Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Pada Penyimpanan Suhu Rendah

PERUBAHAN MUTU BAWANG MERAH
(Allium ascalonicum L.) PADA PENYIMPANAN
SUHU RENDAH

FITRIA WIDIAWATI

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Mutu
Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Pada Penyimpanan Suhu Rendah adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Fitria Widiawati
NIM F14100122

ABSTRAK
FITRIA WIDIAWATI. Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Pada Penyimpanan Suhu Rendah. Dibimbing oleh Y ARIS PURWANTO
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan produk hortikultura
yang mudah rusak. Bawang merah yang sudah dipanen dikeringkan di lahan dan
selanjutnya disimpan di gudang pada suhu dan RH ruangan. Untuk penyimpanan
jangka panjang, cara penyimpanan ini menyebabkan susut bobot yang tinggi.
Metode penyimpanan pada suhu rendah secara umum digunakan untuk
memperpanjang umur simpan produk hortikultura. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis perubahan mutu bawang merah selama penyimpanan
suhu rendah. Sampel yang digunakan adalah bawang merah yang sudah
dikeringkan pada waktu pengeringan yang berbeda. Proses pengeringan
menghabiskan lama berturut-turut selama 2, 9, dan 14 hari, kemudian suhu
penyimpanan diatur pada 5°C dan 10°C dengan RH 65-75%, serta suhu ruang

(dengan RH bebas) selama delapan minggu. Pengukuran menunjukkan bahwa
tingkat kerusakan bawang merah untuk sampel yang dikeringkan selama 2 dan 9
hari dan disimpan pada suhu 5°C menunjukkan kerusakan yang rendah, sehingga
bawang merah dapat disimpan lebih lama.
Kata kunci: bawang merah, pengeringan, suhu rendah

ABSTRACT
FITRIA WIDIAWATI. Quality Change of Shallot (Allium ascalonicum L.) Under
Low Temperature Storage. Supervised by Y ARIS PURWANTO
Shallot (Alium ascalonicum L.) is perishable horticultural products. After
harvesting, shallots are placed in the field for 2-14 days to allow curing and drying
process to reduce the water content. The period of drying in the field is depended
on the market destination. For those shallots to be transported to long distance
market, the drying period is carried out during 14 days. For those shallots to be
transported to near market, only curing process for 2-3 days are carried out. After
curing and drying process, usually dried shallots are stored in the warehouse at
condition of room and RH temperature. For long storage period, this conventional
storage method cause high loss. Low temperature storage is common method to
extend post harvest life of horticultural products. The use of low temperature
storage could be expected to prolong postharvest life of shallot. The objective of

this study was to investigate the change in quality of shallot during low
temperature storage. Three different drying periods of shallots, i.e. 2, 9 and 14
days were used as sample. The storage temperature and RH were set at 5, 10°C
and 65-75%. Room and RH temperature were used as control condition. The
change in quality was observed for period storage of eight weeks. It was resulted
that for those shallots with drying treatment of 2 and 9 days and stored at 5°C
showed the lowest weight loss and percentage of damage. It can be concluded that
temperature storage of 5°C showed the best temperature storage condition for
shallot.
Key words: drying, low temperature, shallot

PERUBAHAN MUTU BAWANG MERAH
(Allium ascalonicum L.) PADA PENYIMPANAN
SUHU RENDAH

FITRIA WIDIAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik

pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Perubahan Mutu Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Pada
Penyimpanan Suhu Rendah
Nama
: Fitria Widiawati
NIM
: F14100122

Disetujui oleh

Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Desrial, MEng
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul dalam penelitian ini adalah Perubahan Mutu Bawang
Merah (Allium ascalonicum L.) Pada Penyimpanan Suhu Rendah yang
dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil
Pertanian serta Laboratorium Mutu dan Kemanan Pangan SEAFAST
CENTRE sejak bulan Februari hingga April 2014.
Dengan telah selesainya karya ilmiah ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc selaku pembimbing atas saran dan kritik
bagi penulis

2. Dr Ir Emmy Darmawati, MSi dan Dr Ir Leopold O. Nelwan, MSi
selaku dosen penguji atas saran dan kritik bagi penulis
3. Pak Hadi atas bantuannya dalam membantu penyediaan bawang merah
pada penelitian ini
4. Ayah, Mama, Teh Indah, A’uun, Khusnul, dan Adzkia atas doa dan
dukungan dan semangat positifnya untuk penulis selama pembuatan
karya ilmiah ini
5. Kak Mutia atas bantuannya dari awal pembuatan proposal sampai
akhir penelitian dan sarannya bagi penulis selama penelitian
6. Mas Abas dan Pak Taufik atas bantuannya selama penelitian
berlangsung
7. Teman satu bimbingan Rosma, Aji, dan Puri atas bantuan dan
semangatnya bagi penulis
8. Teman-teman Vera, Mungil, Septa, Silvia, Indi, dan teman-teman
ANTARES 47 atas kebersamaannya, bantuan, dan semangatnya bagi
penulis
9. Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu
penulis selama penelitian.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan
memberikan kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan.


Bogor, September 2014

Fitria Widiawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


3

METODE

6

Bahan dan Alat

6

Prosedur Penelitian

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Susut Bobot


12

Kadar Air

15

Tingkat Kekerasan

17

Kadar VRS

19

Tingkat Kerusakan

22

SIMPULAN DAN SARAN


25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI No. 01-3159-1992
2 Persayaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar
3 Hasil pengamatan mutu awal bawang merah

3
4
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Diagram alir proses penelitian bawang merah
7
Proses pengeringan di lahan berdasarkan waktu pengeringan
8
Proses sortasi dan cleanning pada bawang merah
9
Pengemasan bawang merah menggunakan rajut plastik
9
Penyimpanan bawang merah yang telah dikemas dalam refrigerator
10
Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
2 hari selama penyimpanan
13
Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
9 hari selama penyimpanan
14
Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
14 hari selama penyimpanan
14
Penampakan keriput pada umbi bawang merah
14
Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
2 hari selama penyimpanan
16
Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
9 hari selama penyimpanan
16
Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
14 hari selama penyimpanan
17
Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan
18
Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan
18
Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
19
Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
2 hari selama penyimpanan
20
Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
9 hari selama penyimpanan
20
Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan
14 hari selama penyimpanan
21
Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan
22
Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan
22
Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
23
Penampakan kerusakan pada umbi bawang merah akar dan tunas
24
Penampakan kerusakan pada umbi bawang merah busuk dan hampa
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Tabel dan grafik suhu serta RH selama penyimpanan pada bawang merah
Data pengukuran dan perhitungan susut bobot (%) bawang merah selama
penyimpanan pada perlakuan waktu pengeringan serta suhu penyimpanan
Data pengukuran dan perhitungan kadar air (%) bawang merah selama
penyimpanan pada perlakuan waktu pengeringan serta suhu penyimpanan
Data pengukuran dan perhitungan kekerasan (N) bawang merah selama
penyimpanan pada perlakuan waktu pengeringan serta suhu penyimpanan
Data pengukuran dan perhitungan kadar VRS (µ Eq/g) bawang merah selama
penyimpanan pada perlakuan waktu pengeringan serta suhu penyimpanan
Data pengukuran dan perhitungan kerusakan (%) bawang merah selama
penyimpanan pada perlakuan waktu pengeringan serta suhu penyimpanan

28
29
30
32
34
36

2

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan jenis produk hortikultura
yang sudah sangat dikenal di Indonesia, selain sebagai bahan atau bagian dari
bumbu masakan, acar atau dimakan segar, dan obat. Kebutuhan bawang merah
menjadi tinggi karena selalu ada dalam bumbu masakan. Bawang merah termasuk
tanaman semusim dan umumnya ditanam serentak pada saat musim tanam tiba,
sehingga ketersediaannya melimpah pada musim panen namun kurang bila musim
panen telah lewat. Tidak ketersediaannya bawang merah sepanjang tahun dapat
mengakibatkan perubahan harga dengan fluktuasi yang besar.
Selama ini petani di daerah Brebes melakukan penanganan pascapanen
bawang merah dengan cara melakukan proses curing atau pelayuan, pengeringan,
dan penyimpanan. Penanganan pascapanen bawang merah harus dilakukan segera
setelah pemanenan karena bawang merah termasuk komoditi hortikultura yang
bersifat mudah rusak. Kerusakan-kerusakan pascapanen yang sering terjadi adalah
penurunan kadar air yang berlebihan, pertumbuhan tunas, pelunakan umbi, dan
pertumbuhan akar.
Tahap awal penanganan pascapanen bawang merah adalah proses curing.
Sejauh ini proses curing bawang merah dilakukan petani dengan cara menjemur
bawang merah basah (setelah panen) selama dua sampai tiga hari dengan tujuan
memperbaiki lapisan yang rusak pada bawang merah. Penjemuran dilakukan
dengan cara menghamparkan bawang merah di lahan yang disusun 5-7 baris untuk
setiap bedengan dan umbi bawang merah disusun sedemikian rupa sehingga umbi
tertutupi oleh daun dengan tujuan umbi dapat terhindar dari sinar matahari secara
langsung karena sinar matahari secara langsung pada proses curing dapat
mengakibatkan umbi yang keriput dan rusaknya jaringan pelindung.
Setelah proses curing bawang merah dikeringkan di lahan dibawah sinar
matahari. Tujuan dari pengeringan tersebut adalah mengurangi kadar air bahan
sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang
dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti, sehingga bahan yang
dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (Nugraheni 2004). Petani
di Brebes mengeringkan bawang merah dengan waktu pengeringan yang berbeda
yaitu 2, 9, dan 14 hari. Waktu pengeringan 2 hari sering disebut bawang basah.
Hasil dari umbi bawang merah tersebut biasanya dijual di sekitar daerah lokal
penanaman bawang merah tersebut. Waktu pengeringan 9 hari disebut kering
lokal. Hasil dari umbi bawang merah tersebut biasanya dijual ke luar kota Brebes
dan luar pulau. Waktu pengeringan 14 hari disebut kering askip (kondisi kering
dengan daya tahan simpan 2-3 bulan). Hasil dari umbi bawang merah tersebut
biasanya diekspor ke luar negeri. Bawang merah yang sudah diberikan perlakuan
pengeringan disimpan dalam gudang, ruang dapur atau serambi yang terbuka
dimana kondisi udara sangat dipengaruhi oleh udara sekitarnya tetapi kelemahan
cara ini adalah banyaknya bawang merah yang tercecer dan menyebabkan
kehilangan kadar air yang berlebihan serta mengakibatkan tingginya susut bobot.

2

Penyimpanan yang umum dilakukan di Indonesia adalah penyimpanan di
gudang pada suhu 25-30°C dengan RH 70-80%. Cara penyimpanan ini akan
menghasilkan susut bobot atau kehilangan bobot sekitar 40% setelah tiga bulan
penyimpanan. Perubahan mutu pada bawang merah berupa kerusakan, kekerasan,
dan susut bobot yang terjadi selama penyimpanan. Perubahan mutu lain yang
dapat terjadi yaitu perubahan kadar volatile reducing substance (VRS). VRS
adalah bahan kimia atau zat-zat kimia yang mudah menguap dan memberikan
aroma atau bau khas pada bawang merah. Untuk mempertahankan mutu bawang
merah diperlukan penanganan pascapanen yang tepat. Salah satu cara yang
diharapkan dapat mempertahankan mutu bawang merah adalah dengan cara
menyimpan bawang merah pada suhu rendah.
Perumusan Masalah
Penurunan mutu bawang merah diindikasikan dengan timbulnya kerusakan
secara fisik pada bawang merah seperti tumbuhnya tunas. Kehilangan air juga
dapat mengakibatkan peningkatan susut bobot pada bawang merah. Untuk
mempertahankan mutu bawang merah diperlukan penanganan pascapanen yang
tepat. Penyimpanan bawang merah pada suhu rendah diharapkan mampu
mempertahankan mutu bawang merah selama penyimpanan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan mutu bawang
merah (Allium ascalonicum L.) pada penyimpanan suhu rendah.

Ruang Lingkup Penelitian
Sampel bawang merah diperoleh dari Brebes, dikirim melalui darat dengan
waktu perjalanan 18 jam. Bawang merah yang diterima terdiri dari tiga kategori
waktu pengeringan yaitu 2, 9, dan 14 hari. Pengeringan dilakukan secara alami
menggunakan sinar matahari di lahan bekas tanam bawang merah tersebut.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah termasuk divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae,
class Monocotyledonae, ordo Asparagales (Lilliiflorae), famili Alliacea
(Amaryllidaceae), genus Allium, dan species Allium ascalonicum L. (Brewster
1994). Menurut Wibowo (2004), bawang merah memiliki sifat yang hampir sama
dengan bawang putih yang tidak tahan dengan kekeringan karena memiliki sistem
perakaran yang pendek, selain itu bawang merah tidak tahan dengan air hujan dan
tempat yang selalu basah dan becek. Tempat yang paling baik untuk
membudidayakan bawang merah adalah daerah yang bercuaca cerah dengan suhu
udara yang tinggi, sebaiknya bawang merah baik disimpan pada tempat yang
terbuka serta memperoleh sinar matahari yang cukup. Bawang merah dapat
ditanam di sawah, tegalan, kebun, dan pekarangan. Tanah yang gembur dan subur
banyak mengandung bahan organis atau humus sangat baik untuk bawang merah.
Bawang merah adalah produk pertanian yang berbentuk umbi lapis dengan
memiliki sifat yang mudah mengalami kerusakan. Jenis kerusakan yang terjadi
berupa pelunakan umbi, keriput, keropos, busuk, mengalami pertunasan,
pertumbuhan akar, dan tumbuhnya jamur. Kerusakan-kerusakan tersebut pada
proses penyimpanan akan menyebabkan turunnya kualitas umbi bawang merah.
Selain kehilangan bobot yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga bawang
merah di pasaran (Komar et al. 2001).
Berdasarkan SNI bawang merah SNI 01-3159-1992, persyaratan mutu
bawang merah digolongkan dalam 2 jenis mutu yaitu Mutu I dan Mutu II yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 01-3159-1992
Syarat
Karakteristik
Mutu I
Mutu II
Varietas
Seragam
Seragam
Ketuaan
Tua
Cukup tua
Kekerasan
Keras
Cukup keras
Diameter
Min. 1,7 cm
Min. 1,3 cm
Kerusakan (b/b)
Maks. 5%
Maks. 8%
Busuk (b/b)
Maks. 1%
Maks. 2%
Kotoran (b/b)
Tidak Ada (%)
Tidak ada
Sumber : Departemen Pertanian (1999)
Selain syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI bawang merah segmen pasar
juga menetapkan persyaratan-persyaratan dan mengelompokan dalam beberapa
kelas mutu yang disajikan pada Tabel 2.

4

Tabel 2 Persayaratan mutu bawang merah sesuai dengan permintaan segmen pasar
Kelas Mutu
Kriteria
Mutu I
Mutu II
Ukuran Diameter
Besar, diameter >2,5 cm Kecil, diameter 1,5-2,5 cm
Umbi
Warna Umbi
Merah ungu sampai putih Merah ungu sampai putih
Kesegaran
Segar
Segar
Kadar Air (%)
80-85%
75-80%
Kotoran
Bebas, tidak berakar
Maks.0,1%, tidak berakar
Kekeringan/layu
3%
3-5%
Hama/penyakit
Bebas serangga
Bebas serangga
Sumber : Departemen Pertanian (1999)
Pengeringan
Pengeringan dengan cara penjemuran digunakan untuk mendapatkan hasil
tertentu, sedangkan pengeringan dengan alat pengering buatan akan mendapatkan
hasil seperti yang diharapkan asalkan kondisi pengeringan dipilih dengan benar
dan sewaktu pengeringan dikontrol dengan baik (Sutijahartini 1985).
Prinsip proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air dari bahan ke
udara karena perbedaan kandungan air antara udara dengan bahan yang
dikeringkan. Tujuan mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis yang dapat menyebabkan
kebusukan terhambat atau terhenti (Wijandi 1987).
Prinsip pengeringan adalah terjadinya penguapan air dari bahan atau
material ke udara karena perbedaan kandungan air antara udara dengan bahan
yang dikeringkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sampai
batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis dapat
menyebabkan terhambat atau terhentinya kebusukan (Histifarina dan Musaddad
1998).
Menurut Karno (2011), kegagalan dalam pengeringan pada umbi dapat
menyebabkan turunnya daya simpan, umbi ascalonicum membusuk, dan
tumbuhnya akar. Selama ini pengeringan yang dilakukan oleh petani adalah
dengan menggunakan sinar matahari. Hal ini dapat dilakukan selama 7-9 hari
hingga menghasilkan kadar air hingga 86,7%.
Curing atau Pelayuan
Curing atau pelayuan dan pengeringan merupakan proses penurunan kadar
air pada daun dan leher umbi bawang merah. Pelayuan dan pengeringan dilakukan
dengan menjemur umbi bawang merah di bawah sinar matahari selama 2-3 hari
setelah panen atau sampai daun menjadi setengah kering dan diusahakan umbi
bawang merah tidak terkena secara langsung sinar matahari (BPTP Jawa Tengah
2011).

5

Curing atau pelayuan dilakukan sebelum pengeringan yang bertujuan untuk
mendapatkan warna kulit umbi bawang yang lebih merah dan mengkilap,
mempersingkat waktu pengeringan, dan membatasi pengeluaran air umbi yang
berlebihan pada proses pengeringan dengan terjadinya penyempitan leher umbi
selama proses pelayuan. Pengaruh yang ditimbulkan dari pelayuan ini adalah
adanya perubahan bentuk atau ukuran pada umbi dimana apabila diamati bentuk
bagian pangkal umbi terlihat agak lonjong, tetapi setelah dilakukan pelayuan akan
terlihat membesar dan agak rata. Hal ini dapat terjadi karena selama itu masih
terjadi proses metabolisme yang diduga mengakibatkan terjadinya pembesaran sel
umbi bawang merah (Badan Litbang Pertanian 2012).
Pada umumnya pelayuan dilaksanakan dengan cara penjemuran selama 2-3
hari pertama setelah dipanen dibawah terik matahari langsung. Penjemuran
dilaksanakan dalam barisan yang berjumlah 5-7 baris dan disusun sedemikian
rupa sehingga umbi tertutupi oleh daun, dengan demikian umbi dapat terhindar
dari sengatan matahari secara langsung. Sengatan matahari secara langsung pada
proses pelayuan dapat mengakibatkan terjadinya keriput dan rusaknya jaringan
pelindung pada umbi sehingga menyebabkan pemudaran warna kulit umbi (Badan
Litbang Pertanian 2012).
Proses curing adalah sebagai cara yang efektif dan efisien untuk mengurangi
kehilangan air dan perkembangan penyakit pada beberapa sayuran umbi. Curing
pada bawang merah dan bawang putih adalah berupa pengeringan di bagian kulit
luar untuk membentuk barier perlindungan terhadap kehilangan air dan infeksi
(Made 2001).
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), Curing pada bawang merah
adalah proses pengeringan batang semu dan bagian luar daun yang nantinya
membentuk semacam sisik kering. Curing pada bawang merah setelah panen
bertujuan untuk menyembuhkan luka akibat pemanenan, mencegah invasi
mikroorganisme ke dalam batang semu melalui jaringan yang luka, mengeringkan
akar dan kulit bawang, mengurangi kehilangan air serta untuk pembentukan
lapisan gabus epidermis baru disebut juga peridemis luka.
Penyimpanan Suhu Rendah
Sanny (2008), menyatakan penyimpanan suhu rendah adalah proses
pengawetan bahan pangan yang dilakukan di atas suhu bekunya. Secara umum,
pendinginan dilakukan pada suhu 2.2-15.5°C yang akan tergantung pada sifat
bahan-bahan yang disimpannya. Penyimpanan ini memerlukan adanya
pengontrolan suhu meliputi penggunaan suhu, kelembaban, dan kondisi
lingkungan.
Bawang merah yang di simpan pada suhu 0°C dengan RH 70-75%
mengalami kehilangan bobot sebesar 14.2% selama penyimpanan 20-24 minggu
(Pantastico 1986). Untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur
simpan bibit bawang-bawangan diperlukan teknik penyimpanan dengan
pengaturan suhu dan kelembaban gudang penyimpanan. Penyimpanan bawang
pada suhu rendah (0-7.5°C) dan suhu tinggi (25-30°C) dengan RH lingkungan 6580% dapat menunda pertunasan bawang merah (Soedomo 2006), sedangkan

6

Miedema (1994) melaporkan bahwa suhu penyimpanan 5°C dan 30°C dapat
menghambat pertumbuhan tunas umbi bawang merah.

VRS (Volatile Reducing Substance)
Menurut Wati (2007), komponen flavor bawang putih adalah kadar VRS
karena sebagian besar komponen flavor pada bawang putih bersifat volatil dan
bersifat mereduksi. Sifat mereduksi ini disebabkan oleh ikatan kovalen sulfida dan
gugus allyl didalamnya. Ikatan kovalen dan gugus allyl ini akan bereaksi dengan
oksidator kuat seperti KMnO4. Tanam-tanaman dari genus Allium memiliki
karakteristik rasa dan aroma yang sangat kuat, disebabkan karena adanya
senyawa-senyawa sulfur didalamnya (Fennema 1996).

METODE
Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga April 2014 di
Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP),
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB serta Laboratorium Mutu dan
Kemanan Pangan SEAFAST CENTRE.
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refrigerator untuk
penyimpanan bawang merah pada suhu 5°C dan 10°C, termometer dry wet untuk
pengukuran RH dan suhu, timbangan digital, timbangan analitik, oven, rheometer
untuk pengujian kekerasan bawang dan alat analisa kadar VRS. Bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang merah varietas Bima Brebes,
kemasan rajut plastik, dan kapur (CaCO3) untuk menstabilkan RH.

7

Prosedur Penelitian
Diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Bawang Merah
Curing atau pelayuan tiga hari

Pengeringan
selama 9 hari

Pengeringan
selama 14 hari

Analisis mutu awal bawang merah (bobot
awal, kadar air, tingkat kekerasan, dan
kadar VRS
Sortasi dan Cleanning
Bawang merah disimpan pada kemasan rajut
plastik sebanyak 2 kg untuk tiap kemasan

Penyimpanan pada suhu
5°C dan RH 65-70%

Penyimpanan pada suhu
10°C dan RH 65-70%

Penyimpanan pada Suhu
Ruang dan RH Bebas

Penyimpanan Selama 2 bulan atau 8 minggu
(Pengamatan setiap 2 minggu sekali)
Analisis mutu bawang merah (susut
bobot, kadar air, tingkat kekerasan,
kadar VRS, dan tingkat kerusakan
Analisis data
Selesai
Gambar 1 Diagram alir proses penelitian bawang merah

8

Persiapan bahan
Bawang merah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang merah
varietas Bima Brebes dengan umur panen 60 HST. Bawang merah ini telah
diberikan perlakuan curing atau pelayuan kurang lebih selama tiga hari, kemudian
dilakukan proses pengeringan dengan waktu pengeringan yang berbeda yaitu
selama 2, 9 dan 14 hari (Gambar 2). Latar belakang digunakannya perbedaan
waktu pengeringan yaitu melihat kebiasaan petani dalam melakukan pengeringan
di lahan pada umbi bawang merah sebelum penyimpanan pada gudang atau
penjualan.
Pengeringan dilakukan di lahan dengan suhu 37-40°C. Pengeringan bawang
merah di lahan terlebih dahulu dilakukan curing yang dilanjutkan dengan cara
tradisional yaitu dijemur di bawah sinar matahari.

(a)

(b)

(c)
Gambar 2 Proses pengeringan di lahan dengan waktu pengeringan (a) 2 hari, (b) 9
hari, dan (c) 14 hari

9

Sortasi dan cleanning
Bawang merah disortasi dan dibersihkan dari kotoran dan lembar-lembar
daun kering serta umbi bawang merah yang terserang hama ataupun yang
mengalami kerusakan seperti pada Gambar 3. Hal ini dilakukan agar mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh mikroba pada bawang merah selama
penyimpanan.

Gambar 3 Proses sortasi dan cleanning pada bawang merah

Penimbangan dan pengemasan bahan
Bawang merah ditimbang sebanyak 2 kg untuk setiap kemasan kemudian
dikemas dengan pengemas rajut plastik seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Pengemasan bawang merah menggunakan rajut plastik
Penyimpanan bahan yang telah dikemas
Bawang merah yang telah dikemas selanjutnya disimpan dalam refrigerator
yang bersuhu 5°C dan 10°C dengan RH 65-70%, serta suhu ruang (25-27°C)
dengan RH yang bebas, kemudian disusun agar mempermudah pengeluaran bahan
apabila akan dianalisa seperti pada Gambar 5. Bawang merah disimpan sesuai
dengan perlakuan yang telah diberikan. Sebelumnya dilakukan pengamatan awal
terlebih dahulu seperti bobot awal, kadar air, tingkat kekerasan, dan kadar VRS.

10

Gambar 5 Penyimpanan bawang merah yang telah dikemas dalam refrigerator

Parameter Pengamatan
Susut Bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan mengukur bobot awal sebelum
penyimpanan, setelah itu bawang merah disimpan selama delapan minggu atau
dua bulan. Setiap dua minggu sekali bobot bawang merah diukur. Pengukurannya
menggunakan timbangan digital. Persamaan yang digunakan untuk menghitung
susut bobot adalah sebagai berikut:
W  Wa
Susut Bobot (%) 
x 100%
W
Dimana: W
= bobot bahan sebelum penyimpanan (gram)
Wa = bobot bahan setelah penyimpanan (gram)
Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Bawang merah ditimbang sebanyak 15 gram dalam cawan yang diberi alumunium
foil yang telah diketahui berat kosongnya, kemudian dikeringkan dalam oven
dengan suhu sekitar 100-105°C selama 1 jam, setelah itu bawang merah
didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Bawang merah
dipanaskan kembali dalam oven selama 2 jam, setelah itu bawang merah
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang sampai
diperoleh berat yang konstan, yaitu selama 20 jam. Setelah konstan waktu
pengukuran kadar air dapat ditentukan untuk pengukuran selanjutnya.
Pengurangan berat merupakan banyaknya air yang diuapkan dari bahan dengan
perhitungan berikut (AOAC 1984):
Kadar Air (%) 

bobot awal sampel (g) - bobot akhir sampel (g)
x 100%
bobot awal sampel (g)

11

Kadar VRS (Farber dan Ferro 1956)
Sebanyak 5 g sampel bawang merah ditambah 20 ml air destilata, kemudian
ditambahkan 10 ml KMnO4 0.02 N menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam
gelas reaksi pada alat VRS. Larutan tersebut diaerasi dengan pompa vakum
selama kurang lebih 40 menit, setelah aerasi dilakukan semua KMnO4
dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dibilas dengan air destilata, kemudian
ditambahkan 5 ml H2SO4 6 N dan 3 ml KI 20%, selanjutnya dititrasi sampai
warna menjadi kuning, setelah itu ditambah indikator amilum, dititrasi kembali
dengan Na2S2O3 0.02 N sampai warna biru hilang. Rumus yang digunakan yaitu :
VRS 

(bl  c) x N x 1000
b

Dimana :
VRS
= Volatile Reducing Substance (µ Eq/g)
bl
= jumlah larutan Na2S2O3 titrasi blanko (ml)
c
= jumlah larutan Na2S2O3 titrasi contoh (ml)
b
= berat contoh
N
= normalitas larutan Na2S2O3
Kekerasan Bahan
Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan produk terhadap jarum
penusuk dari rheometer. Bawang merah ditekan oleh probe dengan beban
maksimum 10 kg. Probe akan bergerak dengan kecepatan tertentu hingga bawang
merah rusak. Diameter probe sebesar 5 mm, R/H Hold sebesar 10 mm, P/T Press
sebesar 30 mm/m. Pengujian dilakukan pada bagian tengah bawang merah. Nilai
kekerasan bawang merah dibaca pada skala penunjuk dalam satuan kgf. Nilai ini
menunjukkan gaya tekan yang dibutuhkan jarum penusuk untuk menusuk bahan
yang digunakan.
Persentase Kerusakan
Persentase kerusakan pada penelitian ini dinyatakan dalam persen yang
diperoleh dengan menghitung banyaknya bawang merah yang mengalami
kerusakan seperti tumbuhnya tunas, tumbuhnya akar, umbi bawang merah yang
busuk, dan hampa terhadap banyaknya bawang yang disimpan.
Kerusakan 

jumlah bawang merah yang mengalami ker usakan
x 100%
jumlah bawang merah yang disim pan

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mutu awal pada bawang merah sangat menentukan terhadap hasil dari
penyimpanan pada suhu rendah yang akan diperoleh dan diharapkan memiliki
hasil akhir yang baik setelah dilakukan penyimpanan pada suhu rendah. Parameter
pengamatan pada mutu awal bawang merah ini meliputi kadar air, tingkat
kekerasan, dan kadar VRS yang dapat dilihat pada Tabel 3. Perubahan mutu
bawang merah diamati setiap dua minggu sekali selama dua bulan atau delapan
minggu.
Tabel 3 Hasil pengamatan mutu awal bawang merah
Parameter
Kadar Air (%)
Tingkat Kekerasan (N)
Kadar VRS (µ Eq/g)

Bawang Merah
Pengeringan
2 Hari

Bawang Merah
Pengeringan
9 Hari

84.00
5.60
31.97

82.84
5.07
27.61

Bawang Merah
Pengeringan
14 Hari
84.07
5.37
28.07

Susut Bobot
Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu
bawang merah. Selama proses penyimpanan bawang merah mengalami
penyusutan bobot akibat dari penguapan kandungan air, kerusakan pada bawang
merah, dan tingkat kesegaran yang menurun. Semakin tinggi susut bobot maka
akan semakin berkurang tingkat kesegaran produk tersebut.
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan susut bobot tertinggi sebesar
30.43% hingga akhir penyimpanan (Gambar 6). Perlakuan waktu pengeringan 9
hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan susut bobot
tertinggi sebesar 30.42% hingga akhir penyimpanan (Gambar 7). Perlakuan waktu
pengeringan 14 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan
susut bobot tertinggi sebesar 32.73% hingga akhir penyimpanan (Gambar 8).
Penurunan susut bobot pada suhu 10°C ini menunjukkan pada suhu tersebut umbi
bawang merah tidak dapat mempertahankan mutunya yang disebabkan oleh
proses transpirasi atau penguapan air karena bawang merah memiliki bentuk fisik
yang tipis yang memungkinkan terjadinya penguapan air pada bawang merah
besar, dibuktikan dengan adanya bawang merah yang mengalami keriput seperti
pada Gambar 9. Proses transpirasi yang tinggi pada bawang merah disebabkan
oleh adanya peningkatan laju respirasi yang tinggi pada bawang merah. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Nugraha et al. (2012) susut bobot bawang
merah selama penyimpanan mengalami peningkatan yang disebabkan oleh adanya
proses transpirasi dari umbi dan daun bawang merah akibat adanya peningkatan
laju respirasi. Hutabarat (2008) menyatakan meningkatnya susut bobot sebagian
besar disebabkan oleh kehilangan air akibat transpirasi dan terurainya glukosa
menjadi CO2 dan H2O selama proses respirasi walaupun dalam jumlah kecil. Gas
yang dihasilkan akan menguap dan menyebabkan susut bobot. Penurunan susut
bobot yang lebih tinggi terdapat pada suhu 10°C dibandingkan dengan suhu 5°C.

13

Hal ini sesuai pernyataan Rubatzky dan Yamaguchi (1998) respirasi akan berjalan
lebih cepat dengan meningkatnya suhu, sehingga lapisan sekulen terluar dari
bawang merah akan mengering dan akan mengurangi kandungan air dari lapisan
sekulen bagian, yang mengakibatkan menurunnya lapisan sekulen. Timbulnya
kerusakan secara fisiologis pada bawang merah seperti tumbuhnya tunas
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan susut bobot meningkat. Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya perombakan kandungan enzim pada bawang
merah. Kerusakan fisiologis lain yang menyebabkan tingginya susut bobot adalah
adanya pertumbuhan mikroba yang menyebabkan bawang merah yang busuk.
Penurunan susut bobot terendah pada suhu ruang dalam penelitian ini serupa
dengan penelitian Andreas (2013) yaitu susut bobot pada suhu ruang dengan ratarata RH 87% mengalami kenaikan susut bobot yang paling rendah jika
dibandingkan dengan suhu 15°C dan suhu 10°C .
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 5°C dan suhu ruang mengalami penurunan susut bobot
sebesar 20.67% dan 20.13% hingga akhir penyimpanan (Gambar 6). Perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 5°C dan suhu ruang
mengalami penurunan susut bobot sebesar 22.64% dan 14.84% hingga akhir
penyimpanan (Gambar 7). Perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan penyimpanan
pada suhu 5°C dan suhu ruang mengalami penurunan susut bobot sebesar 24.47%
dan 14.57% hingga akhir penyimpanan (Gambar 8). Hal ini menunjukan
penurunan susut bobot terendah hingga akhir penyimpanan terdapat pada
perlakuan suhu ruang. Peningkatan susut bobot terendah pada suhu ruang ini
terjadi karena RH pada ruang penyimpanan ini mengalami kenaikan mencapai 8085% (Lampiran 1). Hal ini sesuai pernyataan Broto (1998) faktor yang
mempengaruhi susut bobot salah satunya adalah RH pada ruang simpan, apabila
ruang simpan memiliki RH yang tinggi maka susut bobot yang dialami akan lebih
rendah jika dibandingkan dengan ruang simpan yang memiliki RH yang rendah.

Gambar 6 Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan

14

Gambar 7 Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan

Gambar 8 Perubahan susut bobot bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan

Gambar 9 Penampakan keriput pada umbi bawang merah

15

Kadar Air
Kadar air dalam bahan pangan sangat menentukan kesegaran dan daya awet
bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,
kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan
pada bahan pangan (Winarno dan Koswara 1997).
Pada Tabel 3 menunjukan kadar air bawang merah pada waktu pengeringan
14 hari sebesar 84.07% dan perlakuan waktu pengeringan 2 hari sebesar 84%,
Hal tersebut disebabkan oleh tidak meratanya proses pengeringan pada bawang
merah selama di lahan. Menurut Wijandi (1987) prinsip proses pengeringan
adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungan air
antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Kadar air bahan mengalami
penurunan, besarnya penurunan kadar air bahan tersebut berbeda-beda sesuai
dengan banyaknya air yang diuapkan. Faktor lain yang menyebabkan nilai kadar
air yang lebih besar pada waktu pengeringan 14 hari yaitu saat proses pengeringan
terjadi hujan pada hari tertentu yang menyebabkan kandungan air pada bawang
merah bertambah.
Terjadi fluktuasi kadar air pada bawang merah hingga akhir penyimpanan,
hal ini terjadi karena pengambilan sampel yang berbeda-beda setiap pengamatan
yang menyebabkan perubahan yang tidak tetap. Terdapat peningkatan kadar air di
minggu ke-4 pada perlakuan waktu pengeringan 9 hari dengan suhu penyimpanan
5°C menjadi 82.78% yang sebelumnya sebesar 81.01% (Gambar 11). Hal ini
dapat disebabkan oleh RH yang rendah pada ruang penyimpanan. RH yang rendah
dapat menyebabkan kandungan air pada ruang simpan lebih besar karena
penguapan air dari bahan tinggi, setelah air pada ruang simpan mencapai titik
jenuh akan terjadi pengembunan pada ruang simpan, sehingga uap air yang
mengembun diserap kembali oleh umbi bawang merah tersebut yang
mengakibatkan peningkatan kadar air.
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan kadar air tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 3.87% (Gambar 10). Bawang merah dengan perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami
penurunan kadar air tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 2.81% (Gambar
11). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan kadar air tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 2.77% (Gambar 12). Hal ini membuktikan bahwa
pada suhu 10°C bawang merah tidak mampu menekan penurunan kadar air,
karena terdapat penurunan RH menjadi 55% yang menyebabkan proses
kehilangan kandungan air pada bahan yang berlebihan.
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan kadar air terendah hingga
akhir penyimpanan sebesar 2.24% (Gambar 10). Bawang merah dengan perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu ruang mengalami
penurunan kadar air terendah hingga akhir penyimpanan sebesar 1.21% (Gambar
11). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan
penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan kadar air terendah hingga
akhir penyimpanan sebesar 1.28% (Gambar 12). Hal ini membuktikan bahwa
pada suhu ruang bawang merah mampu menekan penurunan kadar air selama

16

penyimpanan, karena terdapat peningkatan RH menjadi 85% yang menyebabkan
transpirasi pada bawang merah menjadi rendah.

Gambar 10 Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan

Gambar 11 Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan

17

Gambar 12 Perubahan kadar air bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
Tingkat Kekerasan
Kekerasan umbi merupakan karakteristik fisik umbi bawang merah yang
menentukan penerimaan konsumen (Ameriana et al. 1995). Tingkat kekerasan
bawang merah menunjukkan perubahan fisik bawang merah selama penyimpanan.
Kekerasan merupakan salah satu parameter mutu untuk menentukan tingkat
kesegaran dari bawang merah. Tingkat kekerasan bawang merah mengalami
fluktuasi setiap minggunya karena pengambilan sampel yang berbeda pada setiap
pengukuran. Penurunan kekerasan akan terlihat ketika membandingkan kekerasan
bawang merah saat awal penyimpanan dengan akhir penyimpanan, sehingga dapat
dikatakan bahwa semakin lama waktu penyimpanan makan tingkat kekerasan
bawang merah semakin menurun.
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan kekerasan tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 1.89% (Gambar 13). Bawang merah dengan perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu ruang mengalami
penurunan kekerasan tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 1.05% (Gambar
14). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan
penyimpanan pada suhu ruang mengalami penurunan kekerasan tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 2.27% (Gambar 15). Hal ini dapat terjadi karena
penggunaan suhu yang terlalu tinggi dengan kisaran 25-28°C dapat menyebabkan
kekerasan yang akan semakin menurun seiring dengan semakin lama
penyimpanan terhadap bawang merah. Hal ini didukung oleh pernyataan Nugraha
et al. (2012), umumnya kekerasan akan menurun selama penyimpanan, yang
disebabkan oleh terjadinya perubahan komposisi penyusun dinding sel maupun
komponen makro lainnya. Pelunakan dinding sel juga disebabkan oleh perubahan

18

turgor sel yang menyebabkan hilangnya sifat getas dan kesegaran sayuran selama
penyimpanan.

Gambar 13 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan

Gambar 14 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan

19

Gambar 15 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
Gambar 14 menunjukan pada minggu ke-8 tingkat kekerasan pada bawang
merah mengalami peningkatan dari minggu ke-6 pada waktu pengeringan 9 hari
dengan suhu 10°C sebesar 1.32% dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini
dapat terjadi karena adanya penguapan air yang mengakibatkan zat pektin menjadi
berikatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sihombing (2010), adanya
peningkatan kekerasan karena terjadinya penguapan air yang terjadi di ruangruang antar sel sehingga sel menjadi mengkerut dan menyatu dan zat pektin
menjadi berikatan.

Kadar VRS
Kadar VRS adalah bahan kimia atau zat-zat kimia yang mudah menguap
dan memberikan aroma atau bau khas pada bawang merah. Semakin tinggi kadar
VRS pada suatu bahan menunjukkan aroma yang semakin tajam. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Catur (1991) bahwa bawang merah mempunyai cita rasa yang
khas yang berasal dari senyawa-senyawa volatil berupa sulfida-sulfida belerang,
terutama alkil mono dan disulfida terikat sebagai asam amino belerang.

20

Gambar 16 Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan

Gambar 17 Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan

21

Gambar 18 Perubahan kadar VRS bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan kadar VRS tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 8.20% (Gambar 16). Bawang merah dengan perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami
penurunan kadar VRS tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 8.20%
(Gambar 17). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami penurunan kadar VRS tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 3.98% (Gambar 18). Hal ini disebabkan oleh pada
suhu 10°C terdapat pertumbuhan tunas yang tinggi, sehingga kandungan sulfur
yang merupakan prekursor aroma pada umbi bawang merah digunakan untuk
aktifitas metabolisme pembentukan tunas. Hal ini yang menyebabkan kadar VRS
pada suhu 10°C mengalami penurunan yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai
pernyataan Catur (1991) prekursor flavor dapat digunakan untuk aktifitas
metabolisme dan pertumbuhan tunas sehingga jumlahnya menurun dan
menyebabkan penurunan produksi flavor.
Kadar VRS selama penyimpanan mengalami fluktuasi karena enzim atau
senyawa pada bawang merah mengalami perubahan. Downes et al. (2009),
menyatakan bahwa aroma yang khas pada bawang merah dipengaruhi oleh
aktifitas enzim allinase yang akan meningkat seiring dengan aktifitas enzim pada
jaringan dan akan menurun seiring dengan penurunan aktifitas dari enzim
tersebut. Enzim allinase akan bereaksi dengan prekursor flavor (volatil)
menghasilkan senyawa yang dapat menyebabkan air mata keluar. Aroma utama
bawang disebabkan oleh aktifitas enzim allinase yang mengubah senyawa yang
mengandung belerang (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

22

Tingkat Kerusakan
Seperti komoditi hortikultura lainnya, umbi bawang merah bersifat mudah
rusak. Kerusakan-kerusakan pascapanen yang sering terjadi yaitu penurunan kadar
air yang berlebihan, pertumbuhan tunas, pelunakan umbi, pertumbuhan akar, dan
busuk serta timbulnya massa yang berwarna gelap akibat kapang (Catur 1991).
Kerusakan pada penelitian ini adalah tumbuhnya tunas dan akar pada umbi
bawang merah serta timbulnya bawang merah yang busuk dan hampa.

Gambar 19 Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 2 hari selama penyimpanan

Gambar 20 Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 9 hari selama penyimpanan

23

Gambar 21 Perubahan tingkat kerusakan bawang merah dengan perlakuan waktu
pengeringan 14 hari selama penyimpanan
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami peningkatan kerusakan tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 19.54% (Gambar 19). Bawang merah dengan
perlakuan waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 10°C mengalami
peningkatan kerusakan tertinggi hingga akhir penyimpanan sebesar 55.67%
(Gambar 20). Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 14 hari dan
penyimpanan pada suhu 10°C mengalami peningkatan kerusakan tertinggi hingga
akhir penyimpanan sebesar 46.54% (Gambar 21). Kerusakan pada suhu 10°C ini
yaitu tumbuhnya tunas dan akar (Gambar 22) pada bawang merah. Adanya
pertumbuhan tunas merupakan gejala fisiologis yang normal. Tumbuhnya tunas
dapat menjadi awal kerusakan karena adanya proses metabolisme untuk
menghasilkan energi bagi pertumbuhannya. Adanya pertumbuhan akar pada
bawang merah dapat dipacu oleh kondisi yang berupa kenaikan kelembaban yang
dapat mengakibatkan pembusukan yang cepat, pengeriputan, dan kehabisan
simpanan makanan terutama pada akar-akar serta umbi-umbian (Pantastico 1986).
Kerusakan lain yang terdapat pada suhu 10°C adalah terdapat umbi yang busuk
walaupun jumlahnya lebih sedikit daripada suhu ruang. Meningkatnya kerusakan
pada suhu 10°C ini sebanding dengan meningkatnya susut bobot.
Kerusakan yang terdapat pada suhu ruang yaitu timbulnya bawang merah
yang busuk dan hampa (Gambar 23) untuk semua perlakuan waktu pengeringan.
Tingginya kerusakan umbi busuk disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan
mikroba. Peningkatan umbi yang hampa pada suhu ruang selama penyimpanan
disebabkan karena penggunaan suhu yang tinggi dengan kisaran 25-28°C yang
menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebih pada bawang merah.
Bawang merah dengan perlakuan waktu pengeringan 2 hari dan
penyimpanan pada suhu 5°C mengalami peningkatan kerusakan terendah hingga
akhir penyimpanan sebesar 0.98% (Gambar 19). Bawang merah dengan perlakuan
waktu pengeringan 9 hari dan penyimpanan pada suhu 5°C mengalami
peningkatan kerusakan terendah hingga akhir penyimpanan sebesar 2.50%
(Gambar 20). Peningkatan kerusakan terendah pada suhu 5°C ini menunjukkan

24

pada suhu tersebut bawang merah dapat mempertahankan mutunya, hal tersebut
disebabkan oleh penyimpanan pada suhu tersebut dapat menyebabkan
perkembangan mikroorganisme atau mikroba pada bawang merah terhambat,
sehingga bawang merah memiliki waktu simpan yang lama.

(a)

(b)

Gambar 22 Penampakan kerusakan pada umbi bawang merah (a) akar dan (b)
tunas

(a)

(b)

Gambar 23 Penampakan kerusakan pada umbi bawang merah (a) busuk dan (b)
hampa

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Bawang merah mengalami perubahan mutu selama penyimpanan delapan
minggu. Parameter perubahan mutu pada bawang merah yaitu susut bobot, kadar
air, kekerasan, kerusakan, dan kadar VRS. Perlakuan yang diberikan adalah waktu
pengeringan yang berbeda dan suhu penyimpanan yang berbeda. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa pengaruh perlakuan suhu dan waktu
pengeringan terhadap mutu bawang merah adalah sebagai berikut:
1. Bawang merah mengalami penurunan susut bobot terendah yarng terdapat pada
perlakuan waktu pengeringan 2, 9, dan 14 hari pada penyimpanan suhu ruang.
2. Kadar air bawang merah pada setiap perlakuan waktu pengeringan dengan
suhu penyimpanan mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan yang
terdapat pada waktu pengeringan 2, 9, dan 14 hari pada penyimpanan suhu
ruang.
3. Tingkat kekerasan bawang merah hingga akhir penyimpanan mengalami
penurunan, hal ini sebanding dengan penurunan pada kadar air bawang merah.
4. Kerusakan pada umbi bawang merah meliputi pertumbuhan tunas dan akar
serta adanya umbi yang busuk dan hampa. Pertumbuhan tunas yang meningkat
terdapat pada suhu 10°C untuk semua perlakuan waktu pengeringan. Dan
banyaknya umbi yang busuk dan hampa terdapat pada suhu ruang. Pada
perlakuan waktu pengeringan 2 dan 9 hari serta suhu penyimpanan 5°C
memiliki tingkat kerusakan yang rendah.
5. Kadar VRS bawang merah hingga akhir penyimpanan mengalami penurunan.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh kadar air
pada waktu pengeringan yang berbeda.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan RH pada suhu ruang.

26

DAFTAR PUSTAKA
Ameriana M, Thomas A, Sutiarso. 1995. Persebaran Produksi dan Konsumsi
dalam Teknologi Produksi Bawang Merah. Bandung (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Andreas VE. 2013. Pengaruh suhu dan kemasan terhadap mutu bibit bawang
merah (Allium ascalonicum L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
AOAC. 1984. Official Methodes of Analysis of the Association of Official
Analytical Chemist. Washington, DC.
Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1999. Pedoman Penerapan Jaminan
Mutu Terpadu Bawang Merah. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2012. Teknologi Budidaya Bawang. Agroinovasi, Sinar
Tani Edisi 11-17 Januari 2012 No.3439 Tahun XLI
Brewster JL. 1994. Onions and Other Vegetable Alliums. Inggris (GB): CAB
International. 228 pages.
Broto W. 1998. Kajian Sifat Mutu Buah Rambutan Binjai pada Berbagai Umur
Petik. Bul. Pascapanen Hort (1) 40-47.
Catur D. 1991. Studi pengeringan bawang merah (Allium ascalonicum L.) dengan
menggunakan ruang berpembangkit vorteks [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Downes K, Gemma AC, Leon AT. 2009. Effect of curing at different
temperatures on biochemical composition of onion (Allium cepa L.) skin
from three freshly cured and cold stored UK-grown onion cultivars.
Postharvest Biology and Technology 54. p 80–86.
Farber L, Ferro M. 1956. Volatile reducing substance and volatile nitrogen
compounds in relation to spoilage in canned fish. Food Technol. 10:303304.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York (ID): Marcel Dekker, inc.
Histifarina D, Musaddad. 1998. Pengaruh cara pelayuan, pengeringan, dan
pemangkasan daun terhadap mutu dan daya simpan bawang merah. Jurnal
Hortikultura.8(1);1036-1047.
Hutabarat SO. 2008. Kajian pengurangan chilling injury tomat yang disimpan
pada suhu rendah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Karno. 2011. Budidaya Bawang Merah. Plemahan (ID): Balai Penelitian
Pertanian.
Komar N, Rakhmadiono S, Kurnia L. 2001. Teknik penyimpanan bawang merah
pascapanen di Jawa Timur. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol.2. No.2
Agustus 2001.
Made. 20