1 1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Bogor memiliki berbagai keunggulan komparatif antara lain di sektor pariwisata yang merupakan salah satu sektor potensial untuk dikembangkan. Hasil
penelitian dengan komposit indeks menunjukkan bahwa sektor pariwisata kota Bogor berdaya saing cukup tinggi dibandingkan kabupaten lain di sekitarnya yaitu
berada di atas kabupaten Cianjur, kota Depok, kota Bekasi, dan kota Sukabumi Afriyani, 2011. Salah satu daya tarik wisata di Kota Bogor adalah Kebun Raya
Bogor yang terletak di pusat kota. Secara ekosistem, keberadaan Kebun Raya Bogor tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sekitarnya termasuk keberadaan
Sungai Ciliwung yang melintasinya membentuk jaringan ekologis yang saling memperkuat berupa jalur hijau Green Corridor.
Pada masa lalu, Kota Bogor memiliki kualitas lingkungan alami yang sangat baik, namun saat ini telah terjadi penurunan kualitas lingkungan alami akibat
pesatnya pembangunan, tidak terkecuali pada daerah sekitar Sungai Ciliwung. Sempadan sungai seyogyanya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kawasan
alami kota. Selain itu, sempadan dan juga sungainya dapat difungsikan sebagai aset keindahan kota, pengontrol suhu kota dan habitat dari beberapa satwa liar
Ruspendi, 2011. Kondisi jalur hijau sepanjang sempadan Sungai Ciliwung saat ini dirasakan kurang optimal akibat tergeser oleh kegiatan antropogenik. Kota
Bogor telah mengalami banyak perubahan penggunaan lahan dalam beberapa tahun terakhir. Terbatasnya area untuk permukiman dan aktivitas penduduk telah
menyebabkan perubahan fungsi lahan Khusaini, 2008.
Kebutuhan lahan untuk menampung berbagai aktivitas masyarakat yang terus berkembang memerlukan upaya efisiensi pemanfaatan lahan melalui
pengaturan alokasi berdasarkan rencana tata ruang dan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan
ruang tetap sesuai dengan rencana tata ruang. Pemerintah sejak lama telah menentukan berbagai peraturan yang diharapkan mampu mendukung terciptanya
pembangunan secara berkelanjutan, antara lain dengan dibuatnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk masalah sungai, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1991
tentang sungai, serta turunannya berupa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 631993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah
Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Pemerintah Kota Bogor juga telah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang telah disahkan dalam
bentuk Peraturan Daerah Perda No. 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031 dengan revisi setiap lima tahun sekali. Beberapa prinsip dalam revisi
RTRW tersebut diantaranya penekanan pola insentif dan disinsentif, penerapan sangsi, target proporsi luas Ruang Terbuka Hijau sebesar 30 dari luas wilayah,
dan perlunya zoning regulation pada kawasan-kawasan strategis, termasuk kawasan sempadan sungai.
2 Kawasan sempadan Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor pada
awalnya merupakan kawasan yang asri dengan keanekaragaman floranya, namun kondisi saat ini kawasan tersebut telah terokupasi dengan berbagai infrastruktur
permukiman dan pendukung aktivitas ekonomi, sehingga mengabaikan sisi konservasi sungai. Tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan dan dinamika lanskap yang mengarah kepada kondisi yang tidak berkelanjutan yang mengancam fungsi konservasi dan tata lingkungan
di kawasan tersebut. Secara umum kondisi ini diduga menimbulkan dampak ekologis, terutama akibat perubahan pola penggunaan dan alih fungsi lahan yang
berpotensi mengurangi luas ruang terbuka hijau dan hilangnya banyak pohon yang memiliki nilai konservasi sekaligus sebagai paru-paru kota sehingga mengurangi
kemampuan ekologis kawasan sempadan Widigdo dan Hartono, 2009.
Menurut Widigdo dan Hartono 2009, Ruang Terbuka Hijau RTH merupakan areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga
kehidupan. RTH juga memiliki fungsi ekologis, yaitu sebagai paru-paru kota dan dapat dikategorikan sebagai kawasan jalur hijau tepi sungai, seperti kawasan jalur
hijau tepitengah jalan, sepanjang rel kereta api atau di bawah penghantar listrik tegangan tinggi. Kawasan seperti ini kurang lebih 90 dari luas arealnya
seyogyanya dihijaukan dengan pohon-pohon, perdu, semak hias dan penutup tanahrumput.
Secara umum luas RTH di Kota Bogor masih relatif tinggi 51.38, namun nampaknya di berbagai tempat termasuk di Kota Bogor telah banyak terjadi
kecenderungan alih fungsi ke arah lahan permukiman, sehingga mengancam eksistensi RTH, atau setidaknya kualitas RTH nya semakin menurun. RTH pada
sempadan sungai di Kota Bogor Ciliwung dan Cisadane seluas 181.79 ha 2.99, di mana data tersebut mengacu pada paraturan lebar bantaran sungai 15
m dari palung Peraturan Daerah Jawa Barat No. 82005. Meskipun relatif kecil, luas sempadan tersebut masih potensial untuk dikembangkan karena bila
dibandingkan masih lebih luas daripada Kebun Raya Bogor yang seluas 87 ha atau bahkan bila dibandingkan dengan hutan kota di Kota Bogor yang seluas 57.62 ha.
Keseluruhan jenis RTH tersebut seyogyanya dapat dikoneksikan satu sama lainnya dalam jaringan ekologi perkotaan.
Keberadaan RTH sebagai pranata lingkungan yang sebanding dalam pranata kehidupan dianggap mampu meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas hidup
masyarakat sekitarnya Widigdo dan Hartono, 2009. Upaya ini juga diperlukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan Ciliwung yang saat ini dalam keadaan
kritis akibat dari penurunan areal pohon, khususnya tanaman tahunan yang mempunyai fungsi utama menahan, menangkap, menguapkan, dan mengalirkan air
hujan ke dalam tanah maupun di atas permukaan tanah Wibawa, 2010. Di samping itu karena Kota Bogor merupakan kota jasa sekaligus kota pemukiman
yang berpotensi mengalami pengalih-fungsian lahan yang semula berupa lahan terbuka alami menjadi permukiman untuk berbagai keperluan pembangunan
sarana prasarana publik, akibatnya terjadi penambahan polusi udara.
Hasil analisis spasial dan temporal citra landsat wilayah Kota Bogor tahun 1991, 2000, dan 2012 menunjukkan bahwa kelas penutupan lahan yang mengalami
perubahan penurunan selama dua periode adalah lahan pertanian, pohon jarang, semak, dan lahan terbuka. Kelas penutupan lahan yang mengalami kenaikan
adalah pohon rapat dan lahan permukiman. Salah satu solusi untuk mengurangi
3 tingkat polusi udara yaitu dengan pengembangan ruang terbuka hijau RTH dalam
perencanaan tata ruang di Kota Bogor Asyaebani, 2013.
Kegiatan penghijauan sempadan Ciliwung dimaksudkan untuk memperta- hankan bahkan meningkatkan jumlah dan kualitas RTH di Kota Bogor, agar
tercapai keseimbangan ekologis, terutama dengan jenis-jenis tanaman potensial yang juga bernilai ekonomi. Berdasarkan penelitian terdahulu terhadap kombinasi
antara jumlah dan sebaran tanaman, terdapat 10 jenis tanaman tahunan potensial yaitu nangka, lengkeng, durian, melinjo, mangga, alpokat, rambutan, limus, petai,
dan jengkol. Kombinasi pola tanam alpokat-nangka-lengkeng menunjukkan nilai NPV tertinggi Wibawa et al., 2010.
Perumusan Masalah
Eksploitasi SDA dan pembangunan perkotaan, khususnya di Kota Bogor saat ini sangat mengancam kelestarian lingkungan. Salah satunya adalah terjadinya
okupasi lahan akibat tekanan penduduk dan aktivitasnya yang mengarah ke kawasan sempadan sungai, khususnya Sungai Ciliwung yang melintasi Kota
Bogor. Kurang terkontrolnya pembangunan kawasan sempadan sungai dan sekitarnya tumbuhnya perumahan dan pemukiman baru, kawasan komersial,
industri dan perdagangan, serta aktivitas ekonomi lainnya diduga merubah struktur dan fungsi lanskap kawasan sempadan sungai yang berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan. Dampak tersebut diantaranya berkurangnya
Ruang Terbuka Hijau RTH dan secara spesifik adalah kerugian ”Publik dan Pemerintah Kota“ akibat penebangan pohon, yang sesungguhnya pohon tersebut
memiliki nilai ekonomis sekaligus ekologis sebagai paru-paru kota dan fungsi konservasi serta jasa lingkungan lainnya.
Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor di satu sisi merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, namun di sisi lain muncul kerentanan
lingkungan
yang diakibatkan
oleh berbagai
kegiatan anthropogenik.
Pengembangan kawasan sempadan sungai dan sekitarnya berdasarkan tinjauan ekologi lanskap merubah karakteristik lanskap baik yang terkait dengan struktur,
fungsi dan dinamikanya Arifin et al., 2009, sehingga berpotensi untuk menurunkan kualitas lingkungan. Situasi dinamis ini perlu diprediksi agar lebih
terkontrol dan dapat diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan wilayah. Secara ekologis keberadaan Sungai Ciliwung yang melintasi Kebun Raya Bogor
memiliki nilai penting dan berpotensi memperkuat koridor RTH green corridor dalam kesatuan jaringan ekologis di Kota Bogor. Upaya ini diperkuat dengan
berbagai peraturan perundangan yang memproteksi sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 63PRT1993 tentang Garis Sempadan Sungai, 50 meter dari kanan kiri bibir sungai dilarang untuk didirikan bangunan. Jarak tersebut dibuat dimaksudkan
untuk daerah resapan air hujan serta menjaga ekosistem di sekitar sungai. Pada kenyataannya, di sepanjang S. Ciliwung pada jarak 50 meter dari tepi sungai
dibangun pertokoan dan perumahan penduduk. Pembangunan seperti ini menutup jalannya air masuk ke dalam tanah, sehingga fungsi pelepasan air secara perlahan
tidak dapat berlangsung. Ketidaktegasan kebijakan dalam mempertahankan kelestarian kawasan sempadan ini berdampak pada kondisi ekologis semakin
memburuk.
4 Saat ini kondisi lingkungan di kawasan sempadan Sungai Ciliwung khususnya
yang melintasi Kota Bogor sangat buruk. Penurunan kualitas lingkungan tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satu penyumbang terbesar terhadap
kerusakan sungai Ciliwung tersebut adalah banyaknya pembangunan pemukiman liar penduduk yang didirikan secara illegal. Berdasarkan proyeksi data tahun
2006-2013 di daerah penelitian, terdapat kecenderungan peningkatan luas lahan permukiman seluas 171.86 ha 2006 menjadi 185.93 2013 dengan pertumbuhan
tahunan 1.51 per tahun. Peningkatan luas lahan permukiman tersebut secara langsung menyebabkan penurunan luas RTH.
Alih fungsi dan perubahan penggunaan lahan merupakan isu pokok dalam penelitian ini, dengan berbagai dampak ikutan yang perlu diketahui besaran,
pengaruh dan keterkaitannya satu sama lain. Berbagai potensi dan permasalahan permukiman di kawasan sempadan sungai memerlukan solusi yang bersifat
dinamis, terutama yang berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan yang memenuhi aspek lanskap ekologis untuk mendukung perencanaan pembangunan yang
berkelanjutan. Alih fungsi lahan, khususnya di kawasan sempadan sungai menjadi isu utama yang mengancam kelestarian lingkungan hidup karena kurang
memperdulikan aspek daya dukung lahan. Akibat hal tersebut, maka terjadi perubahan penggunaan lahan dan lanskap di kawasan tersebut, yang berpotensi
menimbulkan masalah gangguan fungsi sungai serta keseimbangan sumberdaya air. Perubahan penggunaan lahan di kawasan sempadan S. Ciliwung, khususnya
ke arah penggunaan permukiman penduduk dan kegiatan lainnya berpotensi mengurangi jumlah pohon dan ruang terbuka hijau, yang dalam konteks perkotaan
sangat dibutuhkan sebagai paru-paru kota, dan berfungsi untuk memperbaiki iklim mikro, kestabilan tanah, konservasi air, estetika, dan sebagainya. Akibat
pengurangan luas RTH dan jumlah pohon tersebut, maka diindikasikan terjadi penurunan kualitas keanekaragaman hayati flora dan fauna sehingga aspek
kelestarian lingkungan terganggu. Gangguan terhadap fungsi ekologis sempadan S. Ciliwung di Kota Bogor bila
dibiarkan dapat menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Saat ini jumlah penduduk yang bermukim di sempadan sungai Ciliwung diperkirakan
mencapai 2 269 KK, dan luas areal permukiman di sempadan 243.4 ha 80 dari luas daerah pengamatan 303,78 ha. Sedangkan ruang terbuka hijau hanya 60.26
ha. Bila tidak ada perlindungan kawasan sempadan, maka kerusakan semakin parah.
Kegagalan pengelolaan sempadan Sungai Ciliwung di Kota Bogor ditunjukan dengan tumbuhnya kawasan permukiman di sepanjang sempadan sungai
khususnya disebabkan karena kebutuhan lahan permukiman yang semakin meningkat. Hal ini menimbulkan permasalahan kompleks yang saling terkait yang
diakibatkan oleh interaksi faktor ekologi, ekonomi dan sosial. Kondisi ini perlu dicegah dengan suatu kebijakan yang efektif, di mana pemanfaatan lahan
sempadan masih dapat dilakukan, namun penataan lanskapnya tetap dalam keseimbangan ekologis dan terkendali agar kelestarian lingkungan hidup tetap
terjaga. Model perumusan kebijakan pemanfaatan lahan sempadan sungai ini diharapkan
dapat mempertegas peran Pemerintah Kota Bogor dalam implementasi kebijakan pada pengelolaan kawasan sempadan pada sungai besar prioritas nasional seperti
S. Ciliwung ini. Sebagaimana telah dideskripsikan di muka, ketidakjelasan
5 penataan peran mendorong para pihak untuk memiliki sikap pembiaran, sehingga
seiring dengan waktu wilayah yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan setempat menjadi terokupasi secara tidak terkendali yang berakibat pada gangguan
kelestarian lingkungan. Okupasi lahan sempadan tersebut seringkali merubah pola dan tataguna lahan secara tidak sesuai sebagaimana peruntukannya. Oleh karena
itu diperlukan kajian evaluasi peruntukan lahan agar proses alih fungsi tersebut masih bisa sejalan dengan penetapan fungsi ekologis dan hidro-orologis sempadan
sungai. Mengingat sempadan sungai merupakan kawasan konservasi dan realitasnya telah
banyak diokupasi oleh penduduk, maka perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai tersebut melalui pendekatan ekologi
lanskap dengan menjadikan komponen pohon dan RTH sebagai green infrastructure di kawasan tersebut. Upaya ini memerlukan dukungan kebijakan dan
peraturan Pemerintah Kota Bogor, sehingga kawasan ini seyogyanya tidak terokupasi kembali.
Berdasarkan data tahun 2011, penggunaan lahan di Kota Bogor masih didominasi oleh lahan terbuka 51.3 RTH potensial dan 8.3 non RTH, kawasan
permukiman 37.38 dan sisanya tubuh air serta penggunaan lainnya yang tidak teridentifikasi 3.08. Kawasan permukiman terdiri dari lahan komersial dan
bisnis, kampungpermukiman dengan kerapatan rendah, perubahan, komplek istana militer Anonimous, 2012. Demikian pula bila dilihat dari aspek sebaran
RTH, masih belum menampakkan kesatuan jaringan ekologi perkotaan yang kompak. Sungai Ciliwung melintas di bagian tengah Kota Bogor serta melintasi
Kebun Raya Bogor. Kondisi ini cukup strategis bila kawasan sempadan S. Ciliwung dapat diandalkan sebagai Koridor Hijau Green Corridor yang
mengintergrasikan keberadaan Kebun Raya Bogor sehingga secara umum mendukung keberadaan jaringan ekologi perkotaan dengan luas RTH potensial di
Kota Bogor yang luas kawasannya sebesar 51.38. Secara skematis, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
Peningkatan Lahan Permukiman
Penurunan Jumlah Pohon
Penurunan Lahan Terbuka
Nilai Pohon Kebijakan
Pemerintah Pentaatan Peraturan,
Program Penghijauan, Peraturan Zonasi,
Penerapan Sangsi Okupasi Lahan
Persepsi Preferensi Masyarakat
Kemampuan Kesesuaian Lahan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
6 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian dapat
diajukan sebagai kunci dari berbagai permasalahan yang terjadi di kawasan sempadan S. Ciliwung sebagai berikut:
Apakah telah terjadi perubahan tutupan lahan dan penurunan keanekaragaman flora yang signifikan di sekitar kawasan sempadan akibat alih fungsi lahan?
Bagaimana kondisi kemampuan lahan di kawasan sempadan sungai? Bagaimana persepsi dan preferensi masyarakat terhadap upaya pemeliharaan
kelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan lahan berkelanjutan di kawasan sempadan sungai?
Bagaimana model skenario kebijakan dalam pemanfaatan lahan berbasis ekologi lanskap dapat dibuat secara dinamis sehingga memudahkan dalam simulasi
perubahan? Seluruh pertanyaan penelitian ini selanjutnya dijadikan dasar untuk menyusun
tujuan penelitian dan dalam mengembangkan tahapan penelitian yang dilakukan nantinya.
Tahapan penelitian yang dilakukan di sepanjang sempadan S. Ciliwung yang melintasi Kota Bogor meliputi: 1 Evaluasi nilai pohon berdasarkan tutupan
lahannya, serta keanekaragaman jenis pohon, 2 Evaluasi lahan, yang meliputi analisis kemampuan dan kesesuaian lahan, 3 Kajian persepsi dan preferensi
masyarakat yang bermukim di sepanjang sempadan S. Ciliwung, serta 4 Penyusunan rumusan kebijakan dalam pemanfaatan lahan sempadan sungai yang
dipandang optimal.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Melakukan evaluasi nilai pohon berdasarkan tutupan lahan di kawasan
sempadan sungai. 2 Melakukan analisis kemampuan lahan di kawasan sempadan Sungai Ciliwung
di Kota Bogor dan kesesuaiannya untuk tanaman penghijauan di kawasan sempadan sungai.
3 Melakukan analisis persepsi dan preferensi masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan sempadan sungai.
4 Menyusun model perumusan kebijakan pemanfaatan lahan berbasis ekologi lanskap di kawasan sempadan Sungai Ciliwung.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Bogor agar dapat lebih konsisten dalam merencanakan
dan mengaktualisasikan kebijakan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek ekologi lanskap yang berwawasan lingkungan dan arahan pola pemanfaatan
lahan yang berkelanjutan, khususnya di kawasan sempadan Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor. Rekomendasi juga bermanfaat untuk mendorong
Pemerintah Kota Bogor untuk menyusun Rencana Detil Tata Ruang di kawasan sempadan Sungai Ciliwung sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya, peraturan
zonasi zoning regulation, dan menerapkan mekanisme insentif-disinsentif dalam rangka pengendalian ruang, khususnya di kawasan Sempadan Sungai Ciliwung
7 sebagai bagian dari integrasi penguatan program pemerintah Pusat. Secara lebih
terinci manfaat penelitian ini adalah: 1 Mengetahui dukungan masyarakat terhadap program pemerintah dalam
pemanfaatan kawasan sempadan sungai secara berkelanjutan. 2 Memberikan rekomendasi pola pemanfaatan lahan secara berkelanjutan bagi
semua pihak terkait, untuk menjadikan kawasan sempadan Sungai Ciliwung Kota Bogor membentuk Green Corridor terintegrasi secara ekosistem dengan
Kebun Raya Bogor.
3 Memberikan masukan untuk strategi pengembangan jasa lingkungan Ecosystem Services di sekitar kawasan dengan indikator nilai pohon sebagai
landasan pengembangan jaringan ekologi perkotaan dan sekaligus untuk mengantisipasi perkembangan Ecotourism di Kota Bogor.
4 Tersedianya model perumusan kebijakan yang dapat digunakan untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan lahan berkelanjutan untuk mendukung
optimalisasi pemanfaatan lahan sebagai RTH dalam rangka pengembangan Ciliwung Green Corridor
di Kota Bogor.
Penelitian Terdahulu
Beberapa topik penelitian sebelumnya yang relevan dengan permasalahan sempadan Ciliwung disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Penelitian yang Pernah Dilakukan
No. Peneliti Topik
Organisasi Metoda
Hasil Penelitian
1 Zulwahyuni,
2007. Contingent
Valuation Method
CVM, Analisis
Deskriptif dan
Kuantitatif 62.82 responden di Kelurahan Kedung
Halang menerima skenario relokasi Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan
atau ketidaksediaan di antaranya aspek pendidikan responden, kondisi sosial dan
ekonomi serta ketidakpahaman kelestarian lingkungan.
Nilai Rataan Willingness to Accept WTA sebesar Rp. 263 061.22 per m
2
masih masuk kisaran NJOP
2 Ruspendi, 2011.
Metode kuantitatif
untuk analisis aspek
ekologis dan fisik
Area sempadan Sungai Ciliwung Kota Bogor GSS 15 m memiliki kualitas alami yang
didominasi dengan kualitas yang rendah 64 dan memiliki potensi bahaya fisik yang
didominasi dengan kategori tinggi 67 . Perencanaan lanskap sempadan S. Ciliwung
menghasilkan 3 zona utama, yaitu zona konservasi 15.64 ha, 35.82, zona semi
konservasi 17.27 ha, 39.54 dan zona non konservasi 10.75 ha, 24.62 .
8 Lanjutan Tabel 1
No. Peneliti Topik
Organisasi Metoda
Hasil Penelitian Tiga zona dikembangkan dengan konsep yang
ramah lingkungan yaitu dengan metode pohon dan bioengineering.
3 Rendanikusumah,
2008. Metode
penelitian secara
kualitatif dan
kuantitatif dengan
menggunakan uji
korelasi Rank
Spearman. Persepsi responden yang tinggal di bantaran S.
Ciliwung, Kelurahan Bab Pasar tentang kegiatan ”Pengadaan Sarana dan Prasarana
Pencegahan Pencemaran
Lingkungan” umumnya positif, ditunjukkan persetujuannya
tentang tujuan kegiatan dan kualitas, kuantitas serta lokasi kegiatan. Namun untuk sosialisasi
dan pemantauan kegiatan persepsinya negatif, dengan alasan utama tidak ada kegiatan
sosialisasi sebelum kegiatan bantuan diberikan dan pemantauan setelah kegiatan bantuan
diberikan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
persepsi tentang kegiatan untuk faktor internal adalah pendapatan, lama bermukim, jarak
rumah dari sungai, dan pada faktor eksternal adalah fasilitas pengelolaan sampah dan tokoh
penggerak.
Batasan Penelitian
Beberapa batasan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1 Penelitian ini difokuskan pada jalur sempadan Sungai Ciliwung 100 m kanan
kiri sungai yang melintasi Kota Bogor sepanjang 15.19 km, dan menetapkan bahwa kawasan Kebun Raya Bogor adalah di luar areal penelitian, sehingga
tidak dilakukan pengkajian khusus, meskipun dalam konteks ekosistem dan jaringan ekologi perkotaan tetap dikaitkan.
2 Perhitungan nilai pohon menggunakan standar kurs US karena dianggap paling stabil.
3 Penelitian ini dibatasi pada aspek perumusan kebijakan tentang pemanfaatan lahan yang optimal dan berkelanjutan ditinjau dari sudut ekologi lanskap,
khususnya untuk mengantisipasi dampak perkembangan kawasan sempadan Sungai Ciliwung.
4 Analisis daya dukung dilakukan dengan mengacu pada aspek kemampuan lahan sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 172009.
Kebaharuan Novelty
Novelty kebaharuan dari penelitian ini adalah:
1 Penerapan perhitungan nilai pohon menggunakan pendekatan ISTEM di kawasan sempadan sungai.
9 2 Perspektif penerapan besaran nilai insentif dan denda serta perlindungan
pohon dalam konteks koservasi lingkungan. 3 Kemampuan mengkombinasikan tiga aspek pengetahuan evaluasi nilai
pohon, evaluasi lahan dan analisis sosial dalam kerangka permodelan dinamis yang terintegrasi untuk mendukung kebijakan pemanfaatan lahan
berbasis ekologi lanskap di kawasan Sempadan Ciliwung di Kota Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka adalah ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk areakawasan maupun dalam bentuk area memanjangjalur
di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Menurut Widigdo dan Hartono 2009, RTH mempunyai fungsi
ekologis, yaitu sebagai paru-paru kota dan dapat dikategorikan sebagai kawasan hijau jalur hijau tepi sungai, seperti kawasan jalur hijau tepitengah jalan,
sepanjang rel kereta api dan dibawah penghantar listrik tegangan tinggi. Kawasan seperti ini kurang lebih 90 dari luas arealnya seyogyanya dihijaukan dengan
pohon pohon, perdu, semak hias dan penutup tanahrumput.
Penataan RTH Kawasan Perkotaan
Landasan yang digunakan dalam analisis kebijakan penataan ruang terbuka hijau RTH adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12007 tertanggal 11
Januari 2007, tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Dalam Permendagri tersebut dijelaskan bahwa Perkembangan dan pertumbuhan kotaperkotaan disertai
dengan alih fungsi lahan yang pesat, telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang kehidupan
masyarakat di kawasan perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan ruang terbuka hijau
yang memadai sehingga perlu ditetapkannya Permendagri ini.
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman
guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Dengan demikian penataan RTHKP meliputi proses perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian, termasuk di sempadan sungai kiri kanan sungai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. RTHKP terdiri
dari RTHKP Publik dan RTHKP Privat. RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten
kota. Sedangkan RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliha- raannya menjadi tanggungjawab pihaklembaga swasta, perseorangan dan
masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota.
Tujuan penataan RTHKP adalah menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan dan mewujudkan kesimbangan antara lingkungan
alam dan lingkungan buatan di perkotaan serta meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman. Insentif adalah penghargaan yang
diberikan kepada lembaga pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, lembaga
10 swadaya masyarakat, pihaklembaga swasta ataupun perseorangan atas
keberhasilan dalam penataan RTHKP. Fungsi RTHKP adalah pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan
tanah, air dan udara, tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati, pengendali tata air; dan sarana estetika kota. Sedangkan manfaat RTHKP
adalah sarana untuk mencerminkan identitas daerah, sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan, sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial,
meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan, menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah, sarana aktivitas sosial kemasyarakatan, sarana
ruang evakuasi untuk keadaan darurat, memperbaiki iklim mikro dan meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
Jenis RTHKP meliputi: taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan
gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun binatang,
pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur di bawah tegangan tinggi SUTT dan SUTET,
sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau,
daerah penyangga buffer zone lapangan udara, dan taman atap roof garden.
Dalam hal perencanaan, RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupatenkota dan perlu disajikan
dalam Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan dengan skala peta sekurang-kurangnya 1:5000. Selanjutnya pada pasal 9 pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 12007 dijelaskan bahwa luas ideal RTHKP minimal 20 dari luas kawasan perkotaan. dan mencakup RTHKP publik dan privat, di mana
penyediaan RTH Publik menjadi tanggungjawab pemerintah Kota Bogor yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah dan
tidak dapat dialih fungsikan. Sedangkan RTHKP privat penyediaannya menjadi tanggung jawab pihaklembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang
dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota Bogor.
Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perizinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban, di mana penebangan pohon di areal RTHKP publik dibatasi secara
ketat dan seyogyanya seizin Kepala Daerah. Penataan RTHKP melibatkan peranserta masyarakat, swasta, lembagabadan hukum danatau perseorangan, di
mana pelibatannya dimulai dari pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Peranserta tersebut dapat dilakukan dalam proses
pengambilan keputusan mengenai penataan RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan maupun tenaga fisik untuk
pelaksanaan pekerjaan. Pendanaan penataan RTHKP kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD Kota Bogor, partisipasi
swadaya masyarakat danatau swasta, serta sumber pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat.
Pemilihan Jenis Pohon Penghijauan
Pemilihan jenis pohon dapat dipertimbangkan juga bagi berbagai kepentingan, antara lain kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat sekitar.
Pemilihan jenis pohon seyogyanya dipertimbangkan juga sebagai penyangga
11 sempadan sungai, agar akar pohon mampu menahan erosi tanah pada saat arus air
sungai deras dan debit air yang tinggi. Dengan demikian sempadan sungai dapat berfungsi sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistim dan
penyangga kehidupan, karena mampu sebagai wadah berlangsungnya hubungan timbal balik antara pohon dan mahluk hidup termasuk manusia sebagai fungsi
ekosistem Widigdo dan Hartono, 2009. Penanaman pohon yang dipilih dapat dikategorikan sebagai berikut:
1 Pohon Aromatik, yaitu jenis pohon dapat memperbaiki aroma udara, yang
diperoleh dari aroma bunga, buah, daun, batang maupun akarnya Widigdo dan Hartono, 2009. Di Indonesia tercatat ada 60 spesies pohon aromatik.
Untuk menikmati aroma pohon aromatik, penanamannya membutuhkan area yang cukup luas. Aroma pohon dapat juga menyegarkan aroma udara yang
memberikan rasa nyaman pada manusia disekitarnya. Di samping itu pohon aromatik karena kandungan minyak atsirinya yang dapat membantu proses
penyerbukan dengan mengeluarkan aroma yang menarik serangga atau hewan lain; mencegah kerusakan tanaman oleh hewan atau serangga dengan aroma
yang kurang enak dan sebagai cadangan makanan dalam tanaman Widigdo dan Hartono, 2009.
2 Sarana menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan. Menurut Widigdo dan Hartono 2009, penghijauan dapat
menyerap kandungan debu. Pohon yang ditanam di RTH sesuai dengan ketentuan kerapatannya menurut Widigdo dan Hartono 2009, satu hektar
RTH dapat menghasilkan 0.6 ton Oksigen untuk konsumsi 1 500 orang per hari. Di samping kebersihan udara masyarakat sekitarnya juga membutuhkan
kenyamanan untuk tinggal ditempat tinggalnya, maka menurut penelitian Widigdo dan Hartono
2009 menyatakan bahwa setiap satu hektar RTH dapat meredam suara 7 dB deciBell per 30 meter jarak dari sumber suara pada
frekuensi dari 1 000 CPS atau dapat meredam kebisingan sampai 25-80. 3 Sarana rekreasi. Kawasan hijau rekreasi kota, menurut Widigdo dan Hartono
2009 pemanfaatannya sebagai tempat rekreasi penduduk kota secara aktif dan pasif, pohon yang ditanam dapat bervariasi, 60 areal seyogyanya
dihijaukan. sisa areal difungsikan sebagai sarana penunjang seperti gazebobale-bale, tempat bermain anak, toilet umum, parkir dan kelengkapan
taman lainnya.
4 Pengaman lingkungan hidup perkotaan. Pencemaran udara di perkotaan pada umumnya dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar bensin dan menjadi
sumber utama timbal diudara perkotaan. Menurut Widigdo dan Hartono 2009 diperkirakan 60-70 partikel timbal di udara perkotaan berasal dari
kendaraan bermotor. Menurut Dahlan 1989, beberapa tanaman dapat menyerap timbal, di antaranya: damar Agathis alba, mahoni Swietenia
macrophylla
, jamuju Podocarpus imbricatus dan pala Mirystica fragrants, asam landi Pithecelobiumdulce dan johar Cassia siamea.
5 Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan. Perencanaan sempadan menjadi RTH dengan konsep yang jelas bagi kelestarian lingkungan dan
peningkatan pengetahuan masyarakat, dapat menjadi model bagi sarana penelitian, pengembangan pelestarian lingkungan dan budidaya pohon, serta
penyuluhan untuk membentuk kesadaran lingkungan pada masyarakat untuk dapat hidup lebih baik dan lebih sehat. Hal ini dapat dilakukan karena area
12 yang ada cukup luas dan mempunyai media tanah, air dan udara, serta dekat
dengan pemukiman penduduk yang membutuhkan perbaikan kualitas hidup yang lebih baik melalui peningkatan kualitas lingkungannya.
6 Tempat konservasi plasma nuftah. Perencanaan dan pengelolaan serta pemanfaatan RTH yang ditujukan pada keserasian dan keseimbangan
lingkungan dengan pranata kehidupan, seyogyanya mempertimbangkan hubungan timbal balik yang serasi, selaras dan seimbang antara manusia dan
lingkungannya termasuk semua mahluk hidup dan penunjang kehidupannya. Maka RTH merupakan wadah lahan yang memungkinkan menjadi habitat
suatu ekosistim, sehingga menjadi tempat plasma nuftah dan mampu memelihara proses ekologi, membantu tersedianya sumber daya alam,
meningkatkan kesesuaian lingkungan sosial, budaya dan ekonomi serta lingkungan dari masyarakat sekitarnya.
7 Sarana memperbaiki iklim mikro. Studi yang dilakukan Widigdo dan Hartono 2009, menunjukan adanya penurunan suhu udara rata-rata 2 derajat Celcius
pada musim panas dengan adanya RTH sebagai taman kota seluas 90 acre. Menurutnya, jumlah intensitas radiasi matahari yang jatuh pada mahkota
pohon digunakan untuk pertumbuhannya, hanya 10-25 yang memanaskan suhu udara disekitarnya. Sebaliknya di perkotaan yang penuh dengan
perkerasan 85 dari intensitas radiasi matahari jatuh di atas perkerasan, diserap dan memanaskan suhu udara diatasnya. Pohon juga dan dapat
mengurangi suhu udara pada iklim mikro. Pada areal berpohon di Kota Bogor, dibandingkan areal kurang berpohon didominasi perkerasan dan
bangunan suhu udara berbeda berkisar 2 derajat Celcius sedangkan kelembaban udara pada area berpohon lebih lembab 4-14. Pada iklim tropis
sering terjadi pengumpulan panas diatas perkotaan urban heat island akibat terkumpulnya udara panas diatas kota akibat perkerasan dan permukaan yang
dipanasi radiasi matahari tidak terbawa angin yang cenderung punya kecepatan yang rendah. Menurut Widigdo dan Hartono 2009 kondisi ini
dapat diperbaiki dengan menambah dan meningkatkan kualitas Ruang Terbuka Hijau.
8 Pengaturan tata air. Kemampuan resapan air menurut Widigdo dan Hartono 2009, pada lahan berhutan mencapai 70-80 air yang jatuh di atasnya,
sisanya berupa aliran permukaan. Lahan budidaya pertanian, volume resapan air hanya 40-50 dari air yang jatuh di atasnya, sisanya 50-60 adalah air
permukaan, sehingga berpeluang terjadi genangan air dipermukaan tanah. Pada lahan perkotan dengan luasan area permukiman dan perkerasan yang
besar, resapan air tidak lebih dari 10, sedangkan 90 merupakan air permukaan.
Riswan et al. 2008 telah melakukan kajian untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang disukai masyarakat dan jenis tumbuhan yang layak diintroduksi
sebagai tanaman penghijauan dan reboisasi, khususnya di sepanjang sempadan Sungai Ciliwung. Komposisi pohon yang diusulkan sebagai penyusun kanopi
utama di antaranya adalah mangga Mangifera indica dan durian Durio zibethinus
. Namun dalam penelitian ini tidak disarankan untuk memilih tanaman mangga, mengingat curah hujan di Kota Bogor terlalu tinggi. Sedangkan kanopi
kedua, tanaman yang disarankan adalah nangka Artocarpus heterphyllus Lmk., pala Myristica fragran, melinjo Gnetum gnemon, cengkeh Syzygium
13 aromaticum
, kemiri Aleurites moluccana, alpukat Persea americana, dan rambutan Nephelium lappaceum.
Lapisan kanopi ketiga yang disarankan adalah kopi Coffea robusta serta untuk tepian sungai dalam rangka menjaga erosi dan pengikisan tanah perlu
ditanam jenis-jenis bambu seperti bamboo apus Gigantochloa apus, bambu andongtali Gigantochloa verticillata atau bambu lokal Bambusa vulgaris.
Sedangkan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riswan 2008, ditemukan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sepanjang Sungai
Ciliwung, di mana dari sekitar 60 jenis pohon yang dijumpai, enam di antaranya merupakan jenis yang diandalkan oleh Provinsi Jawa Barat yaitu: jati, pinus,
mahoni, sengon, kayu afrika, durian. Selain pinus kelima jenis tersebut termasuk ke dalam andalan umum Riswan, 2008. Beberapa jenis tanaman penghijauan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis-jenis tanaman penghijauan
No Nama Pohon
Elevasi m Persyaratan Iklim
Kondisi Tanah A. Jenis Tanaman Kayu-kayuan:
1 Akasia Acacia auriculiformis
0-600 Berbagai Tipe Iklim terutama D
SuburKurang Subur 2
Bambu Dendrocalamus spp. Gigantochloa spp, Bambusa spp
. 0-800
Basah Kering Berbagai jenis tanah
3 Jeunjing Paraserianthes
falcataria 0-1500
Tipe Iklim A B CH2000 mm Subur-Sedang
4 PinusTusam Pinus merkusii
200-900 CH 1500-4000 mmth
Subur-Kurang B. Jenis Tanaman Industri
1 Cengkeh Syzygium aromaticum
0 - 900 CH 1500-4500 mmth, temp 25-
30oC Subur, gembur,drainase baik
2 Coklat Theobroma cacao
0-500 CH 1700-3000, temp. 15-25oC
Gembur, PH 6.1-7.0 3
Jambu mete Anacardium accidentale
0-800 CH 2500, 7 BB, 4-5 BK
Berbagai jenis tnh, drainase baik
4 Kayumanis Cinnamomum
burmani 0-2000
CH 2000-2500 Gembur banyak humus
5 Kayuputih Melaleuca
leucadendron 0-500
Basah dan Kering Subur -Tidak Subur
6 Kelapa Cocos nicifera
0-600 CH 1000-2250, cuaca panas
lembab Jenis tanah alluvial, laterit
tanah liat hitam 7
Kemiri Aleurites moluccana 0-800
CH merata sepanjang tahun Subur-Kurang Subur
8 Kopi Coffea arabica
0-2000 0-2000; CH 2000-3000, temp. 17-
24 Tanah gembur, tidak padas,
drainase baik, PH 5.5-6.5 9
Pala Myristica fragrans 0-700
CH 2000-3000 Tanah gembur banyak
humus C. Jenis Tanaman Buah
1 Advokat Persea americana
0-2000 CH 750-1000
PH Tanah tdk terlalu asam 2
Belimbing Averrhoa carambola 0-300
CH merata sepanjang tahun Tanah subur drainase baik
3 Duku Lansium domesticum
0-700 CH 1000-2500
Subur, gembur, drainase baik 4
Durian Durio zibethinus 0-700
CH cukup merata sepanjang tahun
Berbagai jenis tanah, banyak air tanah
5 Gandaria Boue macrophylla
0-500 CH 2500-3000
Gembur, drainase baik 6
Kluwih Artocarpus communis 1500
CH cukup, frekuensi hujan sering Gembur, drainase baik
7 Mangga Mangifera indica
0-600 CH 1000 mmth, BB 6, BK 4-6
CH Bulanan 60 mm Semua jenis tanah,
berpasir,lempungliat 8
Manggis Garcinia mangostana 0-800
CH cukup merata sepanjang thn Subur, drainase baik
9 Melinjo Gnetum gnemon
0-1000 CH 2000-4000
Berbagai tanah dengan drainase baik
10 Nangka Arthocarpus
heterophyllus 100
CH 2000-4000 Berbagai jenis tanah dengan
drainase baik 11
Petai Parkia speciosa 200-800
CH cukup merata tanah gembur, sarang
12 Rambutan Nephellium
lappaceum 0-500
CH 2500-3000 Berbagai jenis tanah
drainase baik 13
Sawo Manilkara zapota 0-300
800-2000 mm, BB 9-12, BK 0-3 Gembur, drainase baik
14 Lanjutan Tabel 2
No Nama Pohon
Elevasi m Persyaratan Iklim
Kondisi Tanah D. Jenis Tanaman Penguat Tebing Sungai:
1 Gamal Glyricidia sepium
0-100 Berbagai CH
Berbagai keadaan tanah 2
Kaliandra Calliandra calothyrsus
150- 1500
CH 1000 mmth Berbagai keadaan tanah
3 Lamtoro Leucaena
leucocephala 0-800
Berbagai variasi CH Berbagai keadaan tanah
4 Turi Sesbania grandiflora.
0-600 Berbagai variasi CH
Berbagai keadaan tanah Sumber:
Manan, 1995 dalam Riswan, 2008
Pemanfaatan Bantaran Sungai sebagai Hutan Kota
Hutan Kota berupa suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh walikota. Hutan kota berfungsi untuk mengatur iklim mikro, estetika serta resapan air yang berupa
hamparan pohon-pohonan baik jenis domestik maupun eksotik.
Kriteria hutan kota meliputi: 1 hutan yang terbentuk dari komunitas tumbuhan yang berbentuk kompak pada satu hamparan, berbentuk jalur atau
merupakan kombinasi dari bentuk kompak dan bentuk jalur; 2 jenis tanaman untuk hutan kota adalah tanaman tahunan berupa pohon-pohonan, bukan tanaman
hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun jenis asli atau domestik; 3 hutan yang terletak didalam wilayah perkotaan atau sekitar kota
dengan luas hutan minimal 0.25 hektar; 4 Paling sedikit 10 dari luas wilayah perkotaan.
Pengelolaan Ruang Berbasis Ekologi Lanskap Ekologi Lanskap
Lanskap dapat dipandang secara komprehensif sebagai sebidang lahan pada suatu lokasi tanpa melihat secara dekatsecara tertutup pada komponen tunggal.
Definisi lainnya, lanskap adalah bagian luas dari suatu teritori, bersifat homogen untuk beberapa karakter, yang dapat membedakan tipe-tipe berdasarkan hubungan
antar elemen-elemen baik secara struktural maupun fungsional Arifin, 2009. Arifin 2009 mengenalkan istilah ekologi lanskap yang didefinisikan sebagai ilmu
yang dapat dikembangkan dengan mengkombinasikan aspek ruang, pendekatan horisontal dari ahli geografi dan pendekatan vertikal dari ahli ekologi. Ekologi
lanskap juga merupakan ilmu yang berhubungan dengan manusia, mempelajari struktur, fungsi dan dinamika perubahan-perubahan lanskap.
Elemen Lanskap
Menurut Booth 1983, elemen lanskap terdiri dari landform, pohon, bangunan, perkerasan, site structure, dan air. Elemen tersebut adalah komponen
fisik dasar pembentuk lanskap dan merupakan media yang digunakan oleh para arsitek lanskap dalam membentuk suatu ruang. Setiap elemen memiliki karakter
yang berbeda-beda namun dengan keunikan yang dimilikinya, saling mengisi dan mempengaruhi satu sama lain membentuk suatu lanskap yang estetis. Secara
umum elemen lanskap meliputi tanaman atau pohon, segala sesuatu di atas permukaan tanah maupun air, serta konstruksi baik bangunan maupun elemen
taman Eckbo 1984.
15 Landform
berarti bentukan lahan. Dalam skala regional, landform meliputi perbedaaan tipe lembah, gunung, daerah berbukit-bukit, padang rumput, dan
dataran. Landform dalam skala regional disebut sebagai landform makro, namun dalam skala tapak, disebut sebagai landform mikro dan pada skala terkecil disebut
landform
mini. landform mikro meliputi gundukan tanah, lereng, tingkat area atau perubahan elevasi melalui steps dan ramps. Sedangkan landform mini di antaranya
meliputi gelombang bukit pasir atau variasi tekstur pada batu. Secara umum, landform
merupakan elemen tanah pada lingkungan eksterior. Elemen landform memiliki peranan yang penting dalam lanskap karena
secara langsung berhubungan dengan elemen dan aspek lain pada lingkungan. Oleh karenanya Landform mampu memfasilitasi berbagai kegiatan outdoor dan
dapat berperan baik sebagai elemen estetik maupun elemen yang bermanfaat dalam aplikasi desain. Hal-hal yang bermanfaat tersebut di antaranya efek
topografi yang memiliki karakter keindahan suatu area, definisi dan persepsi suatu ruang, pandangan, drainase, iklim mikro, penggunaan lahan yang keseluruhannya
dapat mengatur fungsi tapak khusus. Landform berperan penting dalam elemen- elemen lanskap lainnya meliputi material tanaman, perkerasan, air dan bangunan.
Elemen-elemen lanskap dan komponen lainnya seyogyanya bertumpu pada permukaan tanah, karena bentuk, kemiringan, dan orientasi permukaan tanah
tersebut sangat berpengaruh pada segala sesuatu Booth, 1983.
Menurut Booth 1983, pohon merupakan salah satu elemen lanskap yang setidaknya memiliki tiga fungsi utama yaitu struktural, lingkungan, dan visual,
serta merupakan salah satu elemen fisik tapak yang penting dalam disain, dan pengelolaan lingkungan. Pohon sebagai fungsi struktural berperan sebagai
pembentuk dan pengatur ruang, mempengaruhi pemandangan, dan mempengaruhi arah pergerakan. Dalam fungsi lingkungan, pohon dapat berperan sebagai
pembersih, penjaga kelembaban tanah, pencegah erosi, pengatur suhu, dan sebagai habitat satwa. Sedangkan sebagai fungsi visual, pohon dapat berperan sebagai
focal point
dan visual connecting karena pohon memiliki karakter tersendiri berupa ukuran, bentuk, warna, dan tekstur.
Bangunan merupakan elemen lanskap yang seringkali lebih dominan dibandingkan dengan elemen tanaman, khususnya pada lanskap perkotaan.
Bangunan dan daerah di sekitarnya merupakan lokasi primer bagi aktivitas manusia termasuk tidur, mengurus anak, bekerja, belajar, dan bersosialisasi
Booth, 1983. Kehadiran bangunan dalam suatu lanskap baik secara individu maupun berkelompok cluster dapat mempengaruhi pemandangan, membentuk
ruang terbuka, memodifikasi iklim mikro, dan menambah nilai fungsional tapak. Elemen bangunan memiliki peranan penting dalam membentuk karakter suatu
ruang. Bangunan berbeda dengan elemen-elemen lanskap lainnya karena seluruh bangunan memiliki fungsi interior yang terbentuk karena dindingnya dan atau
berbatasan dengan tapak. Bangunan yang berdiri secara individual dipandang sebagai objek solid dalam lanskap yang dikelilingi oleh ruang terbuka. Bangunan
tunggal tidak menciptakan ruang tetapi lebih kepada objek di dalam ruang. Jika bangunan disusun secara berkelompok, maka tercipta suatu ruang terbuka yang
terbentuk di antara massa bangunan Booth, 1983.
Perkerasan merupakan salah satu elemen lanskap yang dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat natural dan keras atau material permukaan
buatan yang ditempatkan pada tanah di ruang terbuka untuk membentuk
16 permukaan yang tahan lama dan juga bertujuan menciptakan desain yang
memuaskan. Perkerasan memiliki beberapa karakteristik yang merupakan bagian dari kumpulan material permukaan tanah lainnya. Beberapa contoh perkerasan di
antaranya batu kerikil, batu bata, keramik, batu, beton, aspal, dan wood decking. Menurut Booth 1983, perkerasan perkerasan memiliki kualitas yang lebih
permanen, oleh karenanya sangat baik digunakan untuk mendukung penggunaan yang kuat pada tanah dan membentuk area tanah yang tetap sama sepanjang
waktu.
Elemen lanskap lainnya adalah site structure, yang didefinisikan sebagai elemen konstruksi tiga dimensi dalam lanskap yang memiliki fungsi spesifik
mengisi pada spasial yang lebih luas. Menurut Booth 1983, site structure merupakan elemen keras, tetap, dan relatif permanen pada lingkungan outdoor,
dan merupakan elemen arsitektural skala kecil dengan karakteristik dan penggunaan yang bervariasi. Beberapa contoh site structure di antaranya tangga,
dinding, pagar, tempat duduk, gazebo, shelter, deck, dan bangunan kecil.
Air merupakan salah satu elemen lanskap yang sangat penting. Penggunaan air dalam desain dan manajemen lingkungan eksterior saat ini sudah menjadi tren.
Menurut Booth 1983 air merupakan elemen yang digunakan oleh para arsitek lanskap karena dapat digunakan sebagai elemen estetik atau dapat berfungsi
sebagai pendingin udara, penahan suara, atau menyediakan sarana rekreasi. Air menjadi elemen penting karena memiliki visual khusus yang dapat menarik
perhatian manusia untuk melihatnya, sehingga dapat menciptakan pemandangan tersendiri dengan suara gemericik pada tempat rekreasi. Manusia memiliki
kecenderungan yang kuat untuk berinteraksi dengan air, menyentuh dan merasnya atau bahkan membenamkan diri ke dalam air untuk kesenangan dan rekreasi.
Jaringan Ekologi Perkotaan
Jaringan ekologis ecological networks dapat mengatasi paradoks pelaksanaan konservasi sumberdaya alam dan pembangunan pada skala spasial
yang efektif. Suatu jaringan ekologi dapat memiliki tujuan tunggal Jongman 1995 atau multi-tujuan, namun tetap menekankan pada aspek koherensi jaringan
didasarkan pada proses-proses ekologis. Penerapan konsep jaringan ekologis dengan indikator multi-fungsional merupakan langkah yang prospektif untuk
mencapai sebuah kota yang lebih berkelanjutan. Jaringan ekologis dapat melindungi kawasan dari gangguan luar patch, mengimbangi efek dari fragmentasi
lanskap dan bahkan meningkatkan sumber daya sosialbudaya dengan membentuk sebuah jaringan atau sistem yang dapat memaksimalkan nilai-nilai interpretatif dan
rekreatif. Integritas dan interkoneksi antara jaringan ekologis dapat memfasilitasi beberapa fungsi kawasan di lingkungan perkotaan dengan menyediakan fasilitas
rekreasi di kota-kota Sanderson dan Harris 2000; Jongman dan Pungetti 2004.
Jaringan ekologis perkotaan dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang bersifat alamiah dan permukiman. Pohon alami, badan air, sungai, air dan koridor udara,
dan sebagainya termasuk fenomena alam adalah kategori alamiah. Namun, RTH buatan, hutan, saluran drainase, saluran air, jaringan akses, greenways dan jaringan
fisik lainnya adalah kategori permukiman. Untuk meningkatkan interaksi ekologis, keberlanjutan dan liability di lingkungan perkotaan, beberapa ide seperti
jaringan RTH Turner 1995; Cranz dan Boland 2005, sistem parkir Jongman dan Pungetti 2004; Anonymous 2006; Maruani dan Cohen 2007 dan jaringan
greenway
McHarg 1969; Ahern 1995, 2002; Fabos 2004; Turner 2006 dapat
17 dikembangkan sebagai inisiatif untuk menghubungkan jaringan alamiah dan
permukiman. Untuk memahami proses dan pola dominasi lanskap pada struktur dan distribusi spasial dari jaringan tersebut, diperkenalkan dua model jaringan; a
jaringan bercabang, b jaringan terangkai Gambar 2.
Jaringan bercabang adalah seperti struktur pohon yang memiliki hierarki. Struktur ini terdiri dari set garis terhubung. Jaringan terangkai dengan struktur
loop tertutup seperti sistem transportasi dan pola jalan. Forman 1995 menunjukkan bagaimana pengembangan pola grid di perkotaan dapat
menghancurkan proses ekologi Gambar 3.
Gambar 2 Kategori Jaringan: a bercabang vs. b terangkai
a b
c
Gambar 3 a Proses-proses Ekologis, b Pembangunan Perkotaan tanpa
memperhatikan proses ekologis, c Pembangunan Perkotaan dengan memperhatikan proses ekologis.
Penerapan Ekologi Lanskap dalam Jaringan
Ekologi lanskap perkotaan sebagai sebuah pendekatan multi-disiplin secara terintegrasi membantu menghubungkan pola spasial pada proses ekologis di
perkotaan. Matriks alamiah yang terbentuk di wilayah perkotaan dalam bentuk patch
dan koridor dengan dinamika mosaik lanskap akibat pembangunan perkotaan dari waktu ke waktu, sehingga pemandangan kota dapat berubah.
Struktur ekologi lanskap secara langsung mempengaruhi masing-masing elemen dan fungsi serta seluruh kota. Ukuran, jenis, bentuk, orientasi, konfigurasi, dan
distribusi patch serta hubungannya mempengaruhi fungsi kota. Selain itu, distribusi spasial dari node, percabangan dan hirarki dari koridor mempengaruhi
struktur kota. Forman dan Godron 1986 memperkenalkan konsep-konsep seperti patch
, koridor dan matriks sebagai elemen dasar dalam ekologi lanskap untuk menggambarkan pola spasial. Pola spasial yang dibentuk oleh elemen lanskap
linier memperkenalkan konsep konektivitas pada ekologi lanskap. Dengan
18 demikian, jaringan ekologis dapat didefinisikan sebagai pola elemen lanskap
terhubung, dan penting untuk fungsi ekologi lanskap Schreiber 1988. Patch
dalam lanskap perkotaan merupakan hasil dari gangguan aktivitas manusia. Koridor alami atau permukiman meliputi koridor yang dibentuk oleh
sungai atau kanal buatan, koridor batas seperti patch, jalan, jalan dan pagar tanaman dan koridor strip dengan greenbelts yang lebih luas mirip pita. Struktur
jaringan ekologi perkotaan didefinisikan sebagai hubungan spasial di antara unsur- unsur pembentuk lanskap. Heterogenitas yang tinggi, patch kurang besar,
defragmentasi dan penurunan hasil keanekaragaman hayati menentukan kualitas lanskap perkotaan. Jaringan ekologi perkotaan perlu memfasilitasi dan
memperkuat hubungan antara patch melalui koridor ekologis pada lanskap perkotaan.
Transformasi patch dan koridor dalam matriks kota secara langsung mempengaruhi fungsi ekologis kota. Beberapa pertimbangan umum untuk
perbaikan struktural dan fungsional dari patch dan koridor dalam konteks perkotaan ditunjukkan pada Tabel 3. Penerapan ekologi lanskap dalam
meningkatkan jaringan ekologi perkotaan berdasarkan model patch-koridor- matriks sangat tergantung kepada kondisi ekologi lokal dan regional. Kasus
wilayah Kota Bogor model berfungsi untuk membantu mengenali potensi jaringan alamiah dan permukiman, pembatasan pembangunan, dan cara-cara optimalisasi
pemanfaatan lahannya.
Evaluasi Nilai Pohon
Metode evaluasi nilai dan fungsi pohon peneduh telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Pohon-pohon ini menjalankan fungsi ekologis sekaligus
ekonomis, sehingga kerusakan yang terjadi pada pohon peneduh ini menyebabkan kerugian. Rumus untuk menentukan nilai pohon naungan pertamakali diusulkan di
awal abad ke-20 oleh seorang profesor di Michigan State University, yaitu 5 dengan penambahan sebesar 5 selama 25 tahun. Beberapa perbaikan terus
dilakukan selama bertahun-tahun hingga ditemukan sebuah metoderumus yang disampaikan pada Konferensi Nasional Pohon Naungan [sekarang dikenal sebagai
Masyarakat Internasional Ilmu Pengetahuan Hutan ISA] pada tahun 1949. Sejak itu, beberapa revisi terhadap teknik menilai pohon peneduh lebih dapat diterima,
khususnya bagi perusahaan asuransi, pengadilan dan Internal Revenue Service IRS.
Tabel 3 Pertimbangan untuk perbaikan struktural dan fungsional dari patch dan koridor dalam konteks perkotaan
No. Keterangan Kondisi
kurang sesuai Kondisi
sesuai 1 Integritas:
Interkoneksi antara patch ekologi dan koridor dalam matriks perkotaan alamiah dan permukiman untuk
mengembang-kan diri dan proteksi terhadap kondisi perkotaan dan aliran ekologisnya.
19 Lanjutan Tabel 3
No. Keterangan
Kondisi kurang
sesuai Kondisi
sesuai
2 Perspekstif Regional: Mempertimbangkan jejaring dengan kondisi ekologi
perkotaan yang terbatas, di mana aliran ekologi diteruskan atau diluruskan.
Hirarki: 3 Peningkatan fungsi jejaring ekologi perkotaan ber-
dasarkan hirarki struktural, aspek hidrologi sebagai proses penting dalam aliran ekologi dalam jejaring
4 Patches
besar Proteksi patches besar dengan nilai ekologi tingkat
tinggi pada lingkungan permukiman perkotaan dan kawasan sekitar dengan seringnya konflik
penggunaan lahan.
5 Patches Kecil Pengintegrasian patches dengan ukuran kecil lebih
berfungsi baik pada suatu jejaring ekologis, khususnya di area padat bangunan dan penduduk
6 Patches Lebih Banyak Pembuatan beberapa patches untuk memfasilitasi
terjadinya penetrasi dari jejaring ekologi kepada terbentunya jaringan perkotaan.
7 Daerah Sekitar Patch
Pembuatan patches terdekat menaikkan taraf kenyamanan dan fungsi ekologis, dan mereduksi
aliran di antara patches.
8 9
Hubungan antar Koridor: Hubungan antar koridor menguntungkan individu
yang terkait dengan fungsi ekologis Pola Pencabangan Koridor:
Keterkaitan pola struktural dari kedua pencabangan alamiah dan rangkaian koridor permukiman secara
langsung mempengaruhi fungsi ekologis
10 Patches
Koridor Keterhubungan patches secara alamiah atau
menggunakan koridor buatan meningkatkan kinerja ekologis
Sumber: Forman, 1995
Nilai Pohon
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk sampai pada nilai-nilai pohon. Dalam penggunaannya bervariasi menurut ukuran pohon, jenis, tujuan,
sifat kerugian, dll. Panduan untuk penilaian tanaman menggunakan metode berikut: 1 Metode International Shading Trees Evaluation Method ISTEM, 2
20 Metode Penggantian Biaya, 3 Metode Pengukuran, 4 Metode Telapak Tangan,
5 Biaya Perbaikan, 6 Biaya Penyembuhan, 7 Metode Perhitungan Nilai Tanaman, dan 8 Appraisal Hutan Kayu. Para penilai bertanggung jawab dan
seyogyanya mampu mendukung penilaian dengan dokumentasi dan bukti kuat yang diuji pada pemeriksaan pengadilan. Penilai dianggap sebagai ahli tanaman
yang memahami ilmu biologi dan ekonomi, faktor penting dalam menilai kondisi, spesies, pengukuran dan efek lokasi tanaman tertentu. Penilaian tanaman juga
dapat dilakukan untuk jenis semak, tanaman merambat, tanaman penutup tanah dan juga struktur lanskap.
Penelitian Wibawa 2010 menyatakan bahwa berdasarkan kombinasi antara jumlah dan sebaran tanaman, ditentukan 10 jenis tanaman hortikultura tahunan
potensial yaitu nangka, lengkeng, durian, melinjo, mangga, alpokat, rambutan, limus, petai, dan jengkol. Kombinasi pola tanam alpokat-nangka-lengkeng
menunjukkan nilai NPV tertinggi, yaitu sebesar Rp. 38 779 187.
Pepohonan dan tanaman lainnya sering dinilai untuk berbagai alasan termasuk: penilaian klaim asuransi, kontribusi nilai properti, korbanan untuk
keperluan pajak dan lain-lain. Nilai pohon peneduh di Texas biasanya dapat ditentukan dengan menggunakan nilai pasar melalui penempatan pohon ditanam
dan dijamin pemeliharaannya sejak pembibitan pohon. Jika suatu spesies tidak tersedia dari pembibitan dan pohon kecil, dasar nilai pasar yang wajar pada suatu
spesies yang sama dengan ukuran yang sebanding. Perusahaan menjual pohon besar dan menanam pohon hingga diameter 20.32 cm. Nilai pohon yang lebih
besar dapat diperkirakan dengan menggunakan salah satu metode penilaian lain. Metode stick formulae biasanya mengabaikan nilai pohon kecil, tetapi sering
digunakan dalam mengestimasi nilai pohon 20.32 cm dengan diameter diukur pada 4.5 meter di atas tanah. Empat faktor yang dipertimbangkan dalam rumus:
ukuran, jenis, kondisi dan lokasi.
Masyarakat internasional ilmu pengetahuan hutan yang tergabung dalam Shading Trees Evaluation Committee
Komite Evaluasi Pohon Peneduh menetapkan bahwa ukuran batang pohon menentukan ukuran keteduhan pohon.
Para pembudidaya dan Asosiasi Lanskap di Amerika dahulu American Association of Nurserymen
membuat pendekatan dalam mengukur diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter 10.16 cm atau lebih kecil, diameter
ditentukan pada ketinggian 15.24 cm di atas tanah. Untuk pohon dengan diameter dari 12.7 sampai 20.32 cm, pengukuran diameter ditentukan 30.48 cm di atas
tanah. Untuk pohon dengan diameter lebih besar dari 20.32 cm, diameter ditentukan pada ketinggian 4.5 meter. Pengecualian terhadap aturan ini terjadi di
mana cabang-cabang pohon rendah menyebabkan batang membesar, dalam hal ini evaluator mengukur diameter tepat di atas area pembengkakan batang. Luas
penampang ditentukan dengan rumus 0.7854D
2
dimana D adalah diameter setinggi dada yang diukur. Misalnya, 25.4 cm diamater dengan Kelas pohon 1, dalam
kondisi sempurna dan lokasi strategis hanya bernilai 1 964 atau saat ini bernilai sekitar Rp. 17 676 000. Perhitungannya sebagai berikut:
0.7854D = 0.7854 10 = 78.54 in
2
; 78.54 in
2
x 36in
2
= US 2 827
Tidak semua spesies dan varietas pohon memiliki nilai yang sama. Kebutuhan pemeliharaan, kualitas dan pengaruh situs lanskap mengadaptasi nilai
dari sebuah spesies. Pengelompokan jenis pohon ke dalam kelas nilai bersifat subyektif dan dapat bervariasi untuk setiap negara dan bahkan berbeda penilaian
21 pula untuk setiap ahli pohon lainnya. Tabel 4 menyajikan penilaian kelas pohon
berdasarkan kriteria Dreesen 2005. Spesies nilai pohon yang tidak terdaftar seyogyanya dikenali terlebih dahulu oleh spesialis sebelum melakukan evaluasi.
Tabel 4 Kelas Pohon Klas Pohon
Spesies Klas 1
– 100 Pinus merkusii, Maesopsis eminii, Casuarina sumatrana, Swietenia Macrophylla
Klas 2 – 80 Theobroma cacao, Mangifera indica, Manilkara kauki, Persea
Americana, Lansium domesticum, Durio zibethinus, Sandoricum koetjape, Coffea robusta, Coffea Arabica, Gnetum gnemon,
Baccaurea dulcis, Artocarpus integer, Parkia speciosa, Nephelium lappaceum
Klas 3 – 60 Acacia auliculiformis, Leucaenaleucocephala, Artocarpus altilis,
Albizia paraserianthes, Acacia mangium, Tectonia grandis Klas 4
– 10 Averrhoa bilimbi, Muntingia calabura, Psidium guajava, Syzygium aromaticum, Bauhenia sp.
Keterangan: Pengelompokan jenis disesuaikan dengan jenis tanaman di Indonesia Sumber: Dreesen, 2005
Kondisi Pohon
Beberapa pohon naungan tumbuh, menua dan akhirnya mengalami kerusakan akibat pembusukan atau oleh manusia sehingga pertumbuhannya yang
tidak merata. Seorang ahli arborist menilai kondisi suatu pohon atas dasar persentasenya. Misalnya, pohon 10-inci di Kelas 1 dengan kondisi kurang
proporsional atau terdapat gejala busuk jantung, sehingga tidak dinilai sebesar Rp. 17 676 000, melainkan hanya dinilai sebesar 60 persennya atau sekitar Rp. 10 600
000. Pengetahuan tentang penyakit pohon patologi, entomologi dan fisiologi juga penting untuk dapat melakukan evaluasi secara profesional. Dalam beberapa hal
diperlukan konsultasi untuk lebih meyakinkan dalam mendiagnosa kondisi pohon sebelum memutuskan persentasenya. Terdapat enam faktor kondisi A hingga F,
di mana masing-masing memiliki peringkat dari satu sampai lima. Jumlah rating dari enam faktor untuk masing-masing pohon menyatakan nilai kondisi pohon
Tabel 5.
Tabel 5 Kondisi Pohon
No. Uraian
Kelas A
Kondisi batang 1
Padat kompak 5
2 Kulit kayu terkelupas
3 3
Kerusakan ekstensif 1
B Pertumbuhan beragam species
1 Kuat
3 2
Moderat 2
3 Kurang
1 C
Struktur 1
Kompak 5
2 Satu atau beberapa dahan mati, rusak, atau hilang
3 3
Dua atau lebih dahan utama rusak atau hilang 1
22 Lanjutan Tabel 5
No. Uraian
Kelas D
Serangan serangga atau penyakit 1
Tidak ada serangan penyakit 3
2 Satu penyakit
2 3
Dua atau lebih penyakit 1
E Perkembangan tajuk
1 Penuh dan berimbang
5 2
Penuh, namun tidak berimbang 3
3 Kurang berimbang dan tajuknya tidak penuh
1 F
Harapan hidup tumbuh 1
Lebih dari 30 tahun 3
2 Antara 15
– 30 tahun 2
3 Kurang dari 5 Tahun
1 Total Nilai Rating A+B+C+D+E+F:
Kualitas 1.
26 – 23
100 – 80
2. 22
– 19 60
– 80 3.
18 – 14
40 – 60
4. 13
– 10 20
– 40 5.
9 – 6
– 20
Sumber: Dreesen, 2005
Penurunan kualitas pohon dapat diketahui melalui tingkat kerusakan pada pohon tersebut. Beberapa kerusakan yang biasa terjadi menurut Mongold 1997,
antara lain: a. Kanker.
Kanker merupakan tipe kerusakan pada pohon dimana kulit dan kambium mengalami kematian disfunction, yang kemudian diikuti oleh matinya kayu
di bawah kulit. Gejalanya ditunjukkan dengan permukaan kulit yang biasanya tertekan ke bawah atau bagian kulitnya pecah sehingga terlihat bagian
kayunya. Kanker disebabkan oleh berbagai agen, tetapi paling sering disebabkan oleh fungi. Kanker dapat menjangkit musiman atau pun menahun.
b. Lapuk hati atau konk Kerusakan lapuk hati merupakan kerusakan dengan gejala yang ditunjukkan
yaitu berupa pembusukan yang terjadi dalam batang sehingga sulit diamati dari luar, tetapi timbulnya tubuh buah atau konk menjadi indikator lapuk yang sudah
lanjut yang disebabkan oleh fungi. Tipe kerusakan ini menyebabkan meningkatnya resiko penurunan penyerapan air dan unsur hara serta kerusakan
sehingga pohon mudah roboh oleh angin.
c. Luka terbuka Luka yang ditunjukkan dengan mengelupasnya kulit atau kayu bagian dalam
yang telah terbuka dan tidak ada tanda lapuk lanjut. d. Dieback
Dieback merupakan merupakan kerusakan di mana terjadinya kematian ranting
atau cabang dari bagian ujung dan meluas ke bagian kambium. Dieback bukan sekedar hasil dari satu faktor seperti akibat adanya organisme perusak atau
musim kering berkepanjangan saja, melainkan karena akumulasi dari kurangnya nutrisi sehingga memicu organisme perusak.
e. Resinosis dan Gumosis
23 Resinosis
merupakan keluarnya cairan yang berupa resin dari bagian tanaman yang sakit, dan disebut gumosis apabila berupa gum. Terjadi hanya jika batang
atau cabang terluka atau dilukai hingga mengenai xylem dan terserang patogen. Tipe kerusakan ini membuat pohon sakit karena kehilangan banyak getah dan
mengundang serangan penyakit.
f. Patah akar atau mati Patah akar atau mati baik karena galian atau apapun penyebabnya yang
melukai, dapat mengundang penyebab penyakit lain untuk datang. g. Brum
Brum terjadi akibat adanya infeksi oleh benalu kerdil. Brum dapat terjadi pada
akar atau batang, juga di dalam daerah tajuk hidup dimana membentuk suatu gerombolan ranting padat yang tumbuh di suatu tempat yang sama dengan di
dalam daerah tajuk hidup, termasuk juga struktur vegetatif dan organ yang bergerombol tidak normal.
h. Hilangnya dominasi ujung atau mati ujung Merupakan kematian dari ujung tajuk atau mati pucuk dapat disebabkan oleh
faktor cuaca, serangga dan penyakit, ataupun sebab-sebab lainnya. i. Kerusakan kuncup, daun atau tunas
Gejala yag terlihat yaitu daun yang term serangga, terkerat atau terkeliat ataupun terserang jamur termasuk kuncup atau tunas.
j. Perubahan warna daun Gejala yang tampak yaitu daun tidak lagi berwarna hijau khlorosis atau daun
menjadi layu. Penyebabnya kemungkinan karena kekurangan cahaya matahari, temperatur rendah, kekurangan Fe, virus, gangguan oleh cendawan, bakteri atau
serangan penyakit, bahan beracun di udara atau tanah, kelembaban tanah yang berlebihan, surplus mineral tanah kekurangan atau ketidaktersediaan nutrisi.
Kerusakan pohon dapat dinilai berdasarkan metode penilaian yang dikembangkan oleh USDA Forest Service sebagai berikut Hadiyan, 2010:
Lokasi kerusakan dapat dilihat berdasarkan kode 0-9 pada Gambar 4. Tanda dan gejala kerusakan diberi prioritas dan dicatat berdasarkan lokasi menurut
urutan akar dan batang bagian bawah; batang bagian bawah dan bagian atas; tajuk; cabang, kuncup dan tunas dan daun. Semakin tinggi nomor urutan kerusakan
semakin rendah prioritasnya. Pada umumnya hanya dicatat maksimum tiga kerusakan untuk setiap pohon. Namun bila sebuah pohon memiliki lebih dari tiga
kerusakan, maka kerusakan yang utama yang digunakan. Apabila terdapat kerusakan ganda pada lokasi, maka kerusakan yang paling merusaklah yang
dicatat Tabel 6. Kategori kerusakan dicatat berdasarkan nomor urutan yang menunjukkan signifikansi yang semakin menurun dari kerusakan 01-31
sebagaimana Tabel 7.
Pengamatan keparahan adalah jumlah luas daerah yang terserang di atas nilai ambang pada lokasi dan tingkat kerusakan tertentu. Kode keparahan
menunjukkan persentase kerusakan Tabel 8. Formulasi indeks kerusakan dapat mengadopsi model yang dikembangkan oleh Perum Perhutani pada hutan jati
dengan formulasi sbb:
Kerusakan = f tipe, lokasi, keparahan
24
Daun 09 Tunas dan Kuncup
08
Cabang 07
Batang tajuk 06 Batas tajuk
yang hidup Batang atas 05
Batang Bawah 03
Akar dan Stump 01
Batang atas dan batang bawah 04
Akar dan batang bawah 02
Gambar 4 Lokasi kerusakan pada pohon Alexander dan Bernard, 1996 Indeks Kerusakan Pohon = tipe kerusakan-1 x lokasi-1 x keparahan-1+tipe
kerusakan-2 x lokasi-2 x keparahan-2+tipe kerusakan-3 x lokasi-3 x keparahan- 3 pada setiap pohon, di mana indeks Kerusakan plot adalah nilai rata-rata
kerusakan pohon dalam plot, sedangkan indeks kerusakan area adalah rata-rata kerusakan pohon dari seluruh plot dalam area.
Tabel 6 Kode lokasi dan diskripsi prioritas untuk kemampuan tumbuh pohon
Kode Nilai Indeks
Definisi Tidak ada kerusakan
1 2
Akar yang tampak dan batang bawah-stumps 12 inchi atau 30 cm dari permukaan tanah
2 2
Akar dan batang bagian bawah 3
1.8 Batang bawah di bawah separuh ranting, di antara stumps dan
bagian dasar tajuk hidup 4
1.8 Batang bagian bawah dan bagian atas
5 1.6
Batang bagian atas di atas separuh ranting, di antara stumps dan bagian dasar tajuk hidup
6 1.2
Bagian tajuk batang utama termasuk di dalamnya area tajuk hidup-live crown area, di atas dasar tajuk hidup
7 1
Cabang-cabang batang berkayu selain batang utama 8
1 Pucuk, tunas bagian tanaman yang tumbuh terakhir
9 1
Bagian dedaunan
Sumber: Pudjiono, 2004
25 Tabel 7 Diskripsi kode kerusakan, mulai dari yang tertinggi sampai terendah
Kode Deskripsi
Sebaran Bobot
1 Cancer
20 atau lebih melingkar atau menyeluruh pada titik kejadiannya
1.9 2
Conk, Fruiting bodies ,
indikator lain yang melukai dan berkembang
Tidak ada, Kecuali 20 atau lebih pada akar dengan ketinggian 0.91 m dari
batang 1.7
3 Open wounds
20 atau lebih melingkar atau menyeluruh pada titik kejadian
1.5 4
Resinosisgummosis 20 atau lebih melingkar atau
menyeluruh pada titik kejadian 1.5
5 Batang atau akar pecah
Tidak ada 2.0
6 Brooms pada akar atau
batang 20 atau lebih pada akar
1.6 7
Akar mati atau rusak 20 atau lebih pada akar
1.5 8
Kehilangan pucuk, pucuk mati
1 atau lebih dari batang tajuk 1.3
9 Pecah atau mati
20 atau lebih dari cabang-cabang atau brooms
1.0 10
Cabang berlebih atau brooms
20 atau lebih dari cabang-cabang atau brooms
1.0 11
Kerusakan pada daun atau pucuk
30 atau lebih dari dedaunan 1.0
12 Kerusakan warna pada
daun 30 atau lebih dari dedaunan
1.0 13
Lainnya, liana 30 atau lebih menutupi dedaunan
1.0
Sumber: Pudjiono, 2004
Tabel 8 Kode, nilai dan klasifikasi keparahan dan kerusakan Kode Nilai
Kelas 1.5
1-9 atau tidak dapat diperkirakan 1
1.1 10-19
2 1.2
20-29 3
1.3 30-39
4 1.4
40-49 5
1.5 50-59
6 1.6
60-69 7
1.7 70-79
8 1.8
80-89 9
1.9 90-100
Sumber : Pudjiono, 2004
Penilaian Kualitas Tegakan
Pohon yang berkualitas baik umumnya berdiameter besar, batang pokok lurus, mata kayu dan cacat kayu sedikit. Bila tidak terserang hamapenyakit atau
26 cacat fisik lain, maka kualitas sama dengan ukuran kayu. Setidaknya terdapat dua
hal yang dapat menurunkan kualitas kayu, yaitu: 1 Hal yang menurunkan nilai, kualitas dan nilai penggunaan mata kayu,
kerusakan mekanis lain, tetaptidak berkembang dan merusak kayu. 2 Hal yang mendorong kerusakan kayu dan terus menerus berkembang di
dalamnya jamur atau pembusuk kayu.
Lokasi Pohon
Lokasi menentukan nilai dari sebuah pohon di lanskap pekarangan Gambar 5. Pemahaman tentang peran pohon spesifik membantu ketika menerapkan faktor
ini untuk rumus. Kondisi berikut ini diuraikan untuk panduan:
Gambar 5 Nilai Pohon Pekarangan Sebuah pohon pekarangan memiliki nilai lokasi yang lebih besar dibanding pohon
yang kurang selaras dengan lanskap yang terletak di pinggir jalan raya.
Tabel 9 Lokasi Pohon No.
Keterangan Nilai Lokasi
1 Fitur atau pohon sejarah
90-100 2
pohon-pohon lansekap di perumahan 80-90
3 Pohon di kawasan mal atau pusat perbelanjaan
75-85 4
pohon kawasan publik dan komersial 70-85
5 Pohon arboretum dan taman
60-80 6
Pohon Lapangan golf, berlokasi strategis 60-80
7 Pohon jalan
60-80 8
Pohon penahan angin 60-70
9 Pohon Rekreasi dan area piknik
60-70 10
Pohon kawasan industri 50-70
11 Pohon di luar Kota
40-60 12
Pohon hutan alamiah 30-40
Sumber: Dreesen, 2005
Ardiansyah 2010 dalam salah satu bagian bukunya mengisahkan tentang seorang dosen arsitek pertamanan pernah mencoba menghitung berapa sebetulnya
harga sebuah pohon. Hasilnya cukup mengejutkan karena ternyata harga sebuah pohon tidak murah. Berlandaskan pada standar International Shade Trees
Evaluation Method
ISTEM yang menetapkan patokan harga 40 dolar AS untuk setiap inci persegi dari potongan batang pohon, diperoleh angka untuk pohon asam
yang ukuran diameter batangnya sudah mencapai 70 cm, seharga lebih dari 15 juta
27 rupiah. Sedangkan pohon beringin yang batangnya berdiameter 1 meter mencapai
tingkat harga 32 juta rupiah. Nilai tersebut baru dihitung harga nominal sebagai pohon biasa pada umumnya, belum termasuk harga simbolis atau nilai spiritual
yang disandang oleh pohon tersebut memiliki makna sejarah.
Pemilihan Jenis Tanaman
Pemilihan jenis dilakukan untuk menentukan jenis tanaman yang ditanam agar sesuai dengan kondisi setempat sehingga tanaman yang ditanam diharapkan
dapat berfungsi maksimal sesuai dengan yang diharapkan Dahlan, 2004. Beberapa tanaman yang dapat ditanam di sempadan Ciliwung disajikan pada Tabel
10.
Tabel 10 Pohon yang dapat ditanam di sempadan Sungai Ciliwung No.
Nama Lokal Nama Botani
1. Mahoni p
Swietenia macrophylla 2.
Matoa p Pometia pinnata
3. Angsana
Pterocarpus indicus 4.
Beringin karet p Ficus elastica
5. Sempur p
Dillinia indica 6.
Bambu p Bambusa vulgaris
7. Akar wangi gc
Vetifera zizaniodes 8.
Kangkung londo gc Ipomea carnea
Keterangan: p: pohon, gc:graoundcover
Pohon tersebut berfungsi untuk menjaga kelokan alur sungai agar tidak menjadi longsor
Sumberdaya Lahan dan Penataan Ruang
Sumberdaya lahan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada tanah, yaitu suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan
pohon dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan pengguaan lahan Hernawan, 2009. Menurut Sugiharto 2006, konsep lahan atau tanah
setidaknya mancakup 1 konsep ruang, 2 konsep tanah, 3 konsep faktor produksi, 4 konsep situasi, 5 konsep properti dan 6 konsep modal. Beberapa
istilah penggunaan, pemanfaatan, dan peruntukan lahan land use perlu dideskripsikan secara lebih jelas.
Lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan pohon, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya, termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, namun faktor-faktor sosial ekonomi secara murni
tidak termasuk dalam konsep lahan ini Saefulhakim, 1999. Selanjutnya dikemukakan bahwa lahan terkait dengan karakteristik fisik lahan seperti
kemiringan slope, pola drainase, resiko banjir, bencana erosi, lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah
dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia di masa lalu maupun di masa kini.
Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, yakni i sediaanluas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami
sedimentasi dan proses artifisial reklamasi sangat kecil; ii memiliki sifat fisik
28 jenis batuan, kandungan mineral, topografi, dsb. dengan kesesuaian dalam
menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Oleh karena itu lahan perlu diarahkan untuk dimanfaatkan untuk kegiatan yang paling sesuai dengan
sifat fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang terus berkembang Dardak, 2005.
Topografi merupakan gambaran bentuk permukaan bumi yang terbentuk akibat proses-proses endogen dan eksogen yang selanjutnya membentuk suatu
fisiografi landform. Bentukan topografi suatu wilayah relatif tetap. Pada wilayah tertentu bentukan topografi dapat berubah akibat program penggunaan lahan yang
telah dilakukan manusia, misalnya penambangan bahan galian C, tanah, atau bahan tambang lainnya. Berdasarkan interpretasi dan analisis menunjukkan bahwa
di kawasan S.Ciliwung terdiri dari lima landform utama, yaitu: aluvial, marin, volkan, karst dan tektonik. Landform aluvial banyak dijumpai di kanan kiri sungai,
di mana daerah tersebut mayoritas merupakan daerah dengan topografi datar lereng 3.
Tanah di kawasan Sungai Ciliwung pada umumnya terbentuk dari bahan induk vulkanik muda dan tua bersusunan andesit piroksen dan breksi andesit,
breksi tufa dan tufa kristal Puslitbang Geologi, 1997. Bahan induk vulkanik muda berasal dari letusan Gunung Salak, lahar dan lava Gede-Pangrango yang
terdiri bahan agak halus dan sedang saling berselingan. Berbeda dengan tanah di kawasan hulu sungai, di kawasan dataran, tanah terbentuk pada kondisi iklim
kering. Perbedaan ini nampak jelas dari ciri morfologi tanah serta karakteristik fisik dan kimianya yang berhubungan dengan kepekaan tanah terhadap erosi dan
longsor serta pengaruh relief terhadap pembentukan tanah sangat nyata. Di daerah berlereng, warna tanah lebih merah dibandingkan dengan di daerah punggungan
Lembaga Penelitian Tanah, 1966.
Pengertian Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan pohon, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan
hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini.
Saefulhakim 1999 mengemukakan, bahwa lahan terkait dengan karakteristik fisik lahan seperti kemiringan slope, pola drainase, resiko banjir,
bencana erosi, lokasi, dan tempat tumbuh tanaman. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan
manusia di masa lalu maupun di masa kini.
Tutupan Lahan
Menurut Marsh 1991 diacu dalam Saefulhakim 1999, penutupan lahan diartikan sebagai bahan-bahan dari pohon dan fondasi yang menutup tanah,
sedangkan penggunaan lahan land use dianalogkan dengan aktivitas manusia di atas lahan dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Rustiadi et al. 2009
mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun sebenarnya mengandung
penekanan yang berbeda. Penutupan lahan land cover lebih bernuansa fisik, sedangkan penggunaan lahan land use menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan
29 oleh manusia. Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi
yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk mengenalimembedakan kondisi tersebut guna mengetahui perubahan yang terjadi
adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Kondisi penutupan lahan dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lain dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Salah satu upaya untuk
mengenalimembedakan kondisi tersebut guna mengetahui perubahan yang terjadi adalah dengan melakukan klasifikasi yang umumnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Penutupan lahan di kawasan Jabotabek dapat diklasifikasikan menjadi 5 klasifikasi penutupan lahan Lembaga Penelitian IPB 2002, yakni: badan air,
hutan dan pohon lebat, tanaman pertanian lahan basah TPLB, dan tanaman pertanian lahan kering TPLK. Badan air merupakan area penutupan lahan berupa
air yang memiliki fungsi utama konservasi. Hutan dan pohon lebat merupakan area penutupan lahan berupa pohon dengan tajuk rapat, dan memiliki kemampuan daya
resap air hujan serta tidak memiliki bentukpola tertentu. TPLB merupakan penutupan lahan berupa pohonair yang memiliki fungsi utama budidaya dan
memiliki bentuk dengan pola tertentu serta teridentifikasi sebagai sawahtambak. TPLK merupakan area penutupan lahan berupa pohon tidak rapat yang memiliki
fungsi utama budidaya dan memiliki bentukpola tertentu serta teridentifikasi sebagai tegal, kebun campuran, rumput semak, belukar.
Penggunaan Lahan
Penutupan lahan land cover dan penggunaan lahan land use merupakan dua istilah yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang kondisi
permukaan bumi. Arsyad 2000 mengemukakan, bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi campur tangan manusia terhadap lahan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan
pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian itu sendiri dibedakan berdasarkan penyediaan air dan komoditi yang diusah,
dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan lahan seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang
rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya.
Penggunaan lahan secara umum major kinds of land use adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan,
pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau
dalam survai tinjau reconnaissance Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007.
Di samping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah pertanian, industri dan
permukiman. Menurut Saefulhakim dan Nasoetion 1996, penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil
dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks.
Rustiadi et al. 2009 mengemukakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun
sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penutupan lahan land cover lebih bernuansa fisik, sedangkan penggunaan lahan land use menyangkut aspek
30 aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Istilah pemanfaatan lahan ruang dan
penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan. Istilah penggunaan lahan didasarkan atas pertimbangan efektifitas atau
kemampuankesesuaian lahan. Sedangkan istilah pemanfaatan ruang le bih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, jadi
pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas produksi yang sesuai dengan kemampuankesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan
kemampuankesesuaian lahan.
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan
tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spritiual ataupun keduanya Sugiharto,
2006. Menurut Hubaceck at al 2002, penggunaan lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Kelompok pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik
yang meliputi kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan operator dalam
menggunakan sumber daya lahannya. Kelompok kedua, institusi, sebagai the
“rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang dalam berinteraksi. Dan kelompok ketiga, secara
terbatas, kekuatan ekonomi, supply dan demand, adalah pembentuk guna lahan dewasa ini.
Sugiharto 2006 menyatakan bahwa suplai lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Suplai lahan secara
ekonomi tergantung pada suplai fisik, faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Suplai ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang
memasukan kekhususan dalam merespon terhadap rangsangan, seperti harga dan intitusional. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan
tergantung pada harga lahan yang diperoleh per hektar. Mekanisme supply and demand
tersebut menentukan pola penggunaan lahan. Dengan demikian pola guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan
penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau beberapa kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha
secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik, dan secara hukum.
Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput,
kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau
reconnaissance Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Disamping itu, penggunaan lahan dapat pula diartikan sebagai aktivitas manusia yang mencirikan
suatu daerah sebagai daerah pertanian, industri dan permukiman. Arsyad 2000 mengemukakan, bahwa penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi
campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian itu sendiri dibedakan
berdasarkan penyediaan air dan komoditi yang diusah, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan
31 lahan seperti tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan
produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya. Istilah penggunaan lahan didasarkan atas pertimbangan efektifitas atau
kemampuan kesesuaian lahan. Istilah pemanfaatan lahan ruang dan penggunaan lahan sering juga memiliki pengertian yang saling dipertukarkan. Pemanfaatan
ruang lebih didasarkan atas pertimbangan efisiensi atau berhubungan dengan keuntungan, sehingga pemanfaatan ruang bisa dilakukan untuk suatu aktifitas
produksi yang sesuai dengan kemampuankesesuaian lahan dan bisa juga tidak sesuai dengan kemampuankesesuaian lahan. Dalam perspektif ekonomi, tujuan
utama dari pemanfaatan lahan adalah untuk mendapatkan nilai tambah tertinggi dari kegiatan yang diselenggarakan di atas lahan. Namun seyogyanya disadari
bahwa kegiatan tersebut memiliki keterkaitan baik dengan kegiatan lainnya maupun dengan lingkungan hidup dan aspek sosial budaya masyarakat. Dapat
dipahami apabila penyelenggaraan sebuah kegiatan dapat menimbulkan berbagai dampak yang perlu diantisipasi dengan pengaturan pemanfaatan lahan.
Perubahan penggunaan lahan dapat di artikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk
pertanian maupun non pertanian. Menurut Saefulhakim dan Otsubo 1999 secara umum struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni: 1 struktur permintaan atau kebutuhan lahan, 2 struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan 3 struktur penguasaan
teknologi yang berdampak pada produktifitas sumber daya alam. Aspek permintaan lahan memiliki keterkaitan dengan kebijakan dan program pemerintah
untuk meningkatkan efisiensi sosial ekonomi, industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengontrolan peningkatan jumlah
penduduk.
Penawaran sumberdaya lahanketersediaan lahan memiliki keterbatasan yakni luasan permukaan yang tetap dan kualitas lahan yang bervariasi serta
penyebarannya secara spasial tidak merata, hal tersebut menyebabkan penawaran penggunaan lahan bersifat kurang elastik terhadap besarnya permintaan lahan. Hal
lain yang juga berpengaruh terhadap penawaran sumberdaya lahan adalah penggunaan lahan saat ini. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri dan
fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan
memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah ke penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, di mana penggunaan
lahan untuk permukiman dan fasilitas sosial memiliki efisiensi lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian dan kehutanan. Struktur penguasaan
teknologi berkaitan langsung dengan produktivitas lahan.
Secara umum, struktur permintaan atau kebutuhan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yakni: 1 deforestasi baik ke arah
pertanian maupun non-pertanian, 2 konversi lahan pertanian ke non-pertanian, 3 penelantaran lahan. Aspek permintaan lahan memiliki keterkaitan dengan
kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan efisiensi sosial ekonomi, industri dan kelembagaan, penurunan tingkah laku spekulatif dan pengontrolan
peningkatan jumlah penduduk. Penggunaan teknologi yang tepat dan benar memberikan manfaat atau produksi yang maksimum. Produktivitas lahan dengan
32 teknologi yang tepat mampu menurunkan ketergantungan terhadap ekstensifikasi
usahatani dan upaya meningkatkan produksi pertanian. Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki
permasalahan klasik berupa: 1 efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2 keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan
sumberdaya, serta 3 keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki
keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan
yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif Rustiadi et al,
2009. Fenomena marjinalisasi keberlanjutan RTH kota dipengaruhi oleh dua
faktor. Pertama, faktor teknis, yaitu keseriusan pemerintah menjaga konsistensi manajemen pengelolaan RTH termasuk green budgeting RTH. Kedua, faktor
nonteknis, yaitu kepedulian stakeholders memonitor dan mengendalikan arahan pemanfaatan RTH dari tekanan permintaan ekonomi pasar terhadap politik tata
ruang. Pilihan mengendalikan konversi RTH dengan pendekatan regulasi insentif dan disinsentif bagi kawasan perkotaan tidaklah mudah, tetapi persoalan
penatagunaan lahan juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar Suwarli, 2012.
Kemampuan Lahan dan Kesesuaian Lahan
Sistem klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka evaluasi lahan FAO 1976 banyak dimanfaatkan di Indonesia. Walaupun memiliki beberapa
kelemahan seperti diperlukannya data karakteristik lahan yang perlu diuji di laboratorium sifat kimia tanah, serta belum adanya pembakuan terhadap jenis-
jenis kualitas dan karakteristik lahan yang perlu dievaluasi, namun kerangka sistem sangat lengkap dan terinci sehingga dapat digunakan untuk evaluasi lahan
secara fisik kualitatif maupun secara ekonomi kuantitatif bila data-data yang diperlukan tersedia Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007.
Kerangka sistem klasifikasi kesesuaian lahan tersebut mengenal 4 kategori, yaitu: Ordo, Kelas, Sub-kelas, dan Unit. Ordo menunjukkan apakah suatu lahan
sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu, kelas menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan, sub-kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang seyogyanya dijalankan dalam masing-masing kelas, dan unit menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang seyogyanya
berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Selanjutnya Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007 menjelaskan bahwa ordo dan kelas biasanya digunakan dalam
pemetaan tanah tinjau, sub kelas untuk pemetaan tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang
lebih kasar eksplorasi.
Optimalisasi pemanfaatan lahan yang diikuti dengan tindakan konservasi diperlukan karena terbatasnya sumberdaya lahan. Permasalahan yang timbul
adalah kurangnya informasi tentang potensi lahan, kesesuaian penggunaan lahan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan bagi setiap areal lahan sebagai
pegangan dalam pemanfaatan areal tersebut Sitorus 1998. Selanjutnya Sitorus 1998, menyatakan bahwa evaluasi kesesuaian lahan memerlukan tiga aspek
informasi, yaitu: lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomi. Pada umumnya si pengevaluasi lahan jarang yang ingin mengembangkan sistem sendiri yang sama
33 sekali baru. Umumnya yang mereka lakukan adalah memilih dari sistem-sistem
yang sudah ada tergantung dari kepentingan evaluasi yang dilakukan, dan kemudian memodifikasinya sesuai dengan keadaan setempat dan ketersediaan data
Sitorus 1998. Oleh karenanya diperlukan evaluasi lahan sebagai bagian dari proses perencanaan tataguna tanah, di mana inti evaluasi adalah membandingkan
persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan
demikan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaiankemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007.
Ciri sistem evaluasi kesesuaian lahan di antaranya adalah: 1 sebagai cara dalam menjadwal permintaan pengguna lahan, 2 cara untuk pengumpulan,
penyimpanan, analisis, penyajian informasi lahan dan potensi penggunaannya, serta 3 sebagai suatu cara pemanggilan kembali dan manipulasi informasi Mahi,
1994. Adapun manfaat evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-
konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang dilakukan Sitorus, 1998.
Daya Dukung Lingkungan
Perhatian terhadap daya dukung lahan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan berkelanjutan. Daya dukung lingkungan merupakan
kemampuan lingkungan
untuk mengakomodasi
kegiatan-kegiatan yang
berkembang di dalamnya, dilihat dari ketersediaan sumber daya alam dan buatan yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan yang ada, serta kemampuan lingkungan
dalam mentolerir dampak negatif yang ditimbulkan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi di mana sebuah kegiatan
berlangsung, namun seyogyanya mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak
bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam satu ekosistem. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman
Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah menegaskan bahwa kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang
mencakup sifat tanah fisik dan kimia, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi
kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan.
Saat ini masih dijumpai pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang
masih hadapi seperti semakin berkurangnya sumber air baku, baik air permukaan maupun air bawah tanah terutama di kawasan perkotaan besar dan kota. Di
samping itu, tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh di kawasan perkotaan mencerminkan pengembangan kawasan perkotaan yang melampaui daya dukung
lingkungan untuk memberikan kehidupan yang sejahtera kepada masyarakat. Permasalahan banjir yang frekuensi dan cakupannya meningkat juga disebabkan
oleh adanya pemanfaatan lahan di kawasan resapan air tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kawasan yang lebih luas. Terkait daya dukung lingkungan,
terdapat beberapa hal penting yang seyogyanya diperhatikan dalam pemanfaatan lahan:
1 Ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan kegiatan yang dikembangkan. Dalam konteks ini ketersediaan tersebut seyogyanya diperhitungkan secara cermat, agar
34 pemanfaatan sumber daya alam dapat dijaga pada tingkat yang memungkinkan
upaya pelestariannya. 2 Jenis kegiatan yang dikembangkan seyogyanya sesuai dengan karakteristik
geomorfologis lokasi jenis tanah, kemiringan, struktur batuan. Hal ini dimaksudkan agar lahan dapat didorong untuk dimanfaatkan secara tepat
sesuai dengan sifat fisiknya.
3 Intensitas kegiatan yang dikembangkan dilihat dari luas lahan yang dibutuhkan dan skala produksi yang ditetapkan. Hal ini sangat terkait dengan
pemenuhan kebutuhan sumber daya alam dan sumber daya buatan. Intensitas kegiatan yang tinggi membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar yang
mungkin tidak sesuai dengan ketersediaannya.
4 Dampak yang mungkin timbul dari kegiatan yang dikembangkan terhadap lingkungan sekitar dan kawasan lain dalam satu ekosistem, baik dampak
lingkungan maupun dampak sosial. Hal ini dimaksudkan agar pengelola kagiatan yang memanfaatkan lahan dapat menyusun langkah-langkah
antisipasi untuk meminimalkan dampak yang timbul.
5 Alternatif metoda penanganan dampak yang tersedia untuk memastikan bahwa dampak yang mungkin timbul oleh kegiatan yang dikembangkan dapat
diselesaikan tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat.
Perencanaan Tata Ruang
Dalam Pasal 17 ayat 5 Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa luas minimal kawasan hutan dalam suatu DAS adalah
30. Beberapa peraturan bahkan tumpang tindih di dalam menetapkan kriteria kawasan lindung. Salah satu contoh adalah, kriteria luas minimal ruang terbuka
hijau menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 12007 adalah sebesar 20 persen, sedangkan berdasarkan Undang-Undang No. 262007 sebesar 30 persen.
Banyak kasus dimana kawasan lindung masih belum dimasukkan ke dalam peta tata ruang wilayah. Padahal undang-undang tentang penataan ruang, baik Undang-
Undang No 262007 maupun Undang-Undang No 471997, secara tegas telah menetapkan bahwa pemanfaatan ruang wilayah dibagi atas dua fungsi utama yaitu
kawasan budidaya dan kawasan lindung. Banyaknya peraturan yang tumpang tindih yang dikeluarkan oleh berbagai sektor menyebabkan ambiguitas di dalam
penerapan penetapapan kawasan lindung. KLH, 2007
Adanya permasalahan
terkait pemanfaatan
lahan, mencerminkan
penyelenggaraan penataan ruang sejauh ini belum mampu sepenuhnya memenuhi harapan terwujudnya ruang wilayah yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang sistematis yang diharapkan mampu mengefektifkan penyelenggaraan penataan ruang, termasuk dalam pengaturan
pemanfaatan lahan agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Konsep Ruang dan Kewilayahan
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan atau aspek fungsional Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Batas wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti, namun seringkali bersifat dinamis berubah-
ubah. Sehingga pendekatan wilayah menekankan pada interaksi antar manusia
35 dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada dalam suatu batasan unit
geografis tertentu. Jonston 1976 memandang bahwa wilayah sebagai bentuk istilah teknis
klasifikasi spasial dan merekomendasikan tipe wilayah yakni : 1 wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik; 2
wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasitempat. Sedangkan Rustiadi et
al.
2009 menyebutkan bahwa wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat yang dapat berwujud sebagai suatu negara, provinsi, kabupaten dan
perdesaan. Tetapi suatu wilayah umumnya tidak sekedar merujuk pada suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial,
administrasi, iklim hingga geografis sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena yang
ada dan cenderung menggunakan konsep wilayah fungsional functional region, yakni suatu konsep yang lebih luas, dimana wilayah nodal hanyalah satu bagian
dari konsep wilayah fungsional Rustiadi et al. 2009.
Dari konsep-konsep wilayah tersebut dapat diklasifikasikan konsep wilayah menjadi: 1 wilayah homogen uniform, 2 wilayah sistem fungsional dan 3
wilayah perencanaanpengelolaan. Dalam pendekatan tersebut wilayah nodal merupakan salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam
konsep wilayah perencanaan, terdapat konsep wilayah administratif-politis dan wilayah perencaan fungsional.
Konsep-konsep wilayah tersebut sangat diperlukan dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan lainnya. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses
untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Dalam perencanaan tata ruang seyogyanya
mempertimbangkan aspek wilayah homogen, fungsional dan perencanaan pengelolaan. Sehingga perencaaan tata ruang bersifat integratif dengan
memasukkan keseluruhan aspek-aspek yang mempengaruhi tata ruang atau pembangunan lainnya. Secara skematis pembagian wilayah menurut konsep
alamiah dan non alamiah didisajikan pada Gambar 6.
Wilayah
Homogen
Sistem Fungsional
Sistem Sederhana
Perencanaan Pengelolaan
Sistem Komplek
Nodal pusat – hinterland
Desa - kota Budidaya - lindung
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik :
Cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun dikembangkan berdasarakan :
Konsep homogen fungsional : KSP, KATING dan sebagainya
Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Konsep Alamiah
Konsep Non Alamiah
Wilayah
Homogen
Sistem Fungsional
Sistem Sederhana
Perencanaan Pengelolaan
Sistem Komplek
Nodal pusat – hinterland
Desa - kota Budidaya - lindung
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik :
Cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun dikembangkan berdasarakan :
Konsep homogen fungsional : KSP, KATING dan sebagainya
Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Wilayah
Homogen
Sistem Fungsional
Sistem Sederhana
Perencanaan Pengelolaan
Sistem Komplek
Nodal pusat – hinterland
Desa - kota Budidaya - lindung
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik :
Cagar budaya, wilayah etnik Umumnya disusun dikembangkan berdasarakan :
Konsep homogen fungsional : KSP, KATING dan sebagainya
Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Konsep Alamiah
Konsep Non Alamiah
Sumber: Rustiadi et.al., 2009
Gambar 6 Pembagian Wilayah Berdasarkan Konsep Alamiah dan Non Alamiah
36
Sistem Perencanaan Tata Ruang
Sebagaimana yang ditulis oleh Rustiadi et al. 2009, perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang datang serta
menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sebagian lain berpendapat bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang dibatasi oleh lingkup
waktu tertentu, sehingga perencanaan lebih diartikan sebagai suatu kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam waktu tertentu. Pada
dasarnya proses perencanaan tata ruang dimulai dari penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatannya.
Rencana tata ruang adalah produk rencana yang berisi rencana pengembangan struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang hendak
dicapai pada akhir tahun perencanaan sebagai dasar bagi pemanfaatan ruanglahan. Struktur ruang dibentuk oleh sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana
yang mencakup sistem jaringan transportasi darat, laut, udara, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber
daya air. Sedangkan pola pemanfaatan ruang adalah gambaran alokasi ruang untuk berbagai jenis pemanfaatan lahan yang direncanakan.
Secara lebih rinci, muatan rencana tata ruang dapat disampaikan sebagai berikut:
1 Identifikasi pusat-pusat koleksi dan distribusi yang diarahkan sebagai pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan wilayah. Pusat-pusat tersebut merupakan
orientasi bagi berbagai kegiatan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, mendapatkan input produksi, maupun memasarkan produk-produk yang
dihasilkan.
2 Arahan pengembangan sistem jaringan prasarana, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Sistem jaringan tersebut direncanakan secara berhirarki menurut tingkatan perencanaan. Sebagai
contoh, dalam RTRWN direncanakan sistem jaringan jalan nasional, dalam RTRWP direncanakan sistem jaringan jalan provinsi, dalam RTRW Kabupaten
direncanakan sistem jaringan jalan kabupaten, sedangkan dalam RTRW Kota direncanakan sistem jaringan jalan kota sistem sekunder. Sistem jaringan
yang direncanakan pada tingkat perencanaan yang berbeda-beda tersebut memiliki sifat komplementer dalam membentuk sistem jaringan wilayah yang
utuh.
3 Penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai kegiatan masyarakat, baik saat ini maupun di masa
yang datang, dengan memperhatikan upaya pelestarian konservasi dan preservasi lingkungan.
4 Kriteria penetapan dan pola pengelolaan kawasan budidaya. Kriteria penetapan kawasan budidaya dimaksudkan untuk menetapkan lokasi dari berbagai
peruntukan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan keselarasan antar kagiatan dan kepentingan pelestarian lingkungan. Sedangkan pola pengelolaan
berisi garis besar tentang hal-hal yang seyogyanya dilakukan dalam mengelola kawasan budidaya.
5 Identifikasi kawasan-kawasan strategis dipandang dari sudut pandang ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Kawasan
37 strategis merupakan kawasan yang dinilai perlu mendapatkan perhatian khusus
dalam upaya mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. 6 Identifikasi sektor unggulan yang diprediksi mampu menjadi pendorong utama
prime mover pengembangan wilayah. Dalam implementasi rencana, perhatian terhadap pengembangan sektor unggulan dapat mendorong
tumbuhnya kompetensi wilayah perencanaan yang bersifat unik.
Muatan rencana tersebut merupakan pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam berinvestasi. Sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, pemerintah menggunakan rencana tata ruang sebagai dasar dalam menerbitkan ijin-ijin pemanfaatan ruang seperti ijin lokasi, Ijin Mendirikan
Bangunan IMB, dan Ijin Pemanfaatan Bangunan IPB. Sedangkan bagi masyakat, rencana tata ruang merupakan pedoman dalam menetapkan lokasi dan
besaran investasi. Rencana tata ruang yang berkualitas merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Namun demikian rencana tata ruang
tersebut seyogyanya dibarengi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruanglahan dapat tetap sesuai
dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Penataan ruang adalah wujud pengaturan-pengaturan yang menyangkut manusia dan ruang kehidupan. Sehingga dalam penataan ruang seyogyanya
memperhatikan unsur fisik dan non fisik Rustiadi et al. 2009. Unsur-unsur fisikspasial meliputi: 1 Pengaturan zonasi-Arahan pola pemanfaatan ruang, 2
Penataan hirarki pusat-pusat aktifitas sosial-ekonomi, 3 Penataan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktifitas dan 4 Pengembangan infrastruktur.
Sedangkan unsur non-fisiknon-spasial meliputi: 1 aspek-aspek institusi dan organisasi serta 2 aspek-aspek mengenai rule of game.
Pada dasarnya penataan ruang bertujuan untuk terselengaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan
ruang pada kawasan lindung dan budidaya, tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang dilakukan untuk menciptakan pembangunan
daerah yang berkelanjutan yang sangat penting kaitannya dengan ekonomi, sosial dan budaya. Tata ruang terkait dengan suatu penataan segala sesuatu yang berada
di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraan kehidupan. Tata ruang pada hakekatnya
merupakan lingkungan
fisik yang
mempunyai hubungan
organisatorisfungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu, di dalamnya terdapat suatu distribusi dan tindakan
manusia dan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan. Secara umum perencanaan tata ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata
ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan manusianya serta kualitas pemanfaatan ruang yang secara struktural mengambarkan keterkaitan fungsi lokasi
yang terpadu bagi berbagai kegiatan.
Dalam PP No. 152010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Pasal 36 disebutkan bahwa: 1 Rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah kota terbuka
hijau publik dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit 20 dua puluh persen dari luas wilayah kota, 2 Rencana penyediaan dan pemanfaatan wilayah
kota terbuka hijau privat dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit 10 sepuluh persen dari luas wilayah kota, 3 Apabila luas ruang terbuka hijau,
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 memiliki total luas lebih besar dari 30 tiga puluh persen, proporsi tersebut seyogyanya tetap dipertahankan
38 keberadaannya dan 4 Apabila ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 tidak terwujud setelah masa berlaku rencana tata ruang wilayah kota berakhir, pemerintah daerah kota dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang No 26 tahun 2007 mendefinisikan ruang sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Undang-undang
tersebut juga mendefinisikan penataan ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tujuan penyelenggaraan penataan ruang menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 Pasal 3 adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan: a terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan; b terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
dan c terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan
ekonomi Darwanto 2000. Sedangkan menurut Rustiadi et al. 2009, penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya
sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses
pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: a optimalisasi pemanfaatan sumberdaya prinsip produktifitas dan efisiensi; b alat dan wujud
distribusi sumberdaya prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan; dan c keberlanjutan prinsip sustainability. Konsep penataan ruang dapat menjadi
aktivitas yang mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu
tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti dengan di Perda-kannya rencana tata ruang kota, tetapi
penataan ruang seyogyanya merupakan aktivitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan
pokoknya Darwanto 2000.
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam,
pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti industri, pemukiman, pertanian, dan sebagainya, sedangkan berdasarkan aspek
administratif, penataan ruang meliputi ruang wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupatenkota yang dalam penyusunannya melalui hierarki dari level
yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu.
RTRW Nasional merupakan perencanaan makro strategi jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25-50 tahun ke depan dengan menggunakan skala
ketelitian 1 : 1 000 000, RTRW Provinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1:250.000,
sementara RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional
39 jangka menengah 5-10 tahun dengan skala ketelitian 1:20 000 hingga 1:10 000,
yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro- operasional jangka pendek dengan skala ketelitian di bawah 1 : 5 000 Departemen
Kelautan dan Perikanan 2002. Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa permasalahan diantaranya adalah terjadinya tumpang tindih
penanganan pemanfaatan sumberdaya alam yang memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, tingginya alih fungsi konversi lahan pertanian produktif
menjadi lahan non pertanian. Permasalahan tersebut timbul karena masih kurangnya perhatian atau program pembangunaan yang mengarah pada
pemanfaataan ruang secara benar dan konsisten serta sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya alam dan lingkungan.
Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.
Perencanaan tata ruang wilayah mengarah dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta indikasi
program dan kegiatan pembangunan. Hasil perencanaan tata ruang yang disebut rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide, dan merupakan instrumen
pengendalian pembangunan suatu wilayah pemerintahan yang menjadi pegangan bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah, masyarakat maupun
swasta. Idealnya suatu rencana tata ruang disusun berdasarkan aspirasi kebutuhan masyarakat yang dirumuskan dan dianalisis dengan metode dan teknik
perencanaan. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusiamakhluk hidup dengan lingkungannya dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia makhluk hidup, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan
sustainability of development
. Zainuddin 2004 menjelaskan bahwa tata ruang merupakan suatu bentuk instrumen publik yang bersama-sama dengan bentuk-
bentuk instrumen publik yang lain, misalnya kebijakan tentang penganggaran sektor publik dan peraturan perlindungan lingkungan hidup untuk mencapai
keadaan publik yang lebih baik.
Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pembangunan daerah adalah: sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah, merupakan pedoman
untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam rencana tata ruang, dan sebagai alat untuk
mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaaatan ruang bagi kegiatan yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar
sektor yang terlibat. Pada tahap pemanfaatan ruang khususnya di tingkat provinsi masih ditemui berbagai kendala yang diantaranya disebabkan oleh belum adanya
persamaan persepsi dalam memahami kebijakan penataan ruang sehingga kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya dapat ditindakanaklanjuti dalam
kebijakan institusi masing-masing. Hal lain adalah ketidakpastian alokasi anggaran daerah dalam rangka mewujudkan apa yang telah direncanakan dari rencana tata
ruang Saromi 2004.
Isu Strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang: Konflik kepentingan antar sektor, penataan ruang belum berfungsi optimal, penyimpangan pemanfaatan
ruang, keterbukaan keikhlasan, kemampuan menahan diri, fenomena urbanisasi, kesenjangan antar wilayah, perkembangan kota yang tidak terarah, partisipasi
40 masyarakat dalam penataan ruang yang masih rendah, pemanfaatan teknologi
informasi yang belum maksimal, kompatibilitas dan kesesuaian standar peta.
Pengendalian Pemanfaatan Lahan
Pengendalian pemanfaatan lahan merupakan bagian dari proses penataan ruang yang sangat penting. Pengendalian pemanfaatan ruang saat ini tidak efisien
dan kurang efektif karena instrumen perizinan yang merupakan langkah awal dalam pengendalian pemanfaatan ruang, sering saling bertentangan dan bahkan
melanggar tata ruang yang ada. Terdapat beberapa jenis periizinan yang terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan, di antaranya: izin lokasi perolehan
lahan, Izin peruntukan penggunaan tanah IPPT-Land use permit, IMB Izin mendirikan bangunan. Di dalam Undang-Undang No. 262007 dijelaskan bahwa
penataan ruang meliputi kegiatan penataan, penjagaan, pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengaturan dengan tujuan: 1 Mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, 2 Pengembangan Wilayah. Dengan demikian seluruh perubahan penggunaan tanah diwajibkan
mendapatkan izin dari pemerintah IPPT tanpa kecuali. Namun pada kenyataan di lapangan masih banyak dijumpai perubahan penggunaan tanah tanpa izin dari
pemerintah daerah dan bahkan melanggar rencana tata ruang yang ada Alhalik, 2006.
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas
mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW baik Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain
merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
Rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang, merupakan suatu perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
Landasan hukum dalam pelaksanaan tata ruang adalah Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, PP No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, dan PP No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang.
Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia danatau kegiatan
alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah
pedesaan dan perkotaan. Pendekatan pembangunan melalui sistem ruang bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha pemanfaatan dan
penataan ruang suatu wilayah baik dalam skala nasional, provinsi, dan kabupatenkota, karena dalam penyusunan program-program pembangunan secara
konsisten dapat terwujud jika konsep dan penataan ruang dapat diwujudkan dalam struktur yang menggambarkan ikatan pemanfaatan ruang yang terpadu dari
berbagai sektor pembangunan Vincentius 2003.
41
Rencana Detail Tata Ruang RDTR
Rencana tata ruang disusun dengan memperhatikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian penerapan rencana tata ruang secara
konsisten meminimalkan konflik kepentingan antar pemangku kepentingan. Di samping itu pelaksanaan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang
menciptakan keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah.
Fungsi utama dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah. Dengan kedalaman pengaturan yang rinci dan skala peta yang
besar, rencana detail dapat dijadikan dasar dalam pemberian ijin dan mengevaluasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Penyiapan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar. Pertama, rencana detail tata ruang seyogyanya dapat langsung diterapkan,
sehingga kedalaman rencana dan skala petanya seyogyanya benar-benar memadai. Kedua, rencana detail tata ruang seyogyanya memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, untuk itu seyogyanya diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah.
Ketiga, rencana detail tata ruang seyogyanya memiliki legitimasi yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, sehingga seyogyanya disusun dengan pendekatan
partisipatif.
Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi zoning regulation merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang seyogyanya diterapkan pada setiap zona
peruntukan. Dalam peraturan zonasi dimuat hal-hal yang seyogyanya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan ruang, termasuk
pengaturan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, penyediaan ruang terbuka hijau publik, dan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mewujudkan
ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang
yang seyogyanya dipatuhi oleh pemanfaat ruang.
Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa arahan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Peraturan
Zonasi zoning regulation adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ruang, dan prosedur
pelaksanaan pembangunan. Fungsi Utama Peraturan Zonasi: 1 Sebagai instrumen pengendalian pembangunan, peraturan zonasi yang
lengkap dapat menjadi rujukan untuk perizinan, penerapan insentif disinsentif, dan penertiban pemanfaatan ruang.
2 Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional, ketentuan dalam peraturan zonasi dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang
bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang penjabaran rencana yang bersifat makro ke dalam rencana yang bersifat sub makro
sampai pada rencana yang rinci.
3 Sebagai panduan teknis pengembanganpemanfaatan lahan, peraturan zonasi mencakup guna lahan, intensitas pembangunan, tata bangunan, prasarana
minimum, dan standar perencanaan Adapun Prosedur Penyusunan zoning regulation, sebagaimana Gambar 7
berikut.
42
43
Inventarisasi pemanfaatan ruang Klasifikasi pemanfaatan ruang
Hirarki penggunaan lahan Kompatibilitas
Boleh Bersyarat
Dilarang Inventarisasi ketinggian, GSB,
Orientasi dan ketentuan lainnya yang terkait.
Kodifikasi standar Inventarisasi intensitas PR
Klasifikasi intensitas PR berdasarkan jeniszona
pemanfaatan ruang
Inventarisasi standar-standar prasarana di Bandung
Kodifikasi standar Inventarisasi standar, pedoman
teknis, petunjuk teknis terkait.
Inventarisasi prasarana yang perlu diatur
Tata cara penetapan blok
peruntukan dan penetapan zonasi
Identifikasi lembaga dan tugas serta kewenangannya
Identifikasi proses dan prosedur
Amandemen perubahan
Peraturan Pembangunan
dan peta zona Peraturan
Zonasi
Intensitas Pemanfaatan
Ruang Pemanfaatan
Ruang
Tata Massa Bangunan
Prasarana Standar-standar
Kelembagaan
Sumber: Hernawan, 2009
Gambar 7 Prosedur Penyusunan Zoning Regulation Kedalaman materi zoning regulation untuk tiap hirarkhi perencanaan
disesuaikan dengan tingkat kedalaman materi rencana dan tingkat kedalaman peta. Sehingga dalam aplikasinya ditentukan oleh hirarkhi klasifikasi zona. Klasifikasi
Zona untuk Ruang Terbuka Hijau berdasarkan pedoman Departemen Pekerjaan Umum dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Klasifikasi Zona dalam Pedoman Departemen Pekerjaan Umum Kawasan
Hirarki 1 Zona Hirarki 2
Paket Penggunaan Hirarki 3
Ruang Terbuka
Ruang Terbuka Hijau Lidung TL
TL-1 Cagar Alam TL-2 Perlindungan Pesisir Pantai
TL-3 Pengamanan Bandara TL-4 Perlindungan Pulau-pulau
TL-5 Sempadan SungaiSituMata Air
Ruang Terbuka Hijau Binaan TB
TB-1 Taman Kota TB-2 Hutan Kota
TB-3 Kebon Bibit TB-4 Pemakaman Umum
TB-5 Agribisnis TB-6 Jalur Hijau
Ruang Terbuka Tata Air TA
TA-1 Situ dan Waduk
Sumber: Hernawan, 2009
Peraturan zonasi tingkat RTRW digunakan klasifikasi zona hirarki 2, sementara peraturan zonasi untuk tingkat kedalaman Rencana Rinci Rencana
Detail Tata RuangRDTR dan Rencana Teknik RuangRTR dan hirarki klasifikasi
43 zona digunakan hinggá hirarki 3 dan kedalaman materinya sampai pengaturan
KDB, KLB, luas pekarangan, tinggi bangunan dan sebagainya.
Analisis Spasial
Analisis Spasial adalah analisis yang menyangkut obyek-obyek dalam sistem keruangan, dengan input utama adalah data dan informasi spasial. Penekanan
dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial spatial choice dan implikasi secara spatio-temporal Rustiadi,
2009. Pendekatan wilayah diperlukan sebagai unit inovasi, pertumbuhan ekonomi pada skala yang sesuai untuk memecahkan permasalahan pembangunan
berkelanjutan Bellamy et al., 2003.
Lingkup pemahaman konsep analisis spasial pada intinya adalah keruangan di muka bumi. Sebagai perbandingan, De Mers 1997 mengemukakan
“Analisis spasial mengarah pada banyaknya macam operasi dan konsep termasuk
perhitungan sederhana, klasifikasi, penataan, overlay geometris dan permodelan kartografis. Sedangkan Fotheringham 1994 mengkategorikan spasial analisis
dalam dua bentuk, yaitu analisis spasial berbasis GIS sederhana Simple GIS-based spatial analysis
dan analisis spasial berbasis GIS lanjutan Advanced GIS-based spatial analysis
. Perbandingan kedua pakar diatas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa spatial analysis merupakan informasi keruangan dimana memberi
penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol sebagai gambaran dari keadaan sebenarnya di lapangan. Informasi keruangan ini dapat disampaikan
dalam integrasi bentuk tabel maupun peta. Selanjutnya, dengan ragam operasi dan permodelan keruangan menghasilkan suatu delineasi wilayah kajian guna
peruntukan studi tertentu.
Bantaran dan Sempadan Sungai
Keputusan Presiden No. 321990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung pasal 1 menjelaskan bantaran sungai sebagai kawasan sepanjang kiri dan kanan
sungai termasuk sungai buatankanalsaluran irigasi primer yang penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai
www.penataanruang.net . Peraturan
pemerintah PP No. 351991 tentang Sungai pasal 1 menjelaskan bahwa bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi
palung sampai dengan kaki tanggul tepi sungai bagian bawah sebelah dalam. Pada pasal 16 menyebutkan bahwa kriteria bantaran sungai yaitu sekurang-
kurangnya 100 meter di kiri dan kanan dilihat dari aliran sungainya sungai besar dan 50 meter di kiri dan kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman.
Dengan demikian masyarakat bantaran sungai adalah masyarakat yang bermukim pada radius 0-100 meter dari sungai, yang masih memanfaatkan sumberdaya
sungai, misalnya mandi, cuci, kakus MCK, menangkap ikan, dll.
Bantaran sungai berfungsi sebagai daerah serapan sehingga tidak seharusnya bantaran sungai dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa bantaran sungai termasuk Sungai Ciliwung telah digunakan pemukiman penduduk. Banyak persoalan yang terjadi, seperti
pencemaran sampah yang dihasilkan dari aktivitas penduduk yang bermukim di bantaran sungai.
Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir flood plain. Bantaran sungai bisa juga disebut bantaran banjir sedangkan
sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing
44 sungai sliding yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar
keamanan yang diperlukan kaitannya dengan letak sungai misal areal permukiman-non permukiman. Sempadan sungai merupakan daerah ekologis dan
hidraulis sungai yang penting. Sempadan sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan alur sungai karena secara hidraulis dan ekologis merupakan satu kesatuan.
Secara hidraulis sempadan sungai merupakan daerah bantaran banjir yang berfungsi memberi kemungkinan luapan air banjir ke samping kanan kiri sungai
sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi, energi air dapat diredam di sepanjang sungai, erosi tebing dan erosi dasar sungai dapat dikurangi secara
simultan Maryono, 2009.
Garis Sempadan Sungai a Garis sempadan sungai bertanggul diukur dari sisi terluar kaki tanggul; b Garis sempadang sungai bertanggual diukur dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan; c Untuk sungai di kawasan permukman berupa sempadan sungai diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10
– 15 m. Untuk sungai tidak bertanggul di perkotaan dengan kedalaman 3-20 m, seperti
Sungai Ciliwung, lebar sempadan ditetapkan 15 m, dihitung dari tepi sungai Dirjen Penataan Ruang, Pedoman Rencana Detail Tata Ruang Kota, 2007,
sebagaimana Gambar 8.
Gambar 8. Daerah Manfaat dan Penguasaan Sungai Dengan demikian, untuk Kasus Sempadan Sungai Ciliwung yang melintasi
Kota Bogor dengan perkiraan kedalaman sungai antara 3-20 meter, mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan umum Nomor: 63prt1993 Pasal 8 b, sehingga
penetapan lebar sempadan sekurang-kurangnya 15 meter dari garis sempadan. Sedangkan daerah penguasaan sungai dapat mencapai 100 m untuk
mengoptimalkan pembinaan sungai bagi keselamatan umum.
Menurut Hernawan 2009, sungai merupakan aliran dari mata air hulu mencari jalan kearah yang lebih rendah hilir untuk akhirnya bermuara ke laut.
Sungai memiliki fungsi antara lain: 1 Sungai sebagai sumber air, 2 Sungai sebagai pengendali banjir, 3 Sungai sarana transportasipengangkutan, 4
Sungai sebagai daerah belakang, artinya pemukiman penduduk bantaran sungai yang membelakangi sungai, 5 Sungai sebagai daerah depan, artinya sungai
merupakan milik bersama yang dapat dinikmati oleh siapa saja secara positif yang berpotensi meningkatkan citra kota dan pariwisata. Sungai adalah tempat-tempat
dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan
45 PP No. 35 tahun 1991. Sempadan sungai sering juga disebut dengan bantaran
sungai walaupun terdapat perbedaan. Sempadan sungai merupakan area yang sangat rentan terhadap aktivitas
manusia, berkenaan dengan pemanfataan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan peruntukannya Wardhani et al. 2010. Skenario pengembangan
kawasan diperlukan sebagai salah satu pilihan pengambilan keputusan tanggapan terhadap permasalahan, mengakomodasi semua potensi yang ada serta
mengembangkan prospek kawasan dengan tetap berpijak pada kearifan lokal, di antaranya adalah perlindungan sungai dan lingkungannya, melalui optimalisasi
penggunaan sempadan sungai sebagai ruang publik yang rekreatif, meningkatkan kualitas lingkungan termasuk dari sisi fungsi dan kelestariannya, mengoptimalkan
sempadan sungai sebagai sabuk hijau multi-fungsi serta penetapan aturan yang lebih detil terhadap pemanfaatan area sempadan sungai Wardhani et al. 2010.
Manfaat sempadan sungai terhadap konservasi sungai baik ekologi, hidraulik dan morphologinya sangat signifikan. Lebar sempadan untuk konservasi
perbaikan kualitas air, adalah 5 m sampai 80 m, untuk konservasi habitat aquatik 3 m sampai 30 m dan untuk konservasi habitat terestrial adalah 30 m sampai 500 m.
Sedangkan untuk memberikan ruang meandering dan perlindungan terhadap banjir diperlukan sempadan sungai 5 m sampai 90 m Maryono, 2009.
Pemanfaatan ruang-ruang terbengkalai pada sempadan sungai tidak hanya untuk kepentingan ekonomi dan sosial saja, namun juga bertujuan untuk
perlindungan lingkungan dengan menjadikan kawasan sempadan sebagai ruang publik melalui penetapan sungai sebagai blue space kawasan, mengubah
orientasi bangunan menghadap ke sungai serta mengubah akses ke arah sungai Wardhani et al. 2010. Kawasan sempadan sungai perlu dijadikan sabuk hijau
yang ditanami pohon pelindung yang memiliki: 1 fungsi ekologis, fisis sekaligus estetis, di mana pemilihan jenis tanaman dan penempatannya disesuaikan dengan
fungsi ekologis perlindungan vegetatif, mempengaruhi iklim mikro, pengendali tata air, pencegah erosi, sebagai paru-paru lingkungan; 2 fungsi fisik sebagai
peneduh untuk menciptakan kesejukan lingkungan, pembatas pandangan, pembentuk ruang dan pengontrol angin serta 3 fungsi estetis untuk aksentuasi,
membentuk karakter tempat serta menciptakan keindahan dan keasrian lingkungan; 4 fungsi ekonomis, karena dapat dijadikan sebagai kebun
pembibitan sekaligus tempat penyimpanan berbagai tanaman yang dapat diperdagangkan; 5 fungsi sosial, karena dapat dimanfaatkan sebagai kawasan
rekreasi dan piknik bagi masyarakat Wardhani et al. 2010
Peraturan Perundangan tentang Sungai
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Peraturan lain mengenai sumberdaya air dijelaskan dalam:
1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377.
2 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai. 3 Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990
46 4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63PRT1993 tentang Garis
Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasan Sungai dan Bekas Sungai.
Keputusan Presiden No. 32 tahun 2001 menegaskan tentang kebijakan pengelolaan kawasan lindung pada kawasan perlindungan setempat khususnya
sempadan sungai, di mana kebijakan perlindungannya adalah perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai Pasal 15. Arahan
pola pengelolaannya adalah: 1 Menetapkan kawasan sempadan sungai sebagai kawasan lindung pada RTRW provinsi dan RTRW kabupatenkota; 2 Ketentuan
kawasan lindung sempadan sungai adalah 100 m untuk sungai besar dan 50 meter untuk anak sungai yang berada di luar permukiman. Sedangkan untuk sungai di
kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15 meter Pasal 16.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 telah mendefinisikan bahwa sungai adalah alur atau wadah air alami danatau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Bantaran sungai adalah ruang antara
tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri danatau kanan palung sungai. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung
sungai yang ditetapkan sebagai batas. Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 15 m
lima belas meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai antar 3 m hingga 20 m sebagaimana pada Sungai
Ciliwung. Pada Pasal 7 ditetapkan bahwa sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan
dan penghidupan manusia. Sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 seyogyanya dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan
kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan umum Nomor: 63prt1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas
sungai Pada Pasal 3 dijelaskan sebagai berikut: 1 Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan
perlindungan, penggunaan dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
2 Penetapan garis sempadan sungai bertujuan: a. Agar fungsi sungai tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang
disekitarnya. b. Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber
daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai.
c. Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi, Di dalam Pasal 4 ayat 1 dijelaskan tentang penetapan garis sempadan
sungai, khususnya untuk sungai-sungai yang menjadi kewenangan menteri, batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan
47 dari Direktur Jenderal. Sedangkan Pasal 8 menjelaskan bahwa penetapan garis
sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan didasarkan pada kriteria:
a. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 tiga meter, garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 sepuluh meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
b. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 tiga meter sampai dengan 20 dua puluh meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-
kurangnya 15 lima belas meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. c. Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 dua puluh
meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh meter dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.
Pada Pasal 11 dijelaskan juga tentang pemanfaatan daerah sempadan sebagai berikut:
1 Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut:
a. Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diijinkan. b. Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan.
c. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta
rambu-rambu pekerjaan. d. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air
minum e. Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalanjembatan baik
umum maupun kereta api. f. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan
masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai.
g. Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air.
2 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, seyogyanya memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang atau pejabat
yang ditunjuk, serta syarat-syarat yang ditentukan. 3 Pejabat yang berwenang dapat menetapkan suatu ruas di daerah sempadan
untuk membangun jalan inspeksi danatau bangunan sungai yang diperlukan, dengan ketentuan lahan milik perorangan yang diperlukan diselesaikan melalui
pembebasan tanah.
Pada Pasal 12 menegaskan bahwa pada daerah sempadan dilarang membuang sampah, limbah padat dan atau cair atau mendirikan bangunan
permanen untuk hunian dan tempat usaha. Sedangkan pada Pasal 15 dijelaskan sebagai berikut:
1 Penetapan daerah panguasaan sungai dimaksudkan agar pejabat yang
berwenang dapat melaksanakan upaya pembinaan sungai seoptimal mungkin bagi keselamatan umum.
2 Batas daerah penguasaan sungai yang berupa daerah retensi ditetapkan 100 seratus meter dari elevasi banjir rencana di sekeliling daerah genangan,
sedangkan yang berupa daerah banjir ditetapkan berdasarkan debit banjir rencana sekurang-kurangnya periode ulang 50 lima puluh tahunan.
48 Peraturan pemerintah PP No. 351991 tentang Sungai pasal 1 menjelaskan
bahwa bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi palung sampai dengan kaki tanggul tepi sungai bagian bawah
sebelah dalam. Pada pasal 16 menyebutkan bahwa kriteria bantaran sungai yaitu sekurang-kurangnya 100 meter di kiri dan kanan dilihat dari aliran sungainya
sungai besar dan 50 meter di kiri dan kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Perda No. 8 Tahun 2005 yang diperkuat oleh Keputusan Walikota Bogor No. 2 Tahun 2006 yang
menetapkan aturan jarak antara saluransungai dengan dinding bangunan penduduk, di mana bangunan yang dimiliki penduduk tidak diperbolehkan
melebihi batas tertentu Tabel 12.
Tabel 12. Ketentuan Garis Sempadan Sungai No.
Sumber Air Garis Sempadan m
1 Mata Air
200 2
Sungai Bertanggul Perkotaan 3
3 Sungai Tidak Bertanggul Perkotaan
10 4
Sungai Bertanggul Pedesaan 5
5 Sungai Tidak Bertanggul Pedesaan
15-30 6
Situ, Danau, Waduk, Rawa 20-100
7 Pantai
100
Sumber: Perda Jabar No. 8 Tahun 2005
Ilustrasi garis sempadan sungai menurut Perda Jabar No. 82005 sebagaimana Gambar 9.
Perda Propinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2005
Gambar 9. Garis Sempadan Sungai
Kawasan Perlindungan Setempat
Pengelompokkan Kawasan Lindung Penetapan kawasan lindung sebagai daerah yang perlu di jaga kelestariannya telah diatur di dalam beberapa peraturan
dan Undang-Undang. Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 secara khusus mengatur tentang pengelolaan kawasan lindung. Kawasan lindung didefinisikan
sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai
sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Kawasan lindung berdasarkan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung dikelompokkan ke dalam 4 kawasan, yaitu: 1.
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya. 2. Kawasan
49 perlindungan setempat. 3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya 4. Kawasan
rawan bencana alam. Sedangkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengelompokkan kawasan lindung ke dalam 5 kelompok, yaitu:
1. Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; 2. Kawasan
perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danauwaduk, dan kawasan sekitar mata air; 3. Kawasan suaka alam dan
cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan
raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 4. Kawasan rawan bencana alam, antara lain,
kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan
banjir; dan 5. Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah dan kawasan pengungsian satwa. Selain itu,
Undang-Undang No. 262007 menambahkan kawasan terumbu karang sebagai salah satu kawasan lindung.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Peraturan Pemerintah No 47 tahun 1997 mengelompokkan kawasan lindung ke dalam 7 kawasan, yaitu: 1. Kawasan
yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; 2. Kawasan perlindungan setempat; 3. Kawasan suaka alam; 4. Kawasan pelestarian alam; 5. Kawasan cagar
budaya; 6. Kawasan rawan bencana alam; 7. Kawasan lindung lainnya. Pengelompokkan kawasan lindung di dalam Peraturan Pemerintah No 471997
cenderung lebih lengkap dibandingkan peraturan lainnya. Ruang terbuka hijau dan hutan kota dijelaskan dan dikelompokkan ke dalam Kawasan perlindungan
setempat. Sementara di Keputusan Presiden No. 321990 kedua kawasan tersebut tidak dijelaskan dan tidak dikelompokkan ke dalam kelompok kawasan lindung.
Sementara Undang-Undang No 262007 tidak mengelompokkan RTH ke dalam kelompok kawasan lindung, tetapi RTH dijelaskan di dalam paragraf tata ruang
wilayah kota. Demikian pula masalah hutan kota tidak dijelaskan sama sekali di dalam Undang-undang tersebut.
Kawasan Perlindungan meliputi: sempadan sungai, sempadan pantai, kawasan sekitar waduk atau danau serta kawasan ruang terbuka hijau termasuk di
dalamnya hutan kota. Sempadan sungai merupakan kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatankanalsaluran irigasi primer, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 321990 lebar minimal 100 meter untuk sungai besar dan
50 meter untuk sungai kecil. Di sekitar pemukiman, lebar kawasan sempadan sekitar 10-15 meter. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah 471997, kriteria
sempadan sungai yang bertanggul minimal 5 meter dari batas luar tanggul, sedangkan yang tidak bertanggul ditentukan oleh pejabat berwenang berdasarkan
pertimbangan teknis dansosial. Di dalam sektor kehutanan, melalui Undang- Undang Kehutanan No 411999, kriteria sempadan sungai sesuai dengan kriteria
berdasarkan Keputusan Presiden No. 321990
Penentuan kawasan lindung menggunakan Kepres No 32 tahun 1990, di mana untuk kawasan sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri
kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Sedangkan untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan
50 sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10
– 15 meter.
Sempadan sungai merupakan area yang sangat rentan terhadap aktivitas manusia, berkenaan dengan pemanfataan lahan yang tidak sesuai dengan daya
dukung dan peruntukannya. Fenomena ini merupakan kondisi nyata gambaran permasalahan perkotaan yang dilalui sungai di Indonesia secara umum. Wardhani,
et al.
, 2010.
Sumber: Maryono, 2005
Gambar 10. Sempadan Sungai Cara Ekologi, Hidraulik dan Morphologi Menurut Ruspendi 2011, pohon pada tepi sungai memiliki banyak fungsi
antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat hidupan liar, menjaga longsor dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah.
Hal ini berarti bahwa kawasan sungai tersebut dapat berfungsi dengan baik untuk meningkatkan kualitas lingkungan alami Anisa, 2009.
Yulistiyanto 2013 menyatakan bahwa Jumlah penduduk yang terus meningkat dan mahalnya harga tanah perkotaan yang semakin tidak terjangkau
oleh lapisan masyarakat menengah ke bawah mendorong penduduk membuat hunian untuk tempat tinggal pada sempadan sungai. Dengan demikian diperlukan
upaya perlindungan sempadan melalui pembatasan pemanfaatan semapadan sungai. Di sisi lain optimalisasi pemanfaatan sempadan sungai yang diijinkan
selebar 10-30 m kanan-kiri sungai perlu dilakukan, misalnya untuk taman rekreasi, lapangan olahraga tidak permanen, areal parkir, taman kota, dan ruang
terbuka hijau.
Analisis Sosial dan Kebijakan Preferensi Masyarakat
Preferensi atau keinginan masyarakat adalah sebuah konsep, yang digunakan
pada ilmu sosial, khususnya ekonomi, yang mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif
tersebut berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia 1997, preferensi diartikan sebagai hak untuk didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, prioritas. Atau diartikan sebagai pilihan;
kecenderungan; kesukaan.
51
Persepsi Masyarakat
Persepsi adalah proses memberikan makna terhadap informasi yang diperoleh indera kita atau dapat dikatakan sebagai apa yang dikerjakan otak
dengan informasi yang diperolehnya Mugnisjah 2000. Istilah persepsi mengacu pada interpretasi seseorang terhadap kenyataan dan dalam proses persepsi, seorang
individu menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan semua stimuli lingkungan melalui simpul-simpulsyaraf-syarafnya.
Persepsi terhadap lingkungan adalah bagaimana individu memandang dan memahami lingkungannya. Persepsi terhadap lingkungan mencakup karakteristik
yang spesifik, yaitu: 1 pola persepsi memberikan banyak informasi secara langsung tanpa proses kerja oleh pusat syaraf 2 persepsi lebih banyak holistik
sehingga informasi lingkungan yang diterima bukan merupakan bagian yang terpisah-pisah melainkan satu kesatuan yang penting 3 organisasi dengan
aktifitas mengeksplorasi lingkungannya, menjumpai objek dengan berbagai cara Yunanto, 2004. Persepsi setiap orang banyak ditentukan oleh dampak langsung
dari lingkungannya terhadap kegiatan-kegiatan dan sarana-sarana untuk hidup.
Beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi adalah: 1 faktor situasi, yang sangat tergantung dengan waktu, keadaan atau tempat kerja dan keadaan sosial, 2
Faktor pada pemersepsiindividual yang berupa sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman dan pengharapan, serta 3 Faktor pada target yang berupa hal baru,
gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan. Dengan demikian, pesepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor yang penting, karena ini
adalah hal yang berlanjut dalam menentukan tindakan individu Yunanto, 2004.
Menurut Tampang 1999, persepsi dipengaruhi dari variabel-variabel yang berkombinasi satu dengan yang lainnya, yaitu:
1 Pengalaman masa lalu yang pernah dialami, 2 Indoktrinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami,
3 Sikap pemahaman yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal
tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor intern yang ada dalam individu
tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas
dimiliki oleh seseorang termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan
tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya.
Menurut Mugnisjah 2000 tahapan yang terjadi dalam persepsi adalah: 1 Seleksi
Seorang individu melakukan suatu persepsi selektif selective perception, yaitu proses perseptual melalui mana seorang individu memilih stimuli
tertentu dan mengabaikan stimuli yang lainnya. Seseorang hanya memilih stimuli yang relevan baginya dan mengabaikan yang tidak relevean baginya.
Jadi, selective exposure terjadi setelah seseorang menyeleksi informasi untuk dia perhatikanikuti, untuk kemudian individu tersebut juga menempatkan
dirinya secara selektif terhadap aspek-aspek tertentu dari lingkungannya.
2 Pengoraganisasian Setelah menyeleksi stimuli tersebut, kemudian mengorganisasikan stimuli
tersebut sedemikian rupa ke dalam pola-pola tertentu, bentuk-bentuk tertentu, kecenderungan-kecenderungan tertentu dan sebagainya.
52 3 Interpretasi
Pada tahap ini segera setelah pengorganisasian stimuli, kemudian diberikan interpretasi atau menyimpulkan dengan memberi makna terhadap stimuli
tersebut. Persepsi sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu, seperti tanggung jawab yang dimilikinya, kepribadian, kebutuhan, harapan, konsep
diri, sikap dan sistem nilai, yang semuanya mengacu pada stimuli internal yang secara nyata mempengaruhi interpretasi seseorang terhadap realitas.
Menurut Indrawijaya 1983 persepsi adalah suatu proses seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah
pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Persepsi merupakan dasar seseorang untuk bertindak Yunanto, 2004. Jika persepsi mereka positif
tentang kegiatan, maka masyarakat pun turut mendukung dan berpartisipasi dalam program tersebut. Menurut Muzani 2005 persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Jadi persepsi adalah proses pengumpulan dan
penafsiran dari informasi. Muzani 2005, menjelaskan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang memperoleh kesadaran mengenai keadaan sekitar
lingkungannya. Kemudian Indrawijaya 1983, menyatakan bahwa:
”Perception is the process by which people organize, interpret, experience, and process cues or
material inputs received from the external environtment ”. Dengan kata lain
persepsi adalah suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau segala sesuatu
yang terjadi di lingkungannya. Bagaimana segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi seseorang, nantinya mempengaruhi pula perilaku yang dipilihnya.
Persepsi terhadap lingkungan adalah bagaimana individu memandang dan memahami lingkungannya. Persepsi terhadap lingkungan mencakup karakteristik
yang spesifik, yaitu ; 1 pola persepsi memberikan banyak informasi secara langsung tanpa proses kerja oleh pusat syaraf 2 persepsi lebih banyak holistik
sehingga informasi lingkungan yang diterima bukan merupakan bagian yang terpisah-pisah melainkan satu kesatuan yang penting 3 organisasi dengan
aktifitas mengeksplorasi lingkungannya, menjumpai objek dengan berbagai cara Yunanto 2004. Persepsi setiap orang banyak ditentukan oleh dampak langsung
dari lingkungannya terhadap kegiatan-kegiatan dan sarana-sarana untuk hidup. Jadi, pesepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor yang penting,
karena ini adalah hal yang berlanjut dalam menentukan tindakan individu.
Indrawijaya 1983 berpendapat emosi dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang. Proses persepsi perlu dibahas mulai dari tahap penerimaan
rangsangan, yang ditentukan baik oleh faktor luar maupun oleh faktor di dalam manusianya sendiri. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan atas lima hal, yaitu:
a Faktor lingkungan, yang secara sempit hanya menyangkut warna, bunyi, sinar,
dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial dan politik. Semua unsur faktor ini mempengaruhi seseorang dalam menerima dan menafsirkan
suatu rangsangan.
b Faktor konsepsi, yaitu pendapat dan teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya. Misalnya, seseorang yang mempunyai konsepsi, pendapat
dan teori bahwa manusia itu jahat, cenderungmencurigai rangsangan sebagai suatu yang negatif dan seyogyanya dicurigai latar belakangnya.
53 c Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri the
concept of self . Seseorang mungkin saja beranggapan bahwa dirinyalah yang
terbaik, sedangkan orang lain selalu kurang baik dari dirinya sendiri. Orang demikian mempunyai keyakinan bahwa apapun bentuk dan sifat rangsangan,
ia selalu bertindak berdasarkan apa yang menurut dia baik. Rangsangan dari luar hanya merupakan suatu tantangan yang tidak perlu begitu diperhatikan.
d Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dan untuk menafsirkan suatu
rangsangan. e Faktor pengalaman pada masa lampau, yaitu adanya proses belajar dengan
membandingkan pengalaman masa lampau dengan apa yang sedang diamatinya.
Adapun faktor-faktor yang dapat menimbulkan kesalahan pada kita dalam persepsi menurut Mugnisjah 2000, yaitu:
1 Keterbatasan syaraf-syaraf limitations of the senses adalah keterbatasan kemampuan indera kita dalam menerima stimuli, baik indera penglihatan,
penciuman, peraba, pendengaran dan perasa. 2 Keakraban familiarity adalah sudah mengenal sesuatu atau terbiasa dengan
sesuatu yang menjadi persepsi kita. 3 Harapan expectation adalah kapasitas atau kemampuan untuk mengenali
suatu objek, dengan persepsi yang tepat. 4 Konteks situasi context of situation, persepsi seseorang sangat dipengaruhi
oleh situasi keseluruhan pada waktu dia mempunyai persepsi. 5 Emosi atau sikap emotion or attitude adalah sesuatu yang sedang kita
pikirkan dan ras pada saat kita menerima stimuli yang mempengaruhi persepsi kita.
Menurut Mugnisjah 2000 terdapat lima jenis bias yang dapat mempengaruhi persepsi, yaitu:
1 Stereotip stereotype adalah suatu proses penyederhanaan dan generalisasi perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu etnikras, suku
bangsa, jenis kelamin, dan lain-lain. 2 Efek halo adalah kecenderungan untuk menempatkan secara lebih signifikan
nyata tentang karakteristik atau bawaan individu tertentu dibanding karakteristik lainnya.
3 Kerangka acuanberpikir frame of reference adalah kecenderungan kita untuk melihat sesuatu atau hal-hal tertentu dari fokus yang sempit yang secara
langsung mempengaruhi kita atau hanya menurut sudut pandangan kita sendiri.
4 Harapan expectation adalah menerima, menyeleksi, menata atau mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi sesuai dengan harapan
kita ketika kita melihatnya. 5 Stigma adalah kecenderungan untuk memberi atribut karakteristik pribadinya
kepada orang lain, terutama dalam hal kekurangan atau kelemahannya. Menurut Tampang 1999, persepsi dipengaruhi dari variabel-variabel yang
berkombinasi satu dengan yang lainnya, yaitu: 1 Pengalaman masa lalu, apa yang pernah dialami,
2 Indoktrinasi budaya, bagaimana menerjemahkan apa yang dialami,
54 3 Sikap pemahaman, apa yang diharapkan dan apa yang dimaksud dari hal
tersebut. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yang ada dalam individu
tersebut. Bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas
dimiliki oleh seseorang termasuk juga pengetahuan. Persepsi juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan lingkungan
tempat tinggal, suku bangsa dan lainnya.
Keterkaitan Stakeholders
Kondisi sempadan sungai sangat dipengaruhi oleh aktivitas para stakeholders
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Aktivitas stakeholders
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Dengan mengetahui kategori dan bentuk aktivitas stakeholders serta lokasi keberadaannya, maka dapat
ditentukan siapa yang diperkirakan memperoleh keuntungan ekonomi dengan dilaksanakan program penataan sempadan sungai.
Dengan diketahuinya stakeholders yang diperkirakan mendapatkan manfaat dan mereka yang dibebani denda, maka diharapkan dapat dirumuskan kebijakan
penataan sempadan sungai yang telah mempertimbangkan mekanisme regulasi dan pengaturan kelembagaan yang menerapkan prinsip-prinsip insentif-disinsentif
terhadap stekholders, sesuai dengan kategori dan kedudukannya. Prinsip ini dikenal dengan cost-benefit sharing principles.
Mekanisme Insentif-Disinsentif
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1996. Untuk lebih menjamin proses pengendalian pemanfaatan ruang ini diperlukan mekanisme insentif dan disinsentif. Pemberian insentif
kepada pemanfaat ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif
dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang. Perangkat insentif dan disinsentif yang ditetapkan
juga seyogyanya sesuai dengan kemampuan pembiayaan pemerintah, sehingga dimungkinkan pemberian insentif tertentu, misalnya izin bangunan lebih tinggi
bagi yang bersedia membangun ruang terbuka hijau publik maupun yang membebaskan daerah tertentu untuk resapan air. Contoh bentuk insentif adalah
penyediaan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan yang diarahkan untuk berkembang di suatu lokasi. Sedangkan disinsentif
untuk mengurangi pertumbuhan kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi atau ketidak-tersediaan prasarana
dan sarana. Penetapan perangkat insentif dan disinsentif seyogyanya memperhatikan unsur keadilan dalam penerapannya. Menurut Oxford Modern,
insentif adalah suatu pembayaran atau konsensi untuk menstimulasi dalam memperbesar output tenaga kerja. Definisi lain, insentif adalah perangsang atau
pemancing aktivitas, sebagai faktor motivasi dalam meningkatkan aksi, atau stimulan motivasi agar mengambil langkah ke arah yang diharapkan. Berdasarkan
definisi ini, Hernawan 2009 mendefinisikan insentif sebagai sesuatu jasa untuk membujuk atau mempengaruhi penerapan suatu etika. Untuk kepentingan penataan
ruang insentif dan disinsentif mengandung suatu pengaturan untuk mendorong
55 pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang dan pengendalian
pembangunan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang Hernawan, 2009. Dalam penerapan insentif ini, hal yang seharusnya diperhatikan adalah
masalah terjadinya dispersitas antara tujuan publik dan privat dari penggunaan tanah. Menurut Enters 1999, insentif memang seharusnya hanya diaplikasikan
untuk tujuan publik, namun pencapaian targetnya lebih baik lagi apabila mempertimbangkan tujuan privat. Namun di lahan perkotaan atau sub-urban, pasar
merefleksikan nilai lingkungan lahan bergantung pada aksi publik terhadap kebutuhan mitigasi ruang terbuka kawasan lindung, pengelolaan penggunaan
lahan yang baik oleh otoritas perkotaan. Dari perspekstif efisiensi ekonomi, secara ideal, sebenarnya tidak ada kasus penggunaan insentif dalam pengelolaan ruang
terbuka. Hal ini disebabkan biaya ekonomi, sosial dan lingkungan dan manfaat konservasi direfleksikan melalui harga di pasar. Dengan demikian alokasi
sumberdaya optimal dilakukan melalui keputusan individu pemilik lahan Hernawan, 2009.
Menurut Hernawan 2009, terdapat tiga kelompok perangkatmekanisme insentif dan disinsentif yaitu 1 pengaturanregulasikebijakan, 2 Ekonomi
keuangan sebagai penerapan dari pengenaan pajak dan retribusi, dan 3 Pemilikanpengadaan langsung oleh pemerintah atau swasta. Regulasi kebijakan
terkait dengan obyek penggunaan lahan meliputi Pengaturan hukum pemilikan lahan, pengaturan sertifikasi tanah, Amdal, TDR, Pengaturan perizinan: izin
prinsip; izin usahatetap, Izin lokasi, Planning permit, Izin gangguan, IMB, serta Izin Penghunian dan Bangunan. Untuk perangkat ekonomi keuangan,
mekanismenya dapat diterapkan pada obyek penggunaan lahan Pajak lahanPBB, Pajak pengembangan lahan, Pajak balik namajual beli lahan, Retribusi perubahan
lahan, development impact fees, betterment tax dan kompensasi; obyek pelayanan umum pajak kemacetan, pajak pencemaran, retribusi perizinan, user charge atas
pelayanan umum serta subsidi untuk pengadaan pelayanan umum oleh pemerintah atau swasta; dan obyek prasarana User chargetool for plan dan Initial cost for
land consolidation.
Sedangkan perangkat Pemilikanpengadaan langsung oleh pemerintah pada obyek penggunaan lahan dapat meliputi penguasaan lahan oleh
pemerintah; pada obyek pelayanan umum meliputi: pengadaan pelayanan umum oleh pemerintah air bersih, pengumpulanpengolahan sampah, air kotor, listrik,
telepon, angkutan umum; untuk obyek prasarana meliputi: pengadaan infrastruktur oleh pemerintah, pembangunan perumahan oleh pemerintah, pembangunan
fasilitas umum oleh pemerintah.
Pendekatan Sistem
Alih fungsi lahan mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya dan kerusakan ekosistem, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian, secara
holistik menyeluruh dan terintegrasi atau saling terkait antara aspek yang dikaji. System approach
pendekatan sistem diartikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Oleh karena
itu dalam pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh.
56 Pada pendekatan sistem menurut Eriyatno 2003, umumnya ditandai oleh
dua hal yaitu: 1 mencari semua faktor yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2 dibuat suatu model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional. Tiga pola dasar yang menjadi pegangan dalam penyelesaian permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu:
1 Sibernetik goal oriented, artinya dalam penyelesaian permasalahan
berorientasi pada tujuan. Tujuan ini diperoleh melalui need analysis analisis kebutuhan
2 Holistik, yaitu cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem atau menyelesaikan permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.
3 Efektif, artinya lebih dipentingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan, bukan sekedar pendalaman teoritis. Dengan demikian, berbagai
metodologi dikembangkan sebagai karakter dalam pendekatan sistem, sehingga beragam metode yang ada di berbagai disiplin ilmu lainnya dapat
digunakan sebagai alat bantu oleh ahli sistem.
Tahapan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem Eriyatno 2003, yaitu:
1 Analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua
pelaku dalam sistem. 2 Formulasi permasalahan,
yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem.
3 Identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem.
4 Pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk
mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem.
5 Implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan.
6 Operasi, pada tahap ini dilakukan validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan di
mana sistem tersebut berfungsi. Sistem seyogyanya dipandang secara holistik keseluruhan dan bersifat
sebagai goal seeking pengejar sasaran, sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Suatu sistem mempunyai input masukan yang
berproses untuk menghasilkan output keluaran. Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang
saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sub-sistem sistem kecil yang membentuk suatu hirarki.
Sistem Dinamik
Sistem dinamik adalah suatu cara berpikir menyeluruh dan terpadu, mampu menyederhan persoalan yang rumit tanpa kehilangan hal penting yang menjadi
perhatian Muhammadi et al., 2001. Sistem dinamik dapat menganalisis struktur dan pola perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung
ketidakpastian Muhammadi et al., 2001, demikian pula perubahan struktural yang terjadi pada salah satu bagian dari sistem yang berdampak pada perilaku
sistem secara keseluruhan dapat dianalisis dengan cepat Martin 1997. Proses analisis kebijakan menggunakan sistem dinamik dilakukan melalui simulasi
57 model, sehingga lebih cepat, menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan
Muhammadi et al., 2001. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional
maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbeda-
beda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis Warlina, 2007.
Permodelan
Model adalah sesuatu yang dibuat untuk meniru suatu gejala atau proses Muhammadi et al., 2001. Model adalah abstraksi dari sistem dunia nyata yang
memiliki kedetilan masalah yang signifikan dengan masalah yang sedang dipelajari, dan juga memiliki transparansi, sehingga mekanisme dan faktor kunci
yang mempengaruhi perubahan dapat diidentifikasi Berger et al., 2001. Sedangkan model spasial adalah model yang berbasis data spasial, baik input data,
analisis maupun keluaran model tersebut.
Permodelan Modeling diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model Eriyatno 2003. Pramudya 1989 mendefinisikan model adalah suatu abstraksi
dari keadaan sesungguhnya atau merupakan perwakilan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Sejalan dengan pernyataan tersebut
Muhammadi et al. 2001 menyatakan bahwa model adalah suatu bentuk vang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Dalam pelaksanaan pendekatan
sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Di
samping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji.
Dalam membangun suatu model seyogyanya dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta
menggunakan analisis sensitifitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel
secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnva.
Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih memberikan hasil
simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada sehingga memberikan informasi yang tidak tepat. Model yang dianggap baik apabila model dapat
menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata dalam sistem tersebut. Lebih lanjut Pramudya 1989 menyatakan bahwa ada empat keuntungan
penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu: 1 memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral, 2
dapat melakukan eksperimentasi; terhadap sistem tanpa mengganggu memberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, 3 mampu menentukan tujuan aktivitas
pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan 4 dapat dipakai untuk menduga meramal perilaku dan keadaan sistem pada masa yang datang.
Ada empat tahapan dalam melakukan simulasi model Muhammadi et al. 2001, yaitu:
1 Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan
58 keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala proses
yang disimulasikan. 2 Pembuatan model, gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama
selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.
3 Simulasi model, pada model kuantitatif simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi
dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan
untuk memahami perilaku gejala atau proses model.
4 Validasi hasil simulasi, validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat
dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil.
Validitas dan Sensitivitas Model
Model yang baik adalah model yang dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi obyektif
dilakukan uji validasi Muhammadi et al., 2001. Ada dua jenis validasi dalam model, yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validitas struktur meliputi dua
pengujian, yaitu validitas konstruksi dan validitas kestabilan. Validitas onstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Uji
validitas konstruksi ini sifatnya abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada terlihat dari konsistensi model yang dibangun
Muhammadi et al., 2001. Menurut Barlas 1996, validitas kestabilan merupakan fungsi dari waktu. Model yang stabil memberikan output yang memiliki pola yang
hampir sama antara model agregat dengan model yang lebih kecil disagregasi. Validitas kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh
mana kinerja model sesuai compatible dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta.
Untuk mengetahui kekuatan robustness model dalam dimensi waktu dilakukan uji sensitivitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui respon model
terhadap stimulus yang bertujuan untuk mengetahui alternatif tindakan, baik untuk menyelesaikan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam
model. Hasil uji sensitivitas dalam bentuk perubahan perilaku atau kinerja model, digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Uji sensitivitas
model dapat dilakukan dengan dua macam Muhammadi et al., 2001: 1 intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap
model dengan menggunakan fasilitas, antara lain: step, random, pulse, ramp dan forecast, trend, if, sinus dan setengah sinus, dan 2 intervensi struktural, yakni
dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil
intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. Di samping itu, analisis sensitivitas model juga berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau kebijakan, baik
untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil positif maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif.
Secara umum pengujian model terdiri dari dua tahap, yaitu verifikasi dan validasi Hartrisari, 2007. Verifikasi adalah tindakan untuk memperoleh
kebenaran, ketepatan atau kenyataan dari suatu data, sedangkan validasi adalah
59 tindakan untuk memperoleh hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Indikator Keberlanjutan
Mascarenhas 2010 mengatakan bahwa sumber daya yang ada berinteraksi dalam berbagai skala spasial dan temporal mengikuti dinamika ekosistem,
sehingga penilaian yang dibuat dalam skala tunggal dapat dilakukan dengan hanya menangkap pola dan proses yang bersangkutan berdasarkan skala atau tingkat
penilaian tertentu. Suatu indikator baru yang dibutuhkan seyogyanya mampu mengintegrasikan fenomena di berbagai skala ruang, waktu, dan organisasi yang
kompleks untuk menyorot efek lintas-skala dan ketidakpastian. Terdapat inisiatif untuk menyusun indikator Pembangunan Berkelanjutan pada skala lokal
Mascarenhas et al., 2010. Menurut hasil yang disajikan oleh ICLEI Mascarenhas, 2010, sebagian besar inisiatif mengenai indikator keberlanjutan
lokal terkait untuk memantau suatu pelaporan. Di skala regional terdapat lebih sedikit inisiatif pada untuk Indikator Pembangunan Berkelanjutan Mascarenhas et
al.
, 2010. Beberapa upaya yang dilakukan untuk membangun set indikator umum pada skala lokal dan regional, dengan tujuan sebagai perbandingan pada skala
lokal atau pembandingan antar daerah dan integrasi skala teritorial yang berbeda Mascarenhas, 2010.
Mascarenhas 2010 merancang suatu penelitian interaktif proses pemilihan berulang terhadap seperangkat contoh indikator untuk suatu aplikasi wilayah,
sebagai prasyarat bagi pengelolaan pembangunan berkelanjutan ke dalam pengambilan keputusan otoritas lokal. Indikator-indikator yang terstruktur dalam
kerangka DPSIR Driving Power of Sustainable Impact Respons dan dirancang untuk membantu perencana dan administrator dalam mengevaluasi efektivitas
kebijakan menuju pembangunan berkelanjutan, serta untuk menginformasikan dan mendidik masyarakat umum. Hasil dari proses partisipasi masyarakat secara luas
menunjukkan beberapa perbedaan antara isu-isu keberlanjutan yang teridentifikasi oleh stakeholder sebagai satu set indikator yang dipilih bagi semua piha yang
berwenang di wilayah tersebut Mascarenhas, 2010.
2. ANALISIS SITUASIONAL