Direktorat Otonomi Daerahc Dan Bappeans
BAPPENAS LAPORAN AKHIR
KAJIAN KUALITAS BELANJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD)
DIREKTORAT OTONOMI DAERAH, DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH 2011
Pengarah:
Budhi Santoso
Tim Penyusun:
Wariki Sutikno Antonius Tarigan Daryll Ichwan Akmal Taufiq Hidayat Putra Asep Saepudin Sudira Mohammad Roudo Ervan Arumansyah Alen Ermanita Sukarso Betti Nurbaiti Luh Nyoman Dewi Triandayani Perdana Nusawan
Tim Pendukung :
Mira Berlian Bakat Supradono Suharyono
Diterbitkan Oleh :
Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289
Sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) utama Kementerian PPN/Bappenas, Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah-Bappenas, melaksanakan kegiatan pengkajian (studi) yang pada tahun anggaran 2011 mengambil tema “Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) ”. Kegiatan ini sebagaimana berdasarkan Peraturan Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor : PER:01/M.PPN/09/2005.
Buku Laporan kegiatan Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) ini disusun dalam rangka untuk mengidentifikasi permasalahan penyebab rendahnya kualitas belanja APBD, termasuk proporsi belanja langsung ddan tidak langsung yang ada di daerah yang akan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan- kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya. berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu, permasalahan, dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi.
Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD)ini terdiri dari 5 (lima) bab yang meliputi Pendahuluan, Tinjauan Teoretis dan Metodologi, Deskripsi Lokal Kajian dan APBD, Analisis Kualitas Belanja Daerah dan APBD, serta bab Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini dapat menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, khusus terkait dengan pengembangan kapasitas dan keuangan daerah.
Selain itu, kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di tingkat pusat serta dengan memperhatikan perkembangan dan aspirasi di daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya pemerintah pusat. Diharapkan hasil dari kegiatan kajian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan analisis dan gambaran ringkas mengenai kualitas belanja daerah dan proses perumusan APBD di daerah-daerah lokasi kajian pada khususnya dan pengembangan kapasitas dan keuangan daerah pada umumnya.
Kami menyadari masih terdapat beberapa kekurangan dan keterbatasan dalam hal format/tampilan, maupun kelengkapan datanya (daerah dan waktu-time series). Namun demikian, diharapkan laporan akhir kajian ini dapat memberikan manfaat dalam mendukung kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ke depan. Selanjutnya kami sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan laporan ini di masa yang akan datang. Saran dan masukan tersebut dapat disampaikan kepada Sekretariat Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, Jln. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310; tel./fax : (021) 31935289.
Jakarta, Desember 2011
Direktur Otonomi Daerah, Bappenas
Budhi Santoso
Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung. Dengan latar belakang seperti itu, kajian ini menganalisis bagaimana dan mengapa kualitas belanja daerah dan APBD masih dianggap rendah. Dengan mengambil sampel delapan daerah, masing-masing empat daerah provinsi dan empat daerah kabuapten/kota, dan dengan analisis deskriptif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa kriteria kualitas belanja daerah dan APBD ternyata tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua lokasi kajian tidak mempunyai kualitas belanja daerah dan APBD yang mendekati sempurna tingginya, melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Provinsi
D.I. Yogyakarta cenderung efisien dan akuntable, sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara cenderung akuntabel dan responsif. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel, sedangkan Provinsi Sumatera Utara cenderung efektif. Kota Medan cenderung efisien, akuntabel dan responsif. Provinsi Kalimantan Timur cenderung adil dan akuntabel sedangkan Provinsi Sulawesi Utara cenderung akuntabel, kurang lebih mirip dengan Kabupaten Wakatobi. Jika lokasi kajian kualitas belanja daerah dan APBD-nya cenderung ekonomis, efisien, dan atau efektif, maka permasalahan atau kelemahannya ada pada tataran keadilan, dan atau akuntabilitas dan atau responsivitas, maka hal ini bersifat politis, yakni berkaitan dengan kinerja legislatif. Namun jika lokasi kajian cenderung adil, akuntabel dan atau responsif, maka kelemahannya ada pada tataran ekonomi dan atau efisien dan atau efektif, maka hal ini lebih bersifat tekhnis-operasional atau sumberdaya manusia birokrasinya, yakni berkaitan dengan kemampuan birokrasi.
ABSTRAK
Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung. Dengan latar belakang seperti itu, kajian ini menganalisis bagaimana dan mengapa kualitas belanja daerah dan APBD masih dianggap rendah. Dengan mengambil sampel delapan daerah, masing-masing empat daerah provinsi dan empat daerah kabuapten/kota, dan dengan analisis deskriptif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa kriteria kualitas belanja daerah dan APBD ternyata tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua lokasi kajian tidak mempunyai kualitas belanja daerah dan APBD yang mendekati sempurna tingginya, melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Provinsi
D.I. Yogyakarta cenderung efisien dan akuntable, sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara cenderung akuntabel dan responsif. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel, sedangkan Provinsi Sumatera Utara cenderung efektif. Kota Medan cenderung efisien, akuntabel dan responsif. Provinsi Kalimantan Timur cenderung adil dan akuntabel sedangkan Provinsi Sulawesi Utara cenderung akuntabel, kurang lebih mirip dengan Kabupaten Wakatobi. Jika lokasi kajian kualitas belanja daerah dan APBD-nya cenderung ekonomis, efisien, dan atau efektif, maka permasalahan atau kelemahannya ada pada tataran keadilan, dan atau akuntabilitas dan atau responsivitas, maka hal ini bersifat politis, yakni berkaitan dengan kinerja legislatif. Namun jika lokasi kajian cenderung adil, akuntabel dan atau responsif, maka kelemahannya ada pada tataran ekonomi dan atau efisien dan atau efektif, maka hal ini lebih bersifat tekhnis-operasional atau sumberdaya manusia birokrasinya, yakni berkaitan dengan kemampuan birokrasi.
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Pendaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendanaan pembangunan pembangunan secara nasional. Dana transfer ke daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus serta dana penyesuaian. Alokasi dana transfer ke daerah dari wakru ke waktu mengalami peningkatan seiring pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pengelolaan pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan memiliki akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya peningkatan pelayanan publik.
Besaran dana transfer dan dekonsentrasi ke daerah yang optimal masih dapat diperdebatkan, tergantung kerangka penglihatan kita. Lebih rumit lagi, apabila dikaitkan dengan sebaran prestasi IPM di Indonesia, tingkat kemiskinman dan pertumbuhan ekonomi, tidak semua daerah dengan jumlah dana transfer per kapita besar memiliki kinerja yang bagus pada aspek-aspek tersebut.
Terkait dengan kualitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ini masih ditemui beberapa permasalahan yang sering muncul di antaranya masih rendahnya kualitas perencanaan di daerah. Di samping itu, belum terintegrasinya perencanaan dan penganggaran di daerah juga masih merupakan permasalahan yang umum di setiap daerah.Permasalahan tersebut diikuti oleh permasalahan lain yaitu porsi terbesan APBD ada pada belanja tidak langsung bukan pada belanja langsung.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, Direktorat Otonomi Daerah merasa perlu untuk mengkaji Kualitas Belanja APBD.
Gambar 1.1. PAD Provinsi 2011
Gambar 1.2. Total Pendapatan Provinsi 2011
Gambar 1.3. Total Belanja Provinsi 2011
Gambar 1.4. PAD Kabupaten/Kota 2011 Pendapatan
Tabel 1.1. PAD Kabupaten/Kota 2011
PAD KABUPATEN/KOTA 2011
Kurang Antara Antara
Antara Antara Lebih dari 100
800 - 900 - 1.000 m.
900 m. 1000 m. m
1.2. Tujuan Dan Sasaran Kegiatan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penyebab rendahnya kualitas belanja APBD, termasuk proporsi belanja langsung ddan tidak langsung yang ada di daerah..
1.3. Hasil Yang diharapkan
Diharapkan hasil dari kegiatan kajian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan analisis dan gambaran ringkas mengenai kualitas belanja daerah dan proses perumusan APBD di daerah-daerah lokasi kajian. Secara lebih spesifik, kajian ini diharapkan dapat memberikan analisis tentang: (a) penyebab porsi belanja tidak langsung yang lebih besar daripada belanja langsung dalam APBD; (b) Analisis permasalahan penyebab rendahnya kualitas belanja daerah; dan (c) Rekomendasi kebijakan terkait peningkatan kualitas belanja daerah.
1.4. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang Lingkup kegiatan studi ini meliputi:
1. Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu kualitas belanja daerah;
2. Melakukan inventarisasi dan tinjauan pustaka mengenai kualitas belanja daerah sehingga dapat dihasilkan pemetaan permasalahan mengenai hal tersebut;
3. Melakukan survey pengumpulan data dan informasi;
4. Melakukan diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan aspirasi dari stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
5. Menyusun sintesa hasil kajian dan rekomendasi sesuai maksud dan tujuan kegiatan ini;
6. Melaksanakan FGD tentang hasil yang dicapai pada setiap tahapan pelaksanaan kegiatan kajian meliputi hasil desk-study, diseminasi dan penjaringan aspirasi di tingkat pusat dan daerah sample, hasil evaluasi, serta hasil seluruh kajian dan rekomendasi. FGD dilaksanakan secara terbatas dengan staf Direktorat Otonomi Daerah untuk mendapatkan masukan penyepurnaan bagi penyusunan laporan kegiatan.
7. Seminar/Lokakarya mengenai hasil kajian dan rekomendaasi yang telah dihasilkan kepada stakeholders terkait baik dari Pusat maupun Daerah.
1.5. Sistematikan Penulisan
Laporan kajian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut. · BAB 1 Pendahuluan, berisi tentang uraian ringkas fakta-fakta yang menjadi
permasalahan kajian, serta tujuan dari dilaksanakannya kajian ini, termasuk ruang lingkup kegiatan kajian ini.
· BAB 2 Tinjauan Teoretis Dan Metodologi, berisi tentang hasil penelusuran konsep- konsep yang relevan dengan kajian ini serta metodologi yang digunakan. Konsep-
konsep tersebut adalah konsep anggaran daerah (local budgeting), proses penganggaran daerah, dan kualitas penganggaran, terutama nilai-nilai yang ada dalam penganggaran. Sedangkan metodologi yang digunakan meliputi penentuan lokasi konsep tersebut adalah konsep anggaran daerah (local budgeting), proses penganggaran daerah, dan kualitas penganggaran, terutama nilai-nilai yang ada dalam penganggaran. Sedangkan metodologi yang digunakan meliputi penentuan lokasi
· BAB 3 Deskripsi Lokasi Kajian Dan APBD, berisi gambaran ringkas tentang lokasi kajian yang terdiri dari sisi geografis dan demografisnya dan proses perumusan APBD yang ada di masing-masing lokasi kajian. Termasuk di dalamnya identifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas belanja dan APBD-nya. · BAB 4 Analisis Kualitas Belanja Daerah Dan APBD, berisi tentang uraian masing-
masing indikator dari kualitas belanja, yaitu ekonomi, efisiensi, efektivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas dalam proses dan hasil masing- masing APBD.
· BAB 5 Kesimpulan Dan Rekomendasi, berisi tentang kesimpulan kualitas belanja dan proses APBD masing-masing lokasi kajian, termasuk faktor-faktor yang dianggap
mempengaruhi kualitas belanja tersebut. Sedangkan rekomendasi merupakan konsekuensi logis dari kesimpulan yang dikemas dalam bahasa kebijakan dalam bentuk usulan kebijakan yang selayaknya diambil oleh pemangku kepentingan yang relevan dengan perumusan APBD.
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN METODOLOGI
2.1. Tinjauan Teoretis
2.1.1. Konsep Anggaran Daerah (Local Budgeting)
Pengertian Anggaran Daerah mengacu pada alokasi dana untuk membiayai apa yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Proses penganggaran, dengan demikian, merupakan proses menentukan apa yang akan dilakukan dan bagaimana pembiayaan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan tersebut pada tahun-tahun yang akan datang, sebagaimana dikatakan oleh Mikesel: “Budgeting is the process of planning, adopting, executing, monitoring, and auditing the
fiscal program for the government for one or more future years. There are certain fundamental principles for the design of a modern local budget system ” (Johnl. Mikesel, Fiscal Administration in Local Government: An Overview, , dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accountability Series), The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):
a. The budget process is comprehensive, including all fiscal entities associated with or connected to the government, and there are no extrabudgetary funds to interfere with
fiscal discipline, transparency, accountability, and the struggle against corruption.
b. The budget minimizes the use of earmarked funds that reduce the capacity to allocate resources to areas of highest priority.
c. The budget is intended to be an operations guide and to be executed as it was enacted.
d. The budget process is an annual one, to maintain control, but is adoptedin a multiyear financial framework to facilitate planning.
e. The budget is based on a realistic forecast of revenues and of the operating environment.
f. The budget serves as a statement of local policy.
g. Expenditures in the budget are classified according to the administrative unit that is legally responsible for the funds and according to the basic purpose (or program) of
the spending.
h. The budget is provided in an intelligible format as a communication device with the public, both while it is considered and after it has been adopted.
i. The budget process is focused on performance results, not only on inputs purchased by the government.
j. The budget process incorporates incentives for lawmakers to respond to citizen demands for services and for agencies to economize on use of resources.
Sementara itu, Whitfield (2001) mengidentifikasi sepuluh kewajiban baru pemerintah untuk masyarakat sebagai berikut. “The following ten-part plan, together with Public Service Management, could radically
transform public services and the welfare state for the twenty-first century ”.(Dexter Whitfield, 2001, Public Services or Corporate Welfarez: Rethinking the Nation State in the Global Economy, Pluto Press, London).
A New Public Order:
a. Extending democratic accountability with new models of governance–the local state
b. Taxation of income, consumption and corporate profits
c. Reversing marketisation and privatisation
d. New financial and regulatory architecture to control capital
e. Promoting civil society, citizenship and the social economy
f. Maintaining universal welfare systems
g. Reducing poverty through empowerment, redistribution, equalities, regeneration and control of development
h. Creating jobs and quality employment
i. Imposing corporate governance and social accountability j. Maintaining macroeconomic stability and investment
A political economy approach is based on meeting social, equity, democratic, environmental and economic objectives. In this model the state has five core functions: democratic and civil society, national and international responsibilities, human needs and development, economic and fiscal management and the regulation of markets, firms and organizations.. A range of other functions, activities and services are grouped under each core function, none of which are in any order of priority.
Lima fungsi pokok dari negara adalah democratic and civil society; national and international responsibilities, human needs and development, economic and fiscal management, dan regulation of markets, firms, and organizations. Ke lima fungsi ini tidak ada yang lebih penting, atau dengan kata lain, ke lima fungsi ini sama pentingnya.
The core functions of the state
2.1.2. Proses Penganggaran Daerah
Mullins (2007) menyebutkan bahwa tidak ada model penganggaran daerah yang dianggap paling baik karena pada dasarnya proses penganggaran daerah merupakan refleksi dari berbagai tradisi, kapasitas dan institusi yang ada pada masing-masing daerah secara historis. Sebagaimana dikatakan sebagai berikut. (Danielr Mullins, Local Budget Process, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):
“Local budget systems, processes, and structures within and among nations reflect historical tradition and diversity in culture, capacity, national governance, and institutions.
Thus, no single model of local government budgeting is best. That said, all effective subnational budget systems must contain certain elements that advance the three key objectives of public expenditure management: fiscal discipline/expenditure control, prioritized/strategic resource allocation, and operational (managerial) efficiency/ effectiveness (Schiavo-Campo and Tommasi 1999: chapter 1). ”
Persyaratan bagi penganggaran yang efektif adalah penganggaran yang menekankan pada beberapa hal sebagai berikut. Prescriptions for effectiveness include systems and processes that emphasize
· transparency in the definition of roles and responsibilities and decision making, the availability of information, openness of the budget process, and assurances of
budgetary integrity · comprehensiveness in the incorporation of all revenues and expenditures and full
accounting of all budgetary transactions · processes and methods to establish policy and priorities, including an outward-looking
fiscal framework, focus on service outputs and outcomes, and a classification system that links expenditures to organizational units and purposes
· expenditure planning based on established priorities, relating spending to service levels and allowing flexibility in the use of resource inputs
· managerial efficiency supported by accountability for service levels and outputs and discretion in the relative use of inputs
· accountability and control reinforced by comprehensiveness; prioritization; and systematic budget and expenditure reviews, execution controls, and post-execution
reporting and auditing (Mikesell and Mullins 2001: 564) Each of these interrelated elements supports the accomplishment of the other elements. The functions important at the sub national level in a developing context are the fundamental functions of all budgeting systems. According to Schick (2004: 84 –85), these include
· establishing a fiscal framework that is sustainable over the medium term and beyond allocating resources to programs on the basis of governmental priorities and program effectiveness operating government and delivering public services efficiently
· ensuring that the budget reflects citizen preferences · ensuring that spending units are accountable for their actions In defining the essential
elements of the local budget process, the National Advisory Council on State and Local Budgeting emphasizes decision making related to an assessment of needs and priorities, programmatic planning and management strategies directed at goal achievement, a process for constructing and adopting a consistent and realistic budget, and mechanisms to make adjustments and monitor and evaluate performance (NACSLB 1998). This implies the ability to make meaningful policy and managerial choices
· The process is considered from the perspective of the most critical issues that shape it and its outcomes: the level and distribution of local authority, the importance of the
local budget in a multitiered intergovernmental framework, coordination and cooperation mechanisms, planning and priority setting, participatory processes, and accountability and responsiveness.
2.1.3. Kualitas Penganggaran: Nilai-nilai dalam Penganggaran
Pengertian kualitas penganggaran, jika mengacu pada model terbaik maka tidak ada satu model yang dapat dikatakan paling berkualitas. Jika mengacu pada nilai-nilai yang akan dicapai, juga tidak ada nilai-nilai tunggal yang paling penting. Dalam hal ini, Lewis (2007) menyebutkan adanya enam nilai pokok yang sama pentingnya dalam menilai “kualitas” anggaran, yaitu ekonomi, efisiensi, efektifitas, keadilan, akuntabiulitas, dan responsivitas, sebagaimana disebutkan sebagai berikut. (Carol W. Lewis, How to Read a Local Budget and Assess Government Performance, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):
Budget Addressing Central Values and Questions
Dengan demikian, mengacu pada pendapat Lewis yang relative “lengkap”, maka kualitas anggaran daerah berkaitan dengan pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efektifitas, equity atau keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Ekonomi berarti anggaran tersebut selalu meningkat jumlahnya; Efisien berarti alokasi anggaran sesuai dengan hasil yang didapatkan; Efektif berarti alokasi anggaran sesuai dengan tujuan yang direncanakan; Equiry atau Adil berarti alokasi dan hasilnya sesuai dengan nilai keadilan; Responsif berarti proses aenganggaran sesuai dengan aspirasi masyarakat.
2.2. Metodologi
2.2.1. Lokasi Kajian
Kajian akan dilakukan di Institusi Pusat (Jakarta) dan Institusi Lokal (Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota), dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Lokasi Institusi Pusat untuk berbagai informasi yang relevan dengan kebijakan penganggaran nasional. Dalam kaitannya dengan kualitas belanja dan perumusan APBD, maka lokasi institusi pusat adalah: Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), yang semuanya ada di Jakarta.
2) Lokasi Institusi Lokal untuk mendapatkan gambaran yang realistik pada tataran penganggaran lokal atau APBD. Institusi lokal ini terdiri dari institusi Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Sekretariat DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu guna mendapatkan data dan informasi pembanding, juga dilakukan kunjungan ke kalangan akademisi/LSM setempat.
3) Dengan pertimbangan penyebaran wilayah geografis Indonesia, maka secara random dipilih sesuai mata angin, dari barat, utara, selatan, dan timur. Untuk wilayah barat Indonesia, dipilih secara adalah Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan. Untuk wilayah utara Indonesia, dipilih adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk wilayah selatan Indonesia, dipilih adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kabupaten Sleman. Sedangkan untuk wilayah timur Indonesia, dipilih adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Wakatobi. Dengan demikian diharapkan juga dapat menggambarkan dimensi kewilayahan di Indonesia.
Tabel 2.1. Lokasi Kajian
D.I. Yogyakarta
Sulawesi
Tenggara Kabupaten/Kota
Utara
Timur
Kota Medan
2.2.2. Fokus Kajian
Berdasarkan pada tinjauan konsep dan teoretis, maka Kajian ini difokuskan pada:
1) Proses Penggaran Daerah (Proses perumusan APBD)
2) Kualitas Penganggaran Daerah/APBD, teridiri dari pemenuhan nilai-nilai:
a) Ekonomi
b) Efisiensi
c) Efektivitas
d) Akuntabilitas
e) Equity/Keadilan
f) Responsibilitas
3) Determinan Kualitas Penganggaran Daerah/APBD
2.2.3. Instrumen Kajian (Pedoman Wawancara dan FGD)
1) Proses Penganggaran Daerah (Proses perumusan APBD), yaitu bagaimana proses perumusan APBD dilokasi penelitian, apakah sudah sesuai dengan prosedur resmi yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri, kalau tidak sesuai, mengapa.
2) Kualitas Belanja dan Penganggaran Daerah, yaitu bagaimana proses dan hasil perumusan APBD sesuai dengan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efektivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas.
3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Penganggaran Daerah, atau determinan, yaitu identifikasi faktor-faktor yang menurut informen penelitian berhubungan dengan proses dan hasil perumusan APBD tersebut.
2.2.4. Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam kajian ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Pendekatan Penelitian dan Keterbatasan
Kajian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan unit analisis pada pemerintah lokal atau pemerintah daerah. Pendekatan studi kasus ini dengan pertimbangan bahwa masing-masing lokasi penelitian merupakan kasus yang independen dan spesifik, sehingga generalisasi dari studi ini relatif terbatas.
2) Data Yang Dibutuhkan
Kajian ini membutuhkan data primer dan sekunder.
a) Data primer, terdiri dari persepsi informan tentang pemahaman dan pengalamannya dalam proses penganggaran, khususnya belanja pemerintah daerah.;
b) Data sekunder, terdiri dari berbagai dokumen yang relevan dengan proses penganggaran daerah.
3) Sampling
Untuk lokasi, menggunakan area sampling secara (quota) random dengan pertimbangan penyebaran geografis sehingga dipilih empat lokasi sample secara acak untuk mewakili Pemerintah Daerah se Indonesia, dengan perincian sebagai berikut.
Institusi pusat, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pusat Statistik; Sedangkan Institusi Lokal: Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara; Kabupaten Sleman dan Provinsi D.I.Yogyakarta; Kabupaten Wakatobi dan Provinsi Sulawesi Tenggara; dan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur. Untuk mendapatkan sumber data primer dan sekunder, dipilih secara purposif pada masing-masing unit pemerinta daerah, yaitu unit-unit yang relevan dengan penganggaran pada masing-masing lokasi. Dalam hal ini, sumber data primer dan sekunder adalah masing-masing Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), legislatif, dan akademisi yang relevan.
4) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada kajian ini terdiri dari: Pengumpulan data pada kajian ini terdiri dari:
b) Wawancara terstruktur (sesuai fokus kajian) dengan informan, baik di institusi pusat maupun institusi di daerah. Di institusi pusat dilakukan pada bulan Aperil sampai dengan Juli 2011 berkaitan dengan kualitas anggaran daerah. Sedangkan di tingkat lokal, dilakukan sepanjang Bulan September-Oktober 2011 di delapan lokasi.
c) FGD, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat Pusat dilakukan pada Bulan Oktober sedangkan di tingkat lokal dilakukan pada bulan September-Oktober 2011.
5) Teknik Analisis Data
Analisis data akan menggunakan teknik deskriptif, baik verbal maupun numerik, atau dengan kata lain, deskriptif-kualitatif maupun deskriptif-kuantitatif. Instrumen untuk analisis, baik kuantitatif maupun kualitatif, terutama menggunakan tabel-silang, sehingga dari konfigurasi semua fokus penelitian selanjutnya dapat diambil kesimpulan.
BAB 3 DESKRIPSI LOKASI KAJIAN DAN APBD
3.1. Deskripsi Lokasi Kajian
3.1.1. Provinsi Sumatera Utara
Sebagai provinsi sampel untuk wilayah barat Indonesia, provinsi ini memiliki luas wilayah 71.680.680 ha. Dengan jumlah penduduk sebanyak 13.248.388 jiwa. Provinsi Sumatera Utara termasuk provinsi yag besar, terutama dari dimensi wilayahnya, provinsi ini terdiri dari 29 wilayah kabupaten/kota (tahun 2010). Jumlah pegawainya mencalai 227.172 pegawai pemerintah (daerah 222.848 pegawai dan pusat 4.324 pegawai). Dengan jumlah pegawai sebanyak itu, pendapatan dalam APBD (2011)-nya adalah 4.480.782 juta rupiah, untuk belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 643.508 juta rupiah dan 168.042 juta rupiah dari total belanja tidak langsung dan langsung sebannyak 2.031.752 juta rupiah dan 2.546.109 juta rupiah.
3.1.2. Kota Medan
Sebagai salah satu pusat pemerintahan dari provinsi Sumatera Utara, Kota Medan mempujnyai luas wilayah 265.100 ha mempunyai penduduk sebanyak 2.097.610 jiwa. Daerah ini merupakan daerah terpadat di provinsi tersebut. Jumlah pegawainya tercatat sebanyak 21.087 dengan perincian 19.619 peggawai daerah dan 2.468 pegawai daerah. Adapun jumlah pendapatan APBD untuk Tahun 2011 ini sebanyak 2.628.101 juta rupiah dan untuk belanja pegawainya tidak langsung dan langsung adalah 1.266.946 juta rupiah dan 268.708 juta rupiah.
3.1.3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang relative kecil dengan luas wilayah 3.182,80 ha dan jumlah penduduk sebanyak 3.452.390 jiwa. Provinsi D.I.
Yogyakarta mempunyai pegawai pemerintah sebanyak 93.864 pegawai dengan perincian pegawai daerah sebanyak 65.264 dan pegawai pusat sebanyak 28.800 pegawai. Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011 sebanyak 1.419.475 juta rupiah untuk belanja pegawai, tidak langsung dan langsung, sebanyak 443.440 juta rupiah dan 90.164 juta rupiah.
3.1.4. Kabupaten Sleman
Sebagai salah satu kabupaten yang tertinggi APBD-nya di D.I. Yogyakarta, Kabupaten Sleman mempunyai luas wilayah 674,82 ha. dengan jumlah penduduk sebanyak 1.090.587 jiwa. Jumlah pegawai yang ada tercatat (2010) 25.466 pegawai dengan perincian pegawai daerah sebanyak 13.176 dan pegawai pusat sebanyak 12.200 pegawai. Kabupaten ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak 1.026.877 juta rupiah untuk belanja pegawai, tidak langsung dan langsung, sebanyak 633.067 juta rupiah dan 78.751 juta rupiah.
3.1.5. Provinsi Kalimantan Timur.
Sebagai salah satu provinsi terkaya dibanding lokasi kajian yang lain, Provinsi Kalimantan Timur mempunyai wilayah yang juga paling luas dibanding lokasi kajian lainnya mempunyai wilayah seluas 204.534.340 ha. dengan jumlah penduduk hanya 3.550.586 jiwa. Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak 6.449.635 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 777.745 juta rupiah dan 302.387 juta rupiah.
3.1.6. Kabupaten Kutai Kartanegara
Sebagai salah satu kabupaten terluas dan terkaya dari semua lokasi kajian, Kabupaten Kutai Kartanegarta mempunyai luas wilayah 27.265.100 ha. dengan jumlah penduduk hanya sebanyak 626.286 jiwa. Kabupaten ini mempunyai pegawai daerah (2009) sebanyak 16.775 pegawai dengan pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
4.151.286 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 1.023.683 juta rupiah dan 332.242 juta rupiah.
3.1.7. Provinsi Sulawesi Tenggara
Sebagai wakil wilayah timur Indonesia, Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai luas wilayah (daratan) 3.814.000 ha. dengan jumlah penduduk sebanyak 2.118.300 jiwa. Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak 1.220.581 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 378.701 juta rupiah dan 40.523 juta rupiah.
3.1.8. Kabupaten Wakatobi
Kabupaten Kepulauan, sebagai satu-satunya dalam kajian ini, mempunyai luas wilayah (daratan) 42.297 ha. dengan jumlah penduduk sebanyak 103.423 jiwa yang terkonsentrasi di empat pulau besar: Pulau Wangi Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko (Akronim dari nama empat pulau tersebut menjadi nama kabupaten, yaitu Wakatobi). Kabupaten ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak 387.306 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 150.903 juta rupiah dan 26.693 juta rupiah.
3.2. Deskripsi APBD
Secara ringkas, deskripsi APBD 2011 delapan lokasi kajian dapat diperiksa pada table-tabel berikut ini.
Tabel 3.1. Deskripsi Ringkas APBD 2011 Per Lokasi Kajian
Lokasi
Deskripsi
Kutai DIY
Kartanegar Sultra Wakatobi a
Belanja Tidak Langsung
Belanja Pegawai 443,440
Belanja Langsung 741,667
Belanja Pegawai
Barang/Jasa 501,330
Belanja Modal 150,174
Dana Perimbangan
50,266 33,805 30,731 Dana Bagi Hasil
Sumber: APBD Masing-masing lokasi kajian, diolah.
Berikut ini perhitungan proporsi PAD terhadap Total Pendapatan masing-masing lokasi kajian. Ternyata Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang mempunyai PAD relative paling tinggi, yaitu sebesar 71,01% dari total pendapatan dalam APBD pe=rovinsi tersebut pada tahun 2011. Sebaliknya, Kabupaten Kutsai Kartanegara, Kabup[aten Wakatobi, dan Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang mempunyai proporsi PAD sangat kecil, yaitu dibawah 4% dari total pendapatan dalam APBD 2011-nya.
Tabel 3.2. Proporsi PAD Terhadap Prendapatan Per Lokasi Kajian
Kartanegara Sultra Wakatobi
Gambar 3.1. Proporsi PAD Terhadap Pendapatan
Sementara itu, untuk proporsi Belanja Langsung dan Tidak Langsung dari total belanja daerah dapat diperiksa pada table 3.3 berikut. Nampak bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten dengan proporsi belanja langsung yang jauh lebih tinggi dari belanja langsung-nya, yaitu sekitar 65,61% dibanding 34,39%. Sedangkan untuk Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kalimantan Timur, meskipun lebih tinggi belanja langsung disbanding belanja tidak langsung, namun angkanya sekitar 56,57% berbanding 43,43% dan 50,01% berbanding 49,99%. Sebaliknya, Kabupaten Sleman belanja langsung 33,59% berbanding 66,41% dan Provinsi DI Yogyakarta serta Provinsi Sulawesi Tenggara masing-masing belanja langsung 46,62% berbanding 53,38% dan 47,19% berbanding 52,81%. Dengan demikian, Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan Kabupaten dengan belanja langsung yang paling besar.
Tabel 3.3. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung
Kutai
Kartanegara Sultra Wakatobi Belanja
Belanja Langsung
Gambar 3.2. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung
Sedangkan untuk proporsi dana bagi hasil terhadap dana perimbangan dapat diperiksa pada table 3.4. berikut ini. Nampak bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan dana bagi hasil yang sangat besar, yaitu masing-masing 98,52% dan 97,64%. Hal ini menunjukkan dua wilayah ini memang kaya akan sumberdaya alam dan sudah mengeksploitasinya dengan optimal. Sebaliknya, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Wakatobi mempunyai proporsi dana bagi hasil hanya sekitar 8,06% dan 6,04% dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan dua daerah ini bellum mampu mengeksploitasi sumberdaya alamnya secara optimal.
Tabel 3.4. Proporsi Dana Bagi Hasil Terhadap Dana Perimbangan
Kartanegara Sultra Wakatobi
Dana Perimbangan
Dana Bagi 74,240
Gambar 3.3. Proporsi Dana Bagi Hasil Dan Dana Perimbangan
BAB 4 ANALISIS KUALITAS BELANJA DAERAH DAN APBD
4.1. Proses Perumusan APBD
Dalam perumusan APBD semua daerah di Indonesia merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 21 dan No. 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Permendagri ini, skedul penyusunan APBD secara normatif dapat diperiksa pada skema sebagai berikut. Dalam satu tahun anggaran, dari Januari sampai dengan desember kegiatan perumusan APBD harus berlangsung sesuai skedul yang ada. APBD dimulai dengan pelaksanaan Musrenbang, selanjutnya dirumuskan dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) - Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan diakhiri dengan pengesahan RAPBD menjadi APBD melalui sidang pleno DPRD yang bersangkutan.
4.1.1. Dimensi Waktu
Berdasarkan hasil kajian lapangan, maka dari dimensi waktu hampir semua lokasi kajian mengalami keterlambatan sesuai dengan ketetapan waktu normatifnya, hanya Kota Medan yang relatif tepat waktu. Meskipun demikian, semua APBD lokasi kajian berhasi ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan. Hanya ada satu kasus, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang tidak berhasil menetapkan APBD Tahun 2010 sehingga menggunakan APBD Tahun 2009. Hal ini terutama karena tidak diperolehnya kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif atau DPRD-nya.
Tabel 4.1. Skedul Normatif Perumusan APBD
Bulan Ke
No. Kegiatan
1. Musrenbangda 2. Penyusunan RKPD 3. Penyampaian KUA dan PPAS
oleh Ketua TAPD kepada kepala daerah
4. Penyampaian KUA dan PPAS oleh kapala daerah kepada DPRD
5. KUA dan PPAS disepakati antara kepala daerah dan
DPRD 6. Surat Edaran kepala daerah
perihal pedoman RKA-PPKD 7. Penyusunan dan pembahasan
RKA-SKPD dan RKA-PPKD serta penyusunan Rancangan APBD
8. Penyampaian Rancangan APBD kepada DPRD
9. Pengambilan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah
10. Hasil evaluasi rancangan SPBD 11. Penetapan Perda APBD dan Perkada Penjabaran APBD
sesuai dengan hasil evaluasi Sumber: Permendagri No. 22 Tahun 2011, diolah dengan hasil wawancara.
4.1.2. Dimensi Substansi
Dalam perumusan KUA – PPAS, masing-masing daerah mempunyai prioritas yang disesuaikan dengan prioritas nasional. Berdasarkan RPJMN 2011 - 2015, prioritas pembangunan nasional tersebut adalah sebagai berikut. (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola;
(2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penangguangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Usaha; (8) Energi;
(9) Lingkungan Hidup dan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluas, dan Pasca Konflik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi; (12) Prioritas lainnya: (a) Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan; (b) Bidang
Perekonomian; dan (c) Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Selanjutnya, dari identifikasi di lokasi kajian, maka prioritas-prioritas tersebut sebagai berikut.
Tabel 4.2. Prioritas Penganggaran Per Lokasi Kajian
Prio- ritas
DIY Sleman
Kartanegara Sultra Wakatobi
1 Perbaikan
Pemantapan Mengembangkan iklim
Reformasi kualitas investasi dan
bencana dan
Birokrasi sumberdaya iklim usaha
Tata Ruang
pemulihan
manusia yang pasca
bertumpu pada bencana
kesehatan
menuju system
Provinsi dan
yang
identitas
Kabupaten/K
kualitas iman dan
taqwa serta ilmu
Kalimantan
pengetahuan dan
Timur
teknologi serta seni
2 Peningkatan Penanggulan Peingkatan
Peningkatan Melakukan akses dan
Usaha Ekonomi pemberdayaan kualitas
Masyarakat dan masyarakat dan pendidikan
Mitigasi dan
Pengembangan seluruh kekuatan penganggura
dan
pendukung
dan pelayanan
Adaptasi
Investasi ekonomi daerah n
n ekonomi
daerah
Iklim
Swasta dengan mengoptimalkan potensi daerah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup
3 Peningkatan
Pembangunan Meningkatkan kualitas dan
Peningkatan pelayanan publik infrastruktur
dan kuantitas
n pertanian
Infrastruktur dan menerapkan
berdaya
dan kualitas
Kalimantan/J
Dasar Wilayah
saing
infrastruktur
alan/Jembat
tata
serta utilitas
an/Free
pemerintahan
kota, khususnya
Way/Pelabu
infrastruktur
han
yang baik serta
jalan, drainase
Udara/Pelab
Laut/Permuki
hukum dan
man)
perlindungan terhadap hak
asasi manusia.
4 Pemantapan
Peningkatan Meningkatkan reformasi
Kualitas sarana prasarana birokrasi dan
kualitas
an ekonomi
kedudukan,
Peningkatan
Sumberdaya kewilayahan dan tata-kelola
kesehatan
kerakyatan
fungsi dan
Daya
Manusia mengembangkan pemerintaha
Listrik/Penge
teknologi n
pendidikan
peningkatan
UMKMK dalam
komunikasi dan
informatika untuk
n rakyat
meningkatkan
miskin
daya saing wilayah.
5 Peningaktan
Mengembangkan Ketahanan
hubungan pangan
n ekonomi
kualitas tata-
kerja dan
kemiskinan
kerjasama kerjasama
yang
n yang baik
lapangan kerja
yang saling potensi local
n partisipasi
nilai tambah sumberdaya alam baik Lokal, Regional, Nasional maupun Internasional
akses dan tata-kelola
ketentraman
dan
mutu pemerintaha
masyarakat dan
Perluasan
lesehatan n yang baik
meningkatka n kualitas pelayanan publik
gan kualitas
penataan ruang
dan
kemiskinan sarana
dan kualitas
khususnya di
alam dan
taman dan ruang terbuka public lainnya
kualitas stabilitas
n kemiskinan,
an Kawasan
lingkungan keamanan
dengan
Perbatasan,
hidup dan dan
mengintegrasik
Pedalaman
pengelolaan ketertiban,
an program
dan Daerah
bencana dan
nasional dan
Tertinggal
lokal
9 Kebudayaan, Peningkatan
kreativitas peran pe-
taraf pendidikan
Mutu
dan inovasi rempuan dlm
masyarakat
Pendidikan
teknologi pembanguna n dan perlindungan anak
akses dan
Daya Saing
energi
dan Investasi
(Pengemban gan Komoditas Unggulan) 12 Reformasi
t.d.
Birokrasi dan Tata Kelola Pem.-an
Sumber: PPAS masing-masing lokasi kajian, diolah.
Dari table tersebut, nampak bahwa masing-masing daerah mempunyai prioritas yang berbeda dengan prioritas nasional. Meskipun demikian, ada sinkronisasi antara Dari table tersebut, nampak bahwa masing-masing daerah mempunyai prioritas yang berbeda dengan prioritas nasional. Meskipun demikian, ada sinkronisasi antara
4.1.3. Dimensi Pelaku
Secara normatif, pelaku utama dalam perumusan APBD adalah Eksekutif (terdiri dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan Bupati) dan DPRD. Namun dari kajian di lapangan, ternyata unsur keterlibatan masyarakat bervariasi. Pada umumnya, masyarakat tidak langsung terlibat dengan proses perumusan APBD karena secara normatif juga tidak dimungkinkan. Masyarakat dapat terlibat dalam proses perumusan APBD terutama pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dan kecamatan. Setelah Musrenbang Kabupaten/Kota yang diketemukan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dimanifestasikan dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), maka praktis masyarakat tidak lagi terlibat. Meskipun demikian, ada dua lokasi yang membuka akses cukup lebar bagi keterlibatan masyarakat secara langsung melalui surat, baik konvensional (paper based) maupun elektronik (internet dan short massage service (sms). Dua lokasi tersebut adalah Kota Medan dan terutama Kabupaten Kutai Kartanegara.
Arsip SMS M-GOV Kutai Kartanegara
Kirimkan saran, pendapat atau kritik anda kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui SMS, ketik: kukar (spasi) pesan dan kirim ke nomor 6468 (khusus
pelanggan Telkomsel). Layanan ini terselenggara atas kerjasama Bagian Humas & Arsip SMS M-GOV Kutai Kartanegara
Protokol Setkab Kukar dengan PT Telkomsel Regional Kalimantan dan KutaiKartanegara.com.
yth.bpk bupati kukar,tolong diusut RS.SAMBOJA .Karena banyak terjadi penyimpangan
4.2. Kualitas Perumusan APBD
Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan teoretis dan metodologi, kualitas belanja dan perumusan APBD dapat diketahui dari pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efketivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Berikut ini hasil kajian lapangan melalui fgd dan wawancara mendalam dengan narasumber di masing-masing lokasi kajian. Kualitas Perumusah APBD dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan teoretis dan metodologi, kualitas belanja dan perumusan APBD dapat diketahui dari pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efketivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Berikut ini hasil kajian lapangan melalui fgd dan wawancara mendalam dengan narasumber di masing-masing lokasi kajian. Kualitas Perumusah APBD dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
Nilai ekonomi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan jumlah pengeluaran yang selalu meningkat sehingga dianggap APBD tersebut semakin tinggi cakupan belanjanya. Dari kajian di lapangan, semua belanja dan APBD di masing-masing lokasi kajian mengalami kenaikan sekitar 5% sampai 10% dibanding tahun sebelumnya. Oleh Karen itu, semua lokasi kajian dianggap memenuhi nilai ekonomi ini. Tidak ada satu lokasi kajian pun yang alokasi belanja dan nilai APBD-nya tetap, apalagi menurun. Kecuali untuk Provinsi Sulawesi Tenggara yang menggunakan APBD Tahun 2009 untuk Tahun anggaran 2010 karena RAPBD tahun 2010 tidak diperoleh kesepakatan dengan legislatif (DPRD).
b. Efisiensi
Nilai efisiensi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan berapa alokasi biaya untuk itu, terrmasuk alokasi waktu untuk perumusan APBD. Dari hasil kajian di lapangan, ternyata pada masing-masing lokasi kajian tidak ditemukan adanya hasil yang dapat dibanggakan atau berkesan dari alokasi belanja yang ada. Sedangkan dari proses perumusan APBD ternyata alokasi waktu yang disediakan secara normative tidak dapat digunakan secara tepat, akan tetapi hampir semua lokasi mengalami keterlambatan. Kota Medan menjadi salah satu lokasi yang relative tepat waktu dalam perumusan APBD, sedangkan D.I. Yogyakarta menjadi satu-satunya lokasi kajian yang sudah menggunakan analisis standar belanja (ASB). Oleh karena itu, dari nilai efisiensi, Kota Medan dan Provinsi D.I.Yogyakarta merupakan yang terbaik.
c. Efektivitas
Nilai efektivitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan apakah yang dihasilkan tersebut memuaskan bagi stakeholders yang ada. Dari hasil kajian di lapangan, ternyata semua lokasi kajian tidak mendapatkan satu hasil belanja daerah yang dianggap memuaskan. Semua lokasi kajian menganggap belanja daerah sebagai sesuatu yang biasa saja seperti hal rutin yang tidak perlu Nilai efektivitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan apakah yang dihasilkan tersebut memuaskan bagi stakeholders yang ada. Dari hasil kajian di lapangan, ternyata semua lokasi kajian tidak mendapatkan satu hasil belanja daerah yang dianggap memuaskan. Semua lokasi kajian menganggap belanja daerah sebagai sesuatu yang biasa saja seperti hal rutin yang tidak perlu
d. Equity/Keadilan
Nilai keadilan atau equity dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan alokasi anggaran yang memihak pada masyarakat yang lemah atau miskin dan melalui prosedur yang dianggap adil. Pada umumnya pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas belanja daerah, namun tetap saja alokasi belanja untuk pemberantasan kemiskinan terkendala dengan kemampuan keuangan daerah. Hal ini diperberat dengan beban belanja pegawai di hampir semua lokasi penelitian, kecuali Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Terutama untuk Provinsi Kalimantan Timur yang relative besar mengalikasikan bagi kelompok miskin atau program pemberantassan kemiskinan.
e. Akuntabilitas