Keanekaragaman begomovirus pada tomat dan serangga vektornya , bemisia tabaci gennadius, serta pengujian ketahanan genotipe tomat terhadap strain begomovirus

(1)

(HEMIPTERA: ALEYRODIDAE), SERTA PENGUJIAN

KETAHANAN GENOTIPE TOMAT TERHADAP

STRAIN BEGOMOVIRUS

NOOR AIDAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keanekaragaman Begomovirus pada Tomat dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae), serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat terhadap Strain Begomovirus adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap topik disertasi ini.

Bogor , September 2006

NOOR AIDAWATI NIM A426010061


(3)

KEANEKARAGAMAN BEGOMOVIRUS PADA TOMAT DAN

SERANGGA VEKTORNYA, Bemisia tabaci GENNADIUS

(HEMIPTERA: ALEYRODIDAE), SERTA PENGUJIAN

KETAHANAN GENOTIPE TOMAT TERHADAP

STRAIN BEGOMOVIRUS

NOOR AIDAWATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(4)

Vektornya , Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae), serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat terhadap Strain Begomovirus. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, PURNAMA HIDAYAT, RUSMILAH SUSENO, dan SRIANI SUJIPRIHATI

Begomovirus, yang termasuk famili Geminiviridae, dilaporkan merupakan salah satu virus yang berperan menyebabkan penurunan produksi yang sangat besar dibanyak daerah tropis dan subtropis. Spesies dan keanekaragaman begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat sangat tinggi dan penyebarannya di lapangan sangat ditentukan oleh aktivitas serangga vektor kutukebul, B. tabaci.

Tujuan penelitian adalah: 1)Mendapatkan informasi keanekaragaman begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat berdasarkan teknik PCR-RFLP. 2) Mendapatkan informasi keanekaragaman kutukebul yang ada pada beberapa tanaman berdasarkan teknik molekuler. 3)Mempelajari efisiensi penularan begomovirus oleh populasi kutukebul yang berbeda. 4) Mengguna kan teknik hibridisasi dot -blot sebagai metode deteksi virus dalam pengujian ketahanan beberapa genotipe tomat.

Sampel tanaman tomat terinfeksi begomovirus dikumpulkan dari D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Deteksi dan identifikasi dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer universal begomovirus yaitu PAL 1v 1978 dan PAR 1c 715 dan selanjutnya fragmen DNA dipotong dengan enzim restriksi (BamHI, EcoRI, HindIII dan PstI). Analisis keanekaragaman B. tabaci dilakukan melalui pengujian kemampuan serangga tersebut dalam menginduksi daun tanaman labu (Cucurbita pepo) menjadi keperak-perakan (induksi silverleaf), melalui penggunaan teknik molekuler yaitu teknik PCR-RAPD dan analisis sekuen gen cytochrome oxidase I (COI) yang ada pada mitokondria. Kutukebul dikumpulkan dari tanaman brokoli, cabai, mentimun, kedelai, edamame, tomat yang ada di Jawa Barat dan terong yang ada di Jawa Timur. Untuk mempelajari interaksi antara biotipe B. tabaci dengan strain begomovirus telah dilakukan penelitian penularan tiga strain begomovirus yang berbeda (Kaliurang, Boyolali dan Bogor) menggunakan tiga populasi B. tabaci yang berbeda, yaitu satu B. tabaci biotipe B (BtBsBJB) dan dua B. tabaci biotipe non B (BtCkBJB dan BtKKJT). Pengujian ketahanan tanaman tomat terhadap begomovirus dilakukan dengan menginokulasi tiga strain begomovirus, yang berasal dari Kaliurang, Boyolali dan Bogor kemasing-masing genotipe tanaman uji (14 genotipe) secara terpisah menggunakan penularan dengan serangga vektor, B. tabaci Genn. Infeks i begomovirus pada tanaman uji dideteksi menggunakan teknik hibridisasi dot-blot. Sebagai pelacak DNA digunakan klon DNA tobacco leaf curl virus yang dilabel dengan dioksigenin (DIG).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik PCR dengan menggunakan sepasang primer universal begomovirus , PAL 1v 1978 dan PAR 1c 715, berhasil mengamplifikasi DNA begomovirus yang berasal dari Jawa Barat (Bogor), Jawa Tengah (Magelang dan Boyolali) dan D.I. Yogyakarta (Kaliurang, Kulonprogo). Fragmen DNA yang teramplifikasi, berukuran ≈ 1600 bp, selanjutnya dipotong dengan menggunakan enzim restriksi (BamHI, EcoRI, HindIII dan PstI). Pola pita DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi tersebut menunjukkan adanya


(5)

berbeda. Berdasarkan dendogram hasil analisis pemotongan fragmen DNA menggunakan program NTSYS PC 2.02 diketahui bahwa isolat begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di daerah Jawa terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 4 strain begomovirus yang berbeda dan kelompok kedua terdiri dari 2 strain begomovirus yang berbeda.

Hasil penelitian keanekaragaman genetik serangga vektor B. tabaci menunjukkan B. tabaci asal brokoli mampu menginduksi daun labu menjadi keperak-perakan (silverleaf), sedang B. tabaci yang lainnya tidak menginduksi daun labu menjadi keperak-perakan. Analisis genetik berdasarkan PCR-RAPD dan sekuen gen COI dari mitokondria menunjukkan bahwa terdapat 2 tipe genetik di Indonesia, yaitu B. tabaci biotipe B (B. tabaci asal brokoli) dan B. tabaci non B (B. tabaci asal cabai, mentimun, terong, tomat, kedelai dan edamame ). B. tabaci biotipe B dari Indonesia menunjukkan perbedaan dengan B. tabaci biotipe B yang berasal dari daerah geografi lain. Empat populasi B. tabaci non B (B. tabaci asal cabai, mentimun, terong dan kedelai) memiliki kedekatan genetik dengan B. tabaci non B dari Cina, Turki, Pakistan, Malaysia, Singapura dan Thailand, sedangkan populasi B. tabaci non B asal edamame memiliki perbedaan dengan populasi B. tabaci non B lainnya.

Pengujian periode makan akuisisi (PMA), periode makan inokulasi (PMI), dan jumlah serangga menunjukkan bahwa masing-masing biotipe B. tabaci dapat menularkan ke tiga strain begomovirus dengan PMA selama 15 menit, PMI selama 15 menit, dan satu ekor serangga setiap tanaman. Walaupun demikian, efisiensi penularan sangat beragam antar biotipe B. tabaci dan strain begomovirus. Strain begomovirus asal Kaliurang lebih efisien ditularkan oleh ketiga populasi B. tabaci dengan jumlah serangga 10-20 ekor tiap tanaman dibandingkan dengan dua strain begomovirus lainnya. Strain begomovirus asal Boyolali paling ef isien ditularkan oleh B. tabaci biotipe non B asal Jawa Timur, sedangkan strain begomovirus asal Bogor lebih efisien ditularkan oleh kedua B. tabaci biotipe non B dibandingkan oleh B. tabaci biotipe B.

Pengujian respons ketahanan genotipe tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus menunjukkan bahwa kultivar Intan memiliki respon agak tahan terhadap infeksi begomovirus asal Bogor, tetapi memiliki respon rentan terhadap begomovirus asal Kaliurang dan Boyolali. Kultivar Bonanza, Jelita, Safira, Permata, Presto, PSPT 8, PSPT 5B, Apel-Belgia, Karibia, Mitra, PSPT 9, Marta dan PSPT 2 memiliki respon rentan atau sangat rentan terhadap ketiga strain begomovirus. Teknik hibridisasi dot-blot dengan pelacak DNA yang dilabel dengan dioksigenin mampu mendeteksi DNA begomovirus yang menginfeksi genotipe tanaman tomat yang bergejala maupun yang tidak bergejala. Hasil deteksi menunjukkan bahwa akumulasi virus di dalam jaringan tanaman yang bergejala maupun yang tidak bergejala relatif tinggi, kecuali pada kultivar Bonanza dan Apel-Belgia. Teknik hibridisasi dot-blot mampu mendeteksi DNA begomovirus hingga pengenceran 10-2. Hasil ini menunjukkan bahwa teknik hibridisasi dot- blot dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan tingkat ketahanan genotipe tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus karena teknik tersebut mampu mendeteksi DNA begomovirus walaupun konsentrasi DNA virus tersebut rendah.


(6)

NOOR AIDAWATI. Diversity of Begomovirus Infecting Tomato and Its Insect Vector, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae), and Screening of Tomato Genotypes for Resistance to Begomovirus Strains. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT, PURNAMA HIDAYAT, RUSMILAH SUSENO, and SRIANI SUJIPRIHATI.

Begomovirus, is an important virus that has been reported to cause significant yield reduction in many tropical and subtropical region. Genetic diversity of tomato-infecting begomovirus is very high and the distribution of the virus depends on the activity of its insect vector, B. tabaci.

The aims of this research are: 1) to develop an identification method to differentiate isolates of begomovirus based on PCR-RFLP technique; 2) to build a basic information regarding genetic diversity of B. tabaci in Indonesia, based on its molecular characters; 3) to study transmission efficiency of begomovirus by different population of B. tabaci; 4) to initiate screening protocol for tomato genotypes for their response to begomovirus infection.

Samples of tomato leaves infected by begomovirus was collected come from D.I. Yogyakarta, Central Java and West Java. Detection and identification of begomovirus was conducted with PCR technique using universal primers of begomovirus i.e PAL 1v 1978 and PAR 1c 715. The amplified viral DNA was digested w ith restriction enzymes (BamHI, EcoRI, HindIII, and PstI). Whiteflies population collected from different crops, i.e. tomato, brocolli, chillipepper, eggplant, cucumber, soybean and edamame was evaluated using silverleaf-induction test, PCR-RAPD, and COI gene analysis. Transmission efficiency was evaluated for three different strains of begomovirus -infecting tomato i.e strain of Kaliurang, Boyolali and Bogor, by three different population of B. tabaci, i.e one B. tabaci biotype B (BtBsBJB) and two B. tabaci biotype non B (BtCkBJB and BtKKJT). Evaluation of 14 tomato genotypes for their response to begomovirus infection was assisted by dot -blot hybridization technique. PCR-amplified product of DNA clone of tobacco leaf curl virus-Indonesia was labelled by digoxigenin for DNA probe .

Using universal primers, PAL1v 1978 and PAR 1c 715, DNA of begomovirus was successfully amplified from samples from Central Java (Magelang and Boyolali), D.I.Yogyakarta (Kaliurang and Kulonprogo) and West Java (Barusireum). Amplified viral DNA with the size of ≈ 1.600 bp was then subjected to restriction enzyme (BamHI, EcoRI, HindIII,and PstI) digest. Based on the restriction pattern, begomovirus isolates from Java can be compared. Strains of begomovirus from Magelang were similar with those from Kaliurang. Both strains were different from those of Boyolali, Kulonprogo and Barusireum, whereas the last three strains were different from each other. It can be concluded using NTSYS PC 2.1 that the begomovirus infecting tomato in Java can be differentiated into two groups. The first group consist of 4 different begomovirus strain s and the second group consist of 2 different begomovirus strains.

Analysis of whiteflies population using silverleaf-induction test revealed that B. tabaci from brocolli was able to induce silverleaf, whereas the other B. tabaci population was not. Genetic analysis based on PCR-RAPD and mtCOI


(7)

from Indonesia showed genetic differences compared to other B. tabaci biotype B from other geographic location. Four population of B. tabaci biotype non B (B. tabaci from chillipepper, cucumber, eggplant and soybean) share closed genetic similarity with those from China, Pakistan, Turkey, Malaysia, Singapore, and Thailand. On the other hand, B. tabaci biotype non B from eda mame showed genetic differences wit h other B. tabaci biotype non B.

Transmission study employing different acquisition feeding period, inoculation feeding period, and number of insect showed that each population of B. tabaci was able to transmit three different strains of begomovirus with 15 min. acquisition feeding period, 15 min. inoculation feeding period, and single insect per plant. However, transmission efficiency varies among B. tabaci biotypes and begomovirus strains. Begomovirus strain from Kaliurang was transmitted more effective ly by all three B. tabaci populations using 10-20 insect per plant compared to the other two begomovirus strains. Begomovirus strain from Boyolali was transmitted most effectively by B. tabaci biotype non B from East Java, whereas begomovirus strain from Bogor was transmitted more effectively by B. tabaci biotype non B than those of B. tabaci biotype B.

All of tomato genotypes evaluated in this study was infected by three strain s of begomovirus from Kaliurang, Boyolali and Bogor . Most of tomato genotypes i.e Bonanza, Jelita, Safira, Permata, Presto, PSPT 8, PSPT 5B, Apel-Belgia, Karibia, Mitra, PSPT 9, Marta and PSPT 2, showed susceptible to highly susceptible response to three strains of begomovirus. Exception to those is shown by tomato cv. Intan which resulted in moderate resistance when inoculated with isolate from Bogor, although it resulted susceptible response with the other two strains. Dot-blot hybridization technique was proved to be a powerful tool for detection of begomovirus infection in sym ptom as well as symptom-less plants. Accumulation of the virus in inoculated plants was relatively high, except in cv. Bonanza and Apel-Belgia. Dot-blot hybridization technique using DIG-labeled DNA probe was able to detect begomovirus DNA in infected tissue up to 10-2 dilution factor.


(8)

Judul Disertasi : KEANEKARAGAMAN BEGOMOVIRUS PADA TOMAT DAN SERANGGA VEKTORNYA, Bemisia tabaci GENNADIUS (HEMIPTERA:ALEYRODIDAE), SERTA PENGUJIAN KETAHANAN GENOTIPE TOMAT TERHADAP STRAIN

BEGOMOVIRUS

Nama : Noor Aidawati

NIM : A426010061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat , M.Sc. Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Rusmilah Suseno , M.Sc. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi dan Fitopatologi Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro ,M.S.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, 25 Juli 1966. Penulis merupakan anak ketiga di antara lima bersaudara dari pasangan H. Achmad Sayudi dan Hj. Khalimatussa’diah

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Lambung Mangkurat pada tahun 1980, serta pendidikan menengah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Banjarmasin pada tahun 1983 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjarmasin pada tahun 1986. Gelar Sarjana Strata 1 penulis raih dari Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universita s Lambung Mangkurat pada tahun 1992 dan Sarjana Strata 2 dari Program Entomologi dan Fitopatologi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000. Sejak tahun 2001 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor (Strata 3) pada Program Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1993 penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Satu artikel dari disertasi ini telah dipublikasikan dengan judul: Identifikasi Begomovirus yang Menginfeksi Tomat Berdasarkan Teknik Polymerase Chain Reaction -Restriction Fragment Length Polymorphism pada Jurnal Mikrobiologi Indonesia 10 (1): 29-32, 2005. Diterbitkan oleh Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.

Sekuen gen COI Bemisia tabaci telah didaftarkan pada GeneBank dengan nomor asesi AB248260 (B. tabaci asal kedelai), AB248261 (B. tabaci asal cabai), AB248262 (B.tabaci asal terong), AB248263 (B.tabaci asal edamame), AB248264 (B. tabaci asal mentimun) dan AB248265 (B. tabaci asal brokoli).


(10)

PRAKATA

Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah Rabbul Alamin karena berkat rahmat-Nya sehingga penelitian yang berjudul Pengkajian Keanekaragaman Begomovirus pada Tomat dan Serangga Vektornya, Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera:Aleyrodidae), serta Pengujian Ketahanan Genotipe Tomat terhadap Strain Begomovirus ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc., Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Rusmilah Suseno, M.Sc., dan Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran, serta dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini.

Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi, Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, MSc dan Bapak Dr. Ir. Sukamto, M.Agr.Sc. yang bersedia menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan terbuka. Terima kasih atas saran yang diberikan untuk perbaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Faperta, Universitas Lambung Mangkurat, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program doktor (S3) di program studi Entomologi dan Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan yang sama disampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, IPB, Ketua dan seluruh staf pengajar program studi Entomologi dan Fitopatologi, Ketua dan seluruh staf pengajar dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman, Faperta, IPB. Ucapan terima kasih disampaikan juga pada tim manajemen Beasisw a Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana untuk mengikuti program doktor.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman Laboratorium Virologi, Eliza S. Rusli, Tuti Legiastuti, Dedek Heriyadi, Reno, Arta, Latifah, Pak Rai, adik-adik mahasiswa S1, Pak Edi, M. Taufik, Ummu Salamah, Supriyanti, Dwi Subekti, Firdaus, Irwan, serta Lisnawita, Hiasinta J. Motulo, dan Andi Khairuni Ramlan. Hal yang sama juga disampaikan pada seluruh rekan-rekan mahasiswa program studi Entomologi dan Fitopatologidan berbagai pihak yang tidak


(11)

sempat disebutkan satu per satu. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Sri Sulandari, MP sekeluarga atas bantuannya selama survei di pertanaman tomat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Ifa Manzila, MSi atas bantuannya dalam mendeteksi begomovirus dengan dot-blot hibridisasi. Kepada saudara Saefudin (Mput) terima kasih atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian di rumah kaca.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, ibunda Hj. Chalimatussa’diah dan ayahnda H. Achmad Sayudi (Alm.) atas doa restu, dan kasih sayang serta bantuan baik moril maupun materiil selama penulis melanjutkan pendidikan S3. Terima kasih penulis sampaikan kepada Kakak Noor Laila Hajati, Noor Chalifah, adik Taufiqurrachman, Noor Rahmawati serta kakak dan adik ipar atas doa dan bantuannya . Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Muhammad Rizal atas doa dan bantuannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga di Jakarta atas perhatian dan bantuannya selama penulis melanjutkan pendidikan.

Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang telah dihasilkan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, September 2006 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

Karakter Molekule r Begomovirus ... 6

Gejala Infeksi Begomovirus pada Tanaman Tomat ... 7

Penularan Begomovirus ... 9

Deteksi Begomovirus ... 11

Serangga Vektor Begomovirus: Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae)... 13

Ketahanan Tanama n Terhadap Begomovir us... 22

Daftar Pustaka ... 25

III. KEANEKARAGAMAN GENETIK BEGOMOVIRUS YANG MENGINFEKSI TANAMAN TOMAT... 39

Abstrak ... 39

Abstract... 40

Pendahuluan... 41

Bahan dan Metode ... 44

Hasil ... 48

Pembahasan ... 57

Simpula n dan Saran ... 61

Daftar Pustaka ... 62

IV. KEANEKARAGAMAN GENETIK Bemisia tabaci, SERANGGA VEKTOR BEGOMOVIRUS, BERDASARKAN KARAKTER MOLEKULER... 66

Abstrak ... 66

Abstract ... 67

Pendahuluan ... 68

Bahan dan Metode ... 71

Hasil ... 78

Pembahasan ... 91

Simpulan dan Saran ... 96


(13)

V. PENULARAN BEBERAPA STRAIN BEGOMOVIRUS YANG MENGINFEKSI TOMAT MELALUI Bemisia tabaci

BIOTIPE B DAN BIOTIPE NON B... 102

Abstrak ... 102

Abstract ... 103

Pendahuluan ... 104

Bahan dan Metode ... 106

Hasil ... 109

Pembahasan ... 114

Simpulan dan Saran ... 119

Daftar Pustaka ... 120

VI. PENGGUNAAN PELACAK DNA SEBAGAI DASAR UJI KETAHANAN GENOTIPE TANAMAN TOMAT TERHADAP INFEKSI BEGOMOVIRUS... 124

Abstrak ... 124

Abstract ... 125

Pendahuluan ... 126

Bahan dan Metode ... 130

Hasil ... 134

Pemba hasan ... 139

Simpulan dan Saran ... 144

Daftar Pustaka ... 145

VII. PEMBAHASAN UMUM ... 149

VIII. KESIMPULAN UMUM ... 155

DAFTAR PUSTAKA... 156


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 3.1 Gejala infeksi begomovirus pada tanaman tomat di lapangan

dan hasil deteksi begomovirus menggunakan primer universal

begomovirus PAL1v 1978 dan PAR 1c 715... 50 3. 2 Ukuran pita hasil pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus

dengan menggunakan enzim restriksi ... 54 3. 3 Matrik tingkat perbedaan 9 isolat begomovirus berdasarkan

pola pita PCR-RFLP menggunakan program NTSYS versi 2.1 ... 56 4.1 Primer random yang digunakan untuk seleksi primer PCR-RAPD ... 74 4.2 Lokasi, geografi, biotipe, nomor asesi sekuen gen COI pada

GeneBank dan tanaman inang B. tabaci ... 75 4.3 Hasil koleksi dan identifikasi kutukebul dari berbagai daerah dan

tanaman inang ... 80 4.4 Matrik jarak perbedaan 9 populasi B. tabaci berdasarkan

karakter molekuler ... 85 5.1 Biotipe B. tabaci yang digunakan dalam uji penularan tiga

strain begomovirus ... 106 5.2 Pengaruh periode makan akuisisi serangga vektor BtBsBJB ,

BtCkBJB, dan BtKKJT terhadap penularan tiga strain begomovirus dan masa inkubasi virus pada tanaman tomat dengan periode makan inokulasi 48 jam dan jumlah serangga sepuluh ekor

setiap tanaman... 110 5.3 Pengaruh periode makan inokulasi serangga vektor BtBsBJB,

BtCkBJB, dan BtKKJT terhadap penularan tiga strain begomovirus dan masa inkubasi virus pada tanaman tomat dengan periode makan akuisisi 24 jam dan jumlah serangga sepuluh ekor

setiap tanaman... 112

5.4. Pengaruh jumlah serangga vektor BtBsBJB, BtCkBJB, dan BtKKJT terhadap penularan tiga strain begomovirus dan masa inkubasi virus pada tanaman tomat dengan periode makan akuisisi 24 jam

dan periode makan inokulasi 48 jam... 113 6.1 Pengelompokan tingkat respon tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus 131 6.2 Gejala infeksi tiga strain begomovirus pada genotipe tanaman tomat ... 134


(15)

6.3 Ketahanan 14 genotipe tomat terhadap infeksi begomovirus

asal Kaliurang (GVPSlm) ... 135 6.4 Ketahanan 14 genotipe tomat terhadap infeksi begomovirus

asal Boyolali (GVCBy) ... 136 6.5 Ketahanan 14 genotipe tomat terhadap infeksi begomovirus

asal Bogor (GVCBgr) ... 136 6.6 Hasil deteksi genotipe tanaman tomat terhadap infeksi begomovirus


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Bagan Penelitian... 5

3.1 Posisi penempelan primer PAL1v 1978 dan PAR1c 715 pada genom begomovirus ... 46

3. 2 Keanekaragaman gejala begomovirus yang ditemukan di lapangan selama survei ... 48

3. 3 Gejala infeksi begomovirus pada tanaman tomat varietas Arthaloka hasil penularan dengan serangga vektor ... 49

3.4 Hasil amplifikasi DNA begomovirus dari tanaman tomat dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer PAL1v 1978 dan PAR1c 715 ... 51

3.5 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Magelang (GVSMg) dan Kaliurang (GVPSlm) dengan be berapa enzim restriksi ... 51

3.6 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Kulonprogo (GVGKlp) dengan beberapa enzim restriksi... 53

3.7 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Boyolali (GVCBy) dengan beberapa enzim restriksi... 52

3. 8 Pola pemotongan fragmen DNA isolat begomovirus Bogor (GVCBgr) dengan beberapa enzim restriksi ... 53

3.9 Dendogram hasil PCR-RFLP begomovirus isolat begomovirus... 55

4.1 P uparium B. tabaci ... 78

4.2 P uparium T. vaporariorum... 79

4.3 Tanaman labu (C. pepo): A. Diinfestasi dengan populasi B. tabaci asal cabai, B. Diinfestasi dengan populasi B. tabaci asal brokoli dan menyebabkan gejala keperak-perakan (silverleaf)... 81

4.4 Perkembangan perubahan warna daun tanaman labu yang terinduksi menjadi keperak-perakan oleh populasi B. tabaci asal brokoli ... 81

4.5 Hasil seleksi primer terhadap B. tabaci biotipe B dan B. tabaci biotipe Q ... 82

4.6 Hasil amplifikasi DNA B. tabaci dengan teknik PCR-RAPD menggunakan primer P5... 82


(17)

4.7 Dendogram B. tabaci biotipe B, B. tabaci biotipe Q dan populasi

B. tabaci dari beberapa tanaman berdasarkan karakter molekuler ... 84 4.8 Hasil amplifikasi fragmen DNA gen COI B. tabaci menggunakan primer

C1-J-2195 dan L2-N-3014... 86 4.9 Perbandingan hasil sekuensing gen COI yang berasal dari

6 populasi B. tabaci... 88 4.10 Filogenetik kekerabatan 6 populasi B. tabaci dari Indonesia

terhadap populasi B. tabaci dari lokasi geografi lain yang ada

pada GeneBank... 90 6.1 Hasil deteksi genotipe tanaman tomat yang terinfeksi begomovirus

asal Kaliurang (GVPSlm) dengan teknik hibridisasi menggunakan


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Matrik data karakter molekuler (PCR-RAPD) Bemisia tabaci biotipe B,

B. tabaci biotipe Q, populasi B. tabaci brokoli (BtBsBJB), populasi B. tabaci cabai (BtCkBJB), populasi B. tabaci mentimun (BtBPBJB), populasi B. tabaci tomat (BtCb1BJB), populasi B. tabaci terong (BtKKJT) populasi B. tabaci edamame (BtBbBJB), populasi B. tabaci kedelai

(BtCb2BJB) ... 161 2 Matrik jarak genetik populasi B. tabaci dari geografi yang berbeda

berdasarkan analisis UPGMA ... 162 3 Tingkat kesamaan populasi B. tabaci yang berasal dari geografi


(19)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogo r, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(20)

Latar Belakang

Tomat (Lycopersicon esculentum L.) merupakan salah satu komoditi sayuran unggulan di Indonesia karena nilai ekonomi dan kandungan gizinya (Hasanudin 2006). Permintaan tomat di beberapa negara terus meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya rata-rata konsumsi tomat dan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2004 luas pertanaman tomat di Indonesia mencapai 52.719 ha dengan produktivitas 118,9 ku/ha dan produksi 626.872 ton. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan produksi pada tahun 2003 yaitu sebesar 657.459 ton dan produktivitas 173,3 ku/ha, sedangkan luas pertanaman tomat hanya 47.884 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Holtikultura 2005). Salah satu kendala yang menyebabkan produksi tomat menurun adalah terdapatnya serangan patogen. Salah satu patogen yang sangat merugikan pada pertanaman tomat adalah virus, diantaranya Tomato mosaic virus (ToMV), Cucumber mosaic virus (CMV) (Semangun 1991), dan Begomovirus (Sudiono et al. 2004). Data serangan organisme pengganggu tanaman dari Direktorat Je nderal Perlindungan Tanaman Hortikultura menunjukkan bahwa serangan virus pada tanaman tomat dari tahun 2000 – 2004 terus meningkat. Tingginya serangan virus ini tampaknya berkorelasi dengan penurunan produktivitas tanaman tomat.

Begomovirus dilaporkan sebagai salah satu virus yang berperan menyebabkan penurunan produksi yang sangat besar di banyak daerah tropis dan subtropis (Czosnek et al. 1988; Idris & Brown 1998). Hasil pe nelitian Polston dan Anderson (1997) menunjukkan bahwa kerusakan akibat infeksi begomovirus yang ditularkan oleh B. tabaci mengakibatkan hancurnya industri tomat di Meksiko, Venezuela, Brazil, Florida, Amerika Tengah serta Karibia. Di Israel, serangan tomato yellow leaf curl begomovirus (TYLCV) pada tanaman tomat mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 100% (Pico et al. 1996). Di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan begomovirus pada tanaman tomat di daerah Bogor dan sekitarnya dapat mencapai kurang lebih 50-70% (Sudiono et al. 2004; Aidawati & Hidayat 2002). Walaupun demikian,


(21)

pengetahuan tentang begomovirus dan penyakit yang ditimbulkannya, khususnya pada tanaman tomat di Indonesia masih sangat terbatas. Hal tersebut karena deteksi begomovirus dengan metode konvensional seringkali tidak mungkin dilakukan, karena tidak semua begomovirus dapat ditularkan secara mekanis dengan cairan perasan tanaman terinfeksi. Dengan demikian penggunaan bioasai untuk identifikasi dan evaluasi kisaran inang menjadi sulit untuk dilakukan. Penggunaan metode serologi juga tidak efektif untuk mendeteksi begomovirus, karena keanekaragaman begomovirus yang cukup tinggi dan kesulitan untuk pembuatan antisera (Robert et al. 1984).

Metode deteksi yang didasarkan pada analisis asam nukleat virus banyak digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi begomovirus. Sebagai contoh teknik hibridisasi asam nukleat (Polston et al. 1989; Gilbertson et al. 1991; Hidayat et al. 1993; Bendahmane et al. 1995) dan teknik p olymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan primer universal dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi begomovirus dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda (Chiemsombat et al. 1990 ; Rojas et al. 1993 ; Wyatt & Brown 1996 ; Roye et al. 1997; Hidayat et al. 1999; Sudiono et al. 2004). Deteksi begomovirus dengan menggunakan teknik PCR yang dilanjutkan dengan restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP) dapat menentukan adanya strain begomovirus yang berbeda. Berdasarkan PCR-RFLP Sudiono et al. (2004) melaporkan adanya dua strain begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di Jawa Barat. Berdasarkan perbandingan sekuen genom begomovirus dan analisis filogenetik Sukamto et al. (2005) menunjukan terdapat tiga kelompok begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di daerah Bandung, Purwokerto, Magelang dan Malang. Begomovirus tersebut memiliki kedekatan genetik dengan tomato leaf curl Java virus (ToLCJAV) (Kon et al. 2003), p epper yellow leaf curl Indonesia virus (PepYLCIDV) (Ikegami, belum dipublikasikan), ageratum yellow vein virus (AYVV) ya ng berasal dari Indonesia, Cina dan Taiwan. Keanekaragaman begomovirus tidak dapat dipungkiri sangatlah tinggi. Oleh karena itu penelitian mengenai keanekaragaman begomovirus yang ditemukan di Indonesia sangat penting dilakukan.


(22)

Hasil penelitian Mehta et al. (1994b), Aidawati et al. (2002) dan Fitriyanti, dan Aidawati (2002) menunjukkan bahwa persentase serangan begomovirus meningkat dengan meningkatnya jumlah serangga vektornya, yaitu B. tabaci atau di Indonesia dikenal dengan nama kutukebul. Tingginya serangan begomovirus selain dipengaruhi oleh populasi kutukebul di lapang, juga dipengaruhi oleh keanekaragaman kutukebul tersebut (Costa & Brown 1991; Brown 1994; Brown et al. 1995b). Menurut Bedford et al. (1992, 1994) dan Burban et al. (1992) populasi kutukebul yang berasal dari wilayah geografi yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam kemampuan makan, reproduksi dan kemampuan dalam menularkan begomovirus. Populasi kutukebul tersebut secara morfologi tidak dapat dibedakan secara jelas, tetapi menunjukkan beberapa perbedaan dalam

bertahan dan berkembang khususnya pada tanaman inang. Keberadaan B. tabaci telah diketahui di Indonesia, tetapi informasi mengenai

keanekaragamannya masih sangat terbatas. Yuliani (2002) melaporkan serangan B. tabaci pada tanaman tomat, cabai dan kedelai di daerah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, sedangkan keanekaragaman kutukebul tersebut dan kemampuannya dalam menularkan begomovirus belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu penelitian mengenai keanekaragaman kutukebul dan kemampuannya dalam menularkan begomovirus dari isolat yang berbeda sangat penting dilakukan.

Usaha pengendalian begomovirus yang selama ini dilakukan adalah dengan cara menekan populasi serangga vektor menggunakan insektisida (Denholm et al. 1998; Palumbo et al. 2001). Sayangnya, pengendalian dengan menggunakan insektisida ini kurang efektif, karena satu ekor serangga vektor virulifer sudah mampu menularkan begomovirus. Di samping itu kutukebul mempunyai kisaran inang yang banyak, pergerakannya cepat, dan kemampuan kutukebul menjadi resisten terhadap insektisida sangat cepat (Nakhla & Maxwell 1998). Penggunaan insektisida yang intensif dapat mengakibatkan kontaminasi buah tomat yang dihasilkan, matinya musuh alami kutukebul serta pencemaran lingkungan (Trabolsi 1994). Salah satu pengendalian begomovirus yang aman adalah dengan menggabungkan pengendalian menggunakan musuh alami (parasit, predator dan cendawan) atau dengan varietas tanaman tomat yang tahan terhadap begomovirus (Gerling et al. 2001; Faria & Wraight; Hilje et al. 2001). Setiawati


(23)

5 Gambar 1.1 Bagan Penelitian

Uji efisiensi penularan

Penggunaan pelacak DNA

Pengumpulan isolat begomovirus

dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta

Deteksi begomovirus dengan PCR dan PCR-RFLP

Analisis keanekaragaman isolat-isolat begomovirus

Penentuan strain

Penentuan Biotipe B.tabaci Pengumpulan kutukebuldari

beberapa tanaman

Identifikasi B. tabaci Uji induksi daun

keperak- perakan

pada tanaman labu PCR-RAPD

Analisis keanekaragaman B. tabaci dengan Prog.

NTSYS

Amplifikasi gen CO1

Sekuensing gen COI

Analisis kekerabatan B.tabaci

Penentuan respon tanaman tomat


(24)

(2003) melaporkan bahwa parasitoid kutukebul yang ada di Indonesia adalah Encarcia adrianae (Hymenoptera: Aphelinidae), dan telah dikembangkan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, tetapi kultivar tomat yang tahan terhadap begomovirus di Indonesia belum banyak dilaporkan dan diteliti. Oleh karena itu seleksi ketahanan kultivar tomat terhadap begomovirus ini sangat penting dilakukan dalam usaha mengendalikan serangan begomovirus pada tanaman tomat.

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan sesuai alur penelitian yang telah disusun (Gambar 1.1). Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu:

1. Mendapatkan informasi keanekaragaman begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat berdasarkan teknik PCR-RFLP.

2. Mendapatkan informasi keanekaragaman kutukebul yang ada pada beberapa tanaman berdasarkan teknik molekuler.

3. Mempelajari efisiensi penularan begomovirus oleh populasi kutukebul yang berbeda.

4. Mengunakan teknik hibridisasi dot-blot sebagai metode deteksi virus dalam menguji ketahanan beberapa genotipe tomat.

Hipotesis

1. Terdapat beberapa strain begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di Indonesia.

2. Terdapat beberapa biotipe B. tabaci yang ditemukan pada beberapa tanaman inangnya.

3. Kemampuan biotipe B. tabaci dalam menularkan strain begomovirus berbeda-beda dan kemampuan biotipe tersebut menularkan strain begomovirus berkaitan dengan lamanya periode makan akuisisi virus dan periode makan inokulasi oleh ve ktor serta banyaknya vektor pada waktu inokulasi.

4. Terdapat beberapa genotipe tanaman tomat yang memiliki respon toleran dan tahan terhadap strain begomovirus .


(25)

Gambar 1.1 Bagan Penelitian Pengumpulan begomovirus

yang menginfeksi tomat

Deteksi dengan teknik PCR

Pemotongan dengan enzim (teknik RFLP)

Program NTSYS

Strain berbeda

Seleksi Ketahanan tanaman tomat

Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta

Pengumpulan kutukebul

Edamame, Tomat, Brokoli, Kedelai, Mentimun, Cabai,

Terong

Identifikasi

PCR-RAPD

Prog. NTSYS

Biotipe berbeda

Uji efisiensi penularan

Deteksi dengan DNA probe

Uji dengan Tanaman

labu

PCR mt CO1

Sekuensing


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Karakter Molekuler Begomovirus

Begomovirus merupakan salah satu genus dari famili geminivirus. Geminivirus merupakan golongan virus tumbuhan dengan morfologi partikel yang berbeda dengan golongan virus tumbuhan lainnya yang telah umum dikenal. Nama geminivirus berasal dari karakteristik partikel virus yang isometrik ganda, yang dalam keadaan tunggal umumnya mempunyai diameter berkisar 18 – 20 nm dan sebagian besar senantiasa terdapat dalam keadaan berpasangan dengan ukuran 20 nm x 30 nm (Bock 1982). Kelompok geminivirus merupakan golongan virus yang mempunyai asam nukleat deoksiribonukleat dalam bentuk utas tunggal (single stranded (ss) DNA). Di dalam tanaman virus berada dalam jaringan floem dan terakumulasi di dalam inti sel jaringan floem yang terinfeksi.

Berdasarkan struktur genom, serangga vektor dan tanaman inang, geminivirus terbagi menjadi empat genus yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Begomovirus dan Topocuvirus (van Regenmortel et al. 2000, Hull 2002). Mastrevirus adalah geminivirus dengan tanaman inang dari kelompok monokotil, ditularkan oleh vektor wereng daun dan memiliki genom monopartit. Genus ini memiliki lebih dari 10 jenis virus yang sudah diketahui, dengan tanaman inang dari famili Graminea, di antaranya adalah chlorosis striate mosaic virus (CSMV), digitaria streak virus (DSV), maize streak virus (MSV) dan wheat dwarf virus (WDV). Curtovirus adalah geminivirus dengan tanaman inang dikotil, ditularkan oleh vektor wereng daun, dan genomnya monopartit. Anggota genus ini di antaranya adala h beet curly top virus (BCTV) dengan vektor Circulifer tenellus (Hemiptera: Cicadellidae), dan tobacco yellow dwarf virus (TYDV) dengan vektor Orosius argentatus (Hemiptera: Cicadellidae). Begomovirus adalah geminivirus dengan tanaman inang dikotil, ditula rkan oleh vektor kutukebul memiliki genom bipartit atau monopartit. Berdasarkan daerah asal genus tersebut anggota begomovirus terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang berasal dari Old World (benua Eropa, Asia dan Afrika) dan kelompok New World (Benua Amerika). Begomovirus memiliki anggota yang paling banyak bila dibanding genus-genus lainnya. Anggota begomovirus yang memiliki genom bipartit di antaranya abutilon mosaic virus (AbMV), african cassava mosaic virus


(27)

(ACMV), bean dwarf mosaic virus (BDMV), bean golden mosaic virus (BGMV), cotton leaf crumple virus (CLCV), euphorbia mosaic virus (EuMV), indian cassava mosaic virus (ICMV), mungbean yellow mosaic virus (MYMV), potato yellow mosaic virus (PYMV), tomato golden mosaic virus (TGMV) dan squash leaf curl virus (SqLCV), sedangkan yang memiliki genom monopartit contohnya tomato leaf curl virus dari Australia (ToYLV-Aus) dan tomato yellow leaf curl virus dari Israel (TYLCV-Is) (Navot et al. 1991; Dhar & Singh 1996; Navas-Castillo et al. 1999) . Topocuvirus adalah genus pada geminivirus yang merupakan bagian dari genus curtovirus. Topocuvirus mempunyai genom yang mirip dengan curtovirus tetapi ditularkan melalui wereng pohon Micrutalis malleifera. Anggota genus tersebut adalah tomato pseudocu rly top virus.

Gejala Infeksi Begomovirus pada Tanaman Tomat

Gejala yang timbul karena infeksi begomovirus pada tanaman tomat sangat bervariasi, tergantung pada strain virus, kultivar, umur tanaman pada waktu terinfeksi dan lingkungan. Umumnya gejala ya ng ditimbulkannya pada tanaman tomat merupakan kombinasi mosaik kuning, belang-belang klorotik, klorotik pada ujung daun, daun berkerut, daun mengecil, tanaman menjadi kerdil dan bunga cepat rontok (Polston & Anderson 1997).

Tomato golden mosaic virus yang menginfeksi tanaman tomat menunjukkan gejala mosaik kuning (Costa 1969; Hamilton et al. 1981). Lastra & Uzcateque (1978 ) melaporkan bahwa mosaico amarillo del tomate (MAT)/ tomato yellow mosaic virus yang menginfeksi tanaman tomat di Venezuela menunjukkan gejala mosaik kuning, keriting dan tanaman menjadi kerdil.

Butter & Rataul (1977) melaporkan bahwa tanaman tomat yang terinfeksi ToLCV menunjukkan gejala daun keriting, daun menggulung (rolling), perubahan bentuk daun, daun berkerut (puckering) dan terdapat enasi pada permukaan bawah daun. Gejala strain ToLCV-Aus berupa daun keriting, kuning, daun menggulung ke atas. Tanaman yang terinfeksi pada umur muda tidak berbuah dan kerdil (Conde & Connelly 1994). Chiang et al. (1997) melaporkan adanya strain ToLCV yang menginfeksi tanaman tomat di Makutupora, Tanzania (ToLCV-Tan). ToLCV-Tan ini menim bulkan gejala berupa belang-belang kuning, daun keriting, kerdil dan batang menjadi kaku. ToLCV yang dilaporkan pertama kali


(28)

menginfeksi tanaman tomat di Pakistan menunjukkan gejala berupa tepi daun yang melengkung ke atas atau ke bawah, tulang daun menjadi tebal dan tanaman kerdil (Mansoor et al. 1997).

Tanaman tomat di Culiacan Valley yang terinfeksi tomato leaf crumple begomovirus (TLCrV) menunjukkan gejala daun kisut, berkerut, epinastis, bergelombang (purpling), keriting dan belang-belang (Paplomatas 1994).

Polston et al. (1993 & 1995) melaporkan tomato mottle virus (ToMoV) menginfeksi tanaman tomat sejak tahun 1989 di Florida dan California Selatan. Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus tersebut berupa belang-belang klorotik, daun melengkung ke atas dan kerdil. Infeksi ToMoV pada tanaman tomat di Yucatan, Meksiko menunjukkan gejala pertumbuhan terhambat, daun belang-belang dan deformasi (Garr ido-Ramirez & Gilbertson 1998).

Infeksi TYLCV pada tanaman tomat menyebabkan daun menjadi kecil, keriting, keras, dan klorotik; bunga jatuh prematur; tunas kaku, internoda pendek dan tanaman menjadi kerdil (Cohen & Nitzany 1966). Jones et al. (1991), menjelaskan bahwa tanaman yang terinfeksi TYLCV mengakibatkan bunga rontok dan kualitas buah rendah serta cepat masak. Muniyappa et al.(1991) melaporkan adanya strain TYLCV yang menginfeksi tanaman tomat di India. Gejala yang ditimbulkan oleh TYLCV-India berupa mosaik kuning, keriting, daun menjadi seperti mangkok dan tanaman kerdil. Di Jepang, TYLCV yang menginfeksi tanaman tomat di daerah Shizuoka dan Aichi mirip dengan TYLCV-Is-M. Gejala yang ditimbulkan berupa daun menguning mulai dari ujung hingga ke bawah, daun yang baru muncul menjadi kecil dan keriting (Kato et al. 1998).

Sinaloa tomato leaf curl virus (STLCV) yang menginfeksi tanaman tomat di Sinaloa, Meksiko menunjukkan gejala berupa daun menjadi klorosis, bergelombang, keriting, internoda menjadi pendek (Brown et al. 1993; Idris et al. 1999).

Di Indonesia, infeksi begomovirus pada tomat menimbulkan geja la berupa penebalan tulang daun, lamina daun berkerut-kerut, menguning, tepi daun melengkung ke atas, daun menjadi keriting dan tanama n menjadi kerdil (Sugiarman & Hidayat 2000; Sudiono et al. 2004; Aidawati & Hidayat 2002).


(29)

Penularan Begomovirus

Begomovirus pada umumnya dapat ditularkan dengan berbagai cara, ba ik melalui serangga vektor kutukebul maupun wereng daun, melalui penyambungan dan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman sakit. Walaupun demikian penularan dan pemencaran virus tersebut di lapangan terutama ditentukan oleh aktifitas serangga vektor.

Hasil penelitian Uzcategui & Lastra (1978) menunjukkan bahwa periode makan akuisisi (PMA) minimum B. tabaci menularkan MAT adalah 2 jam dengan periode laten 20 jam. Efisiensi penularan B. tabaci yang dipelihara pada suhu 30-34°C adalah 93%, sedangkan yang dipelihara pada suhu 20-30°C hanya 75%. Serangga vektor mampu menularkan MAT maksimum 7 hari. Serangga betina lebih efisien menularkan MAT dibandingkan yang jantan.

Cohen & Nitzany (1966) menunjukkan bahwa periode akuisisi B. tabaci untuk dapat menularkan TYLCV-Is adalah 15 menit dengan periode makan inokulasi (PMI) 48 jam. Penularan tidak terajadi apabila PMA di bawah 15 menit. Penularan semakin meningkat setelah PMA 4 jam. PMI minimun serangga vektor ini menularkan TYLCV-Is adalah 30 menit, dengan PMI 15 menit virus tidak dapat ditularkan. Penularan semakin meningkat setelah PMI lebih dari 1 jam. Periode laten virus di dalam tubuh serangga 21 jam. Periode retensi TYLCV-Is di dalam tubuh serangga selama 10-15 hari. Nimfa mampu mengakuisisi virus dan imago yang dihasilkan virulifer. TYLCV-Is tidak ditularkan secara transovarial

Hasil penelitian Butt er & Rataul (1977) menunjukkan bahwa PMA minimum B. tabaci untuk dapat menularkan ToLCV adalah 31 menit dengan PMI selama 24 jam. Semakin lama PMA penularan semakin meningkat. PMI minimum kutukebul tersebut untuk dapat menularkan ToLCV adalah 32 menit dengan PMA selama 24 jam. B. tabaci mampu mengakuisisi virus dari kotiledon tanaman tomat yang terinfeksi, tetapi infeksi tidak terjadi ketika serangga virulifer tersebut dipindahkan ke kotiledon tanaman yang sehat. Bemisia tabaci mampu menularkanToLCV dengan efesiensi tertinggi apabila PMA dan PMI dilakukan pada daun muda. Kutukebul mampu menularkan ToLCV sebesar 38% apabila akusisi dilakukan pada sumber inokulum berumur 2 bulan, sedangkan akuisisi


(30)

yang dilakukan pada sumber inokulum yang berumur 11 bulan hanya menyebabkan infeksi sebesar 8%. Kutukebul betina yang virulifer mempunyai efisiensi penularan 53 hari, sedang yang jantan hanya 8 hari. Nimfa mampu mengakuisisi ToLCV dan menularkannya. ToLCV tidak ditularkan secara transovarial.

Brown & Nelson (1988) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci yang telah diberi perlakuan PMA selama 48 jam dan PMI selama 3 hari, mampu menularkan chino del tomato virus (CdTV) dengan jumlah tanaman terinfeksi 15%. Penularan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah serangga. PMA minimum B. tabaci untuk dapat menularkan CdTV apabila diberi PMI selama 3 hari adalah 1 jam, sedang PMI minimum 2 jam dengan PMA 24 jam. Apabila PMA ditingkatkan hingga 48 jam, penularan terjadi setelah PMI 10 menit.. Periode laten CdTV dalam tubuh serangga 17-22 jam. Periode retensi virus dalam tubuh kutukebul selama 4,5 hari setelah PMA 24 jam dan 7,3 hari setelah PMA 72 jam.

Hasil penelitian Mehta et al. (1994b) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci biotipe B mampu menularkan TYLCV-Mesir , dan efisiensi penularan meningkat 4 kali jika jumlah serangga ditingkatkan hingga 5 ekor per tanaman. PMA serangga vektor untuk dapat menularkan virus adalah 15 menit. Penularan semakin meningkat dengan semakin lamanya PMA dan mencapai maksimum setelah 24 jam. PMI minimum adalah 15 menit. Penularan semakin meningkat dengan meningkatnya PMI dan mencapai maksimum setelah 12 jam PMI. Imago B. tabaci yang berasal dari nimfa yang dibiakan pada tanaman tomat terinfeksi TYLCV mampu menularkan virus tersebut setelah PMI 2 jam. Penularan semakin meningkat dengan meningkatnya PMI.

Idris & Brown (1998) menunjukkan bahwa B. tabaci biotipe A yang telah diberi PMA 0,5 jam tidak mampu menularkan STLCV. Penularan terja di setelah 1 jam dengan PMI 24 jam. Semakin lama PMA kemampuan serangga vektor menularkan STLCV semakin meningkat. B. tabaci yang diberi perlakuan PMA 24 jam tidak mampu menularkan STLCV setelah PMI 0,5 jam, tetapi penularan terjadi setelah PMI 1 jam. Penularan meningkat dengan semakin lamanya PMI. Periode retensi STLCV didalam tubuh serangga vektor mencapai 9 hari. Hasil


(31)

penularan secara berseri menunjukkan bahwa penularan STLCV oleh B. tabaci biotipe A ini bersifat intermittent. Virus ini tidak ditularkan secara transovarial.

Hasil penelitian Sanchez-Campos et al. (1999) menunjukkan bahwa B. tabaci biotipe B dan Q mempunyai kemampuan menularkan TYLCV-Sar dan TYLCV-Is. Biotipe Q lebih efisien menularkan kedua virus dibandingkan biotipe B. Kedua biotipe lebih efisien menularkan TYLCV-Is. Satu ekor B. tabaci biotipe B lebih rendah menularkan TYLCV-Sar dibandingkan biotipe Q, hal yang sama terjadi pada TYLCV-Is. Perbedaan penularan ini tidak membedakan kemampuan biotipe B atau Q dalam mengakuisisi TYLCV-Sar atau TYLCV-Is dari sumber virus.

Hasil penelitian Ghanim et al. (1998) menunjukkan bahwa TYLCV-Is mampu ditularkan secara transovarial oleh B. tabaci selama dua generasi dan melalui kopulasi antar individu (Ghanim & Czosnek 2000). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa TYLCV dapat berperan sebagai patogen pada B. tabaci, karena sangat mempengaruhi siklus hidupnya dan fekunditinya. Diduga TYLCV berreplikasi di dalam tubuh B. tabaci, tetapi cara replikasinya belum diketahui.

McGrath & Harrison (1995) menunjukkan bahwa penularan tomato leaf curl begomovirus oleh B. tabaci dipengaruhi oleh isolat begomovirus dan biotipe serangga vektor yang menularkannya. Hal ini diduga karena adanya perbedaan protein selubung begomovirus . Protein selubung tersebut berpengaruh terhadap kemampuan serangga vektor dalam menularkan virus.

Deteksi Begomovirus

Deteksi begomovirus dengan metode konvensional seringkali tidak mungkin dilakukan, karena tidak semua begomovirus dapat ditularkan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman terinfeksi. Beberapa begomovirus yang dapat ditularkan secara mekanik yaitu BDMV (Morales et al. 1990), MYMV (Honda et al. 1983) dan TYMV (Uzcategui & Lastra 1978). Dengan demikian penggunaan bioasai untuk identifikasi dan evaluasi kisaran inang menjadi sulit untuk dilakukan.

Metode serologi dilaporkan dapat digunakan untuk mendeteksi begomovirus. Penggunaan metode ini telah dilakukan untuk mendeteksi virus krupuk tembakau (Trisusilowati 1990), BDMV (Morales et al. 1990), ToYDV


(32)

(Thomas & Bowyer 1980), TGMV (Stein et al. 1983), labu leaf curl virus (SLCV) (Cohen et al. 1983), ACMV dan BGMV (Sequeira & Harrison 1982), honeysuckle yellow vein mosaic (HYVM) dan tobacco leaf curl viruses (TLCV) (Osaki et al. 1979). Akan tetapi untuk saat ini penggunaan metode serologi tersebut tidak efektif untuk mendeteksi begomovirus , karena keanekaragaman begomovirus yang cukup tinggi dan kesulitan untuk pembuatan antisera yang disebabkan oleh sifat fisik dan kimia partikel virus yang me mbuatnya sulit untuk dimurnikan dalam bentuk yang stabil ; sifat imunogenik dari virion yang lemah; protein selubung, terutama untuk virus-virus yang ditularkan oleh B. tabaci tidak dapat dibedakan melalui antisera poliklonal maupun monoklonal (Roberts et al. 1984).

Sekarang ini metode deteksi yang didasarkan pada analisis asam nukleat virus telah banyak digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi begomovirus. Sebagai contoh teknik hibridisasi asam nukleat (Polston et al. 1989; Gilbertson et al. 1991; Hidayat et al. 1993; Bendahmane et al. 1995) dan teknik Polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan primer universal (Chiemsombat et al. 1990; Rojas et al. 1993 ; Wyatt & Brown 1996 ; Roye et al. 1997; Hidayat et al. 1999; Aidawati et al. 2001; Aidawati & Hidayat 2002; Sudiono et al. 2004; Sulandari et al 2001,2006), telah terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi begomovirus dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda. Kedua teknik ini tidak hanya dapat mendeteksi asam nukleat genimivirus pada jaringan tanaman terinfeksi tetapi juga berhasil mendeteksi asam nukleat begomovirus dalam tubuh serangga vektor B. tabaci (Navot et al. 1989 ; Polston et al. 1990 ; Chiemsombat et al. 1990; Mehta et al. 1994a ; Aidawati & Hidayat 1999).

Selain melalui analisis sekuen DNA, keanekaragaman begomovirus dapat dilihat dari pola pita PCR-RFLP. Hasil analisis pola enzim restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)) dari fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR menunjukkan kemungkinan adanya strain begomovirus yang berbeda. Rojas et al. (1993) menunjukkan adanya perbedaan strain begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat dari Costa Rica dan Meksiko. Behjatnia et al. (1996) menunjukkan bahwa ada dua strain ToLCV yang berasal dari Darwin dan


(33)

strain tersebut berbeda dengan ToLCV-Aus. Pola PCR-RFLP fragmen DNA-A dan DNA-B isolat dari Guadeloupe, Martinique dan Puerto Rico adalah sama, sehingga diduga tanaman tomat tersebut terinfeksi oleh virus yang sama (Polston et al. 1997). Momol et al. (1999) menunjukkan bahwa fragmen DNA begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat di daerah Georgia Selatan dan Florida Utara setelah dipotong dengan enzim EcoRI dan ClaI polanya sama dengan TYLCV yang menginfeksi tanaman tomat, tetapi berbeda dengan tomato mottle virus (ToMoV). Hasil penelitian Hidayat et al. (1999) menunjukkan bahwa pola enzim restriksi virus Cugenang berbeda dengan virus cabai-Segunung tetapi sama dengan virus cabai-Baranangsiang. Dengan metode yang sama, Sudiono et al. (2004) berhasil menganalisis pola enzim restriksi dari fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR dan menunjukkan adanya strain begomovirus yang berbeda pada tanaman tomat yaitu isolat begomovirus dari Bandung, Cisaat dan Cibeunying ada lah sama, tetapi berbeda dengan isolat begomovirus dari Ciloto.

Pada saat ini hasil sekuensing genom begomovirus yang menginfeksi tomat, cabai dan tembakau telah dilaporkan dan dimasukkan ke GeneBank (Shih et al. 1999; Kon et al. 2003; Sukamto et al. 2005; Hidayat et al 2006ab; Tsai et al. 2006a,b; Ikegami, belum dipublikasikan).

Serangga Vektor Begomovirus : Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae)

Persebaran B. tabaci

B. tabaci ditemukan pertama kali pada tahun 1889. Serangga tersebut menyerang tanaman tembakau di Greeca dan dinamakan kutukebul tembakau (Aleyrodes tabaci) (Gennadius 1889). Kemudian pada tahun 1897 B. tabaci kembali ditemukan pada tanaman ubi jalar yaitu di daerah Amerika Serikat. Kutukebul tersebut dinamakan A. inconspicua Quaintance dengan nama umum kutukebul ubi jalar (sweetpotato whitefly) (Quaintance 1900). Nama spesies tersebut kemudian berubah menjadi genus baru yaitu Bemisia dan pada tahun 1914 disebut B. inconspicua (Quaintance & Baker 1914). Pada awalnya Quaintance & Baker (1914) tidak dapat menempatkan A. tabaci ke dalam genus yang baru karena deskripsi serangga tersebut sangat kurang. Setelah lebih dari 50


(34)

tahun, pada tahun 1964 telah ditemukan 19 spesies kutukebul yang sama dengan B. tabaci. Kutukebul tersebut dideskripsi dari 14 negara lain pada bermacam-macam tanaman inang. Berdasarkan daftar spesies yang ada Takahashi (1936) menempatkan A. tabaci ke dalam genus Bemisia, sehingga menghasilkan nama B. tabaci hingga saat ini.

Di Brazil, pada tahun 1928 kutukebul ditemukan pertama kali pada tanaman Euphorbia hirtella dan dinamakan B. costalimai Bondar. Di Taiwan, kutukebul ditemukan tahun 1933 dinamakan B. hibisci (Mound & Halsey 1978). Selanjutnya kutukebul menyebar ke daerah-daerah tropik dan subtropik te rmasuk daerah iklim sedang. Sekarang kutukebul tersebar secara luas dan ditemukan pada semua kontinental kecuali antartika (Martin 1999; Martin et al. 2000).

Menurut Campbell et al. (1996) berdasarkan hubungan evolusioner secara taksonomi Bemisia termasuk famili Aleyrodidae dan diduga berasal da ri daerah tropik yaitu Afrika. Selanjutnya serangga tersebut terbawa hingga ke neotropik dan Amerika bagian Timur serta Utara. Brown et al. (1995b) menduga bahwa B. tabaci berasal dari India atau Pakistan. Hal tersebut ditunjukkan dengan ditemukannya keanekaragaman parasitoid kutukebul yang sangat tinggi. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan pusat genus kutukebul.

Populasi B. tabaci mulai meledak sejak tahun 1980-a n di berbagai tempat. Populasi B. tabaci di lembah Imperial California meningkat 300 kali pada pertengahan tahun 1980-an dan 1600 kali pada pertengahan 1970-a n hingga pertengahan 1990-an (Wisler et al. 1998). Serangga tersebut merupakan faktor pembatas produksi tanaman makanan dan umbi-umbian di seluruh dunia karena B. tabaci secara langsung menyebabkan kerusakan pada tanaman dan secara tidak langsung merupakan vektor virus tanaman (Brown 1994).

Menurut Cock (1986) B. tabaci merupakan hama utama tanaman hias di rumah kaca, walaupun tanaman utama yang diproduksi di rumah kaca seperti tomat, cabai, buncis, terong dan mentimun juga terserang. Price et al. (1986) melaporkan pertama kali bahwa B. tabaci menyebabkan kerusakan pada tanaman hias di rumah kaca di Amerika Serikat. Serangga tersebut sangat cepat penyebarannya dan sangat sulit untuk dikendalikan. Akibat adanya kutukebul pada tanaman hias, maka diperlukan aplikasi insektisida yang berulang-ulang


(35)

sehingga menyebabkan fitotoksik. Disamping itu embun madu yang dihasilkan kutukebul merupakan substrat bagi pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun tanaman yang terinfestasi sehingga mengakibatkan penurunan kualitas estetika tanaman hias.

Biologi B. tabaci

Perkembangan B. tabaci dimulai dari telur, nimfa, pupa dan kemudian imago. Telur berbentuk bulat panjang (0.2–0.3 mm) dengan tangkai yang pendek pada salah satu ujungnya. Telur diletakkan satu per satu dengan posisi tangkai tegak lurus pada permukaan bawah daun (Gameel 1977). Menurut Badri (1983) telur yang baru diletakkan berwarna kekuning-kuningan dan tertutup oleh tepung lilin, setelah 24 jam warnanya berubah menjadi coklat dan dalam waktu dua hari telah terbentuk dua bintik merah kecoklat – coklatan yaitu mata faset embrio.

Masa inkubasi telur tergantung pada keadaan lingkungan, terutama suhu. Pada suhu antara 26°-32°C masa inkubasi berlangsung selama 4-6 hari, sedangkan pada suhu 18°-22°C meningkat menjadi 10-16 hari dan perkembangan embrio terhenti pada suhu 16°C (Gameel 1977). Menurut Badri (1983) masa inkubasi telur B. tabaci yang berasal dari tanaman kedelai 5.78 ± 0.21 hari pada suhu 28° -30°C.

B. tabaci mempunyai tiga instar nimfa yang perkembangannya secara keseluruhan berlangsung selama 12-15 hari pada suhu 28°-32°C, dan 28-32 hari pada suhu 20°-24°C. Pada suhu tinggi yaitu 30°-34°C periode perkembangan tersebut lebih cepat, dan menjadi lebih lama apabila suhu mencapai 18°-22°C (Gameel 1977). Nimfa instar pertama yang baru keluar dari telur aktif bergerak dan mengisap cairan makanan pada permuka an bawah daun selama 1-2 hari, dan setelah mendapatkan tempat yang sesuai akan menetap dan tidak bergerak lagi. Menurut Badri (1983) nimfa instar pertama B. tabaci lamanya 3.14±0.24 hari, berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah dan pada bagian pinggir tubuh nimfa terdapat bulu-bulu halus dengan lapisan lilin tipis. Nimfa instar dua lamanya 3.21±0.16 hari dan nimfa instar tiga lamanya 3.14±0.16 hari. Nimfa instar dua dan tiga ini tidak bergerak dan berwarna hijau. Panjang tubuh nimfa berkisar antara 0.2-0. 4 mm.


(36)

Pupa B. tabaci berbentuk bulat panjang dengan torak agak melebar dan cembung, berwarna kuning dan ruas abdomen tampak jelas. Lamanya stadium pupa adalah 2.51±0.21 hari (Badri 1983). Bagian pinggir pupa tidak rata dan ter dapat tujuh pasang seta pada bagian dorsal dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segitiga dan memanjang, serta operkulum menutupi hampir separuh bagian dari vasiform orifice.

Tubuh imago B. tabaci berwarna kuning, panjang 1.0-1. 5 mm dan sayapnya tertutup oleh tepung berwarna putih (Kalshoven 1981). Menurut Gameel (1977), imago berwarna putih kekuning – kuningan, tubuh imago ditutupi oleh sekresi seperti tepung. Imago jantan berukuran lebih kecil daripada betina, sayap depan berwarna putih, mempunyai antena tujuh ruas dengan ruas ketiga lebih panjang daripada ruas yang lain, sedangkan ruas terakhir meruncing dan ditutupi oleh rambut-rambut. Imago B. tabaci yang baru menjadi dewasa akan mengembangkan sayapnya selama lebih kurang 8-15 menit dan kemudian tubuh serangga mulai tertutupi tepung lilin. Lama hidup imago bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan faktor-faktor lain. Menurut Kalshoven (1981) lama hidup imago B. tabaci di Indonesia berkisar enam hari, sedangkan Gamel (1977) melaporkan B. tabaci di Sudan lama hidup serangga jantan umumnya lebih pendek dibandingkan dengan serangga betina yaitu 9.54-17.20 hari, sedangkan yang betina dapat mencapai 37.75-74.20 hari.

Kisaran Inang B. tabaci

B. tabaci mempunyai kisaran inang lebih dari 600 spesies tanaman (Greathead 1986) yang berasal dari 63 famili tanaman (Mound & Halsey 1978). Serangga tersebut mempunyai sifat polifagus (Costa & Brown 1990, 1991) dan sejumlah besar spesies tanaman tahunan dan setahun yang telah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan sesuai untuk makan dan/atau inang reproduksi (Bedford et al. 1992, 1994; Brown et al. 1992, 1995b). Mound & Halsey (1978) menunjukkan bahwa sebanyak 50% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul berasal dari famili Fabaceae, Asteraceae, Malvaceae, Solanaceae dan Euphorbiaceae. Di antara famili tersebut 99% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul adalah Fabaceae (Basu 1995).


(37)

Hubungan inang B. tabaci yang kompleks terjadi di Puerto Rico yaitu biotipe Sida bersifat polifagus dan biotipe Jatropha bersifat monofagus berada pada daerah geografi yang sama, tetapi relung ekologinya berbeda (Brown et al. 1995b).

Menurut Lima et al. (2000) dan Oliveira et al. (2000) di Brazil kutukebul telah menginfestasi tanaman baru dan gulma sebagai inang. Gulma yang menjadi inang kutukebul tersebut adalah: Cleome espinosa (Cleomaceae), Senna obtusifolia (Fabaceae), Herisanthia hemoralis (Malvaceae), Richardia grandiflora, Borreria verticilliata (Rubiaceae), Waltheria indica, W. Rotundifolia (Sterculicaceae), dan Stachytarpheta sanguinea (Verbenaceae). Simmon et al. (2000) melaporkan bahwa inang baru kutukebul di Amerika Serikat: Hyperium perfolatum (Hypericaceae), Valeriana officinalis (Valerianaceae), Tanacetaum parthenium, Echinaceae pallida, E. Purpurea (Asteraceae).

Kerusakan yang Disebabkan B. tabaci

B. tabaci merupakan hama penting pada banyak tanaman. Menurut Berlinger (1986) ada 3 tipe kerusakan yang disebabkan oleh B. tabaci :

(1) Kerusakan secara langsung. Kerusakan tersebut disebabkan oleh bekas tusukan stiletnya sewaktu mengambil sap dari daun tanaman. Akibat aktivitas makan tersebut menyebabkan tanaman menjadi lemah dan layu, menurunkan pertumbuhan tanaman dan hasil. Disamping itu B. tabaci menyebabkan daun klorosis, kering, jatuh sebelum waktunya dan tanaman menjadi mati. Infestasi nimfa menyebabkan terjadinya irregular ripening pada buah tomat dan warna daun tanaman labu menjadi seperti keperak-perakan (silverleaf (SSL)). Johnson et al. (1992) menunjukkan bahwa semakin meningkat populasi kutukebul yang ada pada tanaman selada di Hawai, mengakibatkan bongkol selada menjadi kerdil, menguning dan tanaman mati. Beberapa tanaman sayuran yang terinfestasi kutukebul menjadi kerdil, menguning, belang-belang dan batang menjadi putih dengan meningkatnya populasi kutukebul. (2) Kerusakan secara tidak langsung. Kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh akumulasi embun madu yang dihasilkan kutukebul. Embun madu merupakan substrat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun dan buah. Adanya cendawan ini menyebabkan penurunan fotosintesis dan mengurangi nilai jual atau hasil tidak dapat dijual. (3)


(38)

Kerusakan karena kemampuannya sebagai vektor virus tanaman. Menurut Cohen & Berlinger (1986) populasi kutukebul yang kecil sudah dapat menyebabkan kerusakan tanaman. Hal tersebut karena kutukebul merupakan vektor virus tanaman. Virus tanaman yang ditularkan oleh kutukebul menyebabkan lebih dari 40 penyakit tanaman sayuran dan umbi di seluruh dunia. Ada 1.100 spesies kutukebul yang diketahui di dunia, tetapi hanya tiga spesies yang dapat berperan sebagai vektor virus tanaman. Kutukebul ubi jalar umum ditemukan dan merupakan vektor virus tanaman di dunia. Kutukebul tersebut diketahui sebagai vektor kelompok begomovirus.

Biotipe B. tabaci

Menurut Bedford et al. (1992, 1994) dan Burban et al. (1992) populasi kutukebul yang berasal dari geografi yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam kemampuan makan, reproduksi dan kemampuan dalam menularkan begomovirus. Populasi kutukebul tersebut secara morfologi tidak dapat dibedakan secara jelas, tetapi menunjukkan beberapa perbedaan dalam bertahan dan berkembang khususnya terhadap inang. Menurut Claridge et al. (1997) suatu populasi serangga yang secara morfologi kurang dapat dibedakan, tetapi mempunyai karakteristik lain yang berbeda dengan populasi lainnya disebut biotipe. Biotipe kutukebul biasanya ditandai oleh adanya reaksi fitotoksik spesifik (Yokomi et al. 1990; Brown et al. 1992; Byrne et al. 1995a). Sampai saat ini diketahui ada sekitar 20 biotipe kutukebul dengan tingkat karakter yang berbeda. Beberapa biotipe tersebut mempunyai kisaran inang dan distribusi geografis yang terbatas, tetapi yang lainnya terutama biotipe B, memiliki kisaran inang dan sebaran geografis yang luas (Bedfort et al. 1994).

Perring et al. (1993) menggunakan PCR-RAPD untuk menunjukkan perbedaan hasil amplifikasi antara biotipe A dan B. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa 90% ukuran pita mirip di dalam populasi setiap biotipe dan hanya 10% ukuran pita mirip antar biotipe. Dengan teknik yang sama Gawel & Bartlett (1993) melaporkan hasil yang mirip dan berhasil menunjukkan perbedaan B. tabaci biotipe A dan biotipe B dengan mudah. Hasil penelitian Moya et al. (2001) berhasil mendeterminasi keanekaragaman genetik populasi B. tabaci yang berasal dari bagian selatan Iberian Peninsula, dan melaporkan bahwa dua populasi


(39)

merupakan biotipe Q, satu populasi biotipe B dan yang lainnya merupakan campuran kedua biotipe tersebut.

Hubungan genetik antar biotipe B. tabaci juga dapat dideteksi dengan marker molekuler yang lain yaitu melalui teknik amplified fragment length polymorphism (AFLP). Berdasarkan marker AFLP Cervera et al. (2000) membagi biotipe B. tabaci menjadi 4 kelompok, (1) biotipe dari bagian selatan dan subkontinental India; (2) biotipe B dan Q serta populasi Nigerian dari kacang panjang; (3) biotipe A dari dunia baru; dan (4) biotipe S dan populasi Nigerian dari ubi kayu. Hasil ini konsisten dengan penelitian Guirao et al. (1997) yaitu pengelompokkan biotipe yang didasarkan analisis PCR-RAPD.

Perbedaan Kelompok dalam Kompleks Spesies B. tabaci

Populasi B. tabaci telah dipelajari melalui berbagai macam teknik sehingga dapat dikelompokkan dalam kompleks spesies. P engujian dengan berbagai macam teknik tersebut menunjukkan hasil yang konsisten, sehingga menempatkan biotipe khusus dalam suatu kelompok. Beberapa peneliti yang menunjukkan hasil perbandingan pada sederetan populasi: diantaranya Bedford et a l. (1994) melalui perkawinan, Rosell et al. (1997) melalui karakter morfologi, Frohlich et al. (1999) melalui analisis gen 16S mitokondria dan COI, Brown et al. (2000) melalui analisis allozyme, dan De Barro et al. (2000) melalui analisis ribosomal ITS1. Hasil studi tersebut menunjukkan beberapa informasi yang dapat digunakan untuk mengelompokkan populasi dan membedakannya dengan populasi B. tabaci yang lain. Dengan menggunakan informasi tersebut terdapat 7 kelompok dalam kompleks spesies B. tabaci, yaitu:

Kelompok 1: Dunia lama(biotipe A, C, N, R)

Populasi B. tabaci yang ditemukan di baratdaya Amerika Serikat dan Meksiko merupakan esterase biotipe A. Pada daerah geografi tersebut umumnya ditemukan biotipe A hingga pertengahan tahun 1980-an terbawa biotipe B. Populasi B. tabaci yang telah melalui evaluasi tipe kawin dikumpulkan dari Sinaloa, Meksiko (Brown et al. 2000) dan Baratdaya Amerika Serikat (Liu et al. 1992; Costa et al. 1993; Perring et al. 1993). Pada morfologi biotipe A


(40)

ditemukan adanya anterior sub-marginal setae nomor 4 (ASMS4), sedangkan pada kutukebul yang lainnya tidak ditemukan adanya ASMS4 (Rosell et al. 1997).

Hasil pengujian dengan ribosomal ITS1, biotipe A dari Baratdaya Amerika Serikat satu kelompok dengan kutukebul dari Costa Rica yaitu esterase biotipe C. Kutukebul dari Columbia yang merupakan esterase biotipe R ternyata menunjukkan hubungan dengan biotipe A dan C, walaupun terbentuknya hubungan tersebut masih berbeda subkelompok dalam kelompok (De Barro et al. 2000). Frohlich et al. (1999) menggunakan gen 16S dan gen CO1 yang berasal dari mitokondria menempatkan kutukebul dari Puerto Rico yang berasal dari tanaman Jatropha gossypifolia dan merupakan esterase biotipe N termasuk kelompok New World. Hasil penelitian Rosell et al. (1997) menunjukkan bahwa morfologi biotipe N mempunyai ASMS4 yang mirip dengan biotipe A.

Kelompok 2: Kosmopolitan (biotipe B (= B. argentifolii), B2)

Salah satu karakteristik yang membedakan biotipe B dan B2 dengan biotipe yang lain adalah kerusakan fisiologi pada tanaman yang terinfestasi. Kerusakan yang disebabkan oleh biotipe tersebut adalah warna daun tanaman labu berubah menjadi keperak-perakan (SSL) dan pematangan buah tomat tidak teratur (irregular ripening). Kedua gejala tersebut dapat digunaka n untuk menentukan adanya biotipe B. Bermacam-macam metode pengujian seperti esterase, RAPD dan biologi telah dilakukan untuk membandingkan biotipe B dengan biotipe yang lainnya (Brown et al. 1995b; De Barro 1995; Perring 1996). Hasil pengujian biologi dan genetik yang dilakukan oleh Perring et al. (1993) menunjukkan bahwa biotipe A berasal dari Kalifornia, Amerika Serikat dan membuktikan bahwa biotipe B cukup berbeda pada tingkat spesies. Bellows et al. (1994) mendeskripsikan biotipe B sebagai B. argentifolii Bellows and Pering dengan nama umum kutukebul daun perak.

Hasil evaluasi pengujian kawin menunjukkan bahwa populasi dari Australia (De Barro & Hart 2000), Cyprus (bedford et al. 1994), Israel (Bedford et al. 1994, Byrne et al. 1995b), Amerika Ser ikat bagian Selatan (Liu et al. 1992, Costa et al. 1993, Perring et al. 1993, Bedford et al. 1994) dan Yaman (Bedford et al. 1994) berhasil terjadi perkawinan. Menurut Brown et al. (1995a) populasi Yaman mempunyai pola pita esterase yang berbeda da n


(41)

dinamakan biotipe B2. Pada morfologi biotipe B tidak ditemukan adanya ASMS4 (Rosell et al. 1997). Berdasarkan hasil studi molekuler diduga bahwa biotipe B terbawa ke belahan bumi sebelah Barat dan Australia. Biotipe tersebut berasal dari Timur Laut Afrika/Timur Tengah/daerah Arabian Peninsular (Frohlich et al. 1999, De Barro et al. 2000).

Kelompok 3: Benin (biotipe E) dan Spanyol (biotipe S)

Biotipe E hanya mempunyai satu tanaman inang yaitu Asystasia gangetica (L) T. Anders dan berasal dari Benin, Afrika Barat. Morfologinya tidak mempunyai ASMS4, tetapi anterior margin mempunyai lilin yang lebih lebar dibandingkan dengan biotipe B dan A (Rosell et al. 1997). Biotipe ini tidak menyebabkan SSL dan mirip dengan biotipe L (Sudan) dan biotipe P (Nepal). Berdasarkan analisis jarak genetik allozyme, Brown et al. (2000) menunjukkan bahwa biotipe E mempunyai rata-rata jarak genetik antara 0,25 – 0,62. Jarak genetik tersebut termasuk dalam sub-spesies ke spesies (Nei 1976). Menurut Frohlich et al. (1999) pengujian secara molekuler menunjukkan bahwa populasi tersebut merupakan kelompok yang berbeda dan De Barro et al. (2000) menunjukkan bahwa biotipe E merupakan kelompok yang berbeda tetapi mempunyai hubungan dengan biotipe S dari Spanyol yang diperoleh dari tanaman Ipomea.

Kelompok 4: India (biotipe H)

Biotipe H merupakan kutukebul yang dikoleksi dari tanaman kapas di Gujarat, India (Brown et al. 1995a). Biotipe H yang lain ditemukan pada tanaman Semangka tahun 1991 di Kerala State, India (Bedford et al. 1992, 1994). Hasil pengujian secara biologi menunjukkan bahwa biotipe tersebut tidak menimbulkan kerusakan SSL. Hasil analisis gen 16S dan gen CO1 menempatkan populasi kutukebul ini dalam kelompok yang unik (Frohlich et al. 1999). Penempatan tersebut didukung oleh hasil penelitian De Barro et al. (2000) yang menunjukkan bahwa populasi biotipe ini tidak sekelompok dengan biotipe B. tabaci yang lain. Kelompok 5: Sudan (Biotipe L), Mesir (Biotipe ?), Spanyol (Biotipe Q)

Nigeria (Biotipe J)

Biotipe L merupakan populasi yang dikoleksi tahun 1974 dari lahan kapas di Sudan. Bedford et al. (1994) menunjukkan bahwa populasi tersebut tidak


(42)

menghasilkan SSL. Hasil pengujian kawin menunju kkan bahwa terjadi perkawinan antara biotipe ini dengan biotipe B, tetapi tidak ditemukan adanya F1 betina yang fertil (Byrne et al. 1995b). Data gen 16S dan CO1 menunjukkan bahwa biotipe L berbeda dengan biotipe A, B, E dan H (Frohlich et al. 1999). De Barro et al. (2000) menggunakan ribosomal ITS1 menemukan bahwa populasi ini satu kelompok dengan populasi yang ditemukan pada tanaman Lantana camara tahun 1999 di Mesir, tetapi esterase biotipenya belum diketahui, satu kelompok dengan populasi kutukebul yang dikoleksi dari tanaman Lycopersicon esculentum Mill. yang merupakan esterase biotipe Q pada tahun 1996 di Spanyol, dan satu kelompok dengan kutukebul yang dikoleksi dari tanaman Vigna unguiculata (L.) Walp. yang merupakan eaterase biotipe J tahun 1990 dari Nigeria.

Kelompok 6: Turki (Biotipe M), Hainan (Biotipe ?), Korea (Biotipe ?)

Biotipe M dikoleksi pada tahun 1985 dari tanaman kapas di Turki. Profil esterase menunjukkan perbedaan dan diidentifikasi sebagai biotipe M. Hasil pengujian kawin menunjukkan tidak terjadi perkawinan biotipe tersebut dengan biotipe B, K atau D (Bedford et al. 1994). Biotipe ini tidak menyebabkan SSL. Analisis filogenetik menggunakan ribosomal ITS1 menunjukkan populasi tersebut satu kelompok dengan kutukebul dari Hainan dan Korea (De Barro et al. 2000). Kelompok 7: Australia (Biotipe AN)

Biotipe AN adalah biotipe asli dari Australia yang dikoleksi dari tanaman kapas di Queensland Selatan dan Darwin. Analisis perbandingan esterase menunjukkan bahwa biotipe tersebut merupakan gabungan antara biotipe ini dengan biotipe B (Gunning et al. 1997). Pengujian kawin tidak menghasilkan keturunan yang fertil (De Barro & Hart 2000). Hasil analisis filogenetik ribosomal ITS1 menunjukkan bahwa kutukebul yang dikoleksi dari beberapa areal di Australia berbeda dengan populasi kutukebul dari daerah lain (De Barro et al. 2000).

Ketahanan Tanaman Terhadap Begomovirus

Secara umum, sistem ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen dapat terjadi melalui satu atau kombinasi cara yaitu struktural dan reaksi biokimia. Ketahanan struktural ialah adanya bentuk penghambatan fisik oleh tanaman yang


(43)

mengakibatkan patogen tidak dapat melakukan penetrasi dan berkembang, sedangkan ketahanan biokimia yaitu tanaman menghasilkan senyawa yang bersifat toksik, atau menghambat pertumbuhan patogen (Agrios 1997). Sistem pertahanan tanaman sangat tergantung pada interaksi inang-patogen-lingkungan, seperti umur tanaman, organ atau jaringan yang diserang, kondisi tanaman (nutrisi) dan kondisi iklim atau cuaca (Agrios 1997).

Pengendalian yang efektif dan aman bagi lingkungan untuk penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus adalah melalui penanaman kultivar yang tahan atau toleran. Hasil pengujian yang dilakukan di Mesir dan Yordania menunjukkan bahwa semua kultivar tomat komersial rentan terhadap infeksi TYLCV (Pilowsky & Cohen 1974; Mazyad et al. 1982; Kasrawi et al. 1988), maka pemuliaan tanaman resisten TYLCV sangat penting untuk dilakukan. Varietas komersial yang memberikan respon agak tahan terhadap virus selama terjadinya epidemi adalah Colombian, Roza, Progress No. 1 (United Arab Emirates, Senegal), Lignon C8-6, Lignon C20-5 (Mali, Senegal, Cuba), Rowpack (Cape Verde), VF 145 B 7879 (Mesir), Anahu (Sudan), dan EC 104395 (India, Sudan, United Arab Emirates) (Laterrot 1992). Hibrid F1 komersial yang toleran terhadap TYLCV adalah Fiona, Jackal, TOP 21, Saria, Tycoon, Tymoor, Tyking, Tydal, Tyger, Tygold, di Mesir hibrid Ty-20, BB234, BB235 dan Typhoon toleran terhadap TYLCV dan direkomendasikan untuk penanaman musim gugur (Moustafa & Hassan 1994).

Lycopersicon sp. liar telah diseleksi berdasarkan responnya terhadap virus, dan spesies L. pimpinellifolium, L. cheesmanii, L. hirsutum, L. peruvianum dan L. chilense ditemukan secara alami tahan terhadap TYLCV (Zamir et al. 1994; Scott et al. 1996; Lapidot et al. 1997; Friedmann et al. 1998; Vidavsky et al. 1998; Vidavsky & Czosnek 1998; Hanson et al. 2000).

Menentukan tingkat ketahanan tomat liar sangat sulit, tetapi teknik molekuler mungkin dapat menjadi alat yang baik untuk mendeteksi sifat ketahanan. Prosedur squash-blot digunakan untuk melakukan skrining spesies Lycopersicon untuk sifat ketahanan terhadap TYLCV (Rom et al. 1993). Ada tiga kategori respons tanaman terhadap infeksi TYLCV: 1) rentan; bila tanaman mengandung DNA virus dan gejala penyakit berkem bang; 2) toleran; bila


(1)

166

No. Akronim 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

27. Arg-Bn -

28. PR-Sida 0.0501 -

29. Tur-Les 0.1562 0.1519 -

30. Tur-Ctnb 0.1562 0.1476 0.0100 -

31. China Ctn 0.1533 0.1490 0.1504 0.1476 -

32. Tur-Ctna 0.1447 0.1404 0.1433 0.1404 0.0115 -

33. Japan-Lj 0.1891 0.1633 0.1605 0.1547 0.1705 0.1633 -

34. China-Ip 0.1719 0.1648 0.1562 0.1533 0.1433 0.0029 0.1719 -

35. Thai-Ccbr 0.1476 0.1404 0.1447 0.1404 0.0143 0.0021 0.1662 0.1390 -

36. Sgpr-Ctn 0.1461 0.1390 0.1433 0.1390 0.0129 0.0014 0.1648 0.1375 0.0014 -

37. Malay -Hrs 0.1447 0.1433 0.1461 0.1433 0.0115 0.0029 0.1662 0.1375 0.0057 0.0043 -

38. Malay -Malva 0.1476 0.1476 0.1504 0.1476 0.0156 0.0072 0.1691 0.1418 0.0100 0.0086 0.0043 -

39. Pak-Smel 0.1461 0.1418 0.1447 0.1418 0.0129 0.0014 0.1648 0.1361 0.0043 0.0029 0.0043 0.0086 - 40. China-Les 0.1533 0.1476 0.0516 0.0501 0.1447 0.1418 0.1590 0.1504 0.1447 0.1433 0.1447 0.1490 0.1433 41. Egypt-Les 0.1519 0.1461 0.0530 0.0516 0.1461 0.1404 0.1605 0.1490 0.1433 0.1418 0.1433 0.1476 0.1418 42. Ariz-Pst 0.1533 0.1476 0.0516 0.0501 0.1476 0.1418 0.1590 0.1504 0.1447 0.1433 0.1447 0.1490 0.1433 43. Pak-Hol 0.1577 0.1520 0.0530 0.0516 0.1492 0.1435 0.1635 0.1549 0.1463 0.1449 0.1463 0.1506 0.1449 44. Israel-Cabb 0.1547 0.1490 0.0530 0.0516 0.1461 0.1433 0.1604 0.1519 0.1461 0.1447 0.1461 0.1504 0.1447 45. Fran-Smel 0.1519 0.1461 0.0501 0.0487 0.1461 0.1404 0.1576 0.1490 0.1433 0.1418 0.1433 0.1476 0.1418 46. Marc-B 0.1547 0.1490 0.0544 0.0530 0.1476 0.1418 0.1590 0.1533 0.1447 0.1433 0.1447 0.1490 0.1433


(2)

Lanjutan lampiran 2

No. Akronim 40 41 42 43 44 45 46

40. China-Les -

41. Egypt-Les 0.0043 -

42. Ariz-Pst 0.0043 0.0057 -

43. Pak-Hol 0.0072 0.0086 0.0086 -

44. Israel-Cabb 0.0043 0.0057 0.0057 0.0086 -

45. Fran-Smel 0.0014 0.0029 0.0029 0.0057 0.0029 -


(3)

168

Tingkat kesamaan (%) No. Karakter

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1. BtCkBJB - 2. BtBPJB 99 - 3. BtBsBJB 85 85 - 4. BtCb2BJB 100 99 85 - 5. BtKKJT 99 99 85 99 - 6. BtBbBJB 86 86 84 86 86 -

7. TVA 73 74 73 73 73 71 -

8. Bafer 73 73 76 73 73 74 72 -

9. Itl-Ec 87 87 86 87 87 88 72 75 -

10. Ugd-Okra 85 85 98 85 85 84 73 76 86 -

11. Ugd-Pk 85 85 93 85 85 84 73 74 86 94 -

12. Ugd-Swp 81 81 81 81 81 81 70 74 82 82 82 -

13. Ugd-Les 81 81 81 81 81 81 71 75 82 82 82 99 -

14. Ken-Cass 83 83 84 83 82 83 74 76 84 84 83 82 82 -

15. Cam-Cass 84 84 83 84 83 82 73 75 85 83 83 81 81 92 -

16. Marc -Les 85 85 93 85 85 83 73 75 85 94 96 82 80 83 83 -

17. M arc-Q 85 85 93 85 85 83 72 75 85 94 96 82 82 83 83 99 -

18. Marc -Ccr 85 85 94 85 85 83 73 75 85 94 96 82 82 83 83 99 99 -

19. Fran-Ep 85 85 92 85 85 83 73 73 85 92 92 80 81 82 83 92 92 92

20. Sey-Jat 86 86 92 86 86 84 74 73 86 93 92 81 81 83 83 92 92 92

21. Colb-Co 85 85 83 85 85 83 74 75 86 84 84 81 81 84 85 84 84 84

22. India-Ip 87 87 84 87 87 84 73 74 88 85 85 81 81 82 82 84 84 84

23. Pan-Eh 85 85 84 85 85 82 71 74 85 85 84 82 82 83 84 84 84 84

24. Guatemala 85 85 84 85 85 82 72 75 86 85 84 82 82 84 84 85 84 84

25. MexLes 85 85 84 85 85 82 71 75 85 85 84 82 82 84 85 84 84 84

26. Arg-B n 85 85 83 85 85 80 72 74 85 84 84 80 80 82 82 84 84 84

27. PR-Sida 85 85 84 85 85 82 71 75 86 85 84 82 82 84 84 85 84 84


(4)

Lanjutan lampiran 3

Tingkat kesamaan (%) No Karakter

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

29. Tur-Les 85 85 94 85 85 83 73 75 85 94 97 82 82 83 83 98 97 98

30. Tur-Ctnb 85 85 94 85 85 83 73 75 85 95 97 82 82 84 83 98 98 98

31. China Ctn 98 98 85 98 98 86 73 73 86 85 85 80 80 82 83 84 84 84

32. Tur-Ctna 99 99 86 99 99 86 73 73 87 85 86 81 81 83 84 85 85 85

33. Japan -Lj 83 83 84 83 83 82 74 75 85 84 83 81 81 85 85 83 83 83

34. China-Ip 86 85 84 86 86 84 72 73 87 85 84 81 81 82 82 84 84 84

35. Thai -Ccbr 99 99 85 99 99 86 73 73 87 85 85 81 81 82 83 85 85 85

36. Sgpr-Ctn 99 99 86 99 99 86 73 74 87 85 85 81 81 83 84 85 85 85

37. Malay -Hrs 99 99 85 99 99 86 73 73 87 85 85 81 81 83 84 85 85 85

38. Malay -Malva 98 98 85 98 98 86 73 74 87 85 85 80 81 82 83 85 84 84

39. China-Les 85 85 98 85 85 84 73 76 86 99 94 82 82 84 83 94 94 94

40. Pak-Smel 99 99 86 99 99 86 73 73 87 85 85 81 81 83 84 85 85 85

41. Egypt-Les 85 85 98 85 85 84 73 76 86 99 94 82 82 84 83 94 94 94

42. Ariz-Pst 85 85 98 85 85 84 73 76 86 99 94 82 82 84 83 94 94 94

43. Pak-Hol 85 85 98 85 85 83 72 75 85 99 94 82 82 84 83 94 94 94

44. Israel-Cabb 85 85 98 85 85 84 73 76 86 99 94 82 82 84 83 94 94 94

45. Marc -B 85 85 98 85 85 84 73 76 86 99 94 82 82 84 83 94 94 94

46. Fran-Smel 85 85 98 84 84 83 72 75 86 99 82 82 82 84 83 94 94 94


(5)

170

Tingkat kesamaan (%) No Karakter

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

19. Fran-Ep - 20. Sey-Jat 98 - 21. Colb-Co 82 83 - 22. India-Ip 84 85 83 -

23. Pan-Eh 83 83 96 83 -

24. Guatemala 83 83 97 83 98 -

25. MexLes 83 83 96 83 98 99 -

26. Arg-B n 83 84 94 83 94 95 94 -

27. PR-Sida 83 84 96 83 97 98 98 94 -

28. Mex-Ph 82 83 96 82 97 98 99 93 98 -

29. Tur-Les 92 92 84 84 84 84 84 84 84 98 -

30. Tur-Ctnb 92 92 84 85 84 85 85 84 85 84 98 -

31. China Ctn 85 85 84 86 84 85 84 84 85 85 84 85 -

32. Tur-Ctna 85 86 85 87 85 85 85 85 85 85 85 85 98 -

33. Japan -Lj 83 84 83 82 81 83 83 79 83 85 83 84 82 83 -

34. China-Ip 84 85 83 91 82 83 83 82 83 83 84 84 85 86 82 -

35. Thai -Ccbr 85 86 85 87 85 85 85 85 85 83 85 85 98 99 83 86 -

36. Sgpr-Ctn 86 86 85 87 85 86 85 85 86 85 85 86 98 99 83 86 99 -

37. Malay -Hrs 85 86 85 87 84 85 85 85 85 86 85 85 98 99 83 86 99 99

38. Malay -Malva 85 85 84 87 84 85 85 85 85 85 84 85 98 99 82 85 98 99

39. China-Les 92 92 84 84 84 85 84 84 85 85 94 94 85 85 84 84 85 85

40. Pak-Smel 85 86 85 87 85 85 85 85 85 85 85 85 98 99 83 86 99 99

41. Egypt-Les 92 92 84 85 85 85 85 84 85 85 94 94 85 85 83 85 85 85

42. Ariz-Pst 92 92 84 84 84 85 84 84 85 85 94 94 85 85 84 84 85 85

43. Pak-Hol 92 92 83 84 84 84 84 84 84 84 94 94 84 85 83 84 85 85

44. Israel-Cabb 92 92 84 84 84 84 84 84 85 85 94 94 85 85 83 84 85 85

45. Marc -B 92 92 84 84 84 84 84 84 85 85 94 94 85 85 84 84 85 85


(6)

Lanjutan lampiran 3

Tingkat kesamaan (%) No Karakter

37 38 39 40 41 42 43 44 45 46

37. Malay -Hrs - 38. Malay -Malva 99 - 39. China-Les 85 85 - 40. Pak-Smel 99 99 85 - 41. Egypt-Les 85 85 99 85 - 42. Ariz-Pst 85 85 99 85 99 -

43. Pak-Hol 85 84 99 85 98 98 -

44. Israel-Cabb 85 84 99 85 99 99 98 -

45. Marc -B 85 85 99 85 99 99 98 99 -


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman begomovirus pada tomat dan serangga vektornya , bemisia tabaci gennadius (Hemiptera: aleyrodidae), serta pengujian ketahanan genotipe tomat terhadap strain begomovirus

1 29 400

Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dan predator Coccinellidae untuk pengendalian kutukebul Bemisia tabaci, vektor begomovirus pada pertanaman cabai merah

4 44 125

Identifikasi begomovirus indonesia pada tomat dan analisis diversitas genetik gen AV1 serta pemanfaatannya untuk pengembangan tanaman tahan virus

1 35 179

Metode Penularan dan Uji Ketahanan Genotipe Cabai (Capsicum spp.) terhadap Begomovirus

5 36 9

Ketahanan enam genotipe cabai (Capsicum spp.) terhadap Begomovirus dan pengaruhnya terhadap perkembangan vektor kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae)

0 4 87

Pengujian Ketahanan Cabai Terhadap Begomovirus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning

0 6 10

Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.): panjang rostrum dan sayap pada beberapa ketinggian tempat serta periode retensi Tomato chlorosis virus (ToCV)

0 7 72

Pemanfaatan tanaman pembatas pinggir dan predator Coccinellidae untuk pengendalian kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae), vektor begomovirus pada pertanaman cabai merah (Capsicum annuum L.)

1 7 227

POTENSI RHIZOBAKTERIA INDIGENUS DALAM MENINGKATKAN KETAHANAN GALUR CABAI TERHADAP KERAGAMAN STRAIN GEMINIVIRUS DAN BIOTIPE SERANGGA VEKTORNYA Bemisia tabaci (Hemiptera:Aleyrodidae).

0 0 24

Aplikasi Verticillium Lecaniizim. Isolat Palolo terhadap Kutu Putih (Bemisia Tabaci Genn.) (Hemiptera:Aleyrodidae) Pada Tanaman Tomat

0 0 6