PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA

(1)

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta Disusun oleh:

Nama : Musa Akbar

NIM : 20100610087

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015


(2)

I

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta Disusun oleh:

Nama : Musa Akbar

NIM : 20100610087

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015


(3)

IV

(QS: Al Isra’: 36).

Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.

(H.R Muslim)

Kecintaan atau ketulusan teman itu, akan tampak pada waktu kesempitan. (Mahfudzod)

Biasakan yang BENAR, janagn MEMBENARKAN yang biasa. (Muhammad Zukri)

Orang-orang sukses menemukan solusis, orang-orang gagal menemukan banyak alasan. (Musa Akbar)


(4)

V

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada: Ayah dan Ibu Saya Muhammad Kasah Asa B.Ktex dan Rasmi Damai, S.Pd Abang dan Kakak Saya Muslim Karada, Musdarika, Sungkawati, Fikri Rahmadian .


(5)

VI

Nama : Musa Akbar

N I M : 20100610087

Judul Skripsi : PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR

1 TAHUN 2014 DALAM PENANGANAN

GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA YOGYAKARTA

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana S-1 yang telah diperoleh karena karya tulis ini, dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 14 November 2016 Yang Menyatakan,

M u s a A k b a r NIM. 20100610087


(6)

VII

Shalawat beriring Salam untuk tuntunan dan suri tauladan Rasulullah SAW. beserta keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sampai saat ini dapat dinikmati oleh seluruh manusia di penjuru dunia.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Hukum dari Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Judul skripsi ini adalah“Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta”.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik jika tanpa bantuan dan kerjasama dari semua pihak, sehingga Penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dengan penuh kerendahan hati Penulis mengucapkannya. Kepada semua pihak yang sudah membatu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Kedua Orang Tua Penulis, Muhammad Kasah Asa dan Rasmi Damai. Abang dan Kakak Penulis, Muslim Karada, Sungkawati, Musdarika dan Fikri Rahmadian yang tidak pernah bosan-bosannya memberikan kasih sayang, dukungan-dukungan, bimbingan, nasehat-nasehat, kebutuhan materil dan yang paling utama adalah Do’a yang selalu diperuntukan untuk Penulis. Sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembelajaran ini. Penulis slalu berharap dengat sangat, beliau slalu diberikan kesehatan, keselamatan, dan rahmat oleh Allah SWT. (Aamin)

2. Bpk. Dr. Bambang Cipto, M.A Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Bpk. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bpk. Anang Sya’roni, S.H., M.H. selaku Wali Dosen dan Dosen Pembimbing I Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

5. Ibu Septi Wijayanti, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II Fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.


(7)

VIII

dalam pengambilan data.

8. Kakanda Supangat, Kakanda Joko Upoyo Wicaksono, Kakanda Budi Darmadi, Kakanda Irwansyah, Kakanda Gusti Randa, Kakanda Keliwon. Terimakasih atas dukungan, bimbingan serta nasihat yang telah diberikan kepada Penulis.

9. Adik-adik Dwi Kurniaji, Mega Sulistiowati, Aan Dwi Saputra, Rouf Widiantoro, Davit Airlanto, Ade Suryadi, Dimico Rajawali, Asep Widodo, Tripurnanto, Rio Cahyandaru, Dima Santika, Hasfara Indah, Neni Kartini, Faisyal Rifai, Abdul Mubarok, Julian Dwi Prasetia semuanya cc.

10. Abang-abang dan rekan-rekan Lembaga Bantuan Hukum dan Studi Kebijakan Publik (LBH SIKAP) Yogyakarta. Bang Detkri, Bang Wandy, Bang Tuson, Bang Bimo, Bang Dhani, Bang Sapto, Bang Akir, Bang Umro, Budi, Christin dan Dhina.

11. Saudara-saudara semuanya, Saudara- saudara Asrama Lut Tawar (Gayo) Bang Fahribi, Bang Raden, Bang Rifai, Bang Aulia, Bang Sara Afari, Bang Yusri, Bang Razikin, Ruhdiko, Endi Ariadi, Bang Eko Parjiono, Dondi, semua saudara yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu. 12. Randi Ilmah, Kak Poppy, Tante Mira, Om Khaidir, Tante Yuli, Om Zukri,

Tante Shinta dan semua keluarga besar Opa dan Oma. Terimakasih atas semua dukungan, motivasi dan bimbingan serta doa yang diperuntukan kepada Penulis.

13. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Khususnya angkatan 2010 yang telah mengamanahkan Penulis menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2013-2014.

14. Teman-teman seperjuangan PERMAHI khususnya DPC PERMAHI D.I.Yogyakarta yang mengamanahkan Penulis menjadi Ketua I Bidang Internal. Tetap semangat, PERMAHI??? JAYA!!!

15. Teman-teman Oraganisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang memerikan arti kehidupan menjadi Insan Ulil Albab.

16. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyusunan Skripsi ini. Penulis sadar bahwa Skripsi ini masih jauh dari harapan dan juga masih banyak kekurangan, maka dari itu Penulis minta saran, kritik dan masukan yang bersifat mambangun bagi para pembaca. Sehingga untuk selanjutnya dalam


(8)

IX

Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dapat bermanfaat juga bagi pembangunan Hukum Nasional.

Yogyakarta, 16 Desember 2015 Penulis


(9)

XI

Halaman pengesahan ... III Halaman motto ... IV Halaman persembahan ... V Pernyataan Keaslian Penulis Skripsi ... VI Halaman kata pengantar ... VII Abstrak ... X Halama daftar isi... XI

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan Peneliti ……… 6

D. Manfaat Peneliti ……….. 6

BAB II Tinjauan Pustaka……….. 7

A. Gelandangan dan Pengemis………... 7

1. Pengertian Gelandangan danPengemis ……… 7

2. Kriteria Gelandangan danPengemis ………. 13

3. Faktor Munculnya Gelandangan danPengemis ……… 15

B. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Upayanya Dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014………... 29

1. Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Penanganan Gelandangan danPengemis ………... 30

2. Sosialisasi Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan danPengemis ………. 35

3. Tujuan Penanganan Gelandangan danPengemis ……….. 38

4. Peran Masyarakat Dalam Penanganan Gelandangan danPengemis …………... 40


(10)

XII

D. Teknik Pengumpulan Data……...……… 42

E. Teknik PengelolaanData ……….. 48

F. Analisis Data ... 49

BAB IV Hasil PenelitiandanPembahasan ……….... 50

A. Pelaksanaan Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandang dan Pengemis di Kota Yogyakarta …... 50

B. Faktor Pendukung dan Faktor penghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah DIY Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Di Kota Yogykarta……… 65

BAB V Penutup ……… 71

A. Kesimpulan……….. 71

B. Saran ……… 73


(11)

(12)

(13)

Gelandang dan pengemis (Gepeng) dapat dikatakan penyakit sosial dalam masyarakat, dikarenakan keberadaan gepeng di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya kota Yogyakarta sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota Yogyakarta. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, dalam rangka menjamin dan memajukan kesejahteraan setiap warga negara serta melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan dan untuk melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis telah terbit sebagai payung hukum mulai efektif berlaku 1 Januari 2015 Silam. Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, Satuan Kerja Perangkat Daerah masing-masing bidang melaksanakan peraturan tersebut sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, yaitu: Preventif, Koersif, Rehabilitatif, dan Reintegrasi Sosial.

Dalam pelaksanaannya, Hingga kini tidak kunjung tiba Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Prosedur Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Standar Operasional Prosedur) sebagai standarisasi prosedur penanganannya yang telah diatur dan tertulis dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis Pasal 17 ayat (1) dan (2), sehingga Peraturan Daerah tersebut terkesan mandul. Tanpa Pergub para satuan kerja perangkat daerah terkait sebagai pembantu pelaksanaan peraturan memicu akan timbulnya kesewenangan prosedur penanganan Gelandangan dan Pengemis.


(14)

1

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikatagorikan sebagai salah satu Negara berkembang berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini sudah menjadi amanah yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea IV menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentunya pembangunan nasional dan pembangunan daerah harus berjalan beriringan agar tujuan mulia tersebut dapat berjalan dan terlaksana sebagaimana mestinya,

Kemudian, menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara.Selanjuatnya ketentuan Pasal 34 ayat (2) menegaskan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdanyakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dilanjutkan Pasal 34 ayat (3) berbunyi Negara


(15)

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat (1) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyebutkan tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial adalah menentukan garis kebijakan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing dan meningkatkan kesejahteraan sosial, melaksanaan pembinaan (memupuk, memelihara, membimbing) dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab sosial masyarakat, serta melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Pemerintah telah menetapkan kebijakan dan peraturan perundangan lainnya dalam rangka menanggulangi gelandangan dan pengemis. Di dalam KUHP Pasal 504 dan 505 tindakan menggelandang dan mengemis adalah tindakan Pelanggaran terhadap Ketertiban Umum. Pemerintah juga menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanganan. Usaha-usaha penanganan tersebut, di samping Usaha-usaha pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan pengemis agar mampu mencapai taraf hidup,


(16)

kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warganegara Republik Indonesia.

Gelandang dan pengemis (Gepeng) yang sudah menajdi fenomena merebak dan melanda di Indonesia, Fenomena ini mulai merebak pada tahun 1990an yang jumlahnya makin membesar disetiap kota1, khususnya di kota Yogyakarta. Gepeng juga dapat dikatakan menjadi penyakit sosial dalam masyarakat, dikarenakan keberadaan gepeng di kota Yogyakarta sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota.

Dewasa ini, Permasalahan Gepeng saat ini masih tetap menjadi beban pembangunan nasional, untuk itu peran pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini tentunya harus dilakukan secara bersama-sama, sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada, gelandangan dan pengemis merupakan kantong kemiskinan yang hidup diperkotaan, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak.

Menurut ketentuan, Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan peraturan daerah ini, Dalam rangka menjamin dan memajukan kesejahteraan setiap warga negara serta melindungi kelompok-kelompok masyarakat yang rentan dan untuk

1

Alan Darmasaputra, “Kebutuhan-Kebutuhan Pisikologis Gepeng”, Skripsi S1 Kearsipan


(17)

melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis2.

Selain itu, diamati dari keberadaan Perda No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang pengemis hadir tidak serta mata melakukan razia oleh dinas terkait untuk menciptakan DIY khusunya kota Yogyakarta bebas dari gepeng, akan tetapi Perda ini pun member solusi kepada gepeng tersebut, berupa sebuah desa binaan bagi para gepeng yang kini disiapkan oleh Dinas Sosial DIY bekerjasama dengan kementrian Sosial yang bertajuk Desaku Menanti, di sana para gepeng usia produktif bisa mendapatkan rumah tinggal dan kesempatan usaha yang baru. Hal itu menyusul ditetapkan Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) pada 20 Februari 2014 lalu. “Ya kami mencoba tegas (menegakkan Perda) tapiharus solutif. Kami tegas, tapi tidak semena-mena,” ucap Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi usai pemaparan konsep Desaku Menanti di hadapan Gubernur DIY di Kepatihan, Senin (9/6).3

Akan tetapi, diungkapkan Ahmad Syaifuddin dari Save Street Children Jogja dalam jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Kamis (16/4/2015). Kaukus dari 19 komunitas di DIY menuntut Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dibatalkan. Pasalnya, implementasi dan isi perda dinilai sarat kekerasan

2

BPK RI Perwakilan Provinsi D.I.Yogyakarta, “Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1, Gubernur DIY 2014”. 18 September 2014.19 Maret 2015

<http://yogyakarta.bpk.go.id/?p=7087; [19 Maret 2015]

3

Ekasantika, Anugraheni, (2014), Gubernur DIY Relakan Sultan Ground untuk Gepeng, (Online), Tersedia: http://jogja.tribunnews.com/2014/06/10/gubernur-diy-relakan-sultan-ground-untuk-gepeng/ [21 Maret 2015]


(18)

serta melanggar hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya itu, ungkapnya, keberadaancamp assessment[panti rehabilitasi sosial] tidak layak ditambah dengan pelaksana perda, Satpol PP dan Dinas Sosial, tidak memadai. Fasilitas camp, urainya, tidak kayak karena tidak tersedianya ruangan yang nyaman, tidak menyediakan alat kebersihan yang layak, pemenuhan kebutuhan makan tidak layak, dan sebagainya. Sedangkan jumlah pekerjasosial atau pendamping hanya 12 orang yang masing-masing mendampingi lima sampai 20 orang.4

Berdasarkan pada asas penanganan gelandang dan pengemis menurut Pasal 2 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis menegaskan: a. Penghormatan pada martabat dan harga diri, b. Non diskriminasi, c. Non kekerasan, d. Keadilan, e. Perlindungan, f. Kesejahteraan, g. Pemberdayaan, h. Kepastian Hukum. Berdasarkan latar belakang masalah di atas,sesuai dengan Pasal 19 poin a Peraturan Daerah Daerah IstimewaYogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penangan gelandang dan pengemis yang berbunyi peran serta masyarakat dalam penanganan gelandang dan pengemis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 juga dilakukan oleh: a. Perguruan tinggi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.

4

Medyani, Diah Natalia. (2015), Perda Gepeng dituntut dibatalkan, setujukah? (Online), Tersedia: http://jogja.solopos.com/baca/2015/04/17/perda-gepeng-dituntut-dibatalkan-setujukah-595625, [17 Mei 2015]


(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalahBagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan mengkajiPelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dalam bidang ilmu Hukum khususnya dalam hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bagi pembangunan yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau saran untuk Pemerintah Kota Yogyakarta semoga dapat menangani gelandang dan pengemis demi terciptanya Kota Yogyakarta yang lebih baik lagi bagi negara Indonesia.


(20)

7 A. Gelandangan dan Pengemis

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis

Kata gelandangan dan pengemis disingkat dengan “gepeng”, masyrakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan singkatan “gepeng” tersebut yang mana tidak hanya menjadi kosa kata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam dalam kebijakan Pemerintah merujuk peda sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui dikota-kota besar khususnya di Kota Yogyakarta..

Kosa kata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut dimasyarakat Indonesia adalah Tunawisma.1 Kemudian kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar Negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah populer yang sering digunakan di Amerika Serikat untuk menyebut gelandangan dan pengemis adalah

Homeless.2

1

Magfud Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal Penelitia STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, hlm 2.

2

Engkus Kuswarno, 2008,Metode Penelitian Komuniaksi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm 88.


(21)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik IndonesiNomor 31 Tahun 1980Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Kemudian Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (2) tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Menjelaska, ”gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum”. Kemudian Pasal 1 ayat (5) menjelaskan, “pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain”.

Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian gelandangan dan pengemis, yaitu: gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap, tedak tentu pekerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini, tidak tentu tujuannya,


(22)

bertualang”. 3 Berikutnya, pengemis adalah “orang yang meminta-minta”.4

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) tentang Kesejahteraan Sosial. Menjelaskan, Penyelenggaran kesejahteran sosial ditujukan kepada: perseorangan. Keluarga, kelompok, masyarakat. gelandangan dan pengemis dikatagorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indoensia, maka Undang-undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang diprioriraskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban tidank kekerasan, ekploitasi dan diskriminasi. Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga masalah kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis.

Kemudian, menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Iqbali 2005 gelandangan dan pengemis adalah kelompok yang berpola hidup agar

3

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Bahasa, 2012,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 , Balai Pustaka, Jakarta, hlm 281.

4


(23)

mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan, merekasudah terbiasa hidup dengan kemiskinan dan ketebatasan.5

Selanjutnya, menurut Pasurdi Suparlan, Gelandangan berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-pindah. Suparlan juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencariannya relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar masyarakat kecil yang merupakan suatu masayarakat yang lebih luas.Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarkat gelandang tersebut tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu.6

Kemudian, Ali Marpuji dkk menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Mengutip pendapat Wirosardjono maka Ali Marpuji, dkk juga menyatakan bahwagelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau rumah dan pekerjaan yang tetap atau

5

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar

Lampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 43.

6

Parsudi Suparlan, 1978,Gambaran tentang suatu masyarakat gelandangan yang sudah menetap, FSUI, hlm. 1.


(24)

layak, berkeliaran di dalam kota, makan-minum serta tidur di sembarang tempat.7

Begitu juga Menurut Y. Argo Twikromo, Gelandangan adalah orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya dan arah tujuan kegiatannya.8 Dalam keterbatasan ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, mereka berjuang untuk mempertahankan hidup di daerah perkotaan dengan berbagai macan strategi, seperti menjadi pemulung, pengemis, pengamen, dan pengasong. Perjuangan hidup sehari-hari mereka mengandung resiko yang cukup berat, tidak hanya karna tekanan ekonomi, tetapi juga tekan sosial budaya dari masyarakat, kerasnya kehidupan jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban kota.9

Selanjutnya menurut Dimas Dwi Irawan, Khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi orang yang membutuhkan uang, makan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan, seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik, atau bungkus permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan, seperti

7

Ali Marpuji, dkk, 1990, Gelandangan di Kertasura, Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

8

Y. Argo Twikromo, Gelandangan Yogyakarta: Suatu kehidupan dalam bingkai tatanan Sosial-Budaya “Resmi”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999, hlm. 6.

9


(25)

kemiskinan dan ketidak berdayaan mereka karna lapangan kerja yang sempit.10

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka gelandangan terbatas pada mereka yang memiliki tempat tinggal yang tetap, atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunia rumah tinggal yang lazim, maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang bermukim pada daerah-daerah bukan tempat tinggal seperti dibawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper took, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan yang lain.11

Pengertian gelandangan tersebut memebrikan pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat dari pada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lainserta tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap.12

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gelandangan adalah seseorang yang menjalankan hidup dalam

10

Dimas Dwi Irawan, 2013,Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media Publisher, Jakarta, hlm. 1.

11

Saptono Iqbali, ”Studi Kasus Gelandang dan Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan Kubu kabupaten Karang Asem”, Jurnal Piramida, Vol. 4, No. 1, (Juli 2008), diambil dari http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/2972/2130 [17/05/2015]

12


(26)

lingkungan masyarakatdengan keadaan kehidupan sosial yang tidak normal serta mengembara untuk mencari pekerjaan da tempat tinggal walupun itu tidak tetap. Sedangkan pengemis adalah seseorang yang menjalankan hidupnya dengan meminta-minta di muka umum untuk penghasilannya.

2. Kriteria Gelandangan dan Pengemis

Menurut Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 5 dan pasal 6tentang penangan gelandangan dan pengemis menjelaskan, gelandangan adalah orang-orang dengan criteria antara lain:

a. Tanpa kartu tanda penduduk.

b. Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap. c. Tanpa penghasilan yang tetap.

d. Tanpa rencana hari kedepan anak-anaknya maupun dirinya.

Pengemis adalah orang-orang dengan kriteria, antara lain:

a. Mata pencarian tergantung pada belas kasihan orang lain. b. Berpakaian kumuh, compang camping, dan tidak wajar. c. Berada di tempat-tempat umum.

d. Memperalat sesame untuk merangsang belas kasihan orang lain.

Namun secara spesifik, karekteristik gelandangan dan pengemis dapat dibagi:


(27)

a. Karakteristik Gelandangan

1) Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal disembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar.

2) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berprilaku kehidupan bebas dan liar, terlepas dari normakehidupan masyarakatpada umumnya.

3) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan bau atau barang bekas.

b. Karakteristik Pengemis

1) Anak sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.

2) Meminta minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan, lampu lalu lintas, pasar, tempat ibadah, dan tempat umum lainnya.

3) Bertingkah laku untuk mendapat belas kasihan, berpura-pura sakit, merintih dan kadang mendoakan, sumbangan untuk organisai tertentu.

4) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur pada penduduk pada umumnya.13

13

Brain Harefa, “Makalah Gepeng”,


(28)

3. Faktor-Faktor Munculnya Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau penyakit sosial (Patologi Sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuia, melanggal norma-norma umum, adat istiadat, hukum fromal, atau tidak bisa dintegrasiakan dalam pola tingkah laku umum dikatagorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyaarakat.14

Pada umunya penyebeb munculnya gelandangan dan pengemis bisa dilihat dari faktor internal dan ekternal. Faktor internal berkaitan dengan kondisi diri yang peminta-minta, sedangkan faktor ekternal berkaitan dengan kondisi diluar yang bersangkutan.15

Menurtu Dimas Dwi Irawan, ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut, yaitu;16

a. Merantau dengan modal nekad

Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak dari mereka yang merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka berusaha dan mencoba meskipun

14

Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4.

15

Maghfur Ahmad, “Strategi Kelangsungan Hidup Gelandang-Pengemis (Gepeng)”,Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, November 2010, E-Journal on line, <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/108/87> , [20/5/2015].

16

Dimas Dwi Irawan, 2013,Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media Publisher, Jakarta, hlm. 6


(29)

hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas, modal nekat, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih menjadi gelandangan dan pengemis. b. Malas Berusaha

Prilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa usaha, payah cendrung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu.

c. Cacat fisik

Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk memilih seseorang menjadi gelandangan dan pengemis dibidang kerja. Sulitnya lapangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk medapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis.

d. Tidak adanya lapangan pekrjaan

Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak sekolah atau memiliki keterbatasan kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka seringkali salah yaitu menjadikan


(30)

minta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan.

e. Tradisi yang turun temurun

Menggelandangn dan mengemis merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak cucu.

f. Mengemis dari pada menganggur

Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan membuat beberapa orang mempunyai mental dan pemikiran dari pada menganggur maka lebih baik mengemis dan menggelandang.

g. Harga kebutuhan pokok yang mahal

Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok dan memenuhi kebutuhannya adalah dengan giat bekerja tanpa mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih memutuskan untk mengemis karena berfikir tidak ada cara lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

h. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut

Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak berdaya dalam menghadapi masalah ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan ekonomi yang


(31)

sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup dalam krisis ekonomi hidupnya sehingga menjadi gelandangan dan pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup.

i. Ikut-ikutan saja

Kehadiran pendatang baru bagi gelandangan dan pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung oleh adanya pemberitaan tentang gelandangan dan pengemis yang begitu mudahnya mendapat uang di kota yang akhirnya membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebig dahulu menjadi gelandangan dan pengemis.

j. Disuruh orang tua

Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak mereka bekerja karena diperintahkan oleh orangtua nya dan dalam kasus seperti inilah terjadi eksploitasi anak.

k. Menjadi korban penipuan

Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi korban penipuan. Hal ini biasanya terjadi di kota besar yang memang rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru sampai di kota. Pendatang baru


(32)

ini sering mengalami penipuan seperti yang disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya merekapun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang dan bertahan hidup di kota. Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis.17

Permasalahan penyebab munculnya masalah sosial seperti gelandangan, pengemis dan anak jalanan dapat di uraikan sebagai berikut :

a. Masalah Kemiskinan

Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng

17


(33)

miskin materi, dalam hal ini gepeng miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental, karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat seseorang bermental seperti ini.18

Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Dalam Perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan. Diantaranya, seperti lamban dalam bekerja, tidak memiliki keahlian, keterbatasan finansial dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tatanan makro, kemiskinan dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada, itu ditandai dengan adanya keterbatasan peluang dan kesempatan untuk bekerja.19

Menurut Amien Rais, Pembangunan Indonesia khususnya dalam 25 tahun terakhir ini telah menunjukkan berbagai hasil fisik dalam bentuk aset-aset pembangunan yang cukup

18

Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian

Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung, hlm. 91.

19

Bagong Suyanto, 1996,Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentasannya, Aditya Media, Yogyakarta, hlm 2.


(34)

menakjubkan. Akan tetapi, kalau dilihat lebih lanjut, maka masih banyak juga berbagai liabilities yang muncul dalam bentuk pengorabana-pengorbanan (sosial cost) baik sosial, ekonomi, politik, san budaya. Antara lain kemiskinan dan kesenjangan masih merajalela. Dari pengamatan mengenai kelompok-kelompok miskin di indonesia, maka dapat dibedakan menjadi 6 (enam) kelompok:20

a) Kelompok fakir miskin (termasuk keluarga dan anak yang terlantar)

b) Kelompok informal (termasuk kaki lima, asongan dll) c) Kelompok petani dan nelayan

d) Kelompok pekerja pasar (termasuk kuli di pelabuhan) e) Kelompok pegawai negri dan ABRI, khusus golongan

bawah, dan

f) Kelompok pengangguran (termasuk Sarjana)

Sedangkan Parsudi Suparlan menggambarkan dengan terperinci bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusian itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, walaupun seringkali tidak disadari keadilannya sebagai masalah oleh orang yang bersangkutan.

20

Amien Rais, 1995,Kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia¸Yogyakarta, Aditya Media, hlm 49.


(35)

Bagi mereka yang tergolong miskin (gelandangan dan pengemis), kemiskinan merupakan suatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri sebagaimana hidup dalam kemiskinan.21

Sedangkan menurut Ketut Sudhana Astika, kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam massyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang berstrata rendah, mengalami perubahan sosial yang drastis yang ditunjukkan oleh ciri-ciri:

a) Pertama, Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan tinggi, apatis dan perpecahan.

b) Kedua, pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar keluarga inti dan keluarga luas.

c) Ketiga, pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang pengasuhan oleh

21

Parsudi Suparlan, 1995,Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm x.


(36)

orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaknya.

d) Keempat, pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan pada tingkat dan rasa rendah diri.

e) Kelima, tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karna beratnya penderitaan ibu, lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi msa kini, dan kurangnya kesabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya. f) Keenam, budaya kemiskinan juga membentuk orientasi

yang sempit bagi kelompoknya, mereka hanya tahu kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri, tidak adanya


(37)

kesadaran kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status.22

Oleh sebab itu, Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindungi.

b. Masalah Pendidikan

Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh pada terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan di dunia kerja, oleh sebab itu pendidikan yang terlampau rendah dapat menimbulkan kemiskinan.23

Dalam dunia kerja, kualitas sumber daya manusia dapat diukur melalui jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Apabila seseorang berpendidikan rendah dalam arti hanya memiliki ijazah sekolah dasar akan sangat sulit untuk mendapat

22

Ketut Sudhana Astika, “Budaya Kemiskina di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Budaya Miskin di Masyarakat”,Jurnal Ilmiah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana Vol. I No. 1, Tahun 2010, hlm. 23-24.

23


(38)

sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan gelandangan dan pengemis juga memerlukan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.24

Dari rendahnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis inilah yang menbuat mereka terpaksa hidup dalam keterbatasan yang sampai mengakibatkan mereka harus tinggal di alam terbuka dan bekerja dengan cara meminta-minta. c. Masalah Keterampilan Kerja

Keterampilan sangatlah pening dalam kehidupan, dengan keterampilan dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik khususnya pada diri sendiri dan umumnya pada lingkungan sekitar. Potensi diri dapat digalih di dunia pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan sangat erat kaitaannya dengan keterampilan, orang yang memiliki pendidikan rendah cendrung memiliki keterampilan rendah juga. Keterampilan sangatlah penting dalam kehidupan, dengan keterampilan seseorang dapat mengahasilkan dan memiliki aset produksi.25

Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja, ciri-ciri orang yang berada dalam garis kemiskinan adalah orang hidup

24

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota

BandarLampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 50.

25


(39)

di kota dengan usia muda namun tidak memiliki keterampilan.26 Sehingga tidak ada jalan lain baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pada akhirnya mereka pun harus mengemis di tempat-tempat umum.

Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba untuk meminta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya.

d. Masalah Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya terjadi karna dipikiran para gepeng muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Sehingga membudaya oleh para gepeng untuk memperoleh penghasilan di muka umum.

Gelandangan dan pengemis sudah menjadi buadaya yang melekat dalam diri mereka, budaya malu dan harga diri sudah

26


(40)

tidak di pertahankan lagi. Dengan begitu harga diri sudah tidak menjadi hal yang berharga bagi mereka.27

Hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para pemberi sedekah. ada beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis,yaitu:

1) Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.

2) Sikap pasrah pada nasip, menganggap bahwa kemiskinana dan kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasip, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan.

3) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang, ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis, karna mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membenahi mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencariian.28

27

Isma Riskawati, Abdul Syani, “Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis

(Studi Pada Gelandangan dan Pengemis Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota

BandarLampung)”,Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 1, (September 2013), hlm. 51.

28

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosila, 2005, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, Depsos RI, Jakarta. hlm. 7-8.


(41)

Uraian di atas menunjukan bahwa benar adanya beberapa faktor sosial budaya yang menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Dirjen Bina Rehabilitasi Sosialmelalui bukunya yang berjudul Pedoman Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan Berbasis Masyaraka,faktor terjadinya gelandangan dan pengemis disebabkan sikap masyarakat sekitar gelandangan yang kurang peduli. Faktor ini berkaitan dengan masalah lingkungan dan hukum, gelandangan pada umumnya tidak memiliki tempat tinggal. Mereka tinggal di wilayah yang sebetulnya dilarang dijadikan tempat tinggal dan hidup berkeliaran di jalan-jalan atau tempat umum serta tidak memiliki kartu identitas (KTP/KK) yang dicatat dikelurahan, RT/RW setempat.29

Dari semua faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis yang diuraikan diatas, maka tidak dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah faktor yang krusial yang menyebabkan terjadinya dan timbulnya/lahirnya gelandangan dan pengemis.

29

Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial, 2004,pedoman pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan berbasis masyaraka, Jakarta, Depsos RI. hlm 11.


(42)

B. PemerintahKota Yogyakarta dan Upayanya dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014.

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, meskipun luas wilayahnya tidak begitu luas jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, namun tak dapat dipungkiri Kota Yogyakarta merupakan episentrum dari pelbagai aktivitas, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Bisa dikatakan, bahwa Kota Yogyakarta adalah ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, hal itu bisa dibuktikan dengan keberadaan Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman yang bertempat di wilayah ini.30

Konsekuensi menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pembangunan Kantor-kantor, tempat perbelanjaan, dan sarana hibuan menjadi suatu keniscayaan, tak heran faktor ini menjadi pendorong kaum urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang memiliki keterampilan dan ilmu pengetahuan, tentunya tak akan sulit jika hanya sekedar menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun sebaliknya bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak mungkin akan cepat tereliminasi dan dengan terpaksa mencari rezki dengan menggelandang dan mengemis.31

Di dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 pasal 21 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pergelandangan

30

Id.wikipedia.org/wiki/Kota_Yogyakarta, [01/12/2015]

31

Faiz Amrizal SD, Implementasi Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Studi di UPT Panti Karya Kota Yogyakarta),


(43)

dan/atau pengemisan baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara, dan alat apapun untuk menimbulakan belas kasihan dari orang lain.Oleh karna itu dalam, rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah dibidang Sosial dan ketertiban sangat diharapkan, selain dari masyarakat tentunya dengan bersama-sama berupaya menangani gelandangan dan pengemis di Wilayah Kota Yogyakarta.

1. Upaya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

Penangan adalah penetapan tujuan jangka panjang yang luas bagi resolusi masalah yang ditargetkan. 32 Pernyataan ini tidak perlu dikembangkan dalam istilah tetapi dalam sifat global dan jangka panjang seperti untuk menunjukan suatu hasil positif yang diinginkan dalam prosedur penanganan.33

Nitha Citrasari dalam skripsinya mengemukakan bahwa, penanganan di kota cilegon masih sangat minim, kinerja suatu organisasi bisa dilihat dari produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Umumnya kegiatan menggepeng dan pengemis ini dilakukan oleh ibu-ibu dan disertai dengan anak-anaknya, mereka umumnya relatif muda dan termasuk tenaga kerja yang produktif. Dalam skripsi ini, peneliti bisa membagi kesimpulan dari hasil

32

Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene,Buku Pintar Pekerja Sosial-Jilid 2, Terjemahan Juda Damanik dan Chinthia Pattiasina, Jakarta: Gunung Mulia, cet.1, 2009, hlm. 32.

33


(44)

penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang telah peneliti gunakan.34

Dalam usaha mengatasi dan menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan sosial dalam masyarakat ada 3 (tiga) tahapan yang harus yaitu Tahap Identifikasi, Diagnisis, dan Treatent.35Proses identifikasi diperlukan untuk mengetahui bahwa di dalam masyarakat ada terdapat masalah-masalah sosial. Pada tahapan diagnosis, kita mencoba memahami sebab-sebab munculnya masalah sosial, berbagai faktor yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut sampai pada menemukan sumber masalah. Kemudian ketika sumber-sumber masalah telah ditemukan melalui proses diagnosis barulah diadakan upaya ketiga yaitu penyembuhan atau treatment.36

Ketiga hal tersebut merupakan kunci untuk menyelesaikan permasalahan sosial, yang sudah dibungkus dalam suatu proses penyelenggaraan melalui upaya-upaya yang sudah ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah IstimewaYogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis, menegaskan bahwa penanganan adalah suatu proses atau cara serta tindakan yang ditempuh melalui upaya preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi

34

Nitha Citrasari, “Kinerja Dinas Sosial kota Cilegon dalam Penanganan Gelandangan dan

Pengemis di KotaCilegon”, Skripsi, Universitas Sultan Agung Tirtayasa, 2012.

35

Soetomo, 2008,Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 29.

36

Zainul M. Asror, (2015) “Fenomena Pengemis Di Kota Jogja”,


(45)

sosial dalam rangka melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis.

Pemberdayaan sosial Menurut pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada intinya, pemberdayaan sosial ini berorientasi bagaimana cara memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat seperti gelandangan dan pengemis yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri.

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan mengenai penanganan yaitu pada intinya suatu cara atau tindakan yang ditempuh dengan penetapan tujuan jangka panjang melalui upaya-upaya preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi sosial bagi resolusi masalah yang ditargetkan. Yang menjadi targetan adalah gelandangan dan pengemis, dalam tujuan jangka panjang menunjukan suatu hasil positif yang diinginkan dalam prosedur penanganan yaitu melindungi dan memberdayakan gelandangan dan pengemis.

Dengan begitu, menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis,bahwaPenanganan Gelandangan dan Pengemis


(46)

diselenggarakan melalui upaya yang bersifat: preventif, koersif, rehabilitatif, dan reintegrasi sosial.

a. Preventif

Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istomewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan melalui:

1) Pelatihan keterampilan, magang dan perluasan kesempatan kerja.

2) Penigkatan derajat kesehatan 3) Fasilitas tempat tinggal 4) Peningkatan pendidika

5) Penyuluhan dan edukasi masyarakat

6) Pemberian informasi melalui baliho di tempat umum 7) Bimbingan sosial

8) Bantuan sosial

b. Koersif.

Pasal 9Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis mejelaskan, Upaya Preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan melalui:


(47)

1) Penertiban 2) Penjangkauan 3) Pembinaan di RPS 4) Pelimpahan c. Rehabilitative.

Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis mejelaskan,Upaya rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan melalui:

1) Motivasi dan diagnosa psikososial 2) Perawatan dan pengasuhan

3) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan 4) Bimbingan mental spiritual

5) Bimbingan fisik

6) Bimbingan sosial dan konseling psikososial 7) Pelayanan aksesibilitas

8) Bantuan dan asistensi sosial 9) Binbingan resosialisasi 10) Bimbingan lanjut 11) Rujukanujukan d. Reintegrasi Sosial.


(48)

Pasal 13 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis mejelaskan,Upaya Reintegrasi sosial sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d dilakukan melalui:

1) Bimbingan resosialisasi

2) Kordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota 3) Pemulangan

4) Pembinaan lanjutan

2. Sosialisasi Peraturan daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penangan Gelandangan dan Pengemis

Sosialisasi adalah suatu proses bagaimana seorang individu belajar menghayati berbagai macam nilai, norma, sikap, dan pola-pola prilaku dalam masyarakatnya sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berpartisipasi.37Dengan adanya sosialisasi ini bertujuan untuk :

a. Memanamkan nilai dan norma yang ada di masyarakat kepada individu.

b. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada individu sebagai bekal hidup bermasyarakat.

c. Membentuk anggota masyarakat yang penuh dengan pribadi yang utuh sehingga berguna bagi dirinya dan masyarakat.38

37

Waluya Bagja, 2007,Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk kelas x, Bandung, PT. Setia Purna Inves, hlm. 66.

38


(49)

Dengan begitu dalam rangka akses informasi, pemerintah daerah harus menyebarluaskan rancangan atau Peraturan Perundang-undangan tingkat daerah. Penyebarluasan bagi Peraturan Daerah atau Peraturan Perundang-undangan dibawahnya dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 94 sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menegaskan bahwa“Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telahdiundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota”.Penyebarluasan dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan dapat dilakukan melalui media elektronik, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan serta media komunikasi langsung.

Setelah peraturan daerah disahkan, maka sosialisasi menjadi bagian penting serta menentukan sukses pelaksanaan Peraturan Daerah di lapangan. Begitu penting sosialisasi hingga tidak ada ukuran lainmenentukan keberhasilan pelaksanaan, sebelum perda itu diberlakukan. Karena sosialisasi merupakan bagian dari kewajiban Pemerintah Daerah, maka peraturan daerah yang telah diundangkan dalam lembaran daerah, tidak hanya berhenti sampai di lembaran daerah,


(50)

namun Pemerintah daerah harus melakukan metode-metode sosialisasi dengan cara:

a. Pengumuman melalui berita daerah (RRI, TV Daerah)oleh kepala biro hukum provinsi atau oleh kepala bagian hukum kabupaten atau kota

b. Sosialisasi secara langsung dilakukan oleh kepala biro hukum/kepala bagian hukum atau dapat pula dilakukan oleh unit kerja pemrakarsa, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang berkompeten

c. Sosialisasi melalui seminar dan lokakarya

d. Sosialisasi melalui sarana Internet (E-Parliament). Untuk ini PEMDA dan DPRD hendaknya memiliki fasilitas web situs agar masyarakat mudah mengakses segala perkembangan kegiataan kedua lembaga.39

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta berkolaborasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP) terus melakukan sosialisasi Peratura Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No 1 Tahun 2014. Seperti yang dilakukan kedua instansi tersebut dibeberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta mulai dari Tugu sampai dengan Titik Nol Kilometer yang dibagi dalam tiga kelompok. Setiap kelompok memberikan selebaran dan sosialisasi di

39

Muhammad Ihsan, “Pengesahan dan Sosialisasi Peraturan”


(51)

jalan-jalan yang dilewati. setelah selesai melakukan kegiatan sosialisasi tersebut dilanjutkan kegiatan pembinaan kepada gepeng.40

Begitu juga pemerintah Kota Yogyakarta, melalui Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta dalam satu tahun pertama ini akan fokus menyosialisasikan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. sosialisasi kepada masyarakat tersebut diperlukan karena warga yang berada di Yogyakarta tidak hanya warga yang tinggal di wilayah tersebut tetapi ada juga wisatawan yang berkunjung dan memberikan uang atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan atau pengemis. "Oleh karena itu, sosialisasi perlu terus dilakukan. Tidak hanya sekali atau dua kali saja,"kata Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Nurwidi Hartana di Yogyakarta. Jumat, 16 Januari 2015.41

3. Tujuan Penanganan Gelandangan dan Pengemis

Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik IndonesiNomor 31 Tahun 1980Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, menyatakan Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan

40

“SOSIALISASI PERDA DAN PEMBINAAN GELANDANGAN PENGEMIS

(GEPENG) TERUS DILAKUKAN” http://sosial.bantulkab.go.id/berita/152 -sosialisasi-perda-dan-pembinaan-gelandangan-pengemis-gepeng-terus-dilakukan [26/06/2015].

41

Eka Arifa Rusqiyati, “Yogyakarta fokus sosialisasikan perda penanganan gelandangan”

http://www.antaranews.com/berita/474421/yogyakarta-fokus-sosialisasikan-perda-penanganan-gelandangan [26/06/2015].


(52)

di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Kemudian, ketentuan Pasal 3 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan Gelandang dan Pengemis, menegaskan bahwa penanganan gelandangan dan pengemis bertujuan untuk;

a. Mencegah terjadinya gelandangan dan pebgemisan. b. Memberdayakan gelandangan dan pengemis.

c. Mengembalikan gelandangan dan pengemis dalam kehidupan yang bermartabat.

d. Menciptakan ketertiban umum.

Menurut Kepala Dinas Sosial Daerah Istimewa YogyakartaDrs. Untung Sukaryadi, M.M., tujuan Perda ini dibuat untuk menciptakan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata bebas dari gelandangan dan pengemis. Dengan demikian, para pengunjung akan nyaman menikmati suasana Kota Yogyakarta yang bersih dari gelandangan dan pengemis.42

42

Ivan Aditya, “Beri uang Kepada Gepeng, Denda Rp 1 Juta”, (Online)


(53)

4. Peran Masyarakat Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanganan gelandangan dan pengemis sangat diperlukan untuk mensukseskan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis,karena dapat membantu Pemerintah dalam hal-hal teknis penyelenggaraan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandang dan Pengemis, yang berbunyi bahwa: Peran serta masyarakat dalam penanganan gelandangan dan pengemis dapat dilakukan melalui:

a. Mencegah terjadinya tindakan pergelandangan dan pengemisan dilingkungannya.

b. Melaporkan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan/atau Pemerintah Desa apabila mengetahui keberadaan gelandangan dan pengemis.

c. Melaksanakan dan memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

d. Melaksanakan upaya penjangkauan bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah dibidang sosial.

e. Menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial sesuai dengan Setandar Operasional Prosedur (SOP).

Dilanjutkan dengan Pasal 19 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandang dan


(54)

Pengemis berbunyi Peran serta masyarakat dalam penanganan gelandangan dan pengemis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis juga dilakukan oleh:

a. Perguruan Tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.

b. Dunia usaha melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.

Kepala Dinas Sosial Daerah Istimewa YogyakartaDrs. Untung Sukaryadi, M.M. meminta dukungan kepada masyarakat sebagai peran serta masyarakat dengan melakukan upaya preventif dengan cara memasang rambu-rambu larangan bagi warga untuk memberi sesuatu kepada gepeng di wilayahnya masing-masing. Kemudian melakukan penjangkauan dengan cara melapor kepada aparat jika terdapat gelandangan dan pengemis di wilayahnya. "Masyarakat juga bisa membangun rumah singgah atau Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sendiri di wilayahnya masing-masing", tandasnya.43

43

Kanwil Yogyakarta, “Jangan Beri Uang Receh Bagi Gepeng”,

<http://jogja.kemenkumham.go.id/berita/berita-media-online/1050-jangan-beri-uang-receh-bagi-gepeng>, [26/05/2015].


(55)

✁ ✂ A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan empiris.

1. Jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.1

2. Jenis penelitian hukum empiris, menurut Ronny Hanitijo Soemitroyaitu penelitianhukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.2

Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dalam penelitian hukum normatif dan pendekatan kualitatif dalam penelitian hukum empiris.

1. Pendekatan Perundang-undangan yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3

2. Pendekatan kualitatif yaitu suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskritif analisis, yaitu data yang dinyatakan oleh

1

Peter Mahmud Marzuki, 2010,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm 35.

2

Ronny Hanitijo Soemitro, dalam bukunya Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010,

Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm 154.


(56)

responden secara tertulis ataupun lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.4

Oleh karena itu, penulis harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sabagai data, bahan hukum mana yang yang relevan dan ada hubungannya dengan materi penelitian. Dengan begitu, dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data.

B. SumberData dan Bahan Hukum Penelitian

Sebagaimana jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif dan empiris, maka sumber data dan bahan hukum penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sumber Data

Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis data yang diperlukan, jenis data yang pertama disebut sebagai data primer dan jenis data yang kedua disebut data sekunder.

1) Data primer

Data Primer dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung di dalam masyarakat.5 Sumber data primer yaitu data yang diambil dari sumbernya atau dari lapangan, melalui wawancara dengan pihak berkepentingan atau

4

Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010,Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm 192.

5


(57)

responden yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2) Data Sekunder

Data sekunder berfungsi sebagai pelengkap atau pendukung data primer. Menurut Soerjo Soekamto menyatakan menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, bahkan hasil-hasil penelitian yang bersifat laporan Soerjono Sukamto menyatakan bahwa data sekunder merupakan data yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.6

2. Sumber Bahan Hukum Penelitian

Terdapat tiga macam bahan pustaka yang digunakan penulis dalam penelitia, yakni :

1. Bahan Hukum Primer

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad7 menjelaskan bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Bahan hukum primer dapat berupa :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6

Soejono Soekamto, 2007,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm 12.


(58)

2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

6) Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa :

1) Buku-buku Hukum dan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2) Jurnal-jurnal Hukum dan sosial yang berkaitan dengan permasalahan yang akanditeliti.

3) Hasil Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

4) Makalah-makalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.


(59)

5) Internet yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu, bahan hukum yang memberikan petunjuk merupakan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder yang terdiri dari:

1) Kamus Hukum.

2) Kamus Bahasa Indonesia. C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Kota Yogyakarta adalah Ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena Kota Yogyakartayang menjadi titik pusat sindikat gelandangan dan pengemis serta pusat lokasi kaum urban bagi gelandangan dan pengemis untuk mengadu nasib di Kota Yogyakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam Penelitian Hukum Normatif

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mukti Fajar dan Yulianto Achmad , bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum,


(60)

baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.8

2. Dalam Penelitian Hukum Empiris

Dalam penelitian hukum empiris, teknik pengumpulan data terdapat 2 (dua) teknik yang dapat digunakan, baik gunakan secara sendiri-sendiri maupun digunakan secara bersama-sama sekaligus. Kedua teknik tersebut adalah wawancara dan angket atau kuisioner.9

a. Wawancara

Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber untuk mendapat informasi.10Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Karna tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diproleh dengan dalan bertanya secara langsung oleh responden atau narasumber. Responden yang diwawancarai, meliputi:

1) Kepala Dinas Sosial Kota Yogyakarta 2) Kepala SatPol PP Kota Yogyakarta

3) Meneger Camp Assesment Daerah Istimewa Yogyakarta

8

Ibid, hlm 160.

9

Ibid.

10


(61)

b. Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan pengumpulan data dengan cara menggunakan dan mempelajari dokumentasi atau dokumen yang berupa arsip-arsip catatan, maupun tabel, tempat yang dijadikan penelitian, dimana dengan dokumen yang ada akan memberikan gambaran yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.

E. Teknik Pengelolaan Data

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad11 mengemukakan, Pengelolaan data dilakukan dengan cara sebagai beriku:

1. Pemeriksaan data, yaitu data yang diproleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan.

2. Editing, yaitu proses meneliti kembali data yang diproleh dari berbagai kepustakaan yang ada, menelaah isi perjanjian kerjasama bidang jasa konsultan hukum tersebut. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetaui apakah data yang telah kita miliki dan dapat dilanjutkan proses selanjutnya. Dari data yang diproleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, editing dilakukan pada data yang sudah terkumpul serta diseleksi terlebih dahulu dan diambil data yang diperlukan.

11


(62)

3. Sistematisasi data, yaitu semua data yang sudah diperoleh dikumpulkan dan disusun secara sistematis sesuai dengan urutannya. F. Analisis Data

Analisi data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian terhadap hasil pengelolahan data. Adapun analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini menggukan sifat deskriptif, yaitu penulis dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan penulis.12Serta menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu cara analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriftip analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

12


(63)

☛0

A. Pelaksanan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 dalamPenanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakrat

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis telah terbit sebagai payung hukum mulai efektif berlaku 1 Januari 2015 Silam. Mengingat tujuan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014Pasal 3 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Menegaskan,mencegah terjadinya pergelandangan dan pengemisan, memberdayakan gelandangan dan pengemis, mengembalikan gelandangan dan pengemis dalam kehidupan yang bermartabat, dan menciptakan ketertiban umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta menegaskan penyelenggaraan pelaksanaan dalam penanganan gelandangan dan pengemis melalui upaya-upaya yang bersifat Preventif, Koersif, Rehabilitattif, dan Reintegrasi Sosial, upaya-upaya tersebut termaktub dalam Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 7 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

Sesuai dengan fokus penelitian yang berjudul Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 tahun 2014 dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Yogyakarta, dalam penelitian penulis akan membahas penyelenggaraan pelaksanaan melalui


(64)

upaya-upayanya, sesuia Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, yaitu: Preventif, Koersif, Rehabilitatif, dan Reintegrasi Sosial.

1. Upaya Preventif

Menurut Peraturan Pemerinta Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Pasal 5 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. menjelaskan, usaha prefentif yang dimaksud iyalah mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis.

Selanjutnya, Berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (7) tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, “Upaya Preventif adalah usaha secara terogranisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan sosial, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan”.

Dalam hal ini, satuan kerja perangkat daerah dibidang sosial memiliki peran yang sangat besar, khususnya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kota Yogyakarta.

Dalam penelitian, penulis mendapat informasi dari hasil wawancara oleh Ibu Nanik Pegawai Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta, kami sudah melakukan penangan melalui upaya yang


(1)

c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual;

e. bimbingan fisik;

f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas;

h. bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan resosialisasi; j. bimbingan lanjut; dan k. rujukan.

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari rehabilitasi sosial awal dan rehabilitasi sosial lanjutan.

(3) Rehabilitasi sosial awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan di RPS.

(4) Setiap gelandangan dan pengemis yang masuk dalam RPS harus mengikuti program rehabilitasi sosial awal.

(5) Rehabilitasi sosial lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah yang memiliki tugas dan fungsi di bidang sosial.

(6) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang memiliki tugas dan fungsi di bidang sosial.

Pasal 11

Dalam hal gelandangan dan pengemis berdasarkan hasil identifikasi diindikasikan mengalami gangguan jiwa dilakukan rehabilitasi kejiwaan yang dilakukan oleh:

a. rumah sakit jiwa Daerah; b. rumah sakit jiwa lainnya; atau

c. pihak lain yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah. Pasal 12

(1) Gelandangan dan pengemis eks psikotik yang telah selesai menjalani rehabilitasi kejiwaan diberikan layanan lanjutan berupa rehabilitasi sosial. (2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan

oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah yang melaksanakan tugas pokok dan fungsi di bidang rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.

Bagian Kelima Upaya Reintegrasi Sosial

Pasal 13

Upaya Reintegrasi sosial sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 huruf d dilakukan melalui:


(2)

b. koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota; c. pemulangan; dan

d. pembinaan lanjutan.

Pasal 14

(1) Upaya reintegrasi sosial gelandangan dan pengemis psikotik dilakukan setelah ditemukan keluarga dan siap menjadi pengampu.

(2) Dalam hal gelandangan dan pengemis psikotik tidak mempunyai keluarga, Unit Pelaksana Teknis Daerah berkewajiban memberikan perlindungan sosial yang berkelanjutan.

Pasal 15

(1) Reintegrasi sosial gelandangan dan pengemis dari luar Daerah dilakukan setelah selesai menjalani rehabilitasi awal di RPS.

(2) Reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. koordinasi dengan pemerintah daerah asal; b. penelusuran keluarga; dan

c. penyerahan.

Pasal 16

Upaya reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang memiliki tugas dan fungsi di bidang sosial.

Bagian Keenam

Prosedur Penanganan Gelandangan dan Pengemis Pasal 17

(1) Prosedur penanganan gelandangan dan pengemis dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV

PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 18

(1) Peran serta masyarakat dalam penanganan gelandangan dan pengemis dapat dilakukan melalui:


(3)

b. melaporkan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan/atau Pemerintah Desa apabila mengetahui keberadaan gelandangan dan pengemis;

c. melaksanakan dan memberikan dukungan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial;

d. melaksanakan upaya penjangkauan bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah di bidang sosial; dan

e. menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara perorangan, kelompok dan/atau organisasi.

(3) Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS).

(4) Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dibentuk oleh masyarakat harus mendapat ijin operasional dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani bidang perizinan.

Pasal 19

Peran serta masyarakat dalam penanganan gelandangan dan pengemis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 juga dilakukan oleh:

a. perguruan tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat; dan

b. dunia usaha melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.

BAB V PEMBIAYAAN

Pasal 20

Pembiayaan kegiatan penanganan gelandangan dan pengemis dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan/atau sumber lain yang sah serta tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI LARANGAN

Pasal 21 Setiap orang dilarang:

a. melakukan pergelandangan dan/atau pengemisan baik perorangan atau berkelompok dengan alasan, cara dan alat apapun untuk menimbulkan belas kasihan orang lain;


(4)

b. memperalat orang lain dengan mendatangkan seseorang/beberapa orang baik dari dalam Daerah ataupun dari luar Daerah untuk maksud melakukan pergelandangan dan/atau pengemisan; dan

c. mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sehingga menyebabkan terjadinya pergelandangan dan/atau pengemisan.

Pasal 22

(1) Setiap orang/lembaga/badan hukum dilarang memberi uang dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum.

(2) Pemberian uang dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disalurkan melalui lembaga/badan sosial sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 23

(1) Selain penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah ini.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara dan melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi atau tersangka;

e. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan;

f. penghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Kepolisian Republik Indonesia karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, selanjutnya melalui Penyidik Kepolisian Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; dan g. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan, harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa, dan menghormati hak asasi manusia.


(5)

(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan koordinasi lintas Kabupaten/Kota melalui kerjasama.

BAB VIII

KETENTUAN PIDANA Pasal 24

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pergelandangan dan/atau pengemisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) minggu dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan pergelandangan dan pengemisan

secara berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan memperalat orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengkoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).

(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan memberi uang dan/atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) hari dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 25

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah pelanggaran. BAB IX KETENTUAN

PENUTUP Pasal 26

Peraturan Gubernur tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.


(6)

Pasal 27

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ditetapkan di Yogyakarta

pada tanggal 27 Februari 2014 GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, ttd.

HAMENGKU BUWONO X

Diundangkan di Yogyakarta pada tanggal 27 Februari 2014

SEKRETARIS DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, ttd.

ICHSANURI

LEMBARAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2014 NOMOR 1.

Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM,

SUMADI, SH, MH.