Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
PELAKSANAAN TUGAS LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT TERKAIT ADANYA SENGKETA-SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh: RAHMAD RIVAI
NIM: 110200138
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohiim,
Alhamdulillahi Robbil a’lamiin, Segala puji hanya bagi ALLAH. Kita memuji-NYA, meminta pertolongan kepada-NYA, dan meminta ampunan-NYA. Dan kita berlindung kepada ALLAH dari keburukan diri-diri kita dan kejelekan amalan kita, barangsiapa yang ditunjuki oleh ALLAH maka tidak akan ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh ALLAH maka tidak akan ada yang mampu memberinya petunjuk. Shalawat beriring salam Penulis haturkan kepada junjungan umat, rahmat bagi sekalian alam, suri tauladan yang baik Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. “Ya ALLAH
curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya ALLAH, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau
Maha Terpuji lagi Maha Mulia”.
Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memproleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Adapu judul yang Penulis kemukakan “PELAKSANAAN TUGAS LEMBAGA PERLINDUNGAN
KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT TERKAIT ADANYA
SENGKETA-SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG
(3)
Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, khususnya bagi Penulis sendiri. Walaupun Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebaik-baiknya kepada:
Terkhusus kepada Ibunda Nur Azmi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas do’a dan ridho mama serta nasehat dan motifasi yang tak putus-putus diberikan kepada penulis. Dan kasih sayang mama terhadap penulis yang sungguh tak terhingga dan tak akan pernah dapat terbalas, dalam kepenatan dan kesusahan tak henti-hentinya mama berusaha menghantarkan penulis kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pengorbanan yang luar biasa dari seorang Mama yang luar biasa. Sungguh penulis sangat menyayangi mama serta ingin mengurangi beban mama, itu lah cita-cita penulis yang ingin sekali segera penulis wujudkan.
Untuk ayahanda, Tamzil, terima kasih banyak atas segala pengorbanan yang telah ayahanda berikan ketika ayahanda masih hidup, semoga pengorbanan tersebut berbuah pahala disisi ALLAH, dan ananda akan selalu mendoakan ayah agar kita bisa berkumpul lagi nanti di surga-NYA yang tinggi. Aamiin ya robbal
‘alamiin.
Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O.K. Saiddin, S.H., M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Azwar Mahyuzar, S.H, selaku Dosen Wali Penulis selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu, dan memberi petunjuk serta bimbingan sehingga skripsi ini akhirnya dapat selesai.
7. Ibu Windha, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang selalu membantu, membimbing Penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
8. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kepada seluruh Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10.Teman-teman stambuk 2011 yang telah berjuang bersama-sama
11.Seluruh Bapak dan Ibu Dosen sebagai tenaga pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia member ilmu dan pandangan hidup kepada Penulis selama Penulis menempuh ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(5)
12.Tak lupa pula kepada seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut membantu dan member kemudahan kepada Penulis. 13.Seluruh rekan-rekan stambuk 2011, terutama kepada teman-teman di BTM
Aladdinsyah SH.
Juga kepada seluruh pihak-pihak yang turut membantu penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat, dan memberikan kontribusi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Medan, Mei 2015 Penulis
(6)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Abstrak
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Keaslian Penelitian ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 9
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen di Indonesia ... 17
B. Keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ... 32
C. Fungsi dan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ... 44
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Batasan Sengketa Konsumen ... 51
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 57
C. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 69 BAB IV PELAKSANAAN TUGAS LEMBAGA
PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT TERKAIT ADANYA SENGKETA
(7)
KONSUMEN
A. Bentuk Sengketa Konsumen yang Ditangani Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat ... 77 B. Upaya yang Dilakukan dalam Pelaksanaan Tugas
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa Konsumen ... 83 C. Hambatan dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 94 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 99 B. Saran ... 101 Daftar Pustaka ... 104
(8)
ABSTRAK
Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Rahmad Rivai* T. Keizerina Devi Azwar**
Windha ***
Di era globalisasi seperti saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan/atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia, apabila tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa yang diinginkan, maka konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, yang mengakibatkan terjadinya sengketa konsumen. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimanakah keberadaan LPKSM dalam perlindungan konsumen di Indonesia, bagaimanakah penyelesaian sengketa konsumen, dan bagaimanakah pelaksanaan tugas LPKSM terkait adanya sengketa-sengketa konsumen menurut Undang-Undang 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta melaksanakan wawancara dengan ketua Lembaga Konsumen Indonesia Medan - Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini menunjukan pentingnya keberadaan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat di dalam masyarakat dimana lembaga ini memiliki tempat yang strategis dan dekat kepada masyarakat juga dalam membantu konsumen, untuk menyelesaikan Penyelesaian sengketa konsumen yang di atur oleh UUPK mengenal 2 cara penyelesaian sengketa konsumen yaitu secara litigasi dan non litigasi, dalam pelaksanaan tugas LPKSM terkait dengan adanya sengketa konsumen, LPKSM melakukan pembinaan kepada masyarakat, pengawasan yang dilakukan bersama pemerintah, melakukan pendidikan konsumen,dan melakukan konsultasi kepada konsumen
Kata kunci: Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Sengketa Konsumen.
(9)
ABSTRAK
Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Rahmad Rivai* T. Keizerina Devi Azwar**
Windha ***
Di era globalisasi seperti saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan/atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia, apabila tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa yang diinginkan, maka konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, yang mengakibatkan terjadinya sengketa konsumen. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimanakah keberadaan LPKSM dalam perlindungan konsumen di Indonesia, bagaimanakah penyelesaian sengketa konsumen, dan bagaimanakah pelaksanaan tugas LPKSM terkait adanya sengketa-sengketa konsumen menurut Undang-Undang 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta melaksanakan wawancara dengan ketua Lembaga Konsumen Indonesia Medan - Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini menunjukan pentingnya keberadaan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat di dalam masyarakat dimana lembaga ini memiliki tempat yang strategis dan dekat kepada masyarakat juga dalam membantu konsumen, untuk menyelesaikan Penyelesaian sengketa konsumen yang di atur oleh UUPK mengenal 2 cara penyelesaian sengketa konsumen yaitu secara litigasi dan non litigasi, dalam pelaksanaan tugas LPKSM terkait dengan adanya sengketa konsumen, LPKSM melakukan pembinaan kepada masyarakat, pengawasan yang dilakukan bersama pemerintah, melakukan pendidikan konsumen,dan melakukan konsultasi kepada konsumen
Kata kunci: Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Sengketa Konsumen.
(10)
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), telah ada peraturan-peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen. Seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di
1 Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(11)
Daerah, Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Ketenaga Listrikan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), dengan demikian walaupun setelah lahirnya UUPK masih terbuka kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan yang membuat ketentuaan yang melindungi konsumen, dimana hal ini semua sangat menguntungkan bagi pihak konsumen.2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak-hak konsumen dan hak-hak pelaku usaha di samping mengatur mengenai kewajiban konsumen dan pelaku usaha, sehingga masing-masing pihak terlindungi secara hukum. Walaupun UUPK sudah ada, tetapi masih banyak juga pelaku usaha yang nekad mengelabui konsumen, seperti menjual ayam tiren, atau makanan yang dicampur dengan bahan kimia yang membahayakan. Dengan demikian, dalam hal konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat menuntut langsung kepada pelaku usaha.
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapatkan cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur,
2 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (Jakarta: Diadit Media,
(12)
3
mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.3
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen.4
Mengingat jumlah konsumen yang massif dan biasanya berekonomi lemah, pelaku usaha memiliki pengetahuan yang lebih tentang informasi produk yang dibuatnya. Mereka umumnya berada pada posisi yang kuat dari segi ekonomi dan tentunya posisi tawar (bargaining position). 5Demikian juga dengan perbedaan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha, jika ada keluhan terhadap produknya, pelaku usaha cenderung menggunakan penyelesaian tertutup.
3 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hlm. 1.
4 Ibid., hlm. 5.
5 Intan Nur Rahmawati & Rukiyah Lubis, Win-Win Solution Sengketa Konsumen
(13)
Sementara, konsumen berkepentingan agar penyelesaian dilakukan lewat saluran umum supaya tuntas.6
Oleh karena itu, UUPK dimaksud menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintahan dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya disebut LPKSM), untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalu pembinaan dan pendidikan konsumen.7 UUPK secara khusus mengatur permasalahan konsumen dan memberi wadah bagi aspirasi dan advokasi yang akan dilakukan konsumen jika terjadi tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh produsen. Harapan terhadap UUPK jelas sangat besar. Walaupun belum sempurna, akan tetapi adanya undang-undang ini merupakan suatu langkah maju dalam rangka menciptakan kegiatan usaha yang sehat di Indonesia pada umumnya, dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen pada khususnya.8
Tidak jarang dalam transaksi ekonomi yang terjadi terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa dan ketidakpuasan konsumen akibat produk yang di konsumsinya tidak memenuhi kualitas standar bahkan tidak jarang produk pangan tersebut juga membahayakan bagi konsumen. Akibatnya masyarakat sebagai konsumen sangat dirugikan bahkan dapat mengancam kesehatan dalam jangka panjang. Karenanya, adanya jaminan kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan produk pangan yang diperolehnya di pasar menjadi urgen. Dalam praktik sering ditemukan pelaku usaha yang sengaja memanipulasi informasi atau memberikan informasi secara tidak lengkap sehingga
6 Ibid., hlm. 3.
7 Az. Nasution, Op.Cit., hlm. 294.
8 Abdi Darwis, “Hak Konsumen untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum dalam
Industri Perumahan di Kota Tangerang,” (Tesis, Magister Kenotariatan, Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2010 ), hlm. 7
(14)
5
membahayakan dan merugikan konsumen. David Harland dalam pendapatnya mensinyalir bahwa kapasitas barang dan jasa dapat saja merugikan atau membunuh konsumen yang disebabkan hanya karena adanya informasi yang kurang lengkap untuk membantu mereka mengenal, apakah barang dan jasa itu telah memenuhi syarat keamanan.9 Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh semua pihak, baik pelaku ekonomi/pelaku usaha, maupun konsumen sendiri, adalah seberapa efektif UUPK ini dalam pelaksanaannya; Apakah konsumen sudah mampu meletakkan posisi yang sejajar dalam interaksi dengan pelaku ekonomi/pelaku.
Oleh karena itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan dapat membuat surat pengaduan kepada LPKSM. LPKSM ini dapat meminta pertanggungjawaban kepada pengusaha dan selanjutnya dapat juga membuat laporan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selanjutnya disebut BPSK, untuk dapat diadili atas persetujuan yang bersangkutan. Disinilah peranan LPKSM dan BPSK jelas terlihat. LPKSM selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam bab VIII UUPK, pemerintah dalam bab IX, Pasal 44 memungkinkan dibentuknya LPKSM. LPKSM tersebut diberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.10
Meskipun tidak banyak diatur dalam UUPK mengenai LPKSM , namun mengingat akan posisi strategis LPKSM tersebut dalam keanggotaan Badan
9 Chandra Dewi Puspitasari, “Peningkatan Kesadaran Hak-Hak Konsumen Produk
Pangan Sebagai Upaya Mewujudkan Kemandirian Konsumen,”
http://eprints.uny.ac.id/2622/1/PERLINDUNGAN_KONSUMEN-DIPA.pdf (diakses pada tanggal 3 April 2015).
10 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta:
(15)
Perlindungan konsumen Nasional (BPKN), dan kepentingan dasar konsumen akan organisasi yang akan melindungi hak-haknya, maka suatu Peraturan Pemerintah yang nantinya akan dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 44 ayat (4) UUPK menjadi sangat penting artinya. Peraturan Pemerintah tersebut akan menjadi dasar dari pembentukan LPKSM, karena menurut Pasal 44 ayat (1) UUPK, hanya LPKSM yang memenuhi syaratlah yang diakui oleh pemerintah.11 Berkembangannya LPKSM sangatlah penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.12 Peranan lembaga konsumen tersebut dalam memfasilitasi konsumen memperoleh keadilan menjadi pertanyaan dasar saat Kongres konsumen Sedunia yang dilakukan Santiago.13
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sangat diperlukan pada era globalisasi saat ini, hal ini dikarenakan terjadinya persaingan dalam merebut konsumen dengan berbagai cara yang mengabaikan kualitas produk yang diberikan baik itu barang atau pun jasa. Pada Tahun 2001 pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan segala hal mengenai LPKSM.14
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan judul :“Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen
11 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm. 123.
12 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 217.
13 Sudaryatno, Hukum dan Advokasi Konsumen (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm . 81.
14 Ahmad Zazili, “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang pada Transportasi Udara
(16)
7
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen”
B.Rumusan Masalah
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintahan yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Namun seiring dengan adanya pengaduan sengketa konsumen yang diterima oleh LPKSM masih menghadapi kendala-kendala dalam pengimplementasian UUPK terkait dengan tugas LPKSM. Maka berdasarkan uraian diatas dan juga latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas dan diteliti adalah:
1. Bagaimanakah keberadaan LPKSM dalam perlindungan konsumen di Indonesia ?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa konsumen ?
3. Bagaimanakah pelaksanaan tugas LPKSM terkait adanya sengketa-sengketa konsumen menurut Undang-Undang 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan LPKSM dalam perlindungan konsumen di Indonesia.
(17)
3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas LPKSM terkait adanya sengketa-sengketa konsumen menurut Undang-Undang 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Hasil penulisan ini diharapkan akan memberi sumbangan pengetahuan dalam hukum konsumen, khususnya mengenai LPKSM.
2. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi para pelaku usaha maupun konsumen mengenai mengenai mekanisme hukum di LPKSM.
3. Memberikan pemahaman baru bagi konsumen selaku pihak yang dirugikan, bahwa LPKSM merupakan salah satu lembaga yang dibentuk untuk upaya perlindungan konsumen.
4. Memberikan kajian akademis yang lebih objektif, jelas, tegas dan terperinci kepada para pihak yang berkecimpung dalam LPKSM.
5. Secara praktis penenelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan.
D.Keaslian Penelitian
Penulisan ini telah diperoleh dari literatur perpustakaan, informasi dan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari media massa baik media cetak maupun media elektronik yang pada akhirnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Maka, keaslian penulisan dalam menjamin adanya. Meskipun dalam tulisan ini terdapat pendapat dan kutipan-kutipan dari berbagai sumber, hal ini semata-mata adalah sebagai bahan penunjang dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan penulisan penelitian ini
(18)
9
Skripsi ini berjudul “Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa konsumen Menurut UU 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
E.Tinjauan Pustaka
1. Pengertian perlindungan konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen pada Pasal 1 angka 1, undang-undang tersebut menyebutkan bahwa.15 Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui Undang-Undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dari latar belakang dan defenisi tersebut muncul kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang kurang lebih bisa dijabarkan sebagai berikut :
15 Republik Indonesia, Undan-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(19)
a. Kesederahatan antara konsumen dan pelaku usaha. b. Konsumen mempunyai hak.
c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban.
d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembagunan nasional.
e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat. f. Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.
g. Pemerintahan perlu berperan aktif. h. Masyarakat juga perlu berperan serta.
i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang.
j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. 2. Pengertian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Pengertian LPKSM dalam UUPK, yang dimaksud dengan konsumen pada Pasal 1 angka 9, yaitu LPKSM adalah lembaga non-pemerintahan yang terdaftar dan diakui oleh pemerintahan yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.16
3. Pengertian sengketa konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata
“sengketa konsumen”. Dijumpai pada beberapa bagian UUPK yaitu :17
16 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 9.
17 Yusuf Shoufie, Penyelesian Sengketa Konsumen menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum (Jakarta: Citra aditya bakti, 2003), hlm. 12-13.
(20)
11
a. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi adminitrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 1 angka 11 UUPK) jo. bab XI UUPK.
b. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat dalam bab X penyelesian sengketa. Pada bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu: Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK.
Untuk memahami pengertian “sengketa konsumen” dalam kerangka
UUPK dengan menggunakan metode penafsiran. Pertama batasan konsumen dan pelaku konsumen menurut UUPK berikut dikutip batasan keduanya:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.18”
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan perseorangan atau badan
hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dala berbagai bidang ekonomi. 19”
F. Metode Penelitian
18 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 2.
19 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(21)
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan tugas LPKSM terkait dengan adanya sengketa-sengketa konsumen. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis.
Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.20
2. Data penelitian
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.21 Data
penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekundar, serta bahan hukum tersier.22 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.
a. Bahan hukum primer
Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Republik
20 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm.15
21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm.172
(22)
13
Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang sengketa konsumen dan LPKSM seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan diatas.
c. Bahan hukum tersier
Semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.
Menurut M. Nazil dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
(23)
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.23
4. Analisa data
Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya.24 Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.
Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.25 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.26 Penarikan kesimpulan terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun induktif, sehingga akan dapat merangkum jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.27
G.Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,
23 M. Nazil, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 111 24 Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 69.
25 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hlm. 11.
26 Ibid., hlm. 10.
27 Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah)
(24)
15
manfaat penulisan, keaslian judul, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II KEBERADAAN Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Bab ini dibahas tinjauan mengenai perlindungan konsumen di indonesia, sejarah perlindungan konsumen di Indonesia, hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, proses dan tata cara pendaftaran LPKSM , status dan kedudukan LPKSM , serta fungsi dan tugas LPKSM
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Bab ini akan membahas tentang pengertian sengketa konsumen, pemahaman sengketa konsumen, penyelesaian sengketa konsumen, secara litigasi dan non-litigasi serta peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
BAB IV PELAKSANAAN TUGAS LPKSM TERKAIT ADANYA SENGKETA-SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab ini membahas tentang sengketa yang dihadapi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, upaya yang dilakukan oleh LPKSM terkait adanya sengketa yang dihadapi, serta hambatan yang terjadi didalam penyelesian sengketa konsumen
(25)
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran, yaitu sebagai bab yang berisikan kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas terhadap permasalahan tersebut.
(26)
17
BAB II
KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT DI INDONESIA
A.Perlindungan Konsumen Di Indonesia
1. Sejarah hukum perlindungan konsumen
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya, baik dari segi fisik maupun rohani. Kebutuhan yang ada tersebut dapat dibagi ke dalam 3 tingkatan, yakni kebutuhan primer yang sifatnya boleh dikatakan urgen, kebutuhan sekunder, dan terakhir adalah kebutuhan tersier. Namun bagaimanapun, seperti dalam teori ekonomi pada umumnya, sudah jelas dinyatakan bahwa kebutuhan tersebut tidak akan mungkin untuk terpenuhi seluruhnya, karena benda dan/atau jasa yang ada jumlahnya terbatas sedangkan sifat manusia sendiri tidak akan pernah merasa puas. Seperti dikatakan oleh Winardi,28 bahwa apabila semua
benda-benda/alat-alat yang dibutuhkan manusia terdapat dalam jumlah yang berlimpah ruah, seperti umpamanya udara, maka tidak akan ada lagi kebutuhan akan ilmu ekonomi ataupun ahli-ahli ekonomi.
Selain daripada, di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas tersebut, manusia tetap menginginkan segalanya berjalan dengan baik dan tertib. Namun demikian, tetap haruslah disadari bahwa kebutuhan setiap orang berbeda-beda yang tentunya berpotensi untuk menimbulkan benturan satu dengan lainnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dibuat suatu aturan bersama
(27)
yang akan menjadi pedoman yang harus ditaati untuk meminimalkan potensi benturan tadi.29
Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan "diversifikasi" produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan kepada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.30
Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, di sisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana seringkali konsumen berada pada posisi yang lemah, dan pelaku usaha berada pada posisi yang menguntungkan.31
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
29 Janus sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi (Medan: Penerbit Bina Media, 2000),
hlm. 30.
30 Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 11. 31 Ibid., hlm. 12.
(28)
19
distribusi produk barang dan jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji.32 Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan standar yang merugikan konsumen.33
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu.34 Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan, pada konsumen yang menyebabkan konsumen tidak memiliki kedudukan yang "aman". 35 Padahal jika dilihat dari kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha kedudukan mereka berada dalam posisi yang seimbang.
Hal tersebut ternyata bukanlah gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda konsumen di seluruh dunia. Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan salah satu cabang baru ilmu hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen atau yang kadang kala dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law).36 Sebenarnya hukum konsumen dan
32 Sri rezeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era
Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: CV. Mandar Madju, 2000), hlm. 32.
33 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Loc.Cit.
34 Zumrotin K.Susilo, Penyambung Lidah Konsumen (Jakarta: Puspa Swara, 1996) hlm.
11.
35 Sri rezeki Hartono, Op.Cit., hlm. 33. 36 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Loc.Cit.
(29)
hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan dibuat batasannya.37
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan perlindungan konsumen (consumers movement).38 Perhatian terhadap
perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (era 1960-an - 1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum.39 Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19, dimana pada Tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya di New York, dan menyusul pada Tahun 1898 di bentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer 's League) yang pada kelanjutannya semakin berkembang pesat meliputi 20 negara bagian.40
Di Tahun 1938, sesuai dengan tuntutan keadaan amandemen terhadap The Food and Drugs Act yang melahirkan The Food, Drugs and Cosmetics Act. Pada era 1960-an, sejarah gerakan perlindungan konsumen mengalami perubahan penting ditandai pada saat Presiden AS, John F. Kennedy menyampaikan pidato kenegaraan berjudul "A Special Message of Protection the Consumer Interest" di hadapan Kongres Amerika Serikat dimana dikemukakan 4 (empat) hak konsumen (dikenal juga sebagai consumer hill of rights)41 sebagai berikut: 42
a. The right to safety - to be protected against the marketing of goods that are hazardous to health or life.
37 Az.Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1995), hlm. 64-65.
38 Shindarta, Loc.Cit. 39 Ibid., hlm. 35.
40 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 12-13.
41 Ahmadi Miru & Sutarman yodo, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta: PT Raja
Grafindo persada, 2004), hlm. 39.
(30)
21
b. The right to be Informed - to be protected against fraudulent, deceitful, or grossly, misleading information, advertising, labeling, and other practices, and to be given the facts needed to make informed choices.
c. The right to choose - to be assured wherever possible, access to a variety of products and services at competitive prices. And in those industries in which competition is not workable and government regulation is substitued there should be assurance of satisfactory quality and services at fair prices.
d. The right to ke heard - to be assured that eonsumcr intercsts will receivet full and sympatketic considtration m tke formulation of govemment policy and fair and expeditious treatment m its odministrative tribunals.
Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1955 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:43
a. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.
d. Pendidikan konsumen.
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Pemikiran ke arah perlindungan konsumen dilatar belakangi oleh berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif industrialisasi yang
43 Muhammad Eggi H. Suzetta, “Pengetahuan Hukum Untuk Konsumen,”
(31)
menimbulkan banyak korban karena memakai atau mengonsumsi produk-produk industri.44
Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada Tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.45
Proses lahirnya suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 bab dan 65 Pasal membutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun. Sejarah pembentukannya dimulai dari:46
a. Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang masalah perlindungan konsumen, pada tanggal 15 – 16 Desember 1975.
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, penelitian tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek Tahun 1979-1980).
44 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 28.
45 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hlm. 15-16.
46 Az. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU Nomor 8
(32)
23
c. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (proyek Tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI), Perlindungan konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan UUPK, pada Tahun 1981.
e. Departemen Perdagangan RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, Tahun 1997; dan,
f. Dewan Perwakilan Rakyat RI, Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang UUPK, Desember 1998.
Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapat berbagai lokakarya, penyuluhan, seminar, di dalam dan luar negeri yang menelaah mengenai perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspek, serta berbagai kegiatan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh masyarakat kalangan pelaku usaha dan pemerintah yang dijalankan oleh YLKI. Pada akhirnya, dengan didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, semua kegiatan tersebut berujung pada disetujuinya UUPK oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku efektif satu Tahun kemudian.47
2. Pengertian konsumen
Para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van
(33)
goederen en diensten).48 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:
a. Konsumen dalam arti umum yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha.
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam undang-undang dan penelitian ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) UUPK disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
(34)
25
Ternyata pengertian konsumen dalam UUPK tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga (bystander) yang dirugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa. Dalam pengertian konsumen ini
adalah “syarat untuk tidak diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (intermediate consumer).49
3. Pengertian hukum perlindungan konsumen
Mengenai istilah, dalam berbagai literatur ditemukan dua istilah mengenai hukum yang membicarakan mengenai konsumen. Kedua istilah ini seringkali disama artikan, namun ada pula yang membedakannya dengan mengatakan bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.50 Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan kegunaan produk barang dan/atau jasa antara penyedia dan penggunanya dalam hubungan bermasyarakat.51 Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.52
4. Hak dan kewajiban konsumen
49 http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-171-babii.pdf (diakses 19 Mei 2015). 50 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk (Jakarta: Panta Rei, 2005 ), hlm. 30.
51 A.Z. Nasution. Op.Cit., hlm. 23. 52 Ibid.
(35)
Berdasarkan Pasal 4 UUPK, konsumen memiliki beberapa hak sebagai berikut :53
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Berbagai macam hak konsumen di atas, secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar yaitu: 54
53 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(36)
27
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan;
c. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.
Adapun kewajiban-kewajiban konsumen berdasarkan Pasal 5 UUPK adalah sebagai berikut:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
5. Hak dan kewajiban pelaku usaha
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur hak yang dimiliki oleh konsumen, akan tetapi juga hak-hak yang dimiliki oleh pelaku usaha sebagai berikut :55
a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
54 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 46-47.
55 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(37)
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari rumusan hak-hak pelaku usaha di atas, terlihat bahwa UUPK tidak hanya melindungi pihak konsumen saja. Hal tersebut dikarenakan banyaknya konsumen-konsumen nakal yang dapat merugikan pelaku usaha yang jujur dan beritikad baik. Maka dari itu dibentuklah UUPK yang menegakkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. Dengan perlindungan tersebut diharapkan pelaku usaha akan mampu untuk bersaing secara sehat dan jujur dalam memasarkan produknya.56
Selain hak-hak, UUPK juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus diemban oleh pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :57
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
56Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Konsiderans, Huruf f.
57 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(38)
29
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
6. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha secara detail. Semua diatur dalam bab 4 UUPK yang terdiri dari 10 Pasal , mulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Semua pengaturan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang
(39)
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.58
Apabila melihat pada rasio UUPK, maka akan terlihat jelas bahwa UUPK memang tidak hanya sekedar melindungi konsumen saja. UUPK juga pelaku usaha yang jujur dan beritikad baik. Adapun rasio UUPK yang dimaksud adalah sebagai berikut: 59
a. Meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
b. Menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.
Akan tetapi tetap pertimbangan utama pengaturan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha adalah dalam rangka melindungi kepentingan konsumen (yang beritikad baik) karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.60
Adapun larangan yang ada dalam Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha pabrikan atau distributor di Negara Republik Indonesia.61 Sementara itu, Pasal 9 sampai dengan Pasal 17 pada pokoknya berisi larangan bagi pelaku usaha dalam memasarkan produknya baik dalam mempromosikan maupun
58Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Penjelasan Umum, Paragraf 7
59 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Konsiderans, Huruf d.
60 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Penjelasan Umum, Paragraf 5-6.
(40)
31
mengiklankan barang dan/atau jasa yang dapat menyesatkan konsumen dan juga melanggar etika.62
Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi dalam dua larangan pokok sebagai berikut:63
a. Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan, dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar atau tidak akurat yang dapat menyesatkan konsumen.
Apabila terbukti terjadi pelanggaran atas larangan-larangan di atas, maka terhadap pelaku usaha yang bersangkutan dan/atau pengurusnya dapat dilakukan penuntutan pidana.64 Secara spesifik, sanksi atas pelanggaran sebagai berikut : 65
a. Pelaku usaha yang melangar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun atau
62 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab IV, Pasal 9-17.
63 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab IV, Pasal 8.
64Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab XIII, Pasal 61.
65 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
(41)
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
B.Keberadaan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam, macam produk barang, maka perlu keseriusan LPKSM perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.66 Problematika yang muncul dengan
kehadiran LPKSM adalah kelanjutan dari fungsi serupa yang selama ini telah dijalankan oleh lembaga-lembaga konsumen sebelum berlakunya UUPK. Ada pandangan kehadiran LPKSM merupakan bentuk intervensi negara terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dari kelompok masyarakat, namun di sisi lain, ia diperlukan untuk memberikan jaminan accountability lembaga-lembaga konsumen tersebut, sehingga kehadiran LPKSM ini betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh masih banyak produk tidak bermutu dan palsu yang beredar bebas di masyarakat, apalagi, masyarakat pedesaan yang belum memahami efek atau indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obat-obatan, dan masih banyak lagi. Ketidaktahuan masyarakat dapat memberi peluang pelaku usaha atau penjual untuk membodohi masyarakat dengan produk yang tidak memenuhi standar.67
66 Marianus Gaharpung, “Perlindungan Hukum konsumen korban atas tindakan pelaku
usaha,” Jurnal yustika, Volume III, No.1, Juli, 2000 hlm. 42.
(42)
33
Oleh karena itu, LPKSM dan cabangnya di daerah harus mengontrol dengan sungguh-sungguh kelayakan produk barang yang dipasarkan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang tertib niaga dan hukum perlindungan konsumen agar mereka tidak terjebak tindakan pelaku usaha yang hanya memprioritaskan keuntungan dengan mengorbankan masyarakat.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diharapkan sering melakukan sosialisasi melalui media massa agar masyarakat selektif serta hati-hati dalam membeli produk barang yang muncul di pasaran. Selain itu, unit pengaduan masyarakat perlu dibentuk sebagai sarana pengaduan masyarakat yang dirugikan dari produk barang yang digunakan. Hasil temuan LPKSM yang disampaikan masyarakat juga harus mendapat tindak lanjut dan penyelesaian secara tuntas. Diharapkan pula kehadiran LPKSM bukan justru berpihak kepada pelaku usaha atau penjual dengan mengorbankan konsumen.68
Berkaitan dengan implementasi perlindungan konsumen, UUPK mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana tertuang dalam Pasal 44, yakni sebagai berikut: 69
1. Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat.
2. LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3. Tugas LPKSM meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
68 Ibid., hlm. 121. 69 Ibid.
(43)
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia perlu didukung oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Untuk meningkatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen, pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Salah satu peran masyarakat adalah LPKSM .70
Penyelenggaraan pengawasan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya, UUPK mengatur bahwa yang menyelenggarakan adalah pemerintah, masyarakat, dan LPKSM. Pengawasan oleh pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan LPKSM dapat disampaikan kepada Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait. Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila hasil pengawasan oleh masyarakat dan LPKSM terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar
(44)
35
ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen.71
Pelaksanaan pembinaan serta pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menurut UUPK berada pada Menteri Perdagangan, secara hierarki (struktural dan fungsinya) dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, yang kemudian dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan konsumen. Sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan perannya yang mengacu pada Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 01/M-Dag/Per/3/2005, upaya pembinaan serta pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut terkait dengan perumusan kebijakan, standar, norma, kriteria dan prosedur, bimbingan teknis, serta evaluasi pelaksanaan di bidang kerja sama, informasi dan publikasi perlindungan konsumen, analisis penyelenggaraan perlindungan konsumen, bimbingan konsumen dan pelaku usaha, pelayanan pengaduan serta fasilitasi kelembagaan perlindungan konsumen.72
1. Proses dan tata cara pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Proses dan tata cara pendaftaran LPKSM diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran LPKSM. LPKSM yang telah diakui oleh pemerintah karena telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, perlu melakukan pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK). Kewenangan penerbitan TDLPK ada pada menteri. Menteri kemudian melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPK kepada bupati/walikota.
71Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Bab VII, Pasal 30.
(45)
Bupati/walikota bisa melimpahkan kembali kewenangan kepada kepala dinas. TDLPK diterbitkan berdasarkan tempat kedudukan atau domisili LPKSM. TDLPK tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM dalam menjalankan kegiatan penyelenggaraan perlindungan konsumen bisa mempergunakan TDLPK kantor pusat dan dibebaskan dari pendaftaran untuk memperoleh TDLPK.73 Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 6, tata cara pendaftarannya yakni sebagai berikut:
a. Permohonan untuk memperoleh TDLPK diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada bupati/walikota melalui kepala dinas setempat, dengan mengisi formulir Surat Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (SP-TDLPK) model A sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.
b. Jika kewenangan pemberian TDLPK dilimpahkan kepada kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3. Permohonan diajukan langsung kepada kepala dinas setempat dengan mengisi formulir SP-TDLPK model A, sebagaimana dimaksud dalam lampiran I keputusan menteri ini.
c. Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditandatangani oleh pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penanggung jawab, atau kuasanya.
(46)
37
Proses permohonan pendaftaran TDLPK perlu melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:74
a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berstatus badan hukum (yayasan) melampirkan:
1) Salinan akta notaris pendirian badan hukum/yayasan yang telah mendapatpengesahan badan hukum dari menteri hukum dan hak azasi manusia atau instansi yang berwenang.
2) Salinan kartu tanda penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku.
3) Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari lurah/kepala desa setempat.
b. LSM yang tidak berstatus badan hukum maupun yayasan melampirkan: 1) Salinan akta notaris pendirian LSM atau akta notaries yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang.
2) Salinan KTP pimpinan/penanggung jawab LSM yang masih berlaku. 3) Salinan surat keterangan tempat kedudukan/domisili LSM dari
lurah/kepala desa setempat.
2. Status dan kedudukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Status dan kedudukan LPKSM bisa dibatalkan oleh pemerintah jika mengandung aspek-aspek berikut ini:
a. Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen.
b. Terbukti melakukan kegiatan pelanggaran atas ketentuan UUPK dan peraturan pelaksanaannya.
(47)
Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha bisa mengadukan ke LPKSM agar suara dan haknya bisa diperjuangkan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian tugas-tugas LPKSM, di samping memberikan informasi dan memberikan nasihat kepada konsumen, lembaga ini juga bisa memperjuangkan hak-hak konsumen. Oleh karena itu, konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar bisa mengadukannya ke LPKSM yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Banyak konsumen di Indonesia yang hanya melakukan pengaduan dengan mengirimkan surat ke pihak pelaku usaha yang dianggap telah melanggar hak-haknya. Ada juga yang menulis dan mengirimkan surat pembaca ke berbagai macam media massa. Meskipun diakui cara-cara tersebut baik dan barangkali bisa memberikan hasil yang memuaskan, ada cara lain yang kiranya bisa dilakukan. Cara yang dimaksud adalah dengan meminta bantuan LPKSM untuk membantu menyelesaikan masalah. LPKSM akan membantu para konsumen yang ingin mengadukan hak-haknya. konsumen bisa datang langsung atau melalui telepon. Dengan bantuan LPKSM , biasanya konsumen yang akan mengadukan haknya juga memperoleh banyak pengetahuan hukum yang sangat berarti sebagai bekal atau dasar untuk menyelesaikan masalahnya, termasuk dalam penyelesaian sengketa dengan pelaku usaha nantinya. Oleh LPKSM bersama pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
(48)
39
Berdasarkan ketentuan UUPK yang berlaku, pemerintah hanya mengakui LPKSM yang memenuhi syarat. Persyaratan LPKSM yang diakui pemerintah yakni sebagai berikut:75
a. Terdaftar di pemerintah kabupaten/kota.
b. Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.
3. Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam perlindungan konsumen
Munculnya gerakan "konsumerisme" dan segala permasalahannya ke pekaan masih relatif baru. Kepopuleran dan paham konsumerisme ini baru mendapat perhatian dunia bisnis maupun birokrasi sejak Presiden Amerika Serikat Kennedy pada Tahun 1962 mengukuhkan adanya hak-hak konsumen, pengukuhan ini timbul atas desakan konsumen di Amerika pada Tahun 1930-an yang sudah mulai mempertanyakan adanya ketidakadilan dalam memperoleh, pelayanan, baik jasa pelayanan yang disediakan oleh industri maupun pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. konsumen mulai mempermasalahkan adanya ketidaksesuaian harga dengan mutu barang atau jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan jasa secara bebas dan canggih di negara liberal itu telah menimbulkan mekanisme defensif di kalangan konsumen dan mulai terdapat ketidakpercayaan akan informasi sepihak yang disampaikan para produsen.76
Di sisi lain, pemerintah dengan inisiatifnya sendiri memang sudah menyediakan pelayanan umum kepada masyarakat atau konsumen, jauh sebelum
75 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Konsumen Swadaya masyarakat, Bab II, Pasal 2 ayat (1).
(49)
upaya perlindungan konsumen ini ada. Misalnya fasilitas kereta api, pelayanan rumah sakit umum, jalan raya, dan angkutan transportasi.
Semua ini dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada konsumen dan memastikan konsumen dapat menggunakan fasilitas umum tersebut dengan biaya yang murah dan bahkan tanpa membayar, tetapi sebenarnya konsumen dalam menggunakan pelayanan tersebut, tidaklah gratis. Mereka sudah membayarnya melalui pajak. Hanya saja, sampai saat ini kenyataannya masih banyak konsumen yang belum memperoleh kepuasan dalam menggunakan pelayanan publik meskipun pemerintah telah berubah status menjadi penyedia jasa monopoli. Dengan bangkitnya kesadaran konsumen ini tampaknya aparat pemerintah belum siap menerima tuntutan dan masyarakat baik dalam segi dana maupun SDM-nya.77
Keadaan ini mungkin akan diperburuk lagi dengan adanya pernyataan pemerintah sehingga siapa yang punya uang dialah yang mendapat pelayanan. Berhubungan dengan hampir segala bentuk layanan yang disediakan oleh birokrasi pemerintah dalam kehidupan sehari-hari seperti PAM, listrik, telepon. KTP, IMB, dan lain-lain sering berakhir dengan kekecewaan. Segala kemudahan akan segera diperoleh masyarakat jika uang pelicin tersedia. Pada dasarnya para aparatlah yang tahu apakah suatu pengurusan KTP misalnya, cepat atau lambat. Merekalah yang tahu sistem bekerjanya. masyarakat hanya bisa pasrah. Sebagai anggota masyarakat yang telah membayar pajak yang mencoba untuk melawan dengan pelayanan yang diberikan, malah akan merugikan dirinya sendiri baik dari segi waktu dan tenaga. Terdapat berbagai jenis layanan yang disediakan
(50)
41
oleh Pemerintah, pelayanan yang bersifat profit misalnya jasa telekomunikasi, air minum, angkutan, pelayanan yang bersifat monopoli, misalnya PLN dan pelayanan yang sifatnya nonprofit seperti KTP, catatan sipil, IMB, imigrasi, dan lain-lain.
The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi PBB Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan itu adalah struktur kelompok-kelompok konsumen yang independen, di mana dinyatakan dalam paragraf pertama bahwa pemerintah-pemerintah berbagai negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok-kelompok konsumen. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti di bidang perlindungan konsumen.
Keberadaan kelompok konsumen tentu saja berbeda dengan organisasi konsumen. Pada hakikatnya kelompok konsumen lebih merupakan pengelompokan konsumen pada berbagai sektor, misalkan kelompok konsumen pemegang kartu kredit, kelompok konsumen barang-barang elektronik, dan sebagainya. Apabila dikatakan bahwa kelompok konsumen bertindak dalam kapasitasnya selaku konsumen. Adapun organisasi-organisasi konsumen merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Di dalam segala aktivitasnya tentu saja organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer representation). Walaupun demikian,
(51)
keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.78
Prinsip kebebasan (independence) merupakan karakteristik penting, baik bagi organisasi konsumen maupun kelompok konsumen. Mengenai karakteristik ini terdapat 6 (enam) kualifikasi kebebasan yang harus dimiliki organisasi konsumen dan kelompok konsumen:79
a. Harus secara eksklusif mewakili kepentingan-kepentingan konsumen. b. Kemajuan perdagangan akan tidak ada artinya jika diperoleh dengan cara
cara yang merugikan konsumen.
c. Harus nonprofit malang dalam profil aktivitasnya.
d. Tidak boleh menerima iklan-iklan untuk alasan-alasan komersial apa pun dalam publikasi-publikasi mereka.
e. Tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advis yang mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan perdagangan.
f. Tidak boleh mengizinkan kebebasan tindakan dan komentar mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan-pesan sponsor/pesan-pesan tambahan. Tataran kebijakan (policy) ketika menangani pengaduan-pengaduan konsumen, organisasi konsumen sering dihadapkan pada konstruksi perwakilan. Artinya, organisasi konsumen seperti YLKI bertindak mewakili kepentingan- kepentingan dan pandangan-pandangan konsumen dalam suatu kelembagaan yang dibentuk, baik atas prakarsa produsen dan asosiasinya maupun prakarsa pemerintah.80
78 Ibid., hlm. 123-124. 79 Yusuf Shofie, Loc.Cit.
(52)
43
Indah Sukmaningsih berpendapat bahwa bertahun-tahun Yayasan Lembaga konsumen Indonesia berusaha bekerja untuk membuat keadaan sedikit lebih menguntungkan kondisi konsumen, dengan hasil-hasil survei dan penelitian yang dilakukan, mencoba untuk mengubah keadaan melalui dialog dengan para pengambil keputusan dan juga membantu konsumen untuk memecahkan masalahnya dalam berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Hasilnya Sebagian dapat tercapai, tapi lebih banyak yang tak terselesaikan. Pada beberapa tulisan yang ada di media massa disebutkan bahwa jika pelayanan birokrasi masih seperti sekarang, sulit rasanya bagi Indonesia untuk dapat bersaing di abad XXI.81
Ada beberapa indikator pelayanan umum yang baik, yakni sebagai berikut:82
a. Terbukaan
Adanya informasi pelayanan, yang dapat berupa loket informasi juga dimiliki dan terpampang jelas, kotak saran, dan layanan pengaduan, dilengkapi juga dengan petunjuk pelayanan. Dalam keterbukaan, mencakup upaya publikasi, artinya penyebaran informasi yang dilakukan melalui media atau bentuk penyuluhan tentang adanya pelayanan.
b. Kesederhanaan
Mencakup prosedur pelayanan dan persyaratan pelayanan. Prosedur pelayanan meliputi pengaturan yang jelas terhadap prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat yang akan menggunakan pelayanan, yang dilengkapi dengan alur proses. Adapun persyaratan pelayanan adalah administrasi yang jelas.
c. Kepastian
81 Ibid.
(1)
pihak yang bersengketa dapat saling berkomunikasi. Sedangkan berperan sebagai mediator lebih bersifat aktif karena selam proses penyelesian sengketa dapat memberikan penjelasan, saran dan anjuran kepada para pihak. Sehingga mendukung terwujudnya perdamaian.
B.Saran
Saran yang dapat diberikan terkait permasalahan dalam skripsi ini, yakni: 1. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki
kegiatan dalam melindungi konsumen dari pelaku usaha nakal, keberadaan LPKSM ini berada di setiap daerah dapat memberikan sosialisai dan pendidikan konsumen dan juga pengajaran pedidikan konsumen sejak usia muda dapat membuat para konsumen lebih kritis menghadapi persoalan yang berkaitan dengan bidang perlindungan konsumen.
2. Dalam hal menyelesiakan sengketa konsumen yang paling utama adalah upaya penyelesaian sengketa secara damai antara kedua belah pihak. Perlu diperhatikan upaya damai ini membuat para pihak duduk bersama untuk mecari solusi terbaik atas permasalahan sengketa yang timbul. Untuk itu diperlukan seorang penengah yang memahami dan mengerti sengketa tersebut. Perlu diingat bahwa penyelesaian sengketa melalu pengadilan adalah upaya terakhir dalam menyelesaikan sengketa.
3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dapat semaksimal mungkin memberikan pengawasan terhadap produk barang dan/atau pelayanan jasa yang beredar dalam masyarakat dan juga melakukan pengawasan yang lebih intensif lagi terkhusus bagi produk-produk yang dapat membahayakan
(2)
103
kesehatan manusia, dan segera melakukan upaya-upaya sosialisasi dan pengelan UUPK kepada masyarakat, agar kedepannya masyarakat memahami dan semakin sadar akan haknya sebagai konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan langsung kepada masyarakat, ataupun bisa melakukan seminar dan diskusi publik.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Emirzon, Joni. Alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan negoisasi,
Konsoliasi, Mediasi & Arbitrase. Jakarta: PT gramedia pustaka utama, 2001.
Hartono, Sri Rezeki. Aspek-aspek Hukum perlindungan Konsumen dalam
kerangka era perdagangan bebas, Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandung: CV. Mandar Madju, 2000.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum perlindungan konsumen. Jakarta: PT. Sinar Grafik, 2008.
Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasi. Jakarta: Prenada Media Group,
2008.
Nasution, Az. Konsumen dan Hukum : tinjauan sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Rahmawati Intan Nur Dan Rukiyah Lubis. Win-Win Solution Sengketa Konsumen.
Yogyakarta: Pustaka Yudistira, 2014
Sadar, M, dkk. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta: Akademia, 2012.
Shoufie, Yusuf. Penyelesian sengketa konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen UUPK teori dan praktek penegakan hukum.
Jakarta: Citra aditya bakti, 2003.
_______, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Bandung: PT citra aditya bakti, 2008.
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung
(4)
105
Sidabalok, Janus. Pengantar hukum ekonomi. Medan: Penerbit Bina Media, 2000.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2007. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo,
2004.
Susilo Zumrotin K. Penyambung Lidah Konsumen. Jakarta: Puspa Swara, 1996. Sudaryatno. Hukum dan Advokasi Konsumen. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Susanto, Happy. Hak-hak konsumen jika dirugikan. Jakarta: visimedia, 2008. Suratman dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta,
2013.
Usman, Rahmadi. Pilihan penyelesian sengketa diluar pengadilan. Bandung: Citra aditya bakti, 2003.
Widjaja , Gunawan & Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
B.Peraturan
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat
C.Jurnal
Atteng, Rio Bertram. “Tugas dan Fungsi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.”Lex Privatum, Vol.II, No.1, Januari-Maret 2014. Gaharpung, Marianus. “Perlindungan Hukum konsumen korban atas tindakan
pelaku usaha.” Jurnal yustika, Volume III, No.1, Juli 2000.
Hasanah, Ulfia. “Peranan Badan Penyelesian Sengeketa Konsumen dalam Penegakan Hak-Hak Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Aplikasi Bisnis, Volume III, No.1, Oktober 2012.
(5)
Kerti,N.G.N. Renti Maharani. “Perbandingan penyelesian sengketa konsumen antara BPSK di Indonesia dengan small claims tribunals di singapura, Jurnal legislasi Indonesia,” Volume X, No.1, Maret 2013.
Nugroho, Agung & Nur Mega Sari, Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Peralatan Makanan yang Mengandung Melamin Palsu, Lex Jurnal, Volume VIII, No.2, Apr 2011.
Ricko M. Tilaar, “Perlindungan dan Penyelesaian Hukum Terhadap Konsumen dari Makanan Kadaluwarsa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” Jurnal Lex Privatum, Volume I, No.2, Apr-Jun 2013.
Simamora, Junita. “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Usaha Jasa Pengiriman Barang,” Unnes Law Journal, Volume II, No.2, Oktober 2013.
D.Skripsi dan Tesis
Darwis, Abdi. “Hak Konsumen untuk Mendapatkan Perlindungan Hukum dalam Industri Perumahan di Kota Tangerang,” Tesis, Magister Kenotariatan, Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2010.
Hanesty Ambar Ditya. “Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Promosi dalam Bentuk Brosur Kendaraan Bermotor Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus: Gugatan Ludmilla Arief Melawan Pt. Nissan Motor Indonesia Di Bpsk Provinsi DKI Jakarta),” Skripsi, ilmu hukum, Fakultas hukum, Universitas Indonesia, 2012.
Zazili, Ahmad. “Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional.” Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2008.
E.Website
Al Wisnubroto, Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Perlu Progresivitas, http://www.hukumonline.com (diakses pada tanggal 4 April 2015)
Chandra Dewi Puspitasari, Peningkatan Kesadaran Hak-Hak Konsumen Produk Pangan Sebagai Upaya Mewujudkan Kemandirian Konsumen, http://eprints.uny.ac.id/2622/1/PERLINDUNGAN_KONSUMEN-DIPA.pdf
(diakses pada tanggal 3 April 2015).
Harry Christian Lumban Tobing, Tinjauan Yuridis Mengenai Pembatasan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Minuman Dalam Kemasan Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
(6)
107
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/civil_law/article/view/3110 (diakses tanggal 26 Mei 2015).
Muhammad Eggi H. Suzetta, Pengetahuan Hukum Untuk Konsumen, https://www.Wordpress.com, (diakses pada tanggal 3 April 2015).
Ni Putu Candra Dewi & I Made Pujawan, Pelaksanaan Mediasi Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebagai Wujud
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen,
https://www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/download/6808/51 42 (diakses pada tanggal 9 April 2015) .
Http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-171-babii.pdf (Diakses 19 mei 2015).