Inventarisasi Jamur Makroskopis Di Ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI EKOWISATA

TANGKAHAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

ASNAH

087030003

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010


(2)

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI EKOWISATA

TANGKAHAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASNAH

087030003

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI EKOWISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

Nama : ASNAH

Nomor Pokok : 087030003 Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Dr. Delvian, SP,MP Ketua Anggota

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

Dekan


(4)

Tanggal lulus: 18 Agustus 2010

PERNYATAAN

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI EKOWISATA TANGKAHAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2010 Penulis,


(5)

Telah diuji pada

Tanggal 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : Dr. Delvian, SP, MP

Prof. Dr. Erman Munir, MSc Dr. Budi Utomo, SP, MP


(6)

ABSTRAK

Penelitian Inventarisasi jamur makroskopis di Ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat Sumatera Utara, telah dilaksanakan dari bulan Februari 2010 sampai April 2010. Jamur berperan sebagai dekomposer untuk membantu siklus materi dalam ekosistem hutan. Survei pendahuluan di lokasi penelitian ditemukan berbagai jamur makroskopis, namun data mengenai keberadaan jamur makroskopis belum dilaporkan.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jamur makroskopis dan mengetahui hubungan faktor fisik ( intensitas cahaya, suhu, kelembaban) dan kimia (pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan penelitian. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dengan metode petak. Penelitian dilakukan pada 3 trail yang ada. Pada setiap trail penelitian dibuat petak 20x100 m, pengamatan data secara eksploratif. Areal pengamatan seluas 6.000 m2, berada pada ketinggian 102–145 m dpl. Dari hasil penelitian diperoleh 87 jenis jamur makroskopis yang terdiri dari 25 famili. Spesies yang dominan pada trail 1 adalah Crepidotus herbarum, pada trail 2 Cantharellus sp., dan pada trail 3 Polyporus varius. Jenis jamur makroskopis yang dominan di ekowisata Tangkahan adalah Polyporus varius. Indeks keanekaragaman pada trail 1: 3,236814, trail 2: 2,470881 dan trail 3: 2,64468. Indeks kemerataan pada trail 1: 0,840699, pada trail 2: 0,661075, dan trail 3: 0,749976. Indeks kesamaan antara trail 1 dengan 2 sebesar 70,41%, antara trail 1 dengan 3 sebesar 44,26%, dan antara trail 2 dengan 3 sebesar 38,16%. Analisis korelasi antara faktor kelembaban udara berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis jamur dan faktor suhu udara, intensitas cahaya dan pH berkorelasi negatif dengan keanekaragaman jenis jamur.

Kata Kunci : Inventarisasi, Jamur makroskopis, Ekowisata Tangkahan, Indeks Nilai Penting.


(7)

ABSTRACT

Inventory research in the area of macroscopic fungi Ecotourism Langkat Tangkahan, North Sumatra, had been conducted in February 2010 until April 2010. Funtion of the fungi as decomposers for help to circlus of the matter in the forest. The first survey on the location of the research found a variety of macroscopic fungi, but the data about presence of macroscopic fungi have been not reported.

The study aims to determine the types of macroscopic fungi contained in the research area and to identify the relationship of physical factors (light, temperature. water activity) and chemicals factor (pH) for the diversity of macroscopic fungi in the area f research. The research location is determined by purposive sampling. Observations and data collection was done by plot method. The study was conducted on three trail of existing trail. In each plot 20 x 100 m trail made research, explorative observational data, 6.000 m2 wide observation area, located at an altitude of 102-145 m above sea level. The results were obtained 87 kinds of macroscopic fungi consisting of 25 families. The dominant species on the trail one is Crepidotus herbarum, the second trail Cantharellus sp., on the third trail Polyporus varius. The dominant species of macroscopic fungi in the study area is Polyporus varius. Index of heterogenety in trail 1 is 3,236814, in trail 2 is 2,470881 and trail 3 is 2,64468. Index of equitability in trail 1 is 0,840699, in trail 2 is 0,661075 and trail 3 is 0,749976. Index of similarity between trail 1 with 2 is 70,41%, between trail 1 with 3 is 44,26%, and between trail 2 with 3 is 38,16%. The Pearson anality between water activity factor is possitive correlation with heterogenity of macroscopic fungi and temperature factor, light intensity, and pH are negative correlations with heterogenity of macroscopic fungi.

Keywords: Inventory, macroscopic fungi, Ecotourism Tangkahan, Important Value Index.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa memberi rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang bertema “Inventarisasi Jamur Makroskopis”. Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Dosen Pembimbing I dan Dr. Delvian, SP, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari perencanaan penelitian hingga selesainya penyusunan hasil penelitian ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Dr. Budi Utomo, SP, MP sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaaan penyusunan hasil penelitian ini.

2. Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa S-2 sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S-2.

3. Suami tercinta Awaluddin Hasibuan dan anak-anak penulis tercinta Yusuf Hasibuan, Raihan Hasibuan dan Wildan Hasibuan, kedua orang tua penulis Musa Siahaan dan Farida Hanum Pasaribu serta kedua mertua penulis Mara Yusuf Hasibuan (alm) dan Hj. Siti Aminah Siregar yang senantiasa memberikan do’a dan dukungannya.

Akhir kata semoga Allah Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberi rahmat

dan karuniaNya kepada kita.

Medan, Juli 2010 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Asnah lahir pada tanggal 7 Pebruari 1970 di Gentingsaga Kabupaten Labuhan Batu Utara Provinsi Sumatera Utara. Putri dari pasangan ayah Musa Siahaan dan Ibu Farida Hanum Pasaribu sebagai anak kedua dari enam bersaudara.

Tahun 1983 lulus dari SD Negeri 112259 Gentingsaga, tahun 1986 lulus dari SMP Negeri 2 Aek Kanopan, tahun 1989 lulus dari SMA Negeri 1 Aek Kanopan. Pada tahun 1989 melanjutkan pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Program Studi D3 Kependidikan dan lulus tahun 1992. Pada Januari 1993 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di SMAN 1 Padang Tualang Kabupaten Langkat. Tahun 1996 melanjutkan studi S1 di Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Medan dan lulus tahun 1998. Tahun 2007 pindah tugas ke SMAN 1 Sunggal Kabupaten Deli Serdang hingga saat ini. Tahun 2008 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN………... viii

I PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Deskripsi Jamur... 4

2.2. Klasifikasi Jamur... 6

a. Oomycetes... 7

b. Zygomycetes... 7

c. Ascomycetes... 8

d. Basidiomycetes... 9

e. Deuteromycetes... 10

2.3. Jamur Saprofit... 10


(11)

2.4. Jamur

Parasit... 11

2.5. Asosiasi Mutualistik... 11

2.6. Jamur Makroskopis dan Edibilitas Jamur... 12

2.7. Faktor Lingkungan ... 14

III BAHAN DAN METODE………... ... 16

3.1. Deskripsi Area……… ... 16

3.1.1. Letak dan Luas Area………... 16

3.1.2. Topografi……….. 16

3.1.3. Curah Hujan dan Iklim……….. 16

3.1.4. Vegetasi……… 17

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian………. 17

3.3. Alat dan Bahan……….. 17

3.4. Pelaksanaan Penelitian...………. 18

3.4.1. Penelitian di Lapangan……….. 18

3.4.2. Penellitian di Laboratorium………... 20

3.5. Analisis Data………... 21

IV HASIL DAN PEMBAHASAN……… .…25

4.1. Jumlah Jenis Jamur Makroskopis di Tangkahan... 25

4.2. Indeks Nilai Penting………... 29

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)... 34

4.4. Indeks Similaritas (IS)... 35

4.5. Tempat Tumbuh Jamur... 36


(12)

V KESIMPULAN DAN SARAN... 43

5.1.

Kesimpulan... 43 5.2.

Saran... 43

DAFTAR PUSTAKA... 45

DAFTAR TABEL

No


(13)

1. Pengelompokan Jamur dan Ciri-Ciri Umum... 7

2. Beberapa senyawa beracun yang terkandung pada jamur makroskopis... 13

3. Jenis Jamur Makroskopis di Tangkahan... 27 4. INP Jamur Makroskopis di Ekowisata Tangkahan... 30 5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)... .. 34

6. Nilai Indeks Similaritas... 35

7. Tempat Tumbuh Jamur

Makroskopisi...37

8. Faktor Fisik Kimia di ekowisata Tangkahan... 40 9. Analisis Korelasi ... 41


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No

Judul Halaman

1. Deskripsi Jamur... 49

2. Tabel Pengamatan Jamur Makroskopis di Trail 1 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 77

3. Tabel Pengamatan Jamur Makroskopis di Trail 2 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 79

4. Tabel Pengamatan Jamur Makroskopis di Trail 3 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 81

5. Hasil Analisis Vegetasi pada Trail 1 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 82

6. Hasil Analisis Vegetasi pada Trail 2 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 84

7. Hasil Analisis Vegetasi pada Trail 3 Kawasan Ekowisata Tangkahan... 86

8. Hasil Analisis Vegetasi di Ekowisata Tangkahan... 88

9. Contoh Perhitungan K, KR, F, FR, INP, H’, dan IS... 92

10.Analisis Korelasi Pearson Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00. ... 95

11.Faktor Fisik dan Kimia di Kawasan Ekowisata Tangkahan ... 95

12.Peta Lokasi Penelitian ... 96

13.Spora Print ... 97


(15)

ABSTRAK

Penelitian Inventarisasi jamur makroskopis di Ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser Kabupaten Langkat Sumatera Utara, telah dilaksanakan dari bulan Februari 2010 sampai April 2010. Jamur berperan sebagai dekomposer untuk membantu siklus materi dalam ekosistem hutan. Survei pendahuluan di lokasi penelitian ditemukan berbagai jamur makroskopis, namun data mengenai keberadaan jamur makroskopis belum dilaporkan.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jamur makroskopis dan mengetahui hubungan faktor fisik ( intensitas cahaya, suhu, kelembaban) dan kimia (pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan penelitian. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dengan metode petak. Penelitian dilakukan pada 3 trail yang ada. Pada setiap trail penelitian dibuat petak 20x100 m, pengamatan data secara eksploratif. Areal pengamatan seluas 6.000 m2, berada pada ketinggian 102–145 m dpl. Dari hasil penelitian diperoleh 87 jenis jamur makroskopis yang terdiri dari 25 famili. Spesies yang dominan pada trail 1 adalah Crepidotus herbarum, pada trail 2 Cantharellus sp., dan pada trail 3 Polyporus varius. Jenis jamur makroskopis yang dominan di ekowisata Tangkahan adalah Polyporus varius. Indeks keanekaragaman pada trail 1: 3,236814, trail 2: 2,470881 dan trail 3: 2,64468. Indeks kemerataan pada trail 1: 0,840699, pada trail 2: 0,661075, dan trail 3: 0,749976. Indeks kesamaan antara trail 1 dengan 2 sebesar 70,41%, antara trail 1 dengan 3 sebesar 44,26%, dan antara trail 2 dengan 3 sebesar 38,16%. Analisis korelasi antara faktor kelembaban udara berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis jamur dan faktor suhu udara, intensitas cahaya dan pH berkorelasi negatif dengan keanekaragaman jenis jamur.

Kata Kunci : Inventarisasi, Jamur makroskopis, Ekowisata Tangkahan, Indeks Nilai Penting.


(16)

ABSTRACT

Inventory research in the area of macroscopic fungi Ecotourism Langkat Tangkahan, North Sumatra, had been conducted in February 2010 until April 2010. Funtion of the fungi as decomposers for help to circlus of the matter in the forest. The first survey on the location of the research found a variety of macroscopic fungi, but the data about presence of macroscopic fungi have been not reported.

The study aims to determine the types of macroscopic fungi contained in the research area and to identify the relationship of physical factors (light, temperature. water activity) and chemicals factor (pH) for the diversity of macroscopic fungi in the area f research. The research location is determined by purposive sampling. Observations and data collection was done by plot method. The study was conducted on three trail of existing trail. In each plot 20 x 100 m trail made research, explorative observational data, 6.000 m2 wide observation area, located at an altitude of 102-145 m above sea level. The results were obtained 87 kinds of macroscopic fungi consisting of 25 families. The dominant species on the trail one is Crepidotus herbarum, the second trail Cantharellus sp., on the third trail Polyporus varius. The dominant species of macroscopic fungi in the study area is Polyporus varius. Index of heterogenety in trail 1 is 3,236814, in trail 2 is 2,470881 and trail 3 is 2,64468. Index of equitability in trail 1 is 0,840699, in trail 2 is 0,661075 and trail 3 is 0,749976. Index of similarity between trail 1 with 2 is 70,41%, between trail 1 with 3 is 44,26%, and between trail 2 with 3 is 38,16%. The Pearson anality between water activity factor is possitive correlation with heterogenity of macroscopic fungi and temperature factor, light intensity, and pH are negative correlations with heterogenity of macroscopic fungi.

Keywords: Inventory, macroscopic fungi, Ecotourism Tangkahan, Important Value Index.


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai daerah tropis merupakan sumber yang sangat potensial ditemukannya spesies baru. Banyak pakar yang menduga bahwa daerah tropis memiliki lebih dari separuh keanekaragaman flora dan fauna dunia, dan dengan demikian diduga sebagai sumber terkaya ditemukannya berbagai jenis makroorganisme baru (Gandjar, et al., 2006). Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa yang menjadikan negeri ini sebagai negeri tropis yang sangat kaya dalam hal keanekaragaman hayati. Sebagai negeri yang memiliki hutan hujan tropis, Indonesia seperti daerah lainnya mempunyai kondisi lingkungan yang basah dan lembab, dan kondisi ini sangat cocok bagi pertumbuhan banyak makroorganisme, termasuk makroorganisme dari jenis jamur (Suharna, 1993).

Luas daerah dan banyaknya pulau yang tersebar yang dimiliki Indonesia ditambah lagi pulau-pulaunya yang memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi dalam bentuk, ukuran, umur, dan karakteristik ekologis penelitian mengenai keberadaan makroorganisme di Indonesia belum banyak dilakukan, termasuk tentang jamur hutannya (Suharna, 1993). Sampai saat ini data biodiversitas jamur di Indonesia masih sangat terbatas. Di lain pihak, kita dihadapkan dengan cepatnya laju penurunan keanekaragaman hayati baik oleh proses alamiah maupun oleh ulah manusia. Kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,5 juta hektar per tahun. Jika


(18)

kondisi tersebut dibiarkan, dalam waktu 20 tahun mendatang Indonesia akan menjadi negeri gundul. Jutaan spesies jamur mungkin akan tetap tidak diketahui sementara mereka terancam kepunahan (Gandjar, et al., 2006).

Jamur berperan sabagai dekomposer bersama-sama dengan bakteri dan beberapa jenis protozoa yang sangat banyak membantu dalam proses dekomposisi bahan organik untuk mempercepat siklus materi dalam ekosistem hutan. Dengan demikian jamur ikut membantu menyuburkan tanah dengan menyediakan nutrisi bagi tumbuhan sehingga hutan tumbuh dengan subur dan menjadi lebat (Suharna, 1993). Beberapa jenis jamur juga bersifat parasit pada tumbuhan atau hewan. Sementara jamur yang lain berasosiasi saling menguntungkan (mutualistik) dengan tumbuhan ataupun dengan hewan (Mc-Kane, 1996).

Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas, penelitian mengenai keberadan jamur hutan belum banyak dilakukan, terutama di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara. Padahal peranan jamur hutan dalam suatu ekosistem hutan hujan tropis tidaklah kecil. Demikian pentingnya peranan jamur dalam suatu ekosistem hutan, dalam hal ini jamur makroskopis (cendawan) sehingga perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara.


(19)

1.2.Rumusan Masalah :

a. Bagaimana keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara? b. Bagaimana hubungan faktor fisik (intensitas cahaya, suhu, kelembaban),

dan kimia (pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara?

1.3.Tujuan Penelitian :

a. Untuk mengetahui keanekaragaman jamur makroskopis yang terdapat di Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik (intensitas cahaya, suhu, kelembaban), dan kimia (pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara.

1.4.Manfaat Penelitian :

a. Memberikan informasi tentang keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sumatera Utara.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Jamur

Istilah jamur berasal dari bahasa Yunani, yaitu fungus (mushroom) yang berarti tumbuh dengan subur. Istilah ini selanjutnya ditujukan kepada jamur yang memiliki tubuh buah serta tumbuh atau muncul di atas tanah atau pepohonan (Tjitrosoepomo, 1991). Organisme yang disebut jamur bersifat heterotrof, dinding sel spora mengandung kitin, tidak berplastid, tidak berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof, umumnya memiliki hifa yang berdinding yang dapat berinti banyak (multinukleat), atau berinti tunggal (mononukleat), dan memperoleh nutrien dengan cara absorpsi (Gandjar, et al., 2006).

Jamur mempunyai dua karakter yang sangat mirip dengan tumbuhan yaitu dinding sel yang sedikit keras dan organ reproduksi yang disebut spora. Dinding sel jamur terdiri atas selulosa dan kitin sebagai komponen yang dominan. Kitin adalah polimer dari gugus amino yang lebih memiliki karakteristik seperti tubuh serangga daripada tubuh tumbuhan. Spora jamur terutama spora yang diproduksi secara seksual berbeda dari spora tumbuhan tinggi secara penampakan (bentuk) dan metode produksinya (Alexopoulus dan Mimms, 1979).

Banyak jamur yang sudah dikenal peranannya, yaitu jamur yang tumbuh di roti, buah, keju, ragi dalam pembuatan bir, dan yang merusak tekstil yang lembab, serta beberapa jenis cendawan yang dibudidayakan. Beberapa jenis memproduksi antibiotik yang digunakan dalam terapi melawan berbagai infeksi bakteri (Tortora,


(21)

et al., 2001). Diantara semua organisme, jamur adalah organisme yang paling banyak menghasilkan enzim yang bersifat degradatif yang menyerang secara langsung seluruh material oganik. Adanya enzim yang bersifat degradatif ini menjadikan jamur bagian yang sangat penting dalam mendaur ulang sampah-sampah alam, dan sebagai dekomposer dalam siklus biogeokimia (Mc-Kane, 1996).

Semua unsur kimia di alam akan beredar melalui jalur tertentu dari lingkungan ke organisme atau makhluk hidup dan kembali lagi ke lingkungan. Semua bahan kimia dapat beredar berulang-ulang melewati ekosistem secara tak terbatas. Jika suatu organisme itu mati, maka bahan organik yang terdapat pada tubuh organisme tersebut akan dirombak menjadi komponen abiotik dan dikembalikan lagi ke dalam lingkungan. Peredaran bahan abiotik dari lingkungan melalui komponen biotik dan kembali lagi ke lingkungan dikenal sebagai siklus biogeokimia (Odum, 1993).

Tubuh buah suatu jenis jamur dapat berbeda dengan jenis jamur lainnya yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan tudung (pileus), tangkai (stipe), dan lamella (gills) serta cawan (volva). Adanya perbedaan ukuran, warna, serta bentuk dari pileus dan stipe merupakan ciri penting dalam melakukan identifikasi suatu jenis jamur (Smith, et al., 1988). Menurut Alexopoulus dan Mimms (1979), beberapa karakteristik umum dari jamur yaitu: jamur merupakan organisme yang tidak memiliki klorofil sehingga cara hidupnya sebagai parasit atau saprofit. Tubuh terdiri dari benang yang bercabang-cabang disebut hifa, kumpulan hifa disebut miselium, berkembang biak secara aseksual dan seksual.


(22)

Secara alamiah jamur dapat berkembang biak dengan dua cara, yaitu secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu dengan fragmentasi miselium, pembelahan (fission) dari sel-sel somatik menjadi sel-sel anakan. Tunas (budding) dari sel-sel somatik atau spora, tiap tunas membentuk individu baru, pembentukan spora aseksual, tiap spora akan berkecambah membentuk hifa yang selanjutnya berkembang menjadi miselium (Pelczar dan Chan, 1986). Reproduksi secara seksual melibatkan peleburan dua inti sel yang kompatibel. Proses reproduksi secara seksual terdiri dari tiga fase yaitu plasmogami, kariogami dan meiosis. Plasmogami merupakan proses penyatuan antara dua protoplasma yang segera diikuti oleh proses kariogami (persatuan antara dua inti). Fase meiosis menempati fase terakhir sebelum terbentuk spora. Pada fase tersebut dihasilkan masing-masing sel dengan kromosom yang bersifat haploid (Alexopoulus dan Mimms, 1979).

2.2 Klasifikasi Jamur

Mc-Kane (1996) mengatakan setiap jamur tercakup di dalam salah satu dari kategori taksonomi, dibedakan atas dasar tipe spora, morfologi hifa dan siklus seksualnya. Kelompok-kelompok ini adalah : Oomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Terkecuali untuk deuteromycetes, semua jamur menghasilkan spora seksual yang spesifik. Berikut ini disajikan Tabel 1 untuk membedakan 5 kelompok jamur.


(23)

Tabel 1. Pengelompokan Jamur dan Ciri-ciri Umumnya Kelompok Hifa Spora Seksual Spora Aseksual

Yang Umum

Beberapa Genera Yang Penting Oomycetes Nonseptate Oospora Zoopora Plasmopara,

Scerospora, Phytphthora Zygomycetes Nonseptate Zygospora Sporangiospora Mucor Rhizopus Ascomycetes Septate Ascospora Conidia,

Arthrospora, Blastospora Aspergillus, Histoplasme, Trichophyton, Penicillium Basidiomycetes Septate Basidiospora Tidak ada

karakteristik khusus Cryptococcus, Amanita (“cendawan malaikat pembunuh”) Deuteromycetes Septate Tidak ada Conidia,

Arthrospora, Blastospora, Chlamydospora Candida, Sporotris, Coccidioides a. Oomycetes

Dikatakan sebagai jamur air karena sebagian besar anggotanya hidup di air atau di dekat badan air. Hanya sedikit yang hidup di darat. Miseliumnya terdiri atas hifa yang tidak bersekat, bercabang, dan mengandung banyak inti. Hidup sebagai saprofit dan ada juga yang parasit. Pembiakan aseksualnya dengan zoospora, dan dengan sporangium untuk yang hidup di darat. Pembiakan seksualnya dengan oospora. Beberapa contoh dari kelompok ini antara lain: Saprolegnia sp., Achya sp., Phytophtora sp (Alexopoulus dan Mimms, 1979).

b. Zygomycetes

Kelompok Zygomycetes terkadang disebut sebagai “jamur rendah” yang dicirikan dengan hifa yang tidak bersekat (coneocytic), dan berkembang biak secara


(24)

aseksual dengan zigospora. Kebanyakan anggota kelompok ini adalah saprofit. Pilobolus, Mucor, Absidia, Phycomyces termasuk kelompok ini (Wallace, et al.,1986). Rhizopus nigricans adalah contoh dari anggota kelompok ini, berkembang biak juga melalui hifa yang koneositik dan juga berkonjugasi dengan hifa lain. Rhizopus nigricans juga mempunyai sporangiospora. Ketika sporangium pecah, sporangiospora tersebar, dan jika mereka jatuh pada medium yang cocok akan berkecambah dan tumbuh menjadi individu baru. Spora seksual pada kelompok jamur ini disebut zygospora (Tortora, et al., 2001).

c. Ascomycetes

Golongan jamur ini dicirikan dengan sporanya yang terletak di dalam kantung yang disebut askus. Askus adalah sel yang membesar, yang di dalamnya terbentuk spora yang disebut askuspora. Setiap askus biasanya menghasilkan 2-8 askospora (Dwidjoseputro, 1978). Kelas ini umumnya memiliki 2 stadium perkembangbiakan yaitu stadium askus atau stadium aseksual. Perkembangbiakan aseksual ascomycetes berlangsung dengan cara pembelahan, pertunasan, klamidospora, dan konidium tergantung kepada spesies dan keadaan sekitarnya (Sastrahidayat, 1998). Selain itu menurut Dwidjoseputro (1978), kebanyakan Ascomycetes mikroskopis, hanya sebagian kecil yang memiliki tubuh buah. Pada umumnya hifa terdiri atas sel-sel yang berinti banyak.


(25)

d. Basidiomycetes

Basidiomycetes dicirikan memproduksi spora seksual yang disebut basidiospora. Kebanyakan anggota basiodiomycetes adalah cendawan, jamur payung dan cendawan berbentuk bola yang disebut jamur berdaging, yang spora seksualnya menyebar di udara dengan cara yang berbeda dari jamur berdaging lainnya. Struktur tersebut berkembang setelah fusi (penyatuan) dari dua hifa haploid hasil dari formasi sel dikaryotik. Sebuah sel yang memiliki kedua inti yang disumbangkan oleh sel yang kompatibel secara seksual. Sel-sel yang diploid membelah secara meiosis menghasilkan basidiospora yang haploid. Basidiospora dilepaskan dari cendawan, menyebar dan berkecambah menjadi hifa vegetatif yang haploid. Proses tersebut berlanjut terus (Mc-Kane, 1996).

Kelas basiodiomycetes ditandai dengan adanya basidiokarp yang makroskopik kecuali yang hidup sebagai parasit pada daun dan pada bakal buah (Rahayu, 1994). Dwidjoseputro (1978) menerangkan bahwa karakteristik dari Basiodiomycetes antara lain kebanyakan makroskopik, sedikit yang mikroskopik. Basidium berisi 2-4 basiodiospora, masing-masing pada umumnya mempunyai inti satu. Diantara Basiodiomycetes ada yang berguna karena dapat dimakan, tetapi banyak juga yang merugikan karena merusak tumbuhan, kayu-kayu dan perabot rumah tangga.

Selain itu tubuh Basidiomycetes terdiri dari hifa yang bersekat dan berkelompok padat menjadi semacam jaringan, dan tubuh buah menonjol daripada Ascomycetes. Misellium terdiri dari hifa dan sel-sel yang berinti satu hanya pada tahap tertentu saja terdapat hifa yang berinti dua. Pembiakan vegetatif dengan


(26)

konidia. Pada umumnya tidak terdapat alat pembiakan generatif, sehingga lazimnya berlangsung somatogami. Anyaman hifa yang membentuk mendukung himenium disebut himenofore. Himenofore dapat berupa rigi-rigi, lamella, papan-papan dan dengan demikian menjadi sangat luas permukaan lapis himenium (Tjitrosoepomo, 1991).

e. Deuteromycetes

Mc-Kane (1996) mengatakan, ada beberapa jenis jamur belum diketahui siklus reproduksi seksualnya (disebut fase sempurna). Jamur ini “tidak sempurna” karena belum ada spora seksual mereka yang ditemukan. Anggota kelompok ini berkembang biak dengan klamidospora, arthrospora, konidiospora, pertunasan juga terjadi. Deuteromycetes juga memiliki hifa yang bersekat (Tortora, et al., 2001).

2.3 Jamur Saprofit

Jamur saprofit menghasilkan bermacam-macam enzim ekstraseluler yang bisa mendegradasi kebanyakan makromolekul alam. Kebanyakan jamur saprofit berperan sebagai dekomposer yang penting dalam siklus biogeokimia. Jamur berperan sebagai organisme awal yang mendegradasi kayu. Hal ini disebabkan, dengan eksepsi dari sedikit bakteri hanya jamur yang mampu memecah lignin. Lignin mengisi ± 25% dari materia yang terdapat di hutan. Selain itu mereka juga mencerna material hewan mati (Mc-Kane, 1996).


(27)

2.4 Jamur Parasit

Banyak sekali penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh jamur, dan penyakit tersebut mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga tanaman menjadi sakit, bahkan mati. Jamur-jamur parasit ini juga menyerang tanaman pertanian dan menyebabkan tanaman tersebut rusak, dan bisa menyebabkan gagal panen. Jamur parasit umumnya hidup (menyerang) pada inang yang spesifik. Selain itu jamur parasit adalah faktor utama yang memperpendek usia penyimpanan bahan pangan dan makanan di dunia, terkecuali jika diawetkan (Pacioni, 1981).

2.5 Asosiasi Mutualistik

Banyak jamur yang terlibat hubungan yang sukses dengan serangga dan tumbuhan, mereka berpartner yang saling menguntungkan, sebuah fenomena yang disebut mutualisme. Kira-kira 10% dari seluruh jenis fungi yang diketahui adalah anggota dari asosiasi mutualistik yang disebut lichens. Lichens tersusun dari jamur dan algea dan cynobakter. Jamur juga membentuk asosiasi mutualisme yang bermanfaat dengan akar tanaman, membentuk mikoriza. Jamur ini mengkoloni buluh akar dan berfungsi memperluas permukan sentuh antara akar tumbuhan dengan permukaan tanah. Mikoriza mempengaruhi kemampuan tumbuhan untuk menyerap air dan nutrien dari tanah, dan meningkatkan aktifitas metabolisme tumbuhan, angka pertumbuhan, dan peningkatan hasil (Mc-Kane, 1996).


(28)

2.6 Jamur Makroskopis dan Edilibitas Jamur

Jamur makroskopis atau cendawan adalah jamur-jamur yang tubuh buahnya berukuran besar (berukuran 0,6 cm dan lebih besar) yang merupakan struktur reproduktif yang terbentuk untuk menghasilkan dan menyebarkan sporanya. Bisa dijumpai ketika berjalan di hutan, tanah lapang, padang rumput, atau mungkin di halaman belakang rumah (Kibby, 1992).

Catatan tentang keracunan jamur makroskopis yang dikonsumsi manusia telah ada sejak 450 tahun sebelum Masehi oleh Euriphides. Sejak masa itu studi tentang jamur yang bisa dimakan dan yang tidak bisa dimakan mengalami perkembangan yang luas sampai hari ini. Dari catatan sejak masa Louis XIV telah melakukan budidaya jamur untuk dibuat sup dan sejenisnya (Pacioni, 1981).

Mengkonsumsi jamur liar sangat populer di Amerika Utara dan di berbagai belahan bumi lainnya. Tetapi untuk bisa mengkonsumsi jamur liar yang tumbuh di alam tentu memerlukan keahlian khusus untuk mencegah terjadinya keracunan (Kibby, 1992). Toksisitas jamur adalah karakteristik dari tiap-tiap spesies. Substansi pencemar yang telah tersebar luas di lingkungan seperti pestisida (fungisida dan insektisida) bisa menjadikan jamur yang tumbuh di areal tersebut menjadi berbahaya. Demikian juga jamur-jamur yang tumbuh dekat dengan sumber polusi kendaraan bermotor atau polusi industri bisa menjadikan jamur-jamur tersebut beracun (Pacioni, 1981). Tabel berikut menerangkan tentang jenis-jenis senyawa beracun yang terkandung pada jamur-jamur makroskopis berikut contoh jamurnya menurut Arora, (1996).


(29)

Tabel 2. Beberapa senyawa beracun yang terkandung pada jamur makroskopis

No .

Nama Senyawa

Gejala Akibat Contoh Jamur

1 Amatoksin Kram perut, pusing-pusing, muntah, buang air besar berdarah

Kerusakan hati dan ankreas

Amanita phalloides, A. verna, A. virosa,

Conocybe flaris, Lepiota castanea, dan yang sejenis)

2 Gyromitri n

Kram perut, pusing-pusing, muntah, buang air besar berdarah

Kerusakan hati dan ankreas

Gyromitra spp., Verpa spp., Cudonis spp., Helve spp., dan yang sejenis

3 Muscarine Hipersalivasi, nafas tak teratur, menangis, laktai pada wanita hamil, muntah-muntah, buang air besar

Kerusakan jaringan saraf

Inocybe spp., Clitocybe dealbata, Omphalotus spp., Boletus spp. Yang berlubang (pores) merah

4 Asam Ibotenat / Muscimol

Mual-mual, bingung, hilang kontrol otot, berkeringat, ketakutan distorsi visual, halusinasi

Kerusakan sistem saraf pusat

Amanita muscaria, A. pantherina, A. gemmata

5 Psilocybin / Psilocin

Distorsi visual, halusinasi, tidak bisa melihat dengan baik

Terganggunya

sistem saraf Psilocybe spp., Conocybe spp., Gymnopilus spp.,

Bisa atau tidaknya jamur makroskopis yang ditemui di lapangan untuk langsung dikonsumsi sangat bergantung kepada orang yang mengkonsumsinya. Jika seorang tersebut mempunyai alergi terhadap senyawa tertentu yang terkandung pada jamur maka orang tersebut tidak bisa mengkonsumsinya. Jika seseorang tidak bermasalah terhadap senyawa tersebut maka dia bisa mengkonsumsi jamur tersebut (Arora, 1996).


(30)

2.6. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan jamur a. Kelembaban

Kelembaban tanah diartikan sebagai aktifitas air di dalam tanah (water activity). Rasio aktifitas air ini disebut juga kelembaban relatif (relatif humidity). Ketersediaan air di lingkungan sekitar jamur dalam bentuk gas sama pentingnya dengan ketersediaan air dalam bentuk cair. Hal ini menyebabkan hifa jamur dapat menyebar ke atas permukaan yang kering atau muncul di atas permukaan substrat (Carlile dan Watkinson, 1995). Variasi suhu yang rendah dan kelembaban yang relatif tinggi ini sangat berkaitan dengan curah hujan yang tinggi (Bernes, et al., 1998).

b. Suhu

Menurut Carlile dan Watkinson (1995), suhu maksimum untuk kebanyakan jamur untuk tumbuh berkisar 30⁰C sampai 40⁰C dan optimalnya pada suhu 20⁰C sampai 30⁰C. Jamur- jamur kelompok Agaricales seperti Flummulina spp, Hypsigius spp, dan Pleurotus spp, tumbuh optimal pada suhu 22⁰C (Kaneko dan Sugara, 2001) dalam Panji (2004). Sementara jamur-jamur Coprinus spp, tumbuh optimal pada kisaran suhu 25⁰C sampai 28⁰C (Kitomoro, et al., 1999).

c. Intensitas cahaya

Umumnya cahaya menstimulasi atau menjadi faktor penghambat terhadap pembentukan struktur alat-alat reproduksi dan spora pada jamur. Walaupun proses


(31)

reproduksi memerlukan cahaya, hanya fase tertentu saja yang memerlukan cahaya, atau secara bergantian struktur berbeda di dalam sporokarp dapat memberi respon berbeda terhadap cahaya. Contoh spesies Discomycetes Sclerotina sclerotiorum akan terbentuk dalam kondisi gelap, namun memerlukan cahaya untuk pembentukan pileusnya (Purdy, 1956).

Jamur dari famili polyporaceae tahan terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi (Nugroho, 2004). Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan jamur famili polyporaceae memiliki tubuh buah yang relatif besar. Jamur dari famili polyporaceae merupakan jamur pembusuk kayu (Arora, 1996).

d. pH

Menurut Bernes, et al., (1998), jamur yang tumbuh di lantai hutan umumnya pada kisaran pH 4-9, dan optimumnya pada pH 5-6. Konsentrasi pH pada subsrat bisa mempengaruhi pertumbuhan meskipun tidak langsung tetapi berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan atau beraksi langsung pada permukaan sel. Hal ini memungkinkan nutrisi yang diperlukan jamur untuk tumbuh dengan baik cukup tersedia. Kebanyakan jamur tumbuh dengan baik pada pH yang asam sampai netral (Carlile dan Watkinson, 1995).


(32)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Deskripsi Area 3.1.1. Letak dan Luas

Hutan Tangkahan merupakan salah satu kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas areal 17.650 ha yang secara administratif terletak di desa Tangkahan, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, secara geografis terletak pada kordinat 03o40’41 Lintang Utara, 98o04’ Bujur Timur, terletak pada ketinggian 150-800 m dpl. Bagian utara berbatasan dengan Sei Lepan, bagian Selatan berbatasan dengan Sei Glugur, bagian Timur berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit dan bagian Barat berbatasan dengan provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD).

3.1.2. Topografi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada umumnya memiliki topografi relatif bergelombang sampai dengan curam dengan kemiringan 15-30% dan sebagian datar.

3.1.3. Curah Hujan dan Iklim

Berdasarkan informasi dari Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Medan, diperoleh data curah hujan kawasan hutan Tangkahan adalah 2500-3000 mm pertahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, dengan melihat


(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis Jamur Makroskopis di ekowisata Tangkahan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Tangkahan, diperoleh 87 jenis jamur makroskopis. Jenis-jenis tersebut termasuk dalam 25 famili dan 7 ordo dari 2 kelas yaitu Ascomycetes dan Basidiomycetes. Dari 25 famili yang diperoleh, Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang terdiri dari 24 jenis. Diikuti oleh Polyporaceae dengan 18 jenis, Lepiotaceae dan Lycoperdaceae dengan 5 jenis. Kemudian Coprinaceae dan Xylariaceae masing-masing 4 jenis, Russullaceae 3 jenis. Auriculariaceae, Boletaceae, Hygroporaceae, Stereaceae, Stropharicaeae dan Cortinaceae masing-masing 2 jenis. Chantarellaceae, Clavariaceae, Dacrymycetaceae, Helotiaceae, Nidulariaceae, Paxillaceae, Pezizaceae, Sarcoscyphaceae, Strophylaceae, Hymenogastraceae dan Volvariellaceae masing-masing 1 jenis. Jenis-jenis ini tersebar pada 3 lokasi penelitian.

Penelitian sejenis yang telah dilakukan Nugroho (2004) di TWA Sibolangit menemukan 97 jenis jamur makroskopis. Jenis-jenis tersebut termasuk dalam 18 famili dan 8 ordo dari dua kelas Ascomycetes dan Basidiomycetes. Dari 18 famili yang ditemukan Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang terdiri dari 29 jenis jamur makroskopis. Menurut Brundett, et al., (1996), Tricholomataceae merupakan famili terbesar dengan jenis-jenis yang sangat berbeda satu dengan yang lain, memiliki jenis dan warna tubuh buah yang bervariasi, biasanya tubuh buah


(34)

perbandingan antara bulan kering (dengan curah hujan kurang dari 60 mm) dan bulan basah (curah hujan lebih dari 100 mm) kawasan Tangkahan bertipe iklim B.

3.1.4. Vegetasi

Berdasarkan pengamatan di sekitar areal penelitian vegetasi yang umum ditemukan yaitu kelompok Pteridophyta diantaranya dari family Aspleniaceae dan Polypodiaceae, kelompok Monocotyledonae yaitu family Araceae, dan kelompok Dicotylidonae yaitu family Anacardiaceae, Burseraceae, Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Leguminoceae, Rubiaceae, dan Sapindaceae.

3.2 .Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan mulai dari awal bulan Pebruari sampai dengan bulan April 2010 di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) Sumatera Utara. Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Ekologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

3.3. Alat dan Bahan

Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kompas, peta lokasi, altimeter, keranjang pastik, kertas minyak, botol selai, parang, pisau kecil, label, sekop tangan, dan sarung tangan. Beberapa alat lainnya yaitu : Kamera SLR dengan lensa dan peralatan pencahayaan yang mendukung skala pengukuran, kertas


(35)

hitam putih, cawan petri dan lup. Alat-alat untuk pengukuran faktor fisik kimia, seperti : termometer udara, termometer tanah, higrometer, lux meter, soil tester, dan soil humidity tester, catatan lapangan, dan buku-buku identifikasi antara lain : Largent & Thier (1977); Kibby (1992); Arora (1996); Alan, et al., (1997) dan Nurtjahya & Widhiastuti (2009).

Alat-alat yang juga diperlukan dalam pengawetan spesimen antara lain : kotak yang lebar dengan kawat kasa di bagian atas, Bohlam 60 atau 100 watt, botol selai dan plastik kedap udara.

3.3.Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Penelitian di Lapangan

Penelitian menggunakan metode survey eksploratif (Ilhartuti, 2001). Penentuan petak penelitian dilakukan dengan purposive sampling pada 3 trail yang ada. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 petak yakni petak I terdapat pada trail famili, petak II terdapat pada trail 2 dan petak 3 terdapat pada trail 3 dengan ukuran masing-masing petak 20 x 100 Meter. Penjelajahan dilakukan di seluruh petak. Pengamatan dan pengoleksian di lakukan di sepanjang petak dan secara berkala setiap 2 minggu sekali. Pengamatan dilakukan selama ± 3 bulan dari awal bulan Pebruari sampai April 2010. Total jumlah kunjungan selama penelitian sebanyak 3 kali. Jamur makroskopis yang ditemui di lokasi, pertama sekali dilakukan pemotretan dengan menyertakan skala pengukur. Selanjutnya dicatat data jamur dari penampakan fisik secara umum


(36)

dan mendetail. Data faktor fisik selama penelitian juga diukur meliputi : suhu udara, kelembaban, altitude, intensitas cahaya, dan pH.

Jika memungkinkan, objek langsung identifikasi di lapangan. Tetapi jika tidak, maka objek harus dikoleksi. Dalam tahap pengoleksian jamur diambil dengan hati-hati agar didapatkan tubuh buahnya secara utuh, kemudian dibungkus dengan kertas minyak warna putih, diberi label, dan diletakkan dalam keranjang dengan susunan jamur keras dan berat diletakkan di bagian bawah. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk proses kerja yang tidak mungkin dilakukan di lapangan, untuk kemudian diidentifikasi dengan memakai buku acuan identifikasi jamur makroskopis. Selanjutnya dilakukan pengoleksian.

Menurut Rugayah, et al., (2004 ) beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat koleksi jamur antara lain :

a) Jamur diambil dengan mencabut secara keseluruhan bagian badan buah (tudung buah, bilah dan tangkai) dan mewakili seluruh pase pertumbuhan dari yang muda sampai tua untuk mengetahui variasi yang ada. Foto dapat diambil di habitat asli atau di laboratorium.

b) Agar tetap dalam kondisi baik, jamur ditempatkan dalam kotak koleksi dan menutupnya rapat- rapat agar penguapan tidak terjadi.

c) Pencatatan karakter makroskofis dilakukan pada saat jamur dalam keadaan segar, sedangkan karakter mikroskofis dilakukan pada spora. Spora yang diamati di bawah mikroskop meliputi warna, bentuk, dan ukuran spora.


(37)

d) Warna spora dapat dicatat pada saat jamur dalam kondisi segar dan dilakukan dengan cara memotong tudung buah dan ditempatkan pada kertas hitam putih. Tudung buah ditutup agar kelembaban tetap terjaga dan spora akan jatuh pada kertas hitam putih. Warna spora dapat dilihat 5-24 jam kemudian.

e) Proses pengeringan dilakukan setelah pencatatan makroskopis lengkap. Untuk memperoleh hasil pengeringan yang bagus jamur dikeringkan dengan menggunakan oven sampai jamur benar-benar kering. Setelah sampai di laboratoirum kertas koran dibuka dan jamur dipindahkan ke kotak-kotak penyimpanan. Jamur dibungkus dengan kertas koran sebelum dimasukkan dalam kotak penyimpanan. Kotak harus ditutup dengan rapat untuk menghindari serangga atau hewan lain. Label yang berisikan informasi marga, tempat koleksi, dan tanggal pengambilan koleksi harus ditempel diatas kotak penyimpanan.

f) Kotak-kotak yang berisi jamur kering disimpan berdasarkan abjad marga. Kemudian disimpan dalam lemari lemari penyimpan.

g) Identifikasi jamur dilakukan setelah karakter makroskopis dan mikroskopis dicatat lengkap. Kombinasi antara karakter makroskopis dan mikroskopis yang ada dan penelusuran yang tepat, akan menghasilkan identifikasi yang benar.

3.3.2. Penelitian di Laboratorium

Spesimen yang tidak teridentifikasi di lapangan disimpan di lemari pendingin untuk mencegah kerusakan spesimen. Spesimen diidentifikasi di laboratorium


(38)

Ekologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Diamati karakteristik mikroskopik dan makroskopik spesimen jamur tersebut. Pengamatan karakteristik mikroskopik dilakukan pada spora. Spora yang diamati di bawah mikroskop meliputi warna, bentuk dan ukuran spora. Karakteristik makroskopik yang diamati adalah bentuk tubuh buah secara umum dan mendetail.

Tahap selanjutnya adalah pengeringan spesimen. Pengeringan bisa dijemur di bawah sinar matahari langsung atau diletakkan diatas kawat kassa yang di bawahnya diberi pemanas berupa lampu bohlm 60 atau 100 watt sampai spesimen benar-benar kering dan selanjutnya disimpan di dalam plastik kedap udara sebagai spesimen awetan.

3.4. Analisis Data 3.4.1. Kerapatan

Kerapatan Mutlak (KM) =

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan mutlak suatu jenis x100% Jumlah total kerapatan mutlak

Seluruh jenis

Jumlah individu suatu jenis Luas Plot contoh / Plot pengamatan


(39)

3.4.2. Frekuensi

Frekuensi Mutlak (FM) =

Frekuensi Relatif (FR) = x100 %

3.4.3. Indeks Nilai Penting

INP = KR + FR

3.4.4. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

=

= S

i

pi pi H

1

ln '

Dengan :

H’ = indeks keanekaragaman Shannon-wiener

Pi = ni/N (perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan seluruh jenis) Ln = logaritma natural

Frekuensi suatu jenis Frekuensi total seluruh jenis Jumlah plot yang ditempati suatu jenis


(40)

3.4.5. Indeks Kemerataan

Keterangan : E = Indeks kemerataan

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-wiener H maks = Indeks keragaman maksimum, sebesar Ln S S = Jumlah Genus/spesies

3.4.6. Indeks Kesamaan

Indeks kesamaan atau index of similarity (IS) kadang-kadang diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa lokasi atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komunitasnya. Oleh karena itu, besar kecilnya indeks tersebut, menggambarkan tingkat kesamaan dari dua komunitas atau unit sampling yang dibandingkan.

Untuk mengetahui besarnya indeks kesamaan dapat dipergunakan rumus sebagai berikut (Indriyanto, 2006).

B A

C IS

+

= 2

Keterangan :

IS = indeks kesamaan

C = jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas A = jumlah spesies di dalam komunitas A

B = jumlah spesies di dalam komunitas B maks

H H' E=


(41)

3.4.7. Tempat tumbuh jamur

Tempat tumbuh jamur dianalisis berdasarkan acuan dari Retnowati (2004) sebagai berikut:

a. tanah b. kayu lapuk c. daun

d. dan kotoran hewan

e. jamur yang telah membusuk.

3.4.8. Analisis Korelasi

Analisis Korelasi Menggunakan Analisis Korelasi Keanekaragaman Jenis dengan faktor fisik (intensitas cahaya, suhu, kelembaban), dan kimia (pH) dengan Software SPSS versi 16.


(42)

memiliki tudung. Jenis-jenis jamur makroskopis yang ditemukan di ekowisata Tangkahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Famili Tricholomataceae dapat dikenali dengan beberapa ciri khas, seperti jamur dengan basidia yang pendek, dan tanpa spaerocyst. Ditambahkan oleh Retnawati (2004) famili Tricholomataceae merupakan jamur saprofit yang hidup pada organisme mati. Jenis Trcholomataceae yang ditemukan di ekowisata Tangkahan sebagian besar dijumpai di serasah. Rata-rata ketebalan serasahnya 17 cm. Spora print famili Tricholomataceae biasanya berwarna putih (terkadang berwarna putih susu, abu-abu, merah muda atau kekuningan), memiliki tonjolan atau polos, terkadang memiliki amilum dan tidak. Selain Tricholomataceae, Polyporaceae juga merupakan famili dengan jumlah jenis terbesar, yaitu 18 spesies. Famili ini memiliki bentuk seperti kipas, keras, memiliki variasi warna, dan biasanya melekat pada batang pohon. Menurut Arora (1996), Polyporaceae merupakan salah satu kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar.


(43)

Tabel 3. Jenis Jamur Makroskopis di Ekowisata Tangkahan

Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 3 1. Ascomycetes Pezizales Pezizaceae Plectania sp. - - +

2. Sarcoscyphaceae Sarcoscypha coccinea + - -

3. Xylariales Xylariaceae Xylaria polymorpha + - -

4. Xylaria hypoxylon - - +

5. Xylaria sp1. + - +

6. Xylaria sp2. - - +

7. Basidiomycetes Agaricales Boletaceae Boletus sp. - - +

8. Suillus granularis - + -

9. Chantarellaceae Cantharellus sp. - + -

10. Clavariaceae Ramariopsis lunzei - - +

11. Coprinaceae Coprinus atramentarius + - -

12. Coprinus diseminatus - + +

13. Coprinus micaceus - - +

14. Panaeolus campanularis + + -

15. Cortinaceae Crepidotus herbarum + + -

16. Crepidotus variabilis + + -

17. Hygroporaceae Hygrocybe sp. + + -

18. Hygrocybe conica - - +

19. Hymenogastraceeae Hebeloma crustuliniforme + - -

20. Lepiotaceae Lepiota cristata + - -

21. Lepiota pseudohelveola - - +

22. Lepiota sequoirum - - +

23. Lepiota sp. + + -

24. Leucocoprinus fragillimus + - -

25. Nidulariaceae Cyathus striatus + - -

26. Paxillaceae Paxillus involutrus - - +

27. Russulaceae Amanita sp. + - -

28. Lactarius glaucescens - + -

29. Russula albidula - - +

30. Strophariaceae Pholiota sp1. + - -

31. Pholiota sp2. + - -

32. Strophilaceae Hypholoma elongata - + -

33. Tricholomataceae Collybia butyracea + - -

34. Collybia dryophila + - -

35. Collybia sp1. + - -


(44)

Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 3

37. Marasmiellus candidus - + -

38. Marasmiellus sp. - - +

39. Marasmius andrasaceus - - +

40. Marasmius candidus + + +

41. Marasmius copelandi + - -

42. Marasmius ramealis + - -

43. Marasmius scorodonius + - -

44. Marasmius sp. + + -

45. Mycena epipterygia - + -

46. Mycena incata - + -

47. Mycena pura + - -

48. Mycena rosela + - +

49. Mycena rosula - + -

50. Mycena sp1. + - +

51. Mycena sp2. + + -

52. Mycena sp3. + + -

53. Mycena sp4. - + -

54. Pleurotus sapidus + - -

55. Tricholoma cookeina - - +

56. Tricholoma saponaceum - + -

57. Volvariellaceae Pluteus longistriatus - - +

58. Aphylloporales Polyporaceae Coltricia cinnamomea + - -

59. Coltricia perennis - + +

60. Fomes annosus + + -

61. Fomes lignosus + + -

62. Fomitopsis cajandari - + -

63. Fomitopsis pinicola + + -

64. Fomitopsis sp. - + -

65. Ganoderma applanatum + + +

66. Heterobasidion annosum - + -

67. Lenzites betulina + - -

68. Polyporus arcularius - - +

69. Polyporus dermoporus - - +

70. Polyporus sp1. + + +

71. Polyporus sp2. + + -

72. Polyporus varius + + +


(45)

Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 3

74. Trametes versicolor + + +

75. Tyromyces amarus - + -

76. Schizophyllaceae Schizophyllum communea - + -

77. Stereaceae Stereum hirsutum + - -

78. Stereum sp. - + -

79. Auriculariales Auriculariaceae Auricularia polytrica - + -

80. Auricularia sp. - + -

81. Dacrymycetales Dacrymycetaceae Calocera cornea + + -

82. Helotiaceae Neobulgaria pura + + +

83. Lycoperdales Lycoperdaceae Lycoperdon sp. + - -

84. Lycoperdon foetidum - - +

85. Lycoperdon pratens - - +

86. Lycoperdon pusillum - - +

87. Lycoperdon pyriformae - - +

Jumlah 46 42 33 Keterangan: ( - ) = tidak ditemukan; ( + ) = ditemukan.

4.2. Indeks Nilai Penting

Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan jumlah yang lebih banyak menempati suatu lokasi dan menunjukkan kepentingan suatu jenis jamur serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas, dimana nilai penting itu didapat dari hasil penjumlahan Frekuensi Relatif (FR) dan Kerapatan Relatif (KR). Indeks nilai penting dari ketiga lokasi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:


(46)

Tabel 4. Nilai INP Jamur Makroskopis di Ekowisata Tangkahan dan INP Total INP

No Nama jenis

Tr 1 Tr 2 Tr 3

INP Total

1 Amanita sp. 1,69 – – 0,88

2 Auricularia polytrica – 3.06 – 1,54

3 Auricularia sp. – 2,07 – 0,93

4 Boletus sp. – – 5,19 1,30

5 Cantharellus sp. 21,12 – 1,86

6 Celocera cornea 1,85 2,10 – 12,65

7 Collybia butyraceae 9,63 – – 2,21

8 Collybia dryophila 6,41 – – 1,87

9 Collybia sp1 2,01 – – 0,95

10 Collybia sp2 7,32 – – 1,38

11 Coltricia cinnamomea 5,91 – – 1,22

12 Coltricia perennis 4,65 6,46 10,43 4,03

13 Coprinus atramentarius 1,69 – – 0,88

14 Coprinus diseminatus – 2,51 19,92 4,96

15 Coprinus micaceus – 3,67 1,05

16 Crepidotus herbarum 16,04 2,51 – 4,42

17 Crepidotus variabilis 7,51 8,34 – 6,34

18 Cyathus striatus 4,65 – – 1,50

19 Fomes annosus 2,33 2,07 – 1,94

20 Fomes lignosus 3,87 2,64 – 2,28

21 Fomitopsis cajandari – 2,29 – 1,06

22 Fomitopsis pinicola 4,75 2,12 – 2,15

23 Fomitopsis sp. 3,60 – 1,87

24 Ganoderma applanatum 4,65 2,18 5,73 3,46

25 Hebeloma crustuliniforme – 2,04 – 0,91

26 Heterobasidion annosum – 2,18 – 1,00

27 Hgrocybe conica – – 3,67 1,05

28 Hygrocybe sp – 1,99 – 3,42

29 Hypholoma elongate 9,61 8,36 – 4,80

30 Lactarius glaucescens 2,18 – 1,00

31 Lenzites betulina 2,09 – – 0,96

32 Lepiota cristata 2,01 – – 0,95

33 Lepiota pseudohelveola – – 2,77 0,90

34 Lepiota sequoirum – – 3,37 1,00

35 Lepiota sp. 1,69 2,02 –– 1,77


(47)

INP No

Nama jenis Tr 1 Tr 2 Tr 3

INP Total

37 Lycoperdon foetidum – – 9,16 1,54

38 Lycoperdon pratens – – 2,77 0,90

39 Lycoperdon pusillum – – 3,67 1,05

40 Lycoperdon pyriformae – – 8,92 1,92

41 Lycoperdon sp. 1,85 – – 0,91

42 Marasmiellus candidus – 2,04 – 0,91

43 Marasmiellus sp. 3,71 – 4,08 1,22

44 Marasmius candidus 7,77 7,01 4,08 2,88

45 Marasmius andrasaceus – – 14,67 6,86

46 Marasmius copelandi 3,39 – – 0,90

47 Marasmius ramealis 6,59 – – 1,57

48 Marasmius scorodonius 1,85 – – 0,91

49 Marasmius sp. 2,09 6,59 – 2,26

50 Mycena epipterygia – 2,04 – 0,91

51 Mycena incata – 3,06 – 1,54

52 Mycena pura 2,73 – – 1,10

53 Mycena rosella 3,63 – 3,98 2,04

54 Mycena rosula – 1,99 – 0,88

55 Mycena sp1. 6,43 – 2,77 2,43

56 Mycena sp2. 5,61 2,02 – 2,60

57 Mycena sp3. 1,77 2,02 – 1,79

58 Mycena sp4. – 2,12 – 0,96

59 Neobulgaria pura 3,45 2,21 3,07 3,21

60 Panaeolus campularis 7,21 15,42 – 9,97

61 Paxillus involutrus – – 2,67 0,88

62 Pholiota sp1. 1,85 – – 1,17

63 Pholiota sp2. 2,81 – – 1,11

64 Pleurotus sapidus 2,89 – – 1,13

65 Plectania sp. – – 3,27 0,98

66 Pluteus longistriatus – – 2,67 0,88

67 Polyporus arcularius – – 2,67 0,88

68 Polyporus dermoporus – – 5,59 1,37

69 Polyporus varius 2,09 1,99 23,49 12,50

70 Polyporus sp1. 3,21 15,64 12,09 11,83

71 Polyporus sp2. – 18,38 – 5,77

72 Ramariopsis lunzei 2,97 – 5,59

1,15


(48)

INP

No Nama jenis Tr 1 Tr 2 Tr 3 INP

Total

74 Sarcoscypha coccinea 1,85 – – 0,91

75 Schizophyllum commune – 12,91 – 7,60

76 Stereum hirsutum 12,01 – – 3,05

77 Stereum sp. – 2,51 – 1,20

78 Suillus granularis – 2,02 – 0,90

79 Trametes sp. – 2,10 – 0,95

80 Trametes versicolor 3,53 5,02 3,17 3,36

81 Tricholoma cookeina – – 3,07 0,95

82 Tricholoma saponaceum – 2,78 – 1,37

83 Tyromyces amarus – 2,07 – 0,93

84 Xylaria hypoxylon – – 3,57 1,03

85 Xylaria polymorpha 3,79 – – 0,98

86 Xylaria sp1. 2,73 – 5,19 2,16

87 Xylaria sp2. – – 2,77 0,90

Jumlah 200 200 200 200

Dari Tabel 4. dapat kita lihat bahwa Crepidotus herbarum memiliki nilai INP tertinggi pada Trail I yaitu 16,04%, sedangkan jenis Amanita sp., Collybia sp., Coprinus atramentarius dan Lepiota sp. memiliki nilai INP terendah yaitu 1,69%. Menurut Retnowati (2004), salah satu karakter Crepidotus herbarum yang mudah dikenali yaitu adanya tangkai eksentrik, hidup pada ranting kayu yang lapuk dan parasit pada pohon yang hidup. Kondisi hutan ekowisata Tangkahan trail 1 menurut Susilo (2004) merupakan hutan dalam tahap pertumbuhan (belum dewasa), hal ini disebabkan karena banyaknya pohon tingkat pole yang terdapat pada trail tersebut. .

Pada trail 2, Cantharellus sp., memiliki INP tertinggi dengan 21,12%. Jenis yang memiliki INP terendah adalah Hygrocybe sp., Mycena rosula dan Polyporus varius dengan nilai masing-masing 1,99%. Penelitian Subowo (1992), menyatakan


(49)

bahwa Chantarellus sp merupakan spesies yang sering menempel pada kayu lapuk dari famili Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae. Hal ini sesuai penelitian Susilo (2004) bahwa pohon-pohon yang mendominasi di trail 2 dari famili Euphorbiaceae.

Pada trail 3, Polyporus varius memiliki INP tertinggi yaitu 23,49%. Jenis yangmemiliki INP terendah adalah Paxillus involutrus, Pluteus longistriatus dan Polyporus arcularius, yaitu 2,67%. Menurut Arora (1996), Polyporus varius dari famili Polyporaceae hidup pada kayu lapuk secara menyebar dan berkelompok. Ciri umumnya adalah hidup epifit, bentuk braket atau kipas dengan himenium berupa lubang-lubang kecil yang disebut pores atau modifikasinya. Ditambahkan Brundett, et al.,(1996), Polyporaceae merupakan salah satu kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar.

Jenis jamur makroskopis yang dominan dari perhitungan INP total di ekowisata Tangkahan tertinggi jenis Polyporus varius sebesar 12,50% dan terendah jenis Amanita sp, Pluteus longistratus, dan Polyporus arcularius. Hal ini sesuai dengan penelitian Suharna (1993) bahwa spesies Polyporus varius banyak dijumpai di hutan dataran rendah dengan ketinggian di bawah 400 meter di atas permukaan laut dan dari pengukuran faktor fisik ekowisata Tangkahan berada pada ketinggian 102-145 meter di atas permukaan laut.


(50)

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)

Dari penelitian yang dilakukan pada tiga lokasi di Tangkahan, diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks kemerataan (E). Nilai tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)

Indeks I II III Total

H’ 3,236814 2,470881 2,64468 3,3388711 E 0,840699 0,661075 0,749976 0,7476354

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, indeks keanekaragaman tertinggi jamur di ekowisata Tangkahan terdapat pada trail 1 yaitu 3,236814, sedangkan trail 2 dan trail 3 masing-masing adalah 2,470881 dan 2,64468. Kondisi lingkungan trail 1 lebih mendukung keanekaragaman jamur makroskopis, dalam hal ini ketebalan serasah misalnya 20 cm memungkinkan dari 24 jenis yang termasuk famili Tricholomataceae 15 di antaranya dijumpai hidup di serasah.

Dari Tabel 5. juga dapat dilihat nilai Indeks Kemerataan. Trail 1 memiliki nilai indeks kemerataan tertinggi yaitu 0,840699. Hal ini menunjukkan bahwa kemerataan jenis pada trail I lebih tinggi dibandingkan trail 2 dan trail 3. Menurut Krebs (1985), kemerataan dikatakan rendah apabila 0 < E < 0,5 dan kemerataan tinggi apabila 0,5 < E < 1. Kemerataan pada hutan Tangkahan memiliki penyebaran jenis yang cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa penyebaran jenis jamur di hutan Tangkahan cukup merata.


(51)

4.4. Nilai Indeks Similaritas (IS)

Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui kesamaan jenis dari beberapa lokasi penelitian. Menurut Krebs (1985), Indeks Kesamaan berguna untuk mengetahui seberapa besar kesamaan organisme yang dapat hidup di dua tempat yang berbeda, dan juga dapat digunakan untuk mengetahui penyebarannya. Semakin besar IS maka jenis yang sama pada lokasi yang berbeda semakin banyak. Nilai Indeks Similaritas dari lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6. Nilai Indeks Similaritas (IS)

1 2 3

1 - 70,41% 44,26%

2 - - 38,16%

3 - - -

Kesamaan jenis antara trail 1 dan 2 termasuk tinggi karena lebih dari 50%, sedangkan kesamaan jenis antara trail 1 dan 3 serta trail 2 dan 3 termasuk rendah karena berada di bawah 50%. Nilai IS yang tinggi antara trail 1 dan 2 dikarenakan nilai faktor fisik (kelembaban) yang mendukung pertumbuhan jamur makroskopis pada trail tersebut hampir sama (88 pada trail 1 dan 87 pada trail 2).

Swan, et al., (1978) dalam Krebs (1985), menyatakan bahwa nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100, maka makin dekat ke 100 maka dua contoh yang dibandingkan semakin sama dan semakin dekat ke 0, maka kedua contoh yang dibandingkan semakin berlainan.


(52)

4.5 . Tempat Tumbuh Jamur

Menurut Retnowati (2004) jamur dapat tumbuh di banyak habitat dari artik hingga tropik, dan beberapa jamur menunjukkan habitat spesifik. Pada umumnya jamur tumbuh di tanah, kayu lapuk (lignicolous), daun (folicolous), dan kotoran hewan (coprophilous), dan ada juga yang tumbuh pada jamur yang telah membusuk. Jamur makroskopis yang ditemukan di ekowisata Tangkahan mempunyai peranan dalam pelapukan tumbuhan yang luruh seperti serasah, ranting, dan batang tumbuhan. Dari Tabel 7 ada 23 jenis jamur yang tumbuh di tanah, 25 jenis yang tumbuh di serasah, 45 jenis yang tumbuh di kayu lapuk, 12 jenis yang tumbuh di pohon, dan 1 jenis yang tumbuh di kotoran gajah. Tempat tumbuh jamur yang paling banyak yaitu di kayu lapuk sebesar 52 %, dan yang paling sedikit yaitu di kotoran gajah sebesar 1%. Famili yang paling banyak dijumpai di kayu lapuk yaitu Polyporaceae. Famili Polyporaceae ciri umumnya adalah epifit, bentuk braket atau kipas dengan himenium berupa lubang-lubang kecil yang disebut pores atau modifikasinya. Menurut Arora (1996), Polyporaceae merupakan salah satu kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar. Hal ini sesuai dengan penelitian Kramadibrata (2003) yang menjumpai 19 jenis jamur makroskopis di kepulauan Karimunjawa yang terdiri dari famili Tricholomataceae dan Polyporaceae. Tempat tumbuh jamur makroskopis di ekowisata Tangkahan, dapat diklihat pada Tabel 7 berikut:


(53)

Tabel 7. Tempat Tumbuh Jamur Makroskopis di Ekowisata Tangkahan Tempat Tumbuh Jamur

No Jenis Tanah Serasah Kayu

lapuk

Kayu hidup

Kotoran gajah

1. Plectania sp. - - + - -

2. Sarcoscypha coccinea - - + - -

3. Xylaria polymorpha - + - - -

4. Xylaria hypoxylon - + - - -

5. Xylaria sp1. - + - - -

6. Xylaria sp2. - + - -

7. Boletus sp. + - - - -

8. Suillus granularis + - - - -

9. Cantharellus sp. - - - + -

10. Ramariopsis lunzei - - + - -

11. Coprinus atramentarius + - - - -

12. Coprinus diseminatus - - + - -

13. Coprinus micaceus - - + - -

14. Panaeolus campanularis - - - - +

15. Crepidotus herbarum - - + - -

16. Crepidotus variabilis - - + - -

17. Hygrocybe sp. + - - - -

18. Hygrocybe conica + - - - -

19. Hebeloma crustuliniforme + - - - -

20. Lepiota cristata + + - - -

21. Lepiota pseudohelveola + + - - -

22. Lepiota sequoirum + + - - -

23. Lepiota sp. + + - - -

24. Leucocoprinus fragillimus + + - - -

25. Cyathus striatus - - + - -

26. Paxillus involutrus + - + - -

27. Amanita sp. - - + - -

28. Lactarius glaucescens + - - - -

29. Russula albidula + - - - -

30. Pholiota sp1. - - + - -

31. Pholiota sp2. - + + - -

32. Hypholoma elongata + - - - -

33. Collybia butyracea - - + - -

34. Collybia dryophila - - + - -


(54)

Tempat Tumbuh Jamur

No Jenis Tanah Serasah Kayu

lapuk

Kayu hidup

Kotoran gajah

36. Collybya sp2. - - + - -

37. Marasmiellus candidus - - + - -

38. Marasmiellus sp. - + + - -

39. Marasmius andrasaceus - - + - -

40. Marasmius candidus - - + - -

41. Marasmius copelandi - - - - -

42. Marasmius ramealis - + - - -

43. Marasmius scorodonius + + - - -

44. Marasmius sp. + + - - -

45. Mycena epipterygia + + - - -

46. Mycena incata + + - - -

47. Mycena pura + + - - -

48. Mycena rosela + + - - -

49. Mycena rosula + + - - -

50. Mycena sp1. + + - - -

51. Mycena sp2. + + - - -

52. Mycena sp3. + + - - -

53. Mycena sp4. + + + - -

54. Pleurotus sapidus - - - + -

55. Tricholoma cookeina - - + - -

56. Tricholoma saponaceum - - + - -

57. Pluteus longistriatus - - + - -

58. Coltricia cinnamomea - - + - -

59. Coltricia perennis - - + - -

60. Fomes annosus - - + - -

61. Fomes lignosus - - - + -

62. Fomitopsis cajandari - - + - -

63. Fomitopsis pinicola - - - + -

64. Fomitopsis sp. - - - + -

65. Ganoderma applanatum - - + + -

66. Heterobasidion annosum - - - + -

67. Lenzites betulina - - + - -

68. Polyporus arcularius - - + - -

69. Polyporus dermoporus - - - + -

70. Polyporus sp1. - - + - -


(55)

Tempat Tumbuh Jamur

No Jenis Tanah Serasah Kayu

lapuk

Kayu hidup

Kotoran gajah

72. Polyporus varius - - + - -

73. Trametes sp - - + + -

74. Trametes versicolor - - - + -

75. Tyromyces amarus - - + - -

76. Schizophyllum communea - - + - -

77. Stereum hirsutum - - + - -

78. Stereum sp. - - + - -

79. Auricularia polytrica - - + - -

80. Auricularia sp. - - + - -

81. Calocera cornea - - - + -

82. Neobulgaria pura - - + - -

83. Lycoperdon sp. - - + - -

84. Lycoperdon foetidum + + - - -

85. Lycoperdon pratens - + + - -

86. Lycoperdon pusillum - + + - -

87. Lycoperdon pyriformae - + + - -

23 25 45 12 1

Jenis yang paling sedikit menempel pada pohon adalah Tricholamataceae, karena umumnya famili ini bersifat teresterial. Menurut Brundett, et al., (1996), Tricholomataceae merupakan famili terbesar dengan jenis-jenis yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Ditambahkan oleh Arora (1996), famili ini merupakan salah satu famili dengan jumlah jenis terbesar dari ordo Agaricales. Sebagian besar merupakan jenis teresterial, dan sebagian kecil menempel di kayu.


(56)

4.6. Analisis Korelasi

Hasil pengukuran faktor fisik kimia lingkungan yang telah dilakukan pada setiap lokasi penelitian di ekowisata Tangkahan dapat dilihat pada tabel 8 berikut: Tabel 8. Faktor Fisik Kimia di ekowisata Tangkahan:

Faktor Fisik Trail 1 Trail 2 Trail 3 Rata-rata

suhu udara 27 26 25 26

kelembaban 88 87 85 87

intensitas cahaya 397 402 412 404

pH substrat 6 6 6,7 6

ketebalan serasah 20 17 15 17

Setelah dikorelasikan dengan Indeks Keanekaragaman (H’), maka diperoleh nilai Indeks Korelasi seperti pada Tabel berikut:

Tabel 9. Analisis Korelasi Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 16.00

Korelasi Pearson

Kelembaban

Udara Suhu Udara

Intensitas

Cahaya pH

H’ 0,846 -0,291 -0,588 -0,291

Keterangan:

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia lingkungan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan indeks Keanekaragaman (H’). Nilai positif (+) pada kelembaban menunjukkan korelasi yang searah dengan nilai keanekaragaman jamur. Hal ini berarti semakin tinggi kelembaban maka semakin tinggi keanekaragaman jamur atau sebaliknya. Kelembaban rata-rata yang terdata selama penelitian adalah 87%.


(57)

Menurut Santoso, et al., (1999) pertumbuhan jamur memerlukan kelembaban 70 – 80% dan menurut Deacon (1984) pertumbuhan jamur dapat berlangsung dengan kelembaban minimal 70%.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa kelembaban berkorelasi searah atau nilai posisitf dengan keanekaragaman jenis jamur sesuai dengan tabel 9, korelasi antara kelembaban dengan keanekaragaman jenis. Menurut Carlile dan Watkinson (1995), suhu maksimum untuk kebanyakan jamur untuk tumbuh berkisar 30⁰C sampai 40⁰C dan optimalnya pada suhu 20⁰C sampai 30⁰C, berdasarkan data lapangan suhu rata-rata lingkungan di Tangkahan 26⁰C ini menunjukkan suhu yang optimum untuk pertumbuhan jamur.

Menurut Zhanxi (2004), intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhan tubuh buah jamur adalah 200 Lux. Intensitas cahaya rata-rata di lapangan selama penelitian adalah 404 Lux. Dari data korelasi menunjukkan bahwa intensitas cahaya berkorelasi berlawanan arah dengan keanekaragaman jenis jamur. Hal ini berarti semakin besar nilai intensitas cahaya maka semakin kecil nilai keanekaragaman jenis jamur

Menurut Bernes, et al., (1998), jamur yang tumbuh di lantai hutan umumnya pada kisaran pH 4-9, dan optimumnya pada pH 5-6. Konsentrasi pH pada substrat bisa mempengaruhi pertumbuhan meskipun tidak langsung tetapi berpengaruh terhadap ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan atau beraksi langsung pada permukaan sel. Hal ini memungkinkan nutrisi yang diperlukan jamur untuk tumbuh dengan baik


(58)

cukup tersedia. Kebanyakan jamur tumbuh dengan baik pada pH yang asam sampai netral (Carlile dan Watkinson, 1995).

Nlai pH rata-rata selama penelitian adalah 6 yang menunjukkan pH yang optimum untuk pertumbuhan jamur. Dari data korelasi diperoleh bahwa pH berkorelasi negatif dengan keanekaragaman jenis jamur, hal ini menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai pH dengan keanekaragaman jenis jamur artinya semakin besar nilai pH maka nilai keanekaragaman jenis jamur semakin kecil, demikian juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai pH maka nilai keanekaragaman jenis jamur akan semakin besar.


(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan ekowisata Tangkahan Taman Nasional Gunung Leuser, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ditemukan 87 jenis jamur makroskopis yang termasuk dalam 2 kelas, 7 ordo, dan 25 famili.

2. Jamur makroskopis yang dominan pada trail 1 adalah Crepidotus herbarum pada trail 2 Chantharellus sp., dan pada trail 3 Polyporus varius

3. Indeks Keanekaragaman jamur makroskopis pada trail 1: 3,236814, trail 2 : 2,470881 dan trail 3: 2,64468. Indeks kemerataan pada trail 1: 0,840699, trail 2: 0,661075 dan trail 3: 0,749976.

4. Indeks kesamaan jamur makroskopis antara trail 1 dan 2 sebesar 70,41%, antara 1 dengan 3 sebesar 44,26% dan antara trail 2 dengan 3 sebesar 38,16%. 5. Analisis korelasi antara faktor kelembaban udara berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis jamur dan faktor suhu udara, intensitas cahaya dan pH berkorelasi negatif dengan keanekaragaman jenis jamur.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan lain agar didapatkan keanekaragaman jamur makroskopis yang lebih beragam.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos, C.J. dan Mimms, C.W. 1979. Introductory Mycology. John Wiley &

Sons. New York.

Arora, D.1986. Mushrooms Demystified. Ten Speed Press. California, USA.

Barbour, G.M., Burk, J.K. dan J.K Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benyamin/ Cummings Publis bing Company, Inc. New York.

Barnes, B.V,. Donald, R.Z. dan Stephen, H.S. 1998. Forest Ecology. John-Wiley & Sons INC. New York

Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B. Grove, T.dan Malajczuk, N. 1996. Working with Mycorrhizas in Foresty and Agriculture. Murdock: Murdock University Press.

Carlile, M. J. dan Watkitson, S.J. 1995. The Fungi. Academi Press Harcout Brase & Company Publishers. London.

Daniel, T. W., Helms, J. A. dan Baker, F.S. 1992. Prinsip-prinsip Silvinatural. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Deacon, J. W. 1988. Introduction to Modern Mycology. Blackwell Scientific Publictions. California, USA.

Dwidjoseputro, D.1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bogor. Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. Bandung : Penerbit ITB.

Gandjar, I., Ariyanti, O. dan Wellyzar, S. 2006, Mikologi Dasar dan Terapan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Ilhartuti, 2001. Inventarisasi Jamur Tanah Makroskopis di Stasiun Penelitian ketambe Kawasan Ekosistem Leuser. Skripsi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah Banda Aceh.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Irwan, Z.D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta.


(61)

Kitamoto, Y, Akita, K. dan Horikoshi, T. 1999. Effects of High –Temperature Treatment on Two Essential Light Process and Intervenig Dark Process in Photoinduced Pileus Primordium Formation of Basidiomycete, Flafolus arcularius. Journal of Mycoscience. 40: 103-108.

Kramadibrata, K. 2004. Keanekaragaman Jamur di Legon Moto,Puslit Biologi LIPI Indonesia

Krebs, C. Z. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. New York: Harper and Row Publisher Inc.

Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Landecker, E.M. 1982. Fundamentals of The Fungi. Prentice Hall Inc. New Jersey. Manson, C. F. 1980. Ecology. Second Edition. New York: Longman Inc.

Mc-Kane, L. 1996. Microbiology Applied dan Practice. Mc-Graw Hill Book Company, New York.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Terjemahan Yanti R. Koestoer. Yogyakarta: UI Press.

Nugroho, P. 2004. Inventarisasi Jamur Makroskopis di Kawasan Taman Wisata Alam Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Skripsi Program Studi Biologi FMIPA USU Medan.

Nurtjahya, K. dan Widhiastuti, R. 2009. Biodiversitas Cendawan Taman Wisata Sibolangit dan Sicikehcikeh Sumut. USU Press.

Odum, E.P. 1993. Dasar- dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahyono Samingan. Gadjah mada University PresS. Yogyakarta.

Pacioni, 1981. Simon & Schuster’s Guide to Mushrooms. Fireside Book, Published by Simon & Schulster’s INC New York.

Pelczar, M.J. dan Chan, E. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Diterjemahkan oleh R. Hadioetomo, Tejaimas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. Universitas Indonesia.

Pramono, H. A. 1992. Tataguna Lahan dan Deforestasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(62)

Purdy, L. H. 1956. Factors Affecting Apothecial Formation by Sclerotinia sclerotiorum. Phytopathology. 46: 409-410.

 

Rahayu, G. 1994. Biologi Cendawan : Fisiologi Cendawan. FMIPA IPB. Bogor. Resosoedarmo, S. Kartawinata, K. dan Soegiarto, A. 1989. Pengantar Ekologi.

Remadja Karya. Bandung.

Retnowati, A. 2004. Jamur Agaricales di Pulau Karimunjawa, Puslit Biologi LIPI Indonesia.

Rugayah., Retnowati, A., Windadri, F. I. dan Hidayat, Arif. 2004. Pengumpulan, Data Taksonomi. LIPI. Indonesia.

Santoso, I. Gandjar, I. dan Sembiring, R. D. 1999. Xerophillic Mould isolated Form Salted and Unsalted Dried Fish From Traditional Markets in Jakarta. Journal Indonesian Food and Nutrition Progress. 6 (2): 55-58.

Sastrahidayat, I,R, Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya.

Smith, I. H. dan Webber, N. S. 1980. The Mushroom Hunter’s Field Guide. The University of Michigan Press.

Sofyan, M. Z.. Analisis Vegetasi Pohon di Hutan Salogumo. Skripsi Sarjana Biologi FMIPA UNAND. Padang (Tidak dipublikasi).

Subowo, Y.B 1992. Inventarisasi Jamur Kayu di Hebema. Puslitbang Bioloi LIPI Indonesia.

Suharna, N. 1993. Keberadaan Basidiomycetes di Cagar Alam Bantimurung, Karantea dan Sekitarnya, Maros Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil Litbang LIPI Indonesia.

Susilo, F. 2004. Keanekaragaman Jenis Pohon pada Kawasan Hutan Tangkahan Stasiun Resort Tangkahan Sub Seksi Langkat Sekundur TNGL. Skripsi Sarjana Biologi. FMIPA USU. Medan. (Tidak dipublikasi).

Syahbuddin. 1987. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Universitas Andalas. Padang. Tjitrosomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta,


(63)

Tortora, G. Berdell, S., Funke, I. dan Christine, C.C. 2001. Microbiology, an Introduction. Benjamin. New York.

Wallace, R.A., Jack L. K. dan Gerald, P.S. 1986. Biology The Science of Life. Scot, Foresman & Company, New York.


(64)

Lampiran 1. Deskripsi Jamur

1. Amanita sp.

Deskripsi : Tudung berdiameter 5–15 (20), bulat kemudian cembung hingga pipih, berwarna putihi permukaan licin. Lapisan himenium (gill) melekat pada tangkainya, bergaris-garis, warna putih. Panjang tangkai 7–15 cm, tebal 0,5– 1,5cm, sama atau lebih besar pada bagian bawah, warna putih, permukaan licin. Spora berwarna putih, bentuk bulat.

Habitat: pada kayu lapuk, hidup soliter. Edibilitas: tidak

diketahui.

2. Auricularia polytricha

Deskripsi : Tubuh buah berukuran 6 –10 cm, berbentuk

seperti telinga, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, elastis, transparan, dalam keadaan segar bertekstur seperti gelatin, berwarna coklat. Spora : berwarna putih, silindris, licin, berukuran 12-17 x 4-7 mikron. Edibilitas : Dapat dikonsumsi. Habitat : Kayu lapuk, hidup bergerombol.

3. Auricularia sp

Deskripsi : Tubuh buah berukuran 7–11 cm, berbentuk

seperti telinga, berbentuk seperti telinga, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, elastis, transparan, dalam keadaan segar berstektur seperti gelatin, berwarna keabu-abuan hingga coklat muda. Spora: berwarna putih, silindris, permukaan licin. Habitat: kayu lapuk, hidup soliter atau berkelompok. Edibilitas: dapat dikonsumsi.

4. Boletus sp

Deskripsi : Tubuh buah berdiameter 6 cm, tinggi 7,5 cm,

tekstur padat. Tudung cembung, permukaan atasnya berwarna coklat kekuningan, tepi tumpul. Lapisan himenium (gill) berpori, berwarna kuning. Tangkai berwarna kuning, agak sedikit membesar pada bagian pangkalnya. Spora berwarna kekuningan, berbentuk fusiform, hialin.Habitat: tanah atau humus, soliter.Edibilitas: tidak diketahui namun beberapa spesiesnya beracun seperti Boletus satanus.


(65)

Beberapa spesies lainnya dapat dikonsumsi.

5. Cantharellus sp

Deskripsi : tubuh buah berdiameter 2-8 cm, cembung, pipih

dan tipis, berwarna putih hingga krem, permukaan licin. Lapisan himenium (gill) berwarna sama dengan tudung. Tinggi tangkai kira-kira 0,5–1,5 cm, berwarna sama dengan tudung, permukaan licin. Spora berwarna putih, bentuk elips, permukaan licin. Habitat: pada pohon hidup dan hidup berkelompok. Edibilitas: tidak dikonsumsi.

6. Calocera cornea

Deskripsi : Tubuh buah berdiameter 3–5 cm, berwarna

oranye-kuning, berlipat-lipat, berstektur seperti gelatin, elastis ketika kering kemudian menjadi keras dan kaku.

Spora berwarna putih, berbentuk ellip, permukaannya licin,

berukuran 13–14 x 7–8 mikron. Habitat: kayu lapuk.

Edibilitas: tidak dikonsumsi karena teksturnya

7. Collybia butyracea

Deskripsi : Tudung berdiameter 3–8 (12) cm, cembung,

bagian tepi terangkat (uplifted), permukaan licin, berminyak atau licin, berwarna kemerahan hingga coklat. Lapisan himenium (gill) tertutup, berwarna putih bagian tepi biasanya tidak rata, atau berkerut-kerut ketika dewasa. Panjang tangkai 2–10 cm, tebal 4–10 mm atau lebih, permukaan licin, berwarna sama dengan tudung. Spora berwarna krem hingga kekuningan, atau kemerahmudaan, berbentuk ellip, permukaan licin , berukuran 6–8 x 3–3,5 mikron.Habitat: pada hutan cemara atau kayu lapuk, hidup tersebar atau berkelompok, tapi penulis menemukannya di serasah kawasan ekowisata Tangkahan. Edibilitas: dapat dimakan


(1)

Lampiran 12. Peta Lokasi Penelitian


(2)

Lampiran 13. Spora print berwarna putih

Spora print berwarna putih (Amanita sp.) Spora bulat berukuran 2 – 3 µ

Spora print berwarna putih (Mycena sp.) Spora bikonkarf berukuran 3 – 4 µ

Spora print berwarna putih susu (Coprinus diseminatus)


(3)

Spora print berwarna coklat muda (Suillus granularis)

Spora lonjong berukuran 4–5 µ

Spora print berwarna coklat muda (Leucocoprinus fragillimus)

Spora bulat memiliki tonjolan berukuran 2 – 3 µ


(4)

Longistrratus)

Lampiran14. Foto Penelitian

Gambar 1. Pengambilan data


(5)

Gambar 3. Crepidotus herbarum merupakan jenis yang mendominasi di Trail 1


(6)

Gambar 5. Polyporus varius. merupakan jenis yang mendominasi di Trail 3