Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup

KADAR NH3 DAN DEBU SERTA PRODUKTIVITAS AYAM
PETELUR PADA SUHU BERBEDA DENGAN SISTEM
LITTER DAN CAGE DI KANDANG TERTUTUP

ANNISA KUMALA SUWANDASARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kadar NH3 dan Debu
serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan
Cage di Kandang Tertutup adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014

Annisa Kumala Suwandasari
NIM D14100014

ABSTRAK
ANNISA KUMALA SUWANDASARI. Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas
Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang
Tertutup. Dibimbing oleh RUDI AFNAN dan MARIA ULFAH.
Kualitas udara merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas unggas. Kualitas udara dapat ditentukan oleh kadar gas seperti ammonia
(NH3) dan debu yang dapat memberi dampak negatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh dari pengaturan suhu dan sistem perkandangan terhadap
kualitas udara berupa kadar NH3, dan debu serta produktivitas ayam ras petelur.
Ternak yang digunakan adalah ayam ras petelur strain Lohmann sebanyak 72 ekor
yang berumur 336 hari. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA.
Hasil penelitian menunjukkan pengaturan suhu, sistem perkandangan, dan interaksi
keduanya tidak mempengaruhi rataan kadar amonia,dan PM2.5 serta performa

produksi ayam ras petelur kecuali feed intake, sedangkan sistem kandang mampu
mempengaruhi kadar TSP. Pemeliharaan dengan sistem cage menunjukkan
performa yang cenderung lebih baik dan efisien.

Kata kunci: amonia, cage, litter, PM2.5, TSP

ABSTRACT
ANNISA KUMALA SUWANDASARI.
Level of NH3, Dust, and Layers
Productivity at Different Temperatures based on Litter and Cage System in Closed
House. Supervised by RUDI AFNAN and MARIA ULFAH.
Airquality by the presence of gases i.e. ammonia (NH3) and dust can influence
the growth of poultry. This research aimed to study the effects of temperature and
pen systems to the air quality such as ammonia concentration, dust, and layers
productivity. A total of 72 layers of Lohmann strain (age 336 days) were used in this
research. Data were analyzed byANOVA. This study showed that temperature, pen
systems, and their interaction had no effect on ammonia, and PM2.5 as well as laying
productivity except for feed intake. Pen systems affected the concentration TSP.
Cage system resulted better productive performance.
Keywords : ammonia, cage, litter, PM2.5, TSP


KADAR NH3 DAN DEBU SERTA PRODUKTIVITAS AYAM
PETELUR PADA SUHU BERBEDA DENGAN SISTEM
LITTER DAN CAGE DI KANDANG TERTUTUP

ANNISA KUMALA SUWANDASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu

yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup
Nama
: Annisa Kumala Suwandasari
NIM
: D14100014

Disetujui oleh

Dr Rudi Afnan,SPtMScAgr
Pembimbing I

Maria Ulfah,SPtMScAgr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang
telah diberikan oleh-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
diambil ialah ayam petelur, dengan judul Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas
Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang
Tertutup.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MscAgr dan
Ibu Maria Ulfah, SPt MscAgr selaku pembimbing yang telah banyak membantu
dalam pelaksanaan dan penyusunan tugas akhir. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada orangtua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
dukungannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Hafidz Ilman
Albana, tim penelitian (Tamaella, Yunita, Heni), Laras, Ria, Anita, Ishfi, dan seluruh
mahasiswa IPTP 47. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober2014

Annisa Kumala Suwandasari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
Persiapan Kandang
Pemeliharaan
Pengukuran Mikroklimat
Pengambilan Sampel
Sampel NH3
Sampel Debu (TSP dan PM2.5)
Analisis Sampel
Analisis Kadar NH3

Analisis Kadar Debu (TSP dan PM2.5)
Rancangan
Peubah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kandang
Kualitas Udara
Performa Produksi Ayam Petelur
Hubungan Antara Kualitas Udara dan Performa Produksi Ayam Petelur
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
1
1

2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
5
5
6
6
6
6
9

16
17
17
20
21

DAFTAR TABEL
1 Komposisi nutrien ransum komersial
2 Rataan suhu kandang pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage
pada suhu yang berbeda
3 Rataan produksi amonia (ppm) pada pemeliharaan dengan sistem litter
dan cage pada suhu yang berbeda
4 Rataan produksi PM2.5 (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem
litter dan cage pada suhu yang berbeda
5 Rataan produksi TSP pada (µg per Nm3) pemeliharaan dengan sistem
litter dan cage pada suhu yang berbeda
6 Rataan feed intake (g-1ekor-1 minggu-1) pada pemeliharaan dengan
sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
7 Rataan FCR pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada
suhu yang berbeda

8 Rataan hen day (%) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage
pada suhu yang berbeda
9 Rataan massa telur (g-1minggu-1) pada pemeliharaan dengan sistem
litterdan cage pada suhu yang berbeda
10 Rataan bobot telur (g-1butir-1) pada pemeliharaan dengan sistem litter
dan cage pada suhu yang berbeda

3
6
6
8
9
10
11
12
14
15

DAFTAR GAMBAR
1 Grafik kadar amonia pada sistem (a) litterdan (b) cage minggu ke-2,

ke-4, dan ke-6
2 Grafik kadar PM2.5 pada sistem (a) litter dan (b) cage minggu ke-2,
ke-4, dan ke-6
3 Grafik kualitas udara pada sistem (a) litterdan (b) cage minggu ke-2,
ke-4, dan ke-6
4 Grafik feed intake pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap minggu
5 Grafik FCR pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap minggu
6 Grafik hen day pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap hari
7 Grafik pengaruh suhu harian terhadap hen day pada sistem (a) litter
18 oC, (b) litter 30 oC dan (c) cage 18 oC dan (d) cage 30 oC
8 Grafik massa telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu
9 Grafik bobot telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu
10 Diagram hubungan kondisi mikroklimat, sistem kandang,
performa layer, dan konsumsi pakan serta kondisi manur
terhadap produksi NH3, PM2.5, TSP

7
8
9
11
11
12
13
14
15

16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil ANOVA untuk produksi amonia
2 Hasil ANOVA untuk produksi PM2.5
3 Hasil ANOVA untuk produksi TSP

18
18
18

4
5
6
7
8

Hasil ANOVA untuk hen day
Hasil ANOVA untuk bobot telur
Hasil ANOVA untuk massa telur
Hasil ANOVA untuk FCR
Hasil ANOVA untuk feed intake

18
18
19
19
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas udara merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi
pertumbuhan ternak termasuk ayam petelur. Kualitas udara dapat dipengaruhi oleh
emisi gas dan partikel debu yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
produktivitas ayam. Emisi gas beracun dapat dihasilkan yang berasal dari kotoran
ternak yang menumpuk bersama bahan litter, air, maupun pakan yang tercecer yang
akan mengganggu kesehatan ternak maupun manusia. Selain itu, bila melewati
ambang batas yang mampu ditoleransi, kotoran juga menjadi media tumbuh yang
baik bagi mikroorganisme dan parasit. Salah satu emisi gas beracun yang dimaksud
adalah amonia (NH3). Amonia mampu menurunkan rataan pertumbuhan dan
mengurangi efisiensi pakan, merusak saluran pernafasan (Chronic Respiratory
Disease) dan meningkatkan virus ND (New Castle Disease) (Rachmawati 2000).
Kadar debu yang terdapat di kandang unggas umumnya berasal dari pakan. Semakin
banyaknya pakan yang tercecer, semakin meningkat total partikel debu dan emisi
debu. Debu memiliki dampak negatif pada kesehatan seperti gangguan pernafasan
(Casey et al. 2006).
Kandang dengan alas litter menstimulasi terjadinya persaingan untuk
mendapatkan pakan, persaingan sosial dan kanibalisme, peck order tinggi yang
mengakibatkan produksi telur di kandang litter lebih rendah dari pada kandang cage
(Rasyaf 1994). Kondisi lingkungan yang baik sangat diperlukan oleh ayam untuk
menghasilkan produktivitas optimal. Penelitian mengenai kadar NH3, dan debu total
suspended particulate (TSP), produksi debu partikulat (PM 2.5) pada kandang closed
house dengan suhu yang berbeda untuk ayam petelur di Indonesia diperlukan untuk
mempelajari produktivitas optimal ayam petelur pada suhu dan sistem perkandangan
yang berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh dari pengaturan suhu dan sistem
perkandangan terhadap kualitas udara berupa kadar NH3, dan debu serta
produktivitas ayam petelur.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pengaturan suhu dan sistem perkandangan pada
kandang tertutup untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas udara berupa
kadar NH3, kadar debu (TSP, debu PM 2.5), dan produktivitas ayam petelur meliputi
feed intake, hen day, Feed ConversionRatio (FCR), dan mortalitas yang dipelihara
selama 6 minggu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap (RAL) faktorial 2x2 dengan perlakuan suhu kandang (18 oC dan 30 oC) dan
sistem kandang (cage dan litter). Data diolah dengan ANOVA lalu diuji dengan uji
Tukey.

2

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2013 selama 6
minggu (42 hari) di Laboratorium Lapang Kandang B, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Analisis kadar NH3 dan partikel debu dilakukan di Laboratorium
Lingkungan Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, Jl. Agatis, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
Bahan
Ternak
Ternak yang digunakan adalah ayam ras petelur strain Lohmann sebanyak 72
ekor yang berumur 336 hari dengan bobot badan rata-rata 1.9 kg. Ayam yang
digunakan merupakan ayam yang dipelihara pada sistem litter di Laboratorium
Lapang Kandang B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ransum
Ransum yang digunakan selama penelitian yaitu ransum komersial produksi
PT. Gold Coin Indonesia dengan komposisi seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrien ransum komersial
Zat nutrisi
Persentase (%)
Kadar air
Maks 13
Protein kasar
Min 17
Serat kasar
Maks 6
Lemak
Min 3
Abu
Maks 14
Fosfor
0.6-1.0
Kalsium
3.0-4.2
Sumber: Label Pakan PT Gold Coin Indonesia

Alas
Alas untuk litter yang digunakan yaitu sekam padi dengan ketebalan 3 cm dari
dasar lantai. Cage menggunakan bilah bambu yang bercelah.
Pengujian NH3, TSP, dan PM2.5
Pengujian NH3 menggunakan bahan yaitu absorban NH3, MnSO4, Clorox,
Phenate, dan aquades. Pengujian TSP dan PM2.5 menggunakan bahan berupa kertas
saring.

3
Alat
Kandang
Ayam dipelihara dalam sistem kandang litter dan cage yang berada di dalam
closed house. Kandang closed house untuk kandang litter sebanyak 2 kandang, dan
untuk kandang cage juga sebanyak 2 kandang.
Kandang litter yang digunakan dalam satu closed house sebanyak 3 petak
kandang, masing-masing berisi 6 ekor ayam petelur sebagai satu satuan unit
percobaan. Alas yang digunakan adalah sekam.
Kandang cage yang digunakan dalam satu closed house sebanyak 18 petak
kandang, masing-masing berisi satu ekor ayam petelur sebagai satuan unit percobaan.
Tinggi cage dari lantai sekitar 60 cm, dan alas yang digunakan sebagai penampung
kotoran adalah terpal.
Perlengkapan Kandang
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah tempat pakan, tempat
minum, pembatas, lampu, ember, termometer, bambu, jaring, AC dan heater
(pengatur suhu ruang), blower, anemometer (pengukur kecepatan angin), serta
timbangan.
Pengujian NH3, TSP, dan PM2.5
Alat yang digunakan untuk pengujian NH3 adalah impinger, spektrofotometer,
pipet, tabung reaksi, dan rak tabung reaksi. Alat yang digunakan untuk pengujian
TSP dan PM 2.5 adalah timbangan, desikator, dan holder.
Prosedur
Persiapan Kandang
Kandang closed house dibersihkan dari kotoran makro. Setelah itu dilakukan
pengapuran closed house. Setelah closed house kering, kandang cage dimasukkan ke
dalam closed house yang menggunakan AC dan heater, yang sebelumnya telah
didisinfeksi. Kandang litterdibuat 3 petak pada 1 closed house yang menggunakan
AC dan heater lalu didisinfeksi. Sistem litter menggunakan sekam padi sebagai alas
hingga mencapai ketebalan 3 cm dari lantai kandang. Tempat pakan dan minum
dicuci terlebih dahulu sebelum dipasang.
Enam ekor ayam dimasukkan ke dalam tiap satu kandang litter sedangkan 1
ekor ayam dimasukkan ke dalam tiap 1 sekat kandang cage. Adaptasi dilakukan
selama 10 hari disertai pemberian Vitachick melalui air minum. Pencahayaan yang
diberikan untuk ayam berasal dari lampu yang berdaya 40 watt.
Pemeliharaan
Tiap ayam petelur ditimbang sebelum dimasukkan ke dalam kandang masingmasing untuk mengetahui bobot awal dan keseragamannya. Ransum diberikan
sebanyak 120 g ekor-1 hari-1, sedangkan minum diberikan ad libitum. Sisa ransum
ditimbang tiap minggu untuk mengetahui tingkat konsumsi ayam per minggu.

4
Pengukuran Mikroklimat
Setiap pukul 09.00 WIB AC dan heater dihidupkan, dan dimatikan pada pukul
15.00 WIB. Pengukuran kecepatan angin dan suhu serta kelembaban udara
dilakukan setiap hari di dalam kandang sebanyak tiga kali saat perlakuan, yaitu pukul
09.30, 12.00, dan 15.00 WIB.
Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer yang dilakukan
pada ketinggian sekitar 1.5 m di atas permukaan tanah. Pengukuran suhu dan
kelembaban udara menggunakan termometer bola basah bola kering yang dilakukan
pada ketinggian 1.5 m di atas permukaan tanah. Suhu dan kelembaban udara harian
rata-rata dihitung dengan persamaan berikut (Tjasyono 2004) :
T rata-rata harian = (2 x T9) + T12 + T15
4
Keterangan :
T rata-rata harian
T9, T12, T15

= suhu harian rata-rata
= pengamatan suhu udara pada pukul 09.30, 12.00, dan 15.00 WIB

RH rata-rata harian = (2 x RH9) + RH12 + RH15
4
Keterangan :
RH rata-rata harian = kelembaban harian rata-rata
RH9, RH12, RH15 = pengamatan kelembaban udara pada pukul 09.30, 12.00, dan 15.00
WIB

Pengambilan Sampel
Sampel NH3. Pengambilan sampel udara untuk analisis kadar NH3 dilakukan
melalui penangkapan udara di dalam kandang menggunakanimpinger dengan
bantuan absorban amonia sebanyak 10 ml. Prinsip dari metode ini adalah menyerap
udara terkontaminasi ke dalam larutan penyerap (absorban amonia) dalam tabung
yang berada di impinger. Sampel udara tersebut kemudian dianalisis di laboratorium
untuk dapat diketahui kadar NH3yang ada di dalam kandang.
Pengambilan sampel udara di dalam kandang dilakukan di satu titik, yaitu tepat
di tengah kandang. Alat pengambil sampel udara ditempatkan pada ketinggian 1.5 m
- 2.0 m dari permukaan tanah (Badan Standarisasi Nasional 2005a). Proses
pengambilan sampel udara dilakukan selama satu jam.
Sampel Debu (TSP dan PM2.5). Pengambilan sampel udara untuk analisis kadar
TSP dan PM2.5 dilakukan melalui penangkapan debu di dalam kandang
menggunakan holder dengan bantuan kertas saring yang sebelumnya telah
dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam dan ditimbang bobot awalnya (Badan
Standarisasi Nasional 2004). Prinsip dari metode ini adalah menyerap debu ke dalam
kertas saring yang berada di holder. Sampel udara tersebut kemudian dianalisis di
laboratorium untuk dapat diketahui kadar TSP dan PM2.5yang ada di dalam kandang.
Pengambilan sampel debu di dalam kandang dilakukan di satu titik, yaitu tepat
di tengah kandang. Alat pengambil sampel udara ditempatkan pada ketinggian 1.5 m
– 2.0 m dari permukaan tanah (Badan Standarisasi Nasional 2004). Proses
pengambilan sampel udara dilakukan selama satu jam.

5
Analisis sampel
Analisis Kadar NH3. Kadar NH3 kandang diukur dengan metode Phenate atau
Indophenol menggunakan spektrofotometer (Badan Standarisasi Nasional 2005b).
Prinsip dari metode ini adalah amonia yang diserap dari udara oleh absorban amonia,
direaksikan dengan 1 tetes MnSO4, 0.5 mL Clorox, 0,6 mL Phenate dalam suasana
basa, membentuk senyawa komplek indophenol yang berwarna biru setelah
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu, tabung ditutup dan dikocok untuk
menghomogenkan dan didiamkan selama ±15 menit. Setelah itu, dilakukan
pengujian dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 630
nm (Badan Standarisasi Nasional 2005b). Konsentrasi NH3 dalam udara dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
C = (a/V) x 1000
Keterangan :
C
= Konsentrasi NH3 di udara (µg/m3)
A
= Jumlah NH3 dalam contoh uji berdasarkan kurva standar (µg)
1000 = Konversi L ke m3

Analisis Kadar Debu (TSP dan PM2.5). Kadar debu kandang diukur dengan
metode penimbangan dan konversi satuan. Prinsip dari metode ini adalah
penimbangan bobot awal dan bobot akhir kertas saring setelah pengambilan sampel
debu yang diserap dari udara oleh kertas filter selama 1 jam. Selisih yang didapatkan
dari bobot akhir dan bobot awal kertas saring, dikonversi ke dalam µg per Nm2.
Rancangan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Fakorial 2x2 dengan
perlakuan suhu kandang (18 oC dan 30 oC) dan sistem kandang (litter dan cage).
Model Matematis rancangan percobaan yang digunakan mengikuti Gasperz (1995)
sebagai berikut:
Yij
Keterangan :
Yij

µ

αi
βj

(αβ)ij
Ɛijk

= µ + αi + βj+(αβ)ij + Ɛijk

= Kadar amonia udara, debu total, debu PM 2,5, produkivitas ayam petelur karena
pengaruh perlakuan suhu ke-i dan perlakuan sistem kandang ke-j pada ulangan
ke-k
= Rataan kadar amonia udara, debu TSP, debu PM 2.5, produkivitas ayam petelur
= Pengaruh taraf ke-i (i = 18 oC, 30 oC) pada faktor suhu
= Pengaruh taraf ke-j (j = Litter, Cage) pada faktor sistem kandang
= Pengaruh taraf ke-i dari faktor suhu dan taraf ke-j dari faktor sistem kandang
= Pengaruh galat percobaan dari satuan percobaan ke-k dengan kombinasi perlakuan
ij. Ɛij

Data yang diperoleh diolah dengan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata,
dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey.

6
Peubah
Peubah yang diamati adalah kadar amonia, debu TSP, debu PM2.5, dan
produktivitas ayam petelur meliputi feed intake, produksi telur, massa telur, bobot
telur, hen day, Feed Conversion Ratio (FCR), dan mortalitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kandang
Kandang yang digunakan adalah closed house dengan sistem litter dan cage
dengan masing-masing kandang bersuhu18 oC dan 30 oC. Alas kandang yang
digunakan pada sistem litter adalah sekam sedangkan pada cage adalah bambu
bercelah. Suhu kandang perlakuan 18 oC diatur menggunakan AC sedangkan suhu
kandang perlakuan 30 oC menggunakan heater. Penggunaan closed house pada
penelitian ini menghasilkan kecepatan angin yang konstan dan sama tiap kandang
yaitu 0.1 ms-1.
Tabel 2 Rataan suhu kandang pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada
suhu yang berbeda
Perlakuan
Kandang
Cage
Litter

Perlakuan
Suhu
18 oC
30 oC
18 oC
30 oC

Rataan Suhu
o

o

Rataan Kelembaban
o

24.70 C (22.75 C-26.50 C)
29.70 oC (28.10 oC-31.50 oC)
25.00 oC (22.75 oC-26.25 oC)
29.02 oC (28.00 oC-30.25 oC)

79.40% (70.00%-90.00%)
91.10% (87.50%-92.30%)
65.39% (50.75%-84.00%)
88.63% (76.00%-91.00%)

Kualitas Udara
Kadar Amonia
Hasil pengukuran kadar amonia pada suhu dan sistem kandang ayam yang
berbeda disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan produksi amonia (ppm) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan
cage pada suhu yang berbeda
Sistem Kandang
Rataan
Suhu
Litter
Cage
18 oC
0.269±0.152
1.180±1.255
0.724±0.704
o
30 C
1.123±1.131
1.059±1.084
1.091±1.095
Rataan
0.696±0.642
1.120±1.170
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya

Hasil pengukuran menunjukkan rataan kadar amonia tidak dipengaruhi oleh
suhu dan sistem kandang, serta tidak ada interaksi keduanya, namun terlihat adanya
perbedaan nilai rataan. Rataan kadar amonia yang terendah adalah pada sistem litter
dengan suhu 18 oC, dan yang tertinggi adalah pada sistem cage dengan suhu 18 oC.
Hal ini dapat disebabkan oleh rataan kelembaban harian yang lebih tinggi pada
sistem cage dengan suhu 18 oC dibandingkan dengan sistem litter dengan suhu 18 oC.

7

0,2
0,15
0,1
0,05
0

Suhu
18
Suhu
30
2

4

6

Minggu ke(a) Litter

ppm

ppm

Kondisi kotoran ayam dengan kelembaban tinggi sangat mendukung perkembangan
bakteri yang merombak asam urat menjadi amonia.
Rataan kadar amonia pada sistem cage suhu 18 oC lebih tinggi dibandingkan
sistem cage dengan suhu 30 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh feed intake
pada suhu 18 o C lebih tinggi (Tabel 4) yang dapat menghasilkan feses lebih banyak
sehingga produksi amonia yang berasal dari feses menjadi lebih tinggi. Namun,
perbedaan ini masih dalam standar normal kadar amonia yaitu 5 ppm (Mulyantini
2010).
Menurut Mulyantini (2010), konsentrasi amonia dapat meningkat dengan
adanya kelembaban, litter basah, suhu tinggi, kandang yang terlalu padat dan
kurangnya ventilasi dalam kandang. Semakin basah kotoran, maka semakin besar
peluang terbentuknya gas oleh dekomposisi bakteri, terutama NH3. Ventilasi yang
buruk, suhu udara yang ekstrim, dan isi kandang yang terlalu padat meningkatkan
kadar amonia dalam kandang (Ibrahim dan Allaily 2012). Berdasarkan pernyataan di
atas, faktor yang kemungkinan berpengaruh dalam penelitian ini adalah kelembaban,
dan suhu yang tinggi.
Gambar 1 menunjukkan kadar amonia pada sistem litter dan cage selama
pemeliharaan ayam. Penurunan kadar amonia tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter
dengan suhu 18 oC, sistem cage dengan suhu 18 oC dan 30 oC, sedangkan
peningkatan kadar amonia tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dengan suhu 30 oC.
Kadar amonia selama pemeliharaan ayam cenderung fluktuatif serta dipengaruhi oleh
suhu dan sistem kandang .
0,2
0,15
0,1
0,05
0

Suhu
18
Suhu
30
2
4
6
Minggu ke(b) Cage

Gambar 1 Grafik kadar amonia pada sistem (a) litter dan (b)cageminggu ke-2, ke-4,
danke-6
Sumber pencemaran yang berasal dari kotoran ayam berkaitan dengan
kandungan nitrogen yang terdapat pada kotoran melalui proses dekomposisi oleh
mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit pada saat terjadinya
penumpukan kotoran yang menimbulkan bau (Rohaeni 2005). Selama proses
dekomposisi kotoran ayam akan timbul bau yang berasal dari kandungan gas amonia
yang tinggi. Amonia merupakan salah satu komponen penyebab terbesar timbulnya
bau (NRC 2003). Menurut Xin et al. (2011), tingkat amonia di dalam ruangan sangat
dipengaruhi oleh perkandangan dan faktor manajemen, seperti tipe perkandangan
(litter, cage), kondisi manure atau litter (tingkat kelembaban) dan ventilasi.

8
Kadar Partikel Debu (PM2.5)
Hasil pengukuran kadar PM2.5 pada suhu dan sistem kandang yang berbeda
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan produksi PM2.5 (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem
litter dan cage pada suhu yang berbeda
Sistem Kandang
Suhu
Rataan
Litter
Cage
18 oC
0.163±0.040
0.123±0.006
0.143±0.023
30 oC
0.163±0.038
0.153±0.029
0.158±0.034
Rataan
0.163±0.039
0.138±0.018
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya

0,4
0,3
0,2
0,1
0

Suhu
18
Suhu
30
2
4
6
Minggu ke(a) Litter

µg/Nm3

µg/Nm3

Tabel 4 menunjukkan rataan produksi PM2.5 tidak dipengaruhi oleh suhu dan
sistem kandang, serta tidak ada interaksi keduanya, namun tetap terlihat adanya
perbedaan nilai rataan. Rataan kadar PM2.5 yang terendah adalah pada sistem cage
dengan suhu 18 oC, dan yang tertinggi adalah pada sistem litter dengan suhu 30 oC.
Hal ini terjadi karena tingkat aktivitas yang dilakukan ayam pada sistem litter lebih
tinggi karena memiliki ruang yang lebih luas dibanding ayam pada sistem cage, serta
didukung oleh penggunaan sekam pada sistem litter yang meningkatkan kadar PM2.5.
Kadar PM2.5 pada sistem litter dan cage selama pemeliharaan ayam
ditunjukkan pada Gambar 2. Penurunan kadar PM2.5 tiap 2 minggu terjadi pada
sistem litter dan cage dengan suhu 18 oC, sedangkan peningkatan kadar PM2.5 tiap 2
minggu terjadi pada sistem litter dan cage dengan suhu 30 oC. Kadar PM2.5 selama
pemeliharaan ayam cenderung dipengaruhi oleh suhu, suhu tinggi mampu
meningkatkan kadar PM2.5.
0,4
0,3
0,2
0,1
0

Suhu
18
Suhu
30
2
4
6
Minggu ke(b) Cage

Gambar 2 Grafik kadar PM2.5 pada sistem (a) litter dan (b) cage minggu ke-2, ke-4,
dan ke-6
Bahan partikulat dengan diameter 2.5 μm (PM2.5) merupakan partikulat yang
dapat masuk ke sistem pernapasan. Bahan partikulat yang lebih kecil, lebih
berbahaya terhadap manusia dan hewan karena dapat masuk lebih dalam pada sistem
pernafasan manusia atau hewan (paru-paru) (Li et al. 2008).
Amonia juga termasuk komponen dari bau dan dapat menjadi prekursor untuk
debu PM. Kemampuan NH3 bereaksi dengan senyawa-senyawa asam di udara
berakibat kepada peningkatan jumlah partikel debu (aerosol) yang berbahaya bagi
kesehatan (Mulyantini 2010).

9
Kadar TSP
Hasil pengukuran kadar TSP pada suhu dan sistem kandang yang berbeda
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan produksi TSP (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem litter
dan cage pada suhu yang berbeda
Sistem Kandang
Suhu
Litter
Cage
o
18 C
27.000±6.557
4.000±2.000
30 oC
27.000±6.083
4.000±2.000
Rataan
27.000±6.320a
4.000±2.000b
Keterangan : Angka pada baris yang sama diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (P0.05). Namun terdapat perbedaan nilai rataan yang
menunjukkan angka rataan yang tertinggi terdapat pada sistem cage dengan suhu 18
o
C.
Massa telur pada sistem litter dan cage setiap hari ditunjukkan pada Gambar 7.
Grafik massa telur pada sistem litter dan cage menunjukkan peningkatan massa telur
yang dihasilkan tiap minggu pada suhu 18 oC dan 30 oC. Hal ini menunjukkan tidak
ada pengaruh suhu terhadap massa telur selama pemeliharaan ayam.
500
400
300
200
100
0

Suhu
18
Suhu
30
1 2 3 4 5 6
Minggu ke(b) Cage

Gambar 8 Grafik massa telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu

15
Bobot Telur
Hasil rataan bobot telur pada sistem kandang dan suhu yang berbeda disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan bobot telur(g-1 butir-1) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan
cage pada suhu yang berbeda
Sistem Kandang
Suhu
Rataan
Litter
Cage
18 oC
61.50 ± 2.58
61.61±1.74
61.56±2.16
30 oC
53.25 ± 16.51
60.44±0.72
56.85±8.62
Rataan
57.38 ± 9.55
61.03±1.23
59.20±5.39
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya

70
65
60
55
50

Suhu
18
Suhu
30

g/butir

g/butir

Pengaruh suhu, sistem kandang, serta interaksi keduanya tidak terlihat pada
produksi telur (P>0.05). Namun terdapat perbedaan nilai rataan yang menunjukkan
angka rataan yang tertinggi yaitu pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Suhu kandang
yang tinggi akan menyebabkan penurunan konsumsi pakan (Talukder et al. 2010)
sehingga terjadi malnutrisi pada ayam (Kucuk, 2008; Sharma et al. 2009) yang
menyebabkan terjadinya penurunan bobot telur (Scott dan Blanave 1988).
Gambar 8 menunjukkan bobot telur pada sistem litter dan cage setiap hari.
Grafik sistem litter menunjukkan rataan bobot telur yang dihasilkan tiap minggu
pada suhu 18 oC cenderung meningkat, sedangkan pada suhu 30 oC menurun.
Grafik sistem cage menunjukkan rataan bobot telur tiap minggu pada suhu 18 oC dan
30 oC cenderung meningkat. Bobot telur selama pemeliharaan ayam tidak
dipengaruhi oleh suhu dan sistem kandang serta interaksi keduanya.
70
65
60
55
50

Suhu
18
Suhu
30

1 2 3 4 5 6

1 2 3 4 5 6

Minggu ke(a) Litter

Minggu ke(b) Cage

Gambar 9 Grafik bobot telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu
Data Tabel 6, 7, 8, 9 dan 10 menunjukkan adanya pengaruh suhu, sistem
kandang, dan interaksi keduanya hanya terhadap feed intake. Feed intake yang
tinggi terjadi pada pemeliharaan ayam pada sistem litter baik pada suhu 18 oC
maupun 30 oC, dan pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Walaupun berdasarkan uji
statistik hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR tidak terdapat pengaruh yang
nyata, namun bila dilihat berdasarkan rataan menunjukkan perlakuan pada sistem
cage dengan suhu 18 oC lebih baik dari perlakuan lainnya.

16
Hubungan Antara Kualitas Udara dan Performa Produksi Ayam Petelur
Kualitas udara dipengaruhi oleh faktor mikroklimat yang selanjutnya dapat
mempengaruhi performa produksi ayam petelur. Faktor mikroklimat tersebut
diantaranya kelembaban udara, suhu lingkungan, dan kecepatan angin. Namun
penggunaan closed housepada penelitian ini menghasilkan kecepatan angin yang
konstan dan sama tiap kandang yaitu 0.1 ms-1.
Adanya perbedaan suhu, kelembaban udara, dan sistem perkandangan
mempengaruhi pembentukan NH3, PM2.5, dan TSP yang akan mempengaruhi
performa layer seperti feed intake, hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR serta
manur yang dihasilkan (Gambar 9). Perlakuan suhu dan sistem kandang, serta
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar amonia dan
PM2.5 dalam kandang, sedangkan kadar TSP dapat dipengaruhi oleh sistem kandang
yang digunakan. Litter menghasilkan kadar TSP yang lebih tinggi dibandingkan
cage.
Sistem Kandang
(suhu, kelembaban, kecepatan angin)

Litter
(18oC , 30 oC)

Kualitas
dan
Kuantitas
Pakan

Cage
(18oC , 30 oC)

Feed Intake, FCR, Hen Day,
Massa Telur, Bobot Telur

Mikroba

TSP
Manure

NH3
PM2.5

Gambar 10 Diagram hubungan kondisi mikroklimat, sistem kandang, performa layer,
dan konsumsi pakan serta kondisi manur terhadap produksi NH3, PM2.5,
TSP

17
Suhu tinggi mengakibatkan feed intake yang rendah dan sistem kandang litter
menyebabkan feed intake tinggi karena adanya pakan yang tercecer yang tak
terhitung sebagai sisa pakan. Selain itu terdapat interaksi antara suhu dan sistem
perkandangan yaitu pada cage dengan suhu 30 oC, mengakibatkan feed intake yang
rendah diakibatkan oleh suhu tinggi (>27 oC) serta penggunaan cage yang membuat
pakan tidak mudah tercecer karena tumpah. Perlakuan suhu dan sistem kandang
tidak berpengaruh nyata terhadap hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR.
Suhu tinggi pada kandang dapat menurunkan bobot organ limfoid seperti bursa
fabricius, limfa, dan timus yang akan mempengaruhi produksi antibodi yang
dihasilkan oleh limfosit seperti gama globulin yang menjadi lebih rendah (Siegel
1995). Selain itu, kadar amonia dapat meningkat karena suhu tinggi. Kombinasi ini
dapat mempermudah ayam terserang penyakit yang selanjutnya dapat menyebabkan
nafsu makan berkurang, konsumsi pakan menurun, dan konsumsi air meningkat. Hal
ini dapat menyebabkan malnutrisi dan penurunan produksi telur. Seperti yang dapat
dilihat pada tabel hasil kualitas udara dan performa ayam petelur, menunjukkan
pemeliharaan pada cage dengan suhu 18 oC menghasilkan kualitas udara dan
performa yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Interaksi suhu dan sistem perkandangan tidak mempengaruhi rataan produksi
amonia, PM2.5, TSP dan produktivitas kecuali feed intake. Nilai rataan pada sistem
cage dengan suhu 18 oC cenderung lebih baik dari perlakuan lainnya.
Saran
Pemberian air minum ad libitum menggunakan nipple agar tidak
mempengaruhi kualitas udara karena feses menjadi lembab akibat air yang menetes
ke feses serta pengukuran konsumsi air minum.

DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Pengukuran Kadar Debu Total di Udara
di Tempat Kerja. SNI 17-7058-2004. Badan Standarisasi Nasional (ID):
Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005a. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh
Uji Pemantauan Kualitas Udara Ambien. SNI 19-7119.6-2005. Badan
Standarisasi Nasional (ID): Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005b. Udara Ambien – Bagian 1: Cara Uji
Kadar Amonial (NH3) dengan Metode Indofenol Menggunakan

18
Spektrofotometer. SNI 19-7119.1-2005. Badan Standarisasi Nasional (ID):
Jakarta.
Casey KD, Bicudo R, Schimidt DR, Singh A, Gay SW, Gates RS, Jacobson LD, Haff
SJ. 2006. Air quality and emission from livestock and poultry production
waste management system in animal agriculture and the environment.
National Centre for Manure and Animal Waste Management White Paper.
Pp 1-40.
Ibrahim S, Allaily. 2012. Pengaruh berbagai bahan litter terhadap konsentrasi
ammonia udara ambient kandang dan performan ayam broiler. Agripet :
Vol (12) No. 1: 47-51
Kucuk O. 2008. Zinc in a combination with magnesium helps reducing negative
effects of heat stress in quails. Biological Trace Element Research, 123:
144-153.
Li H, Xin H, Burns RT, Hoff SJ, Harmon JD, Jacobson LD, Noll S. 2008. Effects of
bird activity, ventilation rate and humidity on PM10 concentration and
emission rate of a turkey barn. Proc 8th Int. Livestock Environment
Symposium (BR), Iguassu Falls, Brazil. R. R Stowell, E. F. Wheeler, and H.
Xin, ed. American Society of Agricultural and Biological Engineers, St
Joseph, MI.
Lohmann T. 2008. Lohmann Brown-Lite Layers Management Guide Cage Housing.
Germany (DE): Lohmann Tierzucht.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses
of commercial laying hens.Poult. Sci. 83:889–894.
Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas.Yogyakarta(ID): Gadjah
Mada University Pr.
[NRC] National Research Council. 2003. Air Emmision from Animal Feeding
Operation. Washington DC (US): National Academy Pr.
Rachmawati S. 2000. Upaya pengelolaan lingkungan usaha peternakan ayam.
WARTAZOA, Vol. 9 No. 2.
Rasyaf M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Rohaeni ES. 2005. Dampak pencemaran lingkungan dan upaya mengatasinya.
Poultry Indonesia. Maret 2005. 58-61.
Rosenboim I, Tako E, Gal-Garber O, Proudman JA Uni Z. 2007. The effect of heat
stress on ovarian function of laying hens. Poultry Sci. 86: 1760-1765.
Scott TA, Blanave D. 1988. Comparison between concentrated complete diets and
self-selection for feeding sexually maturing pullets at hot and cold
temperatures. British Poultry Sci. 29:613-625
Setyono DJ, M Ulfah, S Suharti. 2013. Sukses Meningkatkan Produksi Ayam
Petelur. Jakarta(ID) : Penebar Swadaya.
Sharma RK, Ravikanth K, Maini S, Rekhe DS, Rastogi SK. 2009. Influence of
calcium and phosphorus supplements with synergitic herbs on eggshell
quality in late layers. Veterinary World, Vol.2 (6): 231-233.
Siegel HS. 1995. Stress, strain and resistence. British. Poultry Sci. 36: 3-22.
Soedomo R. 2001. Pencemaran Udara (Kumpulan Karya Ilmiah). Bandung (ID):
Institut Teknologi Bandung Pr.

19
Sugino S. 2002. Performans ayam merawang dengan frekuensi pemberian pakan
berbeda pada kandangberalas litter dan kawat (cage). [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Talukder S, Islam T, Sarker S, Islam MM. 2010. Effects of environment on layer
performance. J. Bangladesh Agril. Univ. 8(2): 253–258.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID) : Penerbit ITB.
Xin H, Gates RS, Green AR, Mitloehner FM, Moore PA Jr., Wathes CM. 2011.
Environmental impacts and sustainability of egg production systems.
Poultry Science Association Inc.

20

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil ANOVA untuk produksi Amonia
Sumber
Df
JK
KT
Suhu
1 0.001541
0.001541
Sistem Kandang
1 0.003201
0.003201
Suhu*Sistem Kandang
1 0.004563
0.004563
Galat
8 0.053854
0.006732
Total
11 0.063160
Lampiran 2 Hasil ANOVA untuk produksi PM2.5
Sumber
Df
JK
KT
Suhu
1 0.0006750 0.0006750
Sistem Kandang
1 0.0018750 0.0018750
Suhu*Sistem Kandang
1 0.0006750 0.0006750
Galat
8 0.0078667 0.0009833
Total
11 0.0110917
Lampiran 3 Hasil ANOVA untuk produksi TSP
Sumber
Df
JK
KT
Suhu
1
0.00
0.00
Sistem Kandang
1 1 587.00
1 587.00
Suhu*Sistem Kandang
1
0.00
0.00
Galat
8
176.00
22.00
Total
11 1 763.00

Fhit
0.23
0.48
0.68

P
0.645
0.510
0.434

Fhit
0.69
1.91
0.69

P
0.431
0.205
0.431

Fhit
0.00
72.14
0.00

P
1.00
0.00
1.00

Lampiran 4 Hasil ANOVA untuk Hen day
Sumber
Df
JK
Suhu
1
190.8
Sistem Kandang
1
19.7
Suhu*Sistem Kandang
1
13.0
Galat
163 24 563.5
Total
166 24 787.0

KT
192.2
19.9
13.0
150.7

Fhit
1.28
0.13
0.09

P
0.260
0.717
0.769

Lampiran 5 Hasil ANOVA untuk bobot telur
Sumber
Df
JK
Suhu
1
133.10
Sistem Kandang
1
79.99
Suhu*Sistem Kandang
1
75.14
Galat
20 1 414.24
Total
23 1 702.47

KT
133.10
79.99
75.14
70.1

Fhit
1.88
1.13
1.06

P
0.185
0.300
0.315

21
Lampiran 6 Hasil ANOVA untuk massa telur
Sumber
df
JK
Suhu
1
473
Sistem Kandang
1
21
Suhu*Sistem Kandang
1
299
Galat
20
28 084
Total
23
28 878

KT
473
21
299
1 404

Fhit
0.34
0.02
0.21

P
0.568
0.903
0.649

Lampiran 7 Hasil ANOVA untuk FCR
Sumber
df
JK
Suhu
1 0.11706
Sistem Kandang
1 0.02925
Suhu*Sistem Kandang
1 0.08915
Galat
20 1.63323
Total
23 1.86868

KT
0.11706
0.02925
0.08915
0.08166

Fhit
1.43
0.36
1.09

P
0.245
0.556
0.309

Lampiran 8 Hasil ANOVA untuk feed intake
Sumber
df
JK
Suhu
1
245.48
Sistem Kandang
1 1 459.12
Suhu*Sistem Kandang 1
245.48
Galat
20
745.97
Total
23 2 696.05

KT
245.48
1 459.12
245.48
37.30

Fhit
6.58
39.12
6.58

P
0.018
0.000
0.018

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10 Oktober 1992 dari pasangan
Bapak Gumelar dan Ibu Iting Kurniasih. Penulis adalah anak ke-dua dari 3
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN Sutawinangun II
pada tahun 1998-2004 dan melanjutkan pendidikan sekolah menengah di SMP N 1
Ciamis pada tahun 2004-2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah
Kedawung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa
sebagai sekretaris Komisi Eksternal periode 2010-2011 dan sebagai staf ahli Komisi
Eksternal periode 2012-2013, penulis juga aktif dalam Klub Sekolah Peternakan
Rakyat sebagai Bendahara I periode 2013-sekarang. Penulis menerima beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2011 hingga lulus, serta menjadi
juara 1 Lomba Menulis Cerpen Islami Tingkat Nasional.