Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang

(1)

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR

DI KOTA TANGERANG

OLEH :

DADAN SUHENDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR.

Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang mer esap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off).

Pada kondisi yang kritis hal tersebut akan meyebabkan kekeringan (kekurangan air) pada musim kemarau dan menimbulkan banjir pada waktu musim hujan. Utuk mengurangi resiko tersebut perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, kolam resapan/danau buatan komunal pada kawasan perumahan.


(3)

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP

KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR

DI KOTA TANGERANG

DADAN SUHENDAR

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu– ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

Judul Tesis : Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang

Nama : Dadan Suhendar

NRP : P053020131

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr . Ketua

Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc . Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsja h

Dekan Sekolah Pascasarjana


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjut kan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang.

Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ket ersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapa k Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun 2002 – 2005 dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2006


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ……… Latar Belakang ……… Tujuan Penelitian ………

xi xii xiv 1 1 8 TINJAUAN PUSTAKA ... ...

Tata Guna Lahan ... Teori Lokasi ... Teori Land Rent ... Sumberdaya Air ………...…. Daur Hidrologi ... Presipitasi ... Evapotranspirasi ... Infiltrasi ... Limpasan Permukaan ... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ...

9 9 9 15 24 24 26 28 29 31 32 METODA PENELITIAN ...

Perubahan Penggunaan Lahan ... Analisis Hidrogeologi ... Hidrologi ... Analisis Penentuan Harga Air ...

35 37 39 46 50 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ...

Kondisi Fisik Kota Tangerang ... Kondisi Sosial ... Kondisi Ekonomi ... Kondisi Sarana dan Prasarana ...

52 52 59 65 69 PEMBAHASAN DAN HASIL ...

Perubahan Penggunaan Lahan ... Pola Perubahan Sumberdaya Air ... Neraca Air Wilayah Kota Tangerang... Kondisi Hidrogeologi ...

Kondisi DAS Cisadane ... Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent ... Kondisi Ekonomi Air ………....………..

75 75 89 89 96 98 104 103 106 KESIMPULAN DAN SARAN ...

Kesimpulan ... Saran ...

123 123 125


(8)

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

126 131


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20

Nilai Koefisien Air Larian

Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan Kelulusan

...

Nilai Tahanan Jenis Batuan ... ...

Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang………

Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 ………….……

Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun 2003 ...

PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998 – 2002

... PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998 – 2002

... ... Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 ...

Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka ...

Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun 2000 ...

Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ...

Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ...

Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda 1994-2003 ...

Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...

Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun

Pengamatan Pasar Baru Tangerang ...

Analisa Neraca Air DAS Cisadane ...

Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...

Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004

Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang ...

25 33 34 49 51 52 55 56 57 64 65 78 79 80 82 84 96 99 100 109


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37. Siklus Hidrologi ………

Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik ……

Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen ...

Model Tata Guna Lahan Menurut Burges ...

Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt ...

Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda ....

Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi

Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris ...

Pembentukan Kota Inti Secara Berganda ...

Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air

... ...

Diagram Alir Metode Penelitian ...

Citra Satelit ...

Foto Udara ...

Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik ...

Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan

...

Skema Alat Ukur Geolistrik ...

Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan

...

Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang ...

Peta Lokasi Banjir ...

Peta Hidrogeologi Kota Tangerang ...

Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang ... 5 6 9 10 11 11 13 14 16 27 28 29 29 31 34 35 35 43 44 46 47 48 49 50 51 53 53 62 63 66 66 69 72 75 76 76 79


(11)

38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.

Peta Geologi Kota Tangerang ...

Prosentase Jumlah Penduduk Tahun 2003 ...

Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003 ...

Grafik Kepadatan Penduduk Tahun 2003 ...

Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 ...

Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin ...

Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 1959 ...

Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 2000 ...

Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan ...

Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya

...

Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa ...

Peta Sebaran Industri ...

Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB

Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...

Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...

Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...

Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 .

Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 .

Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian ...

Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off ……….

Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 – 2004 …… Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 …… Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ...

Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ... 80 82 83 84 85 86 87 87 89 90 97 97 101 101 102 107 108 108 114


(12)

Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane ...

Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik ...

Perubahan Muka air Tanah Dangkal ...

Kondisi Air Tanah DAS Cisadane ………..

Grafik Surpl us dan Defisit Air DAS Cisadane ……….

Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun 1994-2000

Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM ...

Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk ...

Grafik Perkembangan Kebutuhan Air ...

Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB …………...


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Peta DAS Cisadane. ….……….…………

Peta Geologi DAS Cisadane. .….……… Peta Jenis Tanah DAS Cisadane. .….……… Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane. .…...…

Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane. ...… Data Debit Bulanan Sungai Cisadane ...

Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane...

Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik ...

Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004

Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel ...

Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 ………

Data Pengambilan Air Permukaan Tahun 2004 ………..

Data Permohonan Sumur Berdasarkan Ijin ... 131 132 133 134 135 136 143 144 149 150 152 153 154


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat.

Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan. Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan mengakibatkan adanya pergeseran kegiatan ke wilayah penyangga termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi Kota Tangerang.

Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan ekonomi yang mem beri dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat.


(15)

Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1991 - 2003 mencapai 5,75% dan pertumbuhan ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993

Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjad i cenderung mengikuti teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi perdagangan atau jasa

Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.


(16)

Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada wilayah seluas 18.378 Ha membutuhkan air bersih sebesar 69.261.168 m3 (standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari).

Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air.

Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila diinginkan pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian.

Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang berdekatan dengan kawasan perkotaan

Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi


(17)

kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.

Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak, pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak terkendalikan.

Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali tersebut, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan daur geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table) diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya yang berasal dari peresapan air hujan.


(18)

Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air.

Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P) turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap (Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi

dikenal adanya hukum “water balance” yang menerangkan siklus diatas, yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1).

P = RO + ET + F ………. ( 1 ) dimana :

P : Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) RO : Air Limpasan Permukaan (Run-Off) ET : Evapotranspirasi (Evapotranspiration) F : Infiltrasi (Infiltration)

Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau) dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak dampak telah terjadi akibat pemakaian air bawah permukaan yang tidak


(19)

sesuai dengan kemampuan akuifer seperti penurunan tanah (land subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga

(A)

(B)

Sumber : Seyhan diterjemahkan olehSubagyo, 1990 Keterangan :

(A) : Tampak At as (B) : Tampak Samping

Gambar 1. Siklus Hidrologi

Presipitatio

n

EVPT

RO

INF

EVPT PREC IPITATIO N

RO INF


(20)

intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik. Pertumbuhan penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan air tanah, sehingga terjadi eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2).

Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004 Atas : Kondisi Normal

Bawah : Over pumping


(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan lahan dan ketersediaan sumberdaya air

2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola dan determinan perubahan tersebut.

3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air

4. Menganalisis kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air.

5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan kaitan antar keduanya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang didalam pengendalian penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air (water balance) dapat dipertahankan.

Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah, agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah, sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air tanah yang masuk kedalam akifer (infiltrasi).


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Tata Guna Lahan

Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (So epardi, 1977). Lahan merupakan komoditi ekonomi yang nilainya terus meningkat karena sifat keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai -nilai ini, dimiliki oleh sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan penguasaannya (Cahyono, 1982).


(23)

Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt

Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran (Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai.

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen

Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Bur ges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola

O A A L K D C B D’ M

A’ B’ C’

Xi Xm Xj Xn Land rent Pusat Kota Jarak dari Pusat Kota Keterangan :

Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah

Xm : Tegalan Xn : Kebun

K : Zona Permukman L : Zona Persawahan M : Zona Tegalan A,B,C,D : Nilai Land rent A’,B’,C’D’ jarak dari Pusat Kota


(24)

tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama, semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh, tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas. Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4.

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges

Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap

CBD Industri

Transisi Perumahan kelas rendah Perumahan menengah & atas


(25)

tempat permukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5).

Keterangan Gambar :

1. Daerah Pusat Kegiatan (CBD) 2. Zona Industri

3. Zona Permukiman Kelas Rendah 4. Zona Permukiman Kelas Menengah 5. Zona Permukiman Kelas Tinggi

S umber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt

Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota. adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari beberapa pusat inti perkembangan dan bukan hanya sat u seperti halnya


(26)

menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan,

perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini.

(Sumber: Daldjoeni, 1992)

Keterangan : (1) Pusat kota (2) Kawasan niaga

(3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah

(4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah

(5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi

(6) Pusat industri berat

(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran

(8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri

Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda Bila dilihat dari segi perkembangan kota, sebenamya ada tiga faktor utama yang sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu manusia, kegiatan manusia dan pola pergerakan antar pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat kegiatan manusia lainya. Menurut Sujarto (1989) ketiga faktor tersebut akan termanifestasikan pada perubahan akan tuntutan kebutuhan lahan. Faktor manusia yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut menyangkut perkembangan tenaga kerja, status sosial serta perkembangan kemampuan dan teknologi. Faktor

kegiatan manusia meliputi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas, faktor pola pergerakan adalah akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan memacu pola hubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.


(27)

Teori Alfred Weber

Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.

Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.

Teori Land Rent


(28)

Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis

fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7.

Sumber : Saefulhakim

Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi.

Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan

A

B

C

D

Jarak dari Lokasi Pusat(d) Land Rent (R)

Lokasi Pusat

Land use

Land use

B Land use C Land use D

Natural Land Cover

O

E P*


(29)

sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi. Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut :

Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001 Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris

Keterangan :

1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian


(30)

Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap. Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente (rent). Menurut Barlow (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent), sewa lahan (land rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966). Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal.

Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut: ij ij ij ij ij ij ij t A X c Q p r ∆ − = (2) atau         ∆ =         ∆ = − = ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij t A X x t A Q q x c q p r dan : mana di (3)

Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:

rij : nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan be rlokasi di i

dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ha-1.tahun-1


(31)

pij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit

kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis

penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1

Qij : total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis

penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton

cij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit

kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.k g-1

Xij : total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang

dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam k g

Aij : luas areal bidang lahan di lo kasi i yang dikembangkan dengan jenis

penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha ∆tij : periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i

untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun

qij : rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis

penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha-1.tahun-1

xij : rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan

berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan k g.ha-1.tahun-1

Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2) pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh jarak dij, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan

transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak, rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

(

j j ij

)

ij

(

j j ij

)

ij

ij p t d q c d x

r = − ⋅ ⋅ − +τ ⋅ ⋅ (4)

di mana:

pj : harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari

jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1

cj : harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar;

satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.k g-1

dij : jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan

lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km

tj : biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan


(32)

τj : biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan

pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.k g-1.km-1

(

j j ij

)

ij

(

j j ij

)

ij

ij p t d q c d x

r = − ⋅ ⋅ − +τ ⋅ ⋅

Karena pj ≥0, tj ≥0, cj ≥0, τj ≥0, dij ≥0, qij ≥0, dan xij ≥0, maka:

0 ≥ = ∂ ∂ ij j ij q p r

Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar).

0 ≤ ⋅ − = ∂ ∂ ij ij j ij q d t r

Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk).

0 ≤ − = ∂ ∂ ij j ij x c r

Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi.

0 ≤ ⋅ − = ∂ ∂ ij ij j ij x d r τ

Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input.

(

+

)

≤0

− = ∂ ∂ ij j ij j ij ij x q t d r τ

Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar.

0 ≥ ⋅ − = ∂ ∂ ij j j ij ij d t p q r

Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output.

(

+ ⋅

)

≤0

− = ∂ ∂ ij j j ij ij d c x r τ

Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat).

Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan

Kota timbul dan berkembang melalui suatu proses yang oleh Hoteling disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis


(33)

menimbulkan penghematan-penghematan intern dan ekstern yang disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang luas.

Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai inovasi, input-input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal dari luar.

Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal harganya.

Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahan-lahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara berganda tersebut bisa terjadi untuk ukuran kota yang besar seperti


(34)

JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9

berikut ;

Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)

Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda

Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian , industri rumah tangga dan sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses

1 2 3

4

Jarak dari pusat Jarak dari pusat

Land Rent

Lokasi Pusat

Keterangan :

1. Kawasan Komersial/Finansial 2. Kawasan Industri

3. Kawasan Perumahan 4. Kawasan Pertanian


(35)

back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial lain.

Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas, kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru pula.

Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya..

Sumberdaya Air

Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang disebut daur hidrologi.

Daur Hidrologi

Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membentuk awan. Dalam


(36)

kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan.

Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting). Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung. Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat yang biasa terjadi pada musim panas.

Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air, tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa presipitasikembali ke laut melalui saluran -saluran di atas atau di bawah tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi. Oleh karenanya air yang diuapkan dari permukaan tanah hanyalah


(37)

merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1.

Presipitasi

Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak, 1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku (salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir. Selain curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan.

Tipe Presipitasi

Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan, yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977).

Klasifikasi genetic

Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain -lain) dan sarana untuk menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung sebagai akibat udara yang mendinginkan. Presipitasi berdasarkan klasifikasi


(38)

ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan konvektif.

Klasifikasi bentuk

Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan horizontal.

Presipitasi vertikal terdiri dari :

1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap air di atmosfir

2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil

3. Salju : Kristal -kristal kecil air yang membeku yang secara langsung dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari 0ºC.

4. Hujan batu es : gumpalan es yang kecil, kebulat bulatan yang dipresipitasikan selama huja badai

5. Sleet : Campuran hujan dan salju.Hujan ini disebut juga glaze (salju basah).

Presipitasi Horizontal terdiri dari :

1. Es : Salju yang sanga dipadatkan

2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air halus di dekat permukaan tanah.

3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah dan vegetasi.


(39)

4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini menguap pada pagi hari.

5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas tanah.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979).

Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari, terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995).

Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi matahari terhadap vegetasi. Pengaruh suhu terhadap evapotranspirasi dapat


(40)

dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu radiasi matahari. Namun suhu yang besar pengaruhnya terhadap evaporanspirasi adalah suhu permukaan daun bukan suhu udara disekitarnya.

Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata terbuka dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, oleh karena itu evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari.

Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam Asdak, 1995).

Infiltrasi

Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi.


(41)

Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah.

Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 1995) :

1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori -pori permukaan tanah. 2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.

3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut di atas saling terkait.

Faktor-faktor penentu infiltrasi

Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah, dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu


(42)

menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh :

1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah. 2. Sifat permukaan tanah

3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah.

Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang merupakan permukaan bumi mempunyai rongga-rongga yang memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam Asdak, 1995) adalah sebagai berikut :

ÄS = f + c – d – Ea + Äw ……… (5) Dimana :

ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah f = laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah c = laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh d = laju drainase kedalam mintakat penjenuhan Ea = laju evapotranspirasi aktual

Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah terutama karena gradien suhu


(43)

Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga kontribusi-kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai (Seyhan, 1977).

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah:

- Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi - Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat

rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).

Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah :

- Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan, frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari, suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll.

- Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan sungai dan kerapatan drainase).

- Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan urbanisasi.

Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air

Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap sumberdaya air, dimana air hujan yang


(44)

jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%.

Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.


(45)

Tabel 1 . Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980) Tata Guna lahan Koefisien Run -Off

(C)

Tata Guna Lahan Koefisien Run -Off (C) Perkantoran

Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota Perumahan Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota

Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar Daerah Beratap

0,70 – 0,95 0,50 – 0,70

0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40

050 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30

0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,75 – 0,85 0,75 – 0,95

Tanah lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7% Tanah Pertanian,0–30% Tanah Kosong

Rata Kasar

Ladang garapan

Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi

Tanah Tidak Produktif, >30%

Rata, kedap air Kasar

0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35

0,30 – 0,60 020 – 0,50 0,30 – 0,60 020 – 0,50 020 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25

0,70 – 0,90 0,50 – 0,70


(46)

METODA PENELITIAN

Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan luas wilayah sebesar 183.78 Km². Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6°6’ Lintang Utara sampai dengan 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’ Bujur Timur sampai dengan 106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah :

 Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan Kabupaten Tangerang.

 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang.

 Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.

 Sebelah timur dengan DKI Jakarta.

Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang, Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah, Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda.

Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada


(47)

(48)

Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air.

Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian Perubahan penggunaan Lahan Pembuatan Peta Guna Lahan

Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian. Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : 5.000 maupun citra satelit skala 1 : 25.000.

Tahap Interpretasi dan uji lapang

Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun citra satelit.


(49)

Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan.

Sumber : Ikonos, 2001 Gambar 12. Citra Satelit (Bagian Wilayah Kota Tangerang)


(50)

Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003 Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang) Korelasi antar variabel

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi 6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah variabel-variabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk,


(51)

Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian), Luas areal terbangun,Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota)

Analisis Hidrogeologi

Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi dalam 2 jenis, yaitu :

Penelitian Langsung dan tidak langsung Penelitian Tidak Langsung (Prospecting)

Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus listrik ke dalam bumi dan kemudian mengamati pengaruh yang ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik (ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya (volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan

demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm). Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang menghantarkan listrik.

Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut : ……… (6) ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter)

R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter)

A = Luas penampang material (m²)


(52)

dimana :

………. (7)

sehingga :

……… (8)

V = Beda Potensial (Volt)

I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere)

Gambar 14

Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik

Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut :

………..(9)

………..(10)

J = Rapat Arus

ó

= Hantaran Jenis E = Medan Listrik

ó

= 1

ñ

R = V

I

ñ

= V A L I

Ä V

L

I

ó

= J


(53)

………..(11)

………..(12)

Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut :

1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas (kadar garam).

2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.

3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan komposisinya.

4. Temperatur.

5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air yang dicirikan dengan adanya pori-pori yang saling berhubungan.

Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan

Batuan Butir

(mm)

Porositas (%)

Angka Kelulusan Air (Permeability)

(m³/hari)

Lempung Lanau

Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat

0,01 0,01 – 0,04 0,05 – 0,10 0,10 – 0,20 0,25 – 0,45 0,50 – 0,95 1,00 – 5,00

45 – 55 40 – 50

30 – 40 30 - 40

0,01 0,05 – 0,80 1,20 – 40,00 5,00 – 20,00 30,00 – 100,00 125,00 – 450,00 500,00 – 1.200,00 J = I

A


(54)

Sumber : Soewali dkk, 1981

Parameter tahanan jenis (

ñ

) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar 15)

Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981 Gambar 15. Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam

Air yang dikandung Batuan)

Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan

Tahanan Jenis (Ù m) Jenis Tanah dan Batuan

Basah Kering

Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil

10 5 50

50 100 1.000

Tahanan Jenis

500

100

10

1,0

0 10 1.00 10.00 Kadar Garam Air Tawar dalam

Batas Air


(55)

Batugamping, batupasir Konglomerat

Batuan beku 20 – 100 1.000 1.000 500

Sumber : Utomo dkk, 1981

Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik)

Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan

Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis).

Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas atasnya sebagai permukaan air tanah.

Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya. Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika

Alat Permukaan Tanah

Arus (I) Beda Potensial (V)


(56)

dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang Batugamping mempunyai kem ungkinan besar untuk dapat mengandung air tanah bebas.

Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit oleh dua lapisan batuan yang kedap air (impermeable).

Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur geologi, arah kemiringan lapisan, lipat an dan patahan (sesar) akan mencerminkan keberadaan air tanah artesis.

Metoda penelitian terhadap akifer secara langsung dengan pemboran inti. Pemboran inti (Core drilling) efektif digunakan untuk mengetahui susunan lapisan dari atas ke bawah secara utuh. Dengan menggunakan mata bor intan (diamond bit) lapisan yang berada dibawah permukaan tanah akan diambil dengan batang bor kemudian lapisan berbentuk silinder yang berda di batang bor disimpan dalam sebuah kotak dan disusun berdasarkan kedalaman, berbeda dengan pengukuran geolistrik jenis lapisan ditentukan berdasarkan interpretasi nilai tahanan jenis, dalam pemboran inti jenis lapisan (batuan) bisa ditentukan secara langsung berdasarkan sifat-sifat fisik batuan untuk batuan sedimen perbedaan lapisan diketahui berdasarkan ukuran butir.

Hidrologi

Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada neraca air, dimana makin bertambahnya kawasan terbangun akan bepengaruh


(57)

terhadap berkurangnya air hujan yang meresap kedalam tanah, dengan demiian aliran air permukaan akan meningkat, karena curah hujan dan evapotranspirasi dianggap tetap tidak terpengaruh oleh perubahan penggunaan lahan. Variabel yang dianalisis dalam pnghitungan neraca air meliputi Curah Hujan (Presipitasi), Laju Penguapa (Evapotranspirasi), Air yang meresp ke dalam tanah (Infilrasi) dan Limpasan air permukaan (Run Off).

Presiptasi

Presipitasi biasaya dinyatakan sebagai kedalaman cairan yang berakumulasi di atas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat kehilangan . Pengukuran presipitasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur presipitasi yang didasarkan atas suatu kombinasi dua pendekatan (seyhan), yatu :

1. Penakar hujan bukan pencatat

Penakar hujan bukan pencatat diletakan di tanah, terdiri dari : penakar hujan baku (standard), penakar hujan penympan 9atau penjumlah), penakar hujan searas tanah, Penakar hujan acuan internasional (International Reference Precipitation Gauge), RADAR (Radio Detecting and Ranging)

2. Penakar hujan Otomatik (pencatat)

Semua penakar hujan otomatik akan mencatat data (dalam hal ini jumlah hujan) secara kontinu (interval 1 menit, 5 menit, 10 menit dll) maupun secara berkala pada beberapa macam grafik, pita berlubang, pita magnetic, film, sinyal-sinyal listrik dll.


(58)

Pemantauan presipitasi dapat dilakukan dengan 3 cara :

a. Pemantauan hujan di tanah, dapat dilakukan dengan menggunakan alat penakar :

- Penakar hujan otomatik tipe pelampung - Penakar hujan otomatik tipe penimbangan - Penakar hujan otomatik tipe ember tupah - Penginderaan jauh.

b. Pemantauan presipitasi dari udara (penginderaan jauh), terdiri dari - Kamera

- Penyaring Gambar (Sanners) - Radar

- Radiometer gelombang mikro

c. Pemantauan presipitasi dari ruang angkasa (penginderaan jauh)

Evapotranspirasi

Penaksiran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan berbagai metoda, metoda yang digunakan untuk menghitung evapotranspirasi dalam penelitian ini adalah berdasarkan rumus Turc dan Langbein. Pada tahun 1952 hidrolog Perancis Turc mengembangkan metoda untuk menghitung evapotranspirasi aktual tahunan rata-rata dengan menggnakan data yang didapatkan pada 254 daerah aliran sungai di seluruh dunia. Rumus tersebut adalah :

... ... (13)

E = P

0,9 + [L(T)]²


(59)

L(T) = 300 + 25(T) + 0,05 (T)³ ... (14) Dimana :

E : Evapotranspirasi actual rata-rata tahunan (mm/tahun) P : Presipitasi rata-rata tahunan (mm/tahun)

L (T) : Fungsi Temperatur

T : Temperatur rata-rata tahunan (°C)

Pada tahun 1949 Langbein (AS) mengembangkan hal yang sama dengan Turc untuk menaksir evapotransprasi berdasarkan besarnya curah hujan dan temperatur udara suatu wilayah.

Limpasan Permukaan (Surface Run-Off)

Setelah mengetahui besar evapotranspirasi maka air limpasan permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) bisa dihitung dengan cara curah hujan dikurangi oleh evapotranspirasi maka sisanya adalah air yang mengalir ke permukaan bumi, air yang jatuh kepermukaan tanah sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air tanah dan sebagian mengalir dipermukaan dan asuk ke dalam sungai. Untuk menghitung besarnya surface run off didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus :

RO = (P – ET) x C x A ... (15) dimana :

RO = Surface Run Off (m3/tahun)


(60)

ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off

A = Luas lahan (m2)

Infiltrasi

Sama halnya dengan perhitungan run off, Untuk menghitung besarnya infiltrasipun didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus :

F = (P – ET) x (1 – C) x A ... (16) dimana :

F = Infiltrasi (m3/tahun)

P = Curah hujan (m/tahun) ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off

A = Luas lahan (m2)

Analisis Penentuan Harga Air

Analisis penentuan harga air ditujukan untuk mendapatkan biaya pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya pemeliharaan, biaya konservasi serta biaya jasa pengelolaan air. Selain itu pembiayaan dimaksudkan untuk menciptakan insentif ekonomi penggunaan sumberdaya air yang lebih efisien sebagai upaya menghindari kelangkaan sumberdaya air.


(61)

Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah dilakukan oleh Kimpraswil. Tata cara penghitungan pada prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam perhitungan itu adalah:

a. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P) b. Biaya Depresiasi

c. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam

d. Biaya tidak langsung atau overhead.

Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan

memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil

Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil adalah berikut:

Vs L S M n Vs P

. . 1

. α

α

+ +      

= ………. (17)


(62)

P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku

Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m3/ tahun)

n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam tahun)

M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun)

S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung

keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap tahun (Rp/tahun).

L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun) á = Faktor Pengali.

Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para penggunanya yakni, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi:

Vs L S M n Vs P

. . 1

. α

α

+ +


(1)

1. Membuat dan melaksanakan aturan tentang Koefisien Dasar Bangunan yang ketat untuk memperbesar air yang meresap kedalam tanah.

2. Pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, dan kolam resapan komunal pada kawasan perumahan dan perdagangan. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu di payungi dengan adanya peraturan daerah.

3. Merubah pola pembangunan dengan orientasi bangunan vertikal dengan membangun rumah susun, apartemen, kondominium dll, untuk menghemat penggunaan lahan.

4. Mengembangkan PDAM untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga Kota Tangerang untuk meminimalkan pengambilan air tanah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adisa smita R. 1983. Teori-Toeri Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang.

Anwar A. 1990. Pengant ar Met odologi Penelit ian Ekonomi. Bahan Kuliah Met odologi Penelit ian Ekonomi dan Sosial, Pr ogr am St udi Per encanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Pr ogr am Pasca Sar j ana, I PB.

Anwar A. 1993. Dampak Alih Fungsi Lahan sawah Menjadi Lahan Non-Pertanian Di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 10, Triwulan IV. Bandung.

Anwar A. 1994. Tinj auan Beber apa Aspek Ekonomi Dar i Konser vasi Tanah/ Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber daya Alam, Pr ogr am St udi Per encanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Pr ogr am Pasca Sar j ana, I PB.

Anwar A. 1994. Beber apa Aspek Ekonomi Sumber daya Lahan. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber daya Alam, Pr ogr am St udi Per encanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Pr ogr am Pasca Sar j ana, I PB. Anwar A, Fauzi A, Ansofino, Suciati LP ; Final Report “ Model pengelolaan Sumber

Daya Air dan Lahan pada Kerjasama Ekonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah” Tahap I tentang Perilaku Suply – Demand Air di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan, Lembaga Penelitian IPB.

Alonso W. 1970. Locations and Land Use: Toward a General Theory of Land Rent. Harvard University Press, Cambridge.

Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air [skripsi]. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Asdak, C, 2004 ; Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Cetakan ketiga.

Badan Meteorologi dan Geofisika, 1994-2003. Data Curah Hujan dan Temperatur udara Rata-rata Bulanan. Badan Meteorologi dan Geofisika, Tangerang


(3)

Bappeda Kota Tangerang, 2000 ; Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Bapeda Kota Tangerang, 2003: Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 Bapeda Kota Tangerang, 2003 : Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2003 Barret, E.C. and Curtis, L.F., 1983 ; Introduction to Envirromental Remote Sensing,

Chapmn and Hall, London

Barlowe R. 1978. Land Resources Economic. The Economics of Real Es tate. 3nd ed. Prentice -Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Michigan State University. Bowen, R, 1986; Ground Water, Elsevier Applied Science Publishers

Burges EW. 1925. The Growth of The City: In The City. R.E.Park. University of Chicago Press.

Cahyono TB. 1982. Ekonomi Pertanahan. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Direktorat Sumberdaya Air, IWACO, WASECO, 1990 ; Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, West Java Provincial Water resources.

Daldjoeni, N, 1992 ; Geografi Baru, Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek, Alumni

Departemen Kehutanan, 2003 ; Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane

Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 ; Identifikasi dan Pemetaan Wlayah Konservasi Air Tanah Kota Tangerang

Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2005 ; Dokuen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang

Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Banten ; Peta Hasil Sweeping Inventarisasi SIPA ABT

Dinas Pertanahan Kota Tangerang, , 2003; Foto Udara Kota Tangerang Tahun 2002. Fauzi, A, 2004; Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan, Gramedia.

Jayadinata, J.T, ; Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan , Perkotaan & Wilayah, Edisi Ketiga, Penerbit ITB Bandung.

Lillessand, T.M and Kiefer, R.W, 1979 ; Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley & Sons, New York.

Linsley, R.K and Franzizi, J.B, 1979 ; Water Resources Engineering Third Edition, Mc Graw Hill Book Company.


(4)

Linsley,R.K, Kohler,M.A, Paulhus, J.H, 1988; Hydrology for Engineers, Mc Graw Hill Book Company.

Linsley, R.K and Franzizi, J.B diterjemahkan Sasongko, D, 1991 : Teknik Sumber Daya Air Edisi Ketiga Jilid 1, Penerbit Erlangga

Muif, M, 1991 : Pengaruh Eksploitasi Air Tanah Terhadap Sistem Keseimbangan Tata Air di Wilayah Jakarta (Tesis), Program Pasca Sarjana, IPB

Pratondo, BJ, 2001 : Evaluasi Subedaya Lahan Dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja dan SIG di Kabupaten Blitar (tesis), Program Pasca Sarjana, IPB Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Pedesaan.

Makalah Lokakarya Penyusunan Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pedesaan di Cibogo, Bogor, Tanggal 10-11 Mei 2001. Bogor.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2002. Analisis Kecendrungan dan dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah Jabotabek; Suatu Upaya Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan. Fakultas Pertanian IPB Saefulhakim S, Kitamura T dan Kobayashi S.1992. Factors Affecting Rural

Occupations and I.and Use: A Multivariate Approach Using Correspondence Analysis.Indonesian Journal of Tropical Agriculture, Vol. 4, No. 1, pp. 1-10. Saefulhakim S. 1994. A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use

Management. Ph.D. Dissertation of Regional Planning Laboratory, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Kyoto.

Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1994. Rural Land Use Management for Economic Development. Paper presented at the Seminar on Agricultural Land Use Management, Organized by Asian Productivity Organisation (APO), Tokyo 8th-18th November 1994.

Saefulhakim S. 1996. A Study on Effectiveness of Land Use Conversion Control Policy Institutions, Case Study of Bali, Java, and South Sumatra. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor.

(In Indonesian).

Saefulhakim S dan Nasoetion LI. 1996. Irrigated Paddy Land Conversion Control Policy. Proceedings of National Forum on Soil and Agroclimatic Research Communication. Center tor Soil and Agroclimatic Researches, Bogor. (in Indonesian).

Saefulhakim S. 1997a. Conceptual Framework for Spatial Planning and Rural Area Development. Journal of Regional and Urban Planning, Vol.8, No.l, January 1997. Center for Regional and Urban Development, Bandung Institute of Technology (ITB), Bandung.

Saefulhakim S. l997b. Socio -economic Aspects of an Optimal Land Use Model for the Upper Cimanuk Basin. Inception Report, Cooperative Research Work of Research Institute of Bogor Agric. Univ. (IPB) and the World Bank (In Indonesian).


(5)

Saefulhakim S, Dyah RP dan Nasoetion LI. 1997. Land Ownership/Holding, Land Consolidation, and Land Use Arrangement Policy Model for Sustainable Agribusiness Development. Monograph of Land Resources Development Planning Laboratory, Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Bogor Agric. Univ. (IPB), Bogor. (In Indonesian)

Saefulhakim S.1998. Spatial Arrangement for Rural Areas, Agriculture

Development, and Irrigation Infrastructure. Paper presented in the National Expert Forum for Designing the Government Regulation on Rural Spatial Arrangement. Jakarta, January 21-22, 1998. The National Coordinating Agency for Spatial Arrangement (BKTRN). (In Indonesian)

Saefulkaim S dan Otsubo. 1999. Land Use Global Environmental Concervation (LU/GEC) – Final Report Of The LU/GEC Firs t Phase (1995 –1997). Center for Global Environmental Research. National Institute for Environmental Studies.

Sahidin D. 1995. Kajian Alih Fungsi Lahan Akibat Perkembangan Industri di Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Jurusan Teknik Planologi. ITB. Bandung.

Sarief, E.S, 1986 : Konservasi Tanah dan Air, Pustaka Buana, Soepardi G. 1977. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor.

Soewali a.s. dan Soenarto, B, 1988 ; Pendugaan geolistrik untuk Penyelidikan Air Tanah, Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Bandung

Somaji PR. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap

Masyarakat Petani di Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana PWD, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Subagyo, S. 1990 ; Dasar-dasar Hidrologi, Gajah Mada University Press.

Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruhciat, S ; Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Banten, Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan 2003.

Telford, ; Applied Geophisycs, Mc Graw Hill Book Company.

Thomas, R.L, 1997 ; Modern Econometrics an introduction, Addison-Wesley.

Turkandi, T, Sidarto, Agustiyanto, D.A dan Purbohadiwidjoyo, M.M, 1992 ; Peta Geologi Lembar Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Thunen, Johann HV (1826), Der Isolierte Staat in Bezieburg Ouf Lendwirtsc Haft

und Nationalokonomie, Hunburg friedrich (English Traslation by Peter Hill ed. Van Thunne’s Isolated State, Oxford Pegamon Press 1966. Utomo. E.P., Arsadi. E.M dan Harjono. H.1981 : Dasar-dasar penafsiran Tahanan


(6)

Welber A. 1909. Theory of Location of Industries. Chicago. University of chicago Press.

Yunus, H.S, 2001 ; Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar

Zahnd, M, 1999; diterjemahkan oleh Frick, H, Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius.