9
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. City Branding
City branding merupakan manajemen citra suatu destinasi melalui inovasi strategis serta kordinasi ekonomi, komersial, sosial, kultural, dan
peraturan pemerintah. Terdapat beberapa pembahasan mengenai city branding dari berbagai bidang keilmuan Moilanen, Teemu Rainisto. 2009. How to
Brand Nations, Cities and Destinations, A Planning Book for Place Branding. USA: Palgrave Macmillan, Hal. 7. Rainisto memaparkan kerangka teori place
branding yang terfokus pada upaya memasarkan kota Rainisto. 2009. How to Brand Nations, Cities and Destinations, A Planning Book for Place Branding.
USA: Palgrave Macmillan, Hal. 25. Kavaratzis melihat city branding dalam konteks komunikasi, dimana citra suatu kota bisa dicapai melalui tiga tahapan
komunikasi yaitu primer, sekunder dan tersier. Dari berbagai sudut pandang tentang city branding yang pernah dikemukakan, city branding hexagon paling
sesuai untuk dijadikan acuan dalam evaluasi city branding dibandingkan konsep lainnya yang cenderung menitikberatkan pada upaya pelaksanaan city branding
Kavaratzis, Mihalis. 2004. From city marketing to city branding: Towards a theoretical framework for developing city brands. Place Branding, Vol. 1, No. 1.
Hal. 66-69. City branding hexagon diciptakan oleh Simon Anholt untuk mengukur
efektivitas city branding. Menurut Anholt terdapat enam aspek dalam pengukuran efektivitas city branding yaitu presence, potential, place, pulse, people dan
prerequisite. Popecsu, Ruxandra dan Corbos, Razvan . 2010 “Strategic Options in
The Construction of The Bucharest Brand Through The Application Analysis of The Measuring Instruments for The Urban Brands. Annals of the University of
Petroşani,Economics,101, 2010 menyatakan bahwa city branding hexagon memberikan instrumen pengukuran inovatif sehingga dapat mempermudah
pemerintah untuk mengetahui persepsi mengenai citra kota.
10 Citra memiliki peranan yang penting dalam memberikan makna
representatif yang mudah dimengerti bagi suatu kota. Bozbay 2008:48 menyebutkan beberapa studi yang menemukan hubungan antara citra dengan
pemilihan destinasi dan intensitas kunjungan. Janes 2010:3 memaparkan bahwa beberapa penulis seperti Laroche, Prameswaran dan Pisharodi, berpendapat
terdapat tiga dimensi untuk mengukur citra suatu destinasi, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Dimensi kognitif meliputi kepercayaan dan pengetahuan, afektif
mengukur aspek nilai emosional, sedangkan konatif membahas tentang perilaku yang terkait dengan destinasi. Koerte 2009:4 juga menetapkan aspek kognitif,
afektif dan konatif sebagai dimensi pengukuran citra. Menurut Griffin, Emory A. 2003. A First Look at Communications
Theory Fifth Edition. New York:Mc Graw-Hill, Hal. 198 rute sentral melibatkan proses elaborasi pesan, dimana Petty dan Cacioppo mendefinisikan elaborasi
sebagai sejauh mana seseorang berpikir secara seksama tentang relevansi argumen yang terkandung dalam suatu topik komunikasi, sedangkan rute periferal
menawarkan jalan pintas untuk menerima maupun menolak pesan tanpa adanya pertimbangan terhadap objek dan atribut pesan. Menurut Littlejohn, Stephen W
dan Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika, Hal. 09 terdapat enam faktor yang membuat kita
menggunakan jalur periferal sebagai autopilot, yaitu: resiprokasi, konsistensi, bukti sosial, kesukaan, otoritas, dan kelangkaan.
2.2 Strategi Komunikasi