2
I. PENDAHULUAN
Kebijakan pembangunan yang sentralistik dan menekankan kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik dan
keamanan yang sangat terkendali, secara spatial ternyata telah menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Kebijaksanaan yang sentralistik tersebut
tercermin dalam kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pusat selama masa orde baru. Sebagai contoh adalah kebijakan pengelolaan
sumber daya alam. Hak pemanfaatan sumber daya alam selama pemerintahan orde baru diatur oleh pemerintah pusat dan hasil sumber daya alam
sepenuhnya dikelola pemerintah pusat. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam dimasukkan ke dalam penerimaan negara yang kemudian sebagian
dialokasikan untuk belanja rutin dan pembangunan. Dalam beberapa tahun terakhir ini para perencana pengembangan wilayah
berusaha untuk menemukan paradigma baru dalam perencanaan pengembangan. Pertimbangan prinsip-prinsip efisiensi dalam suatu usaha telah mengakibatkan
lokasi penempatan investasi suatu usaha berada di sekitar pusat-pusat kota besar. Strategi pengembangan wilayahnya mengharapkan bahwa efisiensi teknologi
maupun keuntungan-keuntungan adanya investasi suatu usaha di sekitar kota-kota besar ini akan menyebar menetes ke kawasan perdesaan lainnya. Bentuk
perencanaan pengembangan wilayahnya disebut penumbuhan kutub-kutub pertumbuhan growth pole theory melalui perencanaan suatu usaha yang bersifat
sentralistik. Para perencana tata ruang merealisasikan strategi perencanaan
pengembangan wilayah ke dalam model perencanaan pembangunan kutub-kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan yang memberikan prioritas kepada investasi
di sektor tertentu, seperti: industri dan pembangunan sarana prasarana ekonomi, yang cenderung dikonsentrasikan pada lokasi kawasan perkotaan. Hal ini
disebabkan oleh pertimbangan sistem prioritas pendanaan pembangunan, efisiensi ekonomis dan dampak gandanya multiplier effects yang harus tinggi. Secara
spatial keruangan strategi ini diharapkan mampu meneteskan keuntungannya ke
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
3 kawasan lainnya terutama mendorong efisiensi pertumbuhan ekonomi di kawasan
perdesaan. Paradigma ini telah banyak dibahas dalam dimensi spatial keruangan
maupun non-spatial. Di satu pihak, paradigma ini dianggap kurang berhasil membawa hasil-hasil yang diharapkan. Sebagai konsekuensi dari kritik ini,
paradigma baru pengembangan wilayah mulai mencuat. Tujuan utamanya bukan lagi pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerataan dan pembangunan sosial dengan
fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia secara khusus diperdesaan. Menurut paradigma ini, pembangunan harus menyesuaikan diri dengan kendala-
kendala ekologis, dan perhatian utama harus diberikan pada pembangunan kawasan-kawasan perdesaan sebagai sentra-sentra pembangunan. Perencanaan
pembangunan kawasan perdesaan harus bersifat desentralisasi, partisipatif, dan melibatkan peran khusus komunitas lokal jauh kedalam proses perencanaannya.
Oleh karena itu, proses perencanaan harus didasarkan pada penumbuhan kemampuan sumberdaya lokal dan pendekatannyapun harus transaktif .
Wilayah perdesaan sebagian besar tempat tinggal penduduk miskin. Menurut hasil penelitian, International Fund for Agricultural Development 2001
melaporkan karakteristik penduduk miskin di pedesaan antara lain: buruh tani, tidak memiliki lahanfaktor produksi, petani gurem, petani tadah hujan, nelayan,
peternak penggembala, masyarakat disekitar hutan dan lahan kritis, masyarakat di daerah terpencil, masyarakat yang direlokasikan karena suatu keadaan bencana
alam,dan sebagainya. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan, menurut Supriatna 2000 yaitu pedagang kecil, pedagang kaki lima, pedagang asongan,
pemulung, gelandangan, pengemis, pengangguran, dan buruh angkutan. Selanjutnya, perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di
Sumatera Utara pada tahun 1993 – 2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
4 Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sumatera Utara,
Tahun 1993-2007 Jumlah penduduk miskin Jiwa
Penduduk miskin Tahun
Kota Desa Kota+Desa
Kota Desa
Kota+Desa 1993
494 479 837 152
1 331 631 11.72
12.70 12.31
1996 457 037
777 157 1 234 194
9.51 11.95
10.92 1999
968 400 1 004 300 1 972 700
18.28 15.49
16.74 2002
698 830 1 185 070 1 883 890
13.60 17.55
15.84 2003
689 620 1 199 770 1 889 400
13.41 17.78
15.89 2004
633 400 1 166 700 1 800 100
12.02 17.19
14.93 2005 -
- 1.760.228 - -
14,28 2006 -
- 1.979.702 - -
15,66 2007 833.500 935.000
1.768.500 14,21
13,63 13,90
Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2008. Keterangan : - Data tidak tersedia
Persentase jumlah penduduk miskin di provinsi Sumatera Utara tahun 2007 rata-rata sebesar 13.90, baik yang berada dipedesaan maupun perkotaan.
Salah satu penanggulangan kemiskinan adalah dengan program pengeluaran pemerintah baik di tingkat regional maupun nasional. Sebelum era otonomi
daerah, antara tahun 19941995 dan 19971998 pengeluaran pemerintah dalam rangka program penanggulangan kemiskinan naik dari 0.10 ke 0.30 dari total
GDP Indonesia. Pada otonomi daerah, pemerintah meluncurkan program jaring pengaman sosial, dan pengeluaran pemerintah bagi penanggulangan kemiskinan
naik menjadi 1.40 dari GDP. Fokus utama dengan adanya jaring pengaman sosial ini berubah dari semula yang difokuskan kepada skema kesempatan kerja,
kepada subsidi beras, kesehatan masyarakat dan beasiswa bagi masyarakat miskin, dan bantuan sekolah. Pada tahun 2005 karena adanya kenaikan harga bahan bakar
minyak, maka program penanggulangan kemiskinan diperluas lagi dengan nama program subsidi langsung tunai, bantuan operasional sekolah, dan lainnya.
Salah satu masalah mendasar yang masih membayangi daerah dalam pembangunan dimasa kini dan mendatang adalah masalah disparitas hasil
pembangunan antar wilayah. Disparitas hasil pembangunan antar wilayah tampak dari perbandingan-perbandingan hasil pembangunan, yaitu : kurang seimbangnya
pembangunan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan. Oleh karena itu, perlu
Rahmanta : Penataan Ruang Perdesaan Dalam Era Otonomi Daerah, 2009 USU Repository © 2008
5 dilakukannya pentaaan ruang perdesaan dalam rangka peningkatan pengembangan
wilayah perdesaan.
II. DESENTRALISASI EKONOMI