Syarat Kepala Negara Menurut Almawardi Dan Al-Ghazali
SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT
AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Youngki Sendi Kristiannando
NIM : 109045200001
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
ii
SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-MAWARDI DAN
AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Youngki Sendi Kristiannando NIM: 109045200001
Di bawah bimbingan:
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag NIP: 197112121995031001
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
iii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Skripsi yang berjudul SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan HukumUIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Hari Jum’at 3 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar’iyah
(Hukum Ketatanegaraan Islam).
Jakarta, 03 Januari 2014 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag. (...) NIP: 197210101997031008
Sekertaris : Afwan Faizin, M.A. (...) NIP: 19721026 200312 1001
Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag. (...) NIP: 197112121995031001
Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. (...) NIP: 197210101997031008
Penguji II : Khamami Zada, M.A. (...)
(4)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi inimerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil plagiat (jiplakan) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 10 November 2013
(5)
v
ABSTRAK
Youngki Sendi Kristianannando, Syarat Kepala Negara Menurut Al-Mawardi Dan Al-Ghazali, Skripsi Konsentrasi Ketatanegaraan Islam Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Al-Mawardi dan Al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan desain penelitian menggunakan metode pustaka dan pendekatan normatif doktriner, menjelaskan satu vaiabel penelitian yaitu penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara menurut Al-Mawardi dan Al-Ghazali.
Instrumen yang digunakan adalah karya Mawardi yaitu Ahkam Sulthaniyyah dan karya Ghazali yaitu, Tibrul Masbuk fi Nashihah Al-Muluk. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi secara kualitatif. Yaitu, mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan perspektif analisis yang kritis. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa; pertama, Ahlul Ijtihad adalah seorang ahli fiqih (ahli hukum islam) yang mengerahkan segala daya dan kemampuannya
untuk mendapatkan status hukum syar’i; kedua, Al-Mawardi dan Al-Ghazali
mempunyai pandangan yang sama dalam hal kepala negara haruslah mempunyai ilmu pengetahuan, sedangkan keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ilmu yang dimaksud oleh Al-Mawardi mengharuskan seorang kepala negara pada level mujtahid sedangkan ilmu yang dimaksud Al-Ghazali tidak mengharuskan seorang kepala negara pada level mujtahid akan tetapi boleh juga seorang kepala negara adalah mujtahid.
Kata kunci: Syarat Kepala Negara, Ahkam Sulthaniyyah, Iqtishad fi Al-I’tiqad, Al-Mawardi, Al-Ghazali.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa memberikan hidayah-Nya. Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Syarat Kepala Negara Menurut al
-Mawardi dan al-Ghazali”.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju zaman Islamiyyah semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafa’at kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih jauh dari sempurna, baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu, dan memotivasi penulis antara lain:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum dan beserta staf-stafnya.
3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah. Dan juga kepada Bapak Afwan Faizin, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.
(7)
vii
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya disela-seka kesibukan untuk membantu dan memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah membekali penulis
dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat penyemangat yang memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis melakukan studi.
7. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku penunjang, sehingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini.
8. Orang tuaku tercinta, Bapak H. Soma dan Ibu Hj. Roidah yang sangat berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan do’a dan dukungan secara moriil dan materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman SJS tercinta, yang membuat penulis merasa senang dan bahagia
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya for Sulthan, Muhdi, Andre, Asep, Cocom, Anwar, Mansur, Hafiz, Ridho, Ade, dan Sopian yang
(8)
viii
dalam keadaan susah dan senang selalu kumpul bersama, bercanda bersama, tertawa bersama sehingga menjadi obat penghibur untuk penulis. Rasanya sudah banyak hal yang penulis lewati bersama dalam suka dan duka selama kuliah. Oleh karena itu, tidak cukup satu buku untuk menulis kenangan penulis bersama mereka selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10.Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung serta nasehat yang telah diberikan, sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru serta bermanfaat untuk segenap pembaca.
Dalam penulisan skripsi ini mungkin terdapat banyak kekurangan, baik yang terlihat dan tersembunyi. Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk para pembaca umumnya dan penulis khususnya. Sebagai manusia biasa tentulah salah hal yang wajar yang terpenting ada kemauan untuk belajar dan belajar agar bisa menyempurnakan yang kurang dan membenarkan yang salah.
Ciputat, 10 November 2013
(9)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Tinjauan Pustaka ... 6
E. Metodologi Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL IJTIHAD A.Pengertian Ilmu ... 12
B.Pengertian Ahlul Ijtihad ... 15
1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad ... 18
(10)
x
BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A.Biografi Al-Mawardi ... 26
1. Riwayat Hidup Al-Mawardi ... 26
2. Pemikiran Politik Al-Mawardi ... 29
B.Biografi Al-Ghazali ... 33
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali ... 33
2. Pemikiran Politik Al-Ghazali ... 39
BAB IV PENGUASAAN ILMU SEBAGAI SYARAT KEPALA NEGARA MENURUT Al-MAWARDI DAN AL-GHAZALI A. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-Mawardi ... 42
B. Penguasaan Ilmu Sebagai Syarat Kepala Negara Menurut Al-Ghazali ... 50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 58
(11)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembicaraan tentang kepala negara haruslah melibatkan diskusi tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. Sebab di satu pihak kita dapat mengatakan bahwa jabatan kepala negara adalah hak manusia. Akan tetapi di pihak lain telah menjadi kenyataan pula bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik yang di istilahkan oleh Aristoteles sebagai zoon politicon. Atau
dalam bahasa Ibnu Khaldun “al-insan madaniyyun bi al-thab’i” yaitu manusia
adalah makhluk sosial secara naluri.1
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam akan menuntutnya untuk senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Perbedaan pendapat, ambisi, dan kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi tersebut tidak menutup kemungkinan akan memicu lahirnya konflik, pertikaian, penindasan, peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan darah, yang pada gilirannya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran total dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia.
Untuk dapat menghindari kemungkinan terjadinya hal serupa dan agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, tertib, aman, damai,
1
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (al-Qahirah: Dar al-Sya’b), hal. 39, lihat
juga Rusjdi Ali Muhammad, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam: Mengenal
(12)
2
teratur, maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan mengayomi rakyat dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.2
Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada pemimpin sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama, mengatur negara, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syari’at agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman, sejahtera. Dan dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan pemerintahan daerah yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri secara khusus, dengan berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama, sehingga departemen dan pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman yang solid di bawah kepemimpinan kepala negara.3
Sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59:
(ءاسنلا
: ۹۵ ) Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
2
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 2006), hal. 15.
3
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Gema Insani Press,
(13)
3
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(Q. S. An-Nisa: 59).
Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang menyatakan:
Artinya:
“Jika kalian keluar bertiga dalam perjalanan, maka hendaklah salah seorang (diantara kalian) memimpin” (HR. Abu Dawud).4
Dengan alasan inilah, seorang pemimpin harus mampu bekerja keras dan yang perhatiannya ditujukan kepada rakyat dan negaranya. Dia haruslah orang yang benar-benar berwibawa dan dihormati rakyatnya. Perlu dicatat bahwa kesetiaan dan kejujuran sangat diperlukan bagi pemegang jabatan kepala negara. Jika terjadi banyak menghancurkan kepercayaan rakyat, maka kepala negara itu bisa dipecat.5
Setelah Islam menyeru untuk memilih seorang pemimpin, ia melengkapi seruannya dengan menyeru kepada ilmu hingga untuk menuntut sesuatu haruslah dengan cara yang semestinya dan jalan yang benar.
Akal yang bodoh tampak di hadapan pemikiran bagaikan suatu perkakas yang karatan dan karena tidak banyak gunanya maka tersisih, seperti tidak pernah ada.6
4 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani,
Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kitab), no 2610, jilid ke 2, hal. 340.
5
Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, terjemahan Sufyanto dan Imam Musbikin dari
Islam’s Movement Goal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 144. 6
(14)
4
Tanggung jawab atas kekuasaan pemerintah di suatu negara dipercayakan kepada seorang pemimpin yang dapat disebandingkan dengan seorang presiden atau perdana menteri. Semua rakyat baik laki-laki maupun perempuan yang tunduk kepada konstitusi fundamental berhak memberikan suara bagi pemilihan pemimpin.7
Sehubungan dengan kepala negara, sejatinya seorang kepala negara haruslah seorang yang pintar dalam memutuskan suatu perkara ketika ada perkara yang harus ditanganinya. Dan ia juga harus pandai melakukan istinbath hukum sebagaimana seorang mujtahid.8
Sebagai contoh betapa pentingnya berijtihad yang dilakukan oleh seorang pemimpin, ketika Umar mengangkat Syuraih bin Harits al-Kindy
sebagai qadi untuk wilayah Kufah, Umar berkata: “Lihatlah apa-apa yang jelas
bagimu dalam Kitab Allah dan janganlah menanyakan hal itu kepada siapapun, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas bagimu dalam Kitab Allah maka ikutilah Rasulullah SAW, dan mengenai apa-apa yang tidak jelas bagimu dalam Sunnah Rasulullah maka berijtihadlah dengan pikiranmu mengenai hal itu.9
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan inti dan mendasar yang perlu diteliti, dianalisis, dan dicarikan jawabannya.
7 Maulana Abul A’la Maududi,
Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, Penerjemah
Bambang Iriana Djajaatmadja dari Human Right in Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 7.
8
Al-Mawardi, Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, (Al-Qahirrah: Dar al-Hadits, 2006), hal.
19-20. 9
M. Atho Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(15)
5
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tersusun secara sistematis pada pembahasan yang diharapkan, maka perlu penulis uraikan tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan perumusan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali.
Dari pembatasan masalah di atas dapat diuraikan beberapa masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:
1. Bagaimana pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara?
2. Bagaimana perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara?
3. Apa persamaan dan perbedaan dalam pandangan Mawardi dan al-Ghazali tentang penguasaan ilmu?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui pandangan al-Mawardi mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara.
(16)
6
b. Untuk mengetahui perspektif al-Ghazali mengenai penguasaan ilmu sebagai syarat kepala negara.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan al-Mawardi dan al-Ghazali tentang penguasaan ilmu.
2. Manfaat Penelitian
Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun manfaat praktisnya. Jadi manfaat yang hendak dipakai adalah:
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi dalam memahami ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam memilih kriteria bagi calon kepala negara dan menambah wawasan dibidang politik.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam proposal skripsi ini, perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi pertimbangan di antaranya, yaitu:
Pertama, skripsi yang berjudul “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 dalam Perspektif Hukum Islam”
(17)
7
skripsi ini dibahas mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden menurut UU Nomor 23 Tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, dimana yang berhak mencalonkan adalah partai politik atau gabungan partai politik yang telah lulus dari seleksi bukan pribadi atau perorangan. Itupun harus memenuhi 20 syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa pemilihan umum harus dilakukan secara jujur dan adil berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia (LUBER).
Kedua, skripsi yang berjudul “Tinjauan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Kepala Negara” ditulis oleh Ifan Sunarya tahun 2009 di Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam skripsi ini dibahas pandangan ulama mengenai hukum memilih kepala negara, pemilihan kepala negara dalam pandangan fatwa Majelis Ulama Indonesia dimana dalama fatwa tersebut membahas tentang pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Adapun syarat-syarat bagi pemimpin adalah beriman dan bertaqwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Ketiga, karya Ridwan HR yang berjudul “Fiqih Politik”. Dalam buku ini dibahas tentang siyasah syar’iyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan
(18)
8
pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah satunya membahas tentang tugas dan kewajiban kepala negara.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas masih terlihat umum dalam membahas mengenai kepala negara serta pemikiran Mawardi dan al-Ghazali mengenai kepala negara. Bedanya penulis akan membahas secara khusus mengenai ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena bertujuan menjelaskan satu variabel penelitian yaitu ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali.
Adapun ditinjau dari segi pemikiran pada umumnya, penelitian ini merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan normatif doktriner yaitu menurut Al-Quran, Sunnah dan pendapat para ulama tentang pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali.
2. Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-bahan pustaka:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan
(19)
9
dengan penelitian ini. Sumber-sumber data tersebut adalah karya al-Mawardi yaitu: al-Ahkam al-Sulthaniyyah serta Adab Ad-Dunya wa Ad-Din dan karya al-Ghazali yaitu al-Iqtishad fi al-I’tiqad serta Tibrul al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan, artikel, buletin, Serta buku-buku yang memberikan penjelasan ke arah tema yang diangkat.
3. Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analitis isi secara kualitatif. Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan perspektif analisis yaitu jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilih antara pengertian yang satu dengan pengertian-pengertian yang lain untuk sekedar memperoleh kejelasan hal yang diteliti.10 Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara
10
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996),
(20)
10
sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
4. Teknik penulisan
Sementara untuk teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan penelitian-penelitian yang lain. Penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Merupakan tinjauan umum tentang ahlul ijtihad yang terdiri dari pengertian tentang ahlul ijtihad, syarat-syarat ahlul ijtihad, dan tingkatan ahlul ijtihad.
BAB III Merupakan sketsa biografi al-Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri dari riwayat hidup al-Mawardi serta pemikiran politik al-Mawardi, dan riwayat hidup al-Ghazali serta pemikiran politik al-Ghazali.
BAB IV Merupakan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Mawardi dan al-Ghazali yang terdiri dari ahlul ijtihad sebagai syarat kepala
(21)
11
negara menurut al-Mawardi, dan ahlul ijtihad sebagai syarat kepala negara menurut al-Ghazali.
BAB V Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan serta saran yang berkaitan dengan masalah tersebut, yang penulis dapatkan dari hasil kajian.
(22)
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ILMU DAN AHLUL IJTIHAD
A. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab
املع
-
ملعي
–
ملع
dengan yang berarti mengerti, memahami benar-benar.1 Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scentia (pengetahuan) atau scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.2 Sedangkan ilmu dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.3Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.4 Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar ataupun dari dalam. Raplh Ross dan Ernest Van Den Haag mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum dan sistematik.
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), hal. 1036 2
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1998), hal. 324. 3
Wihadi Admojo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal.
324.
4
Jujun S. Surisumantri, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
(23)
13
Sedangkan Karl Pearson mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. Ashley Montago menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat tentang hal yang sedang dikaji. Harsojo mendefinisikan ilmu sebagai suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.5 Penulis mencoba untuk mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang disusun secara sistematis melalui metode-metode tertentu untuk menyelediki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Adapun beberapa ciri-ciri utama ilmu menurut terminologi, antara lain: 1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat konheren, empiris, sistematis,
dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman yakni pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi.
2. Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri. Akan tetapi, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu pada objek yang sama dan saling berkaitan secara logis.
3. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat sendiri hipotesi-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan.
5
(24)
14
4. Ilmu harus berdasarkan metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah.6
Dani Vardiansyah memberikan unsur persyaratan yang harus dipenuhi dalam menemukan ilmu, sebagai berikut:
1. Objektif
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji, objek yang dicari adalah kebenaran yakni persesuaian antara tahu dengan objek sehingga disebut kebenaran objektif, bukan subjektif.
2. Metodis
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir kemingkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya harus ada cara untuk menjamin kepastian kebenaran. 3. Sistematis
Dalam perjalanan menemukan ilmu, mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya.
6
(25)
15
4. Universal
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran yang bersifat universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu).7
B. Pengertian Ahlul Ijtihad
Kata ijtihad menurut bahasa berasal dari isim mashdar dari kata kerja
ا
ْج
ته
د
-ي
ْج
ته
د
-ا
ْج
ته
ًدا
ا
yang diambil dari kata 8ًدا
ْه
ج
-
د
ه
ْج
-ي
د
ه
ج
yang berarti bersungguh-sungguh dan mengerahkan segala usaha. Kata ijtihad mengikutiwazan ifti’al)
لاعتفا
) yang menunjukan makna mubalaghah (sangat atau lebih). Ijtihad tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.9 Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah pencurahan daya upaya dalam rangka mencari suatu perkara yaitu pekerjaan yang berlandaskan kesungguhan dan kemampuan.10Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Artinya: “Pencurahan kesungguhan untuk mencari atau mencapai hukum
syar’i dari dalil-dalil syara’ yang terperinci”.11
7
Dani Vardiansyah, Filsafat ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: tp.p, 2008),
hal. 8. 8
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam Kitab
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 21. 9
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Keyataan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), hal. 88. Lihat juga Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syari’at Islam: Beberapa
Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 1. 10
Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum
Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 11-12. 11
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Noer Iskandar al-Barsany dari
(26)
16
Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Artinya: “Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum Syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum)”.12
Sedangkan menurut Ibrahim Hosen dengan mengutip pendapat Ibn Hazm, ijtihad adalah mencari hukun sesuatu masalah dalam nash al-Quran dan hadis sahih.13
Dasar ijtihad dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83:
(ءاسنلا
:
٣٨
)Artinya: ”Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (Q.S. An-Nisa: 83).
Terdapat juga di dalam hadits Nabi SAW
14
12
Yusuf al-Qardlawy, Ijtihad dalam Syari’at Islam: Beberapa Pandangan Analitis
tentang Ijtihad Kontemporer, terjemahan Ahmad Khosay dari kitab al-Ijtihad fi al-Syari’at al -Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 2.
13
Ibrahim Hosen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 24.
14
Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al-Mughirah al-Bukhori, Jami’ al-Shahih,
(27)
17
Artinya:
“Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala. Tetapi bila berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala”. (H.R. Bukhari).
Adapun dasar dari ijma’ dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang dianggap mempunyai kemampuan untuk
berijtihad disebut mujtahid atau ahlul ijtihad.15
Adapun mengenai pengertian ahlul ijtihad, para ulama memberikan beberapa pengertian yang berbeda. Menurut Nadiah Syarif al-Umari, sesungguhnya ahlul ijtihad itu adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) yang mengerahkan segala daya dan kemampuannya untuk mendapatkan status
hukum syar’i.16
Sejalan dengan pengertian tersebut, al-Ghazali memberikan pengertian bahwa ahlul Ijtihad adalah seseorang yang dapat memproduksi hukum Islam yang bersifat zanni.17
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 127. 16
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam
Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 24.
17
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th), hal. 8. Lihat Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh
Jinayah dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 25.
(28)
18
1. Syarat-Syarat Ahlul Ijtihad
Mengingat bahwa ijtihad merupakan sebuah kegiatan dan aktifitas yang tidak mudah untuk dilakukan, maka para ulama ushul fiqh telah menetapkan beberapa kriteria yang mesti dimiliki oleh ahlul ijtihad. Sehingga yang bersangkutan dianggap layak dan cakap untuk melakukan istinbath hukum (penggalian hukum). Kalangan ulama ushul fiqh kemudian memberikan penamaan terhadap beberapa persyaratan ini
dengan term “al-ahliyyah li al-ijtihad”.
Pada hakikatnya, ahlul ijtihad itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah umat dalam rangka menyampaikan risalah Islamiyyah (mubaligh), penyingkap (kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbith) terhadap kedudukan hukum syar’i yang belum atau tidak dijelaskan secara tekstual baik dalam al-Quran maupun Sunnah.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai subyek atau pelaku ijtihad, seorang mujtahid dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa persyaratan.18
Adapun syarat-syarat ahlul ijtihad sebagai berikut:
a. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian, yaitu meliputi syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum yakni baligh dan berakal. Ahlul ijtihad harus baligh (dewasa), karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Sedangkan ahlul ijtihad harus berakal, karena hanya pada orang yang berakal ditemukan
18
Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah dalam
Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), hal. 24-25.
(29)
19
adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah. Adapun syarat khusus yakni keimanan, ia harus beriman kepada Allah SWT secara sempurna baik yang berkenaan dengan zat, sifat, dan perbuatan-Nya.
b. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, meliputi:
1) Mengetahui ilmu alat, dalam hal ini adalah bahasa Arab karena sumber pokok hukum syara’ adalah Alqur’an, dan Hadits yang berbahasa Arab. Pengetahuan bahasa Arab meliputi Ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani dan Badi’.
2) Pengetahuan tentang Alqur’an, karena alqur’an sebagai sumber
asasi hukum syara’.
3) Pengetahuan tentang Hadits Nabi, karena Hadits Nabi berfungsi sebagai penjelasan alqur’an.
4) Pengetahuan tentang Ijma Ulama, karena ijma’ ulama untuk mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya telah diijmakan oleh ulama.
5) Pengetahuan tentang Qiyas, karna ia harus mengetahui metode qiyas serta mengetahui pokok-pokok istimbath yang memunginkan membedakan dan memilih hukum yang paling dekat dengan tujuan syara’ yaitu untuk kemashlahatan umat.
6) Pengetahuan tentang maksud syar’i dalam menetapkan hukum
sehingga saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad ia dapat berpedoman kepada tujuan syar’i tersebut.
(30)
20
7) Pengetahuan tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari untuk berijtihad.19
Adapun menurut Amir Syarifudin, secara garis besar ada tiga syarat mujtahid:
a. Mengetahui Maqashid al-Syariah karena dengan mengetahui maqashid kita tahu tujuan yang akan dicapai
b. Mengetahui Al-Quran, al-Sunnah, dan bahasa Arab
c. Mengetahui thuruq al-istinbath, metode menemukan dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad tidak keluar dari nilai-nilai uluhiyyah.20
2. Tingkatan Mujtahid
Pembicaraan tentang tingkatan mujtahid berkaitan erat dengan pemenuhan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Abu Zahrah memberikan tingkatan mujtahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mustaqil
Penempatan mujtahid ini dalam peringkat pertama karena melihat temuan hasil yang dicapai dan diterapkannya. Mujtahid ini menggali, menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari Al-Qur’an dan mengisthinbatkan hukum dari hadits Nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas sesuatu yang dilihatnya adanya kesamaan illat antara hukum yang ada
19
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), jilid 2, hal. 270-282.
20
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
(31)
21
nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsan karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan masalah, dan menetapkan hukum atas dasar maslahah mursalah, istishhab dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi petunjuk.
Mujtahid peringkat pertama ini harus memenuhi segala persyaratan sebagaimana di atas, sehingga disebut mujtahid yang sempurna atau al-kamil karena dalam berijtihad, ia merintis sendiri dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul yang disusunnya sendiri. Ia juga termasuk mujtahid mandiri atau al-mustaqil karena tidak memiliki keterkaitan dengan suatu kaitan apapun yang mengurangi derajat ijtihadnya. Juga termasuk mujtahid mutlaq21 atau mujtahid fi
al-Syar’i.22
Mujtahid yang memiliki kualifikasi dalam peringkat ini di kalangan ulama tabiin adalah seperti: Said ibn Musayyab, Ibrahin
al-Nakha’i dan ayahnya al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad
bin Hanbal, al-Auza’i, al-Kaits ibn Sa’ad, Sofyan al-Tsauri, dan lainnya.
b. Mujtahid Muntasib
Peringkat kedua mujtahid disebut mujtahid muntasib dalam arti ijtihadnya dihubungkan kepada mujtahid yang lain. Mujtahid ini dalam
21
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2006), hal 157. Lihat juga A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh:
Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 99. 22
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
(32)
22
berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah diterapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait kepada mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu’ (fiqh) meskipun hasil temuan yang diterapkannya ada yang kebetulan sama dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini dengan imam mujtahid sebelumnya karena ia berguru kepada mujtahid tersebut dan mengambil cara-cara yang digunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun berbeda pendapat dengan gurunya itu.
Di antara mujtahid yang masuk dalam peringkat ini adalah Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani yang menghubungkan dirinya dengan Abu Hanifah, al-Muzanni yang berguru cukup lama kepada al-Syafi’i, Abd al-Rahman ibn Qasim yang dihubungkan kepada Imam Malik, Ahmad ibn Hanbal yang pada mulanya dinisbahkan kepada al-Syafi’i, namun kemudian menyatakan mandiri dan tidak lagi disebut al-muntasib.
c. Mujtahid Madzhab
Mujtahid mazhab adalah mujtahid yang mengikuti imam mazhab tempat ia bernaung baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu’. Ia mengikutu temuan yang dicapai imam mazhab dan tidak menyalahi apa yang ditetapkan oleh imamnya.
Mujtahid mazhab ini mempunyai ilmu yang luas tentang
(33)
23
(mentakhrijkan) hukum dengan cara menghubungkannya kepada apa yang telah digariskan oleh imamnya. Ijtihadnya terbatas pada usaha mengistinbath hukum untuk masalah yang belum ditetapkan oleh imamnya dengan mengikuti kaidah dan metode ijtihad yang telah dirumuskan imamnya tersebut. Mujtahid mazhab ini dalam beberapa literatur disebut juga dengan mujtahid mukharij karena posisinya dalam ijtihad adalah mentakhrijkan (mengeluarkan) pendapat imam mujtahid dalam menjawab persoalan hukum pada kasus lain yang serupa. Walaupun dalam hal ini mujtahid tersebut berhasil menetapkan hukum sebagai temuannya, namun ia tetap menisbahkan hukum yang ditetapkannya itu kepada imamnya, sehingga pemikiran imam itu sendiri semakin berkembang dan meluas.23
Berbeda dengan Abu Zahrah, A. Djazuli membagi tingakatan mujtahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syar’i yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbath hukum, mereka inilah imam-imam mazhab seperti Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
b. Mujtahid mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab dalam ushul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya (hukum furu’nya) ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Seperti Muzani dalam mazhab al-Syafi’i.
23
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Ma’shum dari kitab
Ushul al-Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), hal. 579-591. Lihat juga Amir Syarifudin,
(34)
24
c. Mujtahid fi al-Mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab dalam ushul maupun furu’ hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab. Seperti al-Ghazali dalam mazhab al-Syafi’i.
d. Mujtahid fi al-Masail yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka. Seperti al-Karhi dikalangan mazhab Hanafi dan ibnu Arabi di kalangan mazhab al-Maliki.
e. Ahlu takhrij yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam mazhabnya. Seperti al-Jashosh dalam mazhab Hanafi.
f. Ahlu tarjih yaitu fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya.24
Adapun fungsi daripada ijtihad sebagai berikut: pertama, memberikan jalan keluar dari segala urusan yang berbeda-beda dari setiap manusia, hukum itu selalu berubah tidak kaku karena kehidupan manusia itu terus berkembang dan kebutuhan manusia terus bertambah. Kedua, sebagai penyalur dari kreativitas individual atau kelompok didalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka sendiri. Ketiga, sebagai interpreter yaitu memberi tafsir yang tepat
24
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(35)
25
terhadap dalil-dalil yang dzanni dalalahnya. Keempat, ijtihad berfungsi sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam ya’lu wa la yu’la
alaih dalam kehidupan praktis manusia.25
25
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja
(36)
26
BAB III
SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Mawardi
1. Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak. Mawardi berasal dari kata ma’ (air) dan ward (mawar) karena ia adalah anak seorang penjual air mawar.1 Al-Mawardi hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: al-Qadir Billah (380-422 H) dan al-Qa‟imu Billah. Masa kehidupan al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas. Pada masa itu Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari Bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya memuculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan Bani Abbas.2
Di Mesir terdapat negara Fathimiyyah. Di Andalusia terdapat negara Bani Umayyah. Di Khurasan dan daerah Timur secara umum terdapat negara Bani Abbasiyyah.
1
Nur Mufid dan A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi:
Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000), hal. 21.
2
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(37)
27
Hubungan antara khalifah-khalifah Bani Abbasiyyah dengan negara Fathimiyyah di Mesir didasari permusuhan sengit, sebab masing-masing keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain.
Hubungan Bani Abbasiyyah dengan khalifah-khalifah Bani Umayyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abbasiyyah meruntuhkan sendi-sendi negara Bani Umayyah dan untuk itu darah tercecer disana sini.3
Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah Bani Abbas sangat lemah. Mereka menjadi boneka dari ambisi politik dan persaingan antara pejabat-pejabat tinggi negara dan para panglima militer Bani Abbas. Khalifah sama sekali tidak berkuasa menentukan arah kebijakan negara. Yang berkuasa adalah para menteri Bani Abbas yang pada umumnya bukan berasal dari bangsa Arab, melainkan dari bangsa Turki dan Persia.4
Dalam kondisi demikian, al-Mawardi pandai menari sesuai irama gendang. Ia mampu memainkan perannnya dengan baik, sehingga mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dalam
kapasitasnya sebagai ahli hukum mazhab Syafi‟i, ia pernah menjadi hakim di berbagai kota. Kemudian, pada masa pemerintahan khalifah al-Qadir (991-1031 M) al-Mawardi bahkan diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung (Qadhiy al-Qudhat) di Baghdad. Karena kepandaian diplomasinya
3
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. Xxiv.
4
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(38)
28
pula ia ditunjuk sebagai mediator perundingan antara pemerintah Bani Abbas dengan Buwaih yang sudah menguasai politik ketika itu. al-Mawardi berhasil melakukan misinya dengan memuaskan kedua belah pihak. Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi kekhalifahan, sementara kekuasaan politik dan pemerintahan dilaksanakan oleh orang-orang Buwaih. Tidak mengherankan kalau al-Mawardi juga mendapatkan tempat yang layak dan disenangi oleh amir-amir Buwaih yang menganut
paham Syi‟ah.5
Al-Mawardi termasuk politisi yang produktif dalam hal menulis, banyak sekali buku-buku yang ia tinggalkan, diantara buku-buku karangannya adalah sebagai berikut:
a. Dalam fiqh
1) Al-Hawi Al-Kabiru. 2) Al-iqna‟u.
b. Dalam fiqh politik
1) Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah.
2) Siyasat al-Wizarat wa Siyasat Al-Maliki.
3) Tashilu An-Nadzari wa Ta‟jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasat Al-Maliki.
4) Siyasat Al-Maliki. 5) Nashihat Al-Muluk.
5
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari
(39)
29
c. Dalam tafsir
1) Tafsir Al-Qur‟anul Al-Karim. 2) An-Nukat wa Al-„Uyun. 3) Al-Amtsal wa Al-Hikam. d. Dalam sastra
1) Adab Ad-Dunya wa Ad-Din. e. Dalam akidah
1) A‟lam An-Nubuwwah.6
Al-Mawardi Rahimahullah wafat pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H dalam usia 86 tahun.
2. Pemikiran Politik al-Mawardi
Imamah (kepemimpinan) yang dimaksud al-Mawardi dijabat oleh khalifah (pemimpin), raja, penguasa, atau kepala negara, dan kepadanya ia diberi lebel agama. Al-Mawardi menyatakan “Sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia”.7 Dengan demikian seorang imam adalah pemimpin agama di satu pihak dan di lain pihak sebagai pemimpin politik.
Dasar pembentukan imamah menurut al-Mawardi adalah wajib
secara ijma‟. Akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah
6
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. Xxx-xxxi.
7
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 1.
(40)
30
berdasarkan akal atau syari‟at?. Menurutnya ada dua golongan, pertama
wajib berdasarkan akal dengan alasan manusia itu adalah makhluk sosial dan dalam pergaulan mereka bisa terjadi permusuhan, perselisihan, dan penganiayaan. Karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan itu. Kedua wajib berdasarkan
syari‟at bukan karena pertimbangan akal dengan alasan karena kepala negara menjalankan tugas-tugas agama yang bisa saja akal tidak mendukungnya dan akal hanya menghendaki setiap orang yang berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri bukan dengan
akal orang lain. Sementara syari‟at menghendaki bahwa segala persoalan
itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama. Sebagaimana firman Allah SWT:
)
ءاسنلا
:
)
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa: 59).
Terdapat pula hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
(41)
31
8
Artinya:
“Sepeninggalku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan membawa kebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang jahat dengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan merekam dan taatilah apa saja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan tersebut untuk kalian, dan jika berbuat jahat, maka kalian mendapatkan pahala dan mereka mendapatkan dosa”. (HR.Thabrani).
Ada dua cara menurut al-Mawardi di dalam pemilihan imam (khalifah): pertama, Dewan pemilih yang bertugas memilih imam bagi umat. Kedua, Dewan imam yang bertugas mengangkat salah seorang dari mereka sebagai imam.9 Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sumber awal agama Islam atau fakta historis, al-Mawardi tidak menemukan sistem yang baku dalam pemilihan kepala negara, tetapi pemilihan kepala negara dalam Islam telah diimplementasikan oleh para sahabat.
Adapun kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan pemilih sebagai berikut:
a. Adil dengan segala syarat-syaratnya.
b. Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.
8
Sulaiman ibn Ahmad Ibn Ayub Ibn Muthir al-Lakhmi as-Syamiy; Abu al Qosim
at-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, (t.tp, t.th), juz.19, hal.460, no.1102
9
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 1
(42)
32
c. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam dan paling efektif serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan.
Sedangkan kriteria yang harus dipenuhi oleh Dewan imam adalah: a. Adil dengan syarat-syaratnya yang universal.
b. Ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum.
c. Sehat inderawi (telinga, mata, dan mulut) yang dengannya ia mampu menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya.
d. Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak dengan sempurna dan cepat.
e. Wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengelola semua kepentingan.
f. Berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah negara dan melawan musuh.
g. Nasab yaitu berasal dari keturunan Quraisy berdasarkan nash-nash yang ada dan ijma‟ yang terjadi pada pertemuan Tsaqifah Bani Sâ‟idah ketika Abu Bakar menyatakan
ش
يرق نم ةمئاا
(pemimpin-pemimpin itu berasal dari Quraisy) maka terpilihlah Abu Bakar r.a sebagai khalifah pertama berdasarkan ijma. Kemudian Rasulullah juga bersabdaاومدق
اهومدقت او اشيرق
(dahulukan orang Quraisy dan jangan kalianmendahuluinya).10
10
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 3-4.
(43)
33
Ada sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang imam, antara lain:
a. Menjaga agama sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh ulama salaf.
b. Menerapkan keadilan diantara orang yang sedang berperkara. c. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci.
d. Menegakkan supremasi hukum untuk menjaga agama dan umat. e. Melindungi daerah-daerah perbatasan dari serangan musuh.
f. Memerangi orang-orang yang menentang Islam (jihad) setelah adanya dakwah.
g. Mengambil fa‟i (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan oleh
Syari‟at.
h. Mengatur penggunaan harta baitul mal (kas negara) secara efektif. i. Mengangkat orang-orang yang terlatih dan ahli dalam bidangnya untuk
membantu tugasnya.
j. Terjun langsung menangani persoalan yang terjadi di masyarakat (blusukan).11
B. Biografi al-Ghazali
1. Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (450 H atau 1058 M). Ia lahir di Thus pada suatu kota kecil
11
Imam al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat
Islam, terjemahan Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 23
(44)
34
dekat Khurasan, Persia. Ayahnya seorang sufi yang fakir harta. Ia bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majelis dan khalwat mereka12, waktu ayahnya sudah merasa usianya telah hampir habis, maka al-Ghazali dititipkan pada seorang sufi pula.13 Ia mendapatkan pendidikan awalnya di Thus, dibawah asuhan seorang pendidik dan ahli tasawuf, sahabat karib ayahnya yang telah meninggal. Setelah tamat ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu menjadi kegiatan ilmiah. Disini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar pengetahuan agama. Di antara gurunya adalah Imam Abu Nasr al-Isma‟ili. Karena kurang puas ia kembali ke Thus.14 Beberapa tahun kemudian ia pindah ke Naisabur dan berguru tentang ilmu kalam atau teologi pada Imam Haramain Juwaini. Kemudian ia menggabungkan diri dengan kelompok Nizham al-Mulk, wazir Sultan (Saljuk) A. Arsalan, suatu kelompok yang waktu itu sangat menarik bagi para cendikiawan muda Islam. Pada tahun 484 H atau 1091 M al-Ghazali ditugaskan oleh Nizham al-Mulk untuk mengajar di lembaga pendidikan tinggi Nizhamiyah yang didirikannya di Baghdad. Selama mengajar di Nizam al-Mulk, al-Ghazali telah berhasil mengarang kitab-kitab yang sangat penting diantaranya: al-Mankhul fi Ushul al-Fiqhi, Syifa al-Ghalil fi Ushul al-Fiqhi, Ma’akhad al-Khilaf, Lubab al-Nadzar, Tahsin al-Ma’akhid, al-Mabadi’ wa al-Ghayat,
12
Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,
1988), hal. 20. 13
Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia 1989), hal. 96.
14
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru
(45)
35
al-Basith, Khulashah al-Mukhtashar, al-Wasith, al-Wajiz fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, Tahdzib al-Ushul, Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Fadhaih al-Bathiniyyah, Ihya Ulumiddin, Hujjat al-Haq, Mi’yar al-Ilmi, Mahkul Nadzar, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, dan Mizan al-‘Amal.15
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar dan melalui jabatannya sebagai mahaguru namanya melejit, sehingga ia terhitung salah seorang ilmuwan yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi tidak saja dalam lingkungan Nizha al-Mulk, tetapi juga di kalangan pemerintahan di Baghdad.16
Pada tahun 488 H atau 1095 M ia menderita gangguan saraf dan karenanya ia tidak dapat lagi mengajar di Nizhamiyyah. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan memberi kesan akan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi kemudian ternyata kepergiannya dari Baghdad itu hendak mengakhiri karirnya baik sebagai mahaguru maupun ahli hukum. Ia tidak pergi ke Mekah, tetapi ke Damaskus, Suriah. Baru beberapa waktu kemudian menunaikan ibadah haji. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, al-Ghazali pulang ke kampung halamannya untuk berkhalwat, beribadah, menulis dan memilih jalan menjadi sufi sebagai jalan hidupnya.17
15
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakar hingga Nasr dan
Qardhawi, (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2003), hal. 163. 16
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 70. 17
Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Kalam
(46)
36
Semasa hidup al-Ghazali, dunia Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan yang semakin parah dibandingan masa sebelumnya, termasuk kemerosotan kehidupan beragama dan akhlak. Pada waktu itu terjadilah apa yang pernah terjadi di Eropa pada abad XVI dan XVII yakni para penguasa politik yang saling berebut kekuasaan dan wilayah mencari dukungan dari kelompok-kelompok agama tertentu. Sebaliknya, aliran-aliran agama dalam usahanya mempertahankan dan memperluas pengaruh dan wilayah masing-masing dan mencari dukungan dari penguasa-penguasa politik yang akhirnya terjadi perselingkuhan diantara keduanya.18
Nasib al-Ghazali tidak seluruhnya menyedihkan. Kekecewaannya terhadap situasi keagamaan di dunia Islam bagian Timur sedikit atau banyak telah terobati oleh perkembangan yang terjadi di bagian Barat dunia Islam. Pada masa al-Ghazali di Afrika Utara sebelah Barat dunia Islam telah berdiri dua kerajaan: Murabithin yang dibangun oleh Abdullah bin Yasin dan Yusuf bin Tsyfin, yang wilayahnya meliputi Aljazair, Marakisy, Afrika Barat dan Andalusia. Dan Muwahidun yang dibangun oleh Muhammad bin Tumarat, yang wilayanhya meliputi seluruh daerah Maghrib Arab, Afrika Barat dan Andalusia. al-Ghazali bersahabat dengan para pendiri kedua kerajaan itu. Pada saat Yusuf meminta nasihat tentang masalah-masalah perang dan damai, dan kebijakan politik negara. Oleh karenanya al-Ghazali berhak ikut bangga dengan keberhasilan Yusuf bin Tasyfin, baik dalam membangun maupun dalam mengelola negara dengan
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(47)
37
penuh keadilan dan kearifan, sampai ia mendapatkan julukan amir al-muslimin. Tetapi pada saat Yusuf bin Tasyfin meninggal yang kemudian digantikan oleh anaknya, Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Hubungan yang akrab antara dinasti Murabithin dengan al-Ghazali kemudian berubah menjadi sebaliknya, mungkin karena hasutan para ulama di sekeliling raja, sikap permusuhan Ali terhadap al-Ghazali demikian memuncak sampai pada suatu hari diselenggararakan acara api unggun di halaman-halaman masjid Andalusia dan Maghrib dengan bahan bakar buku Ihya Ulum al-Din.
Persahabatan al-Ghazali dengan tokoh lain yang juga menghasilkan lahirnya suatu negara yang didasarkan atas pengarahan dan petunjuk darinya adalah persahabatannya dengan Muhammad bin Tumarat, setelah ia berhasil memberontak terhadap Murabithin dan merebut sejumlah wilayah kekuasaannya.19
Dalam sejarah al-Ghazali pernah mengkritik penguasa karena suatu masalah. Ia pernah didatangi Perdana Menteri Khalifah Anusyirwan dirumahnya sebagai penghormatan dan pengakuan terhadap kedudukan dan kelebihannya. Akan tetapi, al-Ghazali berkata “umur anda akan dihisab, dan anda bagaikan orang yang disewa umat, maka bila anda memenuhi kepentingan mereka, itu lebih baik daripada membuang waktu
untuk mendatangiku”.20
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: UI Press, 2003), hal. 73. 20
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, Terjemahan Hasan
Abrori dari kitab al-Imam al-Ghazali Baina Maadihihi wa Naaqidiihi.
(48)
38
Dengan pengetahuannya yang luas al-Ghazali mengetahui bahwa ikatan Islam yang paling cepat hancur adalah yang berkaitan dengan pemerintahan dan politik. Penyelewengan yang paling tampak di bidang pemerintahan adalah politik materi.
Atas dasar ini, al-Ghazali amat pedas kritiknya terhadap pengaturan keuangan Sulthan. Ia melarang keras para ulama memasuki kesultanan, bergaul dengan mereka atau menerima hadiah dari mereka karena hadiah tersebut merupakan suap (risywah), sedangkan harta mereka pada umumnya adalah haram.
Dalam dinamika politik, perlawanan terhadap tirani dan despotisme politik, rezim-rezim Firaun dan Haman yang bertindak melampaui batas dibumi dan memecah belah rakyatnya menjadi berbagai kelompok. Dalam perbuatan, mereka itu telah mendudukan dirinya di singgasana Tuhan, meskipun dalam perkataan mereka tidak pernah mengumandangkannya. Mereka menistakan hamba-hamba Allah hingga menjadi budak-budak mereka. Al-Ghazali sangat mendukung prinsip kemerdekaan bagi rakyat dengan mengajak memperkuat jalannya prinsip syura. Al-Ghazali menilai syura sebagai suatu kewajiban bukan hanya keutamaan. Dengan kata lain, syura sifatnya mengikat bukan hanya sekedae simbol.21
Imam al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senen 14 Jumadil Akhir 505 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M.22
21
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad Al-Ghazali Yang Saya Kenal: Setengah
Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, Terjemahan Surya Darma dari kitab
Syaikh al-Ghazali Kama Araftuhu: Rihlatuhu Nifsihi Qarnin, (Jakarta:Robbani Press, 1998), hal. 261.
22
Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Ghazali Hujjatul Islam, (Solo: Pustaka Mantiq,
(49)
39
2. Pemikiran Politik Al-Ghazali
Mengenai masalah imamah bagi al-Ghazali hukumnya adalah wajib. Pemikiran ini dapat dilihat dalam karyanya al-Iqtishad fi al-I’tiqad (sikap lurus dalam i‟tikad). Al-Ghazali menggambarkan hubungan agama dengan dengan kekuasaan politik dengan bahasa “Sulthan adalah wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama. Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat.23
Agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik (negara) adalah penjaganya. Keduanya memiliki hubungan erat: politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Kekuasaan politik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. 24
Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Karena menurutnya bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan
berdasarkan kewajiban agama (syar‟i). Ini dikarenakan bahwa
23
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal.
198-199. Lihat juga Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 28. 24
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972), hal.
(1)
58
B. Saran
Dalam pembahasan yang penulis paparkan dalam skripsi ini, belum semuanya terbahas secara menyeluruh terkait penting tidaknya syarat keilmuan bagi kepala negara.
Sebagaimana yang di jelaskan oleh kedua pemikir Muslim diatas (al-Mawardi dan al-Ghazali). Keduanya memiliki perbedaan pandangan dalam hal kepala negara.
Untuk penelitian lebih lanjut penulis sarankan, agar membandingkan dengan tokoh pemikir muslim klasik yang lain atau boleh juga dengan pemikir Muslim modern.
(2)
59
Admojo, Wihadi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Aji, Ahmad Mukri. Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd: Kajian Atas Fiqh Jinayah
dalam Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
__________, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia. Bogor: Pustaka Pena Ilahi. 2010.
Amiruddin, Muhammad Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Terjemahan Rahmat Nur Subur dari Islamic Political Thought: From The Prophet Era Until Contemporary Era. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Bukhori, al, Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al-Mughirah. Jami’ al-Shahih, al-Qahirah: Dar al-Sya’b, 1987.
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar, 2000. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994.
Dimisqa, al, Abu Alfida Ismail Ibn Umar Ibn Kastir. Tafsir al-Quran al-‘Adzim, (t.tp, t.th), Jilid I.
Djazuli, A. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: kencana, 2006.
Djazuli, A dan Aen, I. Nurol. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Fariz, Muhammad Abdul Qadir Abu. Sistem Politik Islam. Terjemahan Musthalah Maufur dari kitab al-Nizham al-Siyasi fi al-Islam. Jakarta: Robbani Press, 2000.
(3)
60
Ghazali, al, Abu Hamid Muhammad. Fadhaih Al-Bathiniyyah. Al-Qahirah: Dar Al-Qaumiyyah Littibaah Wa Al-Nasyr, 2004.
__________, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam. Terjemahan Nur Rokhim dari kitab Majmu’ah Rasaail al-Imam al-Ghazali. Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
__________, Al-Ghazâli Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, terjemahan Muhammad Tohir dan Abu Laila dari kitab arba’uun al-Sual an al-Islam. Bandung: Mizan,1989.
__________, al-Mustasfa Min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. __________, al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Mesir: Maktabah al-Jund, 1972.
__________, Nasihat bagi Penguasa, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail dari kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk. Bandung: Mizan, 1994.
__________, 9 Risalah Al-Ghazali, penerjemah Irwan Kurniawan dari kitab Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali jilid 2-6. Bandung: Pustaka Hidayah, 2010.
Hosen, Ibrahim. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996.
HR, Ridwan. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Keyataan. Yogyakarta: FH UII Press, 2007.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2010. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Terjemahan Noer Iskandar al-Barsany
dari kitab Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah, 1972. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Khaldun. al-Qahirah: Dar al-Sya’b, t.th.
Masyhur, Kahar. Pemikiran dan Modernisme dalam Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1989.
Maududi, Maulana Abul A’la. Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja dari Human Right in Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
(4)
Mawardi, al. al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Al-Qahirah: Dar Al-Hadits, 2006.
__________, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam. Penerjemah Fadhli Bahri dari kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Mudzar, Muhammad Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1998.
Mufid, Nur dan Fuad, A. Nur, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-Mawardi: Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah. Surabaya: Pustaka Progressif, 2000.
Muhammad, Rusjdi Ali. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Syariat Islam: Mengenal Jati Diri Manusia. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
Musa, Bakar. Kebebasan Dalam Islam. Bandung: PT Al-Maarif, 1988.
Nabhani, an, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, dan Realitas Empirik. Terjemahan Mohammad Maghfur Wachid dari kitab al-Nizham al-Hukmi fi al-Islam. Bangil: Al-Izzah, 1997.
Nisaburi, al, Abu husain al Muslim ibn al Hajaj ibn Muslim al Qusyairi, al-Jami’ al-Shohih Shohoh Muslim. Beirut: Dar al-Jail, t.th.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Di Tinjau Dari Pandangan Al-Quran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. __________, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
Rahman, Fazlul. Cita-Cita Islam, terjemahan Sufyanto dan Imam Musbikin dari Islam’s Movement goals, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori politik Islam. Penerjemah Ahmad Burdan Hadi dari kitab al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Rida, Muhammad Rasyid. al-Wahyi al-Muhammadiy. Beirut: Maktab al-Islamî, 1971.
Ridhwan, Muhammad Ridhwan. 20 Prinsip Islam: Komentar Terhadap Imam Hasan al-Banna. Terjemahan Ahmad Mudjab Mahali dari kitab al-‘Aqaid Syarh Ushul li al-‘Isyrin li al-Syabab. Solo: Ramadhani, 1992.
(5)
62
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad al-Syaukani: Relefansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 1999.
S. SuriaSumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
__________, Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Saefuddin, A. M. Ijtihad Politik Cendikiawan Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Shiddieqy, Ash, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Sijistani, al, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kitab, t.th, jilid ke 2.
Sjadzali, Munawir. Islam dan tata negara: ajaran dan sejarah pemikiran. Cetakan Kedua. Jakarta: UI Press, 1990.
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi. Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2003.
Sudarto. Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996. Surur, Thaha Abdul Baqi. Al-Ghazali Hujjatul Islam. Solo: Pustaka Mantiq, 1988. Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana, 2009.
Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Pustaka, 2006.
Thabrani, al, Sulaiman ibn Ahmad Ibn Ayub Ibn Muthir al-Lakhmi as-Syamiy; Abu al Qosim, al-Mu’jam al-Kabir, (t.tp, t.th), juz, 19.
Qardhawy, al, Yusuf. Al-Ghazali antara Pro dan Kontra: Membedah Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali ath-Thusi bersama Para Penentang dan Pendukungnya. Terjemahan Hasan Abrori dari kitab al-Imam al-Ghazali Baina Maadihihi wa Naaqidiihi. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
__________, Syaikh Muhammad Al-Ghazali Yang Saya Kenal: Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam. Terjemahan Surya Darma dari kitab Syaikh al-Ghazali Kama Araftuhu: Rihlatuhu Nifsihi Qarnin. Jakarta:Robbani Press. 1998.
(6)
__________, Ijtihad dalam Syari’at Islam: Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. Terjemahan Ahmad Khosay dari kitab Ijtihad fi al-Syari’at al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
__________, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, terjemahan Abu Barzani dari kitab al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al -Indilbaath wa al-Infiraath, (Surabaya: Risalah Gusti,1995
__________, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali. Terjemahan Hasan Abrori dari kitab al-Imam al-Ghazali Baina Maadihihi wa Naaqidiihi. Surabaya: Risalah Gusti. 1997.
Qurthubi, al, Abu Abdullah Muhammd Ibn Ahmad Ibn Abi Bakar Ibn Farah al-Anshari al-Khazraji Samsuddin, Tafsir al-Qurthubi. Qahirah: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964, Jilid XV.
Vardiansyah, Dani. Filsafat ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: tp.p, 2008.
Warson Munawwir, Ahmad. Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. terjemahan Saefullah Ma’shum dari kitab