Hasil Pengamatan Hasil Pengamatan dan Wawancara

Responden I, Reza, yang selama proses wawancara menyatakan tidak menerima amplop lagi sejak masuk AJI, ternyata tidak sesuai dengan perilakunya di lapangan. Peneliti mengikuti kegiatannya dalam sebuah acara yang digelar salah satu BUMN. Acara tersebut memang diperuntukkan bagi wartawan yang berangkat atas nama medianya. BUMN tersebut mengemasnya dalam bentuk kunjungan wisata ke salah satu obyek wisata di Sumatera Utara pada 18-20 Juli 2011. Selain mendapat fasilitas mewah dan berbagai cendera mata, di akhir acara setiap wartawan juga menerima amplop atau disebut ‘uang saku’. Tak ada satu pun wartawan yang menolak, termasuk Reza. Peneliti yang kebetulan terlibat dal am kegiatan itu, mendapatkan data pembagian ‘uang saku’ itu dari salah satu staf humas BUMN tersebut. Sayangnya, ia enggan membeberkan jumlah nominal yang diterima setiap wartawan. Selain pengamatan langsung, peneliti juga mendapat informasi tambahan terkait responden 1, dari responden 2, Doni. Ia menceritakan, ketika itu tahun 2009. Ada anggota DPR yang sedang berkunjung saat pemilihan presiden. Usai kegiatan setiap wartawan diberi amplop. Doni mengaku langsung pulang dan tidak menerima, tetapi keesokan hari ia mendapat informasi dari wartawan lain jika seluruh wartawan yang ada menerima, termasuk Reza. Besarnya Rp 500 ribu. Selain itu ia juga sering mendengar Reza menerima amplop pada kegiatan-kegiatan yang digelar partai penguasa tersebut, meskipun Doni belum pernah melihat langsung. Observasi mendalam hanya dapat dilakukan pada Reza, disebabkan akses yang sulit untuk dilakukan pada tiga orang lainnya. Ada yang sudah jarang turun ke lapangan, ada yang wilayah liputannya berada di daerah, sementara responden 3, Budi, secara terbuka sudah menyatakan tetap menerima dengan alasan kebutuhan.

IV.2 Pembahasan

AJI menafsirkan independensi sebagai tempat berlindung seorang wartawan dari berbagai kepentingan yang menyinggung profesinya. Koordinator Divisi Pekerja AJI Indonesia, Winuranto Adhi, menyatakan independensi sebagai syarat mutlak bagi seluruh anggota AJI. Menurutnya, AJI sengaja menekankan pentingnya makna independen tersebut agar para anggotanya tidak rentan terhadap suap. Hasil wawancara terhadap empat informan tersebut, menunjukkan jika seluruhnya melanggar kode etik AJI yang dianggap dapat memengaruhi independensi yakni pada poin 14 yang berbunyi, “jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.” Ketua Komite Etik AJI Medan, Bambang Soed, menjelaskan penafsiran dari poin tersebut yang berarti semua anggota AJI tidak boleh menerima pemberian apa pun dari narasumber termasuk souvenir seperti kaos. Pemberian yang mengatasnamakan pribadi juga disebutnya termasuk pelanggaran. Sebab orang tersebut tentu mengenalnya karena ia wartawan sehingga pemberian tersebut tetap atas dasar seorang sumber berita dan wartawan. Sama halnya dengan pemberian yang bersifat ‘hadiah’ saat wartawan itu mengundang narasumbernya untuk sebuah hajatan atau acara syukuran. Bambang menyebut pemberian tersebut dapat dikategorikan gratifikasi dan jelas melanggar. Pihaknya menyarankan agar wartawan khususnya anggota AJI Medan untuk tidak terlalu sering bergaul dengan sumber berita. Mejelis etik sendiri dalam sistem organisasi AJI berfungsi untuk mengawasi perilaku anggota AJI, agar tetap melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan kode etik jurnalistik. Majelis ini biasa bekerja setelah menerima pengaduan dari masyarakat maupun anggota AJI. Namun yang mengejutkan, ternyata sejak 2009 hingga saat ini belum ada satu kasus pelanggaran pun yang dibahas dalam sidang Majelis Etik AJI Medan. Bambang Soed menyebut situasi ini hanya sebuah kebetulan, hal ini menurutnya karena saat ini anggota AJI masih konsisten dengan idealismenya sehingga menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik. Pernyataannya tentu bertolak belakang dengan hasil penelitian ini.

IV.2.1 Proses Atribusi

Bila kita melihat perilaku orang lain, kita mencoba memahami apa yang menyebabkan ia berperilaku seperti itu. Fritz Heider dalam Rakhmat, 2005:93 mengemukakan, bila kita mengamati perilaku sosial, pertama-tama kita menentukan dahulu apa yang menyebabkannya: faktor situasional atau personal; dalam teori atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor situasional lebih dominan dalam memengaruhi perilaku mereka. Sesuai dengan teori yang berlaku di atas, maka situasi ini disebut kausalitas eksternal. Faktor situasional tersebut disebabkan pengaruh lingkungan yang menjadi keseharian para wartawan. Berbagai faktor menjadi penyebab, seperti gaji rendah maupun kompensasi minim yang diterima. Pendapatan tersebut tak mampu menutupi