20
7 Pengetahuan tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari untuk
berijtihad.
19
Adapun menurut Amir Syarifudin, secara garis besar ada tiga syarat mujtahid:
a. Mengetahui Maqashid al-Syariah karena dengan mengetahui
maqashid kita tahu tujuan yang akan dicapai b.
Mengetahui Al-Quran, al-Sunnah, dan bahasa Arab c.
Mengetahui thuruq al-istinbath, metode menemukan dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad tidak keluar dari nilai-nilai
uluhiyyah.
20
2. Tingkatan Mujtahid
Pembicaraan tentang tingkatan mujtahid berkaitan erat dengan pemenuhan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Abu
Zahrah memberikan tingkatan mujtahid sebagai berikut: a.
Mujtahid mustaqil Penempatan mujtahid ini dalam peringkat pertama karena melihat
temuan hasil yang dicapai dan diterapkannya. Mujtahid ini menggali, menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia
menelaah hukum dari Al- Qur’an dan mengisthinbatkan hukum dari
hadits Nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas sesuatu yang dilihatnya adanya kesamaan illat antara hukum yang ada
19
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, jilid 2, hal. 270-282.
20
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 98.
21
nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsan karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menetapkan
hukum atas dasar maslahah mursalah, istishhab dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi petunjuk.
Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala persyaratan sebagaimana di atas, sehingga disebut mujtahid yang
sempurna atau al-kamil karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri.
Ia juga termasuk mujtahid mandiri atau al-mustaqil karena tidak memiliki keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang mengurangi
derajat ijtihadnya. Juga termasuk mujtahid mutlaq
21
atau mujtahid fi al- Syar’i.
22
Mujtahid yang memiliki kualifikasi dalam peringkat ini di kalangan ulama tabiin adalah seperti: Said ibn Musayyab, Ibrahin al-
Nakha’i dan ayahnya al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-
Auza’i, al-Kaits ibn Sa’ad, Sofyan al-Tsauri, dan lainnya.
b. Mujtahid Muntasib
Peringkat kedua mujtahid disebut mujtahid muntasib dalam arti ijtihadnya dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam
21
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2006, hal 157. Lihat juga A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh:
Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 99.
22
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 99.
22
berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah diterapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait
kepada mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu’ fiqh meskipun hasil temuan yang diterapkannya ada yang kebetulan sama
dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini dengan imam mujtahid sebelumnya karena ia
berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara yang digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun
berbeda pendapat dengan gurunya itu. Di antara mujtahid yang masuk dalam peringkat ini adalah Abu
Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani yang menghubungkan dirinya dengan Abu Hanifah, al-Muzanni yang berguru cukup lama
kepada al- Syafi’i, Abd al-Rahman ibn Qasim yang dihubungkan
kepada Imam Malik, Ahmad ibn Hanbal yang pada mulanya dinisbahkan kepada al-
Syafi’i, namun kemudian menyatakan mandiri dan tidak lagi disebut al-muntasib.
c. Mujtahid Madzhab
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab tempat ia bernaung baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu’. Ia
mengikutu temuan yang dicapai imam mazhab dan tidak menyalahi apa yang ditetapkan oleh imamnya.
Mujtahid mazhab ini mempunyai ilmu yang luas tentang mazhabnya
sehingga memungkinkan
untuk mengeluarkan
23
mentakhrijkan hukum dengan cara menghubungkannya kepada apa yang telah digariskan oleh imamnya. Ijtihadnya terbatas pada usaha
mengistinbath hukum untuk masalah yang belum ditetapkan oleh imamnya dengan mengikuti kaidah dan metode ijtihad yang telah
dirumuskan imamnya tersebut. Mujtahid mazhab ini dalam beberapa literatur disebut juga dengan mujtahid mukharij karena posisinya
dalam ijtihad adalah mentakhrijkan mengeluarkan pendapat imam mujtahid dalam menjawab persoalan hukum pada kasus lain yang
serupa. Walaupun dalam hal ini mujtahid tersebut berhasil menetapkan hukum sebagai temuannya, namun ia tetap menisbahkan hukum yang
ditetapkannya itu kepada imamnya, sehingga pemikiran imam itu sendiri semakin berkembang dan meluas.
23
Berbeda dengan Abu Zahrah, A. Djazuli membagi tingakatan mujtahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syar’i yaitu
mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbath hukum, mereka inilah imam-imam mazhab seperti Abu Hanifah,
Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. b.
Mujtahid mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab dalam ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil
ijtihadnya hukum furu’nya ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Seperti al-Muzani dalam mazhab al-
Syafi’i.
23
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Ma’shum dari kitab
Ushul al-Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012, hal. 579-591. Lihat juga Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, jilid ke 2, hal. 274-277.
24
c. Mujtahid fi al-Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab
dalam ushul maupun furu’ hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah
ada dalam mazhab. Seperti al-Ghazali dalam mazhab al- Syafi’i.
d. Mujtahid fi al-Masail yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya
berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka. Seperti al-
Karhi dikalangan mazhab Hanafi dan ibnu Arabi di kalangan mazhab al-Maliki.
e. Ahlu takhrij yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan
memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam mazhabnya. Seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.
f. Ahlu tarjih yaitu fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau
menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya.
24
Adapun fungsi daripada ijtihad sebagai berikut: pertama, memberikan jalan keluar dari segala urusan yang berbeda-beda dari setiap
manusia, hukum itu selalu berubah tidak kaku karena kehidupan manusia itu terus berkembang dan kebutuhan manusia terus bertambah. Kedua,
sebagai penyalur dari kreativitas individual atau kelompok didalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman
mereka sendiri. Ketiga, sebagai interpreter yaitu memberi tafsir yang tepat
24
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2006, hal 157-158.
25
terhadap dalil-dalil yang dzanni dalalahnya. Keempat, ijtihad berfungsi sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam
ya’lu wa la yu’la alaih dalam kehidupan praktis manusia.
25
25
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 100-104.
26
BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI