Pemikiran Politik Al-Ghazali Biografi al-Ghazali

39

2. Pemikiran Politik Al-Ghazali

Mengenai masalah imamah bagi al-Ghazali hukumnya adalah wajib. Pemikiran ini dapat dilihat dalam karyanya al-Iqtishad fi al- I’tiqad sikap lurus dalam i‟tikad. Al-Ghazali menggambarkan hubungan agama dengan dengan kekuasaan politik dengan bahasa “Sulthan adalah wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama. Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. 23 Agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik negara adalah penjaganya. Keduanya memiliki hubungan erat: politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Kekuasaan politik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. 24 Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Karena menurutnya bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama syar‟i. Ini dikarenakan bahwa 23 Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al- I’tiqad, Mesir: Maktabah al-Jund, 1972, hal. 198- 199. Lihat juga Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 28. 24 Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al- I’tiqad, Mesir: Maktabah al-Jund, 1972, hal. 198-199 40 kesejahteraan dan kebahagiaan diakhirat tidak tercapai tanpa pengalaman dan penghayatan agama secara benar. Karenanya al-Ghazali menyatakan bahwa agama dan negara kekuasaan politik bagian yang saling melengkapi. Bahkan al-Ghazali menegaskan bahwa negara menempati posisi yang sangat penting dan strategis, yang hanya berada setingkat di bawah kenabian. 25 Prinsip kepatuhan kepala negara juga sangat ditekankan oleh al- Ghazali. Dalam karyanya al-Tibr al-Masbuk, al-Ghazali menyatakan bahwa Allah telah memilih dua kelompok manusia. Pertama, adalah para Nabi dan Rasul Allah. Mereka diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia lainnya tentang petunjuk dan dalil-dalil beribadah kepadanya. Kedua, adalah penguasa. Kelompok ini diutamakan Allah karena mereka dapat menjaga umat manusia dari sikap permusuhan satu sama lainnya. Kemaslahatan umat manusia di bumi sangat terkait erat dengan keberadaan penguasa ini. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, Allah menempatkan mereka pada posisi yang paling terhormat. “Untuk itu mesti diketahui bahwa orang yang diberi pangkat oleh Allah SWT sebagai penguasa dan dijadikan sebagai pengayom Tuhan di muka bumi, maka setiap orang wajib mencintainya, tunduk, dan mematuhinya. Mereka tidak dibenarkan mendurhakai dan menentangnya ”. 26 25 Al-Ghazali, Nasihat bagi Penguasa, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail dari kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk, Bandung: Mizan, 1994, hal. 136. 26 Ibid, hal. 125 41 Al-Ghazali melanjutkan bahwa setiap orang harus simpati kepada penguasa dan wajib mematuhi segala perintah mereka. Ia mesti mengetahui bahwa Allah memberi kekuasaan dan kerajaan pada mereka. Berbeda dengan al-Mawardi yang merumuskan teori kontrak sosial, al- Ghazali menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara adalah kudus suci berasal dari Tuhan. Selain itu, al-Ghazali juga berpendapat bahwa penguasa adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi Zhill Allah fi al- ardh. 27 Al-Ghazali juga memberikan persyaratan kepada seseorang yang dapat diangkat sebagai kepala negara: pertama, dewasa. Kedua, otak yang sehat. Ketiga, merdeka. Keempat, laki-laki. Kelima, keturunan Quraisy. Keenam, pendengaran dan penglihatan yang sehat. Ketujuh, kekuasaan yang nyata. Kedelapan, memperoleh hidayah. Kesembilan, berilmu pengetahuan. Kesepuluh , wara‟ kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela. 28 27 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 30 28 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 2003, hal. 78 42

BAB IV PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA NEGARA

MENURUT AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI

A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-Mawardi

Manusia sebagai bagian dari makhluk Allah SWT, pada hakikatnya harus hidup berdampingan, bermasyarakat sesamanya, bahkan terhadap alam, hewani, nabati untuk menciptakan kehidupan yang penuh rasa damai, aman serta adil dan makmur. Untuk memfokuskan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan, patut diperhatikan dalam Al- qur’an surat Al-An’am ayat 165:                       : ماعناا Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” Q.S. Al-An’am: 165. Dalam ayat tersebut terdapat kata Khalaaifa yang berarti jamak, diartikan sebagai penguasa-penguasa. Ayat ini menegaskan bahwa manusia sebagai khalifah yang berwenang mengatur kehidupan dunia adalah mutlak bagi seorang pemimpin atau khalifah, tentunya orang-orang yang telah memenuhi kriteria dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimilikinya. 1 1 A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 159.