Paper Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingk

TINJAUAN TEORITIS EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Oleh: MUHAMMAD RAZI NIM 41203401130016

PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI KONSENTRASI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA UNIVERSITAS NUSA BANGSA BOGOR

2015

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ketersediaan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) yang meliputi air, udara, tanah, hutan, barang tambang dan lainnya adalah hal esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan SDAL akan menimbulkan kerugian dan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan SDAL yang baik mampu memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Pembangunan ekonomi di satu sisi diakui telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain dewasa ini dikhawatirkan menimbulkan kerusakan ekosistem yang mengancam kelangsungan hidup manusia.

Persoalan mendasar adalah bagaimana mengelola SDAL agar memiliki manfaat besar bagi kehidupan manusia tapi dengan tidak mengorbankan kelestarian SDAL itu sendiri. Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan wawasan yang luas tentang Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL).

Kebijakan penggunaan, pengelolaan serta konservasi SDA harus ditangani secara komprehensif karena sistem SDA sangat luas, kompleks dan saling tergantung satu sama lain. Perubahan komponen SDA secara individu dalam satu ekosistem dapat merubah sistem secara menyeluruh.

Perubahan penggunaan tanah dapat meningkatkan produksi pertanian di satu sisi, tapi memiliki pengaruh terhadap tata air serta kualitas air dan udara di sisi lainnya. Berbagai disiplin ilmu diperlukan dalam alokasi dan pemanfaatan SDA.

Pendekatan pemanfaatan sumber daya yang akan digunakan didekati melalui teori ekonomi tanpa menghilangkan analisis ilmu yang lain yang relevan. Masalah pemanfaatan dan alokasi sumber daya mencakup apa, berapa, metode/teknik serta untuk kepentingan siapa barang tersebut dihasilkan.

2. Dua pandangan terhadap Sumber Daya Alam

Ada dua pandangan terhadap sumber daya alam menurut Fauzi (2006), yaitu: (1) Pandangan konservatif – pesimis (perspektif Malthusian): Pandangan ini berakar dari pemikiran Malthus “ Principle of Population ”, dimana SDA yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang Ada dua pandangan terhadap sumber daya alam menurut Fauzi (2006), yaitu: (1) Pandangan konservatif – pesimis (perspektif Malthusian): Pandangan ini berakar dari pemikiran Malthus “ Principle of Population ”, dimana SDA yang terbatas tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang

(2) Pandangan Ekploitatif (perspektif Ricardian):

Sumber Daya Alam

Eksploitasi / Pemanfaatan

Pemanfaatan Lestari Tingkat Pengurasan

Daya Dukung

Ya

Pengurasan SDA

Kelangkaan SDA

Peningkatan Biaya Ekstraksi Peningkatan Harga SDA

Peningkatan Permintaan

Penurunan

Pencarian SDA Pengganti

Peningkatan Daur Ulang

Penawaran

Inovasi: Pencarian SDA Baru, Peningkatan Effisiensi, Perbaikan Teknologi Daur Ulang, Perbaikan Konservasi

Gambar 1. Perspektif Ricardian terhadap Sumber Daya Alam

SDA dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” ( engine of growth ) yang akan mentra nsformasikan SDA ke dalam “ man-made capital ” yang pada akhirnya menghasilkan produktifitas yang tinggi di masa mendatang. Keterbatasan suplai dari SD untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara SDA dianggap sebagai “mesin pertumbuhan” ( engine of growth ) yang akan mentra nsformasikan SDA ke dalam “ man-made capital ” yang pada akhirnya menghasilkan produktifitas yang tinggi di masa mendatang. Keterbatasan suplai dari SD untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dapat disubstitusikan dengan cara

3. Klasifikasi Sumber Daya Alam

Secara Umum SDA diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Berdasarkan Skala Penggunaan Waktu pembentukan SDA

1) Kelompok Stok:  Memiliki cadangan yang terbatas;

 Eksploitasi SDA akan menghabiskan cadangan SDA;  Bila dimanfaatkan sekarang mungkin tidak tersedia lagi di masa

datang;  Disebut sebagai SDA yang tidak dapat diperbaharui ( non-renewable

resources ) atau terhabiskan ( exhaustible );  SDA dalam kelompok ini: mineral, logam, minyak dan gas bumi.

2) Kelompok Alur:  Jumlah fisik SDA dapat berubah sepanjang waktu;  Jumlah SDA yang dimanfaatkan sekarang dapat mempengaruhi

ketersediaannya di masa mendatang;  Disebut SDA yang dapat diperbaharui ( renewable resources );  SDA dalam kelompok ini adalah: hutan, tanah, ikan, udara, angin.

B. Berdasarkan Penggunaan Akhir SDA

1) Sumber Daya Material:  Dimanfaatkan sebagai bagian dari suatu komiditas (bahan baku);

 Dikelompokkan menjadi: material metalik dan material non metalik.

2) Sumber Daya Energi:  Digunakan untuk menggerakan energi melalui proses transformasi

panas maupun transformasi energi lainnya;  Termasuk dalam kelompok SDA ini: energi surya, angin, minyak.

Sumber Daya Alam

Skala Waktu Kegunaan Akhir Pembentukan

Kel. Stok (Non

Kel. Alur

SDA Energi Renewable)

SDA Material

(Renewable)

Habis dikonsumsi:

Mat. Metalik:

minyak, gas,

Energi matahari, batubara

Memiliki titik kritis:

ikan, hutan, tanah

emas, besi,

aluminium

minyak, angin, air

Dapat didaur

Tidak ada titik

ulang: besi,

kritis: udara, angin,

Mat. Non Metalik:

tembaga, alumnm

pasang surut

tanah, pasir, air

Ekstraksi > Titik Kritis

Gambar 2. Bagan Klasifikasi Sumber Daya Alam

4. Pengukuran Ketersediaan Sumber Daya Alam

Ketika SDA sudah terdefinisikan, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur ketersediaan SDA tersebut? Berdasarkan Konsep Rees (1990), pengukuran SDA diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

A. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Tidak Terbarukan ( Non Renewable ):

1) Sumber Daya Hipotetikal:  Pengukuran deposit yang belum diketahui namun diharapkan

ditemukan pada masa datang berdasarkan survei saat ini.  Ketersediaan SDA diukur dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan

produksi dan cadangan terbukti pada periode sebelumnya.

2) Sumber Daya Spekulatif: mengukur deposit yang mungkin ditemukan ditemukan pada daerah yang sedikit dieksplorasi, dimana menurut kondisi geologi yang ada kemungkinan besar ditemukan deposit.

3) Cadangan Kondisional: deposit sudah diketahui atau ditemukan dengan teknologi dan harga yang pada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis (belum memiliki nilai ekonomis).

4) Cadangan Terbukti: SDA sudah diketahui dan secara ekonomi dapat dimanfaatkan dengan teknologi, harga dan permintaan pada saat ini.

B. Pengukuran Ketersediaan SDA yang Dapat Dibarukan ( Renewable ):

1) Potensi Maksimum:  Didasarkan pada pemahaman untuk mengetahui kapasitas SDA yang

digunakan untuk menghasilkan barang/jasa dalam waktu tertentu.  Pengukuran didasarkan pada perkiraan ilmiah atau teoritis.

 Pengukuran ini lebih didasarkan kepada kemampuan biofisik alam tanpa mempertimbangkan kendala sosial ekonomi yang ada.

2) Kapasitas Lestari:  Konsep pengukuran berkelanjutan.

 Ketersediaan SDA diukur berdasarkan kemampuannya untuk menyediakan kebutuhan bagi generasi kini dan juga generasi

mendatang.  Pada sumber daya perikanan dikenal dengan istilah Sustainable Yield ¸

yaitu: secara teoritis, alokasi produksi dapat dilakukan sepanjang waktu, jika tingkat eksploitasi dikendalikan

3) Kapasitas Penyerapan:  Kemampuan SDA untuk dapat pulih seperti sediakala setelah

menyerap limbah akibat aktivitas manusia.  Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca dan

internal manusia.

4) Kapasitas Daya Dukung ( Carrying Capacity ): dimana didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas untuk mendukung pertumbuhan organisme, misalnya ikan di kolam yang tumbuh berkembang secara positif jika daya dukung lingkungan masih besar.

5. Pengukuran Kelangkaan Sumber Daya Alam

Aspek kelangkaan SDA menjadi penting karena terkait dengan munculnya persoalan tentang bagaimana mengelola SDA yang optimal. Hanley et al. (1997) menggunakan 3 (tiga) cara dalam mengukur kelangkaan SDA, sebagai berikut:

A. Pengukuran berdasarkan Harga Riil:  Dapat diterima oleh banyak pihak.

 Tingginya harga SDA mencerminkan tingkat kelangkaan dari sumber daya tersebut (teori ekonomi klasik).  Kelemahan pengukuran: kenaikan harga juga dipicu oleh distorsi pasar, harga riil hanya mencerminkan harga pasar, tapi tidak mencerminkan harga atas adanya biaya kesempatan ( opportunity cost ) sosial dari

kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraksi SDA tersebut.

B. Pengukuran berdasarkan Biaya per Unit ( Unit Cost ):  Didasarkan kepada prinsip: jika sumber daya menjadi langka, maka biaya

ekstraksi SDA tersebut meningkat, yang berarti biaya per unit meningkat.

C. Pengukuran berdasarkan Rente Kelangkaan ( Scarcity Rent ):  Didasarkan teori kapital sumber daya: rate of return

 Scarcity Rent : selisih antara harga per unit output dengan biaya ekstraksi marginal atau harga bersih ( net price ).

 Manfaat yang diperoleh dari aset SDA harus setara dengan opportunity cost dari aset yang lain, seperti saham.

Pada Gambar 3 terlihat SDA menghasilkan barang/jasa untuk proses industri berbasis sumber daya alam (I1). SDA juga langsung dikonsumsi rumah tangga (I2). Hasil proses industri berupa barang/jasa juga dikonsumsi oleh rumah tangga (I3). Kegiatan produksi oleh industri dan konsumsi oleh rumah tangga menghasilkan limbah yang dapat didaur ulang (D1 dan D2). Proses daur ulang ini ada yang langsung kembali ke alam dan lingkungan, misalnya proses pemurnian kembali air dan udara, dan ada yang kembali ke industri (D2), seperti pendaurulangan kertas, botol plastik. Dari limbah ini sebagian komponen ada yang tidak dapat didaur ulang, sehingga menjadi residual (D3) yang akan kembali ke lingkungan tergantung dari kemampuan kapasitas penyerapan atau asimilasinya.

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

I1 I2

I3

Produksi Konsumsi

Gambar 3. Bagan Keterkaitan antara Sumber Daya Alam dan Aktifitas Ekonomi

II. EKONOMI SUMBER DAYA TANAH

Tanah merupakan sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena merupakan masukan (input) yang diperlukan untuk setiap bentuk aktifitas manusia seperti: pertanian, perindustrian, pemukiman, transportasi, rekreasi.

Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor pertanian, terutama di wilayah pedesaan. Untuk daerah perkotaan, penggunaan tanah yang utama adalah untuk pemukiman, perkantoran, transportasi, industri dan perdagangan dan lainnya. Di negara maju penggunaan tanah yang terbaik dan tertinggi adalah untuk industri dan perdagangan. Selanjutnya disusul oleh pemukiman, kemudian untuk pertanian dan terakhir untuk pengembalaan dan tanah dikosongkan (bera).

Penggunaan tanah tergantung pada kemampuan tanah dan lokasi tanah. Penggunaan tanah yang bergantung kepada kemampuan tanah ditentukan oleh tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi. Penggunaan tanah yang tergantung pada lokasi tanah, terutama adalah untuk pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya. Dengan demikian tanah memiliki nilai ekonomi dan pasar yang berbeda-berbeda. Tanah di perkotaan memiliki nilai pasar yang tinggi karena di sana terletak sumber penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang tinggi.

Secara umum, pemilik tanah menggunakan tanahnya untuk tujuan yang memberikan nilai produksi tertinggi. Namun penggunaan tanah ini tergantung kepada penilaian sipemilik sendiri apakah dinilai dengan uang atau dengan nilai yang tidak dapat dijangkau ( intangible ) seperti nilai sosial.

Penggunaan tanah terbaik dan tertinggi tergantung kepada kapasitas tanah serta tinggi rendahnya permintaan terhadap tanah itu sendiri. Untuk mengejar pemenuhan kebutuhan manusia yang terus berkembang dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemanfaatan sumber daya tanah sering kali kurang bijaksana dan untuk kebutuhan jangka pendek.

Akibat penggunaan tanah yang kurang bijaksana adalah berkurangnya persediaan tanah yang tinggi kualitasnya. Sehingga manusia akan tergantung kepada tanah yang semakin rendahnya kualitasnya. Dengan semakin langkanya sumber daya Akibat penggunaan tanah yang kurang bijaksana adalah berkurangnya persediaan tanah yang tinggi kualitasnya. Sehingga manusia akan tergantung kepada tanah yang semakin rendahnya kualitasnya. Dengan semakin langkanya sumber daya

1. Aspek Ekonomi Sumber Daya Tanah

Aspek ekonomi penting menurut teori ekonomi sumber daya tanah adalah sewa tanah. Sewa tanah dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Sewa tanah ( contract rent ) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan kontrak sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu.

2) Keuntungan usaha ( economic rents atau land rents ) yang merupakan kelebihan ( surplus ) pendapatan atas biaya produksi atau sebagai harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat digunakan dalam proses produksi.

Contract rent dan land rent merupakan dua konsep sewa yang penting digunakan dalam ekonomi sumber daya tanah.  Contract Rent : sumbangan yang diberikan oleh tanah bersama faktor produksi lain (tenaga kerja, modal dan manajemen) terhadap besarnya total produksi.  Land Rent : nilai sumbangan yang diberikan oleh tanah semata yang disebut bunga

tanah ( land rent ).

2. Sewa Tanah (Land Rent) sebagai Surplus Ekonomi

Secara sederhana sewa tanah adalah sama dengan

Sewa (Land Rent)

surplus ekonomi, yaitu: suatu kelebihan nilai produksi total di atas biaya total yang mencakup biaya jasa terhadap investasi. Sewa tanah sebagai surplus ekonomi tanah ditentukan oleh faktor kesuburan tanah dan lokasi tanah.

Total nilai produksi yang dihasilkan LNSP dengan total biaya variabel input sebesar MNSR sehingga menghasilkan sewa tanah sebesar LMRP.

A. Sewa tanah ( land rent ) ditentukan oleh kesuburan tanah:

Tanah A

Tanah B

Tanah C

Biaya produksi tanah A paling rendah, lebih tinggi pada tanah B, dan paling tinggi pada tanah C karena kesuburan tanah berbeda. Peningkatan biaya produksi rata- rata per unit output di tanah B dan C disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah.

Dengan biaya produksi yang rendah, tanah A memberikan land rent tertinggi, sedangkan tanah B lebih kecil, sementara tanah C tidak menghasilkan land rent sama sekali, karena tingginya biaya produksi.

B. Sewa tanah ( land rent ) ditentukan oleh lokasi tanah:

Tanah A yang berlokasi paling dekat dari pusat aktifitas manusia, relatif tidak memiliki banyak biaya dalam penggunaannya, sehingga mampu memberikan land rent yang paling tinggi.

Tanah B berlokasi lebih jauh, menimbulkan biaya transportasi dalam penggunaannya, sehingga kemampuan memberikan land rent lebih rendah. Tanah C yang berlokasi paling jauh, menimbulkan biaya transportasi paling besar dalam penggunaannya, kemampuannya memberikan land rent paling rendah.

3. Teori Sewa Tanah David Ricardo

Dalam teori sewa tanah, David Ricardo mengatakan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Produktivitas tanah yang subur lebih tinggi, sehingga berarti untuk menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya- biaya untuk mengolah tanah dan dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah semakin kecil pula. Jadi sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding sewa tanah yang kurang subur. Konsep sewa tanah menurut David Ricardo ini didasarkan atas perbedaan dalam kesuburan tanah dalam konteks “pertanian”.

Ricardo berasumsi bahwa pada daerah pemukiman baru, terdapat sumber daya tanah yang subur dan berlimpah serta tidak ada pembayaran sewa atas penggunaan tanah karena jumlah penduduk masih sedikit. Sewa tanah akan muncul ketika jumlah penduduk bertambah dan permintaan atas tanah meningkat dan akhirnya menghendaki digunakannya tanah yang kurang subur oleh masyarakat.

Satuan output yang dihasilkan pada 4 (empat) macam kesuburan tanah yang berbeda dapat dijelaskan pada ilustrasi berikut:

Penggunaan tenaga kerja dan modal yang sama pada keempat bidang tanah yang berbeda tingkat kesuburannya (A: sangat tinggi, B: tinggi, C: cukup, D: kurang) dengan kapasitas produksi: A = 50, B =

40, C = 30, D = 25.

Karena pertumbuhan penduduk, tanah B mulai digunakan untuk perlusan tanam, tanah B mulai memiliki nilai sewa bila tanah C mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan Karena pertumbuhan penduduk, tanah B mulai digunakan untuk perlusan tanam, tanah B mulai memiliki nilai sewa bila tanah C mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan

Menurut Rircardo, harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan hasil pertanian. Harga produk pertanian meningkat seiring perluasan areal pertanian dan penggunaan tanah subur yang semakin intensif. Teori sewa tanah Ricardo hanya melihat kemampuan tanah untuk membayar sewa tanah tanpa memperhatikan lokasi tanah.

4. Teori Sewa Tanah Von Thunen

Von Thunen (1826) hanya menambah kekurangan teori sewa tanah David Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Apakah tanah subur yang jaraknya dekat dengan pasar dan yang jauh dari pasar akan sama sewanya? Hal ini setelah dikaji ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya. Von Thunen melihat daerah yang subur dekat pusat pasar memiliki sewa tanah lebih tinggi dari pada tanah di daerah yang jauh dari pusat pasar. Von Thunen berpendapat bahwa sewa tanah berkaitan dengan biaya trasportasi dari lokasi tanah yang jauh di daerah ke pusat pasar.

 Di pusat pasar, biaya transportasi nol (0) dan biaya total setinggi OC. Pada jarak

OK km biaya total menjadi KT, karena biaya transportasi meningkat sebesar UT. Bila harang barang yang diangkut sebesar OP, maka pada jarak OK, tidak lagi terdapat land rent . Pada hal di titik O (pusat pasar) land rent sebesar CP, artinya land rent berbanding terbalik dengan jarak lokasi tanah dengan pusat pasar.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:

a. Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;

b. Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan

c. Banyaknya permintaan tanah yang untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan. Von Thunen juga mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan.

Berdasarkan selisih antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar.

Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:

a. Wilayah analisis bersifat terisolir, tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain;

b. Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah;

c. Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam;

d. Fasilitas pengengkutan adalah primitif (sesuai dengan zamannya) dan relatif seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan

e. Kecuali perbedaan jarak ke pasar semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.

5. Faktor-faktor yang Menentukan Harga Tanah

Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa kegunaan, kelangkaan dan permintaan atas sumber daya tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat produktivitas dan lokasi tanah. Produktivitas tanah tidak hanya ditentukan oleh hasil produksi pertanian tetapi juga kandungan sumber daya lain yang bernilai ekonomis seperti mineral yang ada di dalam tanah.

Lokasi tanah berkaitan dengan jarak sumber daya tanah dari pusat perkotaan, pasar atau kegiatan perdagangan. Semakin dekat lokasi tanah ke pusat kegiatan itu Lokasi tanah berkaitan dengan jarak sumber daya tanah dari pusat perkotaan, pasar atau kegiatan perdagangan. Semakin dekat lokasi tanah ke pusat kegiatan itu

Disamping itu harga tanah juga berkaitan dengan fasilitas kehidupan yang tersedia yaitu sarana dan prasarana umum, seperti: jaringan transportasi, alat transportasi, listrik, air dan fasilitas umum lainnya di dekat lokasi tanah, akan semakin meningkatkan harga tanah. Pembangunan sarana dan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh sebidang tanah, yang dibarengi pula oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan tanah (akibat peningkatan pendapatan), maka harga tanah akan meningkat pula

Harga tanah yang semakin tinggi dapat pula disebabkan oleh sistem perizinan yang rumit dan biroratis sehingga menimbulkan biaya pengurusan tanah yang tinggi dan harga tanah yang tinggi.

Efek dari harga tanah yang semakin tinggi, maka akan terjadi inflasi. Artinya harga tanah memacu peningkatan harga-harga barang lainnya, karena tanah yang walaupun tidak produktif sering dapat digunakan sebagai jaminan untuk mendapat kredit perbankan. Hal ini berarti tanpa menghasilkan apa-apa pun, tanah ternyata dapat menghasilkan uang baru, karena dengan fasilitas kredit yang sangat besar dengan tanah sebagai jaminan adalah sama dengan pencitaan uang giral. Harga tanah yang semakin tinggi dapat mendorong ekonomi biaya tinggi.

Adapun pendekatan yang dapat digunakan untuk memperlambat kenaikan harga tanah adalah:

1) Mengalihkan dana yang tersedia di masyarakat ke arah investasi yang lebih produktif, bukan untuk spekulasi tanah.

2) Pengenaan pajak hendaknya disesuaikan dengan peruntukan tanah yang akan diperjualbelikan di kemudian hari.

3) Tanah yang digunakan untuk kegiatan produktif dikenakan pajak yang relatif lebih rendah, sedangkan hal ini berlaku sebaliknya pada tanah terlantar.

4) Tanah disamping kenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dikenai pajak penjualan yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada saat tanah itu diperjualbelikan dengan besaran yang tinggi.

III. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN

1. Konsep Ekonomi Sumber Daya Hutan

Hutan adalah lapangan tempat bertumbuhan berbagai pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan (Wirakusumah, 2003).

Hutan adalah asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 2008). Menurut Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ekonomi sumber daya hutan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam memanfaatkan sumber daya hutan, sehingga fungsinya dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam jangka panjang. Dari sudut pandang sumber daya ekonomi, pada hutan terdapat sekaligus tiga sumber daya ekonomi (Wirakusumah, 2003), yaitu: lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan.

Hutan merupakan aset multiguna yang tidak hanya menghasilkan produksi seperti kayu, arang, pulp dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain ( non-use ) seperti: pelindung panas, pemecah angin dan pelindung tanah dari bahaya erosi. Hutan juga menjadi habitat satwa dan hewan lainnya yang penting dalam menjaga ekosistem dan keanekragaman hayati. Dengan kata lain hutan tidak hanya memberikan manfaat pada saat mereka ditebang (eksploitasi), namun juga banyak memberikan manfaat tatkala sumber daya ini dibiarkan (manfaat konservasi).

Terdapat empat pilar penting dalam praktek pengelolaan sumber daya hutan:

a. Common Pool Resources Masyarakat bebas untuk melakukan pengelolaan dengan caranya sendiri.

Sebagian masyarakat mengelolanya secara arif. Namun lebih banyak lagi yang mengelolanya secara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hardin (ahli biologi dan ekologi manusia), ketidakarifan dalam pengelolaan sumber daya Sebagian masyarakat mengelolanya secara arif. Namun lebih banyak lagi yang mengelolanya secara tidak bijaksana. Dalam terminologi Garret Hardin (ahli biologi dan ekologi manusia), ketidakarifan dalam pengelolaan sumber daya

b. State Property Resources Berangkat dari motivasi yang kuat untuk mengatur pengelolaan sumber daya

hutan, maka pemerintah menetapkan hutan sebagai suatu " state property ". Akuan itu sebenarnya merupakan tafsiran distortif dari konsep " sumber daya publik ". Dalam konteks yuridis, akuan tersebut merupakan tafsiran distortif dari konstitusi (UUD 45). Dalam konstitusi memang disebutkan, bahwa setiap sumber daya yang merupakan hajat hidup orang banyak, seperti halnya sumber daya hutan, dikuasai oleh negara. Di sini terdapat dua distorsi, yaitu: Pertama, pengertian "dikuasai" itu bias menjadi "dimiliki". Kedua, negara itu direpresentasikan menjadi pemerintah. Karena itu, negara (baca: pemerintah) lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya yang bersangkutan. Untuk mengukuhkan akuan tersebut, pemerintah (dan adakalanya para akademisi) kerap mengutip tesis Hardin di atas. Tragedi pendayagunaan sumber daya "publik" dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur dalam arti yang seluas-luasnya. Pola pengelolaan seperti itu menimbulkan sejumlah keberatan, antara lain: Pertama, terjadi konflik kepentingan. Dalam ekonomi pasar, pemerintah (sebagai representasi negara) memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan layanan. Dengan demikian, jika pemerintah juga melakukan kegiatan pengelolaan (baca: pengusahaan), maka itu hutan, maka pemerintah menetapkan hutan sebagai suatu " state property ". Akuan itu sebenarnya merupakan tafsiran distortif dari konsep " sumber daya publik ". Dalam konteks yuridis, akuan tersebut merupakan tafsiran distortif dari konstitusi (UUD 45). Dalam konstitusi memang disebutkan, bahwa setiap sumber daya yang merupakan hajat hidup orang banyak, seperti halnya sumber daya hutan, dikuasai oleh negara. Di sini terdapat dua distorsi, yaitu: Pertama, pengertian "dikuasai" itu bias menjadi "dimiliki". Kedua, negara itu direpresentasikan menjadi pemerintah. Karena itu, negara (baca: pemerintah) lantas bertindak sebagai pemilik, pengelola, dan pengawas terhadap tindakan pengelolaan sumber daya yang bersangkutan. Untuk mengukuhkan akuan tersebut, pemerintah (dan adakalanya para akademisi) kerap mengutip tesis Hardin di atas. Tragedi pendayagunaan sumber daya "publik" dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan negara (pemerintah) untuk menguasai dan mengatur dalam arti yang seluas-luasnya. Pola pengelolaan seperti itu menimbulkan sejumlah keberatan, antara lain: Pertama, terjadi konflik kepentingan. Dalam ekonomi pasar, pemerintah (sebagai representasi negara) memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan layanan. Dengan demikian, jika pemerintah juga melakukan kegiatan pengelolaan (baca: pengusahaan), maka itu

c. Private Property Resources Atas dasar keberatan-keberatan di atas, pada masa Orde Baru, sebagian fungsi pengelolaan sumber daya hutan itu diserahkan kepada swasta, khususnya untuk hutan produksi. Dengan cara itu, diharapkan terjadi peningkatan produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan pengusahaan hutan dan injeksi investasi oleh swasta. Kebijakan tersebut juga tidak luput dari keberatan- keberatan, misalnya: (1) Penyerahan kepada swasta dianggap berlebihan. Satu perusahaan HPH ada yang mengelola kawasan lebih dari sejuta hektar. Padahal menurut FAO (1996), kemampuan setiap perusahaan untuk mengusahakan hutan secara optimal adalah mencakup kawasan seluas 150-200 ribu hektar. (2) Karena fungsi tujuan swasta adalah maksimisasi keuntungan, maka dalam kegiatan pengusahaan hutannya kerap tidak mengindahkan azas-azas pelestarian lingkungan. Bagi perusahaan HPH, melakukan tindakan pelestarian senantiasa berkonotasi peningkatan biaya, dan dengan demikian dianggapnya sebagai tindakan manajemen yang tidak efisien. (3) Perusahaan swasta tidak adaptif terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tatanilai masyarakat lokal. Perusahaan tidak jarang melakukan tindakan pencurian (kayu besi dan sarang burung, yang secara kultural merupakan sumber daya "milik" masyarakat) dan perampasan (rotan). Karena itu, bagi masyarakat lokal, perusahaan HPH bukan merupakan "mitra" yang mengerti kepentingannya. (4) Seperti halnya negara, swasta juga telah membiaskan pengertian penguasaan menjadi "pemilikan", sehingga dalam praktek pengelolaannya swasta juga kerap berlaku-lajak.

d. Common Property Resources Pengelolaan sumber daya hutan sebagai "milik negara" maupun "milik swasta" telah meninggalkan jejak yang sama, yaitu kerusakan lingkungan dan

peminggiran masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan. Selanjutnya, didukung dengan ujicoba yang menghasilkan kesimpulan yang positif, maka advokasi internasional secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya merupakan solusi optimum terhadap masalah pengelolaan sumber daya hutan. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa Timur). Namun, agaknya, itu belum merupakan pertimbangan yang cukup signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus-terang atau malu- malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Keraguan itu kerap bersandar pada fenomena yang disebut sebagai tragedy of the common , yaitu suatu kerusakan sumber daya akibat pendayagunaan berlebihan tatkala sumber daya tersebut ditetapkan sebagai "milik umum". Padahal tragedi itu bukan merupakan implikasi logis yang berlaku umum pada setiap pengelolaan sumber daya milik umum, melainkan lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumber daya tersebut jauh lebih besar dibanding dengan kelimpahan sumber dayanya ( resources endowment ) atau tatkala kelembagaan pada masyarakat lokal belum tertata dengan baik. Pergeseran pola pengelolaan oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat agaknya merupakan kebutuhan umum, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Hobley (1996) melaporkan bahwa di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya hutan: kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Penerapan partisipasi masyarakat dalam spektrum yang luas di kedua negara tersebut ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan masyarakat lokal. India, Thailand, dan Nepal adalah negara-negara yang sudah cukup maju dalam soal pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Negara percaya bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan, pengetahuan, dan peminggiran masyarakat lokal. Jejak tersebut di tingkat lokal menimbulkan konflik dengan frekuensi kejadian yang cukup signifikan. Selanjutnya, didukung dengan ujicoba yang menghasilkan kesimpulan yang positif, maka advokasi internasional secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya merupakan solusi optimum terhadap masalah pengelolaan sumber daya hutan. Di Indonesia telah banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan dan kemauan yang baik untuk mengelola sumber daya hutan secara produktif dan lestari, misalnya seperti yang dilakukan masyarakat Krui (Lampung Barat) dan masyarakat Meru Betiri (Jawa Timur). Namun, agaknya, itu belum merupakan pertimbangan yang cukup signifikan bagi upaya-upaya pelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Para akademisi dan birokrat pada masa Orde Baru, secara terus-terang atau malu- malu, kerap meragukan keandalan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Keraguan itu kerap bersandar pada fenomena yang disebut sebagai tragedy of the common , yaitu suatu kerusakan sumber daya akibat pendayagunaan berlebihan tatkala sumber daya tersebut ditetapkan sebagai "milik umum". Padahal tragedi itu bukan merupakan implikasi logis yang berlaku umum pada setiap pengelolaan sumber daya milik umum, melainkan lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumber daya tersebut jauh lebih besar dibanding dengan kelimpahan sumber dayanya ( resources endowment ) atau tatkala kelembagaan pada masyarakat lokal belum tertata dengan baik. Pergeseran pola pengelolaan oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat agaknya merupakan kebutuhan umum, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Hobley (1996) melaporkan bahwa di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya hutan: kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Penerapan partisipasi masyarakat dalam spektrum yang luas di kedua negara tersebut ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan masyarakat lokal. India, Thailand, dan Nepal adalah negara-negara yang sudah cukup maju dalam soal pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat. Negara percaya bahwa masyarakat lokal itu memiliki kemampuan, pengetahuan, dan

Kebanyakan SDH tidak bersifat milik bersama ( common property resources ). Hampir sebagian besar hutan dikuasai oleh pemerintah dan hak pengelolaan yang diberikan kepada individu atau swasta melalui mekanisme perizinan.

Spesifikasi sumber daya hutan memiliki skala waktu ( time scale ) pertumbuhan waktu yang sangat panjang mulai dari sejak ditanam sampai ditebang (panen) pada beberapa jenis pohon tertentu bisa sampai 100 tahun. Lahan yang ditumbuhi hutan memiliki nilai pilihan ( option value ).

Sifat-sifat khas SDH menurut Duerr (1962), Leslie (1964), Worrell (1960) dalam Wirakusumah (2003), yaitu:

1) Proses produksi SDH tergantung alam dan memerlukan waktu lebih lama.

2) Memerlukan media atau persediaan yang cukup besar (luas dan volumenya), dengan sendirinya menuntut manajemen yang tidak sederhana.

3) Kayu sebagai salah satu produk SDH tidak mudah dibedakan apakah merupakan produksi akhir atau sebagai modal yang sedang dalam pertumbuhan.

4) Memiliki potensi menghasilkan banyak komoditi berupa barang dan jasa secara bersamaan ( joint products ).

5) Belum diukur nilainya secara tepat oleh hukum permintaan dan penawaran.

2. Fungsi Hutan

Beberapa fungsi hutan adalah sebagai berikut:

1) Menyediakan hasil hutan (kayu dan non kayu) untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah.

2) Mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan tanah.

3) Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik seperti udara bersih dan segar.

4) Memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, taman wisata serta sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.

3. Peranan Sumber Daya Hutan dalam Perekonomian

Sumber daya hutan memiliki peranan dalam perekonomian, yaitu:

1) Sebagai penghasil devisa bagi negara yang sangat penting untuk perbaikan ekonomi makro dan perdagangan global, terutama pada negara yang baru berkembang dan berbasis pada sumber daya alam. Peran SDH sebagai penghasil devisa dapat pula diwujudkan melalui kemampuan menyerap investasi seperti: pembangunan industri pulp, industri kertas, industri kayu lapis, meubel.

2) Sebagai penggerak sektor ekonomi lain, dimana hasil hutan memberi dukungan modal bagi pembangunan infrastruktur industri dalam negeri dan untuk penyediaan teknologi yang berasal dari impor. Banyak kegiatan yang dibiayai langsung dari hasil kayu tebangan untuk mendorong kegiatan perkebunan, sebagai hasil konversi hutan. Demikian pula hasil hutan berupa kayu maupun bukan kayu, adalah merupakan bahan baku industri, yang mendorong berkembangnya industri dan jasa (pengangkutan dan pemasaran). Lebih jauh peranan SDH ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan analisa Input-Output.

3) Meningkatkan Pendapatan Nasional dengan jalan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melalui penerimaan devisa dan pajak serta lapangan pekerjaan.

4) Sebagai penyedia lapangan kerja dalam lingkup: (a) kegiatan penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan; (b) kegiatan pemanenan hasil hutan (penebangan dan pengangkutan); (c) kegiatan dalam industri hasil hutan meliputi industri penggergajian, industri pulp dan kertas, industri wood working , industri plywood , industri gondorukem, dan industri-industri yang bahan baku utamanya dari hasil hutan seperti gula aren, damar, rotan; d) kegiatan jasa sektor kehutanan 4) Sebagai penyedia lapangan kerja dalam lingkup: (a) kegiatan penanaman, pemeliharaan dan perlindungan hutan; (b) kegiatan pemanenan hasil hutan (penebangan dan pengangkutan); (c) kegiatan dalam industri hasil hutan meliputi industri penggergajian, industri pulp dan kertas, industri wood working , industri plywood , industri gondorukem, dan industri-industri yang bahan baku utamanya dari hasil hutan seperti gula aren, damar, rotan; d) kegiatan jasa sektor kehutanan

5) Selaku penyedia pelayanan jasa lingkungan, dimana keberadaan SDH berfungsi sebagai perlindungan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan nilai-nilai estetis yang potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan baik. Pengembangan perekonomian pariwisata terutama ekowisata sangat dipengaruhi oleh bentang alam, keindahan dan kekhasan SDH. Peranan sumber daya ini tidak menghasilkan nilai uang langsung, tetapi menghasilkan nilai uang bagi sektor pariwisata. Di masa depan peranan jasa lingkungan berupa perbaikan tata air, pembersih udara dan nilai estetika mempunyai peranan yang sangat besar dalam keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

4. Aspek Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Prinsip dasar biologi pertumbuhan hutan menggunakan asumsi bahwa hutan merupakan satu unit cobort yang homogen. Satu unit cobort adalah pertumbuhan hutan yang menjadi basis analisis pengelolaan hutan adalah pertumbuhan agregat, dimana variabel pertumbuhan dan kematian mewakili seluruh kelompok umur hutan.

Berdasarkan asumsi ini, maka volume pertumbuhan suatu pohon diukur dalam volume kayu ( wood volume ) yang dinotasikan sebagai w(T) , sebagaimana ditunjukkan oleh Kurva Pertumbuhan Hutan Homogen di bawah.

Berdasarkan kurva pertumbuhan homogen (VAC) dapat digambarkan hubungan antara laju pertumbuhan kayu  w(T)/  t dengan volume kayu w(T) . Kurva ini menggambarkan hubungan antara laju pertumbuhan kayu (  w(T)/  t ) dan volume kayu itu sendiri ( w(T) ). Laju pertumbuhan akan mencapai titik maksimum pada w(T max ) yakni pada periode T max .

Pengelolaan hutan dapat ditentukan dengan cara memperoleh volume kayu yang paling maksimum ( normal forest ), di mana setiap pohon mengalami siklus hidup yang sama selama periode rotasi, yaitu interval antara periode menebang.

Waktu tebang akan menentukan lamanya periode rotasi setiap pohon. Tujuan pemanfaatan hutan adalah memilih periode rotasi yang akan menghasilkan produksi yang lestari. Hal ini merupakan pendekatan Maximum Sustained Yield (MSY).

Pendekatan Produksi Maksimum Kayu Lestari ( Maximum Sustained Yield ) dapat digambarkan sebagai berikut:

 Kurva MAI ( Mean Annual Increament ) menggambarkan rata-rata volume tahunan.

Pengelolaan hutan akan berusaha memaksimumkan MAI.

matematis, MAI diturunkan dari fungsi w(T)/T terhadap waktu:

Secara

� 2 Persamaan (5.1) Disederhanakan menjadi:

↔ �� = � Persamaan (5.2) w(T) adalah  w(T)/  t merupakan pertumbuhan marginal dari volume kayu

( Current Annual Increamment , CAI). Berdasarkan Persamaan (5.2), rotasi penebangan yang memaksimumkan MAI akan diperoleh pada saat produksi marginal sama dengan produksi rata-rata.

Bila digambarkan, rotasi pada MSY dimana MAI maksimum adalah:

Gambar disamping menunjukan bahwa rotasi pada MSY akan diperoleh pada saat kemiringan ( slope ) kurva VAC sama dengan slope garis lurus produksi rata- rata ( w(T)/T) ).

Pendekatan MSY memiliki beberapa kelemahan, yaitu: tidak memperhitungkan harga dan biaya ekstraksi sumber daya hutan. Hutan merupakan aset yang bisa ditebang sekarang atau pada masa yang akan datang. Pilihan tersebut akan menimbulkan aspek intertemporal sumber daya hutan yang menyebabkan munculnya opportunity cost yang digambarkan dengan discount rate . Tingkat potongan ( discount rate ) adalah menyamakan atau mengkonversikan nilai masa datang ke nilai sekarang yang equivalen dengan discount factor tertentu. Rumusnya adalah:

i : tingkat suku bunga

n : jumlah waktu yang akan datang sejak dari sekarang Contoh penggunaan :  Seorang pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berkehendak untuk

membayar/menyetorkan Iuran Hasil Hutan (IHH) sekaligus untuk jangka waktu 5 tahun mendatang. Dengan memperhitungkan tingkat bunga 15 %, diperkirakan jumlah IHH yang harus dibayarkan sekaligus sampai pada tahun ke-5 sebesar 3,85 milyar rupiah. Dengan tingkat bunga 15% dapat dihitung nilai sekarang yang harus dibayar apabila pemegang HPH berkehendak membayar saat ini.

 Persoalannya adalah berapakah nilai sekarang dari IHH sebesar 3,85 milyar rupiah tersebut?

 Nilai sekarang dari IHH tersebut adalah mendiskontokan uang 3,85 milyar rupiah ke nilai sekarang, yaitu:

 Jadi nilai IHH sebesar Rp 3.850.000.000 pada jangka waktu 5 tahun yang datang, nilainya pada saat ini adalah Rp 1.914.184.885,6.

Terdapat 2 model dalam Penentuan Rotasi Optimum, yaitu: (1) Model Fisher untuk Rotasi Tunggal  Misalkan nilai produk akhir hasil hutan yang diperoleh dari penebangan hutan yang berumur T per hektar adalah R(T), biaya ekstraksi termasuk biaya penebangan dan investasi adalah C(T), ratio penerimaan dan volume kayu [ R(T)/w(T) ] meningkat terhadap T ( site premium ), sedangkan ratio biaya ekstraksi dan volume kayu [ C(T)/w(T) ] menurun terhadap T ( economic of size ).

 Kedua kondisi tersebut mengimplikasikan kondisi berikut:

Hal ini berarti laju pertumbuhan penerimaan hasil hutan lebih besar dari pada persentase laju pertumbuhan volume hutan.

 Misalkan pada nilai bersih pemanfaatan hutan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya: =

Persamaan (5.4) Nilai V(T) sudah termasuk nilai yang diperoleh pemilik lahan ( return to landowner ) atau stumpage value dan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan hutan ( return to logger ).

 Model Fisher melihat lahan yang ditanami pohon produk hutan dan kemudian menentukan kapan hutan itu harus ditebang. Sekali hutan ditebang habis

( clear cut ), maka lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk pemanfaatan lainnya.

 Dengan menggunakan kerangka waktu yang kontinyu, masalah yang dihadapi oleh pemilik HPH dalam memilih waktu tebang (T) yang tepat yang akan memaksimumkan fungsi penerimaan dalam present value :

max = −�� Persamaan (5.5) dimana −�� adalah discount rate (suku bunga), PV ( present value ) adalah nilai di masa yang akan datang dinilai pada waktu sekarang dengan

menggunakan discount rate .  Pemecahan masalah menurut Persamaan (5.5) adalah dengan menurunkan

persamaan tersebut terhadap T dan menyamakannya dengan nol:

Dimana [ V*(T) merupakan turunan dari V(T) terhadap waktu.  Selanjutnya Persamaan (5.6) diserhanakan menjadi:

Persamaan (5.7) Dimana : biaya opportunitas dari aset (kapital).

 Persamaan (5.7) merupakan Golden Rule dan s disebut juga dengan Fisher Rotation , yaitu: hutan harus ditebang pada laju pertumbuhan dengan manfaat

yang diperoleh sama dengan biaya opportunitas aset/kapital. Dengan kata lain jangan melakukan penebangan pada saat [ V*(T)/V(T) > .

(2) Model Faustmann untuk Rotasi Berkelanjutan  Menurut model ini, pengelolaan hutan merupakan proses berkelanjutan,

ketika hutan ditebang, penanaman dilakukan kembali sehingga proses tebang dan tanam dilakukan secara berkelanjutan. Proses ini disebut juga urutan penebangan ( sequent harvest ) yang digambarkan sebagai berikut:

 Dengan pola penebangan yang berkelanjutan, masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah dengan memodifikasi Persamaan Fisher, yaitu

Persamaan (5.6) menjadi: max

Persamaan (5.8)  Persamaan di atas mengasumsikan bahwa parameter ekonomi seperti harga,

biaya, dan discount rate tidak berubah sepanjang waktu. Demikian juga dengan parameter biologi

 Pertanyaan mendasar: kapan rotasi yang optimal, dalam hal ini T,T1,T2,T3 dan seterusnya yang memberikan manfaat present value yang maksimum?

 Proses interval waktu di atas dapat disederhanakan, mengingat pada T2, misalnya waktu ke depan tampak sama saja dengan pada saat T1, sehingga

strategi optimal penebangan juga sama pada setiap periode waktu yang strategi optimal penebangan juga sama pada setiap periode waktu yang

Persamaan (5.9)  Komponen di dalam kurung [ ] merupakan bilangan urut ( series ) seperti

max =

[ −� � + −� � + −� � +⋯]

halnya proses discounting dengan waktu tak terhingga, sehingga Persamaan (5.9) dapat disederhanakan menjadi:

Persamaan (5.10) selanjutnya dapat disederhanakan lagi menjadi:

 Upaya untuk memaksimumkan nilai PV dari Persamaan (5.11) dilakukan dengan jalan menurunkan persamaan tersebut terhadap waktu dan menyamakannya dengan nol:

 Dengan penyederhanaan aljabar, persamaan di atas dapat ditulis menjadi:

selanjutnya dapat disederhanakan menjadi:

�� =

−� −��

Persamaan (5.14)

IV. EKONOMI SUMBER DAYA AIR

1. Pengertian

Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat. Sumber air adalah empat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan, keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup baik pada waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang.

Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal, berhasilguna dan berdayaguna. Pengendalian dan penanggulangan daya rusak air adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air yang dapat berupa banjir, lahar dingin, ombak, gelombang pasang, dan lain-lain. Pengelolaan adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Penatagunaan sumber daya air adalah upaya untuk menentukan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air pada sumber air.

Penyediaan sumber daya air adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan air dan daya air untuk memenuhi berbagai keperluan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. Penggunaan sumber daya air adalah pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media dan atau materi. Pengembangan sumber daya air adalah upaya peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air tanpa merusak keseimbangan lingkungan. Pengusahaan sumber daya air adalah upaya pemanfaatan sumber daya air untuk tujuan komersial.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24