Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN
SUMBER DAYA ALAM PROVINSI JAWA BARAT

AHMAD HERYAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi dan
Kebijakan Sumber daya Alam Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2014

Ahmad Heryawan
NIM H351100104

RINGKASAN
AHMAD HERYAWAN. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam
Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan ACENG HIDAYAT.
Penelitian ini menganalisis sektor ekonomi yang berbasis pada sumber daya
alam di Provinsi Jawa Barat khususnya pada bidang pertanian dan perikanan.
Adapun tujuannya adalah: (1) menganalisis keragaman sektor-sektor tersebut di
Provinsi Jawa Barat selama periode 2001 – 2011, (2) mengidentifikasi dan
menjelaskan bagaimana ketidakstabilan dari sektor-sektor yang berbasis sumber
daya alam tersebut dalam jangka panjang, (3) menganalisis pola hubungan antara
ketidakstabilan kedua sektor tersebut dengan variabel-variabel input maupun
output, dan (4) menganalisis kebijakan ekonomi yang paling optimal bagi kedua
sektor tersebut di Provinsi Jawa Barat. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan: Data Envelopment Analysis (DEA), Coppock Instability Index
(CII), analisis korelasi, dan metode Context, Input, Process and Product (CIPP)
Model.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pada sektor pertanian, selama
periode 2001 – 2011 menunjukkan kinerja ke arah yang lebih baik. Sedangkan, pada
sektor perikanan cenderung berfluktuasi. Selanjutnya pada kinerja output pertanian
memiliki potensi perbaikan sebesar 8,75% dari kondisi eksisting. Sedangkan pada
kinerja output perikanan memiliki potensi perbaikan lebih besar yaitu sebesar 9,5%,
(2) interaksi antara indeks ketidakstabilan dengan input dan output (tenaga kerja,
luas lahan, jumlah armada, NTP dan NTN) menunjukkan adanya dinamika
kebijakan terhadap input, output dan tingkat kesejahteraan pada sektor pertanian
dan perikanan, (3) pada sektor pertanian, tingkat kesejahteraan petani (NTP) dan
jumlah produksi pertanian berkorelasi positif terhadap indek ketidakstabilan CII.
Ini mengindikasikan, ada kecenderungan semakin tinggi kesejahteraan petani
(NTP) dan jumlah produksi pertanian semakin meningkatkan indeks
ketidakstabilan CII (tidak stabil). Sedangkan, pada sektor perikanan tingkat
kesejahteraan nelayan (NTN), jumlah produksi perikanan, dan jumlah nelayan
berkorelasi negatif terhadap indeks ketidakstabilan CII. Hal ini menunjukan
sebaliknya, semakin tinggi kesejahteraan nelayan (NTN), jumlah produksi
perikanan, dan semakin banyak jumlah nelyan semakin menurunkan indeks
ketidastabilan CII (semakin stabil).
Kata kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Coppock Instability Index (CII),
Nilai Tukar Petani (NTP), Nilai Tukar Nelayan (NTN), sumber daya

alam.

SUMMARY
AHMAD HERYAWAN. Economic Analysis and Natural Resources Policy in West
Java Province. Supervised by AHMAD FAUZI and ACENG HIDAYAT.
This study aims to analyze economic sectors in West Java Province based
on natural resources, specificly in fisheries and agriculture sector. The objective of
the research are to: (1) analyze performance sectors that based on natural resources
in West Java Province in periode 2001 – 2011, (2) identify and explain how the
instability sectors based on natural resources in the long term, and (3) analyze the
relationship between the volatility of these sectors with the input and output
variables. The analysis tools used in this study are: Data Envelopment Analysis
(DEA), Coppock Instability Index (CII), and correlation.
The result found that: (1) during the period 2001 to 2012 the agricultural
sector tend to improved performance. While in the fisheries sector are likely to
fluctuate. Performance of output agriculture can be improved amounted to 8.75%
from the existing condition. While the performance of output fisheries can be
improved up to 9.5%, (2) interaction between the instability index of input and
output (labor, NTP and NTN) shows there any dynamics of the input and output
policies in the fisheries and agriculture sectors, (3) in the agricultural sector, the

NTP and positively correlated to the production of CII. That is, the higher the NTP
and production aspects tend to be unstable on the welfare of farmers. In the fisheries
sector is the opposite condition, the increase in production tends to stabilize the
NTN and welfare.
Keywords: Data Envelopment Analysis (DEA), Coppock Instability Index (CII),
Farmer’s term of trade (NTP), Fishers term of trade (NTN), natural
resources.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS EKONOMI DAN KEBIJAKAN

SUMBER DAYA ALAM PROVINSI JAWA BARAT

AHMAD HERYAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ahyar Ismail, MAgr

Judul Tesis


: Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumber daya Alam
Provinsi Jawa Barat

Nama

: Ahmad Heryawan

NIM

: H351100104

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Dr Ir Aceng Hidayat, MT

Ketua


Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ekonomi

Sumber

Dekan Sekolah Pascasarjana
daya

Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Agustus 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari tahap persiapan data hingga
penyusunan laporan sejak bulan Mei 2013 sampai Juni 2014 ini ialah mengenai
keragaan (performance) dan indek ketidakstabilan serta analisis kebijakan
sumberdaya alam, dengan judul: “Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sumberdaya
Alam Provinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc dan
Dr Ir Aceng Hidayat, MT selaku pembimbing, serta seluruh dosen dan staf di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Ekonomi
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (ESL-IPB) yang telah banyak membantu
penulis dalam melaksanakan proses perkuliahan. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu pimpinan Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) di Lingkungan Provinsi Jawa Barat beserta teman-teman di kelas
Pascasarjana ESL-IPB yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, istri terkasih dan anak-anak

tersayang serta seluruh keluarga, handai taulan atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Ahmad Heryawan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


1

2

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

5


Kegunaan Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

7

Pembangunan dan Kelimpahan Sumberdaya Alam

7

Kemiskinan dan Sektor Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam

8

Pembangunan Berkelanjutan

9

Pembangunan Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan Daerah

11

Indikator Pembangunan

13

Indikator Ekonomi

13

Tingkat Kesejahteraan Petani

13

Konsep Nilai Tukar Petani

14

Tingkat Kesejahteraan Nelayan

16

Konsep Nilai Tukar Nelayan

17

Evaluasi Kebijakan

19

Pandangan Teori Ekonomi Sumberdaya Alam terhadap Teori
Pembangunan yang Kini Berkembang
3 METODE PENELITIAN

21
23

Lokasi dan Waktu Penelitian

23

Jenis dan Sumber Data

23

Metode Analisis

24

Data Envelopment Analysis (DEA)

25

Coppock Instability Index (CII)

29

Evaluasi Kebijakan dengan CIPP Model

30

Kerangka Pemikiran Penelitian

31

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

33

Kondisi Geografis Wilayah

33

Kondisi Demografis

34

Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian di Jawa Barat

35

Kontribusi Sektor Berbasis Sumberdaya Alam Terhadap Pembanguan
di Jawa Barat

36

Peran Sektor-sektor Berbasis Sumberdaya Alam Terhadap Pembangunan
di Jawa Barat

38

Sektor Pertanian

38

Sektor Perikanan

39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

41

Hasil Analisis Keragaan (Performance) Ekonomi di Jawa Barat

41

Sektor Pertanian

41

Sektor Perikanan

43

Potensi Perbaikan Kinerja Sektor Pertanian dan Perikanan di Jawa Barat

44

Hasil Analisis Kesejahteraan Petani dan Nelayan di Jawa Barat

45

Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat

46

Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat

46

Analisis Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani dan Nelayan
di Jawa Barat

47

Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Petani di Jawa Barat

47

Ketidakstabilan Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Jawa Barat

48

Korelasi Ketidakstabilan Sektor Pertanian dan Perikanan

6

dengan Variabel Input

49

Analisis Evaluasi Kebijakan

52

General Frameworks CIPP Model Analysis

53

Specific Framework CIPP Model Analysis

56

SIMPULAN DAN SARAN

60

Simpulan

60

Saran

60

DAFTAR PUSTAKA

62

RIWAYAT HIDUP

93

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan kebutuhan data penelitian

24

2 Sinkronisasi antara tujuan, metode, data dan output yang diharapkan

25

3 Tipe evaluasi dalam pendekatan CIPP Model

31

4 Persentasi kontribusi rata-rata nilai PDRB Provinsi Jawa Barat tahun
2012

36

5 Tingkat inflasi, laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan Nasional
tahun 2007-2012

37

6 Luas sawah, luas panen, dan produktifitas padi di Jawa Barat tahun
2001-2011

38

7 Tingkat efisiensi pada sektor pertanian periode 2001- 2012

42

8 Tingkat efisiensi pada sektor perikanan periode 2001 – 2011

44

9 Perbaikan kinerja pada sector pertanian dan perikanan di Jawa Barat

45

10 Hubungan antara indeks ketidakstabilan (CII) dengan variabel input
dan output di sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat

52

11 Matriks of CIPP representatives question pada sektor pertanian dan
perikanan di Jawa Barat

56

DAFTAR GAMBAR

1

Siklus evaluasi kebijakan melalui model CIPP

21

2

Diagram keterkaitan sumber daya alam dan lingkungan

22

3

Peta administrasi lokasi penelitian

23

4

Kurva Data Envelopment Analysis (DEA)

26

5

Diagram alur penelitian

32

6

Luas wilayah kabupaten di Jawa Barat

34

7

Tren pertumbuhan penduduk di Jawa Barat tahun 2000 – 2012

35

8

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB rata-rata Jawa Barat pada

9

tahun 2000-2010

37

Grafik produksi dan produktivitas padi di Jawa Barat

39

10 Perbandingan jumlah nelayan perikanan laut di Jawa Barat tahun 2007
– 2011

39

11 Jumlah nelayan perikanan laut di Jawa Baart tahun 2007 - 2011

40

12 Keragaan ekonomi sektor pertanian periode 2001-2012

41

13 Keragaan ekonomi sektor perikanan di Jawa Barat periode 2001 – 2012

44

14 Nilai tukar petani (NTP) di Jawa Barat periode 2008-2011

46

15 Nilai tukar nelayan (NTN) di Jawa Barat Periode 2008 – 2011

47

16 CII pertanian di Jawa Barat periode 2008 - 2011

48

17 CII perikanan di Jawa Barat periode 2008 - 2011

49

18 Pola hubungan jumlah petani vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII)

49

19 Pola hubungan nilai tukar petani (NTP) vs indeks ketidakstabilan

50

20 Pola hubungan antara produksi vs indeks ketidakstabilan Coppock (CII)

51

21 Framework dalam evaluasi kebijakan di sektor berbasis sumber daya
alam (sektor perikanan-pertanian)

54

DAFTAR LAMPIRAN
1.

Indeks pembangunan manusia (IPM) Propinsi Jawa Barat tahun
2007 - 2012

2.

Perkembangan produksi perikanan menurut cabang usaha
tahun 2000 – 2011 (dalam ton)

3.

68

69

Pendapatan daerah regional bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat harga dasar
(tahun 2000) per sector tahun 2001 -2010

70

4.

Hasil analisis DEA sektor pertanian

71

5.

Hasil analisis DEA sektor perikanan

76

6.

Hasil analisis coppock instability index (CII) sektor pertanian dan
nilai tukar petani (NTP) periode 2008 – 2011

7.

Hasil analisis coppock instability index (CII) sektor perikanan
dan nilai tukar nelayan (NTN) periode 2008 – 2011

8.

81

83

Hasil analisis korelasi antara indeks ketidakstabilan (CII) dengan
variabel input dan output di sektor pertanian dan perikanan Jawa
Barat

9.

85

Regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat
kaitannya dengan sektor pertanian dan perikanan di Jawa Barat

87

10. Framework Analysis CIPP Model pada Sektor Pertanian

91

11. Framework Analysis CIPP Model pada Sektor Perikanan

92

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan elemen penting dalam
menyuplai kebutuhan dasar manusia. Sumber daya alam baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan juga merupakan salah satu modal dasar
pembangunan dimana kontribusi yang dihasilkan dari sumber daya alam tersebut
akan memberikan sumbangan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) maupun
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain memiliki fungsi ekonomi,
sumber daya alam juga memiliki fungsi sosial dan lingkungan yang berkontribusi
secara langsung maupun tidak langsung pada kesejahteraan manusia (Fauzi, 2014).
Jasa lingkungan seperti air, tanah yang subur, udara yang bersih, maupun siklus
nutrisi di laut, berperan dalam meningkatkan produksi pertanian dan perikanan.
Dalam sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia, sumber daya alam telah
menjadi mesin pertumbuhan, baik selama masa Orde Baru maupun di era reformasi.
Secara nasional kontribusi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun tidak
terbarukan terhadap PDB masih relatif signifikan yakni lebih dari 16 persen
terhadap PDB. Demikian juga halnya pada tingkat wilayah. Sebagian besar
pertumbuhan wilayah di Indonesia banyak disumbang dari kontribusi ekonomi
yang berbasis sumber daya alam seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, dan
perikanan. Demikian juga halnya dengan wilayah Jawa Barat yang dikenal
memiliki lahan pertanian yang subur dan potensi sumber daya alam lainnya yang
relatif melimpah.
Jawa Barat sebagai Provinsi yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta
merupakan penyangga utama bagi ibukota negara. Jawa Barat merupakan provinsi
dengan jumlah penduduk terbesar, yakni sebanyak + 44,91 Juta jiwa (Proxy BPS
Juli 2012) dan laju pertambahan penduduk 1,66 persen (Proxy BPS Juli 2013). Nilai
strategis Jawa Barat dapat dilihat dari nilai PDRB menempati urutan ketiga terbesar
setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur (BPS, 2014). Data BPS juga menunjukkan laju
pertumbuhan rata-rata PDRB Jawa Barat antara tahun 2000 sampai 2012 adalah
5,11 persen (BPS, 2014) dengan nilai PDRB (menurut harga konstan 2000) pada
tahun 2012 sebesar 356,31 triliun rupiah (BPS, 2014).

2
Menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh BPS Jawa Barat, sektor
terbesar dalam penyusunan PDRB provinsi Jawa Barat tahun 2012 adalah sektor
industri pengolahan sebesar 41,07 persen diikuti oleh sektor perdagangan (23,19
persen) (BPS, 2014). Jika sektor pertambangan dan penggalian dijumlahkan dengan
pertanian, maka ekstraksi sumberdaya alam (SDA) langsung menyumbang sekitar
13,27 persen terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat di tahun 2012. Di antara subsektor yang termasuk dalam sektor pertanian, sub-sektor tanaman pangan adalah
penyumbang terbesar bagi PDRB Jawa Barat Tahun 2012 yakni 8,56 persen dengan
nilai 31,8 triliun rupiah.
Komoditas tanaman pangan terpenting di Jawa Barat adalah padi. Produksi
padi di Jawa Barat merupakan terbesar nasional, menunjukkan peran Jawa Barat
sebagai lumbung padi utama nasional. Tahun 2011 dan 2012 Jawa Barat berhasil
menjadi produsen padi terbesar dengan produksi berturut-turut sebesar 11,63 juta
ton dan 11,27 juta ton (BPS, 2014). Bes arnya produksi ini ditunjang oleh
produktivitas tanaman padi di Jawa Barat berturut-turut 5,97 ton/hektar dan 6,004
ton/hektar, di atas rata-rata produktivitas padi nasional yakni 4,98 ton/hektar pada
tahun yang sama (BPS, 2014).
Potensi Jawa Barat bukan hanya di bidang pertanian. Jawa Barat memiliki
panjang garis pantai mencapai 722,8 km, Jawa Barat memiliki potensi besar dalam
bidang perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Selain itu potensi
sumberdaya alam berupa air dan energi juga potensial untuk dikembangkan.
Produksi ikan tangkap laut tahun 2011 sebesar 185,822 ton dan tahun 2012 sebesar
198,978 ton.
Pemerintah provinsi Jawa Barat telah merumuskan visi 2025 yakni Jawa
Barat sebagai provinsi termaju di Indonesia. Upaya pencapaian visi 2025 ini tentu
harus dirumuskan dalam sebuah strategi kebijakan pembangunan yang integral dan
komprehensif dengan tujuan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Salah satu strategi untuk mencapai visi 2025 bertumpu
pada pengelolaan modal dasar Jawa Barat, termasuk modal SDA-nya.

3
Perumusan Masalah
Berdasar kondisi geografis dan karakteristik alam, Provinsi Jawa Barat
memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Potensi tersebut antara lain:
pertanian, peternakan, perikanan (tangkap maupun budi daya), kehutanan, air, dan
energi. Potensi yang besar tersebut, saat ini masih belum termanfaatkan secara
optimal.
Permasalahan lain yang masih terlihat nyata di Jawa Barat adalah adanya
kesenjangan antara wilayah pesisir utara dan selatan dengan wilayah tengah Jawa
Barat. Sebagai bagian dari jalur utama transportasi di Pulau Jawa, wilayah utara
menikmati kucuran investasi terutama infrastruktur yang besar baik dari pemerintah
maupun swasta. Meskipun wilayah utara memiliki infrastruktur lebih baik, namun
memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan wilayah tengah maupun pesisir selatan.
Fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik di wilayah utara Jawa Barat
mendorong industrialisasi namun juga menimbulkan beberapa masalah. Salah satu
masalah yang timbul adalah terjadinya alih fungsi lahan-lahan produktif di wilayah
utara menjadi kawasan industri. Mengingat posisi wilayah utara Jawa Barat
(Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten
Indramayu, dan Kabupaten Cirebon) sebagai lumbung padi nasional, sehingga alih
fungsi lahan pertanian bukan hanya mengancam keberlanjutan pembangunan di
Jawa Barat tetapi juga Indonesia.
Minimnya fasilitas dan infrastruktur di wilayah selatan Jawa Barat
mengakibatkan belum optimalnya pemanfaatan SDA. Pemanfaatan yang belum
optimal ini terlihat di antaranya dari rendahnya hasil tangkapan perikanan,
produktivitas lahan padi per hektar, dan masih banyaknya lahan tidur. Sebagai
kawasan yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, kawasan selatan
Jabar selayaknya bisa memanfaatkan potensi tersebut untuk menggerakkan
perekonomian kawasan. Rendahnya investasi perikanan di kawasan tersebut
ditengarai karena masih belum berkembangnya infrastruktur dan juga regulasi yang
masih belum mendukung pengembangan usaha perikanan berskala besar.
Pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh pembangunan secara masif, yang
ditandai oleh investasi besar, bukannya tanpa efek samping. Beberapa gejala ikutan

4
yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembangunan ekonomi suatu
kawasan antara lain:
1.

Pergeseran lapangan kerja: investasi besar-besaran cenderung menghasilkan
lapangan kerja modern yang membuat pelaku ekonomi tradisional tergeser dan
tergusur, contoh mall dengan pasar tradisional, pedagang kaki lima, pekerja
sektor pertanian, dan lain sebagainya.

2.

Perubahan harga-harga: Investasi besar-besaran akan menghasilkan produkproduk baru yang sering menyaingi produk tradisional. Gerabah tradisonal
akan kalah bersaing dengan poduk-produk dari plastik.

3.

Perubahan kualitas lingkungan: Investasi besar-besaran banyak yang
menimbulkan dampak alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan.
Untuk mencapai visi 2025 Jabar sebagai provinsi termaju, kesenjangan-

kesenjangan yang tersebut di atas tentunya perlu segera diatasi. Selain kendala
tersebut, hal lain yang potensial menjadi penghambat tercapainya visi 2025 yakni
tekanan penduduk akibat laju pertumbuhan penduduk yang tergolong masih besar.
Jumlah penduduk yang besar, secara alami akan memunculkan tekanan pada
kebutuhan air, pangan, dan energi. Tanpa penanganan yang baik, tekanan ini pada
gilirannya akan memunculkan tekanan lingkungan yang berujung pada degradasi
lingkungan. Degradasi lingkungan yang parah dan deplesi sumber daya alam yang
tidak dibarengi oleh peningkatan modal sosial dan modal buatan (man made
capital) akan menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit untuk diurai.
Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar yang diimbangi oleh produktivitas
yang tinggi justru akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi
sebagaimana terjadi pada Cina dan Brazil. Untuk mencapai tingkat produktifitas
yang tinggi ini, tentunya ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu
syarat penting adalah tingkat pendidikan, karena tingkat pendidikan berkorelasi
positif dengan modal perkapita dan perkembangan teknologi yang memungkinkan
sebuah perekonomian terus tumbuh dan berkembang.
Selain kendala kependudukan, perlu juga dipertimbangkan faktor-faktor
yang mungkin menjadi external shock yang bisa menghambat laju pertumbuhan
ekonomi provinsi Jawa Barat. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah perubahan

5
iklim, bencana alam ataupun juga munculnya regulasi yang ada kalanya kurang
selaras dengan dinamika kebutuhan di daerah.
Oleh karena itu penulis merumuskan permasalahan penelitian antara lain
sebagai berikut:
1.

Bagaimana keragaan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam (terutama
pada sektor pertanian dan perikanan) di Jawa Barat selama periode 2001 –
2011?

2.

Bagaimana ketidakstabilan dari sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam
tersebut dalam jangka panjang?

3.

Bagaimana pola hubungan antara ketidakstabilan kedua sektor tersebut dengan
variabel-variabel input maupun output dari kedua sektor tersebut?

4.

Bagaimana kebijakan pada sektor pertanian dan perikanan berpengaruh
terhadap efisiensi dan instabilitas serta kesejahteraan petani dan nelayan di
Jawa Barat selama periode 2001 – 2011?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui faktor pendorong

maupun penghambat bagi pembangunan ekonomi provinsi Jawa Barat yang
berbasis pada pengelolaan sumber daya alam. Adapun tujuan khusus dari penelitian
ini adalah:
1.

Menganalisis keragaan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam
(terutama pada sektor pertanian dan perikanan) di Jawa Barat selama periode
2001 – 2011.

2.

Mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana ketidakstabilan dari sektorsektor pertanian dan perikanan dalam jangka panjang.

3.

Menganalisis pola hubungan antara ketidakstabilan kedua sektor tersebut
dengan variabel-variabel input maupun output dari kedua sektor tersebut.

4.

Menganalisis kebijakan pada kedua sektor tersebut terhadap efisiensi dan
instabilitas serta kesejahteraan petani dan nelayan di Jawa Barat selama periode
2001 – 2011

6
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:
1.

Sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah provinsi Jawa Barat.

2.

Untuk mendapatkan feedback kebijakan pembangunan provinsi Jawa Barat.

3.

Tersusunnya rekomendasi kebijakan pembangunan ekonomi Jawa Barat yang
berbasis sumberdaya alam.

7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan dan Kelimpahan Sumber Daya Alam (SDA)
Keterkaitan antara perkembangan ekonomi dan kelimpahan SDA semenjak
lama telah menjadi objek kajian penelitian ekonomi. Secara intuitif, kelimpahan
SDA yang dimiliki oleh suatu kawasan mampu menjadi faktor pendorong
perekonomian sehingga kawasan yang memiliki kelimpahan SDA seharusnya
memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik ketimbang kawasan tanpa kelimpahan
SDA.
Studi yang dipublikasikan oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner
mengungkapkan adanya hubungan negatif antara kelimpahan SDA dengan kinerja
ekonomi (Sachs dan Warner, 1997). Studi ini seakan menguatkan tesis yang
sebelumnya dikemukakan oleh Richard Auty yang dikenal dengan Resource Curse
Hypothesis (Auty, 1993).

Tesis Auty hanya didasarkan pada studi terhadap

perekonomian yang berbasiskan SDA mineral, maka studi Sachs dan Warner juga
mengikutsertakan perekonomian berbasis pertanian sehingga tampaknya tesis
kutukan sumberdaya tidak hanya berlaku pada SDA mineral saja.
Studi Sachs dan Warner bukan hanya menunjukkan hubungan negatif antara
kelimpahan SDA dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengajukan argumen
untuk menjelaskan fenomena tersebut. Salah satu argumen yang diajukan oleh
Sachs dan Warner adalah apa yang disebut sebagai washout effect. Sachs dan
Warner menjelaskan, melalui pendekatan model Dutch disease, bahwa kelimpahan
SDA telah menarik kapital dan tenaga kerja kepada sektor tradables berbasis
sumber daya ataupun sektor non-tradables. Sebagai akibatnya, negara-negara
dengan kelimpahan sumberdaya tidak menikmati pertumbuhan ekonomi yang
disebabkan oleh increasing return to scale seperti yang terjad i di sektor
manufaktur.
Sachs dan Warner juga menjelaskan bahwa rente ekonomi yang diberikan
oleh sektor berbasis sumberdaya membuat tenaga kerja di negara-negara dengan
kelimpahan sumberdaya mengabaikan pendidikan. Sementara di negara-negara
tanpa kelimpahan sumberdaya, tenaga kerjanya mengejar pendidikan untuk
mendapatkan upah lebih baik di sektor manufaktur. Dalam jangka panjang dan
dengan bergantinya generasi, pendidikan akan menghasilkan reaksi berantai yang

8
memicu pertumbuhan yang lebih tinggi, hal yang tidak terjadi pada negara-negara
dengan kelimpahan sumberdaya.
Penjelasan lain mengenai hubungan negatif antara kelimpahan sumber daya
dengan kinerja pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Barbier melalui Frontier
Expansion Hypothesis. Teori ini mengatakan bahwa akibat kegagalan kebijakan
pemanfaatan SDA, akan memicu migrasi kaum miskin ke lahan-lahan frontier
(lahan yang belum terjamah) dan memicu konversi lahan. Akibat lanjutannya
adalah ketidakcukupan reinvestasi pada sektor produktif sehingga mengakibatkan
pembangunan yang tidak berkelanjutan (Fauzi, 2007).

Kemiskinan dan Sektor Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam
Menurut Fauzi (2004), sektor perikanan seperti halnya dengan sektor
ekonomi lainnya, ia merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi
terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang
bersifat dapat diperbarui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan
pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati.
Sumber daya perikanan pada suatu wilayah periaran pada periode waktu
tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh
faktor alami juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik
lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta
predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam
memanfaatkan sumber daya perikanan yang tidak terkendali.
Sumber daya perikanan laut mempunyai sifat-sifat yang spesifik yang
dikenal dengan aksesnya yang terbuka (open access) yang memberikan anggapan
bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumber daya tersebut secara
bersama (common property). Oleh karena sifatnya yang demikian, maka semua
individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai
hak untuk mengeksploitasi sumber daya laut sesuai dengan kemampuan masingmasing hingga nilai rent dari sumber daya terbagi habis, sebaliknya tidak satupun
pihak merasa berkewajiban untuk menjaga kelestariannya. Di satu pihak masingmasing akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan, di lain pihak
masing-masing tidak mempunyai insentif untuk mempertahankan ataupun

9
meningkatkan kelestarian sumber daya. Pada akhirnya tetap merugikan nelayan
yang lemah kapitalnya dan mayoritas merupakan penduduk setempat dan justru
tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya wilayahnya sendiri.
Paradigma pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan di
Indonesia memperoleh momentum emas pada beberapa tahun terakhir ini. Pada
masa orde baru, pembangunan perikanan dan kelautan tidak memperoleh perhatian
yang cukup sebagai akibat paradigma pembangunan yang berorientasi agraris pada
pemerintahan saat itu. Namun semenjak terjadinya pergantian rezim pemerintahan,
semakin disadari bahwa aset dan sumber daya pesisir memiliki peluang yang terlalu
besar untuk disia-siakan. Sejak tahun 1999, sektor maritime mulai dimasukkan ke
dalam GBHN dan secara kelembagaan saat ini telah terbentuk kemeterian khusus
yang menangani kelautan dan perikanan (Bappenas, 2005).
Sebagai sumber daya yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi, baik
nasional dan daerah, proses pembangunan perikanan dan kelautan harus lebih
mampu berperan dan berdaya guna. Pembangunan sumber daya perikanan dan
kelautan yang dimaksud tidak hanya bagi peningkatan hasil secara kuantitas, tetapi
juga secara kualitas yang berarti meningkatkan serta menghasilkan nilai tambah
komoditas dari perikanan dan kelautan.
Pengembangan ekonomi berbasis kelautan termasuk di dalamnya perikanan
yang diwujudkan melalui suatu program pembangunan perikanan dan kelautan
pada hakekatnya ialah merupakan rangkaian untuk memfasilitasi, melayani, dan
mendorong berkembangnya suatu sistem bisnis berdaya saing, menguntungkan,
dan tentunya berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat.

Pembangunan Berkelanjutan
Munculnya istilah "Pembangunan Berkelanjutan" paling sering digunakan
untuk hasil yang berkelanjutan dari sumber daya biologis tertentu seperti perikanan.
Dan di dalam literatur ekonomi masih di bawah judul "Pertumbuhan Optimal"
(Maler, 1974; Solow, 1974). Namun debat terakhir antara ekonomi dan lingkungan
terkait dengan keberlanjutan menunjukkan bahwa sampai batas tertentu konflik ini
mungkin mencerminkan perbedaan individu yang mengurangi dengan dilema

10
pilihan publik, masalah mendamaikan preferensi individu dengan tujuan sosial dan
produksi atau perlindungan barang publik.
Dalam pengembangannya, Ilmu Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
juga ditawarkan pula di dalam keilmuan Ekonomi Perdesaan pada negara yang
termasuk di dalam negara miskin. Statistik agregat pada tingkat nasional dapat
menunjukkan informasi yang berkaitan dengan basis sumber daya lokal. Ilmu
Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan modern menunjukkan bahwa perdebatan
antara para economist dan environmentalist terletak pada peningkatan pendapatan
per kapita (atau perbaikan dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan mereka yang
melihat kemiskinan akut terjadi di sebagian besar di negara miskin. Dasgupta dan
Maller (2004) menyebutkan bahwa lapangan pekerjaan saat ini pada ekonomi
perdesaan dan pentingnya sumber daya lokal di sana. Dalam studi Dasgupta dan
Maller (2004) kelembagaan non-pasar (non market institution) dapat menjelaskan
bagaimana kelompok-kelompok masyarakat tetap dalam kemiskinan (bahkan
mengalami kondisi yang makin buruk) sementara kelompok-kelompok lain
berkembang karena pertumbuhan pasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih
banyak ruang untuk studi lebih lanjut mengenai dampak heterogenitas spasial dari
modal terhadap peluang yang dihadapi ekonomi perdesaan
Kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang tak terkendali akan
membawa efek samping yang tidak dapat diubah (ireversible) terhadap lingkungan
dan mengakibatkan kelangkaan sumberdaya alam, bukanlah hal yang baru. Namun,
hal tersebut dimunculkan kembali dalam tema “keberlanjutan” atau “pembangunan
berkelanjutan”. Sejak tahun 1987 ketika laporan Brundtland (WCED, 1987)
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri", keberlanjutan telah
menjadi watchword (motto/slogan) untuk kasus yang tak terhitung banyaknya,
lokal dan global, lingkungan dan non lingkungan.
Dalam sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Jaeger (1995)
dijelaskan bahwa, terdapat perbedaan nyata antara ekonom dan environmentalist
mengenai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Beberapa

11
perbedaan yang terkenal berhubungan dengan masalah-masalah seperti kelangkaan
sumber daya, keadilan distribusi antar generasi dan komposisi modal sosial.
Ada banyak model pertumbuhan kontemporer, namun perkembangan
terakhir di bidang ekonomi lingkungan dan sumber daya menyarankan agar kita
berhati-hati dengan antusiasme para ekonom lingkungan dan sumberdaya.
Perkembagan terakhir memberikan pandangan bahwa alam bersifat tidak tetap dan
tidak bisa dihancurkan, tetapi terdiri dari sumber daya yang mudah rusak (misalnya:
lahan pertanian, daerah aliran sungai, perikanan, dan sumber air tawar, dan jasa
ekologi). Pandangan terakhir tersebut juga mengatakan bahwa kemajuan teknologi
menjadi semakin bergantung pada basis sumberdaya alam dan semakin melebihi
batas kerusakan yang dapat digantikan dari basis sumber daya alam. Ini berarti
bahwa arah perubahan teknologi cenderung menuju ketergantungan berlebihan
(over reliance) pada basis sumber daya alam (Dasgupta dan Maller, 2004).

Pembangunan Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan Daerah
Paradigma neoklasik mengenai pembangunan ekonomi berpusat pada
mekanisme pasar dengan kepercayaan fundamental bahwa mekanisme harga akan
mengontrol supply dan demand sehingga sistem perekonomian akan menghasilkan
output yang optimum. Pada kenyataannya paradigma neoklasik tidak bisa
menjawab problematika pemanfaatan SDA dan dampak lingkungan dari aktivitas
ekonomi. Hal ini sebagian besar disebabkan karena komoditas SDAL tidak
mempunyai pasar atau tidak mempunyai struktur pasar yang sempurna
sebagaimana disyaratkan oleh paradigma neoklasik (Fauzi, 2004)
BAPPENAS (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian
kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan
global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya
nasional yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah
yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat

12
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan
berkeadilan.
Salah satu definisi yang sering digunakan dalam konteks perencanaan
pembangunan adalah: suatu proses terus menerus yang melibatkan keputusankeputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber daya yang ada dengan sasaran
untuk mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang (Pontoh dan Kustiwan,
2009).
Definisi perencanaan dijelaskan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses
untuk menentukan tindakan dimasa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia serta dijelaskan pula dalam
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditujukan guna
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) adalah suatu proses penyusunan
tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan
dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sosial pada suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu
tertentu (Pontoh dan Kustiwan, 2009).
Dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, perencanaan wilayah
memerlukan suatu perencanaan yang integral dan komprehensif. Pengertian
integral dan komprehensif disini adalah selain memperhatikan hubungan antar
sektor perencanaan juga harus memperhatikan keterpaduan antar subwilayah, serta
pengaruh wilayah luar terhadap wilayah perencanaan (Pontoh dan Kustiwan, 2009).
Menurut Pontoh dan Kustiwan (2009), secara umum tujuan perencanaan
wilayah adalah untuk:
1.

Mengurangi ketimpangan,

2.

Mengintegrasikan ekonomi wilayah ke dalam sistem ekonomi nasional,

3.

Efisiensi dalam penentuan lokasi aktivitas,

4.

Alokasi investasi di wilayah yang diarahkan agar didapat kesempatan untuk
perkembangan ekonomi nasional lebih lanjut,

13
5.

Keseimbangan antar wilayah, dalam hal ini untuk mencapai stabilitas nasional,
sehingga dapat menjadi pendukung pertumbuhan nasional.

Indikator Pembangunan
Indikator Ekonomi
Indikator ekonomi meliputi:
a.

GNP/GDP per kapita adalah pendapatan nasional/daerah bruto dibagi jumlah
populasi/penduduk atau nilai barang dan jasa yang ada dalam satu wilayah
dalam waktu satu tahun.

b.

Laju Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di
suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu. Produksi
tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektorsektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai
Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah
sama dengan pertumbuhan PDB. Apabila “diibaratkan” kue, PDB adalah
besarnya kue tersebut. Pertumbuhan ekonomi sama dengan membesarnya
“kue” tersebut yang pengukurannya merupakan persentase pertambahan PDB
pada tahun tertentu terhadap PDB tahun sebelumnya. PDB disajikan dalam dua
konsep harga, yaitu harga berlaku dan harga konstan; dan penghitungan
pertumbuhan ekonomi menggunakan konsep harga konstan (constant prices)
dengan tahun dasar tertentu untuk mengeliminasi faktor kenaikan harga. Saat
ini BPS menggunakan tahun dasar 2000.

Tingkat Kesejahteraan Petani
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan
petani diperlukan alat ukur untuk menilai perkembangan kesejahteraan petani
diperlukan alat ukur untuk menilai bagaimana tingkat kesejahteraan petani tersebut.
Salah satu indikator/alat ukur yang selama ini digunakan untuk menilai tingkat
kesejahteraan petani adalah indeks nilai tukar petani (NTP). Simatupang dan
Maulana (2008) mengemukakan bahwa indikator kesejahteraan yang unik bagi

14
rumah tangga praktis tidak ada tidak ada, sehingga Nilai Tukar Petani (NTP)
menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam
mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP dihitung dari rasio harga antara harga
yang diterima petani dengan harga yang dibayar petani. Sehingga NTP dapat dinilai
sebagai ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli
petani. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan
ekonomi petani (Silitonga, 1995; Sumodiningrat, 2001; Tambunan, 2003; BPS,
2013; Masyhuri, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh hasil studi
penelitian Rachmat (2013), bahwa tingkat kesejahteraan petani dapat dilihat dengan
mengukur Nilai Tukar Petani (NTP).

Konsep Nilai Tukar Petani (NTP)
Konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan petani telah dikembangkan
sejak tahun 1980-an. Perhitungan NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga
yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, demikian halnya
dengan konsep NTP yang dikembangkan oleh BPS.

Konsep Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikembangkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) merupakan pengembangan dan penerapan skala makro dari konsep
nilai tukar (term of trade). Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikembangkan oleh BPS
didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga
yang dibayar petani (HB). Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks
sebagai berikut:

Dimana,

���� =

��


INTP : Indeks NIlai Tukar Petani
IT

: Indeks harga yang diterima petani

IB

: Indeks harga yang dibaya petani

Konsep NTP yang dikembangkan oleh BPS identik dengan konsep nisbah
paritas (parity ratio) yang dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an

15
(Tomek dan Robinson, 1981). Konsep tersebut saat ini masih digunakan dan secara
dinamis dilakukan beberpa modifikasi yang disesuaikan dengan perubahan relatif
komoditas penyusunnya. Konsep nisbah paritas dirumuskan sebagai berikut:

��

ℎ�



=





� ℎ

� ℎ

� �

� �

� �

� �



� �



� �





Nilai tukar petani didefiniskan sebagai rasio antara indeks harga yang
diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan
dalam persentase. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang
menunjukan perkembangan harga produsen dari hasil produksi petani. Indeks harga
yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukan perkembangan harga
kebutuhan rumah tangga petani, baik itu kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga
maupun untuk keperluan menghasilkan produksi pertanian. Indeks harga yang
diterima petani menggambarkan fluktuasi harga barang dan jasa yang dihasilkan
petani yang dapat juga digunakan sebagai data penunjang dalam penghitungan.
Selain itu juga digunakan untuk mengukur kemampuan tukar (term of trade) dari
produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam
berproduksi dan konsumsi rumah tangga, dapat digunakan untuk memperoleh
gambaran tentang perkembangan tingkat pendapatan petani dari waktu ke waktu
yang dapat pula dijadikan kebijakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan
petani. Selain itu, NTP juga dapat menunjukkan tingkat daya saing
(competitiveness) produk pertanian dibandingkan dengan produk dari komoditas
lainnya (Rachmat, 2013).
Nilai Tukar Petani (NTP) dirumuskan sebagai berikut:
��� =




dimana,

∶ Indeks harga yang diterima petani

: Indeks harga yang dibayar petani
NTP : Nilai Tukar Petani

%

Dengan demikian, jika nilai NTP > 100 berarti petani mengalami surplus.
Pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya. Dengan demikian, tingkat
kesejahteraan petani lebih baik dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan petani

16
pada periode sebelumnya. Jika NTP=100, berarti petani mengalami titik impas
(break even point). Artinya, tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami
perubahan. Jika NTP < 100 berarti petani mengalami defisit. Tingkat kesejahteraan
petani pada suatu periode mengalami penurunan dibandingkan dengan tingkat
kesejahteraan petani pada periode sebelumnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, Nilai Tukar Petani (NTP)
menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang
dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli.
Semakin tinggi NTP, maka secara relatif semakin baik daya beli poetani terhadap
produk konsumsi dan input produksi tersebut. Artinya, secara relatif dapat
dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut petani lebih sejahtera (Rachmat, 2013;
Silitonga, 1995; Sumodiningrat, 2001; Tambunan, 2003; BPS, 2013; Masyhuri,
2007). )

Tingkat Kesejahteraan Nelayan
Selama ini, upaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan masih
menggunakan indikator perubahan pendapatan nelayan. Indikator demikian
menurut Basuki, dkk (2001) kurang tepat dan menyesatkan untuk menggambarkan
secara tepat perbaikan kesejahteraan nelayan karena belum membandingkan
dengan pengeluaran nelayan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya. Alasan yang
serupa juga dikemukakan oleh Hutabarat (1996), yang mnyatakan pemerosotan
dalam nilai tukar petani (nelayan) atau penurunan tingkat hasil pertanian
(perikanan) relatif terhadap harga barang dan jasa lain dapat mengakibatkan
penurunan pendapatan riil petani (nelayan). Oleh karenanya, indikator yang lebih
tepat adalah nilai tukar nelayan (NTN) yang mempertimbangkan seluruh
penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan.
Konsep dan metode penaksiran NTN sampai kini amat terbatas, dan baru tahun
2001 berhasil disusun dan diterbitkan Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Nilai
Tukar Nelayan oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan Palau-pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan.

17
Konsep Nilai Tukar Nelayan
Konsep nilai tukar (terms of trade) umumnya digunakan untuk menyatakan
perbandingan antara harga barang-barang dan jasa yang diperdagangkan antara dua
atau lebih Negara, sektor, atau kelompok sosial ekonomi. Walaupun asal mula dan
penggunaan yang lebih luas dari konsep ini berasal dari perdagangan internasional,
namun demikian dewasa ini konsep nilai tukar juga sering digunakan untuk
membuat gambaran mengenai perubahan sistem harga dari barang-barang yang
dihasilkan oleh sector produksi yang berbeda dalam suatu negara. Dari penggunaan
seperti ini timbul konsep mengenai nilai tukar antar sektor.
Nilai tukar menurut Soeharjo, dkk (1980) dapat digunakan untuk keperluan
dua macam analisis. Penggunaan yang pertama adalah sebagai alat deskripsi
(descriptive tool). Sebagai alat deskripsi konsep ini digunakan untuk menerangkan
dan menjelaskan secara statistik atau indeks mengenai kecendrungan jangka pendek
dan jangka panjang tentang sejarah kelakuan harga barang-barang yang
diperdagangkan. Penggunaan yang kedua yang sangat erat hubungannya dengan
yang pertama, adalah sebagai alat untuk keperluan penetapan kebijakan (tool for
policy).
Konsep nilai tukar nelayan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
konsep Nilai Tukar Nelayan (NTN), yang pada dasarnya merupakan indikator
untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan secara relatif. Oleh
karena indikator tersebut juga merupakan ukuran kemampuan keluarga nelayan
untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya, NTN ini juga disebut sebagai Nilai
Tukar Subsisten (Subsistence Terms of Trade). Menurut Basuki, dkk (2001), NTN
adalah rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga nelayan
selama periode waktu tertentu. Dalam hal ini, pendapatan yang dimaksud adalah
pendapatan kotor atau dapat disebut sebagai penerimaan rumah tangga nelayan.
NTN dapat dirumuskan sebagai berikut :
��� =

� =�
Dimana :


=



+ ��

+ �

= Total penerimaan nelayan dari usaha perikanan (Rp)

18
��
t

= Total penerimaan nelayan dari non perikanan (Rp)
= Total pengeluaran nelayan untuk usaha perikanan (Rp)

� = Total pengeluaran nelayan untuk konsumsi keluarga nelayan (Rp)
= Periode waktu (bulan, tahun, dll)

Perkembangan NTN dapat ditunjutkan dalam Indeks Nilai Tukar Nelayan
(INTN). INTN adalah rasio antara indeks total pendapatan terhadap indeks total
pengeluaran rumah tangga nelayan selama waktu tertentu. Hal ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
���� = (
dimana:

�� = (

��
)


%


)
��

%

dimana:
INTN
��

��

t

= indeks nilai tukar nelayan periode t
= indeks total pendapatan keluarga nelayan periode t
= total pendapatan keluarga nelayan periode t (harga bulan berlaku)
= total pendapatan keluarga nelayan periode dasar (harga bulan dasar)
= indeks total pengeluaran keluarga nelayan periode t
= periode (bulan, tahun, dll).

Selanjutnya,
� =�

=

+ ��

+ �

dimana,

= Total penerimaan nelayan dari usaha perikanan (Rp)
YN
= Total penerimaan nelayan dari non perikanan (Rp)
= total pengeluaran nelayan untuk usaha perikanan (Rp)

= total pengeluaran nelayan untuk konsumsi keluarga nelayan (Rp)
t
= periode (bulan, tahun, dll).
Asumsi dasar dalam penggunanaan konsep NTN tersebut adalah semua hasil
usaha perikanan tangkap dipertukarkan atau diperdagangkan dengan hasil sektor non
perikanan tangkap. Barang non perikanan tangkap yang diperoleh dari pertukaran ini

19
dipakai untuk keperluan usaha penangkapan ikan, baik untuk proses produksi
(penangkapan) maupun untuk konsumsi keluarga nelayan. Pengeluaran subsisten
rumah tangga nelayan dapat diklasifikasikan sebagai:

a) Konsumsi harian makanan dan miniman;
b) Konsumsi harian non makanan dan miniman;
c) Pendidikan;
d) Kesehatan;
e) Perumahan;
f) Pakaian; dan
g) Rekreasi.

Evaluasi Kebijakan
Dalam konteks evaluasi kebijakan banyak instrument yang umumnya
digunakan dalam menganalisis evaluasi kebijakan, baik yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Analisis kebijakan berbasis kuantitatif umumnya menggunakan
instrumen-instrumen kuantitatif seperti ekonometrika, optimasi, pemodelan dan
simulasi serta multi-kriteria analisis (Fauzi dan Anna, 2005). Selain dengan
pendekatan kuantitatif, analisis kebijakan dapat dilakukan melalui pendekatan
kualititatif, salah satunya melalui pendekatan CIPP. CIPP adalah singkatan dari
Context, Input, Process dan Product. CIPP adalah analisis evaluasi kebijakan yang
pertama dikenalkan oleh Stufflebeam pada tahun 1971. CIPP merupakan instrumen
kebijakan yang komprehensif untuk melakukan evaluasi baik pada tingkat personal,
proyek, produk, organisasi maupun sistem kebijakan. Meski awalnya CIPP
digunakan pada ranah pendidikan, namun belakangan CIPP telah banyak
dimodifikasi untuk digunakan pada berbagai disiplin ilmu (Stufflebeam dan
Shinkfield, 2007)
Analisis kebijakan melalui model CIPP didasarkan pada analisis secara
mendalam terhadap empat komponen utama yakni C, I, P dan P. Komponen
pertama yakni Context merupakan komponen yang disebut sebagai evaluasi
kebutuhan (needs assessment). Komponen ini menjawab pertanyaan “Apa yang
harus dilakukan” (what should it do). Tujuan dari evaluasi komponen ini adalah
untuk menentukan konteks yang relevan, identifikasi peluang untuk menjawab

20
masalah dan mendiagnosa masalah. Instrumen konteks dapat dilakukan melalui
wawancara maupun data sekunder.
Komponen kedua yakni Input merupakan jawaban dari pertanyaan
“bagaimana harus dilakukan” (how should it be done) dan mengidentifikasi
rancangan prosedural untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal i