107 tersebut diperbanyak pada tanaman tomat kultivar Arthaloka melalui penularan
dengan serangga vektor dan dua bulan setelah inokulasi tanaman digunakan sebagai sumber inokulum.
Studi Karakteristik Hubungan Strain Begomovirus dengan Serangga Vektor B. tabaci
U
ntuk mempelajari kemampuan beberapa populasi B. tabaci dalam menularkan strain begomovirus yang berbeda, maka dilakukan beberapa
percobaan terhadap periode makan akuisisi PMA, periode makan inokulasi PMI dan jumlah serangga. Setiap unit percobaan terdiri atas sepuluh tanaman
uji dan lima tanaman kontrol. Serangga vektor yang digunakan untuk setiap unit percobaan adalah sepuluh ekor per tanaman, kecuali pada percobaan jumlah
serangga
a. Periode Makan Akuisisi
Untuk mengetahui PMA minimum B. tabaci dalam menularkan masing- masing isolat begomovirus, imago masing-masing biotipe B. tabaci diberi
perlakuan periode makan pada tanaman tomat terinfeksi virus selama ¼, ½, 1 , 3 dan 6 jam, kemudian diberi perlakuan PMI selama 48 jam pada tanaman uji.
Pada pengujian ini diamati jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai satu
bulan setelah perlakuan.
b. Periode Makan Inokulasi
Untuk mengetahui PMI minimum B. tabaci dalam menularkan isolat begomovirus tomat serangga vektor diberi perlakuan PMI selama ¼, ½, 1 , 3 , 6,
dan 12 jam pada tanaman tomat yang sehat setelah melalui perlakuan PMA selama 24 jam pada tanaman tomat yang terinfeksi. Pada pengujian ini diamati
jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai satu bulan setelah perlakuan.
c. Jumlah Serangga
Untuk mengetahui jumlah minimum masing-masing biotipe B. tabaci yang mampu menularkan isolat begomovirus tomat dilakukan penularan dengan
menggunakan jumlah serangga yang berbeda yaitu 1 , 3 , 5 , 10 , 15 dan 20 ekor
108 setiap tanaman. Masing-masing serangga diberi perlakuan PMA 24 jam dan PMI
48 jam. Pada pengujian ini diamati jumlah tanaman yang terinfeksi pada setiap perlakuan dan masa inkubasi virus dalam tanaman. Pengamatan dilakukan sampai
satu bulan setelah perlakuan.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Virologi kebun percobaan Cikabayan, Darmaga, Bogor dan laboratorium diagnostik, Kelompok peneliti
Biokimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Cimanggu dari September 2004 – Juni 2005.
Penanaman Tomat
Benih tomat dari beberapa genotipe Presto, Marta, Jelita, Safira dan Permata diperoleh dari PT. East West Seed Indonesia, sedangkan genotipe Intan,
PSPT 8, PSPT 5B, PSPT 9, Apel-Belgia, Karibia, Mitra, dan Bonanza diperoleh dari Pusat Studi Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Benih- benih tersebut disemai pada baki plastik yang telah berisi media semai komersial. Setelah tumbuh dan berumur
tiga minggu bibit dipindah ke poly bag yang berukuran 20 cm x 20 cm yang telah diisi tanah dan pupuk kandang steril 3:1. Tanaman yang berumur 1 bulan setelah
semai siap untuk diinokulasi dengan 3 strain begomovirus yang telah diidentifikasi sebelumnya BAB III.
Perbanyakan Serangga Vektor
Serangga vektor yang digunakan untuk penularan berasal dari tanaman brokoli yang telah diidentifikasi sebagai B. tabaci biotipe B BAB IV. Serangga
tersebut diperbanyak dengan cara memelihara serangga dalam kurungan dan diberi kesempatan meletakkan telur pada tanaman brokoli. Tanaman brokoli
yang diperkirakan telah mengandung sejumlah telur serangga dipindahkan ke kurungan serangga baru yang telah berisi tanaman brokoli tanpa diikuti oleh
serangga dewasanya. Setelah beberapa hari akan terbentuk imago baru yang merupakan imago yang bebas virus dan digunakan seba gai serangga vektor.
Perbanyakan Sumber Inokulum
Tiga strain begomovirus yang sebelumnya telah dideteksi dan
diidentifikasi BAB III digunakan dalam pengujian ketahanan ini. Begomovirus tersebut berasal dari Kaliurang, D.I. Yogyakarta GVPSlm, Boyolali, Jawa
Tengah GVABy dan Bogor, Jawa Barat GVCBgr. Ketiga strain begomovirus
tersebut diperbanyak pada tanaman tomat c v. Arthaloka melalui penularan dengan serangga vektor dan dua bulan setelah inokulasi digunakan sebagai sumber
inokulum.
Evaluasi Ke tahanan Tanaman Tomat
Penularan begomovirus dilakukan dengan memberikan serangga vektor periode makan akuisisi pada masing-masing strain begomovirus selama 24 jam,
kemudian dilakukan periode makan inokulasi selama 48 jam pada masing-masing tanaman uji. Jumlah tanaman yang diuji untuk setiap genotipe adalah 25 tanaman
dan 5 tanaman kontrol. Penularan dilakukan terhadap tanaman tomat yang berumur 4 minggu dengan 10 ekor serangga virulifer setiap tanaman. Sebagai
kontrol dilakukan penularan dengan menggunakan serangga yang nonvirulifer. Pada penelitian ini tidak digunakan rancangan percobaan.
Pengamatan
Peubah yang diamati meliputi periode inkubasi begomovirus pada masing- masing tanaman uji, gejala yang ditimbulkan, dan kejadian penyakit . Kejadian
penyakit dihitung dengan rumus: a
Kejadian penyakit = x 100 a + b
Keterangan: a = jumlah tanaman sakit
b = jumlah tanaman sehat
Penentuan Respon Tanaman
Ketahanan tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus ditentukan berdasarkan kriteria Dolores 1996 Tabel 6.1
Tabel 6.1 Pengelompokan tingkat respon tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus
Kejadian Penyakit Kriteria Ketahanan
Imun X 10
Tahan 10 X 20
Agak tahan 20 X 30
Agak rentan 30 X 50
Rentan X 50
Sangat rentan
Deteksi Begomovirus yang Menginfeksi Tanaman Tomat dengan Teknik Hibridisasi Nonradioaktif
Persiapan Sampel Tanaman
Cairan perasan tanaman disiapkan mengikuti prosedur Gilbertson et al. 1991. Daun tanaman dimasukan dalam tabung epp endorf, kemudian
ditambahkan 200 ul bufer TE 10 mM Tris pH 7.5, 1 mM EDTA dan digerus dengan menggunakan pistil. Selanjutnya tabung disentrifugasi pada 10000 rpm
selama 10 menit, kemudian 5 ul supernatan diteteskan pada membran nilon Hybond-N, Amersham. Membran yang telah berisi tetesan cairan perasan
tanaman tersebut kemudian ditempatkan di atas kertas saring Whatman yang telah disaturasi dengan 0.5 N NaOH selama 5 menit. Setelah itu membran dicuci
selama 5 menit dalam 1 M Tris pH 7.4, kemudian dalam 2X SSC dan terakhir dalam 95 etanol. Membran dikeringkan dan disimpan atau langsung digunakan
untuk hibridisasi. Untuk menguji sensitivitas teknik hibridisasi ini dilakukan pengenceran terhadap cairan perasan tanaman yaitu 10
-1
, 10
-2
, 10
-3
, dan 10
-4
.
Pembuatan Pelacak DNA
Pembuatan pelacak DNA dilakukan berdasarkan metode Miltenburg et al. 1995. Fragmen DNA hasil amplifikasi dipurifikasi denga n etanol absolut dan
natrium asetat. DNA hasil purifikasi tersebut digunakan untuk pembuatan pelacak DNA menggunakan Random Primed Labeling with DIG-High Prime Cat.
Boehringer No. 1585606.
Hibridisasi dot blot
Hibridisasi dilakukan berdasarkan metode Dietzgen 1997. Membran yang telah ditetesi dengan cairan perasan tanaman sakit ditempatkan dalam wadah
plastik yang telah berisi larutan prehibridisasi yaitu 10 ml larutan Dig Easy Hyb untuk setiap wadah plastik. Prehibridisasi dilakukan dalam penangas air dengan
suhu 42º C selama 60 menit. Sementara itu pelacak DNA 20 ul200 ul Easy Hyb didenaturasi pada suhu 100ºC selama 10 menit dan cepat dimasukkan ke dalam
wadah berisi es. Larutan hibridisasi disiapkan pada suhu 42º C yang terdiri atas 2 ml larutan Dig Easy Hyb dan pelacak DNA yang sudah didenaturasi. Setelah
prehibridisasi selesai larutan prehibridisasi dibuang dan dimasukkan larutan hibridisasi, kemudian diinkubasi semalam pada suhu 42º C sambil digoyang.
Larutan hibridisasi yang mengandung pe lacak DNA dan telah digunakan dimasukkan dalam tabung epp endorf baru dan disimpan pada suhu -20º C sampai
dipergunakan kembali. Membran dicuci 3 kali masing-masing selama 5 menit pada suhu ruang dengan 100 ml larutan 2X SSC yang mengandung 1 SDS.
Selanjutnya membran dicuci kembali 2 X 20 menit dengan larutan 0.2X SSC yang mengandung 0.1 SDS. Kemudian membran dipindahkan ketempat yang baru
dan diteruskan dengan deteksi begomovirus dengan pewarnaan kolorimetrik menggunakan membran lembab atau membran yang telah dikeringkan dengan
cara menempatkan membran tersebut di antara kertas saring pada suhu ruang.
Kolorimetrik dengan Nitroblue Tetrazolium NBT dan X-phosphate
Deteksi dengan pewarnaan kolorimetrik merupakan proses lanjutan dari tahapan terdahulu. Prinsip kerja pewarnaan tersebut adalah terjadinya
komplementasi antara pelacak DNA begomovirus dengan DNA begomovirus pada sampel yang diuji. Proses hibridisasi bereaksi positif bila terjadi perubahan
warna menjadi ungu. Prosedurnya sebagai berikut: Membran yang telah diberi perlakuan prehibridisasi dan hibridisasi dilanjutkan dengan pencucian
menggunakan 1X bufer pencuci washing buffer selama 1-2 menit. Kemudian membran di blok dengan larutan blocking 4 ml 10 blocking reagen + 16 ml 1X
maleic acid buffer dan diinkubasi selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 4 ul DIG-alkaline phosphatase Fab langsung dalam larutan blocking dan inkubasi
selama 30 menit final pengenceran 1:5.000. Larutan dibuang dan membran dicuci dengan larutan pencuci sela ma 15 menit. Selanjutnya larutan pencuci
dibuang dan ditambahkan 10 ml bufer deteksi, dan diinkubasi selama 2-5 menit. Setelah itu membran dipindahkan ketempat baru, ditambahkan substrat yang
terdiri dari 45 ul larutan NBT, 35 ul X-phosphate 5-bromo-4-chloro-3-indolyl phosphate BCIP dalam 10 ml 1X deteksi bufer. Selanjutnya membran
diinkubasi dalam larutan substrat selama 10 menit dalam ruang gelap. Reaksi yang terlihat dapat dihentikan dengan memasukkan membran ke dalam larutan
bufer TE.
48
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Gejala Infeksi Begomovirus pada Tanaman Tomat
Pengumpulan tanaman tomat yang diduga terinfeksi begomovirus dilakukan melalui survei ke beberapa pertanaman tomat yang ada di Jawa Barat
Bogor, Jawa Tengah Boyolali, Magelang, Semarang, dan Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman, Kulonprogo dan Bantul. Tanaman tomat yang diduga
terinfeksi begomovirus menunjukkan gejala yang berbeda -beda Tabel 3.1. Gejala yang umum terlihat berupa penebalan tulang dan anak tulang daun,
penguningan lamina daun, cupping dan tanaman menjadi kerdil Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Keanekaragaman gejala begomovirus yang ditemukan di lapangan
selama survei. A. Daun berkerut, B. daun menjadi kecil, C. daun berkerut dan keriting, D. Daun menguning,
E. Daun mengecil dan cupping Begomovirus yang terdeteksi dari tanaman tomat Tabel 3.1 diperbanyak
melalui penularan menggunakan serangga vektor B. tabaci pada tanaman tomat sehat cv. Arthaloka. Hasil penularan menunjukkan gejala yang berbeda-beda
seperti terlihat pada gambar 3.3 dan kemudian tanaman tersebut digunakan sebagai sumber inokulum untuk pengujian selanjutnya.
A B
C
D E
49 Gambar 3.3 Gejala infeksi begomovirus pada tanaman tomat cv. Arthaloka
hasil penularan dengan serangga vektor: A. Isolat GVSMg, B. Isolat GVPSlm,
C. Isolat GVCBy, dan D. Isolat GVCBgr Kode isolat dapat dilihat pada Tabel 3.1
Deteksi dan Ide ntifikasi Begomovirus dengan Teknik PCR
Hasil visualisasi elektroforesis pada gel agarosa menunjukka n bahwa begomovirus berhasil dideteksi pada tanaman tomat yang berasal dari Jawa Barat
GVCBgr, Jawa Tengah GVCBy, GVSMg 1.1, GVSMg 1.2, GVSMg 2 dan DIY GVPSlm, dan GVGKlp Tabel 3.1 dan Gambar 3.4, sedangkan isolat
GVGS1, GVGS2, GVGS3 Jawa Tengah dan isolat GVSB1, GVSB2 DIY tidak berhasil teramplifikasi. Fragmen DNA hasil amplifikasi berukuran
≈ 1600 base
pair bp Gambar 3.4. Hasil tersebut sesuai dengan ukuran yang diharapkan apabila menggunakan pasangan primer PAL 1v 1978 dan PAR 1c 715 Rojas et
al. 1993.
A
C B
D
50 Tabel 3.1 Gejala infeksi begomovirus pada tanaman tomat di lapangan dan hasil
deteksi begomovirus menggunakan primer universal PAL1v 1978 dan PAR1c 715
Lokasi Kode isolat
Kabupaten Provinsi
Gejala Ukuran
fragmen DNA hasil
amplifikasi bp
GVCBgr Bogor
Jawa Barat Vt, Cp, B
1600 GVCBy
Boyolali Jawa Tengah
Vt, Cp, Yl 1600
GVSMg 1.1 Magelang
Jawa Tengah Vt,Cp,Yl,Dk,
Ms. 1600
GVSMg 1.2 Magelang
Jawa Tengah Vt,Cp, Dk
1600 GVSMg 2
Magelang Jawa Tengah
Vt,Cp,Yl,Dk, Kr
1600 GVGS1
Semarang Jawa Tengah
Vt, Cp, Yl Tidak
teramplifikas i GVGS2
Semarang Jawa Tengah
Vt,Cp,Dk, Ms Tidak
teramplifikasi GVGS3
Semarang Jawa Tengah
Vt,Cp, Yl, Dk Tidak
teramplifikasi GVPSlm
Sleman D.I Yogyakarta Vt, Cp, Yl
1600 GVGKlp
Kulonprogo D.I Yogyakarta Vt,Dk, Ms, Kr
1600 GVSB1
Bantul 1 D.I Yogyakarta Vt,Cp, Dk
Tidak teramplifikasi
GVSB2 Bantul 2
D.I Yogyakarta Vt,Dk,Yl, Md Tidak
teramplifikasi
Vt: Penebalan tulang dan anak tulang daun; Cp: cupping; B: Lamina daun berkerut; Yl: Lamina daun kuning; Dk: Daun menjadi kecil; Ms: Mosaik; Kr: Daun keriting; Md: Tepi daun
melengkung ke atas atau ke bawah.
51 Gambar 3.4 Hasil amplifikasi DNA begomovirus dari tanaman tomat dengan
teknik PCR menggunakan pasangan primer PAL 1v 1978 dan PAR 1c 715. A. Gambar pada gel elektroforesis. B. Gambar garis
dari gel elektroforesis. 1. Penanda DNA, 2. Isolat GVSMg 1.1, 3. Isolat GVSMg 1.2, 4. Isolat GVPSlm, 5. Isolat GVCBgr,
6. Isolat GVGKlp, 7. Isolat GVCBy, 8. isolat GVSMg2. Kode isolat dapat dilihat pada Tabel 3.1
Analisis Pola Pita DNA Hasil Pemotongan dengan Enzim Restriksi
Hasil analisis pola pita enzim restriksi dari fragmen DNA hasil amplifikasi PCR menggunakan empat enzim yaitu BamHI, Eco RI, HindIII dan PstI
menunjukkan adanya perbedaan ukuran pemotongan Gambar 3.5-3.8. Berdasarkan pola pemotongan enzim tersebut diketahui bahwa isolat GVSMg 1.1,
GVSMg 1.2, GVSMg 2 sama dengan isolat GVPSlm. Keempat isolat tersebut berbeda dengan isola t GVGKlp, GVCBydan GVCBgr, sedangkan isolat GVGKlp,
GVCBy dan GVCBgr masing-masing mempunyai pola pita yang berbeda. Begomovirus yang ditemukan dalam penelitian ini ternyata berbeda ukuran
pitanya dengan begomovirus yang ditemukan oleh Sudiono et al. 2004 Tabel 3.2. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan strain Gambar 3.9
1600 bp
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
A B
52 .
Gambar 3.5 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Magelang GVSMg dan Kaliurang GVPSlm dengan beberapa enzim
restriksi. A. Gambar gel elektroforesis, B. Gambar garis dari gel elektroforesis. 1. Penanda DNA, 2. Tidak dipotong, 3. Enzim
BamH I, 4. Enzim EcoRI,5. Enzim HindIII dan 6. Enzim PstI.
Gambar 3.6 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Kulonprogo GVGKlp dengan beberapa enzim restriksi. A. Gambar pada gel
elektroforesis, B. Gambar garis dari gel elektroforesis. 1. Penanda DNA, 2. Tidak dipotong, 3. Enzim BamH I, 4. Enzim EcoRI, 5.
Enzim HindIII dan 6. Enzim PstI. 1000 bp
1600 bp
600 bp 1150 bp
450 bp
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
1600 bp 1000 bp
600 bp
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
A B
A B
53 Gambar 3.7 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Boyolali
GVCBy dengan beberapa enzim restriksi. A. Gambar pada gel elektroforesis, B. Gambar garis pola pemotongan dari gel
elektroforesis. 1. Penanda DNA, 2. Tidak dipotong, 3. Enzim BamHI, 4. Enzim EcoRI, 5. Enzim HindIII dan 6. Enzim PstI
Gambar 3.8 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Bogor GVCBgr dengan beberapa enzim restriksi. A. Gambar pada
gel elektroforesis, B. Gambar garis dari gel elektroforesis. 1.
Penanda DNA, 2. Tidak dipotong, 3. Enzim BamHI, 4. Enzim EcoRI, 5. Enzim HindIII dan 6. Enzim Pst I.
700 bp
300 bp 1600 bp
1000 bp
600 bp
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
1600 bp 1000 bp
600 bp 900 bp
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
A B
A B
54 Tabel 3.2 Ukuran pita hasil pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus
dengan menggunakan enzim restriksi Ukuran pita hasil pemotongan enzim restriksi bp
Kode Isolat BamHI
Eco RI Hind III
PstI GVCBgr
600, 1000 300, 600, 700
1600 1600
GVCBy 600, 1000
200, 600, 800 1600
1600 GVSMg 1.1
600, 1000 450, 1150
200, 500, 900 1600
GVSMg 1.2 600, 1000
450, 1150 200, 500, 900
1600 GVSMg 2
600, 1000 450, 1150
200, 500, 900 1600
GVPSlm 600, 1000
450, 1150 200, 500, 900
1600 GVGKlp
600, 1000 1600
1600 1600
GVBdg 600, 900
400, 500, 600 600, 900
1500 GVCsS
600, 900 400, 500, 600
600, 900 1500
GVCyBgr 600, 900
400, 500, 600 600, 900
1500 GVClBgr
1500 1500
1500 1500
Hasil kajian keanekaragaman begomovirus isolat tomat oleh Sudiono et al. 2004
Kekerabatan Begomovirus yang Menginfeksi Tomat
Analisis pengelompokan berdasarkan hasil pemotongan fragmen DNA dengan empat enzim BamHI, EcoRI, HindIII dan PstI menunjukkan bahwa pada
nilai koefisien euclidean 7.20 begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas begomovirus yang
ditemukan menginfeksi tomat yang ada di daerah Jawa Tengah GVSMg 1.1, GVSMg 1.2, GVSMg 2 dan GVCBy, D.I Yogyakarta GVPSlm dan GVGKlp
dan Jawa Barat GVCBgr. Kelompok kedua menunjukkan begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di daerah Jawa Barat Sudiono et al. 2004 Gambar
3.9. Selanjutnya kelompok pertama terbagi menjadi tiga subkelompok. Subkelompok pertama terdiri atas begomovirus yang ditemukan menginfeksi
tomat yang ada di daerah Jawa Tengah GVSMg 1.1, GVSMg 1.2, GVSMg 2 dan D.I Yogyakarta GVPSlm. Subkelompok tersebut merupakan strain yang
sama Tabel 3.3. Subkelompok dua terbagi menjadi dua yaitu begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat yang ada di daerah Jawa Tengah GVCBy dan Jawa
Barat GVCBgr berada satu kelompok dengan tingkat perbedaan sebesar 42. 5, sedangkan begomovirus yang berasal dari D.I. Yogyakarta GVGKlp berbeda
dengan kedua begomovirus tersebut dengan tingkat perbedaan sebesar 43.6 Tabel 3.3. Kelompok kedua terbagi menjadi dua subkelompok. Subkelompok
pertama terdiri atas isolat GVBdg, GVCsS, GVCyBgr yang merupakan strain
55 begomovirus yang sama Tabel 3.3 dan subkelompok kedua merupakan
begomovirus dari Ciloto GVClBgr yang mempunyai tingkat perbedaan dengan subkelompok kedua sebesar 69.4. Hasil pengelompokkan tersebut menunjukkan
adanya keanekaragaman begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat dan membuktikan bahwa teknik PCR-RFLP dapat digunakan untuk menentukan
tingkat keanekaragaman begomovirus yang menginfeksi tanaman.
Gambar 3.9 Dendogram hasil PCR-RFLP begomovirus, isolat begomovirus
GVSMgl : begomovirus isolat Sawangan,Magelang Jawa Tengah GVPSlm : begomovirus isolat Pakem, Sleman D.I. Yogyakarta
GVCBy : begomovirus isolat Cepogo,Boyolali Jawa Tengah GVGKlp : begomovirus isolat Galur, Kulonprogo D.I. Yogyakarta
GVCBgr : begomovirus isolat Cisarua, Bogor Jawa Barat GVBdg : begomovirus isolat Bandung Jawa Barat
GVCsS : begomovirus isolat Cisaat, Sukabumi Jawa Barat GVCyBgr: begomovirus isolat Cibeunying, Bogor Jawa Barat
GVClBgr : begomovirus isolat Ciloto, Bogor Jawa Barat
Koefisien
56
56 Tabel 3.3 Matrik tingkat perbedaan 9 isola t begomovirus berdasarkan pola pita PCR-RFLP menggunakan program NTSYS versi 2.1
Isolat GVSMg1.1
GVSMg1.2 GVSMg2
GVCBy GVPSlm
GVGKlp GVCBgr
GVBdg GVCsS
GVClBgr GVCyBgr
GVSMg1.1 0.00
GVSMg1.2 0.00
0.00 GVSMg2
0.00 0.00
0.00 GVCBy
6.25 6.25
6.25 0.00
GVPSlm 0.00
0.00 0.00
6.25 0.00
GVGKlp 5.63
5.63 5.63
4.36 5.63
0,00 GVCBgr
6.25 6.25
6.25 4.25
6.25 4,36
0.00 GVBdg
7.11 7.11
7.11 6.91
7.11 7,15
6.91 0.00
GVCsS 7.11
7.11 7.11
6.91 7.11
7,15 6.91
0.00 0.00
GVClBgr 7.66
7.66 7.66
7.57 7.66
7,39 7.57
6.94 6.94
0.00 GVCyBgr
7.11 7.11
7.11 6.91
7.11 7,15
6.91 0.00
0.00 6.94
0.00
GVSMgl : begomovirus isolat Sawangan,Magelang Jawa Tengah
GVPSlm : begomovirus isolat Pakem, Sleman D.I. Yogyakarta
GVCBy : begomovirus isolat Cepogo,Boyolali Jawa Tengah
GVGKlp : begomovirus isolat Galur, Kulonprogo D.I. Yogyakarta
GVCBgr : begomovirus isolat Cisarua, Bogor Jawa Barat
GVBdg : begomovirus isolat Bandung Jawa Barat
GVCsS : begomovirus isolat Cisaat, Sukabumi Jawa Barat
GVCyBgr : begomovirus isolat Cibeunying, Bogor Jawa Barat
GVClBgr : begomovirus isolat Ciloto, Bogor Jawa Barat
57
Pembahasan
Hasil pengamatan terhadap luas serangan begomovirus di beberapa pertanaman tomat menunjukkan bahw a persentase serangan begomovirus di Jawa
Barat, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Tengah berturut-turut berkisar antara 50-70, 30-70, dan 30-50. Pengamatan dilakukan berdasarkan gejala infeksi
begomovirus yang berupa daun mengecil, menguning, cupping , keriting dan tanaman menjadi kerdil. Tingginya persentase infeksi begomovirus pada tanaman
tomat mungkin disebabkan sumber inokulum dan vektor penyakit tersebut selalu ada di areal pertanaman. Menurut Nakhla dan Maxwell 1998 beberapa faktor
yang mendukung penyebaran penyakit yang disebabkan oleh begomovirus adalah populasi vektor yang tinggi, kultivar tomat yang rentan, penanaman tomat yang
secara terus menerus, migrasi vektor dari tanaman yang ada didekatnya dan infeksi tomat dipersemaian yang tidak dilindungi. Dari hasil pengamatan di
lapangan terlihat areal pertanaman tomat umumnya berdekatan dengan areal pertanaman cabai yang terinfeksi begomovirus. Selain itu di sekitar pertanaman
ditemukan adanya gulma babadotan Ageratum conyzoides yang menunjukkan gejala kuning, dan adanya serangga vektor. Gulma babadotan diketahui
merupakan inang alternatif bagi begomovirus dan juga kutukebul Tap et al. 1995; Ramappa et al. 1998; Sounders et al. 2000; Aidawati et al. 2001;
Sulandari et al. 2006 Tanaman tomat yang terinfeksi begomovirus di lapangan menunjukkan
gejala yang beragam Gambar 3.2 dan Tabel 3.1. Keanekaragaman tersebut dapat disebabkan adanya perbedaan varieta s tanaman tomat, umur tanaman yang
terinfeksi, strain virus dan faktor lingkungan. Menurut Matthews 1992 munculnya gejala pada tanaman yang terinfeksi virus sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi virus, faktor lingkungan dan faktor genetik tanaman. Hasil penelitian Sugiarman Hidayat 2000 menunjukkan perbedaan waktu munculnya gejala
pada enam kultivar tomat yang terinfeksi begomovirus , demikian juga dengan jenis gejalanya. Tanaman yang terinfeksi oleh begomovirus pada awal masa
pertumbuhan cenderung mengalami kerusakan lebih besar dibandingkan dengan tanaman terinfeksi setelah fase generatif Brown Bird 1992. Kesuburan tanah
58 dan iklim mungkin berpengaruh pula terhadap keanekaragaman gejala Matthews
1992. Teknik PCR terbukti dapat mendeteksi begomovirus yang menginfeksi
tanaman tomat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Fragmen DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan primer PAL1v 1978 dan PAR1c 715
berukuran ≈
1.600 bp Gambar 3.3 sesuai dengan ukuran yang diharapkan apabila menggunakan pasangan primer tersebut. Primer PAL 1v 1978 dan PAR 1c
715 akan mengamplifikasi genom begomovirus yang meliputi daerah common region, sebagian gen yang menyandi protein replikasi dan sebagian gen yang
menyandi protein selubung Rojas et al. 1993. Di Indonesia, dengan teknik yang sama berhasil dideteksi begomovirus yang menginfeksi tanama n cabai Hidayat et
al. 1999; Sulandari et al. 2001,2006, dan tanaman tomat Sudiono et al. 2004. Teknik PCR tidak hanya dapat mendeteksi asam nukleat begomovirus pada
jaringan tanaman terinfeksi, tetapi juga berhasil mendeteksi asam nukleat begomovirus dalam tubuh serangga vektor B. tabaci Navot Czosnek 1989;
Polston et al. 1990; Chiemsombat et al. 1990; Mehta et al. 1994; Aidawati et al. 2002.
Isolat begomovirus yang diperbanyak pada tanaman tomat cv. Arthaloka menghasilkan gejala yang beragam Gambar 3.3. Keanekaragaman gejala
tersebut diduga disebabkan oleh adanya perbedaan strain. Adanya perbedaan strain didukung oleh data PCR-RFLP Gambar 3.5-3.8, yaitu ditunjukkan oleh
adanya pola pita DNA yang beragam. Oleh karena itu melalui pene litian ini dibuktikan bahwa keanekaragaman gejala infeksi begomovirus di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan DIY disebabkan oleh strain virus yang berbeda. Hasil analisis pola enzim restriksi dari fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR selanjutnya
memperkuat bukti adanya strain begomovirus yang berbeda di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan D. I. Yogyakarta. Keanekaragaman genetik begomovirus telah
dilaporkan oleh peneliti terdahulu. Rojas et al. 1993 melaporkan perbedaan strain begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat dari Costa Rica dan
Meksiko. Behjatnia et al. 1996 melaporkan bahwa Tomato leaf curl virus ToLCV yang menginfeksi tanaman tomat di Australia terdiri atas strain yang
berbeda. Pola enzim restriksi begomovirus yang menginfeksi tomat di Se latan
59 Georgia dan Utara Florida memiliki kesamaan dengan pola enzim restriksi
TYLCV, tetapi berbeda dengan Tomato mottle virus ToMoV Momol et al. 1999. Hidayat et al. 1999 melaporkan bahwa begomovirus yang menginfeksi
tanaman cabai di Cugenang, Jawa Barat memiliki kesamaan pola enzim restriksi dengan begomovirus yang menginfeksi tanaman cabai di Baranangsiang, Jawa
Barat tetapi berbeda dengan begomovirus di Segunung, Jawa Barat. Dengan metode yang sama, Sudiono et al. 2004 berhasil menganalisis pola enzim
restriksi dari fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR dan menunjukkan adanya strain begomovirus yang berbeda pada tanaman tomat yang berasal dari
Bandung, Cisaat, Cibeunying dan Ciloto. Sulandari et al. 2006 melaporkan bahwa strain begomovirus yang menginfeksi tanaman cabai di Yogyakarta,
Lembang, dan Cugenang memiliki kesamaan berdasarkan pola enzim restriksi, tetapi ketiga strain tersebut berbeda dari begomovirus asal cabai Segunung. Strain
begomovirus asal cabai Segunung tersebut ternyata berbeda dengan strain begomovirus asal cabai Segunung yang telah dilaporkan lebih dahulu oleh
Hidayat et al. 1999. Hal tersebut membuktikan bahwa di daerah yang sama terdapat strain begomovirus yang berbeda.
Analisis sekuen genom begomovirus telah banyak dilaporkan Shih et al. 1999; Kon et al. 2003; Sukamto et al. 2005; Hidayat et al 2006a; Hidayat et al
2006b; Tsai et al. 2006; Ikegami, belum dipublikasikan; Hidayat Aidawati 2006, belum dipublikasikan. Pada penelitian ini begomovirus yang ditemukan
belum dapat diketahui hubungan kekerabatannya terhadap begomovirus lain. Sekuen parsial dan lengkap dari genom begomovirus yang menginfeksi tomat di
Indonesia telah dilaporkan oleh Shih et al. 1999 DDBJ, accession number AF189018 dan Kon et al. 2003. Kedua virus yang menginfeksi tanaman tomat
tersebut berasal dari Jawa Barat, digolongkan dalam kelompok tomato leaf curl virus, dan disebut tomato leaf curl Indonesia virus ToLCIV dan tomato leaf curl
Java virus ToLCJAV AB100304. ToLCIV merupaka n begomovirus monopartit dan mempunyai tingkat kesamaan asam amino gen selubung protein
70 dengan ToLCJAV dan begomovirus lainnya. ToLCJAV mempunyai hubungan yang dekat dengan a geratum yellow vein virus AYVV 87 dan
Soybean crinkle leaf virus SbCLV 85 Kon. et al. 2003. Sukamto et al.
60 2005 menemukan begomovirus yang berbeda yang menginfeksi tanaman tomat
dan babadotan di daerah Bandung Jawa Barat, Purwokerto, Magelang Jawa Tengah dan Malang Jawa Timur. Berdasarkan kesamaan asam amino gen
protein selubung begomovirus tersebut diketahui terdapat tiga kelompok begomovirus. Kelompok pertama yaitu begomovirus yang menginfeksi tomat di
Bandung [ToBadII-20 AB189846 dan ToBadIII -1 AB205117] yang memiliki kekerabatan dengan begomovirus yang menginfeksi babadotan AYVV yang
berasal dari Bandung [AgBadI-1AB189852], Purwokerto [AgPur -2 AB1898510], Magelang [AgMag-5 AB189854] dan Malang [AgMal-4
AB189853], AYVV dari China [AYVCNV-Hn2 AJ495813], AYVV dari Taiwan [AYVV-Tai AF70786]. Kelompok kedua merupakan begomovirus
yang menginfeks i tomat di Purwokerto [ToPur-6 AB189847] dan Magelang [ToMag-2 AB189848] yang memiliki kekerabatan dengan ToLCJAV Kon et al.
2003. Kelompok ketiga adalah begomovirus yang menginfeksi tomat di daerah Bandung [ToBadI-5 AB189845] dan ToBadII-23 AB189849 yang memiliki
kekerabatan dengan pepper yellow leaf curl Indonesia virus PepYLCIDV yang merupakan begomovirus yang mempunyai genom bipartit M. Ikegami, belum
dipublikasi. Mengingat tingginya keanekaragaman
begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat yang ada di Indonesia maka analisis sekuen DNA
yang ditemukan dalam penelitian ini sangat perlu dilakukan untuk mengetahui kekerabatan strain begomovirus tomat Indonesia. Dengan diketahuinya hubungan
kekerabatan strain begomovirus tersebut maka strategi pengendalian penyakit dapat disusun dengan tepat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Identifikasi Kutukebul
Hasil identifikasi kantung pupa kutukebul yang ditemukan menggunakan kunci identifikasi Martin 1987 menunjukkan adanya beberapa ciri morfologi B.
tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Ciri morfologi spesifik yang menunjukkan bahwa kutukebul tersebut B. tabaci berupa seta kauda selalu kokoh, biasanya
sama panjang dengan vasiform orifice, dan tidak banyak variasi di antara individu. Vasiform orifice lebih panjang dari alur kauda Caudal furrow dan bagian
samping orifice hampir lurus Ga mbar 4.1.
Gambar 4.1 Puparium B. tabaci Skala 1:90 A. Preparat puparium
B. Gambar garis puparium dari preparat
A B
Ciri morfologi spesifik yang menunjukkan kutukebul tersebut T. vaporarium adalah submargin umumnya memiliki deret papila yang jelas. Kepala
lingula selalu lobular, walaupun kadang-kadang terhalang oleh operculum dan sulit dilihat. Subdorsal kadang-kadang dengan beberapa papila yang lebih besar.
Pada dasar tungkai tengah dan belakang terdapat seta yang kecil dan halus. Kepala lingula pada dasarnya ada sepasang cuping yang ditutupi oleh operculum
Gambar 4.2 .
Gambar 4.2 Puparium T. vaporariorum
Skala 1:80. A. Preparat puparium B. Gambar garis puparium dari preparat
A B
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa dari 8 populasi kutukebul yang ditemukan 7 populasi adalah B. tabaci dan 1 populasi adalah T. vaporariorum
Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil koleksi dan identifikasi kutukebul dari berbagai daerah dan
tanamam inang Lokasi
Kode populasi
Kabupaten Provinsi
Tanaman inang
Identifikasi morfologi
puparium Uji
silverleaf SL
1
BtKKJT Kediri
Jawa Timur Terong
B. tabaci -
2
BtBsBJB Bogor
Jawa Barat Brokoli
B. tabaci +
3
BtCkBJB Bogor
Jawa Barat Cabai
B. tabaci -
BtCb1BJB Bogor
Jawa Barat Tomat
B. tabaci -
BtCb2BJB Bogor
Jawa Barat Kedelai
B. tabaci -
BtBbBJB Bogor
Jawa Barat Edamame
B. tabaci -
BtBPJB Purwakarta Jawa Barat
Timun B. tabaci
- BtCtBJB
Bogor Jawa Barat
Tomat T. vaporariorum
-
1
Uji silverleaf SL dilakukan melalui infestasi kutukebul ke tanaman labu C. pepo var. Blackjack ;
2
Daun labu tidak mengalami perubahan;
3
Daun labu berubah menjadi keperak- perakan.
Uji B. tabaci Biotipe B dengan Tanaman Indikator
Hasil pengujian menunjukkan bahwa B. tabaci yang berasal dari brokoli mampu menginduksi daun labu menjadi keperak-perakan SL Tabel 4.3 dan
Gambar 4.3A, sedangkan populasi B. tabaci yang lain tidak menimbulkan gejala SL Tabel 4.3 dan Gambar 4.3B. Perubahan warna daun labu terjadi secara
bertahap. Tulang daun dan anak tulang daun pada daun muda menjadi putih, kemudian pada daun muda yang di atasnya lagi akan terlihat daerah antar tulang
daun lamina mulai menjadi ke perak-perakan dan akhirnya seluruh permukaan daun yang ada di atasnya akan menjadi keperak-perakan Gambar 4.4. Daun labu
yang berada di bawahnya tidak menunjukkan perubahan tetapi tetap berwarna hijau Gambar 4.3B. Pada daun tersebut hanya terlihat adanya bercak klorotik
yang berwarna kuning. Bercak tersebut merupakan tempat melekatnya nimfa B. tabaci. Perubahan daun labu menjadi keperak-perakan mulai terlihat 14-20 hari
setelah tanaman labu tersebut diinfestasi dengan populasi B. tabaci.
Gambar 4.3 Tanaman labu C. pepo: A. Diinfestasi dengan populasi B. tabaci asal cabai, B. Diinfestasi dengan populasi
B. tabaci asal brokoli dan menyebabkan gejala keperak-perakan silverleaf
Gambar 4.4 Perkembangan perubahan warna daun tanaman labu yang
terinduksi menjadi keperak-perakan oleh populasi B. tabaci asal brokoli. A daun normal, B 14 hari setelah infestasi,
C 20 hari setelah infestasi
Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan PCR-RAPD
Hasil seleksi 11 primer terhadap DNA total B. tabaci biotipe B dan biotipe Q dengan teknik PCR-RAPD menunjukkan bahwa primer P5 menghasilkan pola
pita DNA yang dapat membedakan kedua biotipe tersebut Gambar 4.5B kolom 10 dan 11. Selanjutnya primer P5 ini digunakan untuk melihat keanekaragaman
populasi B. tabaci yang telah ditemukan dari tanaman brokoli, cabai, tomat, timun, terong, kedelai dan edamame.
A B
A B
C
Gambar 4.5 Hasil seleksi primer terhadap B. tabaci biotipe B dan B. tabaci biotipe Q: A. Primer OPA 8, OPA 11, OPA 13, OPA 15, dan OPA
17, B. Primer P1, Primer P2, Primer P3, Primer P4, Primer P5 dan Primer P6. Kolom 1. Penanda DNA 100 bp, kolom 2,4,6,8,10 dan
12 B. tabaci biotipe B, kolom 3,5,7,9,13 B. tabaci biotipe Q
Gambar 4.6 Hasil amplifikasi DNA B. tabaci dengan teknik PCR-RAPD menggunakan primer P5. 1. Penanda DNA 100 bp, 2. B. tabaci
biotipe B, 3. B. tabaci biotipe Q, 4. populasi B. tabaci asal brokoli, 5. populasi B. tabaci asal cabai, 6. populasi B. tabaci
asal mentimun, 7. populasi B. tabaci asal tomat, 8. populasi B. tabaci asal terong, 9. populasi B. tabaci asal edamame, 10.
populasi B. tabaci asal kedelai.
Hasil amplifikasi DNA total dengan teknik PCR-RAPD menggunakan
primer P5 terhadap 7 populasi B. tabaci menunjukkan adanya polimorfisme.
Ukuran pita 510 b ase pair bp, 800 bp, dan 1000 bp ditemukan pada semua B. 1000 bp
510 bp 800 bp
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1000 bp 800 bp
300 bp 300 bp
900 bp 1500 bp
1 2 3 4 5 6 7 8 910111213 1 2 3 4 5 6 7 8 910111213
A B
tabaci yang diamplifikasi dengan primer P5 ini. Diduga ukuran pita tersebut menunjukkan spesies B. tabaci. Pola pita DNA yang sama ditemukan pada hasil
PCR-RAPD dari populasi B. tabaci yang ditemukan pada tanaman brokoli dan B. tabaci biotipe B yang berasal dari koleksi John Innes Centre Gambar 4.6.
Hasil analisis UPGMA untuk nilai koefisien perbedaan jarak ketidaksamaan yang didasarkan pada 20 karakter PCR-RAPD Tabel 4.4
menunjukkan bahwa pada koefisien perbedaan 5. 89 B. tabaci biotipe B, B. tabaci biotipe Q dan populasi B. tabaci yang ditemukan dari beberapa tanaman
terbagi menjadi dua kelompok Gambar 4.7. Kelompok pertama terbagi menjadi 2 subkelompok. Subkelompok pertama terdiri atas B. tabaci biotipe B asal John
Innes Center dan B. tabaci asal brokoli BtBsBJB dengan jarak genetik 0,00 Tabel 4.4. Subkelompok ke dua terdiri dari B. tabaci biotipe Q asal John Innes
Center, dan populasi B. tabaci edamame BtBbBJB. Kelompok kedua terdiri atas B. tabaci mentimun BtBPJB, kedelai BtCb2BJB, tomatBtCb1BJB, cabai
BtCkBJB dan terong BtKKJT. Kelompok tersebut terbagi menja di 4 subkelompok Gambar 4.7. Teknik PCR-RAPD telah dapat digunakan untuk
melakukan analisis keanekaragaman genetik B. tabaci. Penelitian ini dilanjutkan dengan analisis sekuen gen COI yang ada pada mitokondria untuk mempelajari
tingkat kesamaan B. tabaci yang telah dikoleksi dengan B. tabaci dari daerah geografi lainnya, yaitu dengan memanfaatkan informasi sekuen DNA yang
tersedia dalam GeneBank http:www.ncbi.nlm.nih.gov dan http: www. ebi. ac.uk
84
Gambar 4.7 Dendogram B. tabaci biotipe B, B. tabaci biotipe Q dan populasi B. tabaci dari beberapa tanaman berdasarkan karakter molekuler
Btbiotipe B: B. tabaci biotipe B; Btbiotipe Q: B. tabaci biotipe Q; BtBsBJB: B. tabaci populasi brokoli, Baranangsiang, Jawa Barat; BtCkBJB: B. tabaci populasi cabai, Cikabayan, Jawa Barat; BtBPJB: B. tabaci populasi Timun, Benteng, Purwakarta, Jawa Barat; BTCb1BJB: B. tabaci populasi tomat, Cibeureum, Dramaga,
Bogor, Jawa Barat; BtCb2BJB: B. tabaci populasi Kedelai, Cibeureum, Dramaga, Bogor, Jawa Barat; BtKKJT: B.tabaci populasi terong, Kencong Kepung, Kediri, Jawa Timur; BtBbBJB: B. tabaci populasi edamame, Barubirus, Gadok, Bogor, Jawa Barat
Coefficient 0.00
1.47 2.94