Latar Belakang PEMANFAATAN FILM ANIMASI SPONGEBOB SQUARPANTS BERDASARKAN GOLONGAN SOSIAL (Studi Pada Anak-anak SD/MI di Desa Bacem Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media massa adalah alat - alat komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audiens yang luas dan heterogen. Di banding dengan jenis komunikasi lain media massa memiliki kelebihan dapat mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas . Bentuk-bentuk dari media massa saat ini antara lain adalah surat kabar dan majalah sebagai media cetak serta radio, televisi dan internet merupakan media elektronik. Media massa baik cetak maupun elektronik merupakan media massa yang banyak digunakan oleh masyarakat, terlebih media elektronik khususnya televisi. Akan tetapi hadirnya teknologi komunikasi telah membawa perubahan yang besar bagi kehidupan. Televisi misalnya, apapun pengertian televisi maupun jenis-jenisnya, masyarakat hanya sekedar mengetahui bahwa munculnya televisi adalah sebuah teknologi atau alat komunikasi yang dapat merubah kebiasaan- kebiasaan hidup mereka. Televisi adalah salah satu media massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk mengakses informasi dan hiburan. Disamping itu apa yang disampaikan oleh media televisi lebih cenderung bersifat universal, hal ini dikarenakan pada khalayaknya yang heterogen, baik dari umur, jenis kelamin maupun pendidikan dan status sosial. Tayangan televisi juga merupakan media peniruan dan pemahaman nilai bagi anak. Padahal anak-anak masih belum mampu membedakan mana yang baik dan benar dengan begitu jelas tanpa pengawasan orang tuanya. Dalam hal ini media massa berfungsi sebagai seorang pendidik, baik yang menyangkut pendidikan formal maupun informal yang mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai dan norma dari satu generasi ke generasi selanjutnya Nurudin,2007:86. Beberapa tayangan ditelevisi memberi pembenaran atas perilaku yang menyimpang dari anak. Seperti film animasi anak “SpongeBob SquarPants” yang dianggap oleh banyak pengamat mengajarkan budaya yang melenceng jauh dari nilai normatif. Seperti budaya kekerasan, kemalasan, kebencian dan keserakahan. Maka tidak berlebihan jika orang tua sudi untuk mendampingi anak dan memberi penjelasan tentang hal baik dan hal buruk pada tayangan film animasi. Apalagi, disamping bermain dengan teman-teman sebayanya, kegiatan yang paling disukai anak adalah menonton televisi. Bahkan banyak anak yang lebih memilih asyik didepan televisi berjam-jam daripada bermain dengan teman-temanya. Penelitian bersama Undip-YPMA-UNICEF menemukan bahwa mayoritas anak-anak yang diteliti mengaku menghabiskan 3-5 jam pada hari kerja, dan 4-6 jam pada hari libur untuk menonton TV, bahkan beberapa secara ekstrim mengakui bahwa mereka menonton 16 jam pada hari libur. Dari data ini terlihat bahwa anak menonton di atas batas waktu yang ditoleransi para ahli maksimal 2 jam per hari. Bahkan, ada anak yang dapat dikatakan cukup ekstrem menghabiskan waktunya di depan TV, yakni sekitar 8 jam dalam kategori 7-8 jam dan lebih dari 8 jam. Artinya, dalam aktivitas sehari-hari, sepertiga waktu anak tersebut tersita oleh TV. Data Nielsen Media Januari-Maret 2008 menemukan bahwa anak menonton TV rata-rata 3 jam per hari. Dari total penonton televisi, 21 adalah anak usia 5-14 tahun. Jumlah anak yang menonton pada pagi hari 06.00-10.00 dan siang-malam hari 12.00-21.00 lebih banyak dari kelompok umur lainnya. Pada pagi hari sebagian besar anak menonton sendirian sementara pada siang hingga malam hari mereka akan menonton dengan ibu mereka berbagai tayangan yang tidak ditujukan untuk anak. http:www.kidia.orgpanduantahun2010bulan11tanggal01id171 Memahami perbedaan individu dalam variabel psikologi-sosial kemungkinan besar mempunyai garis lurus dalam konteks psikologi komunikasi. Hal ini berhubungan dengan apa yang peneliti klaim bahwasanya televisi itu bukan hanya bersifat menghibur tetapi televisi telah berubah format menjadi sebuah hal alamiah bagi representasi semua pengalaman. Dengan kata lain televisi disini juga digunakan untuk sarana pendidikan melalui program acaranya khususnya film animasi. Film animasi pada dasarnya didasarkan pada cerita-cerita berbau fantasi. Oleh karena itu, anak-anak sangat menyukai film animasi atau yang mereka kenal sebagai film kartun, sebab mereka menggunakannya sebagai wadah untuk berfantasi dengan gambarnya yang unik dan lucu. Fantasi bahkan menjadi unsur yang mendukung meningkatnya kreatifitas anak. Kodrat fantasi pada umumnya bersumber pada keinginan anak-anak dan kebebasan merupakan kebutuhan tertentu yang ada pada dirinya. Film animasi merupakan salah satu media yang sangat populer sejak ditemukanya teknik animasi sederhana sekitar tahun 1800an. Film animasi semakin populer dan digunakan untuk berbagai macam keperluan yang berbeda. Mulai dari memvisualisasikan dongeng klasik, sebagai sarana pembelajaran, serta membuat film yang unik dimana tokoh dalam film animasi biasa melakukan hal yang tidak biasa dilakukan didunia nyata. Akan tetapi banyak sekali hujatan- hujatan positif dan negatif yang diberikan pada berbagai jenis film film animasi, seperti efeknya yang buruk pada audience atau nilai-nilai normatif yang dimuat didalamnya. Film animasi SpongeBob SquarPants banyak menerima kritikan dari para pengamat yang menyebutkan bahwa didalam film animasi ini terdapat nilai-nilai yang di klaim tidak layak ditampilkan dalam sebuah adegan film animasi, khususnya yang disuguhkan bagi anak-anak. Seperti kebencian dan kemarahan Squidward, sifat malas yang ditunjukkan oleh Patrick sahabat SpongeBob, dan lain sebagainya. Setiap pembuatan film kartun selain mengedepankan unsur hiburan dan bisnis, terdapat sisipan pesan moral dari penciptanya. Ada yang jelas kelihatan, ada pula yang tersamar. Ada yang nilai kadarnya tinggi ada pula yang hanya sedikit. Adapun pesan-pesan moral yang terdapat pada film-film kartun di Indonesia antara lain : kejujuran, suka menolong, ketegasan, percaya diri, pantang menyerah, santun, ksatria, dan lain sebagainya. Maka dari itu kita tidak bisa menghindari unsur negatif film kartun misalnya adanya tokoh-tokoh jahat tetapi paling tidak meminimalisir dan berusaha menetralisir keadaan dengan penjelasan logis tentang prinsip keseimbangan. Seperti istilah adanya Ying dan Yang, ada baik ada buruk. Dua hal yang tak dapat terpisahkan. Beberapa contoh film kartun yang sering ditonton dan disukai anak-anak dan mengandung unsur mendidik budi pekerti, misalnya: SpongeBob persahabatan, Dora The Explorer petualangan , Scoobe Doo pemberantas kejahatan , Avatar The Legend perjuangan dan kepahlawanan , Kungfu Panda dan lain-lain. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada era Globalisasi seperti saat ini, khususnya didaerah pedesaan yang masih baru mengenal teknologi seperti ditempat penelitian ini, anak-anak yang seharusnya menerima pendidikan formal maupun informal, baik itu disekolah maupun lewat sosialisasi bermain dengan teman sebayanya tergeser dengan adanya teknologi seperti televisi yang menyuguhkan tayangan-tayangan yang megharuskan anak-anak duduk terdiam didepan televisi melihat tayangan yang disukai seperti film animasi atau yang lebih mereka kenal dengan sebutan film kartun. Sehingga ada konsekuensi sosial dan konsekuensi budaya yang harus ditanggung oleh masyarakat desa Bacem khususnya anak-anak dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang mulai menyuguhkan berbagai macam tayangan yang menyita hampir sebagian waktu mereka. Acara film animasi adalah acara yang ditayangkan untuk hiburan pada dasarnya. Terlihat dari gambar-gambar yang ditayangkan yang dikemas begitu menarik dengan audio visual yang sangat apik. Akan tetapi film-film kartun pada era saat ini penuh dengan kemunculan bahasa-bahasa kasar, seperti kubunuh kau, enyahlah dan sebagainya. Bahkan gerakan-gerakan yang banyak didominasi oleh tindakan kekerasan. Film animasi di Indonesia sudah terlanjur di ”cap” sebagai film anak-anak. Masyarakat melekati definisi bahwa film animasi atau yang lebih dikenal dengan film kartun adalah film yang memang ditujukan untuk anak-anak, karena formatya adalah kartun yaitu kumpulan gambar-gambar tangan yang di gerakkan oleh komputer sehingga diperoleh hasil yang lucu dan penuh warna. Akan tetapi kemungkinan adanya keuntungan yang bisa dipetik dari kebiasaan menonton film animasi juga perlu diketahui karena pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan oleh keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain seperti media massa hal itu disebabkan karena pengetahuan individu terisi dengan fantasi, pemahaman, dan konsep yang lahir dari pengamatan dan pengalaman mengenai bermacam-macam hal yang berbeda dalam lingkungan individu tersebut Idianto Mu’in, 2004 : 123. Literasi film animasi biasanya secara umum diyakini menjadi rumit hanya sejak usia awal, karena terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dimensi psikologis suatu narasi dan juga makna figuratif bahasa. Orang dewasa mungkin mampu waspada terhadap persepsi prasadar semata-mata dengan memperhatikan tampilan suatu gambar, akan tetapi mungkin berbeda cerita dengan anak-anak yang masih memerlukan petunjuk-petunjuk untuk memproduksi argumen tandingan. Tayangan film animasi yang berfarian memikat anak-anak ke dalam sebuah zona tempat mereka dapat memainkan fantasi. Secara mental, mereka bersorak ketika tokoh baik menang atas tokoh jahat. Mereka menonton dengan nafas tertahan ketika peristiwa-peristiwa apokaliptik mengancam planet mereka didalam film. Mata mereka menjadi berkaca-kaca ketika seorang tokoh mengalahkan semua tantangan dan menemukan kebahagiaan. Ketika akhirnya mereka keluar dari zona fantasi dan masuk ke dunia yang sebenarnya, proses kembali ke dunia nyata mungkin tidak sepenuhnya berhasil. Karena berbagai citraan yang diciptakan oleh media entertainment, film animasi misalnya, memang mengaburkan batas-batas antara realitas dan apa yang kita persepsi sebagai sebuah realitas. Stimulus yang kita proses biasanya dipicu oleh kebutuhan untuk memenuhi motivasi tertentu atau oleh situasi disekeliling kita, secara alamiah kita akan terbimbing untuk memroses stimulus tertetentu, sekaligus membatasi atau menghilangkan stimulus yang lain. Dalam jangka waktu yang relatif pendek, kehidupan anak-anak telah ditransformasi oleh berbagai pendorong yang mudah diakses pada televisi dan radio yang bisa mengaburkan batas antara realitas dan fantasi. Antara fakta dan fiksi, dan antara hiburan dan nilai-nilai komersial. Penilaian tentang acara televisi tidak akan lengkap tanpa menggali bukti- bukti yang ada dalam penelitian terhadap penonton. Hal ini terkait dengan paradigma audien aktif yang menunjukkan bahwa penonton bukanlah orang bodoh dan pasif yang menerima pesan dan makna televisi begitu saja, paradigma audien aktif berkembang sebagai reaksi penolakan dari audien pasif. Pendukung pendekatan audien aktif mejelaskan bahwa bukti-bukti perilaku penonton tidak sekedar inkonklusif dan kontradiktif, dengan korelasi statistik yang tidak bisa dijadikan bukti dari penalaran ini, sebagai contoh berjilid-jilid penelitian yang memahami aktivitas menonton dalam konteks perilaku, menyatakan bahwa penonton meniru kekerasan dalam acara televisi, atau yang menggunakan korelasi statistik untuk membuktikan menonton tayangan televisi memiliki efek tertentu terhadap penonton. Namun ini adalah cara yang salah dalam mendekati penonton televisi, karena penonton televisi bukanlah sekumpulan orang yang terisolasi dan terbeda-bedakan. Namun, menonton televisi adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural secara menyeluruh. Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti mengangkat judul “Pemanfaatan Film Animasi SpongeBob SquarPants Berdasarkan Golongan Sosial Studi Pada Anak-anak SDMI di Desa Bacem Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar .

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH TINGKAT MANAJEMEN TERHADAP PRODUKSI DAN EFISIENSI BIAYA SERTA TINGKAT KEUNTUNGAN PETERNAKAN AYAM PETELUR (Studi kasus di Desa Dadaplangu dan Desa Kebonduren Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar)

0 26 80

KONTRIBUSI DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN PETANI TANAMAN RAMBUTAN DIPEKARANGAN (Studi Kasus di Desa Mronjo Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar)

0 18 1

STUDI KOMPARATIF PEMASARAN JAGUNG (Zea mays. L) SISTEM BEBAS DAN SISTEM KONTRAK (Studi Kasus di Desa Sumberdiren Kecamatan Garum Kabupaten Blitar)

0 6 2

PEMANFAATAN FILM ANIMASI SPONGEBOB SQUARPANTS BERDASARKAN GOLONGAN SOSIAL (Studi Pada Anak-anak SD/MI di Desa Bacem Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar)

0 6 48

KONFLIK SOSIAL ANTAR MASYARAKAT PASCA PEMILIHAN KEPALA DESA (Studi di Desa Pogalan Kecamatan Pogalan Kabupaten Trenggalek)

1 16 2

DAMPAK KEBERADAAN PETERNAKAN UNGGAS TERHADAP PERUBAHAN KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT (Studi Dampak Keberadaan CV. Bumi Ayu terhadap Perubahan Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Desa Plosoarang, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar)

1 7 2

Eksistensi Kesenian Kuda Lumping (Studi Pada Komunitas Kuda Lumping Bawono Langgeng di Dusun Dawung, Desa Pagerwojo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar)

4 31 34

INTERVENSI SOSIAL PADA PROSES PEMBENTUKAN KELOMPOK SOSIAL DI PEDESAAN (Studi Evaluatif pada Pendampingan Yayasan Daya Pertiwi dalam Pembentukan Kelompok Usaha Mikro di Desa Resapombo Kecamatan Doko Kabupaten Blitar)

0 6 2

DAMPAK SOSIAL INDUSTRI TIWUL INSTAN TERHADAP MASYARAKAT DESA JATILENGGER KECAMATAN PONGGOK KABUPATEN BLITAR(Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Jatilengger, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar)

0 7 3

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DAN KEKUASAAN DALAM STRATEGI PEMENANGAN KEPALA DESA (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

0 1 9