarakat sipil yang kuat dan dinamis. Asia Foundation saat ini mengelola dana hibah dan bantuan teknis sebesar 60 juta dolar AS (The Asia Foundation, 2008).

Menurut GEF SGP (2007), distribusi dana dampingan untuk inisiatif masyarakat secara keseluruhan mencapai lebih dari 3,6 juta dolar AS untuk mendukung 221 proyek berbasis komunitas di seluruh Indonesia. Program ini juga memobilitasi dana pendamping sebesar 2,8 juta dolar AS, berupa kontribusi masyarakat dan kemitraan dengan donor lain. Dana hibah yang diberikan sebagai dukunag berkisar antara 2.000 hingga 50.000 dolar AS dengan masa program 2 – 24 bulan dengan rata-rata dana hibah 25.000 dolar AS per proyek. Program ini memproriritaskan kemitraan langsung dengan organisasi berbasis komunitas dan organisasi non pemerintah pendamping masyarakat.


(1)

B.

Bidang Khusus

I. ELEMEN VISI DAN MISI

1. Bagaimana orientasi kepentingan lembaga terhadap perumusan visi, misi, dan tujuan lembaga? a. untuk LSM dan anggotanya saja

b. untuk LSM dan kelompok dampingannya saja

c. untuk LSM, kelompok dampingan dan masyarakat luas (stakeholder)

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 2. Apakah fungsi Visi dan Misi lembaga telah sesuai dengan program pengembangan PHBM?

a. tidak sesuai

b. sudah sesuai tapi belum dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan program PHBM c. sudah sesuai dan sudah dijadikan acuan dalam pelaksanaan program PHBM

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 3. Apakah sejak berdirinya lembaga ini ada perubahan Visi dan Misi?

a. tidak ada b. ada rencana c. ada

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 4. Sudah berapa lama lembaga terlibat dalam program PHBM secara umum?

a. 1 - 3 tahun b. 3 – 5 tahun c. Lebih dari 5 tahun

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________

II. ELEMEN TATA LAKSANA

1. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan (misalnya, bila ada masalah penting dilapangan yang harus diselesaikan) dalam proyek SGPPTF?

a. belum ada aturan lembaga

b. sudah ada aturan lembaga tapi belum dilakukan secara konsisten c. sudah ada aturan lembaga dan dilakukan secara konsisten

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dan aksesibilitas laporan tahunan program dan keuangan untuk

proyek SGPPTF?

a. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan, namun belum berkala

b. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan secara berkala namun hanya untuk kalangan terbatas (misalnya, hanya untuk lembaga donor)

c. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan secara berkala untuk publik

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 3. Bagaimana kondisi ketersediaan ruang bagi lembaga dalam mempublikasikan pertanggungjawaban laporan

tahunan program dan keuangan proyek SGPPTF kepada publik? a. tidak tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik

b. tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik, namun belum dikelola baik

Petunjuk:

1. Berikan tanda (warna atau huruf tebal) pada jawaban yang paling tepat dan paling sesuai dengan

kondisi lembaga Bpk/Ibu/Sdr. Mohon memberikan alasan/keterangan pada jawaban yang dipilih. 2. Bila terdapat kondisi dimana jawaban berada diantara 2 pilihan (antara a dan b, atau b dan c), maka

mohon memberikan jawaban yang paling mendekati diantara kedua kondisi itu.

3. Mohon memberikan alasan/argumen untuk setiap jawaban, termasuk bila terjadi kondisi seperti yang

dijelaskan dalam point 2 diatas.


(2)

c. tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik dan dikelola dengan baik

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________

III. ELEMEN ADMINISTRASI

1. Apakah ada uraian tugas (job description) untuk setiap pelaksana yang menjalankan proyek SGPPTF? a. Tidak ada, namun sudah ada kesepakatan tidak tertulis

b. Ada, namun belum dijalankan secara konsisten c. Ada dan sudah dijalankan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 2. Apakah secara periodik lembaga melakukan rapat koordinasi dalam menjalankan proyek SGPPTF?

a. Ada rapat, namun tidak dilakukan secara periodik (insidental)

b. Ada rapat dan dilakukan secara periodik, namun hanya melibatkan pimpinan lembaga dan pelaksana proyek

c. Ada rapat, dilakukan secara periodik dengan melibatkan pimpinan dan staf

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 3. Apakah lembaga telah mendokumentasikan data-data seperti data internal, data program, data kegiatan, dan

data keuangan untuk proyek SGPPTF? a. Tidak didokumentasikan

b. Sudah didokumentasikan, namun belum dikelola dengan baik

c. Sudah didokumentasikan dan dikelola dengan baik serta digunakan sebagai bahan dalam perencanaan, analisis dan penyusunan laporan

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 4. Bagaimana publik mendapatkan kemudahan dalam mengakses data dan informasi hasil pelaksanaan proyek

SGPPTF?

a. Data dan informasi hanya untuk kalangan internal

b. Data dan informasi tersedia di lembaga dan dapat diakses oleh publik

c. Data dan informasi telah disebarluaskan kepada publik (misalnya melalui website)

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 5. Bila pelaksana proyek SGPPTF adalah orang baru, bagaimana sistem perekrutannya?

a. Tidak ada sistem perekrutan staf yang baku

b. Sudah ada sistem perekrutan staf yang baku namun belum dilakukan secara konsisten c. Sudah ada sistem perekrutan staf yang baku dan telah dilakukan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 6. Bagaimana lembaga menjalankan program pengembangan SDM bagi lembaga dan/atau pelaksana proyek

dalam proyek SGPPTF?

a. Tidak memiliki program pengembangan SDM

b. Sudah memiliki program pengembangan SDM namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah memiliki program pengembangan SDM dan telah diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 7. Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang sistem evaluasi kinerja pelaksana proyek SGPPTF?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________

IV. ELEMEN PROGRAM

1. Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang perencanaan atau desain program PHBM jangka panjang (minimal 3 tahun) yang sesuai dengan persoalan dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat?


(3)

a. Belum ada

b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 2. Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang bagaimana mengintegrasikan proyek SGPPTF dengan

program-program yang lain? a. Belum ada

b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 3. Sebelum adanya proyek SGPPTF, sudah berapa lama lembaga bersama masyarakat terlibat dalam program

PHBM pada lokasi proyek SGPPTF saat itu ? a. 1 - 3 tahun

b. 3 – 5 tahun c. Lebih dari 5 tahun

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 4. Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang perencanaan atau desain program PHBM jangka panjang

(minimal 3 tahun) yang disusun secara partisipatif dan dilaksanakan bersama masyarakat? a. Belum ada

b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 5. Apakah lembaga mendokumentasikan perencanaan dari proyek SGPPTF (misalnya hasil analisis sosial, dll)

yang disusun secara sistematis? a. Belum ada

b. Sudah ada namun belum didokumentasikan secara sistematis c. Sudah ada dan didokumentasikan secara sistematis

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 6. Bagaimana pelibatan masyarakat dalam menyusun proposal proyek SGPPTF?

a. Tidak dilibatkan

b. Sudah dilibatkan namun belum terlibat secara aktif c. Sudah dilibatkan dan sudah terlibat secara aktif

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 7. Apakah lembaga melakukan identifikasi dan akses terhadap sumber daya dan sumber dana (lainnya) yang

diperlukan terkait dengan pelaksanaan dan kelanjutan dari proyek SGPPTF? a. Belum ada identifikasi sumber daya dan sumber dana

b. Sudah ada identifikasi sumber daya dan sumber dana namun belum memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut

c. Sudah ada identifikasi sumber daya dan sumber dana dan sudah memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 8. Bagaimana kesesuaian perencanaan program dengan proses pelaksanaan program PHBM (misalnya

metodologi dan pendekatan yang digunakan lembaga) dan hasil yang dicapai dalam proyek SGPPTF? a. Tidak sesuai

b. Sudah sesuai namun belum mencapai hasil yang direncanakan c. Sudah sesuai dan hasilnya sudah sesuai dengan yang direncanakan

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 9. Apakah pelaksana proyek SGPPTF yang dilaksanakan oleh lembaga dilaksanakan oleh staf yang mempunyai

pengalaman dalam program PHBM? a. Belum memiliki pengalaman


(4)

b. Sudah pengalaman namun belum memperhatikan spesialisasi pelaksananya c. Sudah pengalaman dan sudah memperhatikan spesialisasi pelaksananya

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 10. Apakah proyek SGPPTF yang dilaksanakan memberikan manfaat?

a. Belum memberikan manfaat

b. Sudah memberikan manfaat kepada hutan dan masyarakat

c. Sudah memberikan manfaat kepada hutan, masyarakat, dan stakeholder (misalnya pemerintah) Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 11. Bagaimana pelibatan stakeholder lainnya (swasta, pemerintah, akademisi, dll) dalam pelaksanaan proyek

SGPPTF?

a. Tidak dilibatkan

b. Sudah dilibatkan namun belum terlibat secara aktif c. Sudah dilibatkan dan sudah terlibat secara aktif

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 12. Bagaimana dampak dari pelaksanaan proyek SGPPTF (setelah proyek ini selesai 1 tahun yang lalu)?

a. Belum berdampak

b. Sudah berdampak namun hanya kepada masyarakat dan hutan

c. Sudah berdampak kepada hutan, masyaraat dan seluruh stakeholder lainnya

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________

13. Apakah lembaga mempunyai mekanisme/alat bantu/instrumen monitoring dan evaluasi yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek SGPPTF?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan sudah diterapkan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 14. Bila ada hasil monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan proyek SGPPTF, bagaimana tindak lanjutnya?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum dapat digunakan untuk memperbaiki jalannya program c. Sudah ada dan sudah dapat digunakan untuk memperbaiki jalannya program

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 15. Apakah hasil evaluasi pelaksanaan proyek SGPPTF telah dijadikan sebagai bahan pelajaran (lesson learned)

bagi lembaga? a. Belum

b. Sudah ada namun belum menunjukkan lesson learned c. Sudah ada dan sudah menunjukkan lesson learned

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________

V. ELEMEN PENGELOLAAN KEUANGAN

1. Apakah lembaga mempunyai pendanaan untuk pelaksanaan program PHBM sebelum adanya proyek SGPPTF? a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum sesuai dengan harapan c. Sudah ada dan sudah sesuai dengan harapan

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 2. Apakah dalam melaksanakan proyek SGPPTF terdapat revisi anggaran yang diajukan ke lembaga donor?

a. Ada revisi namun tidak disetujui oleh lembaga donor b. Ada revisi dan disetujui oleh lembaga donor c. Tidak ada revisi dan sudah sesuai dengan proposal

Alasan/Keterangan: _______________________________________________________________ 3. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban keuangan lembaga dalam proyek SGPPTF?


(5)

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku c. Sudah ada dan sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________

4. Apakah lembaga mempunyai kebijakan dan strategi tentang rencana penggalangan sumber dana setelah proyek SGPPTF berakhir?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum masih terbatas pada satu sumber (donor) c. Sudah ada dari berbagai sumber (donor)

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 5. Apakah lembaga mempunyai sumber dana mandiri (iuran anggota, usaha komersial, atau dari masyarakat)?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum berkontribusi terhadap lembaga c. Sudah ada dan sudah berkontribusi terhadap lembaga

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________

VI. ELEMEN LEGITIMASI

1. Apakah lembaga mempunyai kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan program kepada publik?

a. Tidak ada

b. Sudah ada namun belum dilakukan secara konsisten c. Sudah ada dan sudah dilakukan secara konsisten

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 2. Bagaimana tingkat kepercayaan dan pengakuan masyarakat dampingan terhadap keberadaan lembaga Anda?

a. Belum sepenuhnya mendapat dukungan

b. Sudah mendapatkan dukungan namun belum sepenuhnya (hanya dalam bentuk tenaga atau dana atau barang)

c. Sudah mendapatkan dukungan sepenuhnya dalam bentuk tenaga, dana, dan barang

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 3. Bagaimana peran pemerintah dalam mendukung proyek SGPPTF?

a. Belum mendukung

b. Sudah mendapatkan dukungan dalam bentuk tenaga atau dana atau barang c. Sudah mendapatkan dukungan dalam bentuk tenaga, dana, barang, dan kebijakan

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 4. Bila pemerintah terlibat dalam proyek SGPTF, apa bentuk kerjasamanya?

a. Kerjasama dalam penyusunan peraturan pemerintah

b. Kerjasama untuk mendapatkan pengakuan terhadap sumberdaya hutan c. Kerjasama lainnya

Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ 5. Bentuk kerjasama seperti apa yang diharapkan lembaga terhadap pemerintah?

a. ... b. ... c. ...

Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________

C.

Saran dari Lembaga Anda

1. Bagaimana strategi lembaga untuk mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera? a. ...


(6)

d. ...

2. Untuk mewujudkan jawaban 1 diatas, siapa saja yang perlu dilibatkan dan bagaimana peran dari masing-masing pihat tersebut?

a. ... b. ... c. ...

__________________________________________________________________________________

Terima kasih banyak Bapak/Ibu/Sdr sekalian atas jawaban-jawaban yang diberikan. Jawaban yang diberikan akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terwujudnya cita-cita kita bersama, terciptanya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dan masyarakat sejahtera.

Sekali lagi terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. Selamat bekerja dan sukses selalu.

Salam hangat,