4. PAD Kabupaten/Kota 2011 Pendapatan

f. Responsivitas

Nilai Responsivitas dalan belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan keterbukaan dalam belanda daerah dan perumusan APBD sehingga memungkinkan semua unsur masyarakat berpartisipasi atau memberikan masukan yang relevan. Pada dasarnya semua proses perumusan APBD di lokasi kajian memungkinkan keterlibatan masyarakat melalui Musrenbang dan sidang terbuka DPRD. Meskipun demikian, ada dua lokasi kajian yang memiliki beberapa pilihan akses keterlibatan masyarakat dalam perumusan APBD, seperti adanya hotline (SMS, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Medan).

Dengan kriteria rendah, sedang, dan tinggi, indikator-indikator tersebut dapat diadaptasikan dengan kondisi masing-masing lokasi kajian ini sebagaimana tabel berikut. Jika diambil rata-rata secara kuantitatif, maka Kota Medan menjadi Daerah yang kualitas belanja dan anggarannya terbaik karena mendapat empat kriteria indicator yang baik. Namun tidak dapat dirata-rata seperti itu, penelitian ini justru menemukan tipikal dari masing-masing lokasi sebagaimana tabel berikut.

Tabel 4.3. Kualitas Penganggaran Daerah

No. Instrumen

Sultra Wakatobi

1. Ekonomi 2. Efisiensi 3. Efektifitas 4. Equity 5. Akuntabilitas 6 Responsivitas

Rendah Sedang Tinggi

4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Hasil dari FGD dan wawancara di daerah dalam kajian ini dapat mengidentifikasi beberapa faktor yang menentukan kualitas belanja dan anggaran daerah sebagai berikut.

a. Faktor SDM

Sebagian besar lemahnya SDM ditengarai dengan lemahnya kemampuan untuk mengidentifikasi potensi pendapatan daerah. Banyaknya pegawai juga membuat belanja tidak langsung menjadi selalu lebih besar dari belanja langsung. Mengingat perencanaan dan penganggaran idealnya terintegrasi, maka faktor kemampuan (kapasitas) SDM menjadi penting, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi prioritas pembangunan yang riil sesuai potensi dan kebutuhan masyarakat dan sinkron dengan prioritas nasional. Lemahnya SDM juga ditengarai dengan sebagian besar posisi TAPD di masing-masing lokasi kajian relative tidak stabil, rata-rata dua tahun sudah dirotasi ke tempat atau posisi lain sehingga posisi TAPD hampir selalu diisi dengan pegawai-pegawai yang relatif baru dan harus belajar kembali dalam proses penganggaran.

b. Faktor SDA

Luasnya wilayah dianggap menjadi beban bagi daerah dalam mengelola kepentingan dan fasilitas publiknya, meskipun sebenarnya potensi yang tersimpan di dalamnya sangat besar untuk dapat dieksploitasi. Dalam hal ini, luas wilayah menjadi penghambat, namun sebenarnya dapat dibalik menjadi potensi yang besar. Potensi alam yang ada di masing-masing lokasi kajian merupakan faktor positif bagi proses penganggaran karena jika dieksploitasi dengan optimal akan menghasilkan pendapatan yang relatif tidak terbatas.

c. Faktor Kebijakan

Ada kebijakan pusat yang tidak memungkinkan daerah untuk menggali pendapatan daerah secara lebih leluasa. Potensi SDA yang besar yang tereksploitasi pun tidak dapat langsung dinikmati oleh daerah karena ternyata kewenangan daerah untuk itu relatif terbatas. Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat kaya akan hasil tambang juga tidak dapat langsung berkontribusi bagi pendapatan daerahnya. Dalam Ada kebijakan pusat yang tidak memungkinkan daerah untuk menggali pendapatan daerah secara lebih leluasa. Potensi SDA yang besar yang tereksploitasi pun tidak dapat langsung dinikmati oleh daerah karena ternyata kewenangan daerah untuk itu relatif terbatas. Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat kaya akan hasil tambang juga tidak dapat langsung berkontribusi bagi pendapatan daerahnya. Dalam

d. Faktor Lain

Komitmen pemerintahan daerah untuk memprioritaskan kepentingan publik terutama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan juga ikut menentukan kualitas belanja daerah. Komitmen ini dapat terbangun dengan sendirinya sesuai dengan kapasitas pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kapasitas legislatif juga sangat menentukan kualitas anggaran dan belanja daerah. Legislatif yang komit dengan nilai-nilai keadilan akan menghasilkan penganggaran yang lebih adil, legislatif yang komit dengan demokratisasi akan menghasilkan belanja dan proses penganggaran yang responsif terhadap masukan dari masyarakatnya.

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI