notaris selalu sesuai dengan norma dan kaidah-kaidah hukum sehingga terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya.
B. Akta Jaminan dalam Aqad Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang belum
Bersertifikat
Berdasarkan terminologinya, di Indonesia umumnya digunakan istilah “perikatan” sebagai padanan istilah Belanda verbintenis dan “perjanjian” sebagai
padanan istilah belanda overeenkomst. Namun ada pula yang menggunakan istilah “perjanjian:” dan “perhutangan” sebagai padanan kata verbintanis dan “persetujuan”
untuk padanan kata overeenkomst. Akan tetapi, pada umumnya digunakan istilah “perikatan” sebagai padanan kata Belanda verbintenis dan “perjanjian” –dalam hal ini
diidentikkan dengan “persetujuan” bahkan “kontrak”– sebagai terjemahan istilah overeenkomst.
148
Dengan demikian, terdapat tiga padanan kata untuk verbintenis, yaitu perikatan, perjanjian dan perhutangan, sedangkan untuk overeenkomst terdapat
dua padanan kata, yaitu perjanjian dan persetujuan. Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut
perikatan verbintenis dan istilah “akad” untuk menyebut perjanjian overeenkomst dan bahkan kontrak. Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara
umum, meskipun istilah tersebut sendiri sudah tua. Semula dalam hukum Islam pra modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari
dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai dalam arti perikatan
148
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. hal 42-43
Universitas Sumatera Utara
yang timbul dari perjanjian. Baru pada zaman modern, istilah iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Mustafa Ahmad az-Zarqa’
149
mendefenisikan perikatan iltizam sebagai keadaan dimana seseorang diwajibkan menurut hukum syara’ untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi
kepentingan orang lain. Sedangkan istilah “akad” sendiri adalah merupakan istilah tua yang sudah digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku.
150
Menurut Gemala Dewi, setidaknya ada dua istilah dalam Al-Quran yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-‘aqdu akad dan al-‘ahdu janji. Kata al-
aqdu terdapat dalam QS. Al- Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Faturrahman Djamil, istilah al-‘aqdu ini dapat
disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata, sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 76 yaitu : “Sebenarnya siapa yang
menepati janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.”
151
Pengertian aqad secara bahasa adalah ikatan, mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dikatakan ikatan al-rabth maksudnya adalah mengimpun atau
149
Pakar fiqih Yordania asal Syria
150
Syamsul Anwar, op.cit. 47-49
151
Gemala dewi, dkk. Op.cit. hal 45
Universitas Sumatera Utara
mengumpulkan dua ujung tali dan mengukatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
152
Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa defenisi yang diberikan pada akad perjanjian. Menurut Pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan
“pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.
153
Menurut syamsul anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih
untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
154
Para ahli hukum Islam jumhur ulama memberikan defenisi akad sebagai pertalian antara ijab dan kabul
yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
155
Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan al-aqdu melalui tiga tahap, yaitu:
1. Al-‘Ahdu perjanjian, yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan
janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 76.
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah
apa yang dinamakan “akdu” oleh Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al-Maidah
152
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet 1, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, hal 75
153
Syamsul Anwar, Op.cit, hal 68
154
Ibid.
155
Gemala dewi. Op.cit. hal 45-46.
Universitas Sumatera Utara
ayat 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu, tetapi ‘akdu.
156
Proses perikatan yang disampaikan oleh Abdoerraoef ini tidak jauh berbeda
dengan proses perikatan yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti, perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut segala sesuatu hal dari pihak yang lain, dan dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
157
Sedangkan perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.”
158
Hofmann memberikan defenisi perikatan sebagai “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan
dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya debitur atau para debitur mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang
lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.”
159
Defenisi perjanjian sendiri telah disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “suatu perbuatan dimana seseorang
atau beberapa orang mengikatkan diri untuk sesuatu hak terhadap seseorang beberapa orang lainnya.” Dengan adanya perjanjian ini maka menimbulkan hubungan hukum
antara orang-orang yang melakukan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara
156
Ibid. hal 46
157
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1992, hal 1
158
Ibid.
159
H.Mashudi dan Moch.Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementar Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001. hal 23
Universitas Sumatera Utara
perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara hukum Islam dan
KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama adalah terpisah dengan janji pihak kedua, dimana terjadi dua tahap
dalam prosesnya, baru kemudian lahir perikatan, sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang tidak
terpisah, yang kemudian melahirkan perikatan antara keduanya.
160
Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum tasharruf yang menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh
para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. Musthafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa tasharruf
adalah segala sesuatu perbuatan yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum hak dan
kewajiban.
161
Dalam hukum Islam, untuk terbentuknya suatu akad perjanjian yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun dan syarat akad. Secara bahasa, rukun adalah
“yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”,
162
sedangkan syarat adalah “ketentuan peraturan, petunjuk yang harus diindahkan dan dilakukan.”
163
Menurut
160
Gemala dewi. Op.cit. hal 47
161
Ghufron A. Mas’adi. Op.cit. hal 77.
162
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. hal 966
163
Ibid, hal 1114.
Universitas Sumatera Utara
syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.”
164
Defenisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan dia berada di luar hukum itu
sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”
165
Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun sholat, dimana keduanya merupakan bagian dari sholat
itu sendiri, tanpa rukuk dan sujud, maka sholat itu batal, tidak sah. Sedangkan salah satu syarat dari sholat adalah wudhu, dimana wudhu adalah bukan merupakan bagian
dari sholat itu sendiri. Namun tanpa adanya wudhu, maka sholat itu juga batal, tidak sah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam menentukan rukun aqad, namun berdasarkan pendapat jumhur ulama, rukun akad terdiri dari:
a. Para pihak yang menbuat akad al-‘aqidan
b. Pernyataan kehendak para pihak mahallul-‘aqd
c. Objek akad mahallul-‘aqd.
Selain dari ketiga rukun tersebut, Musthafa Ahmad az-Zarqa menambahkan tujuan akad maudhu’ al-‘aqd sebagai salah satu rukun akad.
166
164
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Ichtisar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996. hal 1510.
165
Ibid. hal 1691
166
Gemala Dewi Op.cit. hal 51, lihat juga Syamsul Anwar Op.cit hal 96 dan Hasballah Thaib Op.cit hal 4
Universitas Sumatera Utara
Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu tamyiz
167
dan berbilang al-ta’addud. Para pihak ini bisa saja manusia atau badan hukum. Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua
syarat juga, yaitu adanya persesuaian ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan kesatuan majelis akad. Tentunya dalam kata ijab dan qabul ini tidak
ada unsur paksaan yang terkandung di dalamnya.Rukun ketiga, yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu objek itu dapat diserahkan, tertentu atau dapat
ditentukan, dan objek itu dapat ditransaksikan. Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan syara’.
168
Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad ini disebut dengan syarat terbentuknya akad syuruth al-in’iqad, dan semuanya terdiri dari delapan syarat.
Kedelapan syarat ini beserta rukun akad disebut pokok al-ashl. Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad, maksudnya tidak memiliki wujud yuridis
syar’i apapun, dan akad semacam ini disebut sebagai akad batil.
169
Apabila rukun dan syarat terbentuknya akad telah terpenuhi, maka akad sudah terbentuk.
167
Tamyiz yaitu orang yang telah dapat membedakan baik dan buruk dari tindakan yang dilakukan.
168
Syamsul Anwar. Op.cit. hal 98
169
Akad batil menurut ahli-ahli hukum Hanafi adalah akad yang menurut syara’ tidak sah pokoknya, yaitu tidak terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dibandingkan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, maka terlihat adanya kesamaan secara garis besar. Berikut dibuat
dalam bentuk bagan.
170
TABEL 6 PERBANDINGAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA Rukun dan syarat terbentuknya akad dalam hukum
perjanjian Islam Syarat sah perjanjian menurut
Pasal 1320 KUH Perdata 1
Para pihak : a
Tamyiz b
Berbilang pihak 2
Pernyataan kehendak: a
Sesuai ijab dan kabul kata sepakat b
Kesatuan majelis 3
Objek akad: a
Dapat diserahkan. b
Tertentu atau dapat ditentukan. c
Dapat ditransaksikan 4
Tujuan akad: Tidak bertentangan dengan syara’
1. Kecakapan para pihak.
2. Kata sepakat.
3. Objek perjanjian.
4. Causa yang halal
Akad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayan murabahah adalah merupakan salah satu produk perbankan syariah. Akad pembiayaan ini mengikat bank
dan nasabah debitur sehingga timbul hak dan kewajiban antara keduanya. Hal ini tentunya sudah dapat dipastikan, bahwa yang dijadikan sebagai landasan dasar dari
filosofi hukumnya adalah hukum Islam. Sebagai runtutannya, timbul perjanjian accessoir dari perjanjian murabahah tersebut, yaitu pengikatan barang jaminan atas
pembiayaan yang diberikan.
170
Syamsul Anwar,op.cit, hal 107
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengikat barang jaminan atas pembiayaan yang diberikan, terutama apabila jaminan yang diberikan adalah tanah yang belum bersertifikat, maka biasanya
bank melakukannya dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual. Hal ini dilakukan karena tanah belum bersertifikat tidak ada
lembaga hukum yang mengaturnya secara baku. Akta kuasa menjual ini dapat dibuat secara terpisah ataupun tergabung dengan akta pengakuan hutang. Apabila dibuat
tergabung, maka surat kuasa menjual tersebut biasanya berjudul akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan dan kuasa menjual. Dengan demikian, surat kuasa
ini adalah merupakan bagian dari akta kuasa menjual. Surat kuasa menjual atas barang jaminan itu dibuat sebagai suatu klausul dalam salah satu atau beberapa Pasal
yang ada pada akta tersebut. Jadi cukup hanya dalam satu akta saja, yang isinya sudah mencakup tentang pengakuan hutang, atau janji akan membayar secara
angsuran, pemberian jaminan dan juga pemberian kuasa menjual. Akan tetapi, kalau akta tersebut dibuat terpisah, maka akta tersebut bukan merupakan merupakan bagian
dari akta pengakuan hutang, akta tersebut adalah akta yang berdiri sendiri, tetapi tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pembiayaan murabahah dan
akta pengakuan hutang dan pemberian jaminan yang telah dibuat terlebih dahulu. Dengan kata lain aqad pembiayaan dalam akta perjanjian pembiayaan murabahah itu
tidak akan dibuat kalau akta pengakuan hutang, pemberian jaminan dan akta pemberian kuasa menjual atas barang jaminan ini tidak ada. Nilai esensinya sama,
tetap memiliki kekuatan hukum, namun surat kuasa menjual yang dibuat tersendiri
Universitas Sumatera Utara
tentu akan lebih memudahkan administrasi apabila surat kuasa dibuat dengan akta tersendiri.
171
Penggunaan surat kuasa menjual dalam akad perjanjian pembiayaan murabahah adalah merupakan perbuatan hukum yang tidak bertentangan dengan
sistem hukum perdata yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan juga tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam.
Surat kuasa menjual merupakan pemberian kuasa secara tertulis melalui pembuatan surat kuasa otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum yang
berwenang. Essensi dasar dari makna pemberian kuasa menjual adalah merupakan pemberian wewenang atau hak yang dimiliki seseorang kepada orang lain untuk
memindahkan hak yang dimilikinya kepada siapapun juga dengan cara jual beli. Dasar hukum untuk melakukan pemberian kuasa ini ialah berdasarkan Pasal 1792
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Apabila ditinjau dari aspek yuridis dan legalitas kekuatan hukum, maka kuasa dapat dibagi pada tiga macam, yaitu:
1 Kuasa yang dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu kuasa yang
dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang misalnya notaris.
171
Wawancara dengan Notaris Hasbullah Hadi, Rabu, 2 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
2 Kuasa yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan, yaitu kuasa yang dibuat
secara tertulis atau dalam bentuk sepucuk surat, yang dibuat oleh pemberi kuasa dengan tanpa menghadap pada pejabat umum yang berwenang.
3 Kuasa lisan, yaitu kuasa yang disampaikan secara lisan oleh pemberi kuasa
kepada penerima kuasa. Selanjutnya, bagi penerima kuasa, kuasa itu dapat diterima secara lisan,
bahkan juga dapat diterima secara diam-diam, yang dibuktikan oleh penerima kuasa dengan melaksanakan kuasa yang diberikan padanya. Selain itu, penerima kuasa
dapat juga menerima kuasa secara tertulis melalui akta otentik ataupun secara dibawah tangan.
Uraian diatas adalah berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1793 KUH Perdata, yang menyebutkan :“Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu
akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan
disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.” Dengan uraian diatas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan surat
kuasa itu adalah kuasa secara tertulis yang berisi persetujuan dan pelimpahan hak dan wewenang dari si pemberi kuasa kepada si penerima kuasa untuk menjalankan hak
dan wewenang yang dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta menyelesaikan sesuatu urusan atas nama dan kepentingan si pemberi kuasa.
Terhadap pengertian surat kuasa ini, Yan Pramadya Puspa menyatakan dalam Buku Kamus Hukum yang disusunnya dengan ungkapan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Surat kuasa adalah surat yang berisi suatu persetujuan dengan seseorang yang memberikan kekuasaan kepada si penerima persetujuan tersebut untuk menyelesaikan
sesuatu urusan atas nama si pemberi.”
172
Dalam konteks hukum Islam, istilah kuasa yang dikenal dalam hukum
perdata, maka dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah wakalah.
“Secara etimologi, Wakalah berasal dari kata “wakala” yang berarti menjaga. Seperti dalam firman Allah: “wa qaaluu hasbunallahu wani`mal wakiil” artinya
Maha Suci Allah Dialah yang memberikan segala nikmat dan Allah adalah sebaik-baik wakil. QS. Ali `Imran3:173. Kata wakil disini berarti Al-Hafizh
“Yang Menjaga”.....Selain itu, makna Wakalah bisa juga berarti Tafwidh = mempercayakan, menyerahkan mandat atau menjadi wakil.”
173
Pengertian wakalah seperti yang dikemukakan diatas, memiliki makna yang sama
seperti apa
yang dicantumkan
dalam Kamus
Kontemporer Arab Indonesia yang menyebutkan bahwa arti “wakala adalah menyerahkan,
mempercayakan, menguasakan, menjadikan atau menunjuk sebagai wakil.”
174
Jadi dalam pengertian hukum Islam, memberi kuasa sama artinya dengan mengangkat orang lain sebagai wakil dari diri seseorang, untuk melakukan sesuatu
perbuatan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang tersebut. Sulaiman Rasyid dalam Bukunya Fiqih Islam merumuskan pengertian
wakalah atau kuasa dengan istilah berwakil. Dia mengatakan : “Berwakil yaitu menyerahkan pekerjaan yang boleh dikerjakannya kepada
kepada yang lain, agar dikerjakannya wakil semasa hidupnya yang berwakil.
172
Yan Pramadya Puspa, Op.cit, hal. 899.
173
Hasballah Thaib, Op.cit.hal. 91
174
Atabik Ali, dan A. Zuhdi Muhdlor,Op.cit, hal. 2037.
Universitas Sumatera Utara
Hukum berwakil sunat, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa, dan haram kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh
kalau pekerjaan itu makruh.”
175
Dalam pengertian seperti telah diuraikan diatas, berarti hukum Islam membolehkan seseorang atau setiap subjek hukum untuk mengangkat seorang wakil
atau kuasa yang akan mewakili dirinya dalam bertindak secara hukum, baik didalam ataupun diluar pengadilan.
Hukum wakalah atau kuasa menurut Al-Quran, al-Hadits, dan Ijma’ Ulama adalah jaiz diperbolehkan. Antara lain dalam ayat Al-Quran Surat Al-Kahfi
QS.18:19 yang isinya menjelaskan tentang wakalah atau kuasa dalam membeli. Juga pernah diriwayatkan dalam Hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh
Turmuzi dari Urwah Al Bariqiy yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. mewakilkan kepada Urwah Al-Bariqiy untuk membeli dan menjualkan kambing
sebagai wakil atau kuasa dari Rasulullah SAW. Selanjutnya dalam kitab Fiqih Syafii Terjemah At Tahzib ada menyebutkan
sebagai berikut : “Apa saja yang boleh bagi seseorang untuk bertindak sendiri didalamnya, maka
boleh juga ia mewakilkan kepada orang lain atau menjadi wakil untuk orang lain. Perwakilan itu adalah aqad yang dibolehkan dan bagi setiap orang dari
keduanya boleh membatalkan kapan saja ia kehendaki dan batal pula sebab matinya salah seorang dari keduanya.”
176
175
Sulaiman Rasyid, op.cit, hal.306.
176
Mustafa Diibul Bigha, Fiqih Syafii Terjemah at-Tahzib terj A. Sunarto dan M.Multazam, Bintang Pelajar, Sawahan, 1984, hal.316.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kuasa dalam hukum perdata adalah memiliki makna yang sama dengan istilah wakalah dalam hukum
Islam. Selanjutnya bila ditinjau dari aspek yuridis, keduanya sama-sama dapat diterapkan dalam suatu perbuatan hukum dibawah satu sistem hukum nasional
Indonesia. Karena kuasa dan wakalah adalah merupakan satu kesatuan format hukum yang tidak memiliki perbedaan, walaupun berasal dari dua sumber hukum yang
berbeda. Dimana kuasa bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan wakalah bersumber dari Hukum Syariat Islam. Namun keduanya adalah
merupakan bagian dari sub sistem yang berada dalam satu sistem hukum nasional Indonesia.
Di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, setiap pembiayaan yang diberikan kepada nasabah seluruhnya diikat dengan perjanjian tertulis. Menurut
Mailiswarti,
177
diketahui bahwa bila pembiayaan yang diberikan bank nilainya dibawah 25 juta rupiah, maka pembiayaan itu cukup diikat dengan akta dibawah
tangan dalam bentuk perjanjian pembiayaan al-murabahah. Aqad perjanjian pembiayan al-murabahah dituangkan dalam perjanjian tertulis dan cukup hanya
ditandatangani oleh pihak bank dan nasabah. Adapun format perjanjian tertulis yang dipakai menggunakan judul dengan nama Perjanjian Jual Beli Al-Murabahah.
Sedangkan bila jumlah pembiayaan yang diberikan bank jumlahnya diatas 25 juta rupiah, maka disamping diikat dengan akta dibawah tangan sebagaimana telah
177
Hasil Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat syariah Puduarta Insani pada tanggal 2 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
disebutkan di atas, juga seluruhnya diikat dengan akta notariel. Dalam hal ini, ada dua jenis akta yang harus ditanda tangani dan disetujui oleh pihak bank dan nasabah.
Akta pertama yang harus disetujui dan dan ditandatangani adalah akta dibawah tangan, yaitu Aqad Pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan
murabahah. Judul akta yang digunakan dalam perjanjian ini adalah Perjanjian jual beli Al- Murabahah.
Akta kedua yang harus disetujui dan ditandatangani adalah akta notariel atau akta otentik, yaitu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh dan dihadapan notaris
sebagai pejabat umum yang berwenang. Substansi pokok dari akta notariel ini, pada prinsipnya berisi tiga hal; yaitu aqad atau perjanjian tentang pengakuan hutang,
pemberian jaminan dan kuasa menjual. Hal ini tergambar dari judul akta notariel yang digunakan, yaitu Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Dari
nama judul yang digunakan tersebut dapat diketahui, bahwa dalam setiap pembuatan aqad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan murabahah tersebut, maka
bersamaan dengan itu juga dibuat akta kuasa menjual atas barang jaminan, apabila nantinya debitur ingkar janji dan terjadi kasus pembayaran hutang macet. Bentuk
surat kuasa menjual yang dibuat tersebut, adalah surat kuasa menjual yang tergabung dengan akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan, sehingga judul akta yang
dibuat adalah Akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani membuat surat kuasa menjual yang tidak
terpisah dengan pengakuan hutang, karena bank merasa apabila kuasa menjual dibuat terpisah, maka akan memberatkan nasabah yang diberikan pembiyaan. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan, apabila akta tersebut dibuat terpisah, tentu biaya yang dikeluarkan akan bertambah menjadi dua akta, yaitu akta pengakuan hutang dengan pemberian
jaminan, dan juga akta kuasa menjual. Tentunya dengan tambahan biaya akta dikeluarkan dibanding dengan pemberian pembiayaan dengan nilai tidak terlalu
besar, maka akan memberatkan nasabah debitur, karena segala biaya yang timbul, termasuk di dalamnya biaya akta, akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak nasabah
debitur.
178
Sebagai ilustrasi, disini akan disampaikan beberapa contoh klausul Pasal dalam akta yang mencantumkan ketentuan kuasa menjual barang jaminan. Klausul
kuasa menjual itu ada dalam satu akta yang tidak terpisah dari akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Contoh klausul Pasal yang
mencantumkan kuasa menjual dalam satu kesatuan akta yang berkaitan dengan aqad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan murabahah di Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah puduarta Insani dapat dilihat sebagai berikut : -
Selanjutnya pihak kedua tersebut, untuk seterusnya disebut yang berhutang dan sekaligus pemberi jaminan menerangkan bahwa untuk menjamin
kepastian pembayaran kembali hutang penerima kredit pembiayaan kepada bank sebagaimana mestinya, termasuk nisbah bank dan biaya-biaya lainnya,
baik hutang yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, maka lewat waktu saja telah menjadi bukti akan kelalaian yang berhutang, sehingga
peringatan dengan surat juru sita tidak diperlukan lagi, maka penghadap pihak kedua sebagai penerima pembiayaan menyerahkan sebagai jaminan kepada
bank, dan bersamaan dengan penyerahan jaminan itu, pihak kedua yang disebut juga sebagai pemberi kuasa, dengan akta ini memberi kuasa kepada
pihak pertama yang disebut juga sebagai penerima kuasa, untuk dan atas nama, serta mewakili pemberi kuasa dengan hak substitusi, untuk menjual
178
Hasil Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat syariah Puduarta Insani pada tanggal 2 Desember 2009
Universitas Sumatera Utara
dan menyerahkan atau memindahkan hak dengan cara lain yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu: Hak atas sebidang tanah...
179
dan seterusnya yang menjelaskan tentang objek jaminan dan pemberian kuasa.
Di dalam akta tersebut juga dibuat syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian
yang isinya menerangkan adanya kuasa menjual yang diberikan kepada bank apabila debitur wan prestasi, yaitu:
- Jika yang berhutang tidak memenuhi perjanjian-perjanjian atau surat
perjanjian pembiayaan atau surat pinjam meminjam danatau tidak membayar hutang-hutangnya sebagaimana mestinya, maka penghadap pihak kedua
sebagai pemilik barang jaminan, yang disebut juga sebagai pemberi jaminan dan yang memberi kuasa, dengan akta ini menerangkan memberi kuasa
kepada pihak pertama atau bank yang disebut juga sebagai penerima kuasa dengan hak subtitusi, untuk menjual di bawah tangan ataupun dihadapan
pejabat umum yang berwenang dengan harga dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh bank sebagai penerima kuasa, atau bila diperlukan untuk
melelang dan memindahkan hak dengan cara lain yang diperkenankan oleh undang undang atas objek jaminan tersebut, dan mempergunakan pendapatan
dari hasil penjualan atau lelang tersebut, guna pembayaran hutang penghadap pihak kedua kepada bank, berikut nisbah, uang administrasi, denda-denda dan
biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan penjualan atau lelang itu, atau segala sesuatu yang harus dibayar oleh yang berhutang kepada bank,
menetapkan perjanjian penjualan atau lelang itu, menerima pendapatan penjualan tersebut atau meminta akseptasi atau tanda terima atas nama bank
untuk pendapatan lelang itu, menerima dan memberi kwitansi untuk segala penerimaan dan selanjutnya melakukan segala sesuatu yang berguna untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan....................................
- Selanjutnya dalam akte ini, penghadap pihak kedua yang disebut juga
sebagai pemberi kuasa, dengan ini memberi kuasa kepada pihak pertama atau bank yang disebut juga sebagai penerima kuasa, dan
.
. .
Baik bersama-sama maupun masing-masing, untuk membuat akta dibawah tangan ataupun akta yang dibuat dihadapan pejabat umum yang
179
Contoh akta Pengakuan Hhutang, Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual pada bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani.
Universitas Sumatera Utara
berwenang, atau menghadap siapa saja sebagai pihak pihak yang berwenang guna menjalankan hak-hak pihak kedua dengan sepenuhnya,
termasuk untuk menjual, atau memindahkan hak dengan cara apapun yang diperkenankan oleh undang-undang, serta membuat dan menanda tangani
akta-akta, surat-surat atau segala macam dokumen lainnya, dengan tidak ada tindakan yang dikecualikan.
180
C. Peranan Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan dalam Akad Pembiayaan