Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir Di Kota Bogor

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN RAWAN BAHAYA
PETIR DI KOTA BOGOR

CHANDIKA WINDHASHARYF

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap
Kawasan Rawan Bahaya Petir di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Mei 2015
Chandika Windhasharyf
NIM A44080045

ABSTRAK
CHANDIKA WINDHASHARYF. A44080045. Perencanaan Lanskap
Kawasan Rawan Bahaya Petir Di Kota Bogor. Dibimbing oleh QODARIAN
PRAMUKANTO.
Bogor merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan curah hujan
yang tinggi. Curah hujan yang tinggi seringkali memicu terjadinya petir di
wilayah Bogor ditambah karakteristik topografi yang sering memicu terjadinya
awan konvektif. Intensitas petir ini ternyata sudah mendapat perhatian sejak lama
oleh beberapa pihak. Dampak negatif dan positifpun mulai dikaji. Dampak negatif
dari tingginya intensitas petir ini adalah kerusakan instalasi listrik, jaringan
telekomunikasi, terbakarnya suatu bangunan sampai jatuhnya korban jiwa akibat
sambaran petir. Jenis petir yang memberikan dampak langsung terhadap aktivitas
manusia dan lingkungannya dinamakan petir CG atau Cloud-to-Ground .
Kota Bogor dengan kepadatan penduduk dan pola pemukiman yang cukup
padat menjadikan beberapa daerah lebih rawan mengalami kerugian akibat

sambaran petir. Fenomena petir ini seringkali menyambar beberapa tempat
dengan struktur yang lebih tinggi (bangunan tinggi, menara tegangan tinggi, tower
BTS). Apabila struktur bangunan yang mampu menjadi pemicu sambaran petir
seperti tower BTS (base transceiver station) terus dibangun dan berada dekat
dengan pemukiman padat penduduk seperti di Kota Bogor, akan sangat
membahayakan apabila tidak dilakukan perencanaan yang baik terhadap tata
ruang yang ada. Pada tahap analisis, aspek fisik yang membentuk peta sebaran
kawasan petir CG dipadukan dengan peta resiko bahaya petir yang terbentuk dari
aspek landuse dan landcover. Pada tahap sintesis peta yang dianalisis akan
dipadukan sehingga didapatkan peta resiko lanskap bahaya petir CG sesuai
karakter dan kriteria yang telah dipadukan. Hasil perencanaan lanskap berupa
Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir, yang terdiri atas rencana
subkawasan bahaya sangat tinggi, rencana subkawasan bahaya tinggi, dan rencana
subkawasan bahaya sedang.
Kata kunci : perencanaan, petir Cloud-to-Ground, BTS, mitigasi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN RAWAN BAHAYA
PETIR DI KOTA BOGOR

CHANDIKA WINDHASHARYF

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
perencanaan, dengan judul Perencanaan Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir di
Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Qodarian Pramukanto,
M.Si. selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Henry dari Badan Meteorologi dan Geofisika Dramaga, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada istri, ayah, ibu, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Chandika Windhasharyf

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Kerangka Pikir Penelitian

1
1

2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Petir
BTS
Daerah Mitigasi
Penataan Ruang
Perencanaan Lanskap

3
3
4
5
6
7

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

Alat dan Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Batasan Penelitian
Inventarisasi
Analisis
Sintesis
Perencanaan

8
8
8
9
9
11
12
17
18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Inventarisasi

Letak Geografis Kota Bogor

19
19
19

Topografi

19

Geologi dan Tanah

20

Hidrologi / Badan Air

21

Iklim dan Kenyamanan


21

Sebaran Struktur Pemicu Petir

22

Petir CG dan Curah Hujan

23

Arah Angin /Wind rose

23

Tipe Awan

24

Penggunaan Lahan


25

Kependudukan Kota Bogor

25

Penyusunan Peta Tematik
Peta Dasar

26
26

Peta Elevasi

26

Peta Geologi

28


Peta Badan Air

28

Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir

28

Peta Landuse dan Landcover

32

Analisis
Analisis Landuse dan Landcover

32
32

Analisis Resistivitas Batuan

37

Analisis Elevasi

41

Analisis Badan Air

41

Analisis Sebaran Struktur Pemicu Petir (BTS)

45

Analisis Petir CG dan Curah Hujan

50

Analisis Arah Angin / Windrose

51

Analisis Tipe Awan

51

Sintesis
Perencanaan
Konsep Dasar

52
55
55

Konsep Pengembangan

57

Rencana Lanskap

65

SIMPULAN DAN SARAN

76

DAFTAR PUSTAKA

77

LAMPIRAN

78

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data dan Informasi
Tabel 2 Klasifikasi Jenis Awan dengan Citra Satelit
Tabel 3 Prosentase Kejadian Petir CG dan Curah Hujan
Tabel 4 Karakter dan Kriteria Landuse dan Landcover
Tabel 5 Nilai Resistivitas Batuan dan Tanah
Tabel 6 Karakter dan Kriteria Resistivitas Batuan dan Tanah
Tabel 7 Karakter dan Kriteria Elevasi
Tabel 8 Jarak Aman Tower BTS dengan Bangunan
Tabel 9 Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir
Tabel 10 Karakter dan Kriteria Struktur Pemicu Petir
Tabel 11 Karakter dan Kriteria Badan Air
Tabel 12 Karakter dan Kriteria Petir CG dan Curah Hujan
Tabel 13 Karakter dan Kriteria Tipe Awan
Tabel 14 Kemiringan Lereng Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota
Bogor
Tabel 15 Ketinggian Wilayah Kecamatan Kota Bogor dari Permukaan
Laut
Tabel 16 Jenis Tanah Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor
Tabel 17 Jenis Geologi Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor
Tabel 18 Nama dan Luas Danau/Situ/Embung di Kota Bogor
Tabel 19 Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2010-2012
Tabel 20 Jumlah Hari Hujan di Kota Bogor 2010-2012
Tabel 21 Temperatur, Kelembaban Relatif, dan Tekanan Udara Kota
Bogor Tahun 2011-2012
Tabel 22 Nama Operator dan Tipe Menara BTS di Kota Bogor
Tabel 23 Jenis Penggunaan Lahan di Kota Bogor tahun 2010
Tabel 24 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Kota
Bogor Tahun 2012
Tabel 25 Tipe Menara BTS dan jarak aman terhadap bangunan sekitar di
Kota Bogor
Tabel 26 Hasil Sintesis Keseluruhan Karakter
Tabel 27 Konsep Ruang Lanskap

9
12
12
13
14
14
15
15
15
16
16
17
17
19
20
20
20
21
22
22
22
23
25
26
48
54
57

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Pikir
Gambar 2 Lokasi Penelitian Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Sumber :
Bappeda Kota Bogor 2014)
Gambar 3 Metode Penelitian
Gambar 4 Wind rose Angin Rata-rata dan Angin Terbesar Bulan
Desember 2013 (Sumber : BMKG Darmaga 2014)
Gambar 5 Peta Sirkulasi Sebagai Dasar
Gambar 6 Peta Elevasi
Gambar 7 Peta Geologi

2
8
10
24
27
29
30

Gambar 8 Peta Badan Air
Gambar 9 Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir
Gambar 10 Peta Landuse dan Landcover
Gambar 11 Ruang Terbangun Kota Bogor
Gambar 12 Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor
Gambar 13 Ruang Terbuka BiruKota Bogor
Gambar 14 Peta Analisis Landuse dan Landcover
Gambar 15 Peta Analisis Resistivitas Batuan
Gambar 16 Peta Analisis Elevasi
Gambar 17 Kondisi Fisik Badan Air Kota Bogor
Gambar 18 Peta Analisis Badan Air
Gambar 19 Bentuk Fisik Dua Tipe Menara BTS
Gambar 20 Peta Analisis Struktur Pemicu Petir
Gambar 21 Peta Resiko Lanskap Bahaya Petir
Gambar 22 Ilustrasi Ruang Bahaya Sangat Tinggi I
Gambar 23 Ilustrasi Ruang Bahaya Sangat Tinggi II
Gambar 24 Ilustrasi Ruang Bahaya Tinggi
Gambar 25 Ilustrasi Ruang Bahaya Sedang
Gambar 26 Peta Rencana Lanskap Kawasan Rawan Bahaya Petir
Gambar 27 Kondisi Eksisting Sub Kawasan I
Gambar 28 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan I
Gambar 29 Kondisi Eksisting Sub Kawasan II
Gambar 30 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan II
Gambar 31 Kondisi Eksisting Sub Kawasan III
Gambar 32 Model Rencana Lanskap Sub Kawasan III

31
33
34
35
36
37
38
42
43
44
46
47
49
56
61
62
63
64
66
67
68
71
72
73
74

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Data Curah Hujan Bulanan Kota Bogor
Data Frekuensi Petir dan Jumlah Hari Petir
Data Arah Angin berdasarkan data Windrose
Perbandingan Kejadian Petir dan Curah Hujan
Detail Lokasi Menara dan Kriteria Bahaya

78
79
80
81
82

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bogor sebagai salah satu wilayah di Indonesia dengan curah hujan yang
cukup tinggi memiliki fenomena alam yang lainnya yaitu petir. Wilayah Bogor
tercatat sebagai wilayah dengan intensitas petir tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Dramaga, sepanjang tahun 2008 hingga
2011 telah terjadi 52528 kali sambaran. Dalam kurun waktu empat tahun itu,
jumlah petir terbanyak terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 22708 kali
sambaran. Rata-rata sambaran petir setiap tahunnya adalah 13132 sambaran dan
rata-rata sambaran setiap bulannya adalah 1094 sambaran. Beberapa penelitian
menyebutkan petir merupakan salah satu fenomena alam yang sangat erat
kaitannya dengan curah hujan, menurut Tjasyono (2006) petir didefinisikan
sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang cukup tinggi dan bersifat
sangat singkat yang biasanya terjadi pada jenis awan Cumulunimbus.
Petir yang diartikan sebagai pelepasan muatan listrik memiliki beberapa
bentuk pelepasan muatan, yaitu pelepasan muatan awan ke permukaan tanah
(Cloud to Ground), pelepasan muatan antar atau di dalam awan (Inter/Intra
Cloud) dan pelepasan muatan antar awan dengan awan (Cloud to Cloud) (Pabla,
1981 diacu dalam Septiadi, et al, 2011). Petir CG (Cloud to Ground) merupakan
bentuk bahaya alam (natural hazard) yang sering mempengaruhi dan berdampak
langsung terhadap kegiatan manusia. Dampak petir CG tersebut berupa kerusakan
perlengkapan elektronik, gangguan stabilitas jaringan telekomunikasi, terbakarnya
bangunan, rusaknya instalasi listrik sampai jatuhnya korban jiwa.
Berdasarkan RTRW tahun 2009 sampai 2029, Kota Bogor memiliki
kepadatan penduduk yang beragam mulai dari 12-40 jiwa/ha sampai 161-200
jiwa/ha. Adanya kejadian petir di wilayah Bogor menyebabkan tingkat kerentanan
beberapa lokasi terhadap gangguan petir semakin meningkat. Gangguan ini pada
akhirnya menjadi suatu bahaya di daerah padat penduduk yang dapat
menimbulkan banyak kerugian material maupun jiwa. Potensi bahaya sambaran
petir dipicu oleh hadirnya bangunan dengan struktur yang relatif tinggi seperti
menara tegangan tinggi sampai tower BTS (Base Tranceiver Station). Sambaran
petir ini dominan terjadi pada bagian permukaan bumi yang tinggi. Struktur
seperti tower BTS sangat dimungkinkan menjadi medium penghantar energi
listrik yang dihasilkan petir menuju permukaan bumi.
Peningkatan kebutuhan instalasi teknologi informasi berupa pembangunan
tower BTS cenderung dilaksanakan tanpa memperhitungkan kesesuaian lokasi
dari segi keamanan terhadap sambaran petir. Pembangunan tower BTS ini
seharusnya memperhatikan persyaratan dalam UU No 26 Tahun 2007 yang
menyebutkan penataan ruang harus memperhitungkan perencanaan mitigasi
bahaya ataupun bencana dan memperhatikan dampak ke lingkungan sekitar.
Fenomena petir yang seringkali menyambar struktur tinggi seperti tower BTS,
menjadi sumber bahaya di daerah pemukiman padat penduduk apabila tidak
memperhatikan pola tata ruang dan upaya mitigasi bahaya petir. Kajian ini
dituangkan berupa perencanaan lanskap kawasan rawan bahaya petir di Kota

2
Bogor. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk menentukan kawasan yang
mempunyai potensi bahaya petir dan merencanakan upaya mitigasi.
Tujuan
Studi ini bertujuan menyusun rencana lanskap kawasan rawan bahaya petir
di Kota Bogor. Secara rinci studi ini bertujuan untuk :
1. analisis sebaran kawasan petir,
2. analisis sebaran kawasan resiko bahaya petir,
3. analisis sebaran lanskap bahaya petir,
4. menyusun rencana lanskap kawasan rawan bahaya petir.
Manfaat
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai :
1. dasar pertimbangan dalam pembangunan dan pengembangan tata
ruang Kota Bogor kedepannya,
2. dasar pertimbangan untuk merencanakan daerah perlindungan
terhadap sambaran petir di kawasan pemukiman penduduk.
Kerangka Pikir Penelitian
Kota Bogor merupakan salah satu wilayah dengan intensitas petir yang
cukup tinggi. Upaya menentukan kawasan sebaran petir akan dilakukan melalui
analisis terhadap aspek fisik yang meliputi faktor terestrial (geologi, elevasi,
badan air, dan stuktur pemicu petir) dan faktor atmosfer (curah hujan, tipe awan,
dan arah angin). Berdasarkan integrasi ke dua faktor ini maka dapat diketahui
sebaran kawasan petir CG. Bahaya petir CG dapat diketahui berdasarkan overlay
antara peta sebaran petir CG dengan peta resiko bahaya. Dengan diketahui Peta
Resiko Lanskap Bahaya Petir CG maka dapat disusun Rencana Lanskap Kawasan
Rawan Bahaya Petir. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pikir penelitian.
Kota Bogor

Aspek Fisik

Landuse dan Landcover
Atmosfer

Terestrial
Peta Kawasan Sebaran Petir CG

Peta Resiko Lanskap
Bahaya Petir CG
Peraturan Tata Ruang
dan Mitigasi

Rencana Lanskap Kawasan
Rawan Bahaya Petir

Gambar 1 Kerangka Pikir

Peta Resiko Bahaya
Petir

3

TINJAUAN PUSTAKA
Petir
Petir merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer bumi yang tidak dapat
dicegah. Petir didefinisikan sebagai pelepasan muatan listrik dengan arus yang
cukup tinggi dan bersifat sangat singkat yang biasanya terjadi pada saat awan
Cumulunimbus (Cb). Dalam petir terdapat beberapa bentuk pelepasan muatan,
yakni pelepasan muatan awan ke permukaan tanah (Cloud to Ground), pelepasan
muatan antar atau dalam awan (Inter/Intra Cloud), dan pelepasan muatan antara
awan dengan awan (Cloud to Cloud) (Pabla, 1981; Price, 2008 diacu dalam
Septiadi dan Hadi, 2011).
Pelepasan muatan dari awan ke permukaan tanah merupakan jenis petir
yang berdampak langsung terhadap aktivitas manusia. Mayoritas petir di atmosfer
berasosiasi dengan badai guruh konvektif (Rust dan MacGorman, 1998 diacu
dalam Septiadi dan Hadi, 2011). Menurut Abduh (2002) petir terjadi berawal dari
proses fisika dimana terjadi pengumpulan muatan listrik di awan. Dalam keadaan
normal, pada atmosfer bumi terdapat ion positif dan ion negatif yang tersebar acak.
Ion-ion ini terjadi karena tumbukan atom, pancaran sinar kosmis, dan energi
thermos. Pada keadaan cuaca cerah terdapat medan listrik yang berarah tegak
lurus ke bawah menuju bumi.
Dengan adanya medan listrik tersebut, maka butiran air yang ada di udara
akan terpolarisasi karena induksi. Bagian atas bermuatan negatif dan bagian
bawah bermuatan posistif. Di dalam awan adakalanya terjadi pergerakan arus
udara ke atas membawa butir-butir air yang berat jenisnya lebih tinggi. Karena
mengalami pendinginan, butiran air ini akan membeku sehingga berat jenisnya
membesar yang mengakibatkan timbulnya gerakan ke bawah dengan kecepatan
sangat tinggi. Dalam pergerakannya, timbul gaya tarik terhadap ion negatif dan
ion positif ditolak. Akibatnya butiran air besar yang mengandung ion negatif
berkumpul di bagian bawah awan, sementara pada bagian atas awan akan
berkumpul ion bermuatan positif.
Bersamaan terjadinya pengumpulan muatan, pada awan timbul medan
listrik yang intensitasnya semakin besar dan akibatnya gerakan ke bawah butirbutir air menjadi terhambat atau terhenti. Akibatnya terbentuk medan listrik antara
awan dengan permukaan bumi. Apabila medan listrik ini melebihi kekuatan
tembus udara terjadilah pelepasan muatan. Distribusi muatan di awan pada
umumnya di bagian atas ditempati muatan positif, sementara pada bagiah bawah
awan ditempati oleh muatan negatif. Sambaran akan diawali oleh kanal muatan
negatif menuju ke daerah yang terinduksi positif, umumnya sambaran yang terjadi
adalah sambaran muatan negatif dari awan ke tanah (Suzuki, 1981 diacu dalam
Abduh, 2002).
Polaritas awan tidak hanya berpengaruh pada arah sambaran, tetapi juga
berpengaruh pada besar arus sambaran (Zoro, 1996 diacu dalam Abduh, 2002).
Aliran muatan listrik yang terjadi antara awan dengan tanah disebabkan adanya
kuat medan listrik. Semakin besar muatan yang terdapat di awan semakin besar
pula medan listrik yang terjadi. Apabila kuat medan ini melebihi kuat medan

4
tembus udara, maka terjadilah aliran muatan dari awan ke tanah. Peristiwa aliran
energi ini disebut kilat atau petir.
Hubungan antara curah hujan dan petir telah banyak ditunjukkan oleh para
peneliti (Septiadi dan Hadi, 2011). Metode estimasi curah hujan konvektif juga
telah dibangun berdasarkan observasi lightning (Buechlar dan Goodman, 1990
diacu dalam Septiadi dan Hadi, 2011). Bahkan telah dibangun fungsi empirik
antara parameter petir dan curah hujan (Takayabu, 2006 diacu dalam Septiadi dan
Hadi, 2011).
BTS
Menurut Sugiyono dan Nazori (2012) dari segi pembangunan properti,
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat pembangunan bangunan
gedung yang cukup tinggi, baik perumahan maupun gedung perkantoran. Seiring
dengan meningkatnya pembangunan tersebut menyebabkan bertambahnya tingkat
resiko bahaya yang disebabkan oleh sambaran petir baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal ini akibat dari meningkatnya penggunaan peralatan
elektronika baik alat-alat untuk rumah tangga maupun alat-alat untuk perkantoran
yang semuanya rata-rata menggunakan energi listrik. Sambaran petir mampu
merusak sistem elektronika dan peralatannya seperti jaringan instalasi listrik,
instalasi komputer, air conditioner, alat komunikasi, dan lain sebagainya.
Terminologi BTS termasuk baru dan mulai populer di era booming seluler
saat ini. BTS berfungsi menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan
jaringan menuju jaringan lain. Satu cakupan pancaran BTS dapat disebut Cell.
Komunikasi seluler adalah komunikasi modern yang mendukung mobilitas yang
tinggi. Dari beberapa BTS kemudian dikontrol oleh satu Base Station Controller
(BSC) yang terhubungkan dengan koneksi microwave ataupun serat optik (Abduh,
2002 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).
Kondisi sistem pengetanahan tidak baik, misalnya di daerah bebatuan, hal
ini dapat menyebabkan nilai resistansi tinggi. Maka tegangan akibat sambaran
petir yang melewati sistem pengetanahan akan semakin tinggi. Efek medan listrik
yang timbul akibat adanya sambaran petir pada tower BTS akan semakin besar
sehingga dapat merusak piranti elektronik, jaringan kabel telekomunikasi,
jaringan data, dan keselamatan manusia yang ada di sekitarnya (Hutauruk, 1994
diacu dalam Pandiangan, et al 2010).
Rentang aman (safety range) dapat diperoleh dengan menghitung radius
sambaran petir terhadap tower BTS dengan bangunan lainnya (Harger, 2008 diacu
dalam Prapitari dan Yulianto, 2013). Meski teknologi relatif sudah canggih, masih
ada orang yang tewas disambar petir. Bukan hanya di luar rumah, lecutan listrik di
angkasa ini bisa masuk rumah dan mengenai orang-orang di dalamnya. Tak
terhitung harta benda yang rusak akibat sambaran petir. Bencana petir dapat
berupa serangan petir yang mengganggu transmisi listrik tegangan tinggi, dan
dapat merenggut nyawa bagi yang terkena serangan langsung. Begitu besar
bahaya yang ditimbulkan akibat adanya sambaran petir ini, sehingga masyarakat
perlu waspada dan hati-hati pada saat terjadi hujan disertai petir, apalagi bagi
masyarakat yang tinggal berada di bawah atau di sekitar menara BTS (base
tranceiver station) (Zoro, 2009 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).

5
Menurut Harger (2008) diacu dalam Pandiangan, et al (2010) rentang aman
dapat diperoleh dengan menghitung radius sambaran petir terhadap tower BTS
dengan bangunan disekitarnya, yang dirumuskan sebagai berikut :
d = √ h1 (300-h1) - √ h2 (300-h2)
dimana :
d = Jarak Tower terhadap bangunan (feet)
h1 = Tinggi tower BTS (feet)
h2 = Tinggi bangunan sekitar tower BTS (feet)

Hal ini dikarenakan secara umum petir akan dominan menyambar bagianbagian di permukaan bumi yang memiliki struktur tinggi (gedung-gedung tinggi,
tower BTS, menara transmisi tegangan tinggi) dan dominan memilih struktur
yang terbuat dari material konduktif (metal). Problem Menara BTS di Perkotaan
bahwa tower BTS telah menjadi problem perkotaan dengan isu yang dikemukakan
adanya efek negatif gelombang elektromagnetik, problem utama menara BTS
bukanlah radiasi yang melainkan justru problem utama kehadiran tower BTS di
sekitar pemukiman penduduk adalah sambaran petir yang mengenainya. Jika
terdapat sejumlah awan bermuatan dengan medan statis yang cukup untuk terjadi
petir, maka obyek yang pertama kali dikenai sambaran petir yaitu tower BTS,
karena memiliki struktur yang menjulang tinggi dan terbuat dari bahan logam.
Praktis jumlah sambaran petir di sekitar tower BTS akan meningkat, bukannya
berkurang, sehingga apabila dipasang logam lancip di ujung tower, bukan
penangkal petir namanya, namun lebih tepat sebagai pemicu atau pemanggil petir
(Syakur, 2009 diacu dalam Pandiangan, et al 2010).
Menurut Pandiangan, et al (2010) penduduk yang tinggal di pemukiman
dekat bangunan BTS sering mengalami kerugian. Sambaran petir sering merusak
alat-alat elektronik seperti televisi, radio, dan komputer pada saat digunakan
karena listrik yang tiba-tiba mati sehingga terjadinya korsleting. Hal ini terjadi di
beberapa pemukiman yang rumahnya tepat bersebelahan dengan bangunan BTS.
Hal serupa juga dialami penduduk yang rumahnya terletak di depan bangunan
BTS, selain sering mengalami kerusakan pada alat-alat elektronik, ketika hujan
turun dan banyaknya petir yang terjadi, penduduk lebih memilih tinggal di dalam
rumah dikarenakan petir seringkali menyambar kabel pada tiang listrik dan
pohon-pohon sekitar rumah mereka.
Daerah Mitigasi
Di dalam Lampiran Peraturan Menteri No 33 Tahun 2006 tentang Mitigasi
Bencana terdapat empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :
1. tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis
bencana;
2. sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat
dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan
bencana;
3. mengetahui apa yang perlu diketahui dan dihindari, serta mengetahui
cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
4. pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi
ancaman bencana.

6
Mitigasi merupakan titik tolak utama dari manajemen penanggulangan
bencana. Dengan mitigasi dilakukan usaha-usaha untuk menurunkan dan/atau
meringankan dampak/korban yang disebabkan oleh suatu bencana pada jiwa
manusia, harta benda, dan lingkungan. Mitigasi juga merupakan tindakan
pencegahan bencana. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Karena dalam kegiatan identifikasi kawasan rawan bencana dilakukan :
1. identifikasi sumber bencana dan memetakannya, terutama di wilayah
dan/atau kawasan yang sudah menunjukkan ciri-ciri perkotaan
dan/atau terbangun,
2. mengklasifikasikan kawasan-kawasan yang berpeluang terkena
bencana berdasarkan jenis dan tingkat besar/kecilnya ancaman
bencana dan dampak bencana yang ditimbulkan (tipologi bahaya),
3. menginformasikan tingkat kerentanan wilayah terhadap masingmasing tipologi bahaya.
Aktivitas ini yang harus dilakukan terlebih dahulu dalam rangka
menunjang kegiatan perencanaan pembangunan daerah dan tata ruang yang
berwawasan “mitigasi bencana”.
Penataan Ruang
Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
menekankan bahwa secara garis besar penyelenggaraan penataan ruang
diharapkan (1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan
berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan; (2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (3) tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Dengan demikian tentunya
penataan ruang dalam mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan,
prospek suatu daerah dan berbagai tantangan yang dihadapi termasuk pula
memperhatikan daerah rawan bencana sebagai basis dalam mengembangkan dan
mengelola suatu daerah.
Penataan ruang dapat menjalankan peran penting dalam penetapan rencana
pemanfaatan ruang yang aman dari dampak bencana alam. Karena setidaknya
dalam penataan ruang sudah dimunculkan kriteria lokasi rawan bencana alam dan
sebaran lokasi kawasan kritis dan kawasan yang beresiko bencana. Penataan ruang
dapat meminimalisasi dampak bencana karena premis penataan ruang adalah
keseimbangan lingkungan hidup. Atau dapat dikatakan, pemanfaatan suatu
kawasan untuk berbagai kegiatan disesuaikan dengan kemampuan daya dukung
lingkungannya.
Menurut Tondobala (2011), patut digarisbawahi bahwa sesungguhnya
penyelenggaraan penataan ruang adalah sama dengan usaha mitigasi bencana.
Dalam konteks identifikasi kawasan rawan bencana, maka hal ini merupakan
upaya mendukung penataan ruang dengan memberikan informasi yang berkaitan
dengan kerentanan wilayah terhadap bencana sehingga resiko bencana dapat
dicermati dan diantisipasi dalam pola ruang. Dengan kata lain, identifikasi
kawasan rawan bencana berguna untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang
suatu wilayah.

7
Kawasan rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau
karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau
tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Oleh karena itu,
penyelenggaraan penataan ruang secara keseluruhan haruslah merupakan upaya
intervensi terhadap kerentanan wilayah dan meningkatkan kondisi ketahanan
ruang wilayah terhadap kemungkinan adanya bahaya yang terjadi.
Perencanaan Lanskap
Perencanaan adalah suatu kegiatan dasar manusia yang dikembangkan
melalui proses pemikiran ke masa depan dan tindakan manusia berdasarkan
pemikiran tersebut dalam kenyataannya (Catanese, Snyder, dan Susangko, 1986).
Sedangkan perencanaan lanskap adalah seni menciptakan lingkungan fisik luar
yang mendukung tindakan manusia, dimana proses perencanaan dimulai dengan
memahami orang-orang yang akan menggunakan tapak tersebut dan kebijakankebijakan yang ada. Dalam perencanaan tapak, tidak ada satupun elemen yang
dapat diubah tanpa memberikan pengaruh yang luas. Tapak bukanlah sekedar
kumpulan dari bangunan dan jalan, tetapi juga merupakan suatu sistem dari
struktur, permukaan, ruang, makhluk hidup, iklim, dan lainnya (Lynch, 1981).

8

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat (Gambar 2).
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 10645’0” - 10650’0” BT dan
632’30” - 640’0” LS. Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian minimum
190 m dan maksimum 330 m dari permukaan laut. Luas wilayah Kota Bogor
sebesar 11850 ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Untuk waktu
persiapan, pengumpulan, dan pengolahan data dilakukan dari bulan Juli sampai
November 2014 dan dilanjutkan dengan penyusunan skripsi sampai bulan
Desember 2014.

Peta Jawa Barat

Gambar 2 Lokasi Penelitian Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat
(Sumber : Bappeda Kota Bogor 2014)

Alat dan Bahan Penelitian
Dalam penelitian ini alat yang digunakan dalam proses inventarisasi
adalah alat tulis, GPS model garmin, meteran, dan kamera digital. Untuk
pengolahan data menggunakan software pengolahan data spasial ArcView GIS,
AutoCAD 2010,WRPLOT, Sketchup dan Adobe Photoshop CS3.

9
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data
primer yang didapatkan dari lapang dan data sekunder baik data spasial maupun
data tekstual. Data yang berhasil dikumpulkan akan digabungkan untuk
mendapatkan data yang lebih spesifik yang dapat digunakan dalam penelitian ini.
Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Data dan Informasi
Aspek
Elevasi
Geologi dan
tanah

Jenis
Spasial Tekstual





Badan Air





Struktur
Pemicu Petir





Curah hujan



Arah angin



Petir CG



Landuse dan
landcover
Demografi






Interpretasi
Sebagai petaelevasi
Untuk analisis formasi geologi
yang dapat memicu petir CG
Untuk analisis badan air dan
daerah sambaran petir
Untuk menentukan struktur
bangunan dan elemen lainnya
yang memicu petir
Untuk menganalisis hubungan
intensitas petir CG dengan
curah hujan
Untuk menganalisis pola angin
lokal
Untuk menganalisis intensitas
dan penyebaran spasial
sambaran petir CG
Sebaran kepadatan pemukman
dan resiko bahaya petir CG
Jumlah Penduduk,
Penyebaran penduduk,
Pertumbuhan dan
perkembangan penduduk

Sumber
Bakosutarnal
Bappeda
Bappeda Kota Bogor
Citra Ikonos / Google
Earth, Survey,Bappeda
BMKG
BMKG
BMKG
Bappeda Kota Bogor

Bappeda Kota Bogor

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam empat tahapan yaitu inventarisasi, analisis,
sintesis, dan rencana. Setiap data yang dikumpulkan berupa data spasial dan data
tekstual. Tahapan tersebut disajikan dalam Gambar 3. Tahap inventarisasi
merupakan proses pengumpulan data awal yang akan digunakan sebagai bahan
analisis pada tahap selanjutnya. Untuk tahap analisis, aspek fisik yang membentuk
peta sebaran kawasan petir CG dipadukan dengan peta resiko bahaya petir yang
terbentuk dari aspek landuse dan landcover. Pada tahap sintesis peta yang
dianalisis akan dipadukan sehingga didapatkan peta resiko lanskap bahaya petir
CG sesuai karakter dan kriteria yang telah dipadukan. Selanjutnya pada tahap
perencanaan, peninjaun peraturan dan konsep yang ingin dikembangkan akan
disinergikan untuk meningkatkan kualitas perencanaan lanskap daerah rawan
bahaya petir di Kota Bogor.
Batasan Penelitian
Studi dibatasi pada menara BTS, sedangkan struktur pemicu petir yang
lainnya tidak dikaji dikarenakan dasar teori yang belum mendukung.

10
I
n
v
e
n
t
a
r
i
s
a
s
i

Kota Bogor

Landuse dan
Landcover

Aspek Fisik

Atmosfer

Terestrial

Formasi
Geologi

Elevasi

Badan Air

Struktur
Pemicu
Petir

Tipe
Awan

Arah
Angin

Curah
hujan

&
a
n
a
l
i
s
i
s

Analisis Karakter Terestrial
pembentuk Petir CG

Analisis Karakter Atmosfer
pembentuk Petir CG

PetaKawasan
Sebaran Petir
CG

PetaAnalisis
ResikoBahaya
Petir CG

PetaResiko
Lanskap Bahaya
Petir CG

Sintesis
P
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

UU No 26 Tahun 2007
Penataan ruang
Konsep Perencanaan
Peraturan Menteri No 33
Tahun 2006Mitigasi
Bencana

Perencanaan Lanskap Kawasan
Rawan Bahaya Petir

Gambar 3 Metode Penelitian

11
Inventarisasi
Data spasial dan data tekstual yang dikumpulkan (Tabel 1) meliputi aspek
fisik yang membentuk kawasan sebaran petir CG dan resiko bahaya petir,
demografi masyarakat, dan aspek legal terkait tata ruang dan mitigasi bencana
sebagai acuan pertimbangan perencanaan. Data tersebut disusun menjadi data
spasial tematik. Klasifikasi data disusun berdasarkan karakteristik berikut (a)
landuse dan landcover; (b) resistivitas batuan; (c) elevasi; (d) rentang aman
struktur pemicu petir; (e) badan air; (f) tipe awan; (g) arah angin; (h) curah hujan;
dan (i) petir CG.
Penyusunan Peta Tematik
Data disusun berupa peta tematik berdasarkan karakteristik fisik lanskap
bahaya petir CG dan resiko bahaya petir. Data tersebut memiliki deskripsi
pemanfaatan dan fungsi antara lain :
a. Peta Dasar
Peta dasar yang digunakan adalah peta infrastruktur jalan. Peta ini menjadi
peta referensi atau acuan dalam penyusunan peta tematik.
b. Peta Elevasi
Peta elevasi digunakan sebagai sumber informasi untuk mengidentifikasi
titik elevasi yang memiliki ketinggian paling rentan terhadap faktor
terjadinya sambaran petir. Peta elevasi dituangkan ke dalam elevasi
dengan beberapa kelas.
c. Peta Formasi Geologi
Peta formasi geologi diperlukan untuk mengetahui klasifikasitipe batuan
yang berpotensi menjadi penghantar atau medium sambaran petir yang
berasal dari RTRW Bappeda.
d. Peta Badan Air
Peta badan air disusun untuk menggambarkan data spasial terkait ruang
terbuka biru yang terdapat di Kota Bogor berupa sungai, kolam,danau, situ
dan lainnya.
e. Peta Sebaran Struktur Pemicu Petir
Peta sebaran struktur pemicu petir disusun dengan mengidentifikasi
sebaran struktur buatan manusia (menara BTS). Data didapatkan dari
instansi terkait dan survei langsung di lapangan.
f. Peta Landuse dan Landcover
Peta ini disusun berdasarkan sebaran landuse dan diklasifikasikan ke
dalam bentuk landcover meliputi karakter : (a) ruang terbangun; (b) ruang
terbuka hijau; dan (c) ruang terbuka biru, sehingga dapat ditentukan
karakter spasial terkait resiko bahaya petir di Kota Bogor. Peninjauan
karakter demografi penduduk juga dipertimbangkan untuk menentukan
kriteria bahaya pada tahap analisis.
Penyusunan Data Tekstual
Data tekstual disusun untuk mendukung analisis dan teori dalam penelitian
ini. Data tersebut memiliki deskripsi pemanfaatan dan fungsi antara lain :

12
a. Tipe Awan
Data yang diperlukan dalam studi ini adalah tipe-tipe awan yang tersedia
di stasiun BMKG (Tabel 2). Data ini akan memberikan informasi tentang
karakter awan yang mengandung muatan listrik dan berpotensi
menimbulkan petir.
Tabel 2 Klasifikasi Jenis Awan dengan Citra Satelit
Cloud type
High level Cloud
Middle level cloud
Stratus/fog
Stratocumulus
Cumulus
Cumulus congestus
Cumulonimbus
Sumber : BMKG (2014)

Classification
Ci
Cm
St
Sc
Cu
Cg
Cb

High level clouds
Middle level cloud

Statiform clouds
-

Low level clouds

Convective clouds

-

b. Curah Hujan
Data curah hujan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi intensitas
curah hujan sehingga dapat mendukung teori yang sudah ada (Septiadi dan
Hadi, 2011). Hal ini dikaitkan fakta jumlah curah hujan dengan intensitas
petir CG (Tabel 3).
Tabel 3 Prosentase Kejadian Petir CG dan Curah Hujan
Musim
No

Parameter

Jenis

1

Petir CG

+
Total

2

Curah Hujan

DJF

MAM

JJA

SON

Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi

Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi

Rendah
Rendah
Rendah
Rendah

Sedang
Sedang
Sedang
Sedang

c. Arah Angin
Data arah angin disusun menjelaskan bagaimana pola angin lokal yang
terjadi di wilayah Kota Bogor, sehingga pergerakan arah angin yang
membentuk awan konvektif dapat diketahui. Peta ini disusun berdasarkan
analisis windrose dengan mengumpulkan data terkstual. Data tekstual
yang diperlukan adalah wind direction, wind speed, dan hourly
precipitation dalam rentang waktu jam, hari, bulan, dan tahun. Data ini
diolah menggunakan software WRPLOT.
Analisis
Analisis dilakukan berdasarkan kriteria analisis untuk menentukan
kawasan rawan bahaya petir, yaitu :
1. analisis Landuse dan Landcover,
2. analisis Resistivitas Batuan,
3. analisis Elevasi,
4. analisis Rentang Aman Struktur Pemicu Petir,

13
5.
6.
7.
8.

analisis Badan Air,
analisis Petir CG dan Curah Hujan,
analisis Arah Angin, dan
analisis Tipe Awan.

Berdasarkan Sugiyono dan Nazori (2012) masing-masing karakter yang
dianalisis diberikan nilai bobot yang sama karena belum ada standar baku tentang
penilaian karakter untuk kerawanan sambaran petir. Pembagian kriteria
dimodifikasi menjadi tiga kriteria bahaya dengan pembagian rentang skor 1 untuk
kriteria bahaya rendah, skor 2 kriteria bahaya sedang, dan skor 3 untuk kriteria
bahaya tinggi. Untuk studi Sugiyono dan Nazori (2012) kriteria bahaya terbagi
menjadi 5 klasifikasi yaitu sangat aman, aman, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Analisis Landuse dan Landcover
Analisis dilakukan berdasarkan kriteria kejadian petir yang berdampak
langsung terhadap kegiatan manusia dan properti. Hal ini dikaitkan dengan
sebaran landuse dan landcover. Sebaran landuse seperti perumahan, area
pendidikan, perdagangan, terminal, komplek militer, lapangan olahraga, taman
kota, sawah, sempadan sungai,sungai, dan yang lainnya. Berbagai jenis sebaran
landuse ini akan dikategorikan ke dalam tiga bentuk landcover yaitu ruang
terbangun, ruang terbuka hijau, dan ruang terbuka biru. Semakin tinggi tingkat
kepadatan penduduk maka tingkat kerawanan bahaya petir semakin tinggi. Hal ini
berdasarkan teori yang menyebutkan tingkat resiko bahaya petir semakin tinggi di
ruang dengan instalasi listrik dan di dalamnya terdapat kegiatan manusia. Data
disusun berdasarkan interpretasi citra ikonos secara visual. Pada Tabel 4 dapat
dilihat karakter dan kriteria yang digunakan tahap analisis.
Tabel 4 Karakter dan Kriteria Landuse dan Landcover
Karakter
Ruang Terbangun
Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Biru
Sumber : Analisis (2014)
Landuse/
Landcover

Kriteria Bahaya
Rendah (skor 1)
Sedang (skor 2)



Tinggi (skor 3)




Analisis Resistivitas Batuan
Karakter yang dianalisis adalah nilai resistivitas batuan. Setiap jenis
batuan memiliki nilai tertentu dalam menghantarkan arus listrik. Kriteria yang
dipakai adalah semakin tinggi nilai resistivitas batuan maka semakin lemah
kemampuan batuan tersebut dalam menghantarkan arus listrik. Sifat ini identik
dengan bahan konduktor yang memiliki nilai resistivitas kurang dari 10-8 Ωm. Di
dalam konduktor berisi banyak elektron bebas dengan tingkat mobilitas yang
sangat tinggi. Pada isolator elektron tidak dapat bergerak bebas, sedangakan pada
semikonduktor jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Secara umum berdasarkan
nilai resistivitasnya, batuan dan mineral dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu :
a. Konduktor baik (nilai resistivitas rendah) : 10-8 Ωm< ρ < 1Ωm
b. Konduktor pertengahan (nilai resistivitas sedang) : 1 < ρ < 107 Ωm

14
Isolator (nilai resisitivitas tinggi) : ρ> 107Ωm

c.

Pada Tabel 5 dapat dilihat jenis batuan dan tingkat resistivitasnya. Apabila
nilai resistivitas formasi batuan Kota Bogor dapat diketahui, maka karakter
formasi batuan dapat dispasialkan untuk analisis kriteria terestrial pembentuk petir
CG (Tabel 6).
Tabel 5 Nilai Resistivitas Batuan dan Tanah
Jenis Batuan/Tanah/Air

Tingkat Resistivitas (Ωm)

Clay/lempung

1-100

Silt/lanau

10-200

Marls/batulumpur

3-70

Kuarsa

10-2x108

Sandstone/BatuPasir

50-500

Limestone/Batukapur

100-500

Lava

100-5x104

Air tanah

0,5-300

Air laut

0,2

Breksi

75-200

Andesit

100-200

Tufa vulkanik

20-100

Konglomerat
2x103-104
Sumber : (Telford,1990; Astier,1971; Mori,1993 diacu dalam Prapitari dan Yulianto, 2013)

Tabel 6 Karakter dan Kriteria Resistivitas Batuan dan Tanah
Karakter
Resistivitas Tinggi
Batuan
Resistivitas Sedang
Resistivitas Rendah
Sumber : Analisis (2014)

Rendah (skor 1)


Kriteria Bahaya
Sedang (skor 2)
Tinggi (skor 3)




Analisis Elevasi
Analisis dilakukan berdasarkan karakter elevasi Kota Bogor yang
bersumber dari Bappeda Kota Bogor 2014. Data elevasi Kota Bogor memiliki
rentang antara 0-200 mdpl, 201-250 mdpl, 251-300 mdpl, dan di atas 300 mdpl.
Kriteria yang dipakai adalah semakin tinggi titik elevasi semakin rentan daerah
tersebut menjadi medium sambaran petir. Sumber petir di Kota Bogor dianggap
homogen dan menyebar di seluruh wilayah Kota Bogor. Kriteria bahaya terbagi
menjadi tiga berdasarkan pembagian karakter kelas elevasi. Titik elevasi 0-200
mdpl masuk dalam karakter elevasi rendah, titik elevasi 201-250 mdpl dan 251300 mdpl masuk dalam karakter elevasi sedang, dan titik elevasi di atas 300 mdpl
masuk dalam karakter elevasi tinggi. Pada Tabel 7 dapat dilihat karakter dan
kriteria untuk analisis elevasi.

15
Tabel 7 Karakter dan Kriteria Elevasi
Karakter

Rendah (skor 1)


Elevasi Rendah
Elevasi Elevasi Sedang
Elevasi Tinggi
Sumber : Analisis (2014)

Kriteria Bahaya
Sedang (skor 2)
Tinggi (skor 3)




Analisis Rentang Aman Struktur Pemicu Petir
Hadirnya bangunan struktur tinggi seperti BTS perlu dianalisis terkait
rentang aman (safety range) bangunan ini. Hasil perhitungan rentang aman
berdasarkan Harger (2008) dapt dilihat pada Tabel 8. Potensi bangunan
berstruktur buatan manusia lebih dominan dijadikan medium sambaran petir,
terlebih lagi struktur ini cenderung terbuat dari logam yang sangat baik
menghantarkan arus listrik. Kriteria jarak aman tower BTS terhadap bangunan
disekitarnya terdapat pada Tabel 9.
Karakter yang dikaji adalah jarak struktur pemicu petir dengan pemukiman.
Kriteria yang dipakai pad Tabel 10 adalah semakin dekat jarak struktur pemicu
petir dengan pemukiman maka tingkat bahaya semakin tinggi. Karakter petir
cenderung menyambar permukaan bumi yang relatif tinggi dibandingkan area di
sekitarnya.
Tabel 8 Jarak Aman Tower BTS terhadap Bangunan
h1
20

d (h2 = 5m)
12

d (h2 = 10m)
7

30
40
50
60
70
80
90
100

18
22
25
28
30
32
34
35

12
16
20
22
25
27
29
30

Keterangan :
d = Jarak Aman Tower BTS (meter)
h1 = Tinggi Tower BTS (meter)
h2 = Tinggi bangunan sekitar BTS (meter)

Sumber : Harger (2008)

Tabel 9 Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir
Kriteria Jarak Struktur Pemicu Petir
Tinggi Tower BTS
(meter)

Tinggi Bangunan
sekitar BTS 10 meter

Rentang Aman
Pemicu Petir
dengan
Pemukian

7-16
20-25
27-30

Dekat
Sedang
Jauh

Jarak Aman Tower BTS (meter)
Tinggi Bangunan sekitar
BTS 5 meter

20-49
50-79
80-100
Sumber : Harger 2008 (modifikasi)

12-22
25-30
32-35

16
Tabel 10 Karakter dan Kriteria Struktur Pemicu Petir
Karakter
Struktur
Pemicu
Petir

Dekat
Sedang
Jauh
Sumber : Analisis (2014)

Kriteria Bahaya
Rendah (skor 1)



Sedang (skor 2)

Tinggi (skor 3)




Analisis Badan Air
Karakter yang dikaji adalah (a) sungai; (b) danau/situ; dan (c) kolam. Sifat
badan air sebagai penghantar arus listrik yang baik semakin meningkatkan potensi
bahaya petir. Kriteria yang digunakan adalah semakin besar ukuran/penampang
badan air maka resiko bahaya semakin besar. Hal ini ditinjau terkait faktor
terestrial pembentuk petir CG. Permukaan bumi baik daratan atapun perairan
merupakan medium pelepasan listrik petir CG. Sifat air sebagai penghantar arus
listrik bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion
tersebut. Kandungan larutan elektrolit berperan besar dalam menentukan tinggi
rendahnya kemampuan air dalam menghantarkan arus listrik. Dalam Tabel 5 nilai
resistivitas air laut diperkirakan sekitar 0,2 Ωm. Nilai resistivitas air laut lebih
rendah daripada air tanah (0,3-300 Ωm ). Semakin rendah nilai resistivitas maka
semakin baik mineral atau larutan tersebut dalam menghantarkan listrik.
Berdasarkan nilai Daya Hantar Listrik (DHL), jenis air menurut Davis dan Wiest
(1996) juga dapat dibedakan dalam µmho/cm dalam 25º C sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Air murni nilai DHL sebesar 0,0055µmho/cm 25º C
Air suling nilai DHL sebesar 0,5-5 µmho/cm 25º C
Air hujan nilai DHL sebesar 5-30 µmho/cm 25º C
Air tanah nilai DHL sebesar 30-200 µmho/cm 25º C
Air laut nilai DHL sebesar 45000-55000 µmho/cm 25º C

Pada Tabel 11 dapat dilihat karakter dan kriteria badan air yang akan
digunakan pada tahap analisis. Penentuan kriteria bahaya ini memakai karakter
badan air sebagai medium sambaran petir dan kemampuan air dalam
menghantarkan listrik.
Tabel 11 Karakter dan Kriteria Badan Air
Karakter
Sungai
Badan
Danau/Situ
Air
Kolam
Sumber : Analisis (2014)

Kriteria Bahaya
Rendah (skor 1)



Sedang (skor 2)

Tinggi (skor 3)



Analisis Petir CG dan Curah Hujan
Data untuk analisis berasal dari data lightning detector dan curah hujan
yang tersedia di BMKG. Petir CG terbagi dua jenis yaitu positif dan negatif.
Karakter yang dikaji adalah intensitas curah hujan dan petir CG. Kriteria yang

17
dipakai adalah semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi intensitas petir
CG sehingga resiko bahaya tinggi.
Tabel 12 Karakter dan Kriteria Petir CG dan Curah Hujan
Karakter

Rendah
(skor 1)

Curah hujan tinggi maka petir tinggi
Petir dan
Curah
Curah hujan sedang maka petir sedang
Hujan
Curah hujan rendah maka petir rendah
Sumber : Analisis (2014)



Kriteria Bahaya
Sedang
Tinggi
(skor 2)
(skor 3)



Analisis Arah Angin
Analisis windrose dipakai untuk mengetahui arah dan pergerakan angin
lokal di Kota Bogor. Data tekstual yang telah dikumpulkan akan diolah
menggunakan software WRPLOT. Hasil pengolahan data berupa penggabungan
data tekstual dari BMKG dan citra satelit Kota Bogor. Data spasial yang
dihasilkan analisis windrose berupa pola dan pergerakan arah angin lokal Kota
Bogor. Analisis ini diperlukan untuk mempertajam analisis karakter atmosfer
pembentuk petir CG.
Analisis Tipe Awan
Karakter yang dikaji adalah jenis awan dari BMKG seperti (a) high level
cloud; (b) middle level cloud; (c) stratocumulus;(d) stratus/fog; (e) cumulus; (f)
cumulus congestus ; (g) cumulonimbus. Kriteria yang dipakai adalah jenis awan
bermuatan listrik yang berpotensi memicu petir. Adapun persyaratan terbentuknya
awan dengan muatan listrik pemicu petir pada suatu daerah adalah (1) terdapat inti
higroskopis; (2) gerakan angin ke atas; dan (3) kondisi udara yang lembab
(konsentrasi air yang banyak).
Tabel 13 Karakter dan Kriteria Tipe Awan
Karakter
High level Cloud
Middle level cloud
Stratus/fog
Jenis
Stratocumulus
Awan
Cumulus
Cumulus congestus
Cumulonimbus
Sumber : Analisis (2014)

Rendah (skor 1)




Kriteria Bahaya
Sedang (skor 2)
Tinggi (skor 3)







Sintesis
Pada tahap sintesis seluruh data yang telah dianalisis mulai dari analisis
karakter terestrial dan karakter atmosfer dioverlay membentuk peta sebaran
kawasan petir CG. Selanjutnya peta sebaran kawasan petir CG dipadukan dengan
peta analisis resiko bahaya petir untuk membentuk peta komposit resiko lanskap
bahaya petir CG di Kota Bogor.

18
Perencanaan
Konsep Dasar
Konsep dasar perencanaan lanskap di Kota Bogor adalah
memperhitungkan dampak sambaran petir yang dipicu menara BTS agar
didapatkan area yang memiliki rentang aman terutama di daerah pemukiman
padat penduduk sehingga penataan ruang yang memperhatikan keselamatan
masyarakat dapat direncanakan dengan baik. Peraturan Menteri No 33 Tahun
2006 terkait Mitigasi Bencana dan UU No 26 Tahun 2007 terkait Penataan Ruang
menjadi acuan dalam menyusun konsep perencanaan lanskap kawasa bahaya petir
di Kota Bogor.
Konsep Pengembangan
Konsep lanskap kawasan rawan bahaya petir dikembangkan dengan
memadukan konsep ruang dan sirkulasi untuk memberikan perencanaan tata ruang
kota yang memperhatikan unsur mitigasi terhadap gangguan petir. Daerah yang
rawan gangguan petir harus dapat diidentifikasi dengan cermat dan mampu
direncanakan dengan baik untuk meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi
saat gangguan ini datang.
Rencana Lanskap
Hasil dari pengembangan konsep dasar akan disajikan dalam bentuk
rencana lanskap kawasan rawan bahaya petir yang akan membantu perencanaan
Kota Bogor dalam meminimalisir gangguan petir.

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Inventarisasi
Letak Geografis Kota Bogor
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 10643’30” - 10651’00”
BT dan 630’30” - 641’00” LS. Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian
minimum 190 m dan maksimum 330 m dari permukaan laut. Jarak Kota Bogor
dari ibu kota sekitar 60 km. Luas wilayah Kota Bogor menurut data Bappeda
tahun 2013 sebesar 11850 ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Batas
wilayah Kota Bogor sebagai berikut :
Bagian Utara
Bagian Timur
Bagian Selatan
Bagian Barat

: Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Sukaraja.
: Kecamatan Sukaraja dan Ciawi.
: Kecamatan Cijeruk dan Caringin.
: Kecamatan Dramaga dan Ciomas.

Topografi
Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan
kemiringan lereng berkisar 0-2 % (datar) seluas 1763,94 ha, 2-15 % (landai)
seluas 8091,27 ha, 15-25 % (agak curam) seluas 1109,89 ha, 25-40 % (curam)
seluas 765,21 ha, dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,74 ha. Pada Tabel 14
dapat dilihat kemiringan lereng berdasarkan wilayah kecamatan di Kota Bogor.
Ketinggian Kota Bogor berdasarkan RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031
bervariasi antara 100 m sampai 500 m dari permukaan laut. Ke arah selatan
ketinggian wilayah kota Bogor semakin mendekati 500 m dari permukaan laut.
Pada Tabel 15 dapat dilihat pembagian ketinggian berdasarkan wilayah kecamatan
di Kota Bogor pada tahun 2012.
Tabel 14 Kemiringan Lereng Berdasarkan Wilayah Kecamatan di Kota Bogor
Kemiringan Lereng (ha)
Kecamatan

0-2 %

2-15 %

15-25 %

25-40 %

Datar

Landai

Agak
Curam

Curam

Bogor Utara
137,85
1565,65
Bogor Timur
182,30
722,70
Bogor Selatan
169,10
1418,40
Bogor Tengah
125,44
560,47
Bogor Barat
618,40
2502,14
503,85
1321,91
Tanah Sareal
1763,94
8091,27
Jumlah (ha)
Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)

56,03
1053,89
1109,92

68,00
44,25
350,37
117,54
153,81
31,24
765,21

>40%
Sangat
Curam
0,50
9,80
89,24
9,55
10,65
119,74

Jumlah
(ha)
1772,00
1015,00
3081,00
813,00
3285,00
1884,00
11850,00

20
Tabel 15 Ketinggian Wilayah Kecamatan Kota Bogor dari Permukaan Laut
Ketinggian dari Permukaan Laut (m)
0-200
201-250
251-300
>300
Bogor Utara
869,18
853,68
49,14
0,00
Bogor Timur
0,00
46,00
349,00
620,00
Bogor Selatan
0,00
25,00
479,00
2577,00
Bogor Tengah
0,00
317,33
491,27
4,40
Bogor Barat
1639,80
1318,96
326,24
0,00
Tanah Sareal
1519,13
364,87
0,00
0,00
Jumlah (ha)
4028,11
2925,84
1694,65
3201,40
Sumber : Bappeda Kota Bogor (2014)
Kecamatan

Jumlah (ha)
1772,00
1015,00
3081,00
813,00
3285,00
1884,00
11850,00

Geologi dan Tanah
Kota Bogor memiliki beberapa jenis tanah seperti tanah Alluvial seluas
1157,93 ha, tanah Latosol seluas 8960,27 ha, tanah Podsolik seluas 26,35 ha,
tanah Regosol seluas 817,46 ha, dan tanah Andosol seluas 887,99 ha. Sebaran
jenis tanah berdasarkan wilayah kecamatan dapat dilihat pada Tabel 16. Kota
Bogor secara umum ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan
(batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak (berupa alluvium/kal
dan kipas alluvium/kpal) dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi
tupaan/kpbb). Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki je